• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Tugas Pokok dan Fungsi Maujana Nagori dalam Pembangunan Desa di Nagori Mekar Sari Raya Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi Tugas Pokok dan Fungsi Maujana Nagori dalam Pembangunan Desa di Nagori Mekar Sari Raya Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Optimalisasi

Secara umum, pengertian optimalisasi adalah pencarian nilai terbaik dari yang tersedia dari beberapa fungsi yang diberikan pada suatu konteks. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa optimalisasi berasal dari kata Optimal artinya terbaik atau tertinggi. Mengoptimalkan berarti menjadikan paling baik atau paling tinggi. Sedangkan optimalisasi adalah proses memaksimalkan sesuatu, dengan kata lain proses menjadikan sesuatu menjadi paling baik atau paling tinggi. Jadi, optimalisasi adalah suatu proses, cara dan perbuatan untuk mencari solusi dari beberapa masalah, dimana yang terbaik adalah sesuai dengan kriteria tertentu.

Dalam penelitian ini, yang dijadikan untuk menjadi lebih baik dan maksimal adalah tugas pokok dan fungsi Maujana Nagori atau BPD. Tugas pokok dan fungsi Maujana Nagori pada hakikatnya merupakan mandat lembaga sehingga upaya pengembangan kapasitas Maujana Nagori menjadi perhatian yang sangat penting agar Maujana Nagori menjadi sebuah lembaga yang berdaya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan optimal.

(2)

1. Menggunakan Strategi Capacity Building Secara Bertahap

Strategi ini dilakukan dengan masuk pada penguatan kapasitas personal, penguatan kapasitas organisasional lokal serta penguatan institusional. Pertama, penguatan kapasitas personal BPD dilakukan pada sisi aktor individu dengan melakukan sharring pemahaman atas perubahan struktur politik yang terjadi di level nasional maupun desa serta memberikan pemahaman tentang posisi barunya. Kedua, penguatan dilakukan pada sisi organisasional dengan melakukan sharring pemahaman berkaitan dengan peningkatan kapasitas internal kelembagaan BPD. Ketiga, penguatan dilakukan pada sisi institusional dengan melakukan sharring dan pemahaman atas fungsionalisasi kelembagaan BPD sebagai lembaga perwakilan desa.

2. Strategi capicity building ditindaklanjuti dengan melakukan pendampingan secara aktif pada lembaga BPD untuk lebih menempa kemampuan BPD baik dalam mengurusi internal lembaganya maupun keluar berkaitan dengan kemampuan voice dan control. Berkaitan dengan kemampuan voice dan control, BPD malaksanakan kerja koordinatif bersama pemerintah desa untuk merumuskan kebijakan desa dan APBDes, serta melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Sedangkan dalam kaitannya dengan relasi sosial BPD dituntut agar mampu menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat.

(3)

Hubungan antar steakholders di level desa perlu ditata secara lebih partisipatif serta membangun sebuah hubungan yang mutual trust dalam rangka kemitraan. Realisasinya, forum-forum seperti rembung desa perlu dihidupkan kembali. Lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi dalam memberikan kontribusi bagi pengutan BPD tersebut perlu menggunakan pendekatan partnership atau kemitraaan. Pilihan ini didasarkan gagasan untuk membawa proses politik di level desa dalam sebuah kerangka kerja yang menempatkan semua stakeholder pada posisi yang seimbang (sesuai dengan fungsi dan perannya) serta sebagai upaya untuk membangun kembali rasa saling percaya antar stakeholder yang ada di desa.

Upaya membangun komunikasi dialogis antar stakeholder melalui pendekatan partnership dijalankan dengan tidak mengabaikan munculnya sikap kritis yang diarahkan sebagai mekanisme untuk saling mengingatkan agar konsisten menjalankan kinerjanya sesuai peran dan fungsinya masing-masing.

2.2 Konsep Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Abdullah (2007:171) mendefinisikan “Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa yang berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.”

(4)

Kehadiran BPD merupakan format lembaga baru yang menggantikan fungsi Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang tidak lagi berjalan. BPD merupakan lembaga musyawarah desa yang berbeda dengan LMD. Keanggotaan BPD tidak berasal dari unsur Pemerintah Desa baik Kepala Desa, Sekretaris Desa, maupun Kepala Dusun. Sedangkan dalam LMD, Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Kepala Dusun memegang peranan penting sebagai pemimpin. Sebenanrnya sudah terdefinisi dengan jelas bahwa BPD akan berperan sebagai sebuah lembaga yang mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pembangunan di desa, kemudian akan dilaksanakan sepenuhnya oleh kepala desa sebagai eksekutif, melalui sebuah mekanisme kontrol dari BPD, hingga pada penerimaan laporan pertanggungjawaban kepada BPD (Tangklisan, 2003:175).

