BAB II
PERANAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA KEABSAHAN KEPEMILIKAN ATAS TANAH
A. Teori Tentang Tanah
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh
bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian
dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya,
yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas
tanah.31
1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Pengertian “Penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti
yuridis; juga beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis
adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada
umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang dihaki. Ada penguasaan yuridis, yang biarpun memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya
penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya yang memiliki tanah
tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain.
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan
atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
31
dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan
isi hak penguasaan atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda diantara
hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.32
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah dibagi
menjadi 2, yaitu :33
1. Hak Penguasaan atas Tanah sebagai Lembaga Hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan
orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
Ketentuan-ketentuan dalam Hak Penguasaan atas Tanah, adalah sebagai
berikut:
a. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;
b. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan
dilarang untuk diperbuat oleh pemegang hak nya serta jangka waktu
penguasaannya;
c. Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi
pemegang haknya, dan syarat-syarat bagi penguasaannya;
d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
2. Hak atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret.
Hak Penguasaan atas Tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu
sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau
pemegang haknya.
32
Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai
berikut:
a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan
hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas
tanah tertentu;
b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;
c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain;
d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;
e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
Dasar hukum ketentuan Hak-hak atas Tanah diatur dalam Pasal 4 ayat 1
UUPA, yaitu: “Atas dasar hak menguasai dari Negara atas tanah yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum”. Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas tanah
dapat diberikan kepada: Perseorangan, baik Warga Negara Indonesia maupun
Warga Negara Asing, sekelompok orang secara bersama-sama; dan Badan Hukum
baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh
Pemegang Hak atas Tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Wewenang Umum.
Wewenang yang bersifat umum yaitu: pemegang hak atas tanah
dan air dan ruang yang ada diatasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2)
UUPA).
2. Wewenang Khusus.
Wewenang yang bersifat khusus yaitu: pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak
atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk
kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak
Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah
Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan
di bidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.34
2. Tata Cara Memperoleh Tanah
Dalam rangka memperoleh tanah harus diperhatikan mengenai Tata Cara
untuk memperoleh Tanah yang tersedia, yang bergantung pada :35
1. Status tanah yang tersedia.
Status tanah yang tersedia dapat dibedakan menjadi :
a. Tanah Negara.
34
Tanah Negara dapat berasal dari bekas tanah partikelir, bekas tanah hak barat,
bekas tanah hak maupun sejak semula merupakan tanah Negara yang tidak ada
hak pihak tertentu selain Negara. Tanah hak juga dikuasai oleh Negara, tetapi
penguasaannya tidak secara langsung, sebab ada terdapat hak pihak-pihak
tertentu di atasnya. Bila hak pihak-pihak tertentu itu kemudian hapus, maka
tanah itu menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Tanah hak dapat
menjadi Tanah Negara karena hak yang ada di atas tanah itu dicabut oleh yang
berwenang, dilepaskan secara sukarela oleh yang berhak, habis jangka
waktunya dan karena pemegang hak bukan subjek hak .36
Jika status tanah yang tersedia adalah tanah Negara, maka cara untuk
memperoleh tanah adalah melalui permohonan hak.
b. Tanah Ulayat.
Jika status tanah yang tersedia adalah tanah ulayat, maka cara untuk
memperoleh tanah adalah melalui pembebasan hak yang diikuti dengan
permohonan hak.
c. Tanah Hak Pengelolaan.
Jika status tanah yang tersedia adalah tanah hak pengelolaan, maka cara untuk
memperoleh tanah adalah melalui permohonan hak.
d. Tanah Hak Milik.
36
Jika status tanah yang tersedia adalah hak milik, maka cara untuk memperoleh
tanah melalui peralihan hak dan pembebasan hak. Pemilik tanah hak milik
juga dapat memberikan hak baru kepada pihak lain (hak atas tanah sekunder).
e. Tanah hak lainnya yaitu HGU, HGB, dan hak pakai. Perolehan hak atas tanah
tersebut dapat dilakukan melalui peralihan hak.
2. Status dari para pihak.
Status para pihak dalam memperoleh hak atas tanah juga harus
diperhatikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPA. Hak milik atas
tanah hanya dapat dimiliki oleh WNI. HGU dan HGB dapat diberikan kepada
WNI dan badan hukum Indonesia. Hak pakai dapat diberikan kepada WNI, WNA,
badan hukum Indonesia dan badan hukum asing. Jika syarat kepemilikan oleh
para pihak tersebut tidak terpenuhi, maka pihak tersebut tidak dapat memperoleh
tanah yang tidak sesuai dengan statusnya.
3. Ada atau tidaknya kesediaan dari pemilik tanah.
Jika tanah tersebut telah dimiliki oleh pihak tertentu, maka untuk
memperoleh tanah yang telah dimiliki oleh orang lain itu harus ada kesediaan dari
pemilik tanah untuk mengalihkan atau melepaskan hak yang dimilikinya. Jika
pihak yang memiliki hak atas tanah tidak bersedia untuk melepaskan hak atas
tanahnya maka perolehan hak atas tanah tidak dapat dilakukan, karena penguasaan
tanah berdasarkan hak dilindungi oleh hukum terhadap gangguan pihak manapun.
Jika pemilik tanah tidak bersedia melepaskan tanah sedangkan tanah tersebut
dipindahkan ke tempat lain maka oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang
dapat melakukan pencabutan hak atas tanah disertai dengan pemberian ganti rugi.
Dalam hukum tanah nasional terdapat berbagai cara untuk memperoleh
tanah yang diperlukan baik untuk keperluan pribadi maupun untuk keperluan
kegiatan usaha dan pembangunan. Adapun cara yang disediakan oleh hukum
tanah nasional untuk memperoleh tanah, yaitu :37
1. Permohonan hak atas Tanah
Permohonan hak adalah: cara yang harus digunakan bagi perorangan, yaitu
orang sebagai individu atau badan hukum untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah Negara.
