• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Kantung Semar (Nepenthes spp.) di Kawasan Suaka Margasatwa Siranggas Kabupaten Pakpak Bharat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Kantung Semar (Nepenthes spp.) di Kawasan Suaka Margasatwa Siranggas Kabupaten Pakpak Bharat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kantung Semar (Nepenthes spp.)

Nepenthes spp. adalah tumbuhan yang hidup di hutan dataran rendah mulai dari

garis pantai hingga ketinggian 2750 m dpl. Nepenthes satu-satunya genus dalam famili

Nepenthecae. Tumbuhan Nepenthes hidup menjalar, merambat. Berkembang biak

dengan biji membentuk kecambah yang terdiri atas 2 daun lembaga. Secara umum

Nepenthes dapat memikat serangga, dimana serangga tergelincir dari bibir piala yang

licin berlapis lilin, kemudian tenggelam ke dalam piala yang berisi cairan yang terdapat

pada dasar piala tersebut. Kelenjar-kelenjar di bagian dalam piala mengeluarkan

enzim-enzim pencerna, sehingga makanan yang berasal dari serangga yang tertangkap

dirombak menjadi makanan bagi Nepenthes (Anwar dkk., 1984).

Nepenthes spp. pertama kali dikenalkan oleh J.P Breyne pada tahun 1689. Di

Indonesia, sebutan untuk tumbuhan ini berbeda antara daerah satu dengan yang lain.

Masyarakat di Riau mengenal tanaman ini dengan sebutan periuk monyet, di Jambi

disebut dengan kantung beruk, di Bangka disebut dengan ketakung, sedangkan nama

sorok raja mantri disematkan oleh masyarakat di Jawa Barat pada tanaman unik ini.

Sementara di Kalimantan setiap suku memiliki istilah sendiri untuk menyebut

Nepenthes spp. Suku Dayak Katingan menyebutnya sebagai ketupat napu, suku Dayak

Bakumpai dengan telep ujung, sedangkan suku Dayak Tunjung menyebutnya dengan

selo bengongong yang artinya sarang serangga (Mansur, 2006). Sampai dengan saat ini

tercatat terdapat 103 jenis Nepenthes yang sudah dipublikasikan di dunia (Firstantinovi

dan Karjono, 2006).

Tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan karnivora karena memangsa

(2)

menjulur dari ujung daunnya. Organ itu disebut pitcher atau kantung. Kemampuannya

yang unik dan asalnya dari negara tropis sehingga menjadikan Nepenthes sebagai

tanaman hias pilihan yang eksotis di Jepang, Eropa, Amerika dan Australia. Di

Indonesia justru tak banyak yang mengenal dan memanfaatkannya (Witarto, 2006).

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan kajian literatur potensi ancaman

terhadap kelangsungan hidup Nepenthes spp. di Sumatera lebih banyak berasal dari

gangguan manusia. Aktivitas masyarakat di sekitar habitat alami yang dapat

mengganggu keberadaan Nepenthes spp. antara lain berupa kegiatan mencari kayu

meskipun secara tidak langsung dapat mengganggu Nepenthes spp. karena dapat

tertimpa pohon yang ditebang atau tercabut secara tidak sengaja, serta kemungkinan

tanaman mati karena inang tempat tanaman ini terpotong/ditebang (Kunarso dan

Azwar, 2006).

Semua tumbuhan penangkap serangga ordo Sarraceniales, memiliki daun

tunggal yang tersebar, sebagian atau seluruhnya mengalami modifikasi menjadi alat

penangkap serangga (Tjitrosoepomo, 1989). Ordo Sarraceniales mempunyai tiga famili

yaitu Sarraceniaceae, Draseraceae dan Nepenthaceae. Famili terakhir terdiri dari satu

genus Nepenthes memiliki karakter biologi yang unik yakni mampu mengabsorbsi

unsur N dari tubuh serangga yang terjebak di kantungnya (Bhattacharyya dan Jahri,

1998; Kinnaird, 1997)

B. Taksonomi Tumbuhan Nepenthes spp.

Nepenthes dihabitat aslinya dapat tumbuh mencapai tinggi 15 – 20 meter

(3)

cm hingga lebih dari 45 cm, tergantung pada spesies dan asal habitatnya. Nepenthes

rajah merupakan spesies terbesar di Kalimantan (Mansur, 2006)

Menurut Jones dan Luchsinger (1998), klasifikasi lengkap Nepenthes spp.

berdasarkan sistem klasifikasi tumbuhan berbunga adalah sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subclass : Dilleniidae

Ordo : Nepenthales

Family : Nepenthaceae

Genus : Nepenthes

Jenis : Nepenthes spp.

Tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai tumbuhan karnivora karena memangsa

serangga. Kemampuannya itu disebabkan oleh adanya organ berbentuk kantung yang

menjulur dari ujung daunnya. Organ itu disebut pitcher atau kantung. Kemampuannya

yang unik dan asalnya yang dari negara tropis itu menjadikan Nepenthes sebagai

tanaman hias pilihan yang eksotis di Jepang, Eropa, Amerika dan Australia.

Sayangnya, di Indonesia tidak banyak yang mengenal dan memanfaatkannya (Witarto,

2006).

Nepenthes memiliki anggota sekitar 60 spesies. Kawasan utama penyebarannya

di Indonesia dan Malaysia. Beberapa spesies tumbuh di Madagaskar, Australia dan

Kaledonia. Spesies yang sering ditemukan adalah N. ampullaria, N.tobaica, N.

rafflesiana dan N. maxima, semua dikenal dengan nama daerah "Kantung Semar"

(4)

menyerupai kantung yang merupakan jebakan mematikan bagi serangga. Nepenthes

merupakan tumbuhan karnivora (Kinnaird, 1997), berhabitus herba atau epifit,

seringkali tumbuh memanjat dengan menggunakan sulur, berupa ujung daun yang

menyempit (Tjitrosoepomo, 1989). Oleh karena itu Nepenthes juga memerlukan

tumbuhan lain sebagai pendukung.

Tumbuhan Nepenthes memiliki cara yang unik dimana jenis ini menggunakan

serangga sebagai makannya. Kemampuannya dalam menjebak serangga disebabkan

oleh adanya organ berbentuk kantung yang menjulur dari ujung daunnya (Harsono dan

Chandra, 2005; Mansur, 2008; Mithofer, 2011).

C. Deskripsi Kantung pada Nepenthes spp.

Pada umumnya, Nepenthes memiliki tiga macam bentuk kantung, yaitu kantung

atas, kantung bawah, dan kantung roset. Kantung atas adalah kantung dari tumbuhan

dewasa, biasanya berbentuk corong atau silinder, tidak memiliki sayap, tidak

mempunyai warna yang menarik, bagian sulur menghadap ke belakang dan dapat

melilit ranting tanaman lain, kantung atas lebih sering menangkap hewan yang terbang

seperti nyamuk atau lalat, kantung jenis ini jarang bahkan tidak ditemui pada beberapa

spesies, contohnya N. ampullaria. Kantung bawah adalah kantung yang dihasilkan

pada bagian tanaman muda yang biasanya tergelatak di atas tanah, memiliki dua sayap

yang berfungsi sebagai alat bantu bagi serangga tanah seperti semut untuk memanjat

mulut kantung dan akhirnya tercebur dalam cairan berenzim di dalamnya, adapun

kantung roset, memiliki bentuk yang sama seperti kantung bawah, namun kantung roset

tumbuh pada bagian daun berbentuk roset, contoh spesies yang memiliki kantung jenis

(5)

kantung tengah yang berbentuk seperti campuran kantung bawah dan kantung atas

(Athauda dkk, 2004).

Selain kemampuannya dalam menjebak serangga, keunikan lain dari tanaman

ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantungnya. Secara keseluruhan, tumbuhan

ini memiliki lima bentuk kantung, yaitu bentuk tempayan, bulat telur/oval, silinder,

corong, dan pinggang (Azwar dkk., 2006).

Secara keseluruhan, semua spesies Nepenthes memiliki lima bentuk kantung

yaitu bentuk tempayan (Nepenthes ampullaria), bulat telur/oval (Nepenthes

rafflesiana), silinder (Nepenthes grasilis), corong (Nepenthes rafflesiana) dan pinggang

(Nepenthes reinwardhtiana) atau (Nepenthes gymnamphora). Untuk seluruh spesies

Nepenthes memiliki bentuk kantung, seperti yang terdapat pada Gambar 1 (Mansur,

2006).

Gambar 1. Berbagai variasi bentuk kantung Nepenthes : a) bentuk tempayan, b) bentuk telur, c) bentuk silinder,d) bentuk corong, dan e) bentuk pinggang.