2.2.1 Konsep BPD dalam Undang – Undang No. 6 Tahun 2014

Berdasarkan pasal 1 ayat (4) Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa dijelaskan bahwa:

“Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.”

(5)

Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.Pimpinan dan anggota BPD tidak di perbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa.

2.2.2 Fungsi, Tugas Pokok, Hak dan Kewajiban BPD

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai peranan yang besar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yakni membantu Kepala Desa dalam merumuskan dan menetapkan terkait kebijakan-kebijakan desa dan perencanaan pembangunan desa secara keseluruhan. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2014 fungsi BPD dalam penyelenggaraan pembangunan desa meliputi :

a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa.

b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa dan c. Melakukan pengawasankinerja Kepala Desa.

Adapun tugas pokok Badan Permusyawarata Desa (BPD) meliputi :

1. Meminta pertanggungjawaban kepala desa atas nama rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.

2. Menyalurkan aspirasi masyarakat kepada instansi yang berwenang. 3. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembangunan desa.

4. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembinaan perekonomian masyarakat desa.

5. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka ketertiban dan ketentraman masyarakat desa.

6. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka penyelesaian perseisihan/permasalahan antara warga masyarakat desa.

7. Melaksanakan pengawasan kerjasama antar desa.

(6)

Pasal 63 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, Badan Permusyawaratan Desa mempunyai kewajiban, antara lain:

(1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang DasarNegaraRepublikIndonesia Tahun 1945, serta mempertahankandan memelihara keutuhan Negara Kesatuan RepublikIndonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.

(2) Melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

(3) Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat desa.

(4) Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan.

(5) Menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat desa.

(6) Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan desa.

Pasal 61 Badan Permusyawaratan Desa berhak:

a. Mengawasidan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa.

b. Menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

c. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugasdan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Eksistensi dibentuknya BPD merupakan mitra bagi Pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun pembangunan desa dari proses perencanaannya hingga pada pengawasannanya. BPD berperan dalam melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, pengawasan dan artikulasi aspirasi masyarakat.

1. Fungsi Legislasi

(7)

keterlibatan BPD dalam menetapkan Peraturan Desa (Perdes). Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa bahwa fungsi dan wewenang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diantaranya adalah “Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa Bersama Kepala Desa.”

Di dalam pembuatan peraturan Desa (Perdes) tersebut tentunya dimulai dengan suatu perancangan. Secara normatif rancangan tersebut bersumber dari dua lembaga yakni:

1) Rancangan yang berasal dari Eksekutif Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa), Dalam pasal 69 ayat (3) UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desadisebutkan bahwa Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Adapun jenis-jenis peraturan dalam pasal 69 terdiri dari :

a. Peraturan Desa

Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Dalam Pasal 79 Ayat (2) UU No. 6 Tahun 2014 bahwa Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan Pembangunan Desa disusun secara berjangka meliputi:

a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desauntuk jangka waktu 6 (enam) tahun.

(8)

RencanaPembangunan Jangka Menengah Desa untukjangka waktu 1 (satu) tahun.Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Desa.

c) Peraturan Desa tentang RPJMDes dan RKPDes merupakan satu-satunya dokumen perencanaan yang selanjutnya menjadi pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

b. Peraturan bersama Kepala Desa

Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerja sama antar Desa.

c. Peraturan Kepala Desa

Peraturan Kepala Desa merupakan peraturan yang di buat Kepala Desa tentang pelaksanaan Peraturan Desa yang diundangkan oleh Sekretaris Desa dalam lembaran desa dan berita desa.

2) Rancangan yang berasal dari Legislatif Desa (Badan Permusyawaratan Desa) yang disebut rancangan peraturan desa inisiatif berupa tata tertib Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan peraturan lain yang dianggap relevan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat desa.

(9)

dalam kurun waktu satu tahun. APBDesa terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa dan pembiayaan. Rancangan APBDesa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APBDesa setiap tahun dengan Peraturan Desa.Berdasarkan definisi tersebut maka APBDes merupakan rencana operasional tahunan dari program pemerintahan dan pembangunan desa yang dijabarkan dan diterjemahkan dalam angka-angka rupiah yang mengandung perkiraan target, pendapatan dan perkiraan batas tertinggi belanja desa.