Tata cara untuk memperoleh hak atas tanah melalui permohonan hak atas
tanah digunakan untuk memperoleh hak atas tanah apabila yang tersedia adalah
tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. Peraturan yang mengatur tata cara
tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, yang mulai berlaku tanggal 24 Oktober
1999, sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun
1973 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata
Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah
Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.
37
Pasal 2 Ayat (1) PMNA / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 menyatakan
bahwa Permohonan hak atas tanah dilakukan dalam rangka pemberian hak atas
tanah yang primer, yaitu pemberian hak atas tanah yang terdiri dari hak milik,
HGU, HGB, hak pakai dan hak pengelolaan. Pasal 2 Ayat (2) PMNA / Kepala
BPN Nomor 9 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilaksanakan dengan Keputusan
pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum.
Kewenangan pemberian dan pembatalan hak yang disebutkan dalam Pasal
2 PMNA/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 dilakukan oleh Menteri dan dapat
dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, Kepala
Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan menurut
PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara.
Pengajuan Permohonan Hak atas Tanah oleh pemohon hak disertai dengan
data yuridis dan data fisik sebagai bukti penguasan tanah yang dimohonkan. Data
yuridis adalah bukti-bukti atau dokumen penguasaan tanah, sedangkan data fisik
adalah Surat Ukur dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah atas tanah dimaksud.
Adapun data-data yang diperlukan untuk melakukan permohonan hak atas tanah
adalah :
a. Data mengenai pemohon.
Data mengenai pemohon adalah keterangan mengenai subjek hokum yang
melakukan permohonan hak atas tanah, baik perorangan maupun badan hukum.
fotokopi identitas (Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Domisili, atau Surat
Ijin Mengemudi), Kartu Keluarga, bukti kewarganegaraan atau surat ganti nama.
Jika pemohon badan hukum, maka data pemohonnya berupa Surat Kuasa dan
Akta Pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman. Data
pemohon diperlukan untuk mengetahui status pemohon dalam hubungannya
dengan status hak atas tanah yang dimohon.
b. Data fisik.
Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah,
termasuk keterangan mengenai ada atau tidaknya bangunan atau bagian bangunan
di atasnya. Data fisik berupa Surat Ukur atau Kutipan Peta Bidang.
c. Data yuridis.
Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah,
pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.
Data yuridis dapat bermacam-macam bentuknya tergantung dari status tanahnya.
Untuk tanah Negara, data yuridis yang diperlukan dapat berupa surat keterangan
dari kepala desa atau lurah setempat yang isinya bukan tanah adat, surat
keterangan bahwa tanahnya tidak termasuk dalam buku C desa atau dalam peta
rincikan desa riwayat tanah, bukti perolehan tanah (hubungan hukum sebagai alas
hak) dan surat pernyataan penguasaan fisik oleh pemohon yang disaksikan oleh 2
(dua) orang saksi dikertas bermaterai secukup yang isinya menyatakan tanah yang
dimohon dikuasai secara fisik dan tidak dalam keadaan sengketa, apabila terdapat
sertipikat hak atas tanah yang pernah diterbitkan atas tanah serta bukti perolehan
hak atas tanah.
d. Data pendukung lainnya.
Data Pendukung untuk melakukan permohonan hak atas tanah berupa
surat keterangan bahwa tanah yang dimohon tidak bersengketa di atas meterai,
surat pernyataan tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon dan surat pernyataan
rencana penggunaan dan pemanfaatan tanah yang dimohon.
Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan diproses antara
lain dengan penelitian ke lapangan oleh Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A atau
B), kemudian apabila telah memenuhi syarat maka sesuai kewenangannya dan
diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah (SKPH). Pemohon
mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah setelah
membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan/atau Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Besarnya uang pemasukkan yang harus dibayar
sesuai dengan PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, sedangkan
BPHTB yang harus dibayar mengacu pada UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 20 Tahun 2000.
Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat hak atas
tanah setelah membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan atau BPHTB jika
pendaftaran Surat Keputusan Pemberian Hak untuk memperoleh sertifikat tanda
bukti hak adalah :
a. Surat permohonan pendaftaran;
b. Surat pengantar Surat Keputusan Pemberian Hak;
c. Surat Keputusan Pemberian Hak untuk keperluan pendaftaran;
d. Bukti pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila dipersyaratkan;
e. Identitas pemohon.
2. Pemberian Hak baru.
Yang dimaksud dengan hak baru adalah: hak atas tanah yang diberikan
oleh pemilik tanah kepada pihak lain atau hak atas tanah sekunder. Dari berbagai
jenis hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA, hanya hak milik yang dapat
dibebani dengan hak baru. Dengan demikian sebidang tanah yang dikuasai dengan
hak milik dapat dipergunakan sendiri oleh pemiliknya maupun dapat digunakan
oleh pihak lain dengan dilandasi hak baru atau hak atas tanah yang sekunder.
Hak-hak atas tanah sekunder yang diberikan di atas tanah hak milik yaitu
HGB sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUPA, hak pakai sebagaimana diatur
dalam Pasal 41 UUPA, hak sewa sesuai dengan Pasal 44 UUPA, hak usaha bagi
hasil sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA juncto UU Nomor 2 Tahun 1960,
hak sewa atau hak gadai atas tanah pertanian sebagaimana diatur dalam Pasal 53
UUPA juncto UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 dan hak menumpang.38
Dalam ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, ditetapkan
bahwa HGB dan hak pakai atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian oleh
38
pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Hak sekunder atas tanah berupa HGB dan hak pakai wajib didaftarkan di
Kantor Pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 juncto Pasal 44 PP Nomor
24 Tahun 1997. Pemberian hak sekunder tersebut dicatat pada Buku Tanah dan
sertipikat hak milik, serta kepada pemegang hak sekunder (HGB atau Hak Pakai)
dibuatkan Buku Tanah dan sertifikatnya.
