• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN

SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu dalam

Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:

MUCHAROM SYARIFUDIN ZUHRI NIM: 083111091

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi ABSTRAK

Judul : Sifat-Sifat Pendidik Perspektif Al-Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35

Penulis : Mucharom Syarifudin Zuhri NIM : 083 111 091

Skripsi ini membahas tentang sifat-sifat pendidik perspektif al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35. Kajiannya dilatar belakangi oleh banyaknya pendidik yang hanya mengandalkan kemampuan intelektualnya dalam mendidik, tanpa menyeimbangkan dengan aspek lain yang mendukung proses pendidikan, pengajaran dan pembelajaran, seperti sifat serta kepribadian yang baik yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Semua perilaku pendidik sangat berpengaruh terhadap peserta didik, karena peserta didik cenderung mencontoh pendidiknya. Pendidik yang diharapkan oleh pendidikan Islam yaitu pendidik yang mampu mengoptimalkan semua kemampuan dalam dirinya guna mendapatkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya sifat-sifat pendidik yang terdapat dalam surat Fushshilat ayat 34-35 yang dapat diterapkan oleh setiap pendidik dalam proses pendidikan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau (library research). Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, dalam hal ini ada tiga sumber, yaitu: sumber primer, sumber sekunder dan sumber tersier. Guna mencari jawaban dari beberapa permasalahan yang ada di atas, maka digunakan metode tahlili.

Kajian ini menunjukkan bahwa di dalam kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 terdapat beberapa sifat-sifat sebagai seorang pendidik yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw yang dapat dijadikan teladan bagi para pendidik, yaitu: (1) Memiliki sifat kesabaran, (2) Selalu berbuat baik, (3) Lemah lembut, (4) Kasih sayang terhadap peserta didik, (5) Mampu menahan amarah, dan (6) Memiliki sifat pemaaf, beserta implikasinya dalam system pendidikan Islam.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan rujukan bagi civitas akademik, para mahasiswa, para tenaga pengajar mata kuliah jurusan dan program studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, terutama bagi para pendidik khususnya dalam pendidikan Islam agar senantiasa mengoptimalkan seluruh kemampuan dalam mendidik baik dari segi intelektual, sifat, serta kepribadiannya sesuai yang dengan ajaran agama Islam yang dalam hal ini menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman utamanya.

(7)

vii

TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/1987. Penyimpangan penulisan kata sandang [al-] disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.

ا

a

ط

ب

b

ظ

ت

t

ع

҅

ث

غ

g

ج

j

ف

f

ح

ق

q

خ

kh

ك

k

د

d

ل

l

ذ

ż

م

m

ر

r

ن

n

ز

z

و

w

س

s

ه

h

ش

sy

ء

҆

ص

ي

y

ض

Bacaan Madd: Bacaan Diftong:

ā = a panjang

وا

= au

ū = u panjang

يا

= ai

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah, dan kenikmatan kepada penulis berupa kenikmatan jasmani maupun rohani, sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul Sifat-sifat Pendidik Perspektif al-Qur’an Surat Fushshilat ayat 34-35. Sholawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, karena berkat perjuangan beliau yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang terang benderang ini yaitu zaman Islamiyah.

Niat yang tulus, keikhlasan, kesabaran, dan penuh tanggung jawab, menjadi bekal utama penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maka penulis sekali lagi bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan apa yang tidak diberikan oleh siapapun berupa pertolongan di dalam menyusun skripsi ini sampai selesai. Daya dan upaya selalu tercurahkan baik materi maupun pikiran, karena penulis sadari penulisan skripsi ini tidak semudah yang dibayangkan. Banyak hal yang belum pernah penulis jumpai dalam penelitian tentang sifat-sifat pendidik perspektif al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35. Akan tetapi semua itu dapat penulis jalani dengan baik, penuh kesabaran dan penuh tanggung jawab sehingga skripsi ini dapat penulis susun sebagaimana mestinya. Dengan pengalaman yang sangat berharga ini, penulis sangat termotivasi untuk terus berusaha melaksanakan penelitian di waktu yang akan datang, agar tujuan penelitian dapat terwujud.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat:

1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

2. Drs. Ahmad Sudja’i, M.Ag., selaku Pembimbing I dan Nadhifah,S.Th.I, M.S.I, selaku Pembimbing II, yang telah berkenan meluangkan waktunya, tenaga dan pikirannya untuk membimbing, mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

3. Para Penguji Skripsi, Dr. Musthofa, M. Ag., Drs. Ahmad Sudja’i, M. Ag., Achmad Hasmi Hashona, M.A., dan Yunita Rahmawati, M.A., yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk menguji, skripsi ini.

(9)

ix

4. Dosen Pendidikan Agama Islam, dan staf pengajar di IAIN Walisongo Semarang yang membekali berbagai pengetahuan dan pengalaman.

5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan pelayanan yang baik.

6. Bapak Marjiwo, S.Ag. dan Ibu Maryati, S.Pd.SD selaku ayahanda dan ibunda tercinta, hanya terima kasih yang bisa anakmu ucapkan atas do’a restu ayah dan ibu yang tidak pernah lelah untuk mendoakan penulis, nasihat, dan dukungan serta segala pengorbanan dan kasih sayang selama ini dalam mendidik penulis dengan penuh kesabaran serta kepada adik-adik yang selalu menyadarkan penulis setiap penulis melakukan kesalahan. 7. Teman seperjuangan PAI-C 2008 dan seluruh teman PAI angkatan 2008

yang senantiasa menjadi penyemangat bagi penulis.

Atas jasa-jasa mereka penulis hanya dapat memohon doa semoga amal mereka diterima Allah SWT, dan mendapat pahala yang lebih baik serta mendapatkan kesuksesan bak di dunia maupun di akhirat. Dan kepada mereka semua, penulis ucapkan “jazakumullah khairan katsiran“.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa sripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.

Semarang, 30 April 2012 Penulis

Mucharom Syarifudin Zuhri NIM. 083111091

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i PERNYATAAN KEASLIAN ... ii PENGESAHAN ... iii NOTA PEMBIMBING ... iv ABSTRAK ... vi TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II : KAJIAN TAFSIR AL QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35 ... 14

A. Deskripsi Al Qur’an Surat Fushshilat ayat 34-35 ... 14

1.Teks, Mufradat dan Terjemah ... 14

2.Gambaran Umum Surat Fushshilat Ayat 34-35 ... 15

3.Asbabun Nuzul Ayat dan Munasabah ... 15

B. Penafsiran Ayat Menurut Para Mufassir ... 21

1.Tafsir Al Mishbah ... 21

2.Tafsir Al Maraghi ... 24

3.Tafsir Ibnu Katsir ... 26

4.Tafsir Qur’anul Majid An Nuur ... 27

5.At-Tafsir Al-Munir ... 29

6.Al-Mizan fii Tafsir Al-Qur’an ... 30

(11)

xi

D. Esensi Ayat ... 32

BAB III : SIFAT-SIFAT PENDIDIK MENURUT AL-QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35 ... 34 A. Kesabaran ... 34 B. Berbuat Baik ... 36 C. Lemah Lembut ... 38 D. Kasih Sayang ... 40 E. Menahan Amarah ... 42 F. Pemaaf ... 43

BAB IV : IMPLIKASI SIFAT-SIFAT PENDIDIK DALAM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM ... 45

A. Kesabaran pendidik ... 48

B. Pendidik selalu berbuat baik ... 51

C. Pendidik harus lemah lembut ... 52

D. Pendidik harus bersifat penyayang ... 53

E. Pendidik harus mampu menahan amarah dan Pemaaf ... 54 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... B. Saran-saran ... DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masal ah

Pada dasarnya pendidikan laksana eksperimen yang tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Dikatakan demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pembawaan manusia yang mamiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupan.1 Pendidikan selalu melekat dalam kehidupan manusia yang tidak terbatas oleh waktu kecuali datangnya kematian yang akan memutuskan seluruh perkara yang berhubungan dengan manusia di dunia.

