• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poligami dalam Perspektif Hukum Islam da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Poligami dalam Perspektif Hukum Islam da"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah Satu Persoalan penting yang sering dijadikan tuduhan bahwa islam menganiaya perempuan dan berpihak pada lelaki secara mutlak ialah masalah poligami, yakni diizinkannya lelaki mengumpulkan lebih dari satu isteri.1

Poligami merupakan salah satu tema penting khusus dari Allah SWT. Sehingga tidak mengherankan kalau Dia meletakkannya pada wala surat An-Nisa’

dalam kitab-Nya yang mulia. Poligami terjadi ketika seorang laki-laki yang telah memiliki istri menikah lagi dengan perempuan lain. Dalam islam, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seseorang laki-laki diperbolehkan menikahi beberapa perempuan hingga empat orang.2

Meskipun dalam Islam ada kebolehan untuk melakukan poligami, namun jika tidak bisa untuk berlaku adil maka diwajibkan untuk menikahi satu orang istri saja. Dari persyaratan “keadian” inilah yang masih dikesampingkan oleh sebagian banyak orang. Untuk itu lahirlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai bentuk respon yang positif untuk mengatur seorang suami yang ingin menikah lebih dari satu orang. Tentunya dengan berdasarakan pada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Demikian juga lahirlah Kompilasi Hukum Islam yang mengatur ketentuan poligami yang lebih condong pada agama Islam.

Dari ketentuan UU No. 1/1974 dan KHI ini bertujuan untuk mmemberikan ketentuan/persyaratan suami yang hendak menikah lagi, sehingga tertutuplah sikap sewena-wena dari pihak suami. Hal ini juga demi terciptanya keluarga yang

sakinah, mawadah dan rahmah. Tentunya dengan dilakukannya poligami ini akan ada hikmah yang terkandung didalamnya jika dilandasi oleh rasa keadilan. Jika tidak dilandasi oleh rasa keadilan petaka yang nantinya akan timbul dalam rumah tanga mereka.

B. Rumusan Masalah

1 Muhammad Baltaji, Ta’adud Az-zaujatu, Darussalam: Mesir, Poligami (ter.j), (Solo: Media insani publishing), hal. 9

(2)

Berdasarkan latar belakang diatas, berikut ini dijabarkan secara rinci beberapa rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini:

1. Apa yang dimaksud dengan poligami?

2. Apakah hukum dan dasar hukum yang menjelaskan tentang poligami dalam perspektif Al-Qur’an?

3. Bagaimana syarat-syarat poligami dalam perspektif Hukum Islam? 4. Bagaimana poligami dalam perspektif Hukum Positif?

5. Apa hikmah di syari’atkannya poligami? C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan pengertian poligami.

2. Mengetahui Hukum dan Dasar poligami dalam perspektif Al-Qur’an. 3. Mengetahui syarat-syarat poligami dalam perspektif hukum Islam. 4. Mengetahui poligami dalam pandangan hukum positif di Indonesia. 5. Mengetahui hikmah disyari’atkannya poligami.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami

Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat

ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogami

berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.3

(3)

Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah monogami, sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia dari zaman ke zaman.

Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.4

Sebagaimana dikemukakan oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan kata Poli atau Polus

yang artinya banyak, dan kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.

Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.5

B. Hukum dan Dasar Hukum Poligami dalam Perspektif Al-Qur’an Dasar pokok islam membolehkan poligami adalah firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4): 3:

































































 







 



4 Al-Qamar Hamid, Hukum Islam Alternative, Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19

(4)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

a. Makna Mufrodat (Kosakata)

ممتتفمخخ نمإخوو :“dan kalau kalian khawatir”. Kata khawatir di sini ada makna ‘tahu’. Jadi bukan hanya khawatir saja. Dia juga tahu bahwa bila dia berpoligami, dia tidak akan bisa adil. Dia tahu kalau dia menikahi yatim, dia tidak bisa adil. Maka dari itu, dia menghindarinya. (tafsir Thanthawi)

مواتويولما : Kata yatama merupakan jama’ dari kata yatim, yang makna dasarnya adalah al-fard (tunggal) kemudian diartikan pula kepada faqd al-ab

(ayahnya sudah tidak ada). Al-Lais mengatakan bahwa yatim adalah anak yan belum mencapai usia baligh dan ayahnya telah meninggal dunia. Jika anak tersebut telah baligh, maka tidak lagi disebut yatim. Sedangkan menurut Abu Ubaidah, anak perempuan yang sudah ditinggal ayahnya tetap disebut yatim selama dia belum menikah.

اووححككنوا

:

Kata inkihu dalam ayat ini merupakan fi’il amar jama’ dari inkih, yang berasal dai kata dasar nahaka, yang secara etimologi berarti watha’ atau

jima’ (mempergauli istri). Sebagian ahli bahasa menyebutkan pula bahwa, makna dasarnya adalah ‘aqad. Kedua makna ini dipakai dalam bahasa Arab. Nikah dalam arti jima’ seperti yang tergambar dalam sabda Rasulullah SAW. :

ححَاك

ح للاللإك ءْءيوشح للكح اووعحنحص

و إك

Lakukanlah segala sesuatu, kecuali jima’ (nikah).

Namun yang disebut dengan kata nikah dalam surat An-Nisa’ tersebut berarti ‘aqad, yaitu suatu ijab dan kabul yang dilakukan oleh wali seorang wanita dan calon suami, yang mana dengan ‘aqad tersebut, seorang laki-laki boleh mencampuri wanita yang di-kabul-nya dalam

‘aqad tersebut.

لتدمعولما : Kata al-‘adl adalah masdar dari kata ‘adala, ya’dilu, ‘adlan, dan

‘adaalatan, yang secara bahasa dimaknai dengan al-istiqomah

(5)

menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dilarang agama. Selain itu, kata

al-‘adala dimaknai juga: kemampuan dalam jiwa seseorang untuk menghalangi dirinya melakukan perbuatan yang dilarang. Akan tetapi

al-‘adl dalam ayat ini dimaknai dengan makna yang kedua, yakni bahwasannya seorang suami harus berbuat adil kepada istrinya. Artinya, seorang suami harus mampu menghalangi dirinya dari hal-hal yang menyakiti istrinya dengan cara mencukupkan kebutuhan belanjanya (materi) dan tidak membeda-bedakannya dengan istri yang lain dalam hal tersebut maupun pembagian-pembagian lainnya.6

b. Asbabun Nuzul Ayat

Surat An-Nisa’ ini adalah surat Madaniyah. Ia adalah surat Al-Qur’an yang terpanjang setelah surat Al-Baqarah dan urutannya adalah sesudah surat Al-Mumtahanah. Beberapa riwayat mengatakan bahwa sebagian surat ini turun pada waktu peristiwa Fathul Makkah (pembebasan kota makkah) tahun 8 hijriah, dan sebagian lagi turun pada waktu peristiwa hudaibiyah yang terjadi sebelumnya, yaitu pada tahun 6 hijriyah.7

Diriwayatkan dari Aisyah bahwasannya ayat ini turun berkenaan dengan kejadian seorang anak yatim perempuan yang dipelihara oleh seorang laki-laki. Anak yatim tersebut memiliki harta benda, dan karena mengharapkan harta bendanya, laki-laki tersebut menikahinya. Setelah menikahinya, kemudian ia memukul anak yatim itu dan mempergaulinya dengan buruk serta tidak memberikan sesuatu kepadanya. Maka turunlah ayat:

























 

 































Imam Al-Bukhari, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir, meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki memelihara seorang anak yatim yang mempunyai kemuliaan dan keluhuran. Kemudian ia menikahi anak yatim tersebut dan tidak memberikan sesuatu kepadanya8:

6 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, cet.2 (Jakarta: AMZAH, 2013), hlm. 190-191

7 Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jilid 4. (Jakarta: Gema Insani; 2001), Hal.113

(6)

ةحمحتكيح هحلح ت

و نح َاك

ح ل

ل جحرح نلاح َاهحنوعح هحللا ي

ح ظ

ك رح ةحش

ح ئكَاع

ح ن

و ع

ح

م

و لللحوح هكيولحع

ح َاهحك

ح س

ك مويح ن

ح َاك

ح وح ق

ق دوع

ح َاهحلح نح َاكحوح ,َاهحححك

ح نحفح

م

و للتحخك ن

و اكوح) هكلليوفك ت

و لللح زحنحفح ءق َىس

ح هكس

ك فونح ن

و مك َاهحلح ن

و ك

ح يح

ت

و للنح َاللك

ح , لح َاقح هحبحس

ك خوأ (َىمحَاتيحلا َىفك اووط

ح س

ك قوتح ل

ح ن

و اح

هكلك َامح َىفك وح قك ذوعحلا ك

ح لكذح هحتحكحيوركشح

Artinya :

Dari Aisyah R.A “Sesungguhnya seorang laki-laki memiliki seorang perempuan yatim, lalu dia menikahinya, dan perempuan itu memiliki adzq (pohon kurma). Dia sengaja menahannya karena harta itu, sementara dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap perempuan tersebut. Maka turunlah, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”. Aku kira beliau berkata, “Dia adalah sekutunya pada kurma dan pada hartanya.”9

c. Syarah Ayat

























 

 































“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.”

Ayat ini secara implisit mengandung anjuran menikah. Dalam hadits juga dijelaskan tentang keutamaan menikah. Ayat tersebut juga menggambarkan sikap atau etika yang harus dimiliki oleh orang-orang yang memelihara anak yatim dan berkeinginan menikahinya, sedangkan ia tidak bisa berlaku adil kepadanya_yaitu khawatir kalau ia enggan memberikan maskawin kepada anak yatim itu karena anak asuhnya_, maka sebaiknya ia tidak menikah dengan anak yatim tersebut, dan

(7)

agar lebih baik ia menikah dengan perempuan lain yang ia dapat berbuat adil kepadanya.

Ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3 tersebut juga menunjukkan kebolehan melakukan poligami, yaitu seorang laki-laki menikahi lebih dari satu orang perempuan, baik dua, tiga, ataupun empat. Poligami itu paling banyak hanya diperbolehkan menikahi empat orang perempuan, hal ini juga berdasarkan hadis Rasulullah yang diriwayatkan dari Az-Zuhri:

م

ح لحللس

و أ

ح يوللفكقحثللا ةحمحلحللسح نكللبو نحلحغح نلأح : رومحعح نحبوإك نوعح

رحمحأ

ح للفح هحللعحمح نحمولحللسوأحفح ةكلليللكهكَاجحلوَافك ةْءوحللسونك رحللشوعح هحلحوح

َالعحبحروأح ن

ل هحنومك رحيلخ

ح تحيح ن

و أح م

ح للس

ح وح هكيولحع

ح هللا َىلحص

ح ي

ي بكنللا

“Dari Ibnu Umar, bahwasannya Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam. Pada zaman jahiliyah ia memiliki sepuluh orang istri, dan istri-istinya itu masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi SAW menyuruh memilih empat diantara mereka.”

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Asy-Syafi’i, yang ia terima dari Naufal bin Mu’awiyyah Ad-Daily, dijelaskan pula:

أ

ل

ح ووللس

ح رح َىلللك ل

ح للقحفح ت

ْء وحللس

و نك س

ح

للموخح ي

و دكنوعك وح ت

ح مولحس

و

ت

ح ئوللش

ك ن

ل للهحتحيلأ

ح َالللعحبحروأح روتحخوإك :محللسحوح هكيولحعح هحللَاىللصح هكللا

َىرحخول

ح ا قكركَافحوح

“Saya masuk Islam dan saya_ketika itu_ memiliki lima orang istri. Maka Rasulullah berkata kepada saya, pilih empat orang diantara mereka yang kamu sukai dan ceraikanlah yang lainnya.”

Dengan keterangan tersebut maka jelaslah, bahwa poligami itu tidak boleh lebih dari empat orang.

Firman Allah kelanjutan ayat surat An-Nisa’ (4) ayat 3:





























 







 





“Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”10

(8)

Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah ibnu Zubair RA, pernah bertanya kepada Aisyah RA, tentang firman Allah (yang artinya), “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kamu menikahinya)..”, lalu Aisyah menjawab, “Wahai anak saudara wanitaku, anak yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Ia campurkan hartanya dengan harta walinya, lalu si wali itu tertarik kepada harta dan kecantikannya. Kemudian si wali itu hendak menikahinya dengan memberikan maskawin tidak sebagaimana biasa yang diberikan oleh orang-orang lain. Karena itu, mereka dilarang menikahi wanita-wanita yatim itu kecuali dengan berlaku adil kepadanya dan memberikan maskawin sebagaimana yang berlaku serta diperintahkanlah mereka untuk menikahi wanita-wanita lain.

Kalimat yang berbunyi “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila menikahinya)….” Maka ini adalah keprihatinan, ketakwaan, dan takut kepada Allah yang menggetarkan hati si wali apabila dia tidak dapat berlaku adil terhadap wanita yang ada dalam pemeliharaannya.

Ayat ini bersifat mutlak, tidak membatasi tempat-tempat keadilan. Maka, yang dituntut olehnya adalah keadilan dalam semua bentuknya dengan segala pengertiannya dalam hal ini, baik yang khusus berkenaan dengan masalah maskawain maupun yang berhubungan dengan urusan lain, seperti kalau menikahinya karena menginginkan hartanya, bukan karena cinta kepadanya, dan bukan karena kehendak mempergaulinya.11

Berlaku adil yang dimaksudkan adalah perlakuan yang adil dalam melayani istri, seperti : pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat lahirilah. Islam memang membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dan, ayat tersebut membatasi diperbolehkannya poligami hanya empat orang saja. Namun, apabila takut takut akan berbuat durhaka apabila menikah dengan lebih dari seorang perempuan, maka wajiblah ia cukupkan dengan seorang saja.12

11Loc.cit, Sayyid Quthb, hal 114

(9)

d. Muhasabah Ayat

Islam membolehkan poligami dengan syarat jika suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. akan tetapi, apabila ia tidak bisa berlaku adil, maka tidak boleh memiliki istri lebih dari satu. Adapun yang di maksud adil disini seperti yang telah disinggung dalam makna mufradat, adalah keadilan dalam memberikan nafkah, yang disesuaikan dengan keadaan masing-masing istri, dan pembagian waktu untuk mereka. Adapun peraan hati yang terkadang menyayangi salah satu dari yang lain, tidaklah mengapa selama tidak diwujudkan dalam suatu tindakan atau perbuatan. Al-Qur’an juga menafikkan kemampuan seorang suami menyamaratakan perasaannya terhadap semua

istrinya, sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa’ (4): 129:











































 



















































“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”13

Dalam kitab kitab Al-Muwatta’, karya Imam Malik hanya ditulis kasus seorang pria bangsa Thaqif yang masuk islam dan mempunyai istri sepuluh, dan ternyata Nabi menyuruh mempertahankan maksimal empat dan menceraikan

(10)

lainnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa Imam Malik membolehkan poligami maksimal empat istri.

Dalam kitab ملا karangan Imam Al-Syafi’i dituliskan,bahwa dalam islam membolehkan seorang muslim mempunyai istri maksimal empat, berdasar Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Dari Al-Qur;an dicatat ayat An-Nisa’ (4):3 sebagaimana tersebut diatas. Pada bagian lain, pada judul poligami maksimal empat, ditulis dasar Al-Qur’an Al-Ahzab (33):51, Al-Mu’minun (23):5-6 dan An-Nisa’ (4):3. Ayat pertama, Al-Ahzab (33):51 berhubungan dengan giliran (pembagian malam) para istri, nafkah dan waris mewarisi:





























































 

























































“Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, Maka tidak ada dosa bagimu. yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”

(11)

dikehendaki-Nya dan isteri-isterinya atau tidak menggaulinya; dan juga memberi izin kepada Nabi untuk rujuk kepada isteri-isterinya seandainya ada isterinya yang sudah diceraikannya.

Ayat kedua, Al-Mu’minun (23): 5-6 berbicara tentang dua hal, yakni. 1. Halal nikah dengan wanita merdeka dan budak,

2. Boleh melakukan aktivitas senang-senang (ذذلت)dengan kemaluan istri dan budak, tetapi tidak boleh dengan binatang.

Sementara dasar hadis untuk menunjukkan boleh poligami maksimal empat, dicatat cerita seorang bangsa thaqif yang masuk islam dan mempunyai istri sepuluh. Nabi menyuruh mempertahankan empat dan menceraikan lainnya. Tuntutan harus berbuat adil diantara para istri, menurut As-Syafi’i :berhubungan dengan urusan fisik, misalmya mengunjungi istri dimalam atau siang hari. Tuntutan ini didasarkan pada prilaku Nabi dalam berbuat adil kepada para istrinya, yaitu dengan membagi giliran malam dan memberikan nafkah,Akan halnya dengan keadilan dalam hati, menurut As-Syafi’i hanya Allah yang mengetahuinya. Karena itu, mustahilnya seorang dapat berbuat adil kepada istrinya yang diisyaratkan pada ayat An-Nisa’ (4):129 yang berhubungan dengan hati.

Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali berpendapat, seorang laki-laki boleh menikahi wanita maksimal empat, berdasarkan An-Nisa’ (4):3, kasus ghaylan bin salamah, dan kasus Nawfal bin Mu’awiyah. Karena itu, dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan, meskipun menggunakan dasar (ليلد) yang berbeda para ulama konvensional tersebut mengakui bahwa poligami boleh hukumnya, bukan dianjurkan (sunnah), apalagi wajib (amar/perintah) seperti yang diasumsikan sebagaian orang. Kesimpulan lain yang dapat dicatat adalah bahwa ada sejumlah nash yang berhubungan dengan poligami yang dicatat para ulama mazhab, yakni

An-Nisa’ (4):3, An-Nisa’ (4):129, Al-Ahzab (33):50, Al-Mu’minun (23) 5-6, Doa Nabi, ancaman bagi suami yang tidak adil bagi istri-istrinya, dan kasus laki-laki yang masuk islam dan di suruh Nabi untuk mempertahankan istrinya maksimal empat

(12)

tambahan untuk membuktikan kebolehan poligami maksimal empat tersebut, para ulama mencatat nash yang berbeda. Terlihat hanya imam As-Syafi’i yang memcatat dan menghubungkan An-Nisa’ (4):3 dengan 129, yaitu menyimpulkan bahwa keadilan yang dituntuk Al-Qur’an untuk boleh poligami, sebagaimana yang tercantum dalam ayat An-Nisa’ (4):3 adalah keadilan dalam hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan fisik (sandang, pangan dan papan), sementara mustahilnya seorang suami berlaku adil yang ditegaskan Al-Nisa’ (4):129 adalah hal-hal yang berhubungan dengan batin (non-fisik/cinta). Karena itu kalau dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya dalam memenuhi kebutuhan fisik seorang suami boleh melakukan poligami.14

Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas (QS. An-Nisa’(4): ayatt 3), tidaklah bertentangan dengan firman Allah SWT. Dalam surat An-Nisa’

(4) :129:

“ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,karena itu janganlah kamu terlalu cenderung(kepadanya yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS. An-Nisa’: 129)

Dalam ayat 3 surat An-Nisa’ diwajibkan berlaku adil, sedangan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.

Abu bakar bin Araby mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada diluar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak balikkannya menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak begitu dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukum dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karena itu, tidaklah dipaksa untuk melakukannya.

(13)

Pada waktu Al-Qur-an turun, praktik poligami sudah bisa dilaksanakan masyarakat Arab dengan jumlah tak terbatas. Orang-orang yahudi dan Nasrani saat itu juga tidak mengharamkannya. Jadi tidak diperlukan peritah untuk melakukan poligami itu. Yang diperlukan saat itu adalah untuk membatasi poligami pada dua, tiga atau empat sebagai batas yang maksimal. Pembatasan ini perlu agar orang jangan sampai memakan harta anak yatim yang dipeliharanya, karena keperluannya untuk memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya yang banyak.15

C. Syarat-Syarat Poligami dalam Perspektif Hukum Islam

Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriyah. Islam pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki-laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semuanya mempunyai kemampuan untuk berpoligami. Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah maksimal maupun persyaratan lain seperti:

1. Jumlah istri yang boleh dipoligmi paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah satu diantaranya ada yang meninggal atau diceraikan suami dapat mencari ganti yang lain asalkann jumlah tidak melebihi empat orang pada waktu yang bersamaan.

2. Laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika

(14)

pemberian nafkah dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahiri. Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.

Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternatif atau jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang menganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh kelembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus kejurang maksiat yang dilarang islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi( poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.16

Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menikah dengan empat orang. Jika ia sanggup memenuhi hanya dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.

Dalam sebuah hadits nabi SAW, juga disebutkan:

ملللسو هلليلع هللللا َىلللص ي

ي بللنلا نا ةريره َىبا نع

ءَاللج َامهادللحا َىلللا لَامف نَاتارما تنَاك نم :لَاق

َىذيمرتلاو دواد وبا هاور) لئَام هقشو ةمَايقلا موي

(نَابح نباو َىئَاسنلاو

“Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Nabi saw. Bersabda: “barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang hari kiamat nanti dengan punggung miring.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan ibnu hiban)

Aisyah RA. berkata:

(15)

دعيف مسقي ملسو هيلع هللا َىلص هللا لوسر نَاك

َاميف يمسق اذه مهللا : لوقيو

لف كلما لف كلما

َىللنعي دواد وللبا لَالق كلللما لو كلللمت َاللميف َىللنملت

بلقلا

“Rasulullah SAW. Selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berkata: ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu, janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau kuasai, sedang aku tidak menguasainya.” Abu dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “ Engkau tetapi aku tidak menguasai yaitu hati.” ( HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan ibnu Majah)

Menurut Al-khaththabi hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.

Jika suami mengadakan perjalanan hendaklah dia mengajak salah seorang diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan undian. Dalam hal ini, khaththabi juga berkata giliran yang dilakukan Rsulullah SAW. Terkadang ada yang mendapat siang hari, dan terkadang juga ada yang mendapat malam hari. Dalam masalah giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya hibah dalam masalah harta benda. Kebanyakan ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemani suami bepergian, maka hari-hari digunakan itu dijumlahan dan diganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunakiannya itu tidak menyebabkan ia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan.

(16)

menyebabkan ia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan diganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan sekian kali masa giliran dan masa banyak.

Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian besar ulama. Disamping itu, walaupun ia mendapatkan hari-hari menemani suaminya lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat. Selain itu prinsip keadilan juga menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari hadis berikut, yang memperbolehkan istri mendapat giliran dari suaminya untuk tidak menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya ia boleh memberikan kesempatan bepergian kepada istri yang lain.

رفللس اذا .ملللسو هلليلع هللا َىلص هللا لوسر نَاك

هللعم َاهب جرخ َاهمهس جرخ ن

ي هتيَاف هئَاسن نيب عرقا

ن

ي ا رلليغ َاهموي ن

ي هنم ةارما ل

ي كب مسقي نَاكو نَاكو

ةشئ َاعل َاهموي تبهو ةعمز تنب ةدوس

“Rasulullah, jika mau bepergian, beliau mengadakan undian diantara para istrinya. Maka mana yang mendapat giliran. Dialah yang akan keluar menemani beliau. Dan beliau menggilir istri-istrinya pada hari-hari yang ditentukannya, kecuali bagian saudah binti Zama’ah diberikannya hari gilirannya kepada aisyah.”17

Dalam hal giliran tidur bersama, kalau suami bekerja di siang hari, hendaklah diadakan giliran di malam hari. Dan apabila bekerja di malam hari maka gilirannya siang hari, maka ia harus bermalam pula pada istri yang laim selama dua atau tiga hari. Bila is sedang berada dalam giliran seorang istri, maka ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali kalau ada keperluan yang sangat penting, misalnya istri sedang sakit keras atau sedang bahaya lainnya. Dalam

(17)

keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah istrinya itu walaupun ia sedang dalam giliran istri yang lain. Demikian juga bila diantara istri-istri itu sduah kerelaan dalam masalah ini.

Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Aisyah disebutkan:

هللا لوسر نَاك تلَاق َاهنع هللا يضر ةشئ َاع نع

ضللعب َىلللع َانللضعب لللضفي َاملسو هيلع هللا َىلص

وللهو ل موي ل

ي ق نَاكو َان دنع هثكم نم مسقلا َىف

نللم ةارللما ل

ي للك نللم اوللن ءدبف َاعيمج َانيلع فوطي

تيبلليف َاللهموي ولله َىتلللا غلللبي َىتللح سيللسم رلليغ

(دمحاو دواد وبا هاور )َاهدنع

“Dari Aisyah RA. berkata : “Rasullah SAW. Tidak melebihkan sebagian kami diatas yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali kepada kami, walaupun sedikit sekali waktu bagi Rasulullah. Tapi beliau tetap bergilir kepada kami. Beliau mendekati istri-istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai kepada istrinya yang mendapat giliran itu, lali ia bermalam dirumahnya”. ( HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hadis Lain juga menyebutkan:

(18)

“Dari anas RA. berkata: “Nabi SAW bergilir kepada istri-istrinya pada suatu malam, dan bagi beliau ketika itu ada sembilan orang istri.” ( HR. Bukhari dan Muslim)

Seorang suami boleh masuk kepada istri yang bukan gilirannya disiang hari sekedar meletakkan barang atau memberi nafkah dan tidak boleh masuk untuk berkasih mesra.

Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu malam, dan sebanyaknya tiga malam. Tidak memperbolehkannya melebihi tiga malam/hari agartidak menyebabkan adanya “penyerobotan” diantara istri-istri yang lain. Karena gilirannya yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak dari yang lain, yang berarti telah berbuat durhaka.

Memberikan nafkah belanja yang berupa sandang pangan maupun papan kepada para istri dan anak-anak merupakan amal yang sangat utama. Nafkah yang kita berikan kepada mereka itu termasuk sedekah yang tentunya mendapat pahala dari Allah SWT. Firman nya dalam surat at-thalaq ayat 7 menyebutkan

هللقزر هيلعردللق نللمو هتعللس نللم ةعللسوذ قللفنيل

لا َاللسفن هللللا ّفللليكيل هللللا هَاللتا َاللميم قللفنيلف

ارسيرسع دعب هللا لعجيسَاهَاتاَام

Artinya hendaklah orang yang memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dan harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Ath. Thalaaq 7)18

Sandang dan pangan merupakan kewajiban seorang suami kepada istrinya yang dalam istilahnya disebut nafkah. Bila seorang suami mempunyai istri lebih dari satu kewajiban memberi nafkah yang berupa sandang dan pangan kepada para istrinya haruslah bersifat “adil”. Namun.keharusan adil dalam hal ini

(19)

sebenarnya diambil dari penafsiran hukum pada sebuah kalimat dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :





























Tetapi apabila kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah seorang wanita saja.

Jadi, berbuat adil terhadap para istri bagi seorang suamui yang mempunyai istri lebih dari satu dalam memberikan sandang, pangan dan papan adalah wajib. Tetapi kewajiban suami dalam memberikan nafkah sandang pangan dan papan kepada istri-istrinya itu tidaklah harus sama rata atau sama besar, karena makna adil dalam suatu kaidah disebutkan:

لدعلَاهعض وم يف ئيش عضو

Maksudnya adil itu adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya

Jadi, memberikan nafkah yang berupa sandang pangan dan papan bagi seorang suami yang mempunyai istri tidaklah harus sama. Contoh memberikan belanja yang berupa uang kepada istri pertama lebih besar dari pada memberikan uang kepada istri kedua, karena dimungkinkan istri pertama sudah mempunyai anak sementara istri kedua belum, itu baru bisa diakan adil.

D. Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif

Ada beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami antara lain:

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 3, 4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

(20)

untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

 Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebuta dalam pasal 3 (2) UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b) issteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

 Pasal 5 (1) Untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalan pasal 4 (1) UU ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

b) adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup, isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

b. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 tahun 1974. Dalam PP No.9 Tahun 1975, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 40, 41, 42, 43 dan 44.

(21)

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP No 10 / 1983 tentang izin perkawian dan Percraian Pegawai Negeri Sipil.

 Dalam pasal 1 disebutkan bahwa mengubah beberapa ketentuan dalam PP No 10 /1983, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3 (1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan terlebih dahulu dari pejabat. (2) Bagi PNS yang berkedudukan sebagai penggugat atau PNS yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis.

(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan lengkap yang mendasarinya:

Pasal 4 (1) PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

(2) PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua /ketiga/keempat.

(3) Perrmintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis

(4) Dalam surat permintaan dimaksud dalam ayat (3) harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Pasal 5 (2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari PNS dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristeri lebih dari seorang, wajib memberikan pertmbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.

(22)

dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasa PNS yang bersangkutan.

e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57, dan 58. Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat di pahami bahwa azas perkawinan adalah monogami yang tidak bersifat mutlak, tetapi monogami terbuka, sebab menurut pasal 3 (1) UU No.1/1974 dikatakan bahwa seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri begitu pula sebaliknya. Tetapi pada pasal 3 (2) UU No.1/1974 yang menyatakan bahwa “ Pengadilan dapat memberi izin kepada seseorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan adanya ayat (2) ini berarti undang-Undang ini menganut azas monogami terbuka, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan tertentu seorang suami melakukan poligami yang tentunya dengan pengawasan pengadilan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan dimaksud hanya memberi izin kepada suami yang beristeri lebih dari seorang apabila cukup alasan-alasannya (lihat pasal 4 ayat (1 dan 2) UU No.1/1974, pasal 41 PP No. 9/ 1975) sebagai berikut:

a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,

b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat disembuhkan dan c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Jadi seorang suami yang yang mempunyai isteri masih hidup, tetapi ternyata tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, misalnya tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dengan baik, mengurus dan mendidik anak-anaknya dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dari makziat, begitu pula jika isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, gila, , lepra yang susah disembuhkan, apatalgi jika isteri tak mendapatkan keturunan. Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristeri lebih dari seorang dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan.19

(23)

E. Hikmah Poligami

Karena tuntutan pembangunan, undang-undang diperbolehkannya poligami tidak dapat di abaikan begitu saja, walaupun hukumnya tidak wajib tidak pula sunah. Dengan menyimak hikmah-hikmah yang terkandung dalam poligami.20 Hendaknya ada kemauan dari pihak pemerintah untuk turut

memerhatikan masalah ini. Di antara hikmah-hikmahnya adalah :

1) Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan

istri mandul.

2) Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri,

sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.

3) Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari

perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.

4) Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang

tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan.

Namun apabila poligami dilakukan tanpa adanya suatu rasa keadilan dan tanpa adanya sesuatu keadaan yang daruat maka kekacaunlah nantinya yang akan timbul dalam rumah tangga. Dalam kenyataanya manusia hanya cenderung menyanyangi satu diantara yang banyak, apalagi terhadap istri yang lebih cantik, muda dan segar. Maka hal ini akan menimbulkan suatu perbuatan yang sewena –wena suami terhadap istri-istrinya yang lain, bahkan banyak kasus yang menjurus pada perbuatan zalim. Sehingga menyebabkan

(24)

menderitanya istri-istri yang lain. Padahal tujuan utama melaksanakan perkawinan yaitu untuk menciptakan suasana

rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.21

BAB III

KESIMPULAN

Poligami berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat

ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga.

Dasar pokok islam membolehkan poligami adalah firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4): 3 dan 129, pada bagian lain, pada judul poligami maksimal empat, ditulis dasar Al-Qur’an Al-Ahzab (33):51, Al-Mu’minun (23):5-6.

Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat-syarat tertentu, baik jumlah maksimal maupun persyaratan lain seperti:

a. Jumlah istri yang boleh dipoligmi paling banyak empat orang wanita.

b. Laki-laki dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika pemberian nafkah dan hal-hal yang menyangkut kepentingan lahiri.

(25)

Sedangkan masalah batin, tentu saja selamanya manusia tidak mungkin dapat berbuat adil secara hakiki.

Ketentuan poligami dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur dalam pasal 4 dan pasal 5. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab IX mulai pasal 55 sampai pasal 59. Dari kedua ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan dari hubungan yang terkait di dalamnya serta perbedaannya.

Dalam UU No.1/1974 tidak sebutkan batasan seorang yang ingin menikah lebih dari satu, berbeda dengan KHI yang cuma membatasi 4 orang istri bagi seorang suami yang ingin menikah lagi.

Dari alasan seorang suami yang ingin menikah lagi dari ketentuan dua peraturan ini tidak ada perbedaan, yaitu sama-sama mengarah pada keadaan dan kondisi si istri. Demikian juga dalam persyaratn untuk bisa diizinkan oleh Pengadilan yaitu harus adanya syarat utama yaitu adanya persetujuan dari istri/istri-istri. Namun dalam KHI persetujuan dari istri juga harus dibuktikan secara secara lisan dalam sidang di Pengadilan Agama.

Dalam UU No1/1974 dan KHI juga sama mengatur kasus dimana istri tidak bisa dimintai izin karena keadaan tertentu yang menghalanginya atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Namun dalam hal dimana istri tidak mau memberikan izin kepada suami yang ingin menikah lagi, maka pihak suami atu istri bisa mengajukan banding atau kasasi. Berbeda dengan UU No.1/1974 yang tidak ada kesempatan mengaukan banding atau kasasi. Sehingga jika istri tidak mengizinkan maka tidak bisalah

(26)

 Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan

istri mandul.

 Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri,

sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.

 Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari

perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.

 Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang

Referensi

Dokumen terkait

Dewasa ini memang sedang terjadi proses perubahan dalam tubuh Pondok Pesantren baik pengaruh dari luar maupun dari dalam pesantren itu sendiri. Yang patut dipertanyakan

Hal tersebut dijelaskan dalam wujud sikap penilaian positif atas kehidupan yang ada pada psychological well-being dapat membantu individu untuk memandang secara positif

Dinding esophagus pada beberapa jenis ikan pada bagian buco-faring hingga bagian cardinal lambung terdapat organ lymphoid yang dikenal dengan Leidug yang menghasilkan sel-sel

Salah satu upaya yang ditempuh oleh guru bimbingan dan konseling MAN 1 Bawu Jepara sebagai seorang pembimbing di sekolah untuk meningkatkan kedisiplinan peserta

Kemudian untuk dimensi Group Integration – Task ditandai dengan persepsi dan penilaian positif para anggota Tim Hoki Universitas “X” terhadap tim sebagai satu

Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi VEGF terhadap mortalitas (p = 0.813), berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Oehring et al pada

Konsep kafe yang kedua kafe ini lakukan berbeda, Selaz Café & Resto berbeda, kafe ini lebih menonjolkan konsep tradisional dengan pemilihan hiasan dinding

Segala puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat serta hidayahNya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Umur, Ukuran,