3. Peralihan Hak (pemindahan hak).
Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang
tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak).
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan
perbuatan hukum yaitu pemindahan hak.40 Yang dimaksud dengan Peralihan Hak
karena pewarisan tanpa wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi
dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka
haknya itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya. Berbeda dengan
perbuatan hukum pemindahan hak dimana peralihan hak dilakukan dengan
sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi
hak pihak lain.
Perbuatan hukum Peralihan Hak untuk memindahkan hak atas tanah yang
dimiliki kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara:
a. Jual beli.
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa jual
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.
b. Pemasukkan dalam Perusahaan atau Inbreng.
c. Tukar-menukar.
Pasal 1541 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
tukar-menukar ialah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik, sebagai
gantinya suatu barang lain.
d. Hibah.
Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa hibah
adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
e. Hibah wasiat (legaat).
Hibah wasiat adalah suatu pemberian yang dinyatakan ketika yang memberi
itu masih hidup tetapi pelaksanaannya setelah yang memberi itu meninggal
dunia.39
Peralihan hak atas tanah melalui jual beli mengandung pengertian yaitu
perbuatan hukum pemindahan hak selama-lamanya dari si penjual kepada pembeli
dan pembayaran harga baik selurunya maupun sebagian dari pembeli dilakukan
dengan syarat terang dan tunai. Syarat terang berarti bahwa perjanjian jual beli
tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang membuat Akta Jual
39
Belinya yaitu PPAT dan disaksikan oleh dua orang saksi. Syarat tunai berarti
adanya dua perbuatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu pemindahan hak
dari si penjual kepada si pembeli dan pembayaran harga baik sebagian maupun
seluruhnya dari pembeli kepada penjual. Pembayaran harga jual beli bisa
dibayarkan seluruhnya maupun sebagian.40
Konsekuensi dari syarat terang dan tunai mengakibatkan jual beli tanah
tidak dapat dibatalkan, karena jual beli tanah bukan merupakan suatu perjanjian,
melainkan perbuatan hukum pemindahan penguasaan yuridis atas tanahnya yang
terjadi secara langsung dan riil. Apabila baru dibayar sebagian harganya tidak
mempengaruhi selesainya perbuatan jual beli karena telah memenuhi syarat tunai,
sedangkan terhadap sisa harganya yang belum dibayar dianggap sebagai
utang-piutang diluar perbuatan hukum jual beli tanah.
Untuk memperoleh surat bukti yang kuat dan luas daya pembuktiannya,
perbuatan hukum peralihan hak harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk
dicatatkan pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan. Dengan dicatatkan
peralihan hak pada sertipikatnya, diperoleh surat tanda bukti yang kuat.
4. Pembebasan Hak (Pelepasan Hak).
Pembebasan hak adalah: setiap perbuatan melepaskan hubungan hukum
yang semula, yang terdapat antara pemegang hak dengan tanahnya disertai dengan
pembayaran ganti kerugian kepada pemegang haknya atau yang berhak atas tanah
Pembebasan Hak pada dasarnya mengandung dua unsur, yaitu : 41
a. Adanya kesediaan pemegang hak untuk melepaskan haknya.
b. Ganti kerugian yang diberikan kepada pemegang hak yang ditetapkan atas
dasar musyawarah.
Pembebasan Hak merupakan salah satu sarana bagi suatu badan hokum
untuk memperoleh tanah yang diperlukan, jika tanah yang tersedia berstatus hak
milik, karena badan hukum tidak boleh mempunyai hak milik dan jika badan
hukum tersebut membeli tanah hak milik, maka jual beli (peralihan hak) batal
demi hukum. Hak miliknya akan menjadi hapus dan tanahnya menjadi tanah milik
Negara, sedangkan harga yang telah dibayarkan kepada penjual tidak dapat
dituntut kembali sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Ayat (2) UUPA. Atas dasar
ketentuan tersebut, agar badan hukum dapat memperoleh tanah hak milik yang
tersedia tanpa melanggar hukum, maka disediakan tata cara memperoleh tanah
melalui pembebasan hak.
Adapun langkah-langkah untuk melakukan Pembebasan Hak adalah :
a. Musyawarah antara pemegang hak dengan badan hukum yang melaksanakan
pembebasan untuk memperoleh kesedian pelepasan hak dari pemilik tanah
dan kesepakatan mengenai besarnya ganti kerugian.
b. Jika terjadi kesepakatan atas dasar musyawarah, maka pemegang hak
melakukan pelepasan hak dan pembayaran ganti kerugian kepada pemegang
yang tertuang dalam Surat Pernyataan Pelepasan Hak (SPPH) yang
ditandatangani oleh pemegang hak dan badan hukum.
41
c. Akibat pelepasan hak tersebut, hak milik hapus dan status tanah menjadi tanah
Negara.
d. Untuk menguasai tanah secara legal, maka badan hukum yang bersangkutan
melakukan permohonan hak baru yang sesuai dengan kerperluannya.
Dengan diperolehnya hak atas tanah yang baru dan dibuktikan dengan
penerbitan sertifikat bagi pemegang hak atas tanah sebagai alat bukti yang kuat,
penguasaan dan penggunaan tanah tersebut akan aman terhadap gangguan
maupun gugatan di kemudian hari yang mungkin dilakukan oleh pihak yang
merasa berhak atas tanah tersebut.
5. Pencabutan Hak.
Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari dan untuk Rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan Undang- Undang. Pencabutan Hak adalah:
pengambilan tanah hak kepunyaan orang atau badan hukum oleh pemerintah
secara paksa, untuk penyelenggaraan kepentingan umum disertai pemberian ganti
kerugian yang layak kepada pemilik tanah. Dengan dilakukan pencabutan hak atas
tanah milik seseorang, maka tanah tersebut menjadi tanah Negara.
