• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPISTEMOLOGI ILMU DALAM PERSPEKTIF BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EPISTEMOLOGI ILMU DALAM PERSPEKTIF BARAT"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Ilmu Keislaman”

Pengampu: Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A.

Nur Kholis Labib Fahmi

PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM PASCASARJANA

(2)

EPISTEMOLOGI ILMU DALAM PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM

Nur Kholis & Labib Fahmi

A. Pendahuluan

Makalah ini ditulis sebagai kelanjutan dari kajian filsafat kelilmuan Islam yang telah berlangsung sebelumnya. Jika pembahasan mengenai ontologi ilmu sudah berhasil dilaksanakan, maka makalah epistemologi ilmu ini merupakan kelanjutannya.

Dalam banyak hal, epistemologi dipahami akan mampu menentukan kebenaran cara kerja suatu ilmu. Epistemologi dengan polanya yang tertentu akan membentuk pola kebenaran dari suatu ilmu tersebut. Bahkan, pada tahap tertentu, kebenaran yang masih selalu ingin ditemukan tersebut mampu menjadi pijakan tindakan dalam peradaban manusia, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur.

Hubungan epistemologi dengan filsafat dapat diibaratkan seperti pohon dengan rantingnya. Pohon filsafat memiliki cabang-cabang berupa subdisiplin: filsafat ilmu, etika, estetika, filsafat antropologi dan metafisika. Cabang disiplin filsafat ilmu tersebut akhirnya memiliki ranting-ranting dan sub-sub disiplin yakni logika, ontologi, epistemologi dan aksiologi. Namun ruang lingkup filsafat ilmu dapat disederhanakan menjadi tiga pertanyaan mendasar, yakni: apa yang ingin diketahui (ontologi),1bagaimana cara memperoleh pengetahuan-pengetahuan (epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi manusia (aksiologi).

Makalah ini mencoba memposisikan epistemologi ilmu dalam perspektif Barat dan Islam. Tentu saja, di antara mereka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan sekaligus. Dengan pendekatan deskriptif makalah ini disajikan.

B.Pengertian, Ruang Lingkup dan Kedudukan Epistemologi

Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata berbahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan atau ilmu, dan logos yang juga berarti pengetahuan. Epistemologi berupaya menjawab pertanyaan “apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita dapat mengetahuinya” (what can we know, and how do we know it).1 Dari dua

pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan, atau pemikiran tentang pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme memiliki arti knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing

and the means by which we know.2

Pada mulanya istilah epistemologi digunakan untuk membedakan dua cabang filsafat; yaitu epistemologi dan ontologi.3 Epistemologi

(3)

dapat diartikan sebagai studi yang menganalisa dan menilai secara kritis tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang membentuk keyakinan. Persoalan epistemologi menempati pokok bahasan yang begitu penting, sehingga seorang filosof Muslim modern Muhammad Baqir al-Shadr menyatakan, “Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilai pengetahuannya tidak ditetapkan, maka

tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun bentuknya.”4

Dalam dunia filsafat, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan di saat bersamaan menjadikan ilmu sebagai proses yakni usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu kajian ilmu. Epistemologi menanyakan apakah yang menjadi obyek kajian suatu ilmu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu; kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau relatif.5

Dalam pandangan Azizy,6 epistemologi adalah filsafat ilmu yang

berkecenderungan berdiri sendiri. Epistemologi seolah membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Ia berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan ini kemudian didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat digunakan untuk mengakui sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.

Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Gadamer,7

mengingat subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, maka kajian ilmu pada kenyataannya selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu dengan sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.

C. Epistemologi dalam Perspektif Barat

Para ilmuwan berbeda pendapat dalam menguraikan epistemologi. Louis O. Kattsoff, misalnya, mengklasifikasikan epistemologi menjadi enam, yakni rasionalisme, empirisme, fenomenologisme, intuisionisme, metode ilmiah dan hipotesis.8 Sedangkan

4 Muhammad Baqir ash-Shadr, Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), 25.

5 Ledger Wood, ”Epistemology”, 94.

6 A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman,... 2

7 Hans-Georg Gadamer, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence, (Cambridge : Cambridge : University, 1993), 12.

