• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menyebutnya sebagai tembang campursari. Tidak banyak yang menyadari akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menyebutnya sebagai tembang campursari. Tidak banyak yang menyadari akan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Puisi Jawa ada yang dipadukan dengan unsur gamelan dan alat musik dalam penyajiannya sebagai pengiring, sehingga puisi ini merupakan bentuk puisi Jawa modern yang ditembangkan (dinyanyikan), masyarakat biasa menyebutnya sebagai tembang campursari. Tidak banyak yang menyadari akan keberadaan tembang campursari sebagai suatu karya sastra, yakni sebagai suatu bentuk puisi. Padahal bila dibaca dengan cermat dan didalami, terlepas dari unsur irama dan jenis musiknya, lirik lagu atau lirik tembang dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra. Unsur-unsur yang berupa tema, isi, dan bahasa dapat dikategorikan sebagai segi intrinsik karya sastra terutama sastra yang berbentuk puisi.

Jan Van Luxemburg mengatakan bahwa definisi mengenai teks-teks puisi tidak hanya mencakup jenis-jenis sastra, melainkan pula ungkapan yang bersifat pepatah, pesan iklan, semboyan-semboyan politik, syair-syair lagu dan doa-doa (1989:175). Adanya persamaan unsur-unsur pembangun antara sastra puisi dengan lirik tembang yaitu tema dan topik yang mengacu pada isi puisi atau lirik tembang dan unsur bahasa yang mengacu pada gaya penyampaiannya.

Kebanyakan pengarang atau penulis lagu campursari dalam menuliskan karyanya, tidak akan jauh menceritakan mengenai kehidupan sehari-hari orang Jawa, hal tersebut bisa berkaitan dengan adat-istiadat, ataupun unggah-ungguh (basa,sikap), yang seperti kita ketahui bahwa kesemuanya itu tidak akan pernah lepas dari kepribadian orang Jawa. Berkaitan dengan unggah-ungguh (basa,

(2)

2

sikap), orang Jawa memiliki patokannya sendiri yang itu sudah dianggap sebagai pakem yang harus dijalankan oleh seluruh masyarakat Jawa. Seperti dalam berkomunikasi, orang Jawa memiliki unggah-ungguh-nya tersendiri, seperti apabila orang muda akan mengajak orang tua berbicara harus menggunakan bahasa Jawa ragam krama, lalu apabila kita berbicara dengan teman sebaya, sudah diatur pula yakni menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. Aturan berbicara itu harus senantiasa digunakan oleh setiap orang Jawa, karena hal tersebut bertujuan untuk menerapkan budaya sopan santun dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Begitu pula yang berkaitan dengan bersikap, orang Jawa memiliki aturannya tersendiri, cara bersikap orang Jawa tidak terlepas oleh teladan yang dicontohkan orang Jawa terdahulu (para priyayi), cara bersikap yang tercermin dalam kehidupan orang Jawa itu tertuang dalam beberapa karya-karya leluhur kita, seperti dalam Serat, Suluk, tembang dolanan, dan tembang macapat yang kesemuanya itu bisa berupa prosa maupun puisi Jawa (Herusatoto, 1984: 74). Ada beberapa sikap luhur yang dituliskan dalam beberapa karya leluhur kita tersebut, yang harus dimiliki oleh orang Jawa yakni rila, temen (menepati janji), narima, sabar, lan budi luhur. Kelima sikap itu adalah kunci utama untuk menuju kesempurnaan hidup (S.de Jong, 1976:21; Herusatoto, 1984:75). Sejalan dengan pendapat S. de Jong dan Herusatoto, Geertz dalam bukunya (1983:311) mengatakan bahwa orang Jawa harus memiliki kehalusan jiwa yang meliputi nrima, sabar, lan ikhlas, ketiga sikap tersebut harus dimiliki untuk menyeimbangkan aspek lahir dan aspek batin seseorang. Maka dari itu orang

(3)

3

Jawa dituntut untuk senantiasa bersikap rela, menepati janji, menerima, sabar, dan budi luhur dalam menjalankan kehidupannya agar mencapai keseimbangan dan kesempurnaan dalam hidupnya.

