BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman
Piper crocatum Ruiz & Pav. atau daun sirih merah merupakan tanaman
yang diketahui tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, seperti di lingkungan Keraton Yogyakarta dan di lereng merapi sebeleh timur, serta papua dan jawa barat. Sirih merah bisa tumbuh dengan baik di tempat yang teduh dan tidak terlalu banyak terkena sinar matahari. Jika terkena sinar matahari langsung secara terus-menerus warna merah daunnya bisa menjadi pudar dan kurang menarik (Sudewo, 2010).
2.1.1 Sistematika tanaman
Tanaman sirih merah merupakan salah satu famili piperaceae. Taksonomi tanaman sirih merah menurut Hidayat (2013) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Piperales Suku : Piperaceae Marga : Piper
2.1.2 Nama daerah
Nama daerah untuk sirih merah yaitu ranub, blo, sereh, sireh, belo, ibun (Sumatera). Sedah, suruh, seureuh, sere (Jawa). Afo, nai wadok, mirtan (Papua) (Hidayat, 2013).
2.1.3 Morfologi tanaman
Tanaman obat ini memiliki penampilan yang menarik, sehingga banyak yang mengoleksi sebagai tanaman hias yang eksotis. Kehadirannya di dunia pengobatan herbal banyak mendapat perhatian masyarakat (Sudewo, 2012). Tanaman sirih merah (Gambar 2.1) sepintas sosoknya mirip sirih biasa, tanaman merambat yang tumbuh ke atas mempergunakan akar yang keluar dari ruas-ruasnya. Bedanya sirih merambat berdaun hijau gelap dengan motif atau bercak-bercak berwarna keperakan yang muncul di sekitar tulang daunnya, sedangkan tulang daun berwarna kemerahan sementara permukaan bawahnya berwarna merah keunguan (Prihmantoro, 1997).
2.1.4 Kandungan kimia
Kandungan kimia yang terdapat pada daun sirih merah antara lain minyak atsiri, hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, terpenena, dan fenil propada (Werdhany, et al., 2008).
Menurut Sudewo (2010), daun sirih merah mengandung senyawa-senyawa yang memiliki efek antibakteri yaitu flavonoid, senyawa polifenolat, tanin, dan minyak atsiri.
2.1.5 Khasiat tanaman
Tanaman sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) merupakan salah satu tanaman obat yang daunnya telah lama dikenal mempunyai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit (Werdhany, et al., 2008). Banyak masyarakat pecinta herbal mengembangkan tanaman ini untuk keperluan berbagai pengobatan (Sudewo, 2012).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Terdapat beberapa macam metode ekstraksi, diantaranya adalah maserasi, perkolasi, refluks, infus, dekok, digesti, dan sokletasi (Ditjen POM, 1979). Metode ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi metode dingin dan metode panas.
2.2.1 Cara dingin
Cara dingin merupakan metode ekstraksi tanpa pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang tidak tahan pemanasan. Ekstraksi cara dingin antara lain:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).
b. Perkolasi
2.2.2 Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temparatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Ditjen POM, 2000).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan adanya pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50O C (Ditjen POM, 2000).
d. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur pada suhu 96- 98C selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000).
e. Dekoktasi
2.3 Nanopartikel
Nanopartikel merupakan partikel bentuk padat dengan ukuran sekitar 10-1000 nm (Mohanraj dan Chen, 2006). Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel dalam rentang ukuran 1-1000 nm (Buzea, et al., 2007). Berdasarkan sifatnya yaitu mudah terdispersi, nanopartikel dapat tersebar seperti aerosol, suspensi/koloid, atau dalam keadaan menggumpal (Buzea, et al., 2007).
Nanoteknologi mulai memungkinkan para ilmuwan, ahli kimia, dan dokter untuk bekerja di tingkat molekuler dan sel untuk menghasilkan kemajuan penting di bidang ilmu pengetahuan dan kesehatan (Stern dan McNeil, 2008). Nanoteknologi memiliki keuntungan yaitu meningkatkankan kelarutan dan luas permukaan, dosis yang dibutuhkan lebih sedikit, dan dapat digunakan untuk obat bertarget (Stern dan McNeil, 2008).