2. Fungsi Pengawasan

Widjaja (2003:165) menjelaskan bahwa BPD sebagai lembaga legislatif desa berperan dalam melaksanakan fungsi pengawasanterhadap kinerja pemerintah desa atas pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) serta keputusan Kepala Desa.

Menurut Steiss (1982) dalam Kartasasmita (1997:64), salah satu fungsi pengawasan adalah meningkatkan kebertanggungjawaban (accountability) dan keterbukaan (transparancy) sektor publik.Pengawasan pada dasarnya menekankan langkah-langkah pembenahan atau koreksi (corrective actions) jika dalam suatu kegiatan terjadi kesalahan atau perbedaan dari tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan.

(10)

masukan dan peran serta para pelaksana di lapangan sehingga dapat menghasilkan suatu standar yang realistik dan akurat. Adapun konsep pengawasan menurut Mockler, mengungkapkan 4 hal yaitu :

a. Harus adanya rencana, standard atau tujuan sebagai tolok ukur yang ingin dicapai.

b. Adanya proses pelaksanaan kerja untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

c. Adanya usaha membandingkan mengenai apa yang telah dicapai dengan standard, rencana, atau tujuan yang telah ditetapkan.

d. Melakukan tindakan perbaikan yang diperlukan. 3. Fungsi Representatif

Badan Permusyawaratan Desa selain berperan dalam melaksanakan fungsi legislasi dan pengawasan, bagi anggota BPD terbuka kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan beraneka ragam pandangan yang berkembang secara dinamis dalam masyarakat. Dengan demikian jarak antara yang memerintah dengan yang diperintah dapat diperkecil.

Aspirasi dari masyarakat yang diserap oleh BPD dilakukan melalui mekanisme atau cara :

1. Penyampaian langsung kepada BPD Penyampaian aspirasi oleh warga kepada BPD tidak jarang pula dilakukan baik secara individu maupun bersama-sama dengan menyampaikan langsung kepada anggota BPD yang ada di lingkungannya (RW).

(11)

yaitu ketua RT/RW, tokoh agama, adat, masyarakat serta mengikut sertakan BPD guna membahas mengenai permasalahan maupun program yang sedang atau akan dijalankan oleh Pemerintah Desa.

Adisasmita (2006:13) mengemukakan bahwa untuk menampung, menjaring dan menyaring kepentingan dan aspirasi dari berbagai kelompok dalam masyarakat agar dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah adalah sebuah pendekatan kultural. Dalam community development mengandung upaya untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki (participating and belonging together) terhadap program yang dilaksanakan.

2.3 Konsep Capacity Building (Pengembangan Kapasitas)

2.3.1 Pengertian Capacity Building

Penelusuran definisi capacity building memiliki variasi antar satu ahli dengan ahli lainnya. Sebelum membahas lebih jauh mengenai Capacity Building, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu pengertian dari kapasitas. Secara sederhana kapasitas dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Milen (2004 : 12) bahwa “Kapasitas adalah kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi sebagaimana mestinya secara efektif, efisien dan terus-menerus.”

(12)

kapasitas sebagai proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi, dan masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk:

1. Menjalankan fungsi pokok, memecahkan masalah, menentukan dan mencapai tujuan.

2. Memahami dan menghubungkan kebutuhan pengembangan mereka dalam konteks yang lebih luas dan dengan cara yang terus menerus.

Selanjutnya pengertian mengenai karakteristik dari pengembangan kapasitas menurut Milen (2004 : 16) mengemukakan bahwa:

“Pengembangan kapasitas tentunya merupakan proses peningkatan terus menerus (berkelanjutan) dari individu, organisasi atau institusi, tidak hanya terjadi satu kali. Ini merupakan proses internal yang hanya bisa difungsikan dan dipercepat dengan bantuan dari luar sebagai contoh penyumbang (donator).”

Sementara Soeprapto (2006) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016 : 11) juga mendefinisikan mengenai Capacity building (pengembangan kapasitas) yakni :

a. Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses. b. Pengembangan kapasitas adalah proses pemelajaran multi-tingkatan

meliputi individu, grup, organisai dan sistem.

c. Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap.

d. Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionable learning dimana pengembangan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pemelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan.