(4)

Pradana Boy ZTF mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.9 Dalam makalah ini, epistemologi dalam perspektif Barat diuraikan melalui tiga gambaran epistemologi, yakni Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme. Hal ini, paling tidak dalam pandangan penulis, ketiga model epistemologi tersebut dianggap “mewakili” pokok-pokok pemikiran Barat lainnya semacam positivisme, fenomenologisme, ataupun pragmatisme.

1. Rasionalisme

Secara umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan.10 Hal ini menunjukkan bahwa

sumbangan akal lebih besar daripada sumbangan indra, sehingga dapat diterima adanya struktur bawaan (ide, kategori). Dalam pandangan epistemologi rasionalisme, tidak mungkin suatu ilmu dibentuk hanya berdasarkan fakta dan data empiris (pengamatan) semata.11 Pada masa klasik, aliran rasionalisme dipelopori oleh Plato,12 sedangkan masa

modern dipelopori oleh Descartes13 dan Leibniz.14 Ketiga tokoh ini merupakan tokoh

yang paling terkenal dalam aliran rasionalisme.

Dalam polemik pemikiran Plato dan Aristoteles yang merupakan cikal bakal aliran Rasionalisme dan Empirisme, terlihat jelas bahwa Plato lebih menekankan akal sebagai sumber pengetahuan, sedangkan Aristoteles lebih menekankan indera daripada akal sebagai sumber pengetahuan. Menurut Plato, hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh, karena sifatnya selalu berubah-ubah, sehingga kebenarannya tidak dapat dipercayai. Dalam proses pencariannya, Plato menemukan bahwa ada kebenaran di luar pengamatan inderawi yang disebut “idea”. Dunia idea bersifat tetap dan tidak berubah-ubah dan kekal. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya bahwa ide-ide bawaan ini tidak ada dan dia tidak mengakui dunia semacam itu. Dia lebih mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap, dan tidak kekal, tetapi dengan pengamatan inderawi dan penyelidikannya yang terus-menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal/rasio akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan idenya dengan benda-benda yang konkret tersebut.15

Rene Descartes, sebagai peletak dasar kebangkitan filsafat di Eropa melalui filsafatnya dengan badai skeptismenya (meragukan sesuatu). Dan dalam meragukan 9 Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam, Sejarah, Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press, 2003), 12.

10 Larens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 929.

11 Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 79.

12 Plato (427-347 SM) adalah seorang filsuf Yunani yang dilahirkan di Athena.dan berguru pada Sokrates (419 399 SM) ketika usianya sudah mencapai 20 tahun dan belajar padanya sampai gurunya dihukum mati. Lalu meninggalkan Athena dan berkelana ke berbagai wilayah Eropa, Afrika dan Asia pada saat berusia 28 tahun. Lihat Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 53.

13 Rene Descartes (1596-1650 M) adalah seorang Prancis yang kemudian hidup di negeri Belanda dan dia terkenal dengan ucapannya “Cogito Ergo Sum” yang berarti “aku berfikir, karena itu aku ada”. Conny R. Semiawan. dkk.,Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (Bandung: CV. Remaja Rosdakarya, 1988), 26.

14 Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M) adalah filsuf Jerman yang dilahirkan di kota Leipzig di Jerman. Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawaili, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,... 68.

