• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PROSES PENURUNAN KADAR LOGAM BERAT Pb PADA LIMBAH KARAGENAN DENGAN PERLAKUAN BERBAGAI KONSENTRASI LARUTAN KHITOSAN. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI PROSES PENURUNAN KADAR LOGAM BERAT Pb PADA LIMBAH KARAGENAN DENGAN PERLAKUAN BERBAGAI KONSENTRASI LARUTAN KHITOSAN. Oleh:"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BERBAGAI KONSENTRASI LARUTAN KHITOSAN

Oleh:

ZAINAL A. LATAR

C03499906

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

(2)

BERBAGAI KONSENTRASI LARUTAN KHITOSAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk me mperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

ZAINAL A. LATAR

C03499906

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

(3)

BERAT Pb PADA LIMBAH KARAGENAN DENGAN PERLAKUAN BERBAGAI KONSENTRASI KHITOSAN

Nama : Zainal A. Latar NRP : C03499906

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dra. Pipih Suptijah, MBA Ir. Djoko Poernomo

NIP. 131 476 638 NIP. 131 288 097

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(4)

1.1 Latar Belakang

Karagenan adalah kelompok polisakarida linear yang tersusun oleh unit-unit galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik Alfa-1,3 dan beta-1,4 secara bergantian. Karagenan dihasilkan dari alga merah (rhodophyceae), banyak digunakan untuk bahan makanan, mengentalkan bahan baku non pangan, dan industri tekstil. Tidak jarang dari proses pembuatan karagenan ini akan menghasilkan limbah berupa sisa hasil pengolahan, padahal limbah tersebut masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan seperti untuk pembuatan pupuk kompos dan serat, bahkan untuk bahan tambahan pakan. Namun demikian limbah yang akan dimanfaatkan lebih lanjut tersebut harus baik dalam arti tidak banyak mengandung pengotor/kontaminan. Oleh karena itu salah satu alternatif untuk mereduksi kontaminan terutama logam Pb yang ada dalam limbah karagenan tersebut adalah pemberian perlakukan khitosan.

Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa khitosan memiliki banyak manfaat pada berbagai bidang kehidupan. Diantaranya, khitosan dapat menghilangkan kontaminan, memisahkan petroleum dari air limbah, pelapis benih yang akan ditanam (pertanian), bahan anti kolesterol, anti koagulan dalam darah, dan absorben logam berat (Br zeski 1987).

Dewasa ini terlihat berbagai macam perkembangan jenis komoditas hasil perikanan yang ditangkap, salah satunya adalah rajungan (Portunus pelagicus), yang merupakan jenis kepiting laut yang banyak terdapat di Indonesia. Permintaan rajungan dalam bentuk segar, beku, atau produk kaleng terus meningkat dipasaran dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga berdampak pada tingkat produksi rajungan di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2002 produksi udang mencapai 241.485 ton dan rajungan (termasuk kepiting) 31.228 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2004).

Limbah cangkang yang dihasilkan dari kedua komoditas tersebut sekurang-kurangnya mencapai 40-60 % (udang) dan 75-85 % (rajungan) (Wibowo

et. al. 2005). Dengan demikian diperkirakan sekurang-kurangnya 120.000 ton cangkang udang dan 25.000 ton cangkang rajungan dan kepiting tersedia setiap

(5)

tahunnya sebagai bahan baku khitin/khitosan. Dengan meningkatnya permintaan rajungan tersebut maka akan menghasilkan limbah yang besar jumlahnya. Apabila limbah tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan.

Pemanfaatan limbah rajungan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan menjadi produk khitin dan khitosan. Khitin dan khitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat yang dapat dihasilkan dari limbah hasil laut khususnya golongan udang, rajungan, ketam, dan kerang (Angka dan Suhartono 2000).

Logam berat adalah salah satu jenis bahan pencemar yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Logam berat yang bersifat racun diantaranya adalah Pb, Cd, dan Hg. Logam-logam berat Pb, Cd, dan Hg tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia, sehingga bila makanan tercemar oleh logam-logam tersebut, tubuh akan mengeluarkanya sebagian. Sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu seperti ginjal, hati, jaringan lemak, kuku, dan rambut.