Kantung berfungsi untuk menangkap serangga. Kantung ini mempunyai warna

sangat menarik yaitu: hijau dengan bercak merah. Menurut Lloyd (1942) dan Leach

(1940), kantung dapat berwarna ungu, kuning, hijau dan putih. Serangga yang tertarik

oleh warna, lebih jauh dipikat dengan nektar dan bau-bauan yang dihasilkan oleh

kelenjar di bagian bawah bibir yang berlekuk-lekuk dan menjorok ke dalam rongga e

d c

(6)

kantung. Serangga seringkali terpeleset dari bibir yang licin berlilin dan tercebur ke

dalam cairan di dalam kantung. Cairan ini berisi bermacam-macam enzim pencernaan

yang dihasilkan kelenjar di pangkal kantung. Lilin di permukaan dalam kantung tidak

memungkinan serangga yang terjebak untuk keluar. Di dasar kantung hidup larva

nyamuk, tungau beberapa organisme lain yang tahan terhadap enzim pencernaan.

Organisme ini berperan untuk memakan sisa-sisa bangkai serangga, sehingga

kebersihan kantung tetap terjaga (Kinnaird, 1997; Lloyd, 1942; Gibbs, 1950).

Kantung Nepenthes yang dindingnya penuh bercak merah kekuningan menarik

perhatian serangga untuk mendekat. Semut atau lalat yang mendekat akan tertarik pada

aroma manis yang menyengat. Aroma itu berasal dari deretan kelenjar pada bibir

lubang kantung, karena bibir lubang kantung licin serangga pun terpeleset jatuh ke

dasar kantung. Di dalam kantung terdapat cairan asam (pH <4), sehingga dapat

membunuh serangga. Selanjutnya deretan kelenjar di dinding kantung mengeluarkan

enzim protease yang disebut juga dengan nepenthesin. Dengan bantuan enzim pemecah

protein itu, protein dari bangkai serangga atau hewan lain yang terjebak dalam cairan

kantung tersebut diuraikan menjadi nitrogen, fosfor, kalium, dan garam mineral.

Setelah serangga ini terurai maka zat sederhana kemudian diserap oleh tanaman ini.

Kantung Nepenthes bukan bunga, melainkan daun yang berubah fungsi menjadi alat

untuk memperoleh nutrisi dari serangga yang terperangkap, sedangkan yang mirip daun

sebenarnya adalah tangkai daun yang melebar, dan tetap berfungsi sebagai dapur untuk

fotosintesis (Mansur, 2006).

Bibir lubang kantung berwarna merah serta mampu menebarkan aroma manis.

Binatang penyuka manis dan beraroma busuk adalah sasaran bagi Nepenthes, seperti

(7)

yang licin. (Slamet Suseno 1998). Cairan yang berada dalam kantung adalah ramuan

enzim pemecah protein yang dikeluarkan deretan kelenjar pada dinding kantung

bernama proteolase. Dihasilkan oleh kelenjar di permukaan kantung bawah. Tubuh

mangsa tersebut kemudian diolah menjadi garam posphat dan nitrat. Tidak hanya

serangga kecil yang menjadi korban, kantung Nepenthes rajah dari Kalimantan bisa

masuk anak burung atau tikus kecil ke dalam kantungnya karena panjang kantungnya

memang bisa mencapai 30 cm (Pepenx, 2008).

D. Penelitian tentang Nepenthes spp.

Selain berpotensi sebagai tanaman hias, Nepenthes juga dapat digunakan

sebagai obat tradisional (Mansur, 2006). Dalam penelitiannya, Witarto (2006), berhasil

mengisolasi protein dalam cairan kantung atas dan kantung bawah dari N.

gymnamphora dari Taman Nasional Gunung Halimun. Dari masing-masing 800 ml

cairan yang dikumpulkan dari kantung, dapat dimurnikan protein sebanyak 1 ml. Uji

aktivitas terhadap protein yang telah dimurnikan menunjukkan bahwa protein itu

adalah enzim protease yang disebut juga Nepenthesin.

Salah satu daerah sebaran Nepenthes yang ada di Sumatera Barat adalah Bukit

Taratak. Bukit taratak merupakan bagian dari Desa Koto Taratak, Kabupaten Pesisir

Selatan. Di kawasan Bukit Taratak ini ditemukan tiga jenis Nepenthes, yaitu N.

ampullaria, N .mirabilis dan N. gracilis. Berdasarkan pengamatan pendahuluan di

lapangan, Tiga jenis Nepenthes ini hidup secara simpatrik di area tersebut dan

ditemukan berbunga hampir di sepanjang waktu (Muhammadin, 1995; Srirahayu,

2010). Populasi yang simpatrik dan kemampuannya berbunga hampir sepanjang waktu

memberikan kemungkinan lebih besar untuk terjadinya kawin silang dan pembentukan

(8)

yang memiliki karakter antara dari jenis-jenis Nepenthes yang ada di daerah tersebut.

Individu-individu tersebut diduga merupakan hibrid alam antara N. ampullaria × N.

mirabilis; N. ampullaria × N. gracilis dan N. gracilis × N. mirabilis (Muhammadin,

1995).