(5)

segala sesuatu maka ia harus eksis supaya dapat ragu, karena ragu merupakan satu bentuk berfikir yang berarti eksis “aku berfikir, karena itu aku ada” (cogito ergo sum). Ini adalah proposisi pertama yang baginya adalah pasti. Menurutnya, berfikir adalah suatu kebenaran yang pasti. Apakah persoalan pikiran manusia merupakan persoalan penipuan dan penyesatan atau persoalan pemahaman dan pemastian. Realitas tersebut merupakan asas filsafat Descartes dan titik tolak bagi keyakinan filosofis rasionalisme.16

Sedangkan Leibniz dalam pengetahuannya menggagas konsep fitrah (natural, alamiah) dan menganggap ide-ide, serta prinsip-prinsip umum sebagai kesiapan-kesiapan tersembunyi dalam jiwa yang tidak dirasakan. Ia membutuhkan stimulus-stimulus melalui indera hanya agar dapat beralih pada perasaan.17 Pada dasarnya,

menurut aliran ini, rasionalisme sebenarnya tidak mengingkari kegunaan indera, akan tetapi indera hanyalah sebagai perangsang akal dan memberikan laporan bahan-bahan untuk dicerna oleh akal. Akal mengatur bahan yang diterima dari indera, sehingga dapat terbentuk pengetahuan yang benar dan valid. Kalau aliran Empirisme menggunakan metode induksi, maka aliran Rasionalisme punya kecondongan ke arah metode deduksi. Aliran ini lebih banyak menggunakan logika dalam pengambilan keputusannya.

2. Empirisme

Secara etimologis, empirisme berasal dan kata Yunani yaitu empeiria/ empeiros

yang berarti berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan terampil untuk. Bahasa Latinnya yaitu experientia (pengalaman). Sehingga secara istilah, empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman atau pengalaman inderawi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan akal/rasio.18

Dengan demikian, penganut epistemologi empirisme mengembalikan pengetahuan dengan semua bentuknya kepada pengalaman inderawi. Dalam masa klasik, aliran empirisme dipelopori oleh Aristoteles,19 sedangkan pada masa modern dipelopori oleh F. Bacon, T. Hobbes, John Locke, David Hume dan John Stuart Mill. Pengetahuan inderawi menurut Aristoteles merupakan dasar dari semua pengetahuan. Tak ada ide-ide natural yang mendahuluinya. Akan tetapi, ilmu hakiki dalam pandangannya adalah ilmu

tentang konsep-konsep dan makna-makna universal yang mengungkapkan hakikat dan esensi sesuatu.20

Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris dilahirkan di London dan belajar di Universitas Cambridge mendalami ilmu pengetahuan berpandangan bahwa

16 Moh. Baqir Ash-Sadr, Falsafatuna, (Bandung: Mizan. 1993), 67-69.

17 Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, …, 71.

18 Larens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 42.

19 Aristoteles lahir di Stageira pada Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM. Ia mencapai umur 63 tahun. Memperdalam matematik pada guru-guru astronomi yakni Eadoxoi dan Kalippas.Ia terkenal dengan “Bapak Logika”. Inti sari dari ajaran logikanya yaitu Syllogismos/silogisme (mencapai kebenaran tentang suatu hal dengan menarik kesimpulan dan kebenaran yang umum. Lihat M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1986), 115-121.

(6)

tidak mungkin manusia mengetahui berbagai hakikat tanpa perantara indera.21

Kemudian menurut Thomas Hobbes (1588-1678), pengalaman inderawi merupakan permulaan dari segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh oleh inderalah yang merupakan kebenaran, sedangkan pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data inderawi belaka.22

Menurut John Locke (1632-1704), semua pengetahuan berasal dari pengalaman, akal ibarat kertas putih dan akan digambari oleh pengalaman tadi sehingga lahirlah apa yang disebut ide, sehingga pengetahuan terdiri atas connection and agreement (disagreement) of our ideas. Dengan “ide” ini pasti tidak dimaksud ide umum, atau bawaan yang juga disebut kategori, namun gambaran mengenai data empiris.23