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sentral dan kegiatan yang disengaja dan terencana untuk membantu mengembangkan seluruh potensi anak agar dapat bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai individu, masyarakat dan warga negara yang berilmu atau berintelektual tinggi, serta berwawasan yang luas dan mampu untuk berpikir bebas.

Pendidikan dalam suatu bangsa mempunyai peranan yang sangat penting guna menunjang serta menjamin kelangsungan suatu bangsa itu sendiri. Sebab melalui pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know dan how to do, tetapi yang amat penting adalah how to be, bagaimana supaya how to be terwujud, maka diperlukan transfer budaya dan kultur.2 Pendidik dalam pendidikan Islam harus mampu mentransfer ilmu serta mampu mentransfer budaya dan kultur, agar peserta didik mengetahui serta mampu menghargai budaya dan kultur yang ada.

1

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. ix

2

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm.10

(13)

2 Pendidikan merupakan sebuah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Istilah pendidikan atau paedagogie dapat diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Sehingga pendidikan menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang didalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, peserta didik, tujuan dan sebagainya. Selain itu, pendidikan juga merupakan fenomena manusia yang fundamental, yang mempunyai sifat konstruktif dalam hidup manusia.3 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi manusia untuk merubahnya menjadi lebih dewasa. Baik dewasa dalam hal jasmani maupun rohani.

Pengertian pendidikan ini tidak jauh berbeda dengan pengertian pendidikan Islam, namun dalam pendidikan Islam lebih ditekankan lagi pada nilai-nilai Islam. Menurut Achmadi, pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.4 Dalam pandangan Islam, insan kamil diformulasikan secara garis besar sebagai pribadi muslim yakni manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya secara baik, positif, dan konstruktif.

Mengingat pendidikan merupakan faktor yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia, maka jika pendidikan dipandang sebagai suatu proses, dalam seluruh aktivitasnya harus terfokus pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Bangsa Indoneisa menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia seutuhnya. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4 berbunyi :

3

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, hlm. 1 – 8.

4

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 28 – 29.

(14)

3 Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa tehadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.5

Sehubungan dengan hal tersebut, maka setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapat pendidikan, baik pendidikan di dalam sekolah maupun di luar sekolah guna menjadi bekal bagi mereka dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman serta kemajuan teknologi yang semakin pesat. Tidak hanya itu saja, warga negara juga berhak mendapatkan pendidikan Islam, tidak hanya pendidikan umum saja.

Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini karena disamping perannya yang amat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, juga karena di dalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan segera. Bagi mereka yang akan terjun ke dalam bidang pendidikan Islam harus memiliki wawasan yang cukup tentang pendidikan Islam dan memiliki kemampuan untuk mengembangkannya sesuai dengan tuntunan zaman.

Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam secara umum yaitu membentuk kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah swt.6 Jadi, peran pendidikan khususnya pendidikan Islam sangatlah penting bagi anak agar kehidupannya dapat selaras dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

Pendidikan Islam harus diselaraskan dengan tujuan diciptakannya manusia serta kepada tugas manusia yang paling utama di dunia ini, yaitu beribadah

5

Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 7

6

(15)

4 kepada Allah dan mengesakan-Nya.7 Seperti yang telah di firmankan dalam al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56 :

Dan Aku tidak akan menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. ( adz Dzariyat/51: 56) 8

Dengan berpedoman pada ayat tersebut diatas, pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam; yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akherat.9 Dalam konteks sosial masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’ālamīn, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.

Mengingat pentingnya peran pendidikan, maka pendidik dituntut agar memiliki kamampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik, baik yang menyangkut kemampuan membimbing maupun melatih peserta didik. Dengan kemampuan itu pendidik membantu peserta didik secara lebih baik dalam mengembangkan aspek intelektual, emosional, sosial maupun moral spiritual.

Perlu disadari juga, seperti yang telah disebutkan diatas bahwasanya semua hal yang peserta didik lihat, dengar dan rasakan merupakan pendidikan, maka pendidik harus berusaha memberikan pendidikan yang benar dan maksimal, baik dari tingkah laku, perkataan dan moral-spiritualnya. Karena tanpa disadari para peserta didik akan melihat serta mencontoh semua yang dilakukan oleh

7

Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 46.

8

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: CV. J-ART, 2005), hlm. 523

9

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

(16)

5 orang disekelilingnya khususnya pendidik atau guru. Pendidik atau guru dalam mengajarkan ilmu di dalam kelas misalnya, akan dilihat oleh semua peserta didik dari semua aspek, baik tingkah laku, sifat, sikap, maupun perkataannya.

Al-Ghozali dalam Mahmud, menurut pandangan pendidikannya, kedudukan pendidik atau guru sangat penting dalam mengajarkan ilmunya. Tidak akan ada proses pengajaran tanpa adanya pendidik atau guru. Beliau juga menekankan betapa pentingnya unsur ikhlas dalam mengajar.10

Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami tiga unsur pokok dalam proses pendidikan, yaitu: pertama, menjaga kelestarian umat harus ada orang yang berilmu (guru), kedua, tidak ada artinya seorang guru tanpa mengajarkan ilmunya dan ketiga, mengajar akan berarti bila dilandasi dengan hati yang ikhlas. Ikhlas menurut Ghozali suatu yang menyangkut nilai yaitu nilai Islam. Jadi, semua ilmu yang diajarkan guru harus mengandung nilai Islam dan nilai Islam tersebut harus dibentuk dan ditransfer oleh pendidik atau guru.

Nilai-nilai Islam yang diajarkan pendidik atau guru kepada peserta didik setidaknya berpedoman kepada al-Qur’an. Pendidik atau guru harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan al-Qur’an yang meliputi agama, sosial humaniora, serta sains dan teknologi. Dengan itu peserta didik mampu mengintegrasikan permasalahan kontemporer dengan al-Qur’an, baik masalah keagamaan, sosial humaniora atau sains dan teknologi.

Dalam pandangan Islam, pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, bukan hanya sekedar pengajaran atau suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya, melainkan pengajaran yang berorientasi pada pembentukan spesialis peserta didik.11 Oleh karena itu pendidik sebagai pembina generasi muda harus senantiasa menampilkan sosok pribadi yang patut diteladani. Sebagai figur yang diteladani dengan kepribadiannya, maka seorang pendidik harus menjaga wibawa dan citranya di masyarakat dengan senantiasa didasari oleh

10

Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2011), hlm.246

11

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

(17)

6 ketaatan dan keteguhan terhadap norma-norma susila, moral, sosial dan agama, sehingga mampu mengembangkan dan membentuk kepribadian peserta didik dengan kualitas kepribadian yang tinggi.

Seorang pendidik bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas. Lebih dari itu, mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlaq mulia, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas profesinya serta menerima tanggung jawab profesinya sebagai amanat yang diberikan Allah kepadanya dan harus dilaksanakan dengan baik. Di samping memiliki keluasan ilmu pengetahuan, seorang pendidik dituntut memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, kebapakan, ikhlas dan tidak pamrih, jujur dan dapat dipercaya, memiliki keteladanan sikap dan tingkah laku berprinsip kuat dan disiplin.12

Pendidik yang merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan Islam, diharapkan dapat menjadi sosok pribadi yang memiliki sejumlah atribut kepribadian yang dapat menempatkannya sebagai panutan, teladan serta orang yang mempengaruhi secara positif terhadap anak didiknya. Sifat dan pribadinya harus mencerminkan pribadi yang luhur, sebagaimana halnya Rasulullah saw yang mampu menunjukkan dengan sempurna bahwa al-Qur’an sebagai jiwa dan akhlak beliau.

Namun pada realitanya, ternyata masih ada sebagian oknum guru yang mencemarkan citra dan wibawa guru. Sehingga dalam kenyataannya, tuntunan ideal pendidikan yang diharapkan akan melahirkan peserta didik yang berahklak dan berbudi pekerti yang baik, juga pendidik yang benar-benar dapat dijadikan sumber panutan dan teladan bagi peserta didiknya, ternyata masih sebatas harapan yang belum terealisasikan dengan optimal.