Timbal merupakan logam yang sangat beracun. Sebagai unsur pada dasarnya tidak dapat dimusnahkan. Sekali terlepas ke dalam lingkungan, Pb akan tetap menjadi ancaman mahluk hidup. Timbal secara alami maupun cara lain tidak dapat terurai atau berubah menjadi senyawa lain (West et al. 1998).

Masuknya Pb ke dalam tubuh manusia dan hewan dapat melalui pernapasan dan pencernaan. Timbal (Pb) sebagai bahan asing dalam tubuh manusia dan hewan merupakan racun yang bersifat akumulatif dan cenderung tertimbun dalam tulang, otak, hati, ginjal, dan otot. Namun demikian sebagian logam Pb dalam tubuh akan dialirkan ke jaringan lain melalui darah dan dikeluarkan melalui sistem ekskresi (Faust dan Aly 1981). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya penanganan logam berat Pb tersebut, salah satunya adalah dengan pemberian khitosan yang berfungsi untuk mengikat logam Pb. Khitosan adalah salah satu produk perikanan yang diharapkan dapat menurunkan kandungan logam Pb.

(6)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pengikatan khitosan terhadap logam berat timbal (Pb) pada limbah karagenan dan menentukan konsentrasi terbaik dari khitosan yang digunakan.

(7)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karagenan dan Limbah Karagenan

Karagenan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air atau larutan alkali dengan temperatur tinggi (Glicksman 1983). Karagenan yang merupaka n produk utama jenis alga merah, secara luas digunakan untuk berbagai produk makanan, mulai dari susu, es krim sampai produk industri seperti pasta gigi, cat, kosmetik dan sebagainya (Dahuri 2003).

Karagenan diberi nama berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya, yaitu : kappa : 25-30 %, iota : 28-35 % dan lambda : 32-39 %. Larut dalam air panas (70 0C), air dingin, susu, dan larutan gula, sehingga sering digunakan sebagai pengental/penstabil pada berbagai minuman atau makanan. Dapat membentuk gel dengan baik, sehingga dapat digunakan sebagai peng-gel dan

thickener (Suptijah 2002).

Karagenan banyak digunakan pada produk pangan dan non pangan. Kurang lebih 80 % produksi karagenan digunakan pada industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Pada produk pangan karagenan banyak digunakan untuk gel dalam selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, daging, ikan, bumbu, dan sebagainya. Senyawa ini banyak digunakan ubtuk mengentalkan bahan bukan pangan seperti odol, shampoo, dan hasilnya digunakan juga untuk industri tekstil dan cat (Angka dan Suhartono 2000)

Karagenan dalam industri makanan dan minuman biasa digunakan sebagai

dietetic food dalam bentuk jelly. Susu kental manis dan yoghurt menggunakan karagenan sebagai pensuspensi, sedangkan dalam industri milk-gel (puding,

custard, minuman kaleng) dan antacid-gel berfungsi sebagai gelling agent, demikian pula dalam water-gel, fish dan meat-gel dan gel pengharum ruangan berfungsi sebagai pembentuk gel. Penggunaan lain dari karagenan adalah sebagai

binder pada pasta gigi, sebagai bodying agent pada cream lotion dan saus tomat, dan sebagai penstabil lemak pada makanan ternak (Anggadiredja et al. 1993)

Proses proses produksi tepung karagenan secara umum terdiri dari pembersihan dan pencucian, penirisan, ekstraksi, penyaringan, pengendapan

(8)

filtrat, dan penggilingan. Menurut Fellows (1992) penyaringan bertujuan untuk menjernihkan cairan dengan cara membuang sejumlah partikel padat atau untuk memisahkan cairan dari bagian padat bahan pangan dengan cara menggunakan saringan.

Penyaringan adalah suatu unit proses dimana komponen solid tidak larut dalam suspensi solid-likuid dipisahkan dari komponen likuidnya dengan melewatkan suspensi tersebut melalui suatu membran yang dapat menahan solid dipermukaannya atau dalam struktur di dalamnya atau keduanya. Suspensi solid likuid dikenal sebagai bubur sedangkan cairan yang melewati membran saringan disebut medium saringan. Solid yang sudah dipisahkan dari komponen likuid tersebut disebut ampas (Wirakartakusumah et al. 1992).

Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses produksi. Suryadiputra (1995) dalam Prantommy (2005) mendefenisikan air limbah sebagai limbah yang berbentuk cair, dimana di dalamnya mengandung proporsi air limbah dalam jumlah relatif lebih banyak dibandingkan dengan kontaminan yang terdapat di dalamnya.

Limbah karagenan adalah bahan sisa yang diperoleh dari hasil akhir proses produksi karagenan. Dari proses pembuatan karagenan tersebut dapat menghasilkan limbah dari sisa pengolahan. Limbah karagenan berwarna keruh kecoklatan dan agak kental. Karagenan dapat dipisahkan dari filtratnya dengan cara presipitasi dengan alkohol, pengeringan “drum” (drum drying) dan dengan cara pembekuan (Food Chemical Codex 1981). Hasil pemisahan inilah yang akan menjadi limbah. Limbah tersebut apabila tidak ditangani dengan baik maka dapat mengakibatkan dampak negatif bagi lingkungan. Oleh karena itu limbah tersebut harus ditangani lebih lanjut.

Filtrat karagenan merupakan campuran antara air, karagenan dan benda-benda asing lainnya yang berukuran sangat kecil. Menurut Overbeek dan Jong (1949) dalam Luthfi (1988), karagenan dapat dipisahkan dari air dan zat-zat lainnya dengan menambahkan zat tertentu misalnya alcohol, garam-garam dan aseton. Zat-zat tersebut berfungsi untuk memisahkan karagenan dengan cara pembentukan polimer sehingga terjadi agregasi yang menyebabkan penggumpalan/pengendapan. Pemisahan karagenan juga dapat dilakukan dengan

(9)

menggunakan metode gel-press, KCL press, pembekuan menggunakan KCL atau presipitasi oleh alkohol (Ceamsa 2001).

Limbah hasil pengolahan karagenan masih dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku misal, sebagai serat, protein sel tunggal dan juga untuk tambahan makanan. Limbah tersebut kadang masih mengandung berbagai pencemar diantaranya yaitu logam timbal, oleh karena itu sebelum limbah tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku seperti serat, protein sel tunggal dan sebagainya maka terlebih dahulu perlu diberi perlakuan untuk mengurangi pengotor/kontaminan seperti logam timbal. Karena apabila serat, protein sel tunggal, bahan tambahan makanan, dan pupuk yang diperoleh dari pemanfaatan limbah tersebut masih mengandung logam berat maka dipastikan logam berat tersebut akan terakumulasi dalam tubuh manusia dan ini sangat tidak bermanfaat bagi manusia. Salah satu cara mengurangi kontaminan logam timbal adalah diberi perlakuan dengan khitosan. Hal ini juga dapat memberikan dampak positif terhadap penyelamatan lingkungan dari pencemaran limbah tersebut.

2.2 Logam Timbal (Pb)

Plumbum (Pb) adalah unsur logam dengan nomor atom 82 berat atom 207,19, titik cair 327,5 0C, dan titik didih 1725 0C (Reilly 1980). Kadar Pb dalam lingkungan meningkat karena penggunaannya dalam penambangan dan berbagai industri. Dalam pertambangan logam ini berbentuk sulfida logam (PbS) yang sering disebut gelana (Darmono 1995).

Dalam bentuk oksida, logam Pb biasa digunakan dalam industri kosmetik, gelas dan keramik sebagai zat pewarna. Selain itu digunakan pula sebagai bahan untuk menyambung logam seperti pipa air dan kemasan kaleng makanan (Winarno 1992). Logam berat Pb biasanya terakumulasi dalam organisme air, yang tergantung pada konsentrasi logam dalam air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktivitas fisiologisnya. Konsentrasi logam berat pada oyster akan menurun sebanding dengan meningkatnya umur organisme (Wood 1979 dalam

Rahadhiyan 2001).

Batas maksimum timbal dalam makanan hasil laut yang diperbolehkan oleh Departemen Kesehatan RI dan FAO adalah sebesar 2,0 ppm. Absorpsi logam Pb dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain umur dan gizi. Orang

(10)

dewasa hanya mengabsorpsi 5–10 % dari timbal yang masuk, sedangkan anak-anak akan mengabsorpsi dengan kadar yang lebih tinggi (Mayangwinarni 1997

dalam Rahadhiyan 2001).