Puspitaningtyas dan Wawangningrum (2007) Keanekaragaman Nepenthes di

Suaka Alam Sulasih Talang, Sumatera Barat, jenis-jenis Nepenthes yang tumbuh di

sekitar Gunung Talang ada 6 macam, yaitu: Nepenthes talangensis, N. pectinata, N.

gracilis, N. bongso, N. inermis, N. spathulata. Clarke (2001) tidak mencantumkan

nama N. pectinata, karena N. pectinata dianggap sinonim dari N. gymnamphora.

Sementara itu Cheek & Jebb (2001) menganggap N. gymnamphora merupakan jenis

yang endemik di Jawa, sehingga N. pectinata merupakan jenis yang berbeda dan bukan

merupakan sinonim dari N. gymnamphora. Lebih lanjut dikatakan bahwa N. pectinata

jarang menghasilkan kantung atas, sedangkan N. gymnamphora rajin menghasilkan

kantung atas. Karena di lapangan tidak ditemukan kantung atas dalam satu populasi,

maka jenis tersebut diidentifikasi sebagai N. pectinata. Hampir seluruh jenis Nepenthes

yang tumbuh di Gunung Talang mengalami ancaman kerusakan habitat, baik karena

pembukaan hutan, letusan gunung berapi maupun koleksi yang berlebihan.

Pengamanan habitat perlu segera ditingkatkan dalam usaha konservasi in situ,

sedangkan dari aspek konservasi ex situ juga harus segera dilakukan dengan

mempertimbangkan kebutuhan habitat yang sesuai.

Diantara keenam jenis Nepenthes yang tumbuh di Gunung Talang, jenis yang

paling tinggi tingkat status konservasinya adalah N. talangensis. Menurut Clarke

(2001) N. talangensis yang tadinya cukup melimpah, saat ini populasinya sudah

(9)

status konservasi termasuk dalam kriteria genting (endangered). Bahkan jenis tersebut

dikuatirkan akan punah karena distribusinya yang terlalu sempit yaitu endemik hanya

di Gunung Talang. Sementara jenis lainnya seperti N. pectinata, N. inermis, N. bongso

dan N. spathulata meskipun penyebarannya endemik Sumatera tetapi masih bisa

dijumpai di beberapa lokasi di Pulau Sumatera, hanya N. gracilis yang bukan jenis

endemik. Menurut kriteria IUCN (Anon., 1994) kelima jenis tersebut status

konservasinya masih termasuk kategori beresiko rendah (low risk). Bila dilihat jumlah

populasinya di Gunung Talang maka hanya N. pectinata yang cukup banyak

jumlahnya, sedangkan jenis yang lain hanya sedikit sehingga status Nepenthes inermis,

Nepenthes bongso dan Nepenthes spathulata sudah termasuk terkikis di Gunung Talang

(Puspitaningtyas dan Wawangningrum, 2007).

Dari penelitian lapangan di sekitar jalan setapak menuju puncak Gunung

Merbabu melalui jalur pendakian Selo, Boyolali diketahui bahwa Nepenthes hanya

tumbuh pada kisaran ketinggian 1500 – 2000 m dpl, terdapat dua variasi bentuk

morfologi kantung (panjang dan pendek), tumbuh merambat terutama pada pohon

Myristica dan semak-semak Thunbergia fragrans Roxb. serta dapat tumbuh pada tanah

yang berbatu-batu. Dalam penelitian ini ditemukan dua variasi bentuk morfologi

kantung dari tumbuhan Nepenthes yang sama. Kantung pertama: memiliki panjang 5 –

20 cm dengan garis tengah 1 – 5 cm. Kantung ini berwarna hijau dengan bintik-bintik

merah dan memiliki bulu-bulu yang teratur pada dua deret. Bentuk kantung ini banyak

ditemukan pada daerah gelap dengan kanopi yang banyak. Kantung kedua: memiliki

panjang 5 – 30 cm dengan garis tengah 1 – 5 cm. Kantung ini berwarna hijau polos,

tanpa bulu-bulu pada permukaan luarnya. Bentuk kantung ini banyak ditemukan pada

(10)

Hasil dari penelitian Keanekaragaman Nepenthes dan Pohon Inang di Taman

Wisata Alam Sicikeh-cikeh Kabupaten Dairi Sumatera Utara ditemukan 7 spesies

Nepenthes spp., yang terdiri dari atas Nepenthes reinwardtiana Miq, Nepenthes tobaica

Danser, Nepenthes spectabilitas Danser, Nepenthes rhombicaulis Sh. Kurata,

Nepenthes rigidifolia Akhriadi, Hernawati & R. Tamin, dan 2 spesies diantaranya

termasuk spesies hybrid alami yeng terdiri dari atas Nepenthes reinwardtiana x

Nepenthes spectabilis dan Nepenthes reinwadtiana x Nepenthes tobaica (Dariana,

2009).