Dari pernyataan di atas terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Pertama, secara logika tuntutan pendidikan untuk melahirkan output berupa peserta didik yang memiliki sejumlah atribut kepribadian yang baik. Kedua, sebagai ajaran yang luhur dan mulia, tidak hanya berisi ajaran mengenai peribadatan ritual belaka, melainkan juga dasar-dasar

12

Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 138

(18)

7 konsepsional tentang pendidikan, termasuk didalamnya ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat pendidik. Ketiga, para cendikiawan muslim telah berhasil menurunkan disiplin ilmu pendidikan Islam yang berasaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dalam hubungan ketiga hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji sebagai salah satu bentuk penelitian ilmiah, yakni menggali konsep sifat-sifat pendidik dari ayat al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35 sebagai fokus dari penelitian ini dengan menggunakan Pendidikan Islam sebagai pisau analisisnya.

Dengan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut kandungan dan penafsiran ayat tersebut dalam kaitannya dengan dunia pendidikan. Selanjutnya permasalahan ini penulis rumuskan dalam sebuah penelitian yang berjudul : ”Sifat-sifat Pendidik Perspektif al-Qur’an Surat Fushshilat ayat 34-35.”

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai fokus dari penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sifat-sifat pendidik menurut surat Fushshilat ayat 34-35 ? 2. Bagaimanakah implikasi paedagogis surat Fushshilat ayat 34-35 dalam

Sistem Pendidikan Islam ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sifat-sifat pendidik yang terdapat dalam surat Fushshilat ayat 34-35.

2. Untuk mengetahui implikasi paedagogis sifat-sifat pendidik surat Fushshilat ayat 34-35 dalam Sistem Pendidikan Islam

(19)

8 1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap para pendidik tentang isi kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 serta dapat menambah wawasan pemikiran bagi para pendidik terutama mengenai sifat-sifat pendidik.

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan memberikan petunjuk tentang isi kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 untuk dijadikan pedoman para pendidik dalam melaksanakan tugasnya serta untuk dijadikan gambaran bagi para pendidik tentang sifat-sifat pendidik yang dihubungkan dengan surat Fushshilat ayat 34-35.

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan kegiatan yang perlu dilakukan dalam penelitian untuk mencari dasar pijakan atau informasi untuk memperoleh dan membangun landasan teori, kerangka berfikir, dan menentukan dugaan sementara atau sering pula disebut dengan hipotesis penelitian, sehingga dengan adanya hal itu maka para peneliti dapat mengerti, melokasikan, mengorganisasikan dan kemudian menggunakan variasi kepustakan dalam bidangnya. Dengan kajian pustaka atau studi kepustakaan peneliti mempunyai pendalaman yang lebih luas dan mendalam terhadap masalah-masalah yang hendak diteliti. 13

Survey kepustakaan yang sudah peneliti lakukan, menunjukkan hasil bahwasanya ada beberapa literatur buku dari pihak lain yang menunjukkan adanya kesesuaian tema dengan penelitian ini. Diantara karya ilmiah atau buku-buku yang mendukung kajian ini sebagai berikut:

Pertama, skripsi Suntawi yang berjudul “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat 79 dan Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)”14 didalamnya berisi kepribadian seorang guru yang menggambarkan perilaku, watak atau kepribadiannya. Kepribadian

13

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 34.

14

Suntawi, “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat 79 dan Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Skripsi,

(20)

9 juga dapat diartikan sebagai sifat hakiki yang tercermin pada sikap seorang guru Pendidikan Agama Islam. Di antara kepribadian guru Pendidikan Agama Islam yang harus dimiliki dalam setiap tingkah lakunya sehari-hari adalah ikhlas dan tidak tamak, jujur, adil dan taqwa, lemah lembut, pemaaf dan musyawarah, rendah hati, wibawa, berilmu luas dan bertubuh sehat, menguasai bahan pengajaran, mencintai pekerjaan, menguasai kapasitas akal peserta didiknya, selalu ingin menambah ilmu dan mengajak pada kebaikan. Dan di dalam skripsi ini terfokus pada konsep Rabbani sebagai peningkatan kepribadian guru.

Kedua, skripsi Nur Dwiastuti yang berjudul “Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya Dalam Kepribadian Guru (Telaah Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam),15di dalamnya berisi Orang tua sebagai pendidik utama bagi anak, harus menampilkan jiwa keutamaan sebagaimana contoh yang telah ditampilkan oleh Rasulullah. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, teladan orang tua meliputi: jujur, amanah, iffah, kasih sayang, memberi perhatian pada anak yang terbesar, menyediakan sekolah yang cocok, dan memilihkan teman bagi anaknya. Teladan inilah yang akan menjadi pondasi nilai-nilai dalam jiwa anak sebagai bekal untuk menapaki kehidupannya kelak. Dan setelah anak memasuki usia sekolah, maka mereka memerlukan sosok teladan dalam diri gurunya sebagai pengganti peran orang tua mereka. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, diantara kriteria yang harus dimiliki oleh guru adalah takwa, ikhlas, mempunyai ilmu pengetahuan, santun, dan bertanggungjawab. Sifat-sifat tersebut akan mengantarkannya menjadi figur yang baik bagi anak didik.

Ketiga, skripsi Moh. Solichun yang berjudul “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i tentang Guru”16, di dalamnya berisi guru yang yang pantas menjadi panutan, teladan dan memiliki idealisme yang tinggi sesuai dengan profesi sebagai pendidik adalah guru yang memiliki sifat “alim adil”. Pengertian “’alim ‘adil” tersebut menunjukkan bahwa seorang guru memiliki kedudukan yang agung dan

15

Nur Dwiastuti, “Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya Dalam Kepribadian Guru (Telaah Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam), Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 79

16

Moh. Solichun, “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i Tentang Guru”, Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 76

(21)

10 luhur di hadapan Allah swt. Pendapat KH. Ahmad Rifa’i mengenai guru yang ‘alim ‘adil tersebut dikenal dengan nama syaikhul mursyid yaitu orang-orang yang memenuhi syarat, yaitu: Islam, ‘aqil, baligh, ‘alim, dan tidak melakukan salah satu dosa besar dan tidak mengekalkan salah satu dosa kecil.

Dari beberapa penelitian diatas mempunyai kesesuaian tema dengan penelitian yang akan peneliti kaji, tetapi yang menjadi perbedaan adalah obyek kajian yaitu dalam penelitian ini yang diteliti adalah Sifat-Sifat Pendidik Dalam Perspektif al-Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35. Dan inilah yang membedakan penelitian yang sedang peneliti kaji dengan penelitian sebelumnya.

E. Metode Penelitian

Sebagaimana karya ilmiah secara umum, setiap pembahasan suatu karya ilmiah tentunya menggunakan metode untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan mudah dipahami. Adapun metode penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi empat komponen, yaitu sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini ialah penelitian kepustakaan (library research). Artinya, permasalahan dan pengumpulan data berasal dari kajian kepustakaan sebagai penyajian ilmiah yang dilakukan dengan memilih literatur yang berkaitan dengan penelitian.17 Oleh karena itu, guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan, peneliti menelaah buku-buku kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data merupakan subjek dari mana data dapat diperoleh. Adapun subjek dari penelitian ini ialah dokumen atau catatan yang

17

(22)

11 menjadi sumber data.18 Sedangkan jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan data secara langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.19 Dalam skripsi ini sumber primer yang dimaksud adalah al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber yang lain yang tidak diperoleh dari sumber primer.20 Dalam skripsi ini sumber-sumber sekunder yang dimaksud adalah kitab-kitab tafsir al-Quran seperti, Tafsir Al Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Al Maraghi karya Ahmad Mushthafa Al Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir karya Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur karya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Munir karya Wahbah al Zuhaily, Al-Miizaan fii Tafsir Al Qur’an karya Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai. c. Sumber Tersier

Sumber tersier adalah sumber-sumber yang diambil dari buku-buku selain sumber primer dan sumber sekunder sebagai pendukung. Yang dimaksud sumber tersier dalam skripsi ini adalah buku-buku lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan skripsi ini.21 Antara lain : Ruh At-Tarbiyah wa Ta’lim karya Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah fii Al-Islam karya Ahmad Fuad Al-Ahwani, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam karya

18

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), hlm. 139.