2.2.1 Karakteristik logam timbal (Pb)

Timah hitam (Pb) adalah sejenis logam lunak dan berwarna coklat kehitaman. Dalam pertambangan logam ini berbentuk sulfide logam (PbS) yang sering disebut galena (Darmono 1995). Timbal memiliki berat atom 207,21, densitas 11,34 dan titik cair 3270C (Saeni 1989).

Sifat dan kegunaan logam Pb antara lain adalah mempunyai titik lebur yang rendah sehingga mudah digunakan dengan biaya operasi yang murah, mudah dibentuk, mempunyai sifat kimia yang aktif sehingga dapat digunakan untuk melapis logam (mencegah karat). Selain itu, timbal banyak digunakan pada pabrik pembuatan baterai, aki, industri percetakan, alat listrik, pelapis logam, industri kimia dan cat (Darmono 1995).

2.2.2 Sumber logam timbal (Pb)

Hampir seluruh bagian bumi mengandung logam Pb. Logam Pb di alam terdapat dalam bentuk sulfida (gelana), Pb Carbonat (Cerussite), PbSO4 (Angelisite). Dalam air Pb berada dalam bentuk Pb2+, PbCO3, Pb (CO3)22-, PbOH+ dan Pb (OH)2. Secara alami Pb tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak bumi. Hamidah (1980), logam Pb masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengandung Pb (yaitu dari pembakaran bensin yang mengandung tetraetil lead), erosi, dan limbah industri.

Timbal masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengandung Pb yaitu dari hasil pembakaran bensin yang mengandung timbal tetraktil, erosi, dan limbah industri. Timbal muncul dalam air dalam bentuk bilangan oksidasi + II (Saeni1989). Ion Pb terhidrolisis sebagian didalam air, dengan reaksi:

Pb 2+ + H2O PbOH+ H+

Kebanyakan garam timbal hanya larut sebagian dalam air dan beberapa senyawa, PbSO4 atau PbCrO4 tidak larut dalam air. Garam yang larut dalam air

(11)

diantaranya adalah Pb(NO3)4 dan Pb(CO2Me)2.2H2O yang terionisasi tidak sempurna di dalam air (Cotton dan Wilkinspon dalam Latifah 2000).

Logam Pb merupakan zat pencemar yang biasa dijumpai di atmosfer. Sebenarnya logam Pb merupakan komponen alam dari udara, air dan tanah. Debu silikat dari erosi tanah dan emisi gunung berapi merupakan sumber Pb alam yang utama, yaitu sekitar 25 ribu ton per tahun (Piotrowsky dan Coleman 1986). Namun bagaimanapun juga manusia memberikan kontribusi emisi Pb terbesar di atmosfer (Bhargava 1992). Kenderaan bermotor yang memakai bensin bertimbal menjadi sumber terbesar kedua pencemaran timbale setelah cat yang memakai campuran timbale (West et al. 1998)

Timbal dan persenyawaannya dapat berada dalam perairan secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Secara alamiah, Pb masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan dan proses korotifikasi batuan mineral. Logam Pb masuk ke perairan sebagai dampak aktivitas manusia seperti buangan industri, buangan pertambangan biji timah dan buangan sisa industri kaleng.

Logam Pb banyak digunakan dalam produksi baterai penyimpanan untuk mobil. Penggunaan lainnya dari Pb adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa dan solder, bahan kimia dan pewarna. Logam Pb juga digunakan sebagai campuran dalam pembuatan pelapis keramik yang disebut

glaze. Glaze adalah lapisan tipis gelas yang menyerap ke dalam permukaan tanah liat yang digunakan untuk membuat keramik (Fardiaz 1992). Pemakaian unsur-unsur logam berat dalam berbagai ind ustri dapat dilihat pada Tabel 1.

(12)

Tabel 1. Pemakaian unsur-unsur logam berat dalam berbagai industri

Unsur Jenis Pemakaian

Ag Fotografi, konduktor listrik, baterai, mata uang logam,

electroplating, pateri, katalisator.