Pencabutan hak (Eminent domein atau Expropriation) merupakan suatu
upaya hukum terakhir dalam rangka memperoleh tanah yang diperlukan untuk
kepentingan umum, maupun kepentingan bersama bangsa dan Negara, ketika
menyelenggarakan kepentingan umum dan proyeknya tidak dapat dibangun di
lokasi lain, selain di atas bidang tanah yang bersangkutan.42
Pencabutan hak atas tanah dilakukan disertai dengan pemberian ganti
kerugian yang layak dan dilakukan menurut tata cara yang diatur dengan UU
Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda
yang Ada Di atasnya jo. PP Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti
Rugi oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak atas
Tanah dan Benda -Benda yang Ada Di atasnya. Pencabutan hak atas tanah tidak
diperlukan persetujuan pemegang haknya, artinya: keputusan pencabutan hak
tidak dapat diganggu gugat. Tetapi pemegang hak masih dapat menolak
penggantian kerugian yang ditetapkan oleh Presiden, yang dianggap kurang layak,
dengan mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 30 hari
sejak keputusan pencabutan hak.
Pencabutan hak
hanya dapat dilakukan oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden
yang berisi tentang pencabutan hak sekaligus menetapkan bentuk dan besarnya
jumlah ganti kerugian.
43
42
Soetomo, Pedoman Jual Beli Tanah Peralihan Hak Sertifikat, Universitas Brawijaya, Malang, 1983, hal. 53
Prosedur pencabutan hak dimulai dengan
mengajukan permohonan kepada Presiden RI dengan perantara Menteri Dalam
Negeri, melalui Gubernur Kepala Daerah Provinsi. Presiden akan menerbitkan
Keputusan Pencabutan Hak yang setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur
Kepala Daerah Provinsi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dan Menteri
43
yang bidangnya meliputi usaha atau proyek yang memerlukan tanah yang
diusulkan untuk pencabutan hak.
3. Tata Cara Memperoleh Hak Atas Tanah
a. Pengertian Perolehan Hak Atas Tanah
Perolehan hak atas tanah merupakan hasil dari proses peralihan hak.
Peralihan hak dapat tejadi karena dua hal yaitu beralih dan dan dialihkan.
Pengertian “beralih” yaitu suatu perlihan hak yang dikarenakan seseorang yang
mempunyai salah satu hak, meninggal dunia sehingga haknya itu dengan
sendirinya beralih kepada ahli warisnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan “dialihkan” adalah suatu peralihan hak
yang dilakukan dengan sengaja agar haknya tersebut terlepas dari pemegang hak
semula dan menjadi hal pihak lain. Dengan kata lain bahwa peralihan hak itu
terjadi akibat suatu “perbuatan hukum” tertentu misalnya oleh karena jual beli,
tukar menukar, hibah dan hibah wasiat.
Peralihan hak itu terjadi karena dua hal yang berkaitan dengan hukum,
yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Kedua cara peralihan hak tersebut
harus tunduk pada ketentuan tertentu yang berkaitan denganya.
b. Terjadinya peralihan hak yang dapat mengakibatkan perolehan hak
Peralihan hak yang dimaksud disini adalah peralihan hak yang terjadi
akibat terjadinya suatu perbutan hukum tertentu seperti jual beli, tukar menukar,
hibah dan hibah wasiat.
a. Perolehan hak atas tanah karena jual beli.
Jual beli merupakan cara peralihan hak yang terjadi paling banyak terjadi
didalam masyarakat. Jual beli secara umum dapat diartikan sebagai perjanjian
timbal balik yaitu pihak yang satu sebagai penjual berjanji menyerahkan hak
milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainya berjanji untuk membayar
harga yang terdiri sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut.
Menurut pasal 1457 KUHPEr, jual beli adalah suatu persetujuan dengan
pihak yang satu yang mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda
dengan pihak yang lain yang mengikatkan dirinya untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Perjanjian jual beli terjadi sejak adanya kata “sepakat” Mengenai
harga barang meskipun barang itu diserahkan dan harganya belum dibayar.
Dengan lahirnya kata sepakat maka lahirnya perjanjian itu.
Pembeli baru menjadi pemilik atas barang semenjak diadakannya
penyerahan atau sesudah diadaknnya penyerahan barang tersebut. Dengan
demikian, perjanjian jual beli harus diikuti dengan penyerahan barang agar
terjadinya kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan. Pemilik baru berganti
setelah adanya pemindahan hak milik tersebut yang ditandai dengan penyerahan
b. Perolehan hak karena tukar-menukar.
Menurut ketentuan hukum perdata, tukar menukar merupakan suatu
persetujuan yang mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling
memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti barang lain. Dalam hal
tukar menukar masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban pihak yang
lain berhak atas suatu barang milik pihak lain yang dperjanjikan untuk ditukarkan
dan begitu pula sebaliknya. Disamping itu pihak lain memiliki kewajiban untuk
menyerahkan barang miliknya yang menjadi obyek tukar-menukar kepada pihak
lain yang menjadi mitranya dalam perjanjian tesebut. Tukar-menukar dalam ini
disebut sebagai perjanjian yang bersifat obligator. Yaitu persetujuan yang
menimbulkan hak dan kewajiban. Selain itu tukar menukar juga bersifat
konsensula artinya tukar menukar sudah mencapai kata sepakat diantara para
pihak yang bersepakat.
Perjanjian tukar menukar juga dikenal dengan sistem barter yaitu barang
dilawankan dengan barang.
Adapun syarat bahwa masng-masing harus merupakan pemilik barang
yang berlaku pada saat yang bersangkutan menyerahkan hak kepemilikan barang
atas barang.