Hasil penelitian di Cagar Alam Dolok Sibual Buali Ditemukan 6 jenis Nepenthes

yaitu N. bongso, N. ovata, N. reinwardtiana, N. rhombicaulis, N. sumatrana, dan N.

tobaica. Jenis yang paling dominan adalah Nepenthes reinwardtiana. Lokasi penelitian

pada ketinggian 1500 m dpl merupakan lokasi yang paling banyak ditemukan jenis

Nepenthes. Lokasi ini mengandung sulfur sehingga pohon-pohon dan tumbuhan yang

tumbuh di daerah tersebut mengalami penghambatan pertumbuhan atau pengkerdilan.

Daerah ini disebut masyarakat sebagai Kebun Bonsai yang terletak di Desa Padang

Bujur, Kecamatan Sipirok. Dikatakan Kebun Bonsai karena di lokasi ini banyak

ditemukan jenis anggrek dan Nepenthes yang berbunga sepanjang tahun. Pada

umumnya Nepenthes hidup di habitat yang kekurangan unsur nitrogen dan fosfor.

Kondisi seperti ini, menjadikan tumbuhan Nepenthes sebagai indikator bahwa tempat

tersebut merupakan tanah marginal (Fadillah, 2013).

E. Faktor Lingkungan

Nepenthes seperti tanaman epifit lainnya dapat ditemukan tumbuh di beberapa

tempat. Seringkali tumbuhan epifit ini hanya dapat hidup di tempat yang memiliki

(11)

Penyebaran yang berbeda ini dipengaruhi oleh cahaya, angin, dan penyediaan air,

kadang dipengaruhi oleh bahan-bahan orgnik tanah juga (Barbour, 1987 diacu oleh

Akhmalia, 1999).

Hukum Beyerinck menyatakan bahwa penyebaran setiap makhluk hidup

ditentukan oleh faktor lingkungan, demikian pula tumbuhan. Keberadaan tumbuhan di

suatu habitat dipengaruhi oleh faktor ekologi, berupa iklim dan faktor biotik. Faktor

iklim meliputi suhu, intensitas sinar matahari, curah hujan, kecepatan angin,

kelembaban udara, keseimbangan energi, topografi, fisiografi, edafit (tanah), geologi

dan lain-lain. Sedang faktor biotik yang meliputi segenap tumbuhan dan hewan,

interaksi antara organisme, pemangsaan, dekomposer, simbiosis, parasitisme, manusia

dan lain-lain. Kesemua faktor tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama

mempengaruhi distribusi dan kemelimpahan tumbuhan. Setiap spesies memiliki tingkat

toleransi yang berbeda-beda (Pijl, 1982).

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan paling penting yang membatasi

pertumbuhan vegetasi (Gibbs, 1950). Kelembaban di pegunungan naik sejalan dengan

bertambahnya ketinggian. Liputan awan dan gerimis yang terus menerus mencegah

kelembaban turun (Ewusie, 1990). Daya adaptasi tumbuhan terhadap suhu,

berbeda-beda, tergantung kepekaan ekologinya. Penurunan suhu akan menyebabkan

terbentuknya zona-zona yang masing-masing hanya cocok untuk tumbuhan tertentu.

Zonasi vertikal yang terbentuk karena bertambahnya ketinggian ini serupa dengan

zonasi horizontal yang terbentuk karena perbedaan garis lintang, dari katulistiwa ke

kutub (Steenis, 1972).

Kebanyakan spesies Nepenthes tumbuh di tempat dengan kelembaban tinggi

(12)

ampullaria tumbuh di tempat yang teduh dengan tidak terlalu banyak cahaya,

sedangkan N. mirabilis tumbuh ditempat yang terbuka dengan cahaya yang berlimpah.

Tanah tempat tumbuh Nepenthes biasanya miskin hara dan asam. Beberapa spesies

tumbuh di tempat yang sangat beracun bagi tanaman lain seperti N. rajah yang tumbuh

pada tanah dengan kandungan logam berat dan N. albomarginata yang

tumbuh pada pantai berpasir di zona yang terkena siraman air laut, beberapa spesies

tumbuh epifit seperti N. inermis yang tumbuh tanpa bersentuhan dengan tanah (Beaver,

1979).