Dari keseluruhan definisi di atas, pada dasarnya Capacity building mengandung kesamaan dalam tiga aspek sebagai berikut:

a. Pengembangan kapasitas merupakan suatu proses.

(13)

c. Selanjutnya proses tersebut dimaksudkan untuk menjamin kesinambungan organisasi melalui pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya sesuai tujuan dan sasaran organisasi yang bersangkutan.

Berdasarkan definisi Capacity Building diatas dapat dipahami bahwa Capacity building merupakan serangkaian upaya untuk membantu pemerintah, masyarakat atau individu-individu dalam mengembangkan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Program Capacity Building (pengembangan kapasitas) pada dasarnya didesain untuk memperkuat kemampuan dan perbaikan kualitas sumber daya manusia, mendorong organisasi agar dapat berjalan sesuai dengan fungsinya, serta upaya untuk menciptakan kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh suatu lembaga agar dapat berfungsi dengan baik. Pengembangan kapasitas termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan, reformasi peraturan dan kelembagaan, pengetahuan, juga asistensi finansial.

(14)

2.3.2 Tujuan Capacity Building

Menurut Keban (2000) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016 : 7) bahwa Capacity Building (Pengembangan Kapasitas) adalah serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan responsifitas dari kinerja.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, penjelasan tersebut menunjukkan bahwa adapun tujuan dari Capacity Building (pengembangan kapasitas) dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1. Secara umum diidentikkan pada perwujudan sustainabilitas (keberlanjutan) suatu sistem.

2. Secara khusus ditujukan untuk mewujudkan kinerja yang lebih baik dilihat dari aspek :

a. Efisiensi dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome;

b. Efektifitas berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan;

c. Responsifitas yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut;

d. Pembelajaran yang terindikasi pada kinerja individu, grup, organisasi dan sistem.

2.3.3 Persyaratan-persyaratan dalam Capacity Building

Sebelum pengembangan kapasitas dilaksanakan ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui. Adapun persyaratan-persyaratan tersebut menurut (Yuwono, 2003) dalam Soeprapto (2006) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016 : 22)

a. Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting karena menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pengembangan kapasitas. Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan program, maka sudah semestinya inisiatif partisipasi ini dibangun sejak awal hinga akhir program pengembangan kapasitas dalam rangka menjamin kontinuitas program.

(15)

berbagai alternatif dan metode pengembangan kapasitas yang bervariasi, dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pengembangan kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan bentuk dari sebuah inovasi). Pengembangan mengabaikan, menghambat ataupun tidak memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena pekerjaan bukanlah sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis sesuai dengan tuntutan publik yang kian tinggi.

c. Kemudian, akses terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan program pengembangan kapasitas. Pada bentuk organisasi yang tradisional dan birokratis, semua informasi dipegang dan dikuasai oleh pimpinan. Kondisi seperti ini jelas tidakmemungkinkan pengembangan kapasitas.Sebaliknya, pengembangan kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan akses dan kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan efektif guna mendukung program yang akan dilaksanakan.

d. Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah urgennya. Akuntabilitas penting untuk menjaga bahwa program pengembangan kapasitas juga harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga menuju pada suatu hasil yang diinginkan. Dengan kata lain akuntabilitas dibutuhkan dalam rangka penjaminan bahwa program pengembangan kapasitas merupakan kegiatan yang legitimate, kredibel, akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan. Persyaratan yang terakhir adalah kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kepemimpinan memegang peranan penting dalam kesuksesan program pengembangan kapasitas organisasi.

e. Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pengembangan kapasitas antara lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap ide-ide baru (receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian (caring), penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta penghormatan kepada orang lain (respect to ople). Semakin pemimpin memberikan kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah organisasi.

2.3.4 Dimensi dan Tingkatan Capacity Building

Dalam pengembangan kapasitas memiliki dimensi, fokus dan tipe kegiatan. Dimensi, fokus dan tipe kegiatan tersebut menurut Grindle (1997) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016:128) adalah sebagai berikut:

(16)

2. Dimensi penguatan organisasi, dengan fokus:tata manajemen untuk meningkatkan keberhasilan peran dan fungsi, serta tipe kegiatan seperti: sistem insentif, perlengkapan personil, kepemimpinan, budaya organisasi, komunikasi, struktur manajerial.