Cd Electroplating, pigmen (bahan cat warna), penahan panas dalam alat-alat pabrik, baterai, campuran logam.

Co Terutama campuran logam, katalis, pigmen, lapisan email, glazes, electroplating.

Cr Campuran logam, refractory bricks, cat, electroplating, pengawet kayu, tanin.

Cu Alat-alat listrik, campuran logam, katalis, algasida, pengawet kayu,

antifouling paint. Fe Industri besi dan baja

Hg Produksi alkali-klor, alat-alat listrik, antimildew paint, obat-obatan, biosida (fungisida, herbisida, insektisida), kertas.

Mn Campuran logam, baterai kering, industri kimia, gelas, pewarna keramik.

Mo Campuran logam, katalis, pigmen, gelas, lubricant and oil additive. Ni Campuran logam, electroplating, katalis.

Pb Baterai, bahan bakar mobil, pigmen, bahan peledak, pateri, cable covering, antifouling paint.

Sn Antimonal lead, plastik, keramik, gelas, bahan-bahan kimia tahan api, pigmen, bearing metal.

Zn Lapisan campuran logam, galvanisir, cat, baterai, karet. Sumber : Irukayama (1979)

2.2.3 Toksisitas logam timbal

Logam Pb lebih toksik dalam bentuk organik dari pada bentuk anorganik (Hart dan Davis 1978). Faktor lingkungan seperti pH, kesadahan, suhu dan salinitas mempengaruhi toksisitas logam Pb. Penurunan pH air menyebabkan toksisitas logam Pb makin besar. Kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan yang

(13)

tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air (Environmental Protection Agency 1973).

Logam berat seperti Zn, Cd, Hg, dan Pb termasuk logam yang terlibat dalam proses enzimatik dan dapat menimbulkan polusi. Loga m-logam ini biasanya berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut dengan metalotionein (Darmono 2001). Pb memiliki daya toksik lebih rendah bila dibandingkan dengan logam berat lainnya seperti Hg dan Cd, tetapi unsur ini bersifat kronis dan kumulatif. Senyawa Pb organik lebih beracun dari pada senyawa Pb anorganik. Kadar Pb sebesar 0,5 ppm dapat menyebabkan kematian pada ikan dan organisme perairan lainnya. Kadar Pb yang aman bagi kehidupan organisme laut adalah 0,05 ppm (EPA dalam Hutagalung 1991).

Timbal bersifat racun terhadap manusia, karena unsur ini mempengaruhi metabolisme Ca dan menghalangi beberapa system enzim (Rahayu 1995). Keracunan akut yang diakibatkan oleh Pb ditandai dengan rasa terbakarnya mulut, perangsangan dalam gastrointestinal dan disertai diare. Keracunan yang sudah kronis menyebabkan anemia, mual, sakit disekitar perut serta dapat mengakibatkan kelumpuhan (Hamidah 1980).

Timbal yang masuk ke dalam tubuh kadang-kadang melibatkan fungsi kinetik yang mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Ginjal dan hati adalah organ-organ yang dituju oleh logam-logam Pb, Hg, dan Cd. Menurut Saeni (1989) daya racun timbal yang akut pada manusia menyebabkan kerusakan hebat pada ginjal, system reproduksi, hati, otak dan sistem syaraf pusat mengakibatkan sakit yang parah dan kematian.

Keracunan Pb dapat menyebabkan keracunan yang bersifat akut dan akumulatif walaupun daya racun Pb lebih rendah bila dibandingkan dengan merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) (Hutagalung dan Hamidah 1981). Gejala keracunan Pb dapat berupa gangguan saluran pencernaan, kelumpuhan otot kaki dan tangan, gangguan saraf dan anemia. Gejala tersebut akan timbul apabila kadar Pb yang terakumulasi dalam darah melebihi 0,4 ppm. Secara umum penimbunan Pb dalam tubuh akan bersifat racun kumulatif yang akan menyebabkan efek kontinyu pada sistem haematopoetik (sistem darah), syaraf, dan ginjal serta mempengaruhi perkembangan otak pada balita. Selain itu pada wanita, kadar Pb

(14)

yang tinggi dalam darah dapat mengakibatkan vitamin D inaktif sehingga dapat mempengaruhi penggunaan kalsium dalam tubuh, yang dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan osteophorosis (Winarno dan Rahayu 1994).