19

Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, Edisi I, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), Cet. IV, hlm. 150.

20

Saifuddin Anwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998), hlm. 91.

21

(23)

12 Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam karya Ahmad Tafsir, serta Pemikiran Pendidikan Islam karya Mahmud, serta buku-buku lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research),22 yaitu dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan.

4. Teknik Analisis Data

Guna mendapatkan jawaban dari beberapa permasalahan di atas, untuk menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penafsiran sebagai berikut :

a. Metode Tafsir Analitik (tahlili).

Metode Analitik adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Adapun langkah-langkahnya adalah :

1) Menganalisis kosakata (mufradat) dan lafal dari sudut pandang bahasa arab dalam surat Fushshilat ayat 34-35.

2) Menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya (asbab an-nuzul) surat Fushshilat ayat 34-35.

3) Menerangkan hubungan (munasabah) surat Fushshilat ayat 34-35, baik antara satu ayat dengan ayat yang lain, maupun satu surah dengan surah yang lain yaitu surat Ghafir dan surat Asy-Syuura serta munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya pada surat Fushshilat.

4) Memaparkan kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 secara umum dan maksudnya.

5) Menerangkan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan penafsiran surat Fushshilat ayat 34-35 tersebut yang diambil dari keterangan ayat-ayat lain, hadits nabi, pendapat sahabat, tabi’in maupun ijtihad mufasir sendiri.23

22

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, hlm. 9.

23

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 31.

(24)

13 Dengan metode ini penulis akan mengulas ayat di atas dari berbagai sudut, terutama dari bagian yang bisa secara langsung membantu untuk menarik kesimpulan ayat tersebut.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman pada penelitian ini, maka peneliti menyusun sistematika pembahasan, yang secara garis besar adalah sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas tentang kajian tafsir surat Fushshilat ayat 34-35 menurut para mufassir.

Bab ketiga berisi tentang sifat-sifat pendidik menurut al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35.

Bab keempat berisi tentang implikasi sifat-sifat pendidik dalam system pendidikan Islam.

Sedangkan bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan, dan saran-saran.

(25)

14 BAB II

KAJIAN TAFSIR

AL QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

A. Deskripsi Al Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35

Surat Fushshilat diturunkan di Makkah yang lebih dikenal dengan sebutan Makiyyah serta tertulis dalam al-Qur’an urutan yang ke-41 setelah surat Ghafir dan terdiri dari 54 ayat. Pada penelitian ini, penulis meneliti ayat ke 34-35 dari surat Fushshilat.

1. Teks, Mufrodat, dan Terjemah a. Teks b. Mufrodat :

َﻻ

يِﻮَﺘ ْ ﺴَﺗ

: Tidaklah sama

ْ ﻊَﻓْدا

: Tolaklah

ٌة َ وا َﺪَﻋ

: Permusuhan

ﱞ ِ ﱄ َ و

ِ َﲪ

ٌﻢﻴ

: Teman yang sangat setia

ﺎﻣ

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُ ـﻳ

: Tidak menerima dan tidak menanggung nasehat ini1

ﱟﻆ َ ﺣ

: Bagian yang banyak dari kebaikan2 c. Terjemah :

1

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj.Hery Noer Aly, (Semarang: Toha Putra, 1992), jilid 24, hlm. 240

(26)

15 Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. Fushshilat/41 : 34-35)3

2. Gambaran Umum Surat Fushshilat Ayat 34-35

Dalam Surat Fushshilat ayat 34-35 menerangkan bahwasanya antara kebaikan dengan kejelekan tidaklah sama. Maksud dari ketidaksamaannya terletak pada balasan yang diterima manusia di sisi Allah swt. Sesudah itu, Allah swt menyuruh rasul-Nya agar menolak ketololan dan kebodohan kaum musyrik dengan cara yang lebih baik, karena dengan demikian maka hati mereka akan menjadi lunak dan jiwa mereka akan berhenti dari kesesatan dan kembali ke jalan yang benar (sadar).4

Cara rasul menolak ketololan serta kebodohan kaum musyrik dengan cara yang sangat bertentangan dengan perbuatan mereka, yaitu dengan cara yang halus, tegas dan bijaksana akan berimbas kepada kesadaran mereka, akan tetapi Allah swt menerangkan tentang cara yang dilakukan rasul di atas merupakan suatu perbuatan yang tidak bisa diterima kecuali oleh orang-orang yang sabar untuk menanggung hal-hal yang tidak disukai, seperti apa yang telah diperbuat oleh kaum musyrik serta orang-orang yang mempunyai bagian besar dari pahala di sisi Allah.

Tidak diterimanya perbuatan rasul kecuali oleh orang yang sabar, dikarenakan perbuatan rasul tidak terlihat rasa marah atau dendam, akan tetapi rasul membalasnya dengan cara yang begitu halus atau cara yang baik. Selain itu pula rasul terkenal akan kesabarannya dalam berdakwah serta sabar menghadapi kaum musyrik yang berusaha menolak seruannya.

3. Asbabun Nuzul Ayat dan Munasabah

3

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, hlm. 480

(27)

16 Mengenai asbabun nuzul serta munasabah surat maupun ayat dalam pembahasan ini terdapat beberapa pendapat. Adapun asbabun nuzul ayat serta munasabah surat dan ayat sebagai berikut:

a. Asbabun Nuzul Ayat

Asbabun nuzul ayat 34, tidak secara langsung dijelaskan asbab nuzulnya. Dalam kitab asbab nuzul yaitu Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul hanya menerangkan beberapa ayat saja dari keseluruhan ayat dalam surat Fushshilat. Dalam kitab tersebut langsung menerangkan ayat 22 mengenai asbabun nuzulnya yang membahas tentang pembicaraan dua orang Tsaqif dan seorang Quraisy yang membicarakan tentang kemampuan Allah swt dalam mendengarkan perkataan manusia, baik pelan (bisik-bisik) maupun keras, serta mengetahui segala perbuatan yang dilakukan manusia.5

Kemudian pada ayat-ayat berikutnya secara umum menjelaskan tentang perilaku kaum musyrikin terhadap al-Qur’an serta dakwah Rasulullah saw. Dari hal tersebut, pada ayat 34 Allah swt menjelaskan kepada Rasulullah saw tentang bagaimana cara menghadapi sikap kaum musyrikin yang menghalangi dakwahnya.

Mengenai asbabun nuzul surat Fushshilat ayat 34, Zuhaili menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Sufyan bin Harb yang merupakan musuh Nabi Muhammad saw yang sangat membahayakan serta menyakitinya. Akan tetapi dengan kesabaran Rasulullah saw serta kemuliaan akhlaqnya, Abu Sufyan menjadi sahabat karib Nabi Muhammad saw yang setia.6

Dalam riwayat lain berkenaan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu Jahal yang menyakiti Nabi Muhammad saw, kemudian Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk

5

Jalaluddin as-Suyuthi, Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul, terj: M. Abdul Mujieb AS, (Surabaya: Darul Ihya, 1986), hal.502.