Unggah-ungguh dalam berbahasa dan bersikap itu terus diabadikan sampai saat ini baik dalam perbuatan tentunya, maupun diabadikan dalam bentuk karya sastra tulis. Hal tersebut bertujuan untuk senantiasa mengingatkan orang Jawa itu sendiri bahwa dalam kehidupannya harus senantiasa berbahasa dan bersikap sesuai pakem-nya orang Jawa.

Salah satu penulis lagu campursari yang sangat produktif dalam membuat karya yang berkaitan erat dengan sikap hidup orang Jawa tersebut adalah Manthous. Manthous masih sangat kental memakai tradisi Jawa dalam kepenulisannya, dari cara pemilihan katanya, hingga makna yang terkandung di dalamnya. Manthous dilahirkan di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, ia terlahir dari keluarga biasa, dari segi ekonomi sangat pas-pasan, ia pun hanya bisa bersekolah sampai tingkat SMP saja. Namun, berkat ketrampilannya dalam bermusik ia bisa meningkatkan ekonomi keluarganya, ia adalah pelopor sekaligus pendiri grup campursari di Gunung Kidul. Tidak berhenti disitu, Manthous juga menulis lirik tembang campursari yang isinya kebanyakan menceritakan kehidupannya sebagai orang Jawa biasa yang banyak menemui kesusahan daripada kebahagiaan, dan juga sikap yang harus dimiliki oleh orang Jawa dalam menjalankan kehidupannya, Manthous tulis dalam syair tembang yang indah.

(4)

4

Beberapa yang menjadi ciri khas dari Manthous adalah Ia memadukan karya sastra Jawa berwujud parikan dan wangsalan yang memperindah lirik-liriknya, selain itu juga Manthous selalu menggunakan pola persajakan dalam setiap bait liriknya (purwakanthi guru swara), pola persajakan yang dipilih oleh Manthous sangat bervariatif, ada yang menggunakan pola a-a-a-a, a-b-a-b, ada pula a-a-b-b. Manthous tidak segan-segan menyingkat kata (wancahan) dan mengubah bunyi huruf vokal di akhir gatra, hal tersebut lumrah dilakukan dalam pembuatan cakepan tembang tradisional Jawa.

Dalam penelitian ini, karya-karya Manthous yang dipilih adalah karya yang dominan mencerminkan sikap hidup orang Jawa, diantaranya adalah tembang Aja Lamis, Lorobronto, Balen, Bengawan Sore, Aja Sembrono, Pripun, lan Sengit. Dari tembang yang dipilih tersebut, kesemuanya terdapat sikap hidup orang Jawa yakni sikap rela (rila), menerima (nrima), menepati janji (temen), sabar (sabar), dan budi luhur. dalam lirik campursari Manthous kesemua sikap tersebut dijadikan sebagai cerminan piwulang luhur sikap hidup orang Jawa yang memang sudah diyakini dari dulu sampai sekarang. Sikap hidup orang Jawa yang dimaksud adalah sikap hidup yang diyakini oleh orang Jawa sebagai suatu sikap yang dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupannya baik secara sosial maupun spiritual.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa sikap hidup orang Jawa meliputi sikap rila, nrima, temen, sabar, lan budi luhur yang kesemuanya itu tertuang dalam Serat Sasangka Djati (Soenarto, 1964:18-23). Serat Sasangka Djati adalah karya sastra Jawa yang lahir atas wahyu yang diterima oleh

(5)

5

R.Soenarto yang merupakan pimpinan dari aliran kebatinan di Jawa yakni Pangestu. Awalnya Serat Sasangka Djati dibuat sebagai pedoman dan pegangan sikap hidup bagi para pengikut aliran kebatinan Pangestu, namun karena banyak para leluhur Jawa yang menjalankan sikap hidup sesuai apa yang dituliskan dalam Serat Sasangka Djati tersebut, maka jadilah kelima sikap hidup orang Jawa tersebut dijadikan sebagai pedoman hidup orang Jawa yang harus diamalkan oleh orang Jawa dari dulu sampai sekarang. Dalam Serat Sasangka Djati disebutkan bahwa manusia harus memiliki keutamaan dalam bersikap, keutamaan itu terdiri dari lima perkara atau biasa disebut Panca-sila, kelima sikap tersebut adalah rila (rela), narima (menerima), temen (menepati janji), sabar (sabar), lan budiluhur (budi luhur), kelima perkara tersebut wajib dijalankan untuk mendapatkan kesempurnaan hidup (Soenarto, 1964:18-23). Sikap yang muncul kemudian merupakan hasil penggabungan atau perenungan dari kelima sikap tersebut, sebagai contoh adalah sikap aja dumeh, hamemayu hayuning bawana, aji mumpung. Masyarakat Jawa yang secara naluri dan tradisional masih memegang teguh adat kebiasaan dan ajaran dari orang tua terdahulu, tentu senantiasa akan menjalankan sikap hidup orang Jawa tersebut dalam kesehariannya, karena sikap hidup tersebut dapat dikatakan telah menjadi pedoman umum dan bahkan merupakan etika sosial atau bahkan telah menjadi tolak ukur moral masyarakat Jawa.