Menurut Darmono (1995) timbal yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan didistribusikan ke jaringan melalui darah. Logam ini terdeteksi dalam tiga jaringan utama yaitu di dalam darah Pb terikat dalam eritrosit (sel darah merah) dan memiliki waktu paruh sekitar 25-30 hari. Sedangkan pada jaringan lunak (hati dan ginjal) dengan waktu paruh beberapa bulan, dan di dalam tulang dan jaringan keras seperti gigi dan tulang rawan sekitar 90-95% Pb dalam tubuh terdapat dalam tulang dengan waktu paruh 30-40 tahun. Timbal masuk ke bagian tubuh kadang-kadang melibatkan fungsi kinetik yang mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi, seperti yang tercantum dalam Gambar 1.

Gambar 1. Diagram metabolisme Pb (Sumber: Racliffe (1981) dalam

Latifah 2000)

Daya racun timbal yang akut pada manusia menyebabkan kerusakan akut pada ginjal, system reproduksi, hati, otak, dan sistem saraf sentral mengakibatkan sakit yang parah dan kematian (Saeni 1989). Gejala keracunan timbal dapat berupa mual, anemia, sakit disekitar perut dan dapat menyebabkan kelumpuhan (Piotrowski dan Coleman 1980). Timbal juga dapat mempengaruhi system saraf, intelegensia dan pertumbuhan anak-anak. Hal ini disebabkan karena timbal dalam tulang dapat mengganti kalsium, sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan.

Absorbsi Pb melalui saluran pencernaan Absorbsi Pb melalui paru-paru Darah + cairan ekstraseluler dan jaringan yang lunak mengalami pertukaran dengan cepat Rangka dan beberapa jaringan lunak Jaringan lunak (otot, hati, ginjal dan sebagian kecil

rangka)

Urine

Rambut, kuku,

(15)

Sumarwoto (1983) juga menga takan bahwa anemia bisa terjadi karena timbal dalam darah akan mempengaruhi aktifitas enzim asam delta amino levolonat dehidratase (ALAD) dalam pembentukan hemoglobin pada butir-butir darah merah.

2.3 Sumber Khitin dan Khitosan

Sumber khitin dan khitosan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di perairan Indonesia adalah limbah rajungan. Hal ini sejalan dengan munculnya rajungan sebagai salah satu komoditas primadona dalam industri pengolahan hasil perikanan, sejak diresmikannya program peningkatan devisa non migas terutama dari subsektor perikanan (Suptijah et al. 1992). Produksi krustasea di Indonesia tahun 2000-2002 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi krustasea di Indonesia pada tahun 2000-2002 (ton)

Jenis Krustasea Tahun

2000 2001 2002 Udang 249.032 263.037 241.485 Rajungan dan Kepiting 22.827 33.792 31.228 Jumlah 271.859 296.829 272.713

Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2004)

Johnson dan Peniston (1982) menyatakan bahwa kulit udang dan rajungan merupakan limbah pengolahan udang dan rajungan yang persentasenya mencapai 50-60% dari berat utuh. Khitin dapat ditemukan pada limbah udang dan rajungan masing-masing sebesar 14-27 % dan 13-15 % (berat kering) tergantung dari jenis spesies dan faktor lain (Ashford 1977 dalam Knorr 1984).

Khitin dan khitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat yang dapat dihasilkan dari limbah hasil laut, khususnya golongan udang, kepiting, lobster, dan kerang (Angka dan Suhartono 2000). Khitin di alam terdapat sebagai materi pembentuk tulang pada mahluk hidup golongan udang, kepiting, lobster, dan beberapa jenis ganggang (Chandrkrachang et al. 1991). Khitosan merupakan

(16)

produk deasetilasi dari khitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (Knorr 1982).