6

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, (Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashir, 1991), Juz. 24, hlm. 228

(28)

17 memaafkannya dan setelah peristiwa itu turunlah lanjutan ayat 34 yang berbunyi :

اَذِﺈَﻓ

يِﺬﱠﻟا

َﻚَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ

ُﻪَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ َ و

ٌة َ وا َﺪَﻋ

ُﻪﱠﻧَﺄَﻛ

ﱞ ِ ﱄ َ و

ٌﻢﻴ ِ َﲪ

maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (Q.S. Fushshilat/41: 34)

Pendapat lain tentang asbabun nuzul ayat ini dari Muqatil yang pada dasarnya sama dengan pendapat di atas yaitu, ayat ini turun mengenai Abu Sufyan. Dia adalah seorang seteru nabi yang sangat besar. Akan tetapi ketenangan dan kesabaran nabi telah membuat Abu Sufyan berhubungan erat dengan nabi, bahkan akhirnya menjadi mertuanya.7

b. Munasabah

Untuk mengetahui munasabah dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu munasabah surat dan munasabah ayat. Adapun munasabahnya sebagai berikut:

1) Munasabah surat

Munasabah surat Fushshilat dengan surat sebelumnya yaitu surat Ghafir, yang keduanya memberikan peringatan kepada orang-orang musyrik Makkah yang mengingkari Nabi Muhammad saw, serta kedua surat tersebut dimulai dengan menyebut sifat-sifat al-Qur’an.8

Pendapat lain menyebutkan, munasabah surat Fushshilat dengan surat sebelumnya yaitu surat Ghofir terdapat dua pandangan, yaitu pertama pembukaan dari kedua surat tersebut dengan menyebutkan sifat-sifat kitab yang mulia yaitu al-Qur’anul karim, kedua keterlibatan kedua surat tersebut dalam ancaman-ancaman serta

7

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), jilid. 4, hlm.3665

8

Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2010), Jilid VIII, hlm. 586

(29)

18 pencelaan yang keras terhadap pembangkangan kaum musyrikin terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah swt di Makkah dan lainnya.9 Pada akhir surat Ghafir, Allah swt mengancam kaum musyrikin dengan firman-Nya,

Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (Q.S. Ghafir/40: 82)

Kemudian, pada bagian awal surat Fushshilat, Allah swt kembali mengancam mereka dengan firman-Nya,

Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum `Aad dan kaum Tsamud". (Q.S. Fushshilat/41:13).

Selain terdapat munasabah dengan surat sebelumnya, yaitu surat Ghafir, juga terdapat munasabah dengan surat sesudahnya yaitu surat Asy-Syuura. Pada intinya surat Fushshilat mengutarakan hal-hal yang berhubungan dengan al-Qur’an dan sikap orang-orang musyrik, mengutarakan kekuasaan Allah swt di langit dan di bumi, ancaman Allah swt kepada orang-orang musyrik di dunia dan di akhirat nanti. Kemudian diterangkan keadaan orang-orang yang selalu beribadah kepada Tuhannya dan beberapa tabiat manusia pada umumnya.

Sedangkan hubungan surat Fushshilat dengan surat Asy-Syuura, keduanya sama-sama menerangkan tentang kebenaran al-Qur’an

(30)

19 sebagai wahyu Allah swt yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, menolak celaan dan kecaman orang-orang kafir terhadapnya, menghibur Nabi Muhammad saw agar tidak bersedih hati terhadap sikap, celaan dan ancaman mereka karena telah sewajarnya musuh-musuh agama itu berusaha menghancurkan yang wajar saja.

Apabila pada ayat-ayat terakhir surat Fushshilat, Allah swt menyuruh orang-orang yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad saw dengan menolak al-Qur’an agar mereka merenungkan dan memikirkan bukti-bukti kebenaran al-Qur’an, maka pada permulaan surat Asy-Syuura, Allah swt menerangkan bahwa dakwah para rasul adalah sama.10 Langit, bumi, dan segala isinya adalah di bawah kekuasaan Allah swt, agar manusia tidak tersesat, maka Allah swt mengirim para rasul dengan membawa petunjuk kebenaran dan membimbing manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

2) Munasabah ayat

Al-Zuhaily dalam tafsirnya menerangkan bahwa setelah Allah swt menjelaskan tentang suatu perbuatan yang berkaitan dengan seruan kepada jalan maksiat, serta Allah swt menyatakan keadaan orang yang melawan seruan terhadap jalan maksiat tersebut yaitu orang-orang yang mengajak kepada manusia agar bertauhid dan patuh kepada Tuhannya, kemudian Allah swt menjelaskan tentang sopan santun dan sifat-sifat mereka ketika membalas kejelekan dengan kebaikan.11 Selanjutnya menjelaskan agar memohon perlindungan dari kejelekan tipu daya syaithan yang memalingkan manusia dari ketentuan syariat Allah.

10

Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, Jilid IX, hlm. 20

(31)

20 Menurut Ibnu Abbas ra bahwa ayat ini berkenaan dengan perintah Allah swt kepada orang-orang yang beriman agar bersabar ketika marah, lemah lembut ketika menghadapi kebodohan dan pemaaf ketika menghadapi kesalahan seseorang. Maka apabila perbuatan tersebut dilakukan, Allah swt akan menjaganya dari godaan syaithan dan musuh pun akan tunduk seperti sahabat dekat.

Sedangkan menurut pendapat lain bahwa ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yaitu pada ayat ke-5 dari surat Fushshilat.

اﻮُﻟﺎَﻗ َ و

ﺎَﻨ ُـﺑﻮُﻠُـﻗ

ِ ﰲ

ٍﺔﱠﻨِﻛَأ

ﺎﱠﱢﳑ

َﺗ

ﺎَﻧﻮُﻋْﺪ

ِﻪْﻴَﻟِإ

Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya …(Q.S. Fushshilat/41:5)

Pada ayat tersebut disebutkan bahwa orang-orang kafir berkata : “hati kami telah tertutup dari seruan yang dilakukan Nabi Muhammad saw”, Kemudian Allah swt menyuruh agar Nabi Muhammad saw untuk bersabar atas tindakan mereka dan menghadapinya dengan lemah lembut dan memaafkan tindakan tersebut.

Pada ayat sebelumnya, yaitu pada ayat 30 dan 31 dari surat Fushshilat yang berbunyi,

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (Q.S. Fushshilat/41:30-31)

(32)

21 Ayat tersebut diatas, pada intinya menjelaskan bahwa Allah swt memberikan janji kepada orang-orang beriman dan teguh pendiriannya bahwa mereka selalu didampingi para malaikat yang menuntunnya ke jalan yang lurus.12 Adapun munasabah dengan ayat setelahnya berkenaan dengan bukti-bukti yang terdapat pada kejadian malam, siang, matahari, bulan dan proses bumi yang tandus kemudian menjadi subur setelah disirami air hujan. Hal ini menjadi bukti kekuasaan Allah untuk mematikan dan menghidupkan.

B. Penafsiran Ayat Menurut Para Mufassir

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku tafsir untuk menafsirkan surat Fushshilat ayat 34-35 antara lain:

1. Tafsir Al Mishbah13

Kata la / tidak kedua yang terdapat dalam firman-Nya: wa la tastawi al-hasanah wa la as-sayyi’ah/tidaklah sama kebaikan dan tidak juga kejahatan, menjadi pembahasan para ulama. Karena sepintas kata la yang kedua itu tidak diperlukan. Ulama menilai kata la tersebut hanya berfungsi sebagai ta’kid (penekanan) makna ketidaksamaan itu, akan tetapi pendapat yang terbaik adalah dengan memahami penggalan ayat ini mengandung semacam ihtibak (ikatan) sehingga ia mengisyaratkan adanya satu kata atau kalimat yang tidak disebut dalam susunannya dan menjadikan penggalan tersebut bagaikan menyatakan, ”tidak sama kebajikan dengan kejahatan, tidak sama juga kejahatan dengan kebajikan”.

12

Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, jilid. VIII, hlm. 620

(33)

22 Ada juga yang berpendapat bahwa penggalan ayat ini bermaksud mengisyaratkan adanya peringkat-peringkat bagi kebajikan, sebagaimana ada pula peringkat bagi kejahatan. Yakni, tidak sama peringkat kebajikan dan pelakunya. Ada kebajikan yang mencapai puncak dan ada juga yang biasa saja. Ada kebajikan yang sangat baik, seperti memaafkan sekaligus berbuat baik kepada yang bersalah, ada juga yang hanya baik, seperti sekedar memaafkan tanpa berbuat baik.