2.4 Metode Pembuatan Nanopartikel
Sediaan nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode, yaitu metode emulsifikasi, presipitasi, penggilingan (milling methods), dan polimer hidrofilik, (Soppimath, et al., 2001).
2.4.1 Metode emulsifikasi
2.4.2 Metode milling
Penggilingan merupakan teknik standar yang telah digunakan dalam beragam bidang aplikasi industri untuk mengurangi ukuran partikel. Besarnya pengurangan ukuran diatur oleh jumlah energi penggilingan, yang ditentukan oleh kekerasan intrinsik obat, media grinding, dan penggilingan. Pengurangan ukuran partikel lewat penggilingan dapat dijelaskan oleh tiga mekanisme yaitu gesekan antara dua permukaan karena tekanan yang dihasilkan melampaui kekuatan inheren partikel sehingga mengakibatkan frakturasi (patahan atau retakan), gaya gesek yang dihasilkan mengakibatkan pecahnya partikel menjadi beberapa bagian, dan deagregasi terkait kolisi (tabrakan) antar agregat pada laju diferensial yang tinggi (Vijaykumar, et al., 2010).
2.4.3 Metode polimer hidrofilik
Metode polimer hidrofilik menggunakan polimer larut air seperti kitosan, natrium alginat dan gelatin. Nanopartikel umumnya terbentuk secara spontan ataupun dengan penambahan pengemulsi (Soppimath, et al., 2001).
2.5Mekanisme Regulasi Glukosa Darah
Insulin berikatan dengan reseptornya di permukaan sel pada jaringan target, untuk pengaturan homeostasis glukosa. Reseptor insulin merupakan glikoprotein
transmembran yang terdiri dari dari dua subunit α dan β. Interaksi insulin dan
reseptor menghasilkan sinyal untuk mengaktifasi jalur anabolik dan menghambat proses katabolik. Transport glukosa kedalam sel otot rangka dan jaringan adiposa diperantai GLUT4. Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam hati dengan memicu glukokinase, sehingga kadar glukosa tetap rendah dan mempermudah masuknya glukosa ke dalam sel (Ganong, 2005).
Sejumlah besar glukosa diproduksi oleh hati, dan sebagian digunakan untuk metabolisme glukosa di otak, sisanya diambil oleh beberapa jaringan, terutama otot dan sebagian kecil untuk jaringan adiposa dalam keadaan puasa. Hati yang normal dapat meningkatkan produksi glukosa empat kali atau lebih, dan efek utama dari kadar insulin yang relatif rendah untuk menahan produksi glukosa di hati. Insulin disekresikan dalam jumlah yang besar setelah makan, dan mengurangi produksi glukosa di hati walaupun selanjutnya akan menyebabkan peningkatan uptake glukosa di otot (Goldstein dan Muller, 2008).
2.6 Diabetes Melitus
2.6.1 Klasifikasi diabetes melitus
Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan patologi meliputi:
a. Diabetes melitus tipe 1, terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara umum, berkembang pada anak-anak disebabkan kerusakan sel-β pankreas akibat autoimun sehingga terjadi defisiensi insulin absolut.
b. Diabetes melitus tipe 2, terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Tipe ini disebabkan karena gaya hidup penderita.
c. Diabetes tipe lain, akibat adanya kelainan genetik pada fungsi sel-β pankreas, kelainan pada insulin, infeksi, pankreatitis, pankreatomi, obat-obatan dan kelainan genetik lainnya.
d. Diabetes kehamilan (diabetes gestasional), adalah diabetes yang timbul selama kehamilan (Powers, 2008).
2.6.2 Diagnosis diabetes melitus
Badan Data Diabetes Nasional dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan kriteria diagnosa untuk DM yaitu:
a. Glukosa Plasma Puasa (GPP) lebih dari 126 mg/dL.
b. Glukosa Plasma (GP) 2 jam setelah diberikan larutan glukosa (Tes Toleransi Glukosa Oral) lebih dari 200 mg/dL.