Seperti yang telah dipaparkan bahwa masyarakat Jawa dalam bersikap memiliki pedoman tersendiri dan itu dijadikan sebagai ukuran moral dan etika sosial masyarakat Jawa. Sikap hidup yang telah lama diyakini dan dijalankan

(6)

6

oleh orang Jawa tersebut seakan menjadi patokan bagi orang Jawa dulu, sekarang dan seterusnya dalam menjalani kehidupannya dalam berbagai aspek. dan juga seperti dipaparkan sebelumnya bahwa salah satu karya sastra Jawa yakni tembang campursari karya Manthous berisi mengenai cerminan sikap hidup orang Jawa tersebut yakni rila (rela), narima (menerima), temen (menepati janji), sabar (sabar), lan budiluhur (budi luhur). Namun bila dicermati secara lebih mendalam dan mensejajarkan kesemua sikap hidup orang Jawa yang dominan muncul dalam lirik tersebut dengan sikap lain yang ada dalam lirik yang itu tidak dominan atau bahkan tidak dianggap penting dalam lirik, apa yang diungkapkan oleh Manthous dalam karyanya bisa saja hanya sebagai harapan saja, bukan suatu kepastian yang bisa diyakini kebenarannya, artinya tidak ada makna yang pasti dan tunggal mengenai sikap hidup orang Jawa yang bisa dijadikan pegangan.

Hal tersebut tentu dirasa ambigu dan mendatangkan suatu ketidakpastian dalam memaknai sikap hidup orang Jawa yang terdapat dalam lirik tembang campursari karya Manthous, yang akhirnya memunculkan suatu masalah bahwa seperti apa sebenarnya sikap hidup orang Jawa yang tercermin dalam lirik tembang karya Manthous, mungkinkah sikap hidup yang ada memang benar-benar ada dan dijalankan dengan baik yang memang merupakan pedoman bagi orang Jawa, ataukah hanya sebatas harapan saja yang tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun. Asumsi tersebut tentu harus dibuktikan secara ilmiah, peneliti akan menggunakan pembacaan dekonstruktif untuk membuktikan keambiguan/ketidakpastian makna sikap hidup orang Jawa dalam teks lirik tembang campursari pilihan karya Manthous.

(7)

7 1.2 Masalah

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, muncul masalah mengenai keambiguan/ketidakpastian mengenai sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari pilihan karya Manthous. Namun sebelumnya, tentu harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai sikap hidup orang Jawa secara umum untuk pijakan mengenai sikap hidup orang Jawa yang tercermin dalam lirik tembang campursari pilihan karya Manthous. Adapun masalah yang teridentifikasi adalah sebagai berikut:

1) Sikap hidup orang Jawa yang tercermin dalam lirik tembang campursari karya Manthous.

2) Keambiguan/ketidakpastian makna sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari karya Manthous.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan umum dan khusus. Tujuan khusus, yaitu tujuan untuk menjawab pertanyaan dalam masalah di atas, yakni memaparkan sikap hidup orang Jawa yang tercermin dalam lirik tembang campursari pilihan karya Manthous dan memperlihatkan bentuk keambiguan/ketidakpastian makna sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari pilihan karya Manthous.