Tukar menukar tanah dan bangunan harus dilakukan oleh dan dihadapan
PPAT dengan membuat surat akta menukar dan selanjutnya akta
tukar-menukar tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk mendapatkan sertifikat
Dalam Peraturan Menteri Agraria No.11 Tahun 1960, akta tukar menukar
belum ditentukan, oleh karena itu dalam praktek sehari-hari tukar-menukar dibuat
dengan mencontoh jual-beli dengan beberapa perubahan sesuai dengan isi
tukar-menukar.
c. Hibah.
Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada
pergantian apapun (Cuma-Cuma dan tidak bersyarat) semasa ia hidup. Biasanya
kepada orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Sama hal dengan
tukar-menukar, dalam penghibahan hak milik atas tanah harus dilakukan didepan PPAT
dengan suatu akta hibah dan selanjutnya didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
untuk mendapat sertifikat hak atas tanah. Selain orang pribadi, hibah juga dapat
pula diberikan kepada badan hukum.
d. Hibah wasiat.
Berbeda dengan hibah, hibah wasiat merupakan peralihan hak yang terjadi
secara lansung menurut kehendak dari pemberi wasiat, tetapi dengan syarat
sesudah pemberi wasiat meninggal dunia barulah terjadi peralihan hak. Selama
orang yang memberi masih hidup maka ia dapat menarik kembali pemberianya itu
(membatalkan). Bila pemberi wasiat tidak meninggal maka tidak terjadi hibah
wasiat. Hibah wasiat merupakan perbuatam hukum yang dilakukan dengan
membuat surat hibah wasiat (sering disebut hibah wasiat) baik yang ditulis dan
ditandatangani sendiri oleh pemberi hibah wasiat (surat wasiat di bawah tangan)
e. Waris
Perolehan hak atas tanah karena waris merupakan perolehan hak atas tanah
oleh ahli waris dari ahli waris yang berlaku sejak pewaris meninggal dunia.
Perolehan hak atas tanah waris merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum
yaitu meninggal seorang pewaris sehingga hak pewaris atas suatu tanah beralih
(secara hukum) kepada ahli waris yang berhak. Perolehan hak oleh ahli waris
terjadi setelah pewaris meninggal dunia dan biasanya dikuatkan dengan surat
keterang waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Secara hukum perolehan hak atas tanah karena waris harus dilanjutkan
dengan pendaftaran perolehan hak tersebut Kantor Pertanahan setempat untuk
mencatat peralihan hak dari pewaris kepada ahli waris.44
B. Prosedur Penerbitan Sertipikat Pengganti 1. Pengertian Sertipikat Pengganti
Sertipikat pengganti Hak atas tanah diatur dalam Pasal 57 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penerbitan Sertipikat Pengganti. Pada
dasarnya sertipikat pengganti diterbitkan sebagai pengganti sertipikat hak atas
tanah yang telah mengalami kerusakan ataupun hilang atau sertipikat yang masih
menggunakan blangko lama yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri
ataupun sertipikat aslinya tidak diserahkan pemilik hak kepada pemilik hak yang
Sehingga pada dasarnya sertipikat asli yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional untuk pertama kalinya dengan sertipikat pengganti hak atas
tanah yang dipegang pemilik hak atas tanah sama-sama mempunyai kekuatan
hukum yang sama. Namun apabila suatu bidang tanah telah dimintakan penerbitan
sertipikat pengganti maka akan dilakukan pembatalan sertipikat pertama/asli dari
bidang tanah yang telah diterbitkan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga
kemungkinan disalahgunakannya sertipikat hak atas tanah yang lama oleh pihak
yang lain yang dapat merugikan pemegang hak.
Pengertian dan fungsi sertipikat pengganti pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan sertipikat hak atas tanah, hanya saja sertipikat pengganti adalah
salinan sertipikat yang rusak atau hilang. Sertipikat pengganti bisa diterbitkan
oleh Kantor Pertanahan atas permintaan pemegang hak atas tanah. Namun
didalam sertipikat pengganti nantinya oleh Kantor Pertanahan akan dicatat atau
diberi penjelasan bahwa sertipikat tersebut adalah sertipikat pengganti dan isi
sertipikat pengganti tersebut tetap sama dengan sertipikat sebelumnya. Jadi pada
intinya bagi penulis pengertian, fungsi serta isi sertipikat pengganti hak atas tanah
yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut adalah
sama dengan sertipikat hak atas tanah sebelumnya.
2. Prosedur Penerbitan Sertipikat Pengganti
a. Apabila sertipikat itu rusak dan penyebab kerusakan tersebut tidak
dipersoalkan apakah karena sengaja, lalai atau terjadi bencana alam dan
lain-lain, sertipikat tersebut harus diganti dengan sertipikat yang baru.
b. Apabila sertipikat itu hilang, juga tidak dipersoalkan penyebab hilangnya
sertipikat tersebut, sertipikatnya harus diganti dengan yang baru.
c. Apabila sertipikat yang ada di tangan si pemegang hak masih menggunakan
blangko sertipikat yang lama yang tidak dipergunakan lagi. Blanko sertipikat
itu dicetak oleh Negara dan tetap terbuka kemungkinan perubahannya sesuai
dengan perubahan ketentuan hukum yang berlaku. Sertipikat tersebut dapat
diminta oleh pemegang hak untuk diganti dengan sertipikat yang baru dalam
artian penggantiannya bersifat kualitatif.
d. Apabila tanah tersebut dieksekusi lelang karena dijadikan obyek hak
tanggungan dimana pemberi hak tanggungan (debitur) wanprestasi, si
pemegang hak (debitur) tidak menyerahkan sertipikat tanah tersebut kepada
pemegang pembeli lelang, maka sertipikatnya harus diganti dengan yang baru.