Kalau Aristoteles, F. Bacon dan J. Locke mengakui adanya alam realitas dengan segala hakikat yang ada padanya, berbeda dengan David Hume yang mengingkari adanya substansi material sebagai akibat dan keterputusannya pada indera saja, serta pengetahuan pengetahuan yang berubah secara alami.24 Kemudian David Hume

menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika/kemestian sebab akibat. Kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terdahulu. Pengalamanlah yang memberikan informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai dengan waktu dan tempat.25

Selanjutnya J. Stuart Mill (1806-1873) mengemukakan bahwa pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang paling benar, akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Mill memilih menggunakan pola pikir induksi, karena menurutnya induksi sangat penting, karena jalan pikirannya dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui.26

Sebagai produk pemikiran, empirisme memiliki kelemahan-kelemahan. Antara lain:

a. Indera terbatas. Contohnya; benda yang jauh akan kelihatan kecil padahal benda itu besar, keterbatasan kemampuan indra dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana adanya, sehingga akan menimbulkan satu kesimpulan tentang pengetahuan yang salah.

b. Indera menipu. Contohnya; pada orang yang sakit malaria, gula rasanya pahit dan udara panas dirasakan dingin. Hal ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah.

c. Obyek yang menipu. Contohnya; ilusi, fatamorgana yang sebenarnya obyeknya ada namun indera tidak bisa menjangkaunya.

21 Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, 77.

22 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 22.

23 Van Peurson, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993), 82.

24 Fu ‘ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, …, h. 87.

25 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 43-44.

(7)

d. Kelemahan yang berasal dari indera dan obyek sekaligus. Contohnya; indera (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika manusia melihat dari dekat, maka yang kelihatan kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya.27

3. Kritisisme

Antara rasionalisme dan empirisme telah terdapat pertentangan yang sangat jelas, yakni antara rasio dan pengalaman sebagai sumber kebenaran pengetahuan. Manakah yang sebenarnya sebagai sumber pengetahuan itu?28 Karena kedua aliran tersebut saling

mempertahankan pendapatnya masing-masing, maka untuk “mendamaikan” pertentangan kedua aliran tersebut, tampillah Immanuel Kant sebagai seorang filsuf Jerman (1724-1804). Kant mengubah kebudayaan dengan menggabungkan aliran rasionalisme dan empirisme, sehingga terbentuk aliran yang dikenal dengan kritisisme. Kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel Kant dengan memulai perjalanannya menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia, sekaligus kelemahan kemampuan indera.29

Kant bertanya secara kritis, apakah syarat-syarat pengetahuan manusia itu?.Bila orang-orang mengetahui syarat-syarat pengetahuannya maka tidak akan terjerumus ke dalam kekacauan kebenaran.30 Isi utama dari Kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena terdapat tiga pertanyaan yang mendasar, yakni: Pertama, apa yang dapat saya ketahui? (pengetahuan); Kedua, apa yang harus saya lakukan? (etika); Dan ketiga, apa yang boleh saya harapkan? (estetika).31 Sehingga dari tiga pertanyaan mendasar tersebut maka memunculkan tiga karya besar yang menunjukkan kritisismenya, yakni Critique of Pure Reason (1781), Critique of Practical Reason (1788) dan Critique of Judgment

(1790).

D. Epistemologi Ilmu dalam Perspektif Islam

Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dan diri manusia sendiri.32 Kajian terhadap kitab suci akan kembali melahirkan ilmu agama,

27 Ahmad Tafsir, T. Jun Surjaman (ed.), Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales Sampa Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), 23-24.

28 Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam FiIsafat, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 107.

29 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan Plara, 1997), 76.

30 Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 30. 31 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat …, 76.