Dengan menjawab permasalahan tersebut, dapat ditarik tujuan lebih luas, yakni tujuan umum. Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman kepada pembaca dalam memahami teks sastra yakni lirik tembang campursari pilihan karya Manthous yang memanfaatkan pembacaan dekonstruktif

(8)

8

untuk mengungkap keambiguan/ketidakpastian makna sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari pilihan karya Manthous.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini yakni menerapkan teori dekonstruksi Jacques Derrida. Sementara itu, manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu pijakan pengetahuan mengenai dekonstruksi khususnya pembacaan dekonstruktif mengenai sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari bagi peneliti-peneliti selanjutnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Pusat perhatian penulis dalam penelitian ini adalah pembacaan dekonstruktif sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari Karya Manthous. Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai dekonstruksi berkaitan dengan sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari dengan teori dekonstruksi Jacques Derrida belum ada yang meneliti. Namun demikian, penelitian dengan menggunakan teori dekonstruksi Derrida ini pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, pertama yakni oleh Pinto Anugrah dalam tesis Pascasarjana (S2) UGM pada tahun 2013 dengan judul Dekonstruksi Eidos dalam Naskah Drama Dara Jingga Karya Wisran Hadi, memaparkan tentang penjungkirbalikkan makna ideal yang ada pada naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi. Makna ideal yang mesti dijungkirbalikkan dalam naskah tersebut adalah Tambo, yang merupakan kitab bangsa Minangkabau, yang menjadi latar dari naskah drama yang diteliti. Dalam penelitian tersebut teori yang dipakai

(9)

9

adalah dekonstruksi Derrida. Pada penelitian tersebut menghasilkan suatu kesimpulan bahwa satuan oposisional yang hierarkis tersebut membentuk makna ideal seperti yang tergambarkan pada Tambo, namun makna ideal tersebut bukan berada pada masa lalu untuk menuju masa depan ideal, sebagai cita-cita bersama. Melalui penundaan (différance) makna ideal tersebut, pada naskah drama yang diteliti, makna ideal ditempatkan berada pada masa depan, sehingga terungkap bahwa, masa depan Minangkabau merupakan masa depan menuju masa lalunya. Maka dalam kenyataannya saat ini, Minangkabau terus mundur dan mengulang masa lalu. Pada penelitian tersebut, peneliti fokus mengkaji makna ideal yang ditolak dan ditunda dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi yang berangkat dari pemaknaan ideal menurut Tambo Minangkabau yang merupakan teks kanon bangsa Minangkabau. Tentu penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti akan fokus melakukan pembacaan dekonstruktif terhadap hasil karya sastra Jawa yakni tembang campursari karya Manthous, yang tentunya akan menghasilkan hasil penelitian yang berbeda karena berlatar belakangkan sastra dan budaya yang berbeda.

Tesis lainnya yang menggunakan metode pembacaan dekonstruktif adalah tesis berjudul Dekonstruksi Pelacur dalam Novel Chrysan karya Hapie Joseph Aloysia oleh Lisa Pratiwi (2014). Hasil penelitiannya yakni bahwa si pelacur sebagai tokoh utama melakukan penggapaian terhadap medan makna yang hierarkis. Medan makna tersebut yakni bukan pelacur, spiritual, lingkungan keluarga, normal, suci, rumah, surga, dan, desa. Usaha penggapaian yang ideal tersebut memunculkan ketidakstabilan teks. Teks mendekonstruksi dirinya sendiri

(10)

10

yang sekaligus menarik tokoh-tokoh di dalam novel kembali ke dunia nyata. Dari hasil penelitiannya, bila dibandingkan dengan penelitian yang akan dilakukan ini tentu akan terdapat perbedaan, walaupun teori dan cara kerjanya sama yakni menggunakan teori dekonstruksi.

Tesis selanjutnya yakni berjudul Tradisi Baru: Kajian Semiotika Lotman dan Dekonstruksi Novel Putri Karya Putu Wijaya oleh Muh. Khairussibyan (2014). Hasil penelitiannya memiliki dua fokus yakni kajian semiotika dan dekonstruksi. Pendekatan dekonstruksi digunakan untuk mengkaji pandangan dunia nonsistematik dalam novel. Penelitian ini menemukan bahwa kode-kode modernisme dan tradisionalisme dalam teks Putri terhubungkan dengan kode-kode modernisme dan tradisionalisme Bali di luar teks. Pandangan dunia modernisme dioposisikan dengan pandangan dunia tradisionalisme Bali. Novel Putri berusaha membangun tradisi baru di mana modernisme dan tradisionalisme Bali berinteraksi. Analisis dekonstruktif terhadap Tradisi Baru ini menemukan bahwa novel ini mengingkari strukturnya sendiri. Kepentingan pribadi dan struktur hierarkis yang berusaha dilawan justru terjebak pada kepentingan pribadi dan struktur hierarkis model baru yang dibentuk oleh sistem modern kapitalis. Berbeda halnya dengan penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti akan fokus pada ruang lingkup tradisi masyarakat Jawa mengenai sikap hidupnya, yang diasumsikan oleh peneliti bahwa telah didekonstruksi oleh Manthous dalam karya-karyanya.