Penerbitan Sertipikat karena rusak atau pembaharuan belanko sertipikat
yang rusak maka sertpikat yang rusak akan ditahan dan dimusnahkan.45
Pelaksanaan penerbitan sertipikat pengganti hak atas tanah karena rusak pada
dasarnya sama dengan pelaksanaan penerbitan sertipikat hak atas tanah biasanya
yang mana pada kenyataannya didalam pembuatan sertipikat hak atas tanah
memang memerlukan waktu dan biaya, jumlah waktu dan biaya yang diperlukan
tanah sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
karena rusak, hilang ataupun masih menggunakan blangko sertipikat lama.
Hal ini dapat diajukan oleh yang berkepentingan dengan melampirkan
sertipikat atau sisa sertipikat yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan
dimana hak atas tanah tersebut berada. Kemudian sertipikat itu sendiri dapat
dianggap rusak apabila ada bagian yang tidak terbaca atau ada halaman yang
sobek atau terlepas, akan tetapi masih tersisa bagian sertipikat yang cukup untuk
mengidentifikasi adanya sertipikat tersebut. Dan penerbitan sertipikat karena
masih menggunakan blangko lama meliputi juga penggantian sertipikat hak atas
tanah dalam rangka pembaharuan atau perubahan hak yang menggunakan
sertipikat lama dengan mencoret ciri-ciri hak lama dengan menggantinya dengan
ciri-ciri hak yang baru.
Setelah diketahui tentang pelaksanaan penerbitan sertipikat pengganti
karena rusak maka penulis juga akan membahas tentang pelaksanaan penerbitan
sertipikat pengganti karena hilang. Dimana dalam hal ini penerbitan sertipikat
pengganti karena hilang ini tidak jauh berbeda dengan penerbitan sertipikat hak
atas tanah maupun penerbitan sertipikat pengganti karena rusak. Penerbitan
Sertipikat Pengganti karena hilang di dahului dengan pengumuman 1(satu) bulan
dalam surat kabar harian setempat atas biaya pemohon.46
46
Florianus SP.Sangsun. Op Cit , Hal 75
akan tetapi didalam
penerbitan sertipikat pengganti karena hilang harus dilakukan penelitian terlebih
Untuk keperluan penelitian data yuridis bidang-bidang tanah dikumpulkan
alat-alat bukti mengenai kepemilikan atau penguasaan tanah, baik bukti tertulis
maupun bukti tidak tertulis yang berupa keterangan dari saksi dan atau keterangan
yang bersangkutan yang ditunjuk oleh pemegang hak atas tanah atau kuasanya
untuk pihak lain yang berkepentingan kepada panitia pendaftaran tanah dan juga
dijelaskan dalam Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang
mana Penerbitan sertipikat pengganti karena hilang didasarkan atas pernyataan
dari pemegang hak mengenai hilangya sertipikat tersebut yang dituangkan dalam
surat pernyataan dan pernyataan dibuat dibawah sumpah didepan kepala Kantor
Pertanahan dimana tanah tersebut berada atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
Kepala Kantor Pertanahan.
Kemudian setelah semua persyaratan telah dipenuhi oleh pemohon, maka
Kantor Pertanahan dapat melakukan pembuatan sertipikat pengganti karena hilang
tersebut, akan tetapi sebelum menerbitkan sertipikat pengganti pihak Kantor
Pertanahan terlebih dahulu melakukan pengumuman melalui surat kabar dan
Kantor Kelurahan dimana tanah itu berada dengan jangka waktu selama 30 (tiga
puluh) hari kerja, akan tetapi apabila permohonan tidak mampu membayar biaya
pengumuman melalui surat kabar karena mahal, maka Kantor Pertanahan
mempunyai kebijakan bahwa pengumuman cukup ditempel di Kantor Pertanahan
itu sendiri ataupun dijalan masuk ke lokasi tanah yang sertipikatnya hilang
tersebut, dengan papan pengumuman yang cukup jelas dan bisa dibaca orang yang
Kemudian setelah 30 (tiga puluh) hari sejak diumumkan akan diadakan
penerbitan sertipikat pengganti terhadap hak atas tanah tersebut dan ternyata tidak
ada pihak-pihak yang menyatakan keberatan maka Kantor Pertanahan dapat
menerbitkan sertipikat pengganti tersebut, dan oleh Kepala Kantor Pertanahan
dibuatkan berita acara penerbitan sertipikat pengganti kepada Kepala Seksi
Pengukuran dan pendaftaran tanah tentang tidak adanya pihak lain yang
menyatakan keberatan atas diterbitkannya sertipikat pengganti atas tanah tersebut,
dan sebaliknya apabila ada pihak lain yang menyatakan keberatan atas
diterbitkannya sertipikat pengganti tersebut yang keberatannya tersebut beralasan,
dan pihak Kantor Pertanahan tersebut telah melakukan penelitian yang ternyata
penelitian tersebut menemukan bukti baru bahwa sertipikat tersebut memang
bukan milik pihak pemohon, maka Kantor Pertanahan tidak boleh menerbitkan
sertipikat pengganti tersebut sampai diketahui benar-benar siapa pemilik tanah
tersebut dengan melalui perkara kedua belah pihak yang diputuskan oleh
Pengadilan, lain halnya apabila keberatan pihak lain tersebut tidak beralasan
ataupun tidak terbukti bahwa dialah pemilik tanah tersebut maka Kantor
Pertanahan dapat mengabaikan keberatan tersebut dan sertipikat pengganti pun
bisa langsung diterbitkan, dan setelah penerbitan sertipikat pengganti tersebut
selesai, oleh Kantor Pertanahan dapat diserahkan kepada pemohon ataupun
C. Peranan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Keabsahan Kepemilikan Atas Tanah
1. Peranan Hakim
Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaats),
kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan
kekuatan kaidah-kaidah hukum positif. Kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam
tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia
tertentu serta menentukan nilai situasi konkret dan menyelesaikan
persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan
hukum sebagai patokan objektif.48
Dalam kenyataanya, kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
hakim. Istilah hakim itu sendiri mempunyai dua pengertian, yaitu yang pertama
adalah orang yang mengadili suatu perkara di pengadilan, dan pengertian yang