(8)

sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti, termasuk di dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannya dengan dimensi fisiknya. Akan tetapi, suatu kajian pada dimensi non fisiknya, yaitu perilaku, watak dan eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan ilmu humaniora. Adapun kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan pada tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan ilmu filsafat.33

Oleh karena itu, jika dilihat pada obyek kajiannya, maka agama, ilmu dan filsafat adalah berbeda, baik dalam hal metode yang ditempuhnya, maupun tingkat dan sifat dari kebenaran yang dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari sumbernya, maka ketiganya berasal dari sumber yang satu, yaitu ayat-ayat-Nya. Dalam kaitan ini, maka ketiganya pada hakikatnya saling berhubungan dan saling melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis, filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang menyeluruh, sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual, memasuki dimensi yang Ilahi.

Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi kenabian, adalah bidang kajian ilmu agama, akan tetapi jika dilihat dari pemahaman, pemikiran dan pentafsiran manusia terhadap doktrin, kitab suci, Tuhan dan kenabian itu, maka kajian atas pemikiran dan pemahaman manusia tersebut dapat masuk pada kajian ilmu humaniora. Sedangkan kajian filsafat dapat memberikan penjelasan dan konsep mengenai Tuhan, doktrin dan kenabian, tetapi sifatnya spekulatif, dan hanya agama yang dapat memberikan tata cara yang teknis bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-ajaran-Nya, yang dibawa oleh para Nabi utusan-Nya dan yang tertuang dalam kitab suci.

Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya “bercorak tauhid”, dan tauhid dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan non syariah.

Epistemologi Islam lahir dan berkembang secara dinamis dalam kurun waktu yang panjang. Bahkan, perkembangannya bukan hanya saja secara ilmiah semata, melainkan juga karena dinamika politik dan keberpihakan ideology yang sangat kental. Dengan demikian, dalam tulisan ini penulis secara sengaja “mencukupkan” pada peta epistemologi sebagaimana yang diperkenalkan Muhammad Abid al-Jabiri dalam kedua karya besarnya;

Takwin al-‘Aql al-Arabi dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi. Dalam pandangan al-Jabiri, epistemology Islam secara keseluruhan terpola ke dalam tiga bentuk, yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani.

1. Bayani

(9)

Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri menjelaskan berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab mengartikan sebagai

al-fashl wa al-infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al-dhuhur wa al-idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode

bayani.34

Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Makna terminologi ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.

Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang hingga ke furu’ atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.35

Pada perkembangan selanjutnya, bayani tidak lagi sekedar penjelas atas kata kata sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut. Paduan antara metode fikih yang eksplanatoris dan theologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemologi

bayani ini terlihat sangat kental mewarnai.

Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog); dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks karena adanya kesamaan ‘illat. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1) Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 2) al-far’ yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, 3) hukum

al-34 Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 60.

(10)

ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, 4) ‘illah yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl .36

Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far’u (cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (‘illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr , yakni sama sama memabukkan.

Menurut al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana far’u

mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl , 2) qiyas fi ma’na al-nash di mana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang sama, 3) qiyas al-kahfi di mana

‘illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Metode qiyas bayani ini tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik (ghaib).37

2. Irfani

Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan ma’rifah yang berarti pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau ma’rifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasianalitas (‘aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.38

Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase pembibitan, Terjadi pada abad pertama Hijriyah dengan bentuk prilaku zuhud atas dasar takut dan mengharap pahala (al-khauf wa al-raja’). Kedua, fase kelahiran terjadi pada abad kedua Hijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, di tangan Robiah al-Adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan atas dasar cinta (al-hubb) pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad 3 – 4 H, Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5 H. Pada periode ini, irfani mencapai masa gemilang. Irfani menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan. Kelima, fase spesifikasi terjadi abad ke-6 dan 7 H berkat pengaruh al-Ghazali yang besar, irfani menjadi metode pemikiran yang semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat Muslim. Pada fase ini, pengertian irfani telah terpecah dalam 2 aliran, yaitu

36 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992), 146; A. Khudori Sholeh, Wacana Baru…, 188-189.

37 Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi...147.