3. Reformasi kelembagaan, dengan fokus: kelembagaan dan sistem serta makro struktur, dengan tipe kegiatan: aturan main ekonomi dan politik, perubahan kebijakan dan regulasi, dan reformasi konstitusi.Berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, perhatian diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain pendidikan dan latihan (training), pemberian gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistim rekruitmen yang tepat. Dalam kaitannya dengan pengembangan organisasi, pusat perhatian ditujukan kepada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro. Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistim insentif, pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi dan struktur manajerial. Sedangkan berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistim dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam konteks ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan aturan main dari sistem ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi sistem kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan berkembangnya masyarakat madani (Grindle (1997) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold 2016: 19).

(17)

Tabel 2.1Dimensions, Focus and Types of Activities of Capacity Building Initiatives

No Dimension Focus Types of activities

1 Human Resources

Development

3 Institution Reform Institutional and system Macrostructures

Rules of the game for

economic and political regimes

Policy and legal change constitutional reform

Sumber: Grindle, M.S. (1997) sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold (2016: 9). Dari pendapat yang dikemukakan oleh Grindle (1997) diatas dapat diketahui bahwa dimensi pengembangan kapasitas terdiri dari tiga tingkatan yang saling terkait yaitu dimensi pengembangan kapasitas pada level Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi dan lembaga dengan penjelasan yang lebih dijabarkan mengenai fokus kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan kapasitas.

(18)

a. Tingkat individu, meliputi pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan etika.

b. Tingkat kelembagaan, meliputi sumber daya, ketatalaksanaan, struktur organisasi, dan sistem pengambilan keputusan.

c. Tingkat sistem meliputi: peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukung.Untuk lebih jelasnya, ketiga tingkatan pengembangan kapasitas ini digambarkan pada bagan berikut:

Gambar 2. 1Tingkatan Pengembangan Kapasitas (Leavit dalam Djatmiko 2004, Sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold, 2016: 106)

Ketiga tingkatan ini saling terkait dan mendukung, sehingga prosesnya harus dilakukan secara bersama-sama. Pembagian tingkatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa fokus peningkatan kapasitas dalam mencapai sasaran secara efektif dan menentukan langkah-langkah proses perubahan secara operasional, sehingga benar-benar mencapai sasaran yang ingin dicapai. Pada tingkatan individu adalah individu sebagai sumber daya manusia organisasi yang harus ditingkatkan kemampuan dan profesionalismenya baik itu pengetahuan, kompetensi, keterampilan maupun etika kerja.

(19)

terdiri dari dua unsur utama, yaitu unsur perangkat keras (hardware) dan unsur perangkat lunak (software). Unsur perangkat keras organisasi bisa meliputi sarana dan prasarana fisik seperti infrastruktur (gedung), struktur organisasi, serta dukungan anggaran. Sedangkan perangkat lunak organisasi adalah kultur organisasi, prosedur kerja, dan sumber daya informasi yang dimiliki organisasi dalam proses ketatalaksanaan dan pengambilan keputusan.

Sedangkan tingkatan sistem, suatu organisasi harus melakukan upaya proses perbaikan pada sistem, kebijakan dan berbagai aturan yang menjadi dasar berbagai program, aktivitas dan kegiatan pada organisasi. Dalam mengembangkan kualitas sistem ini, yang menjadi fokus utama adalah perubahan pada kebijakan dan peraturan yang dianggap menghambat kinerja optimal organisasi.

Dari teori yang dikemukakan oleh Grindle (1997) dan Leavit diatas dapat diketahui bahwa dimensi pengembangan kapasitas dilakukan pada tiga tingkatan yaitu pada level individu, kelembagaan dan sistem, hanya saja Grindle (1997) lebih menjeleskan mengenai fokus kegiatan dalam pengembangan kapasitas, sementara Leavit lebih memfokuskan pada penjelasan mengenai aspek-aspek yang harus dikembangkan dalam dimensi pengembangan kapasitas.

2.3.5 Capacity Building Kelembagaan

(20)

pembangunan dimana semua orang (pihak) memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka.

Pentingnya pengembangan kapasitas kelembagaan adalah untuk menjadikan suatu lembaga lebih efektif dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara berkelanjutan sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan kapasitas kelembagaan dapat juga menunjuk pada upaya yang mendukung kemampuan dan keberlanjutan sumber daya manusia, organisasi, dan sistem dalam kerangka kelembagaan sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi tantangan eksternal dan dapat memberikan kontribusi dalam mencapai alternatif pembangunan.