Penelitian terhadap lirik-lirik tembang campursari memang telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai kajian dan pendekatan diantaranya

(11)

11

tulisan Danang Fitrianto dalam skripsinya tahun 2011 berjudul Analisis Lirik Tembang Campursari karya Cak Diqin, menyajikan analisis tembang campursari secara stilistika. Analisis stilistika yang digunakan adalah aspek penggunaan gaya bahasa, manipulasi bunyi, dan makna tembang pada lirik-lirik tembang campursari karya Cak Diqin, secara umum penelitian tersebut menemukan unsur-unsur keindahan yang ada dalam lirik tembang campursari. Unsur-unsur-unsur tersebut mampu mendukung isi dan tema lirik tembang sehingga dapat memperjelas dan menarik perhatian bagi para pendengarnya. Selanjutnya yakni penelitian yang dilakukan oleh Parwanto pada tahun 2000 yang berjudul Lirik Tembang Campursari Karya: Manthous (Analisis Unsur-Unsur Kepuitisan), menyajikan analisis tembang campursari yang didasarkan pada analisis struktural. Dalam analisisnya ditemukan bahwa unsur-unsur kepuitisan yang ada dalam lirik tembang campursari karya Manthous. Unsur-unsur tersebut mampu mendukung pola estetik dalam sebuah tembang. Dengan demikian sebuah lirik tembang mempunyai struktur estetik yang sama dengan sebuah puisi, atau lirik tembang dapat dikatakan sebagai sebuah puisi dengan memandang unsur-unsur struktur liriknya. Kedua penelitian tersebut memfokuskan tembang campursari sebagai obyek kajiannya. Walaupun salah satunya ada yang menggunakan obyek material yang sama dengan penelitian ini, namun kajian dan teori yang dipakai sangat jauh berbeda.

(12)

12 1.6 Landasan Teori

Teori yang dipakai adalah teori dekonstruksi Derrida. Di sini akan diuraikan mengenai konsep dekonstruksi secara ringkas menurut teori dekonstruksi Derrida.

1. Pengertian Dekonstruksi

Dekonstruksi dikenalkan oleh Jacques Derrida dalam bukunya On Grammatology, Writing and Différance, dan Dissemination. Dekonstruksi dalam sastra digunakan untuk menunjukkan pertentangan-pertentangan dalam teks yang sengaja atau tidak sengaja disembunyikan atau disamarkan, berdasarkan pada model atau metode filosofis guna menunjukkan ketidaksesuaian logika yang secara eksplisit maupun implisit terdapat dalam suatu teks. Metode dekonstruksi ini pada awalnya diterapkan oleh Derrida terhadap teori lingustik struktural Ferdinand de Saussure, hal tersebut ditunjukkan oleh Derrida melalui dikotomi yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure antara bahasa lisan dan tulisan. Derrida menunjukkan bahwa terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam teori Ferdinand de Sasussure. Dalam tataran eskplisitnya teori Saussure lebih mengutamakan bahasa lisan, tapi secara implisit teori Saussure mendasarkan diri pada bahasa tulis sebagai teorinya (Susanto, 2012:236-237).

Pemikiran Derrida tidak terlepas dari pengaruh Heidegger, namun demikian Derrida tidak serta merta melanjutkan pemikiran Heidegger secara mentah-mentah, melainkan dengan cara mengkritik dan melanjutkan serta mendirikan pemikirannya sendiri. Satu produk pemikiran Heidegger yang diambil oleh Derrida adalah mengenai konsep “kehadiran”. Kehadiran dalam bahasa

(13)

13

Derrida adalah “metafisika”. Kehadiran itu akan tampak bila dilihat melalui tanda karena tanda dalam metafisis memberikan sesuatu yang tidak hadir. Tanda sendiri akhirnya merujuk pada objek itu sendiri sebagai yang hadir. Tanda berfungsi sebagai pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri. Kehadiran itu diwujudkan melalui tuturan dan tulisan, dalam tanda-tanda itu. Kata-kata dapat menunjukkan sesuatu yang lain, begitu juga teks, teks juga berhubungan dengan teks-teks yang lain.