Kata ahsan pada ayat di atas tidak harus dipahami dalam arti yang terbaik, tetapi yang baikpun dicakupnya. Memang, kata tersebut berbentuk superlatif14, tetapi bentuk tersebut dipilih untuk lebih mendorong menghadapi keburukan dengan kebaikan. Begitu juga menggunakan kata ‘adawah/permusuhan bukan ‘aduww/musuh agar mencakup segala macam permusuhan dan peringkatnya, dari yang rendah sampai dengan yang tertinggi.15 Alhasil, ayat ini menganjurkan untuk berusaha berbuat baik kepada lawan selama dia adalah seorang manusia bukan setan karena permusuhan setan bersifat abadi.

Ayat di atas menjelaskan betapa besar pengaruh perbuatan baik terhadap manusia walau terhadap lawan. Sementara para cendekiawan menguraikan mengapa menggunakan kata fa idza/maka tiba-tiba serta menguraikan mengapa orang yang tadinya merupakan musuh, tiba-tiba menjadi teman yang sangat akrab, salah satunya diuraikan oleh Hamid Thaha al-Khasysyab dalam Tafsir Misbah, jiwa manusia sangat ajaib.16 Tidak jarang menyangkut satu objek pun hatinya bersikap kontradiktif sehingga, setiap perasaan betapa pun agung dan luhurnya, tetap mengandung benih-benih perasaan yang bertolak belakang dengannya. Perasaan mempunyai logika yang berbeda dengan logika akal, karena akal

14

Superlatif dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti tingkat perbandingan yang teratas (bentuk kata yang menyatakan paling, yaitu ter --)

15

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 55

(34)

23 tidak dapat menggabung dua hal bertolak belakang. Karena itu, tidak ada cinta tanpa benci, tidak ada rahmat tanpa kekejaman.

Apabila seseorang memusuhi orang lain dan memperlakukannya secara tidak wajar, pada saat itu pula sebenarnya disadari atau tidak, ada benih kebaikan dalam diri yang memusuhi itu terhadap yang dimusuhinya, namun benih itu ditekan dan berusaha dipendam oleh yang memusuhi kebawah sadarnya. Tetapi bila perlakuan tidak wajar tadi dihadapi oleh siapa yang memusuhinya dengan sikap lemah lembut dan bersahabat, kemungkinan besar sikapnya yang lemah lembut dan bersahabat itu mengundang munculnya benih-benih kebaikan yang dipendam oleh yang memusuhinya tadi sehingga tiba-tiba pula ia tampak kepermukaan dan terjadilah apa yang digambarkan ayat di atas: maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan akan berubah sikapnya terhadapmu sehingga seolah-olah dia telah menjadi teman yang sangat setia.

Kata yulaqqaha berasal dari kata laqiya yang berarti bertemu. Bentuk kata ini merupakan bentuk pasif dan mudhari’. Dengan demikian secara harfiah kata tersebut berarti dipertemukan. Maksudnya menolak kejahatan dengan kebajikan adalah satu sifat yang sangat terpuji, ia tidak dipertemukan dengan seseorang kecuali yang telah terbiasa mengasah jiwanya dengan kesabaran.17 Penggunaan kata ini mengandung isyarat agar setiap orang berusaha secara terus menerus untuk mengasah jiwanya sehingga dapat meraih kebajikan itu.

Kata hazhzh sama dengan kata nashib/bagian atau perolehan. Sementara ulama membatasinya dalam pengertian bagian atau perolehan kebajikan. Dari sini, ia dipahami dalam arti keberuntungan. Terlepas apakah bahasa menggunakannya dalam arti bagian secara mutlak, kebajikan atau

(35)

24 keburukan, namun yang dimaksud oleh ayat ini adalah perolehan kebajikan yakni keberuntungan.

Anjuran memberi maaf atas kesalahan orang lain serta bersikap bersahabat kepadanya adalah dalam kaitan kesalahan yang tertuju kepada pribadi seseorang, bukan kesalahan dan kedurhakaan terhadap Allah swt dan agama-Nya. Rasul saw dikenal sebagai seorang yang amat pemaaf, tetapi jika hak Allah swt telah dilecehkan, ketika itu beliau marah dan tampil meluruskan kedurhakaan itu dengan tegas, serta tetap bijaksana.

2. Tafsir Al Maraghi18

َﻻَ و

يِﻮَﺘ ْ ﺴَﺗ

ُﺔَﻨ َ ﺴَْﳊا

َﻻَ و

ُﺔَﺌﱢﻴﱠﺴﻟا

Kebaikan (hasanah) yaitu hal-hal yang diridhai oleh Allah swt dan diberi pahala atas melakukannya, tidaklah sama dengan keburukan (sayyi’ah) yaitu hal-hal yang tidak disukai Allah swt, dan dihukum apabila melakukannya. Dalam pengertian lain disebutkan tidaklah sama seruan Rasulullah saw kepada agama yang benar dengan cara yang terbaik dan bersabar atas kebodohan orang-orang kafir, serta tidak membalas dendam kepada mereka, dengan kekasaran dan kebengisan yang mereka nyatakan dalam perkataan mereka,

اﻮُﻟﺎَﻗ َ و

ﺎَﻨ ُ ـﺑﻮُﻠُـﻗ

ِ ﰲ

ٍﺔﱠﻨِﻛَأ

ﺎﱠﱢﳑ

ﺎَﻧﻮُﻋْﺪَﺗ

ِﻪْﻴَﻟِإ

Hati kami berada dalam tutup (yang menutupi) apa yang kamu seru kepadanya (Q.S. Fushshilat/41: 5)

Dapat disimpulakan bahwa tindakanmu, wahai rasul adalah baik (hasanah), sedangkan tindakan mereka adalah buruk (sayyi’ah). Maka apabila kamu melakukan yang hasanah ini, kamu patut mendapatkan penghormatan di dunia dan pahala di akherat. Kemudian Allah swt

(36)

25 menyebutkan suatu hasanah dalam membalas perbuatan orang-orang kafir, yaitu seperti firman-Nya,

ْ ﻊَﻓْدا

ِﱵﱠﻟﺎِﺑ

َ ﻲ ِﻫ

ُ ﻦ َ ﺴ ْ ﺣَأ

Tolaklah ketololan dan kebodohan orang-orang kafir dengan cara yang terbaik. Maksudnya hadapilah tindakan mereka yang buruk dengan berbuat baik kepada mereka, hadapilah dosa dengan memberi maaf, marah dengan bersabar dan mendiamkan kekeliruan-kekeliruan serta menanggung hal-hal yang tidak disukai. Maka apabila kamu melakukan hal ini terus menerus terhadap mereka, maka mereka akan malu atas akhlak mereka yang buruk dan tidak akan melakukan perbuatan yang serupa kembali.

Kemudian Allah swt menerangkan hasil-hasil dari tolakan dengan cara terbaik dalam firman-Nya,

اَذِﺈَﻓ

يِﺬﱠﻟا

َﻚَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ

ُﻪَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ َ و

ٌة َ وا َﺪَﻋ

ُﻪﱠﻧَﺄَﻛ

ﱞ ِ ﱄ َ و

ٌ ﻢﻴ ِ َﲪ

Sesungguhnya jika kamu melakukan dengan cara seperti ini maka mereka akan berbalik dari musuh menjadi kekasih dan dari benci menjadi cinta.

Ibnu Abbas berkata , Allah ta’ala menyuruh Nabi Muhammad saw pada ayat ini agar bersabar dalam menghadapi kemarahan, bersikap penyantun, ketika menghadapi kebodohan, memberi maaf ketika menghadapi perlakuan yang buruk. Apabila manusia melakukan hal-hal seperti itu, maka Allah swt akan memeliharanya dari setan dan musuh akan tunduk padanya.

Setelah Allah swt memberikan cara menghadapi orang-orang kafir, Allah swt menurunkan ayat berikutnya yaitu,

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُ ـﻳ

ﱠﻻِإ

َ ﻦﻳ ِﺬﱠﻟا

َ ـﺒ َﺻ

او ُ ﺮ

Dan tidak ada yang menerima nasehat seperti itu dan melaksanakannya kecuali orang-orang yang sabar menanggung hal-hal yang tidak disukai dan merasakan penderitaan-penderitaan, menahan amarah dan

(37)

26 tidak membalas dendam. Semua itu benar-benar berat bagi jiwa, dan biasanya sulit menanggungnya kecuali bagi orang yang mendapat perlindungan dari Allah swt.

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُـﻳ

ﱠﻻِإ

وُذ

ﱟﻆ َ ﺣ

ٍﻢﻴ ِﻈَﻋ

Dan tidak ada yang menerima nasehat seperti ini kecuali orang yang mempunyai bagian yang besar dari kebahagiaan di dunia dan di akherat. Dalam hal ini Qatadah berkata: Al Hazzul Adzim yang dimaksud ialah surga. Jadi maksud ayat tersebut yaitu tidak ada yang menerima nasehat seperti itu kecuali orang yang pasti masuk surga.

3. Tafsir Ibnu Katsir19

َﻻَ و

يِﻮَﺘ ْ ﺴَﺗ

ُﺔَﻨ َ ﺴَْﳊا

َﻻَ و

ُﺔَﺌﱢﻴﱠﺴﻟا

Dalam penggalan ayat tersebut, terdapat perbedaan yang sangat besar antara kebaikan dan kejahatan. Kemudian pada lanjutan ayat tersebut,

ْ ﻊَﻓْدا

ِﱵﱠﻟﺎِﺑ

َ ﻲ ِﻫ

ُ ﻦ َ ﺴ ْ ﺣَأ

Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, yaitu jika ada orang yang berlaku buruk kepadamu, maka tolaklah dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana Umar berkata, “Tolaklah menghukum orang yang berbuat maksiat kepada Allah swt dalam dirimu sebagaimana engkau berbuat taat kepada Allah swt dalam dirinya”

اَذِﺈَﻓ

يِﺬﱠﻟا

َﻚَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ

ُﻪَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ َ و

ٌة َ وا َﺪَﻋ

ُﻪﱠﻧَﺄَﻛ

ﱞ ِ ﱄ َ و

ٌﻢﻴ ِ َﲪ

Pada ayat tersebut yang berarti, “maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang setia”, yaitu sebagai teman baik. Jika engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadamu, maka sesungguhnya kebaikan itu akan mengarahkannya

19

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj: M. Abdul Ghaffar, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), jilid.8, hlm. 258

(38)

27 untuk bersikap tulus kepadamu, mencintaimu dan merindukanmu, sehingga seakan-akan dia menjadi teman setia, dalam arti mendekatimu dengan rasa kasih sayang dan berbuat baik. Kemudian Allah swt berfirman,

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُـﻳ

ﱠﻻِإ

َ ﻦﻳ ِﺬﱠﻟا

او ُ ﺮ َ ـﺒ َﺻ

Yang berarti, “sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar”, tidak ada yang dapat menerima dan mengamalkan wasiat ini kecuali orang yang sabar atas hal itu, karena ini sangat berat untuk jiwa. Lanjutan firman Allah swt dari ayat di atas,

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُـﻳ

ﱠﻻِإ

وُذ

ﱟﻆ َ ﺣ

ٍﻢﻴ ِﻈَﻋ

Yaitu, orang yang mendapatkan bagian terbesar berupa kebahagiaan di dunia dan di akherat. Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini, “Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk sabar ketika marah, lapang dada ketika dibodohi, serta memaafkan ketika disalahkan. Jika mereka melakukan hal itu, niscaya Allah swt memelihara mereka dari setan serta menundukkan musuh-musuh mereka, seakan-akan menjadi teman yang setia”.

4. Tafsir Qur’anul Majid An Nuur20

َﻻَ و

يِﻮَﺘ ْ ﺴَﺗ

ُﺔَﻨ َ ﺴَْﳊا

َﻻَ و

ُﺔَﺌﱢﻴﱠﺴﻟا

Sama sekali tidak sama antara dakwah kepada Allah swt dan mencela (mengancam) orang-orang yang berdakwah. Tidaklah sama antara kebajikan atas kejahatan. Kebajikan diridhai oleh Allah swt dan diberi pahala, sedangkan kejahatan dibenci oleh Allah swt dan dibalas dengan siksa.

ْ ﻊَﻓْدا

ِﱵﱠﻟﺎِﺑ

َ ﻲ ِﻫ

ُ ﻦ َ ﺴ ْﺣَأ

20

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid. 4, hlm.3664

(39)

28 Ini adalah suatu pedoman yang diberikan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dalam menghadapi orang-orang musyrik. Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk melawan keburukan dengan pekerti yang baik, seperti melawan kemarahan dengan sikap sabar, melawan tindakan yang kasar dengan memberi maaf.

اَذِﺈَﻓ

يِﺬﱠﻟا

َﻚَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ

ُﻪَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ َ و

ٌة َ وا َﺪَﻋ

ُﻪﱠﻧَﺄَﻛ

ﱞ ِ ﱄ َ و

ٌ ﻢﻴ ِ َﲪ

Hai Muhammad, apabila kamu berlaku seperti itu, tentu dapat mengubah keadaan. Permusuhan menjadi persahabatan, musuh berubah menjadi teman yang sangat akrab. Muqatil menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai Abu Sufyan yang merupakan seteru nabi yang sangat besar,. Akan tetapi ketenangan dan kesabaran nabi membuat Abu Sufyan berhubungan erat dengan nabi, bahkan menjadi mertuanya.

ﺎ َ ﻣ َ و

َﻠ ُ ـﻳ

ﺎ َﻫﺎﱠﻘ

ﱠﻻِإ

َ ﻦﻳ ِﺬﱠﻟا

او ُ ﺮ َ ـﺒ َﺻ

Nasehat-nasehat untuk berbuat baik seperti yang telah dijelaskan ini tidaklah akan diterima dan diamalkan, melainkan oleh orang-orang yang sabar menghadapi kesulitan dan kesukaran, dapat menahan amarah dan tidak membalas sakit hati (menaruh dendam).

Anas menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud orang-orang yang sabar adalah orang yang apabila dimaki kawannya berkata, “kalau engkau benar telah mencaci-maki aku, maka mudah-mudahan Allah swt mengampuni dosamu”.

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎﱠﻘَﻠ ُـﻳ

ﺎ َﻫ

ﱠﻻِإ

وُذ

ﱟﻆ َ ﺣ

ٍﻢﻴ ِﻈَﻋ

Dan hanyalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan (keberuntungan) yang sempurna di dunia dan di akherat yang bisa menerima nasehat-nasehat ini.

(40)

29 5. At-Tafsiru Al-Munir21

َﻻَ و

يِﻮَﺘ ْ ﺴَﺗ

ُﺔَﻨ َ ﺴَْﳊا

َﻻَ و

ُﺔَﺌﱢﻴﱠﺴﻟا

,

ْ ﻊَﻓْدا

ِﱵﱠﻟﺎِﺑ

َ ﻲِﻫ

ُ ﻦ َ ﺴ ْ ﺣَأ

Tidaklah sama antara perbuatan yang baik yang diridhai Allah swt serta mandapatkan pahala, dengan perbuatan yang buruk yang dibenci Allah serta mendapatkan hukuman atas perbuatan tersebut.22 Perbuatan yang sopan termasuk dalam perbuatan baik dan perbuatan yang kasar termasuk dalam perbuatan yang buruk.