(11)

irfani Sunni dan irfani teoretis. Keenam, fase kemunduran terjadi abad ke -8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.39

Epistemologi irfani tidak didasarkan secara utama atas teks sebagaimana bayani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep, kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.40

3. Burhani

Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argumen yang jelas. Bahasa lainnya adalah

al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-idzhar (menampakkan). Secara umum ia berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.41

Sebagai aktifitas kognitif, epistemologi burhani merupakan gerakan rasional dengan melakukan penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Burhani ini adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan penerjemahan buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam peradaban Arab. Karena penerjemahan buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik untuk mendukung akal retoris melawan serbuan tren akal gnostis, maka tidak heran kalau dalam praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Dan terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologi maupun filsafat Islam.42

Cara berfikir analitik ala Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama kali lewat progam penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Al-Makmun. Pemikir Muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al-Khindi. Namun, karena masih dominannya epistemologi

bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Epistemologi burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran Islam Arab setelah masa al-Razi. Metode burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa al-Farabi.43

Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari

jenis-39 Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, 69. 40 A. Khudori shaleh, Wacana Baru Filsafat Islam…, 204. 41 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, 383. 42 A. Khudori shaleh, Wacana Baru …, 208.

(12)

jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa obyek-obyek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, di manapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.44

E. Integralisasi dan Objektifikasi; Merespon Pemikiran Epistemologi Kuntowijoyo Dalam kesadaran berkeilmuan yang berperspektif antara Barat dan Islam, Kuntowijoyo menyatakan bahwa “ilmu-ilmu sekular adalah produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah produk bersama seluruh manusia beriman”.45

Hal ini dinyatakannya karena sekarang ini, menurutnya, pemikiran yang ada adalah produk, partisipan, dan konsumen ilmu-ilmu sekular karena pada kenyataannya memang dilahirkan oleh sekularisme. Tidak bijak jika para ilmuwan Muslim, khususnya, menistakan pemikiran secular, melainkan perlu menghormatinya dengan cara mengkritisi dan meneruskan perjalanannya.

Kuntowijoyo menguraikan pentingnya dua langkah dalam menyikapi pertemuan perspektif Barat dan Islam dalam dunia keilmuan. Dua langkah tersebut adalah integralisasi dan objektifikasi.46

Integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Qur’an serta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi), sementara objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang. Secara sederhana, berikut ini adalah gambaran dari ide tersebut.

“Alur pertumbuhan ilmu-ilmu sekular”

Filsafat barat menolak teosentrisme karena menganggap sumber kebenaran adalah manusia dengan segala potensinya. Dengan menempatkan manusia sebagai kedudukan tertinggi dan sebagai subjek penuh inilah yang diistilahkan dengan antroposentrisme. Diferensiasi ialah pemisahan antara ilmu dengan unsur wahyu dana ketuhanan. Sementara ilmu sekular mengaku diri sebagai objektif, value free, bebas dari kepentingan lainnya.

“Alur pertumbuhan integralistik”

Agama merupakan symbol pengakuan manusia dengan segala potensinya tidak bisa terlepas dari unsur ketuhanan. Namun di saat bersamaan, pengakuan akan ketuhanan

44 A. Khudori shaleh, Wacana Baru …, 217. 45 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, ..50. 46 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 49-79.

Filsafat antroposentrisme diferensiasi ilmu sekular

(13)

diproses dalam ruang kemanusiawian manusia. Kesadaran semacam ini yang diistilahkan dengan teoantroposentrisme. Dedirefensiasi adalah “rujuk kembali” manusia dengan menyatukan agama dengan ilmu. Ilmu integralistik adalah tujuan dan bentuk dari integrasi yang diharapkan.