Derrida pun membuat suatu pemikiran tanda sebagai trace atau jejak. Jejak itu hanya menunjukkan ke sesuatu yang lain, jejak justru mendahului objeknya. Berdasarkan hal ini “kehadiran” merupakan sesuatu yang diturunkan dari jejak-jejaknya, bukan sesuatu yang murni lagi. Bila jejak itu terhapus, maka “kehadiran” itu akan lenyap juga.

Kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna tunggal. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu kecenderungan untuk mengacu kepada suatu “metafisika” atau “kehadiran” tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan adanya dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.

Terdapat beberapa pandangan para ahli mengenai pengertian dekonstruksi. Kristeva (1980:36-37) menjelaskan bawa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural, sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah

(14)

14

teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.

Umar Junus (1996: 109) memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian, dan memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan satu aturan yang dianggap telah berlaku universal. Sedangkan menurut Al-Fayyadl (2015:232) dekonstruksi adalah terstimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.

Dekonstruksi secara garis besar bisa disimpulkan sebagai cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi bisa dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks, dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan-anggapan selalu kontekstual artinya bahwa anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna tunggal. Anggapan tersebut hadir sebagai trace (jejak) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

(15)

15 2. Logosentrisme

Dalam pemikiran strukturalis, bahasa dikatakan ada karena adanya perbedaan, dan inti dari perbedaan adalah oposisi biner, seperti oposisi penanda/petanda, ujaran/tulisan, dsbg. Menurut paham Saussurian, ujaran dianggap lebih istimewa dibanding dengan tulisan, artinya penanda dalam oposisi dianggap teristimewa dibandingkan dengan petanda. Pemikiran tersebut sejalan dengan pemikiran filsafat barat yang sama-sama mengistimewakan penanda dan melecehkan petanda. Penanda dianggap superior/dominan dan merupakan milik logos atau sebagai suatu kebenaran. Sedangkan yang kedua dianggap sebagai inferior yang diabaikan dan dilecehkan, dianggap sebagai representasi palsu dari yang pertama. Pemikiran tersebut merupakan buah pemikiran logosentrisme yang menganggap bahwa kebenaran adalah mutlak milik yang pertama yang lebih dominan/superior (Sarup, 2011:54). Seperti contoh baik/buruk, pembaca akan cenderung memaknai baik itu sebagai kebenaran tunggal yang akan selalu baik sampai kapanpun, sedangkan buruk akan selalu dimaknai sebagai suatu turunan dari baik yang posisinya akan selalu dinomor duakan.

Hal tersebut menjadi pijakan Derrida untuk melampaui strukturalisme, tidak hanya melampauinya namun juga meradikalkannya menjadi suatu strategi terhadap pembacaan teks, pembacaan teks itu disebut dekonstruksi. Derrida menolak adanya pemikiran bahwa penanda harus diistimewakan bahkan menjadi suatu kebenaran. Menurutnya bahwa penanda akan ada bila petanda ada, dengan kata lain bahwa keduanya saling berkaitan dan tidak ada istilah yang menjadi suatu kebenaran. Derrida menciptakan dekonstruksi untuk menyangkal adanya

(16)

16

kebenaran tunggal, bahwa makna akan terus bergerak hingga keluar dari jangkauan logos atau kebenaran tunggal.

Derrida mengatakan bahwa pemikiran mengenai adanya kebenaran tunggal yang terpusat di satu titik (logos) tersebut melahirkan adanya konsep oposisi hierarkis. Oposisi hierarkis adalah suatu oposisi yang menempatkan atau mengistimewakan yang dominan/superior atau kedudukannya yang lebih tinggi menjadi suatu logos/istimewa/kebenaran, sedangkan yang inferior atau kedudukannya yang lebih rendah diabaikan/dilecehkan yang berarti adanya kemunduran. Untuk meruntuhkan oposisi itu, Derrida menawarkan suatu pembacaan dekonstruktif. Pembacaan dekonstruksi meliputi pembalikan dan penggantian, dalam dekonstruksi oposisi yang harus dilakukan adalah meruntuhkan hierarki/ yang diistimewakan dalam teks, lalu melakukan pembalikan dimana yang diistimewakan diberi tanda silang (x), dan memperlihatkan adanya saling ketergantungan antara yang teristimewa dan terlecehkan (saling bertentangan) (Sarup, 2011:73).