Dalam hal tersebut terdapat perintah kepada para da’i (orang-orang yang berdakwah) untuk menolak perbuatan orang-orang yang berbuat buruk (jahat) kepadamu dengan berbuat baik kepadanya, yaitu dengan perkataan yang baik dan menghadapi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, serta memberi maaf perbuatan yang salah, menghadapi kemarahan dengan kesabaran, dan menolak dari perbuatan yang menyimpang serta perbuatan keji.

اَذِﺈَﻓ

يِﺬﱠﻟا

َﻨ ْـﻴ َ ـﺑ

َﻚ

ُﻪَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ َ و

ٌة َ وا َﺪَﻋ

ُﻪﱠﻧَﺄَﻛ

ﱞ ِ ﱄ َ و

ٌﻢﻴ ِ َﲪ

Sesungguhnya apabila kamu melaksanakan hal tersebut, menghadapi keburukan dengan kebaikan, maka musuh akan menjadi seorang teman setia. Sangatlah baik perbuatan seseorang yang dapat merubah musuh atau orang yang hasad menjadi teman setia, seperti halnya teman baik yang saling tolong menolong ketika mendapatkan cobaan di karenakan belas kasihan dan kasih sayang.

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُ ـﻳ

ﱠﻻِإ

َ ﻦﻳ ِﺬﱠﻟا

او ُ ﺮ َ ـﺒ َﺻ

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُ ـﻳ

ﱠﻻِإ

وُذ

ﱟﻆ َ ﺣ

ٍﻢﻴِﻈَﻋ

Tidak akan ada yang dapat menerima wasiat ini dan mengamalkan wasiat tersebut, yaitu menolak perbuatan buruk dengan perbuatan baik, serta

21

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz. 24, hlm. 228

(41)

30 memberikan seluruh kemampuannya untuk kebiasaan ini, kebiasaan menolak kejahatan atau keburukan dengan kebaikan kecuali orang-orang yang bersabar untuk menahan amarah dan perbuatan keji. Apabila kesabaran melekat pada jiwa, niscaya tidak akan menerima perbuatan keji dan menahan amarah kecuali orang-orang yang mempunyai nasib kebahagiaan yang melimpah di dunia dan akherat, begitu juga orang-orang yang beruntung yang mendapatkan limpahan pahala dan kebaikan.

Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, Allah swt menyuruh orang-orang yang beriman untuk bersabar ketika marah, berfikir ketika tidak mengetahui (bodoh), memberi maaf ketika salah, apabila kalian melaksanakan hal tersebut, Allah swt akan melindungi dari syetan dan menundukkan kepada mereka musuh-musuh mereka manjadi seperti teman yang setia.

6. Al-Mizan Fii Tafsir Al-Qur’an23

َﻻَ و

يِﻮَﺘ ْ ﺴَﺗ

ُﺔَﻨ َ ﺴَْﳊا

َﻻَ و

ُﺔَﺌﱢﻴﱠﺴﻟا

Ketika disebutkan perkataan yang baik yaitu berdakwah kepada Allah swt, dan menjalankan suatu perkara yang hak yang dibebankan kepadanya yaitu kepada Nabi Muhammad saw, dengan menerangkan cara yang paling baik untuk berdakwah dan yang paling dekat dengan tujuan yang diharapkan dari dakwah tersebut, yaitu pengaruh dalam jiwa, kemudian Allah swt menjelaskan kepada Nabi Muhammad saw dengan firman-Nya,

َﻻَ و

يِﻮَﺘ ْ ﺴَﺗ

ُﺔَﻨ َ ﺴَْﳊا

َﻻَ و

ُﺔَﺌﱢﻴﱠﺴﻟا

...

ﱁا

Dari berbagai pengaruh yang baik dalam jiwa yaitu perilaku baik dan buruk. Kalimat

di dalam

ﺔﺌﻴــ ّﺴﻟا

merupakan suatu tambahan untuk penekanan larangan.

23

Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai, Al-Miizaan fii Tafsir Al Qur’an,(Beirut: Muassatu Al-A’lamiy Lilmathbu’at, 1991), jilid. 17, hlm. 392

(42)

31

ْ ﻊَﻓْدا

ِﱵﱠﻟﺎِﺑ

َ ﻲِﻫ

ُ ﻦ َ ﺴ ْ ﺣَأ

Penggunaan kalimat dafa’a dalam permulaan makna seperti halnya seseorang yang diajak bicara ( Nabi Muhammad saw ) ketika mendengar firman-Nya ىﻮﺘـﺴﺗﻻ berkata “apa yang harus saya lakukan ?”, Allah swt berfirman, idfa’ billatii hiya ahsan, maksudnya tolaklah perilaku yang buruk yang kamu hadapi dan lawan dengan perilaku yang lebih baik. Tolaklah kebatilan mereka terhadapmu dengan sesuatu yang hak (kebaikan), tidak dengan perbuatan yang serupa atau perbuatan yang batil pula, serta dengan pengetahuanmu atas kebodohan mereka, dan pemberian maafmu atas kesalahan mereka.

اَذِﺈَﻓ

يِﺬﱠﻟا

َﻚَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ

ُﻪَﻨ ْـﻴ َ ـﺑ َ و

ٌة َ وا َﺪَﻋ

ُﻪﱠﻧَﺄَﻛ

ﱞ ِ ﱄ َ و

ٌﻢﻴ ِ َﲪ

Ayai ini menjelaskan tentang pengaruh penolakan suatu keburukan dengan kebaikan dan nilai yang terkandung didalamnya. Maksud dari ayat ini, apabila kamu menolak dengan sesuatu yang lebih baik, kamu akan dikejutkan dengan berubahnya musuhmu menjadi teman yang akrab atau menyayangimu. Kemudian Allah swt memuliakan/mengagungkan penolakan keburukan dengan kebaikan dan memujinya dengan pujian yang lebih baik dan menyampaikan pujiannya dengan firman-Nya,

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُ ـﻳ

ﱠﻻِإ

َ ﻦﻳ ِﺬﱠﻟا

او ُ ﺮ َ ـﺒ َﺻ

ﺎ َ ﻣ َ و

ﺎ َﻫﺎﱠﻘَﻠ ُ ـﻳ

ﱠﻻِإ

وُذ

ﱟﻆ َ ﺣ

ٍﻢﻴِﻈَﻋ

Yaitu suatu keberuntungan yang melimpah dari keutuhan seorang manusia dan tercapainya suatu kebaikan. Dalam hal ini, terdapat bukti yang sangat jelas bahwasanya keberuntungan yang sangat besar atau melimpah hanya khusus untuk orang-orang yang sabar.

C. Rangkuman Tafsir Para Mufassir

Dari penafsiran beberapa mufassir tersebut di atas, masing-masing terdapat suatu kesamaan dalam menafsirkan serta pendapatnya tentang isi kandungan ayat.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Oemi Abdurrachman (1993), di dalam penyampaian sesuatu pesan seringkali timbul salah pengertian, sehingga dengan demikian terjadi hal-hal yang tidak

Mengingat sortimen tidak tersedia maka pengukuran dilakukan dengan (mengandaikan) membuat sortimen pada pohon berdiri dengan panjang 150 cm. Selanjutnya, praktikan akan

Perlindungan sosial adalah upaya Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat untuk memberikan kemudahan pelayanan bagi Lansia Tidak Potensial agar dapat mewujudkan dan

Berdasarkan tabel 6, terlihat bahwa siswa menyatakan setuju dengan menajemen kelas dengan pendekatan otoriter, intimidasi, primitiv, buku masak,

Dari uraian tersebut diatas, di Jakarta, dibutuhkan sebuah fasilitas riset yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan riset teknologi informasi dan disesuaikan dengan

Sebagai contoh adalah adanya bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga yang merupakan salah satu bentuk budaya Arab berupa tempat ibadah

Berdasarkan masalah pokok yang dikemukakan oleh pemilik perusahaan pada survey awal maka, penulis merasa tertarik untuk perlu meneliti lebih jauh tentang pengaruh desain