kedua adalah orang yang bijak.49
Pada dasarnya tugas hakim adalah memberi keputusan dalam setiap
perkara atau konflik yang di hadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti
hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan
perselisihan atau konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka
hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pihak manapun, terutama dalam
mengambil suatu keputusan.50
48
Lili Rasjidi dan IraThania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 93
49
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili suatu perkara yang dihadapkan
kepadanya.51Adapun pengertian dari mengadili itu adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan suatu perkara berdasarkan
asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan.52
Secara umum, putusan hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan yang
berada pada seseorang, mencabut kebebasan warga negara menyatakan tidak sah
tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, memerintahkan
instansi penegak hukum lain untuk memasukkan orang ke penjara, sampai
dengan memerintahkan penghilangan hidup dari seorang pelaku tindak
pidana.53 Dalam putusan hakim harus dipertimbangkan segala aspek yang bersifat
filosofis, sosiologis, dan yuridis namun hakim juga tak jarang dipengaruhi oleh
aspek psikologi sebagai pertimbangan dari putusan tersebut sehingga keadilan
yang ingin dicapai diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim
adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice),
keadilan masyarakat (sosial juctice), dan keadilan moral (moral justice).54
Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai
kewibawaan, jika putusan tersebut dapat merefleksikan rasa keadilan hukum
masyarakat dan juga merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan
51
Menurut Pasal 1 butir (8) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
52
Pengertian mengadili sebagaimana terdapat dalam pasal 1 butir (9) KUHAP 53
Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 53
54
untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan.55
Dalam melaksanakan tugasnya, hakim juga dipandang sebagai benteng
terakhir dari cerminan keadilan di Indonesia maka dari itu hakim dituntut
untuk bekerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana serta mempunyai
rasa kemanusiaan yang tinggi, dan juga menguasai dengan baik teori-teori ilmu
hukum. Agar tercipta keadilan, kepastian dan manfaat dari penegakkan hukum itu
sendiri.
Sebelum seorang hakim
memutus suatu perkara, maka ia akan menanyakan kepada hati nuraninya
sendiri, apakah putusan ini nantinya akan adil dan bermanfaat
(kemashlahatan) bagi manusia ataukah sebaliknya, akan lebih banyak
membawa kepada kumudharatan, sehingga untuk itulah diharapkan
seorang hakim mempunyai otak yang cerdas dan disertai dengan hati nurani
yang bersih.
Secara khusus, dalam putusan hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan
yang berada pada seseorang. Contohnya dalam perkara sengketa tanah seperti
halnya apa yang sudah menjadi pemandangan jamak, bahwa perkara-perkara
yang ada di pengadilan sebagian besar adalah perkara sengketa tanah di
tengah-tengah masyarakat kita, ini dapat dipahami sebab tanah memiliki nilai
yang sangat tinggi dilihat dari kacamata apa pun, termasuk kacamata
sosiologi, antropologi, psikologi, politik, militer, dan ekonomi.56
55
Begitu bernilainya tanah sehingga manusia yang merupakan makhluk
sosial akan mempertahankan tanahnya dengan cara apa pun. Hal itu sudah
dilakukan jauh sebelum kebudayaan terbentuk. Artinya sudah demikian adanya
sejak zaman manusia purba. Sehingga terjadi carut-marut sengketa tak
berujung dan ini menyebabkan tanah menjadi tidak bisa dimanfaatkan oleh
pihak mana pun.
Regulasi pemerintah ikut memperunyam keadaan. Munculnya UU No.
32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, misalnya, telah membuat
benang-benang masalah semakin tidak jelas. Pasal 13 dan 14 ayat (1) huruf (k) UU ini
menyatakan pelayanan bidang pertanahan merupakan kewenangan
Pemerintah Daerah (provinsi/kabupaten/kota). Masalahnya adalah aturan main
yang baru tidak dibuat sehingga pemerintah daerah boleh membuat tafsiran
sendiri. Sungguh tak ada kepastian hukum.
Ketidakpastian penanganan sengketa tanah di negeri kita sudah
waktunya diakhiri sebab terlalu besar biaya yang terbuang untuk itu.
Penyelesaian perkara secara tuntas, dengan putusan yang bisa di eksekusi
dan dengan asas sederhana, cepat, dan berbiaya murah ini dambaan siapapun
yang sedang mencari keadilan perlu selaksanya kita wujudkan.57
Untuk itu disini dituntut peran hakim sebagai pihak yang
berwenang, sebagai pemutus perkara-perkara yang ada se-objektif mungkin,
apalagi permasalahan tanah yang di perkarakan di pengadilan yang begitu
kompleks cakupannya terhadap masyarakat.
57
Dalam hal ini hakim dalam memutuskan perkara Nomor 189
PK/PDT/2009 memmpunyai pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa yang dipermasalahkan adalah keabsahan SHM (Sertipikat Hak Milik)
No. 6036/Cilandak apakah benar sebagai pengganti SHM 897/Cilandak. Ada
2 (dua) transaksi terhadap Ny. Nelly Moeljono yaitu terhadap Pemohon
PK/Pembantah dan terhadap Termohon PK II.
2. Bahwa SHM 6036 Cilandak adalah cacat hukum karena SHM 897/Cilandak
telah dialihkan dengan akte 16 dan ditambah akta 17. Oleh pemilik SHM 897
akan dicabut. Kemudian direkayasa SHM itu seolah-olah hilang, lapor ke
Polisi dan minta dibuatkan SHM yang baru yaitu SHM 6036/Cilandak.
3. Dengan dasar jual beli Ny. Nelly Moeljono Soebandi dengan Pemohon PK
tidak sah karena transaksi semula belum dibatalkan.
4. Bahwa dalam SHM 6036/Cilandak pun tidak menyebut pengganti SHM
semula No. 897 yang dianggap hilang.