F. Habitat Nepenthes spp.

Nepenthes dapat tumbuh di berbagai karakter ekologi, mulai dari ketinggian 0 –

3500 m dpl (Lloyd, 1942), mulai dari rawa-rawa air tawar di pantai hingga pegunungan

tinggi. Nepenthes cenderung tumbuh di tempat yang miskin zat hara, pH rendah dan

miskin nitrogen (Kinnaird, 1997; Metthews dan Kitching, 1994).

Tumbuhan Nepenthes dapat hidup di daerah rawa dan memiliki enzim yang

dapat mencerna serangga yang masuk kedalam kantung tersebut sehingga tumbuhan ini

memperoleh unsur yang diperoleh dari hasil pencernaan serangga tadi. Unsur yang

diperoleh berupa nitrat dan zat hara lain yang didapatkan dari serangga yang terjebak

bukan dari tanah sehingga sangat cocok Nepenthes tumbuh di tanah tandus (Riplay,

1983 diacu oleh Akhmalia, 1999).

Nepenthes hidup di tempat-tempat terbuka atau agak terlindung di habitat yang

miskin unsur hara dan memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi. Tanaman ini bisa

hidup di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan

kerangas, gunung kapur, dan padang savana. Karakter dan sifat Nepenthes berbeda

(13)

dataran rendah dan hutan pegunungan bersifat epifit, yaitu menempel pada batang atau

cabang pohon lain (Azwar dkk, 2007).

Nepenthes hidup di tanah, ada juga yang menempel pada batang atau ranting

pohon lain sebagai epifit. Keunikan dari tumbuhan ini adalah bentuk, ukuran, dan corak

warna kantungnya. Sebenarnya kantung tersebut adalah ujung daun yang berubah

bentuk dan fungsinya menjadi perangkap serangga atau binatang kecil lainnya. Dengan

kemampuan itu maka tumbuhan tersebut digolongkan sebagai caniforus plant. Ada

juga yang menamakan insectivorous plant karena serangga lebih sering terperangkap

kedalam kantung yang menawan ini. Tidak sedikit orang menyangka bahwa kantung

tersebut sebagai bunganya, padahal kantung adalah daun yang berubah bentuk

(Mansur, 2006).

Nepenthes umumnya tumbuh secara spatial yang kemudian berkembang dalam

jumlah besar hampir di setiap tipe vegetasi, terutama tanah yang tidak subur, misalnya

tanah pedzolik putih, tanah gambut atau tanah vulkanis yang tercuci berat. Sering

berada di sepanjang sungai, puncak bukit berbatu yang terbuka atau hutan lumut basah

(Handayani dan Syamsudin, 1998).

Kemampuan Nepenthes hidup di tanah yang miskin unsur hara menjadikan

Nepenthes mengembangkan kantungnya sebagai alat untuk memenuhi kekurangan

suplai unsur hara terutama nitrogen dan fosfor (Wang dkk, 2009; Mithofer, 2011;

Morohoshi dkk, 2011).

Kawasan hutan tropik Indonesia umumnya merupakan hujan hutan tropis hutan

hujan spesiesinimenerimahujanberlimpahsekitar2000 – 4000 mm/tahun. Suhunya

tinggi (sekitar 24 – 26oC) dengan kelembaban rata-rata 80%. Komponendasarhutan ini

(14)

terna, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit.Diantaratumbuhan epifit

terdapatsejumlahNepenthesdantumbuhan-tumbuhanlainnyasertasejumlah

tumbuhanpaku (Ewusie,1990).

Nepenthes yang hidup di habitat ini ada yang bersifat epifit, yaitu

menempel pada batang atau cabang pohon lain, contohnya Nepenthes veitchii dan

Nepenthes gymnamphora. Adapula yang hidup terestrial di permukaan tanah dan

di tempat-tempat yang terbuka, seperti di pinggir sungai atau dipuncak bukit

yang didominasi oleh paku resam (Gleichenia spp.) Nepenthes yang hidup di

habitat pegunungan, antara lainN.tentaculata(Mansur,2006).

Nepenthes reinwardtiana dapat hidup di hutan rawa gambut , hutan kerangas ,

hutan dataran rendah, hutan lumut, (0 ̶ 2100 m dpl). Nepenthes reinwardtiana ditemukan

dan diberi nama oleh F.A.W. Miquel pada tahun 1862. Dua spot mata dalam dinding

kantung di bawah permukaan mulut kantung merupakan ciri utama dari jenis ini,

namun tidak semua kantung memiliki dua spot mata (Azwar, 2006). N. reinwardtiana

merupakan tumbuhan menjalar dapat memanjat. Batangnya berbentuk segitiga, tinggi

atau panjang batang mencapai lebih dari 16 m (Phillips dan Lamb,1996).