2.6.3 Komplikasi diabetes melitus
Komplikasi DM terbagi atas komplikasi akut dan komplikasi kronik. a. Komplikasi diabetes melitus akut
- Reaksi hipoglikemik, gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa yaitu kurang dari 50 mg/dl.
- Diabetes ketoasidosis (DKA), pasien biasanya mengalami gejala mual, muntah, rasa nyeri yang hebat pada bagian perut, dan bahkan terjadi pancreatitis (Misnadiarly, 2006).
b. Komplikasi diabetes melitus kronik
Komplikasi diabetes mellitus secara kronik (menahun), yaitu timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap penyakit diabetes melitus. Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh, di bagi menjadi dua yaitu makrovaskuler dan mikrovaskuler. Mikrovaskuler yaitu pada ginjal dan mata. Makrovaskuler yaitu pada jantung koroner, pembuluh darah kaki dan pembuluh darah otak (Misnadiarly, 2006). 2.6.4 Manajemen pengobatan diabetes melitus
Tujuan terapi dari manajemen DM ini adalah mengurangi resiko terjadinya komplikasi, mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Triplitt, et al., 2008).
2.6.4.1Terapi insulin
Mekanisme kerja insulin dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan merangsang pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi glukosa hepatik. Insulin dimetabolisme di hati, ginjal dan otot (Lawrence, 2005).
Prinsip terapi insulin:
a. Pasien DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin endogen oleh sel-sel β tidak ada.
b. Pasien DM tipe 2, bila terapi lain tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
c. Keadaan stress berat, yaitu infeksi, pembedahan atau sroke. d. Diabetes mellitus gestasional.
e. Ketoasidosis diabetik.
f. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
g. Kontra indikasi atau alergi terdapat obat hipoglikemik oral (Lawrence, 2005). 2.6.4.2Terapi obat-obatan
a. Sulfonilurea
Mekanisme kerja dengan menstimulasi insulin dari sel β-pankreas.
b. Meglitinid
Obat yang termasuk golongan ini adalah repaglinid dan nateglinid. Obat ini memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan sulfonil urea, yaitu depolarisasi membrane dan pelepasan insulin (Lawrence, 2005).
c. Biguanida
Mekanisme kerja obat dengan aktifasi kinase pada otot skelet dan adiposit merangsang translokasi GLUT4 ke permukaan sel sehingga terjadi peningkatan transport glukosa ke dalam sel. Metformin sering menjadi pilihan utama dalam penanganan pasien diabetes tipe 2 obesitas, karena tidak menyebabkan peningkatan berat badan.
d. Tiazolidinedion (misalnya: rosiglitazon dan pioglitazon)
Golongan obat yang baru, menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan sensitifitas insulin (insulin sensitizers).
e. Penghambat α-Glukosidase (misalnya: akarbose dan miglitol).
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa-glukosidase di saluran pencernaan, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi monosakarida terhambat dan memperkecil peningkatan konsentrasi glukosa darah setelah makan (Lawrence, 2005).
f. Mimetik inkretin
g. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers)
Meningkatkan konsentrasi GLP-1 dalam darah dengan menghambat degradasinya oleh DPP-4. Misalnya: sitagliptin, vitagliptin, saxagliptin (Lawrence, 2005).
2.7 Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone) adalah senyawa kimia tidak stabil dan hidrofilik. Pemberian aloksan adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi hiperglikemi pada hewan percobaan. Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan dengan karakteristik mirip dengan DM tipe 1 pada manusia. Dosis intravena yang digunakan biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3 kalinya (Szkudelski, 2001). Aloksan bersifat toksik selektif terhadap sel-β pankreas yang memproduksi insulin karena terakumulasinya aloksan secara khusus melalui transporter glukosa yaitu GLUT2 (Filipponi, et al., 2008).
Mekanisme kerja aloksan yaitu adanya influks kalsium dari cairan ekstraseluler, mobilisasi kalsium dari simpanannya secara berlebihan, dan
eliminasinya yang terbatas dari sitoplasma, mengakibatkan depolarisasi sel β