2.4 Definisi Konsep

Konsep adalah abstraksi yang dibentuk untuk menggeneralisasikan hal-hal yang bersifat khusus. Menurut Singarimbun (1999:24), menyatakan bahwa kerangka konsep merupakan defenisi untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial ataupun alami. Berdasarkan kerangka teori yang dikemukakan sebelumnya, dapat disusun defenisi konsep sebagai berikut :

(21)

2. Pengembangan Kapasitas (capacity building) adalah proses mengembangkan kemampuan individu, kelompok, organisasi dan institusi untuk menghasilkan kinerja pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, memecahkan permasalahan, merumuskan dan mewujudkan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan serta memahami dan memenuhi kebutuhan pembangunan secara berkelanjutan.

Adapun operasionalisasi dari konsep Optimalisasi Tupoksi Maujana Nagori yaitu menggunakan pendekatan konsep pengembangan kapasitas yang dapat dianalisis dengan indikator sebagai berikut:

1) Kapasitas Individu a. Pengetahuan b. Keterampilan c. Etika

2) Kapasitas Kelembagaan d. Sumber daya

e. Ketatalaksanaan f. Struktur organisasi

g. Sistem pengambilan keputusan 3) Kapasitas Sistem

(22)

2.5 Kerangka Pemikiran

Kehadiran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan sebuah lembaga yang diformat sebagai mitra bagi pemerintah desa dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan sekaligus sebagai sebuah lembaga representasi dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah desa. Dalam proses pembentukannya, BPD mempunyai tugas pokok dan fungsi yang melekat kepadanya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, bahwa fungsi BPD meliputi :

(1) Membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa.

(2) Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. (3) Melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Adapun tugas pokok Badan Permusyawarata Desa (BPD) meliputi :

1. Meminta pertanggungjawaban kepala desa atas nama rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.

2. Menyalurkan aspirasi masyarakat kepada instansi yang berwenang. 3. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembangunan desa.

4. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka pembinaan perekonomian masyarakat desa.

5. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka ketertiban dan ketentraman masyarakat desa.

6. Memberikan saran dan pendapat dalam rangka penyelesaian perseisihan/permasalahan antara warga masyarakat desa.

7. Melaksanakan pengawasan kerjasama antar desa.

8. Bekerjasama dengan masyarakat dan aparat keamanan dan pemberantasan narkoba, perjudian, HAM, dan kriminalitas.

(23)

Capacity building merupakan serangkaian strategi yang dapat digunakan untuk menguatkan institusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan fungsi normatifnya.

Keterkaitan konsep Capacity building dengan optimalisasi Tupoksi Maujana Nagori yaitu memperhatikan tujuan Capacity building itu sendiri yakni meningkatkan kinerja lembaga agar dapat efektif melaksanakan fungsinya, maka tuntutan agar BPDberfungsi secara optimal haruslah didukung dengankapasitas yang memadai sehingga upaya pengembangan kapasitas BPD menjadi perhatian yang sangat penting dilakukan pada tingkatan terkecil yang merupakan proses pembelajaran dalam diri individu , kemudian pada tingkat organisasi dan sistem kebijakan tentang BPD, dimana faktor-faktor tersebut saling terkait. Pengembangan kapasitas pada dimensi individu dilakukan dengan tujuan agar BPDmemiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas mengenai rincian Tupoksinya, sedangkan pengembangan kapasitas pada level lembaga dimaksudkan agar pengetahuan yang dimiliki BPD dapat diaplikasikan dalam lingkungan kerjanya, sementara pada pengembangan kapasitas pada dimensi sistem dimaksudkan agar kebijakan yang menghambat kinerja BPD dapat diperbaharui. Pengembangan kapasitas tentu perlu difasilitasi oleh faktor eksternal yang merupakan lingkungan pembelajarannyasehingga diharapkan Maujana Nagori dapat berdaya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan optimal.

(24)

Gambar 2. 2 Kerangka Pemikiran

(Diadopsi dari leavit dalam Djamiko 2004, sebagaimana dikutip oleh Rino Arnold , 2016: 106)

2.6 Hipotesis Kerja

Gambar

Tabel 2.1Dimensions, Focus and Types of Activities of Capacity Building Initiatives
Gambar 2. 1Tingkatan Pengembangan Kapasitas (Leavit dalam Djatmiko
Gambar 2. 2 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait