• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Stres Dengan Konstipasi Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tingkat Stres Dengan Konstipasi Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konstipasi

2.1.1 Definisi Konstipasi

Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya

frekuensi buang air besar, sensasi tidak puas/lampiasnya buang air besar, terdapat rasa

sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras. Disepakati bahwa buang air besar

yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali. Dalam praktek

sehari-hari dikatakan konstipasi bila buang air besar kurang dari 3 kali seminggu atau

3 hari tidak buang air besar atau buang air besar diperlukan mengejan secara

berlebihan (Djojoningrat, 2009).

Konstipasi berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus besar dan sering

disebabkan oleh sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon desenden yang

menumpuk karena absorpsi cairan yang berlebihan (Guyton, 2007).

Penyedia layanan kesehatan biasanya menggunakan frekuensi buang air besar

(yaitu, kurang dari 3 x buang air besar per minggu) untuk mendefinisikan konstipasi.

Namun, kriteria Roma, awalnya diperkenalkan pada tahun 1988 dan kemudian diubah

dua kali untuk menghasilkan kriteria Rome III, telah menjadi definisi standar

konstipasi dalam penelitian ini.

Menurut kriteria Roma III untuk konstipasi, pasien harus mengalami setidaknya

2 dari gejala berikut selama 3 bulan sebelumnya:

buang air besar <3 kali per minggu

(2)

Tinja Lunak atau keras

Sensasi Tersumbat

Sensasi buang air besar yang tidak lampias

Bantuan manual yang diperlukan untuk buang air besar

2.1.2 Epidemiologi konstipasi

Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna yang terbanyak pada usia lanjut.

Terjadi peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia; 30-40% orang berusia di

atas 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30% orang berusia 60 tahun

merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia, sekitar

20% dari populasi berusia di atas 60 tahun mengeluh mengalami konstipasi dan lebih

banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pria. Suatu penelitian yang melibatkan

3000 orang berusia diatas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% perempuan dan 26 %

pria yang mengeluh konstipasi (Pranaka, 2009).

Konstipasi mempengaruhi 2% hingga 27% (rata-rata 14,8%) dari populasi

orang dewasa di Amerika Utara sekitar 63 juta orang. Konstipasi lebih mempengaruhi

perempuan dari pada laki-laki dan kulit hitam lebih sering dari pada kulit putih. Hal

ini terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering terjadi pada mereka yang

berusia lebih dari 65 tahun dan umur dibawah 4 tahun (Orenstein, 2008).

Konsensus menyimpulkan bahwa konstipasi kronis memiliki estimasi

prevalensi 5-21% di wilayah Amerika latin, dengan rasio perempuan dan laki-laki 3:1.

Individu dengan Konstipasi, 75% menggunakan beberapa jenis obat. (Weissermann,

(3)

2.1.3 Etiologi konstipasi

Adapun etiologi dari konstipasi sebagai berikut :

1. Pola hidup ; diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang

tidak teratur, kurang olahraga.

a. Diet rendah serat :

Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses

sehingga menghasilkan produk sisa yang tidak cukup untuk merangsang

refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat seperti ; beras, telur dan

daging segar bergerak lambat di saluran cerna. Meningkatnya asupan

cairan dengan makanan seperti itu meningkatkan pergerakan makanan

tersebut (Siregar, 2004).

Diet rendah serat : Dietary Reference Intake (DRI) serat berdasarkan National Academy of Sciences (Drummond and Brefere, 2007):

1. Anak-anak

a. 1–3 tahun : 19 gram/hari

b. 4–8 tahun : 25 gram/hari

2. Pria

a. 9–13 tahun : 31 gram/hari

b. 14–18 tahun : 38 gram/hari

c. 19–30 tahun : 38 gram/hari

d. 30–50 tahun : 38 gram/hari

e. >50 tahun : 30 gram/hari

3. Wanita

a. 9–13 tahun : 26 gram/hari

b. 14–18 tahun : 26 gram/hari

c. 19–30 tahun : 25 gram/hari

d. 30–50 tahun : 25 gram/hari

(4)

b. Kurang cairan/minum :

Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika

pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah)

yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk

mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang kolon.

Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses

yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat

perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningktakan

reabsorbsi dari chyme (Siregar, 2004).

c. Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur :

Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi

adalah kebiasaan BAB yang tidak teratur. Refleks defekasi yang normal

dihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini terkondisi untuk menjadi

semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan untuk defekasi

habis.

Anak pada masa bermain bisa mengabaikan refleks-refleks ini;

orang dewasa mengabaikannya karena tekanan waktu dan pekerjaan.

Klien yang dirawat inap bisa menekan keinginan buar air besar

karena malu menggunakan bedpan atau karena proses defekasi yang tidak

nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam

konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi adalah

membiasakan BAB teratur dalam kehidupan (Siregar, 2004).

2. Obat–obatan ;

banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa di

antaranya seperti ; morfin, codein sama halnya dengan obat-obatan adrenergik

dan antikolinergik, melambatkan pergerakan dari kolon melalui kerja mereka

pada sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan konstipasi yang lainnya

(5)

pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai

efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang (Siregar,

2004).

3. Kelainan struktural kolon ; tumor, stiktur, hemoroid, abses perineum,

magakolon.

4. Penyakit sistemik ; hipotiroidisme, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus.

5. Penyakit neurologik ; hirschprung, lesi medulla spinalis, neuropati otonom.

6. Disfungsi otot dinding dasar pelvis.

7. Idiopatik transit kolon yang lambat, pseudo obstruksi kronis

8. Irritable Bowel syndrometipe konstipasi (Djojoningrat, 2009).

2.1.4 Patofisiologi konstipasi

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantar feses ke

rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan merenggangkan ampula dari rekum

diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk menghindari pengeluaran feses

secara spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot

dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsangan

keinginan untuk buang air besar dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk

relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot

dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter

dan otot-otot levator ani (Pranaka, 2009).

Ketika serat yang dikonsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras.

Konstipasi akan timbul, dimana dalam proses defekasi terjadi tekanan yang berlebihan

dalam usus besar (kolon) keluar dari otot, membentuk kantong kecil yang disebut

divertikula. Hemoroid juga bisa sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan saat defekasi (Wardlaw, Hampl, and DiSilvestro, 2004). Hampir 50% dari pasien dengan

penyakit divertikular atau anorektal, ketika ditanya, menyangkal mengalami

konstipasi/sembelit. Namun, hampir semua pasien ini memiliki gejala ketegangan atau

(6)

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebab multipel mencakup beberapa

faktor yaitu:

1. Diet rendah serat , karena motalitas usus bergantung pada volume isi usus.

semakin besar volume akan semakin besar motalitas.

2. Gangguan refleks dan psikogenik. Hal ini termasuk (1) fisura ani yang terasa

nyeri dan secara refleks meningkatkan tonus sfingter ani sehingga semakin

meningkatnya nyeri; (2) yang disebut anismus (obstruksi pintu bawah

panggul), yaitu kontraksi (normalnya relaksasi) dasar pelvis saat rektum

terenggang.

3. Gangguan transport fungsional, dapat terjadi karena kelainan neurogenik,

miogenik, refleks, obat-obatan atau penyebab iskemik (seperti trauma atau

arteriorsklerosis arteri mesentrika).

4. Penyebab neurogenik. Tidak adanya sel ganglion di dekat anus karena

kelainan kongenital (aganglionosis padapenyakit Hirschsprung) menyebabkan spasme yang menetap dari segmen yang terkena akibat kegagalan relaksasi

reseptif dan tidak ada refleks penghambat anorektal (sfingter ani internal gagal

membuka saat rektum mengisi).

5. Penyakit miogenik. distrofi otot, sklerosisderma, dermatomiosistis dan lupus

eritamatosus sistemik.

6. Obstruksi mekanis di lumen usus (misal, cacing gelang, benda asing, batu

empedu).

7. Pada beberapa pasien konstipasi dapat terjadi tanpa ditemukannya

penyebabnya. Stress emosi atau psikis sering merupakn faktor memperberat

(7)

2.1.5 Gambaran klinis

Beberapa keluhan yang berhubungan dengan konstipasi adalah :

1. Kesulitan memulai atau menyelesaikan buang air besar.

2. Mengejan keras saat buang air besar.

3. Massa feses yang keras dan sulit keluar.

4. Perasaan tidak tuntas saat buang air besar.

5. Sakit pada daerah rektum saat buang air besar.

6. Adanya pembesaran feses cair pada pakaian dalam.

7. Menggunakan bantuan jari- jari untuk mengeluarkan feses.

8. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa buang air besar (Pranaka, 2009).

2.1.6 Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis terperinci merupakanhal terpenting untuk mengungkapkan adakah

konstipasi dan faktor penyebab.

Kriteria Rome-III untuk diagnosis konstipasi fungsional

1. Harus mencakup dua atau lebih hal berikut :

a. Mengedan 25% dari buang air besar.

b. Tinja lunak atau keras 25% dari buang air besar.

c. Rasa tidak lampias 25% dari buang air besar.

d. Rasa tersumbat 25% dari buang air besar.

e. Menggunakan bantuan manual 25% dari buang air besar (misalnya

mengeluarkan tinja dengan jari atau dengan menopang dasar panggul).

f. Buang air besar kurang dari tiga kali per minggu.

2. Mencret jarang terjadi tanpa menggunakan obat pencahar.

(8)

2. Pemeriksaan fisik meliputi :

a. Inspeksi perineal mencari lesi yang nyeri dan lain-lain.

b. Pemeriksaan rektal perhatikan tonus anus, tekanan menjepit dan apakah

rektum kosong atau terisi dan penuh dengan feses.

c. Pemeriksaan abdomen untuk melihat ada massa atau jaringan parut.

d. Pemeriksaan neurologik.

e. Pemeriksaan vagina untuk mengobservasi adanya rektokel.

3. Sigmoidoskopi untuk mencari lesi lokal

4. Pemeriksaan darah lengkap, LED

5. Urea, elektrolit, kalsium darah, tes fungsi tiroid.

6. Radiologi

a. Foto otot polos penting pada kecurigaan adanya obstruksi.

b. Barium enemamerupakan indikasi pada semua kasus (Cooper).

2.1.7 Diagnosis banding

Diagnosis banding konstipasi :

1. Idiopatik/diet.

2. Neoplasma kolorektal.

3. Depresi.

4. Hipotiroidisme.

5. Hiperkalsemia.

6. Megakolon.

7. Penyakit Hirscsprung (Davey, 1998).

2.1.8 Penatalaksanaan konstipasi

Sebagian tergantung pada pandangan pasien mengenai masalahnya 1. Diet dan Hidrasi

Pada pasien dengan gejala yang menggangu, langkah pertama adalah

mengoptimalkan asupan serat dan cairan.

2. Obat-obat pencahar, ada 4 tipe golongan obat pencahar

(9)

b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contoh Minyak Kasto, Golongandocusate.

c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : Sorbitol,Lactulose, Glycerin.

d. Merangsang peristaltik sehingga meningkatkan motilitas usus besar (Pranaka, 2009).

2.2 Stres

2.2.1 Definisi Stres

Menurut Hawari (2001), yang dimaksud dengan stres adalah respon tubuh yang

sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban. Misalnya bagaimana respon

tubuh seseorang mana kala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang

berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi

organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres, tetapi

sebaliknya bila ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga

yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik,

maka ia disebut mengalami stres.

2.2.2 Teori Stres

Hans Selye (1907-1982) mengembangkan suatu model stres yang ia sebut

sindrom adaptasi umum. Model ini terdiri atas tiga fase: (1) reaksi alarm; (2) tahap resistensi, idealnya adaptasi dicapai; dan (3) tahap kelelahan, adaptasi atau resistensi

yang didapati bisa hilang. Ia menganggap stres sebagai respons tubuh yang tudak

spesifik terhadap tuntutan apapun yang disebabkan baik oleh keadaan menyenangkan

atau tidak menyenangkan. Seyle yakin bahwa stres, menurut definisi, tidak harus

selalu menyenangkan. Ia menyebut stres yang tidak menyenagkan sebagai

“penderitaan”. Untuk menerima kedua jenis stres - menyenangkan atau tidak

(10)

Sindrom adaptasi umum merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Respon yang terlibat di dalamnya adalah sistem saraf otonom dan

sistem endokrin. Di beberapa buku teks sindrom adaptasi umum sering disamakan dengan Sistem Neuroendokrin. Sistem adaptasi umumterdiri dari beberapa fase, yaitu :

a. Fase alarm (Waspada)

Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran

untuk menghadapi stressor. Reaksi fisiologis “fight or flight” dan reaksi

fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran darah cepat,

darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas.

Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stres memengaruhi denyut nadi,

ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun.

Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh

seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah

dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya

dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk

menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin

dan norepineprin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan

peningkatan aliran darah ke otot. Peningkatan ambilan O2 dan

meningkatnya kewaspadaan mental.

Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan

“respons melawan atau menghindar”. Respon ini bisa berlangsung dari

menit sampai jam. Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk

ke dalam fase resistensi.

b. Fase Resistance (Melawan)

Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan

psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh

berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada

keadaan normal dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab

stress. Bila teratasi gejala stress menurun atau normal tubuh kembali

(11)

Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil

tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu

tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir dari syndrom adaptasi umum

yaitu : Fase kehabisan tenaga.

c. Fase Exhaustion (Kelelahan)

Meruapakan fase perpanjangan stress yang belum dapat teratnggulangi

pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras. Timbul gejala

penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan

mental, penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak lagi dapat

diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian. Tahap ini

cadangan energi terlah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu

lagi menghadapi stress. Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan

diri (Sumiatiet al,2010).

2.2.3 Sumber Stres

a. Perubahan (Change)

Perubahan sering dikaitkan dalam usaha atau proses untuk perubahan

hidup yang lebih baik. Dalam hal ini juga berkaitan dengan kesempatan,

kemampuan, kemauan, dan keteguhan hati. Orang-orang yang teguh hatinya

menghadapi perubahan dengan ringan dan mudah. Sebaliknya, orang yang

tidak memiliki keteguhan hati akan menghadapi masalah dalam perubahan

seperti ini. Dia akan mudah stres dan tujuan untuk perbaikan tidak pernah

tercapai.

Dalam menghadapi perubahan ini setiap orang diharapkan dapat mengontrol

kehidupannya masing-masing. Mereka juga harus tetap fokus dan berorientasi

pada tujuan hidupnya. Apabila kondisi kesehatan mengalami perubahan,

sebaiknya konsumsi vitamin dan zat-zat penambah nutrisi yang dianjurkan.

Akan sangat baik kalau latihan aerobik dan relaksasi dilakukan.

Pada lingkungan yang baru mengalami perubahan, sebaiknya seseorang

(12)

seseorang sangat perlu memiliki rasa humor agar dapat membaur dengan

lingkungan baru dengan cepat. Yang tidak kalah penting adalah mengamalkan

dan menggunakan nilai-nilai religius untuk menghadapi perubahan.

b. Frustrasi (Frustration)

Frustrasi bisa disebabkan adanya berbagai faktor, yang membuat seseorang

terserang stres. Berikut ini adalah hal-hal yang bisa membuat orang frustrasi.

1. Suasana yang overcrowding atau terlalu ramai, sibuk, dan bising. Dalam kondisi seperti ini orang rawan frustrasi yang menyebabkan dia

mengalami stres. Kondisi seperti ini membuat orang mudah cemas,

bingung, dan panik–pemicu munculnya stres.

2. Diskriminasi. Lingkungan yang sarat dengan diskriminasi akan

membuat orang merasakan ketidakadilan. Pihak yang mengalami

diskriminasi akan cepat stres.

3. Faktor-faktor sosial ekonomi. Kekuatan sosial ekonomi membuat

seseorang merasa kokoh dan merasa memiliki nilai. Namun

sebaliknya, kekurangan dan masalah-masalah sosial ekonomi juga

membuat orang frustrasi. Biaya hidup yang tinggi, tetangga dan

lingkungan yang tidak baik, kawan yang tidak sejalan, dan lain-lain

semuanya sangat memudah memicu stres.

4. Birokrasi. Meskipun terlihat tidak ada masalah, tetapi birokrasi yang

berbelit-belit, ribet, dan tidak segera selesai membuat orang

frustrasi.terlebih kalau urusantidak cepat kelar dan masih tertunda

karena birokrasi yang rumit.

c. Kelebihan Beban (Overload)

Beban yang berlebihan pada diri seseorang yang tidak sesuai dengan

keadaan dan kemampuannya akan menjadikan orang ini kelebihan beban.

Beban yang berlebihan bisa terjadi pada masyarakat perkotaan yang hidupnya

penuh dengan target dan persaingan. Di dalam pekerjaan juga sangat sering

(13)

sering frustrasi karena adanya beban dan target yang tinggi di bidang

akademis.

Demikian juga dengan urusan di dalam rumah tangga dan kehidupan

sehari-hari. Beban dan tuntutan yang berlebihan dalam suatu rumah tangga

juga bisa menimbulkan frustrasi bagi seluruh penghuninya. Itulah sebabnya,

masing orang harus menyadari apa yang terbaik bagi diri

masing-masing. Selain itu, mereka juga harus menyadari berapa kemampuan maksimal

yang masih dapat ditoleransi sehingga tugas dan tanggung jawab tidak menjadi

beban yang berlebihan.

d. Kebosanan dan Kesendirian ( Boredom and Loneliness)

Kebosanan dan kesendirian yang terus-menerus dan dalam waktu yang

lama akan membuat orang frustrasi. Kondisi ini akan memicu kemarahan,

menjadi mudah tersinggung, dan perasaan tidak berharga. Oleh karena itu,

seseorang harus membentuk lingkungannya agar tidak membosankan.

Bersosialisasi dan berkumpul dengan teman-teman atau masyarakat sekitar

sangat perlu agar seseorang tidak sendirian terlalu lama (Mumpuni dan

Wulandari, 2010).

2.2.4 Stres Pada Mahasiswa

Kurikulum sekolah kedokteran dari College of Medicine, King Saud University,

Riyadh, Arab Saudi, telah dikembangkan untuk lulus menjadi dokter yang kompeten

dan profesional untuk melayani masyarakat secara efisien. Pendidikan kedokteran

dianggap sebagai stres, seperti yang ditandai oleh banyak perubahan psikologis pada

mahasiswa.

Penelitian telah menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran mengalami

(14)

memiliki efek negatif pada kognitif dan belajar mahasiswa dalam sekolah kedokteran.

Hasil studi menunjukkan bahwa kesehatan mental memburuk setelah siswa mulai

sekolah kedokteran dan selama pelatihan.

Di banyak sekolah kedokteran, lingkungan itu sendiri adalah situasi tekanan

semua yang berlaku, menyediakan sistem yang otoriter dan kaku, salah satu yang

mendorong kompetisi daripada kerjasama antara peserta didik. Hal ini tidak hanya

masa studi sarjana yang membawa stres tetapi terus selama magang, masa studi

Referensi

Dokumen terkait

membuat Berita Acara Serah Terima Berkas Wajib Pajak yang akan diserahkan kepada Kanwil Baru dengan menggunakan formulir pada Lampiran II-3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak

In this paper, we have presented a uncertainty propagation tech- nique based on the general Gauss-Helmert method to compute the covariance matrix per 3D point and the

Pada tanggal 7 Desember 2011, berdasarkan Surat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara nomor S 653/MBU/2011 yang menyatakan bahwa kerjasama pengelolaan antara PT Perkebunan Nusantara

Perfect Page Scanning; iThresholding; adaptive threshold processing; deskew; autocrop; relative cropping; fixed crop; add/ remove border; electronic color dropout; dual stream

Tutupilah sebagian persegipanjang yang diwakili oleh bagian salah satu kolom dan

Daya hantar listrik polibenzidin yang didadah dengan asam sulfat dan diberi perlakuan dengan penaikkan temperatur menunjukkan harga yang bervariasi dari mulai naik lalu turun

Pihak lain yang bukan direktur utama/pimpinan perusahan yang namanya tidak tercantum dalam akta pendirian/anggaran dasar, sepanjang pihak lain tersebut

KEMENTERIAN AG KANTOR KOTA PROBO TIA PEMBANGUNAN GEDUNG.