“ilmu Barat dan ilmu Islam”

PERIODE SUMBER ETIKA PROSES

SEJARAH

ILMU

BARAT Modern Akal Humanisme Diferensiasi Secular, otonom ISLAM Pascamodern Wahyu-akal

Humanisme-teosentris

Dediferensias i

Integralistik

“Alur objektifikasi”

Internalisasi eksternalisasi

Objektifikasi

Subjektifikasi gejala objektif

Objektifikasi adalah proses penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Bermula dari internalisasi nilai, tidak dari subjektifikasi kondisi objektif. Objektifikasi merupakan penyebaran pemahaman internal tentang nilai-nilai Islam kepada semua orang, baik muslim maupun nonmuslim. Misi rahmatan li al-alamin merupakan misi proyek objektifikasi ini. Namun di saat bersamaan, objektifikasi menghindari subjektifitas dan dominasi.

F. Penutup

Epistemologi sebagai bagian dari filsafat mengalami tarik-ulur dari aneka ragam pemikiran yang dipengaruhi latar belakang masing-masing. Hal ini wajar sebagaimana terjadi dalam ruang filsafat yang memang lahir dan berkembang dalam horizon pemikiran; yang subjektif, universal, radikal, dan kritis.

(14)

Setelah mengalami proses dinamika yang panjang, baik epistemologi Barat maupun epistemoogi Islam senantiasa dapat dikembangkan seiring perkembangan filsafat itu sendiri. Itu sebabnya, perubahan epistemologi sangat dimungkinkan terjadi meskipun sarat dengan negosiasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, dkk.,Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis Perspektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.

Azizy, A. Qodri, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Dipertais Agama RI, 2003.

Bakar, Osman, Hierarki Ilmu ; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto, Bandung : Mizan, 1998.

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997. Bagus, Larens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Boy ZTF, Pradana, Filsafat Islam, Sejarah, Aliran dan Tokoh, Malang: UMM Press, 2003. Gadamer, Hans-Georg, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence,

Cambridge : Cambridge : University, 1993.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1986.

Ismail, Fu’ad Farid dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,

Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992.

____________________, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000.

Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Nicholson, Reynold A., Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman Jakarta: Rajawali, 1987.

Peurson, Van, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1993.

Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam FiIsafat, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Semiawan, Conny R., dkk.,Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: CV. Remaja

Rosdakarya, 1988.

(15)

Ash-Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan, 1991.

Soleh, A. Khudori, “M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam”, dalam, A. Khudori Soleh, (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.

Supartono, Suparlan, Filsafat ilmu Pengetahuan,Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales Sampa Capra, Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Semantik adalah merupakan cabang dari ilmu bahasa yang mengkaji makna sebuah kata maupun kalimat,yang dari masa kemasa yang selalu berkembang sesuai dinamika jaman yang baik

Oleh sebab itu, pembahasan ekofeminisme Vandana Shiva fokus pada persoalan penindasan alam yang identik dengan penindasan perempuan dalam budaya patriarki yang bertolak

Dengan demikian, makna denotatif ilmu mengcu pada lingkup pengertian yang sangat luas baik itu pengetahuan yang dimiliki oleh semua manusia maupun pengetahuan ilmiah

Pemahaman Hadis tentang keutamaan bercocok tanam yang dijadikan sebagai objek tulisan baik ditinjau dari makna tekstualnya maupun kontekstualnya mengandung banyak

Kompleksitas ilmu-ilmu yang berkembang dalam peradaban Islam; bahwa ilmu-ilmu agama hanya salah satu bagian dari berbagai cabang ilmu secara keseluruhan.. Kemajuan

Tujuan akhir atau sempurna adalah dalam pendidikan Islam bersifat mutlak, karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal,

Terkait dengan persoalan nilai dan etika serta Hak Asasi Manusia, pembelajaran IPS yang tepat sangat dibutuhkan di setiap bangsa dalam menjaga eksistensinya dan menghadapi

Adapun perkataannya “Apakah kami boleh memerangi mereka?” Nabi menjawab, “Tidak, selama mereka masih melaksanakan shalat,” mengandung makna seperti yang telah lalu, yaitu tidak boleh