3. Différance

Difference (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida perbedaan difference dan difference, baik menurut kamus bahasa Inggris maupun bahasa Perancis, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurut Derrida, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida, makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu tanda. Tanda

(17)

17

mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, tanda mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda (Eagleton, 1980: 127-128).

suatu proses yang oleh Derrida dinamakan différance, adalah suatu proses penangguhan/ penundaan, artinya bahwa dalam proses pencarian/ pergerakan makna terdapat suatu permainan makna dimana selalu saja ada celah antara teks dan maknanya, yang celah-celah tersebut bisa diisi dengan pemaknaan-pemaknaan baru yang menyebabkan pencarian makna tunggal (logos) mustahil dilakukan (Norris, 2009:11).

Prinsip dari permainan yang diungkapkan Derrida adalah membebaskan penanda dari beban makna. Derrida mengajak kita untuk melampaui bahasa yang telah didekonstruksi oleh beban makna, seperti yang telah dihasilkan oleh sistem linguistik dan logika. Sehingga makna jadi tertunda, karena setiap teks meninggalkan sisa-sisa dari kehadiran yang telah sirna dan tertunda. Akibatnya, makna tidak lagi bisa diselamatkan, yang dapat menyelamatkan makna hanyalah différance, struktur perbedaan dan penundaan kehadiran dalam teks itu sendiri (Al-Fayyadl, 2006:210).

Lebih jauh Al-Fayyadl menuliskan (2006:112), Différance menciptakan penanda-penanda baru yang ambigu. Différance juga menggerakkan seluruh permukaan teks yang terlihat datar dengan memfungsikan kembali logika permainan yang direpresi oleh logika yang dominan (logika pengarang). Karena itu, kebenaran, makna, atau referens dalam teks tidak menjadi prioritas utama yang dicari. Semua ini dialami lebih sebagai proses. Dengan différance, kita terus-menerus mempertanyakan asumsi yang mapan dan mengujinya dengan

(18)

18

kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal, paradoks, bahkan absurd. Dengan kata lain, différance adalah ruang mencari (berbagai) perspektif terhadap teks.

Dalam pembacaan dekonstruktif, kita diajak untuk tidak mencari makna yang sebenarnya dari teks, melainkan hanya ingin mencari ketidakutuhan/kegagalan suatu teks yang berupaya menutup diri dengan makna yang terkandung di dalamnya, artinya hanya ingin menumbangkan susunan hierarki yang menstrukturkan teks (Norris, 2009:13). Dengan kata lain bahwa dekonstruksi mengajak pembaca untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks, tidak ada dominasi makna dalam sebuah teks, makna tidak berhenti dalam satu titik melainkan terus bergerak. seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa suatu yang dominan bukan merupakan suatu kebenaran tunggal, artinya bahwa makna tidak berhenti pada satu titik saja, melainkan terus bergerak secara terus-menerus.

Berdasarkan hal itu, dekonstruksi pada dasarnya tidak memberikan satu pusat yang baru, melainkan hanya berusaha mencari celah-celah secara terus menerus. Jika melihat teks lirik tembang campursari karya Manthous yang berangkat dari sikap hidup orang Jawa, yang sampai saat ini masih kental dan menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa. Pada teks lirik tembang campursari ini terdapat permainan teks di dalamnya, yang dicari celah-celahnya, dan harus melepaskannya dari beban makna sesuai dengan prinsip Dekonstruksi.

(19)

19 1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya objek, karena pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan adanya objek (Faruk, 2012:23). Kenyataan adanya objek itu dinyatakan oleh konsep, teori, dan pengertian-pengertian yang terkandung dalam hipotesis dan juga variabel-variabel yang ditentukan atas dasarnya.