5. Jika pemohon PK benar secara fisik menguasai objek perkara, mengapa tidak
mengikut sertakan Ny. Nelly selaku penjual, dan Bank Niaga sebagai pihak
yang berkepentingan memberi kredit dengan jaminan SHM 6036/Cilandak
tersebut.
6. Novum yang diajukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan dengan alasan
sebagai berikut :
- PK I pengaduan/Laporan Polisi tidak relevan, tidak ada sangkut paut
- PK II putusan PN tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
- PK IV tidak menyangkut nama Pemohon PK
- PK V pernyataan N.T. Moeljono akan mencabut berhubung dengan Turut
Terbantah
- PK VI tidak ada sangkut paut dengan Pemohon PK
- PK VII Sertipikat hak tanggungan seluruhnya dengan SHM 6036, tidak
menyangkut pihak perkara.
Berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan Peninjauan Kembali
yang diajukan oleh Astuti Budi Utami tersebut tidak beralasan sehingga harus
ditolak.
2. Asas Yang Digunakan Dalam Menentukan Kepemilikan
Dengan berlakunya UUPA pada tahun 1960, maka Indonesia memiliki
Hukum Agraria Nasional. Di dalam hukum agraria nasional (UUPA) terdapat
beberapa asas-asas, tetapi dalam penulisan tesis ini hanya dituangkan asas yang
digunakan dalam menentukan kepemilikan, yaitu asas nasionalitas, bahwa asas
nasionalitas hanya memberikan hak kepada Warna Negara Indonesia (WNI)
dalam hal pemilikan hak atas tanah, yang mana telah menutup kemungkinan
Warga Negara Asing (WNA) untuk dapat memilikinya.
Asas nasionalitas adalah asas yang menghendaki bahwa hanya bangsa
Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hukum sepenuhnya dengan
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.58
58
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hal. 84
Atau
hanya Warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau
yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak
membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warganegara baik asli
maupun keturunan. Asas nasionalisme ini dalam hukum agraria ini diikuti oleh
sebagian besar Negara-negara di dunia, khususnya oleh Negara yang sedang
berkembang seperti Filiphina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, Mesir,
Pakistan, dll. Jadi tanah itu hanya disediakan untuk warga negara dari
Negara-negara yang bersangkutan. Seperti di Indonesia, asas nasionalisme ini terdapat
dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pasal 1 ayat (1)(2) dan (3).
Pasal 1 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa”seluruh wilayah Indonesia
adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia”. Sedangkan dalam pasal 1 ayat(2) UUPA, menyatakan
bahwa”seluruh bumi, air dan rang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan
YME adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”. Ini berarti bumi, air, dan angkasa dalam wilayah Republik
Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak
daripada pemiliknya saja. Demikian pula , tanah-tanah didaerah dan pulau-pulau
tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan saja.
Pada pasal 1 ayat 3 UUPA, dinyatakan bahwa “ hubungan antara bangsa
Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan ruang
angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada
sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
Oleh sebab itu, seluruh bumi, air, ruang angkasa seta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya menjadi hak seluruh bangsa Indonesia dalam hubungan
yang abadi.
Dengan adanya asas nasionalitas tersebut, terdapat jaminan mengenai hak
warga Negara Indonesia atas kepemilikan tanah maupun yang berhubungan
dengan bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam lain yang terkandung di
dalamnya. Dengan demikian warga Negara asing atau badan usaha asing tidak
mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini dapat di buktikan tentang
masalah hak dan kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia tentang
kepemilikan tanah yaitu dengan adanya Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga
Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA) yang mempunyai
perwakilan di Indonesia ,secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42
Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40
tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan
Hak Pakai (HP) atas tanah.
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga
Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing
(BHA) yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP).
Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing (WNA) atau Badan
(HM). Hubungan hukum antara Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga
Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga negara
Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air
dan ruang udara Indonesia.
Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing
dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung
sanksi “Batal Demi Hukum.” Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali
kesempatan warga negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak
atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di
Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga
dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia
diatas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari
sudut Hankamnas.
Dalam praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang
sebelumnya berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang,
dan daerah lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga
negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli
dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang
diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan
dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara
administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara
Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan
melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.
Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan
Undang-Undang, dalam hal ini UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut
penyelundupan hukum. Coba periksa Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan
setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh
kepada negara.
Akan tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996
yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA.
Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain:
WNA yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah
tinggal (Satuan Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah
yang berdiri di atas tanah Hak Pakai (HP) tersebut dapat berasal dari HP atas
Tanah Negara atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik (HM) yang diberikan
oleh Pemegang Hak Milik. Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak Milik
(HM) ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal
41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40
tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Dalam PP Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang
dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia adalah orang asing yang
kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal
berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas
tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25
tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna
bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat
diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama
berakhir. Hak Pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang,
namun dapat diperbarui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang
asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak
kalangan sudah tidak kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini,
tidak menarik minat orang asing untuk membeli rumah di Indonesia. Sebagai
perbandingan, Singapura membolehkan warga negara asing untuk memiliki
bangunan komersial, hotel dan hunian dengan jangka waktu hak tanah 99 tahun,
warga negara asing berlaku selama 30 tahun dengan perpanjangan 30 tahun.
Sedangkan di Kamboja antara 70 sampai dengan 99 tahun.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini membatasi pengertian rumah
tempat tinggal yang dapat dimiliki orang asing. Rumah tinggal yang dapat
dimiliki WNA adalah yang berdiri diatas ’hak pakai atas tanah negara’ atau ’hak
pakai diatas hak milik’. Khusus yang diatas hak milik didasarkan pada perjanjian
dengan pemegang hak milik yang dibuat dengan akta PPAT (jo. Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 7 tahun 1996 dan nomor 8 tahun
1996). Dalam PP ini tidak disebut mengenai rumah yang berdiri di atas hak pakai