Nepenthes gracillis, bisa tumbuh di tempat-tempat terbuka ataupun terlindung,

dengan berbagai jenis tanah antara lain; tanah berpasir, tanah gambut, dan tumbuh di

dataran rendah dengan ketinggian antara 0 – 700 m.dpl (Sujayanto, 2006) Sedangkan

menurut Handoyo (2006) menyatakan bahwa jenis Nepenthes gracillis banyak tumbuh

di wilayah hutan yang basah.

G. Penyebaran Nepenthes spp.

(15)

dan Sumatera sebagai surga habitat tanaman ini. Dari 64 jenis yang hidup di Indonesia,

32 jenis diketahui terdapat di Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah, dan Brunei)

sebagai pusat penyebaran Nepenthes. Pulau Sumatera menempati urutan kedua dengan

29 jenis yang sudah berhasil diidentifikasi. Keragaman jenis Nepenthes di pulau

lainnya belum diketahui secara pasti. Namun berdasarkan hasil penelusuran spesimen

herbarium di Herbarium Bogoriense, Bogor, ditemukan bahwa di Sulawesi minimum

10 jenis, Papua 9 jenis, Maluku 4 jenis, dan Jawa 2 jenis (Mansur, 2006).

Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah dan Brunei) merupakan pusat penyebaran

Nepenthes di dunia karena ditemukan sebantak 32 jenis. Selanjutnya di Sumatera

ditemukan sebanyak 29 jenis (Clarke, 2001), sedangkan di Sumatera Barat ditemukan

sebanyak 18 jenis (Nepenthes Team 2004). Penyebaran Jenis-jenis Nepenthes di dunia

dapat di lihat pada Gambar 2.

Sumber : Based on Kurata Iden 26 (10) : 43-51, 1972, Clarke 2001, Schlauer CP Database 2007, and others, with modifications. Carnivorous Plants Distribution Map based on Juniper et al.(1989), Komiya (1994), Lowrie (1998), Schnell (2002), and others.

Gambar 2. Peta penyebaran jenis-jenis Nephentes di dunia.

Sumatera merupakan urutan kedua setelah Kalimantan sebagai tempat

(16)

Kalimantan. Dari jenis-jenis yang sudah ditemukan di Sumatera, 12 di antaranya masih

dalam proses identifikasi (Anonimus, 2006). Semua jenis Nepenthes spp. yang ada di

Sumatera tersebar dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi. Nepenthes spp. di

Sumatera memiliki beberapa sebutan seperti periuk monyet di Riau, kantung beruk di

Jambi,dan Ketakung atau calong beruk di Bangka. Bahkan di Gunung Kerinci

(Sumatera Barat) ada sebutan terompet gunung untuk jenis Nepenthes aristolochioides.

Pada awalnya, Nepenthes spp. di Sumatera sangat mudah ditemukan di hampir seluruh

tipe hutan dan tersebar hampir merata di setiap provinsi, kecuali untuk jenis endemik

tertentu, akan tetapi sekarang sudah mulai sulit dijumpai. Sebenarnya masih banyak

lagi jenis silangan alami lainnya. Sekitar 71 jenis silangan alami yang telah ditemukan

di Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan Borneo, tapi hanya tiga jenis saja yang

populer di Sumatera (N. xhooveriana, N. xtrichocarpa, dan N. xneglecta)

(Mansur, 2006).

Keadaan Umum Hutan Lindung Pakpak Bharat

Kabupaten Pakpak Bharat terdiri atas 8 kecamatan yaitu: Salak, Sitellu Tali

Urang Jehe, Kerajaan, Sitellu Urang Julu, Pergetteng-getteng Sengkut, Pagindar,

Siempat Rube, dan Tinada. Kabupaten Pakpak Bharat masih membutuhkan lahan untuk

rencana pembangunan ke depannya, dimana 87,3 % (106.404.32 Ha) dari luas wilayah

(121.830 Ha) adalah kawasan hutan dengan status sebagai berikut :

̶ Hutan Lindung : 43.938,61 Ha

̶ Hutan Produksi : 7.916,71 Ha

̶ Hutan Produksi Terbatas : 48.894,00 Ha

̶ Hutan Konservasi : 5.657,00 Ha (Dephut,2005).

(17)

Utara : Kabupaten Dairi Kecamatan Pungga-pungga, Lae parira, dan

Sidikalang.

Selatan : Kabupaten Hasundutan Kecamatan Tarabintang dan Kabutapaten

Tapanuli Tengah Kecamatan Manduamas.

Barat : Provinsi Aceh Kabupaten Aceh Singkil.