Untuk menganalisis lirik tembang campursari karya Manthous akan digunakan metode dekosntruksi dalam membaca teks-teks di dalamnya. Prosedur pembacaan teks tersebut, seperti yang disampaikan Faruk, berupa meneliti dengan cermat momen-momen yang tidak terputuskan, pemlesetan yang hampir tidak tertangkap, yang, jika tidak, akan membuat terlewatkan oleh pembaca (Faruk, 2012:217). Pembacaan cermat tersebut bertujuan untuk menginterogasi teks. Faruk, lebih menjelaskan, sesudah menginterogasi teksnya, menghancurkan pertahanannya, dan menunjukkan bahwa seperangkat oposisi berpasangan ditemukan di dalamnya. Oposisi itu tersusun secara hierarkis dengan menempatkan salah satu pasangan sebagai yang istimewa. Dekonstruktor kemudian menunjukkan bahwa identitas yang istimewa itu tergantung pada pengeklusiannya atas yang lain dan menunjukkan bahwa keutamaan justru terletak pada yang justru disubordinasikan.

Adapun secara sistematis, menurut Culler, strategi dekonstruksi Derrida tersebut dapat dirumuskan dalam tiga langkah (Mashuri, 2013:22-23):

1. Mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks seperti biasanya, hingga tampak peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik.

(20)

20

2. oposisi-oposisi yang ada itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan privilese (hak istimewa) secara terbalik.

3. Memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang bisa dimasukkan ke dalam oposisi lama.

Menurut Derrida, seperti yang dipaparkan Culler, mendekonstruksi suatu oposisi adalah membalikkan suatu hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru pada tahap pertama. Pada tahap berikutnya, pembalikan harus dilakukan terhadap keseluruhan yang di dalamnya oposisi itu menjadi bagiannya. Hanya dengan syarat itulah dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus lapangan oposisi-oposisi yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan non-diskursif (Mashuri, 2013:23).

Sebelum melakukan cara kerja tersebut, pada penelitian lirik tembang campursari karya Manthous ini, terlebih dahulu peneliti akan mengklasifikasikan elemen-elemen sikap hidup orang Jawa yang berada di luar lirik tembang campursari tersebut. Dari temuan tersebut, baru dapat dilihat oposisi-oposisi yang terbangun di dalam lirik tembang campursari tersebut dan menjungkirbalikkan oposisi-oposisi hierarkis secara dekonstruksi seperti yang telah dijelaskan di atas. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usaha untuk membongkar lirik tembang campursari karya Manthous dengan pembacaan dekonstruktif, akan membuka pandangan baru dalam penelitian ini.

(21)

21 1.8 Sistematika Penyajian

Sistematikan penyajian penelitian ini terdiri dari empat bab. Keempat bab tersebut terdiri dari :

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi pemaparan tentang Sikap hidup orang Jawa secara umum dan Sikap hidup orang Jawa yang tercermin dalam lirik tembang campursari pilihan karya Manthous.

Bab III merupakan pembacaan dekonstruktif yang terdiri dari oposisional berpasangan dan membongkar keambiguan/ketidakpastian makna sikap hidup orang Jawa dalam lirik tembang campursari pilihan karya Manthous.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai bukti bahwa karya sastra adalah cerminan dari kehidupan masyarakat, maka dalam penelitian ini membahas tentang “Nilai Edukatif dalam Novel Amelia Karya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa motif penonton televisi di Surabaya dalam menonton acara”Campursari Tambane Ati” di TVRI Jawa Timur. Objek

Sehubungan dengan adanya pendekatan psikologi sastra dalam memahami karya sastra, baik melalui pendekatan pengarang sastra, karya-karya sastra yang dihasilkan maupun para

Karya sastra sebagai cerminan dari kebudayaan masyarakat merupakan seni yang bersifat imajinatif, atau rekaan, namun hakikatnya rekaan tersebut berbeda dengan

Pesan moral dalam karya sastra adalah amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca mengenai baik buruk perilaku manusia yang hidup dalam masyarakat dengan tujuan memberikan

Akan tetapi, keunikan sajian Tembang Cigawiran yang berkembang di lingkungan pesantren dengan syair lagu yang digunakan berisi tentang pedoman- pedoman hidup yang

Damayanti memberikan kesimpulan pada skripsinya bahwa konteks sosial pengarang berperan dalam penciptaan karya sastra, novel Mahar Cinta Gandoriah merupakan cerminan

Dengan demikian kesederhanaan dalam budaya Jawa tidak hanya menyangkut tentang sikap hidup masyarakat Jawa semata, melainkan juga menyentuh nilai spiritualitas