Timur : Kabupaten Dairi Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Toba samosir

Kecamatan harian dan Kabupaten Humbang Hasundutan Kecamatan

Parlilitan.

Kabupaten Pakpak Bharat merupakan kabupaten yang memiliki kawasan hutan

yang cukup luas. Keberadaan kawasan hutan ini merupakan aset daerah yang harus

terus dikelola dan dikembangkan ke arah yang lebih baik, agar dapat dimanfaatkan

secara berkelanjutan. Untuk pengembangan dan pengelolaan ini perlu dilakukan

berbagai penelitian dan pengembangan.

Keadaan Umum Kawasan Suaka Margasatwa Siranggas Sejarah Kawasan

Kawasan Suaka Margasatwa Siranggas sebelum ditunjuk sebagai kawasan

suaka margasatwa merupakan bagian kelompok hutan Siranggas Register 70 dan

Sikulaping register 71 wilayah Kecamatan Salak Kabupaten Dairi. Berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 71/Kpts-II/1989 tanggal 6 Februari 1989 tentang

penunjukan kelompok Hutan Siranggas seluas ± 5.657 Ha yang terletak di Kabupaten

Dati II Dairi, Propinsi Dati I Sumatera Utara sebagai Suaka Margasatwa, yang

selanjutnya diberi nama Suaka Margasatwa Siranggas.

(18)

Secara administratif SM. Siranggas berada di 5 (lima) kecamatan yaitu

Kecamatan Kerajaan (Desa Majanggut I, Majanggut II) Kecamatan Salak (Desa

Sibongkaras, Salak) Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe (Desa Mahala dan Desa

Tinada), Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut (Desa Simarpara, Desa Kecupak I dan

Desa Kecupak II), Kabupaten Pakpak Bharat.

Suaka Margasatwa Siranggas memiliki batas-batas sebagai berikut:

a) Sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Pakpak Bharat

b) Sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Pakpak Bharat

c) Sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Pakpak Bharat

d) Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi NAD

Topografi, Geologi, Tanah dan Iklim

Suaka Margasatwa Siranggas memiliki topografi relative bergelombang dan

terjal dengan PH tanah berkisar 3 – 4. Berdasarkan peta topografi, kawasan berada

pada ketinggian 500 – 1194 m dpl, dengan persentase kelerengan berkisar 15% - 45 %

sehingga SM. Siranggas termasuk dalam kategori Ekosistem Hutan Tropis Dataran

Tinggi. Berdasarkan peta geologi Propinsi Sumatera Utara Skala 1 : 500.000 tahun

1986, SM. Siranggas terdiri atas batuan beku endapan dan metamorf, pegunungan

patahan dengan jenis tanah latosol, kompleks podsolik merah kuning, litosol dengan

fisiografi vulkanik.

Menurut klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi, jenis tanah tergolong

keadaan jenis tanah yang sangat peka erosi. Karakteristik iklim adalah iklim tropika

dengan curah hujan berkisar antara 2.010 sampai dengan 2.327 mm/tahun. Menurut

klasifikasi iklim Oldemann dkk wilayah ini berada pada zona iklim D, sebuah zona

(19)

6 bulan kering (curah hujan kurang dari 100/bulan) berturut-turut (Giesen dan Sukotjo,

Gambar

Gambar 1.  Berbagai variasi bentuk kantung Nepenthes : a) bentuk tempayan, b) bentuk telur, c) bentuk silinder,d) bentuk corong, dan e) bentuk pinggang

Referensi

Dokumen terkait

Penyimpanan dan penempatan alat-alat atau bahan kimia menganut prinsip sedemikian sehingga tidak menimbulkan kecelakaan pada pemakai ketika mengambil dari dan

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan, rahmat serta hidayahNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi

Gambar 4.1 Kerangka kerja Gambaran kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit pekerja yang terpapar bahan kimia lem pada home industry sepatu.

Peneliti mengambil sampel dengan memilih beberapa perangkat Kelurahan Bulukerto, Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Bulukerto, Kepala Komisi Pemilihan

Bagi Mahasiswa yang sudah tercantum namanya, Silakan untuk mengikuti Bimbingan Bersama Sesuai Jadwal yang tertera2. Semua mahasiswa WAJIB HADIR di Bimbingan Bersama Sesuai Jadwal

Berdasarkan Berita Acara Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran Nomor : MI.13.46/Ks.01.1/057/2012 tanggal 16 Agustus 2012, maka Panitia Pengadaan untuk Pemilihan Langsung

Pada hari ini Kamis tanggal Enam Belas bulan Agustus tahun Dua ribu dua belas, Kami selaku Panitia Pengadaan Barang / Jasa telah mengadakan Pembukaan Dokumen

[r]