2.4 Sifat Fisika Kimia Khitin dan Khitosan

Khitin merupakan senyawa organik terbesar kedua setelah selulosa yang melimpah dan tersebar luas di alam (Rha 1984). Menurut (Brzeski 1987), bentuk molekul khitin hampir sama dengan selulosa yaitu polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul gula sederhana yang identik. Bedanya dengan selulosa terletak pada gugus rantai C–2, dimana gugus hidroksil pada C–2 digantikan oleh gugus asetil amino ( - NHCOCH3) (Bastaman 1989).

Menurut Ornum (1992) khitin adalah suatu polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-Asetil D-glukosamin dalam ikatan ß (1-4). Khitin merupakan polimer linear yang mempunyai berat molekul besar dari unit 2–asetamida–2deoksi–D glukopiranol (atau suatu N–asetil D–glukosamin). Khitin juga dapat didefinisikan sebagai suatu polimer dari glukosamin yang terbentuk oleh adanya proses asetilasi dari polimerisasi.

Khitin tidak larut dalam air, asam, alkohol atau pelarut organik lainnya, tetapi khitin dapat larut dalam larutan HCl pekat, H2SO4 pekat, asam fosfat 78-79%, atau asam format anhidrat (Angka dan Suhartono 2000). Ornum (1992) menyatakan bahwa khitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam organik encer, dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium klorida. Struktur molekul khitin dapat dilihat pada Gambar 2.

(17)

Khitosan merupakan produk deasetilasi khitin, yang memiliki sifat yang unik. Unit penyusun khitosan merupakan disakarida (1-4)–2–amino–2–deoksi–a– D–glukosa yang saling berikatan ß (Angka dan Suhartono 2000). Berat molekulnya tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatannya. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer khitin, semakin rendah berat molekulnya serta semakin kuat interaksi antara ion dan ikatan hidrogen dari khitosan (Knorr,1982).

Penampilan fungsional khitosan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawinya. Seperti halnya dengan polisakarida lain, khitosan memiliki kerangka gula tetapi dengan sifat yang unik karena polimer ini memiliki gugus amin bermuatan positif sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negative (Angka dan Suhartono 2000).

Menurut Knorr (1982), khitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Ornum (1992) menambahkan bahwa gugus amino bebas inilah yang memberikan banyak kegunaan pada khitosan. Bila dilarutkan dalam asam, khitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam pembentuk film atau imobilisasi dalam beberapa reagen biologi termasuk enzim.

Khitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi sehingga mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, khitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Struktur molekul khitosan disajikan pada Gambar 3.

(18)

Khitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH diatas 6,5 dan pelarut organik, tetapi dapat larut cepat dalam asam organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat, dan asam mineral lain kecuali sulfur. Sifat kelarutan khitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi, rotasi spesifik yang bervariasi serta tergantung dari sumber dan metode isolasinya (Austin 1984). Pelarut khitosan yang baik adalah asam format dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 0,2–1,0% dan 1–2% (Ornum 1992). Standar mutu khitosan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar mutu khitosan

Parameter Nilai

Ukuran partikel Serpihan sampai serbuk

Kadar air = 10 % Kadar abu = 2 % Larutan Jernih Derajat deasetilasi = 70 % Viskositas (cps) - rendah < 200 cps - sedang 200 – 799 cps - tinggi 800 – 2000 cps - ekstra tinggi > 2000 cps

Sumber : Protan Laboratories dalam Suptijah et al. (1992)

2.5 Isolasi Khitosan

Khitosan adalah produk deasetilasi dari khitin dengan menggunakan larutan alkali (Johnson dan Peniston 1982). Khitin di alam tidak berada dalam keadaan murni tetapi bergabung dengan unsur-unsur lain seperti protein, unsur mineral dan berbagai macam pigmen. Khitin berikatan kovalen dengan sebagian protein dan berasosiasi dengan unsur mineral membentuk mukopolisakarida yang berfungsi sebagai material pelindung pada udang. Oleh sebab itu untuk mendapatkan Khitin dalam keadaan murni perlu dilakukan ekstraksi dengan perlakuan yang sesuai dengan karakter asosiasi khitin dengan protein dan mineral.

(19)

Khitin diperoleh dengan cara menghilangkan protein (deproteinasi) dan mineral (demineralisasi) dari kulit atau cangkang udang dan rajungan dilanjutkan dengan proses deasetilasi untuk mendapatkan khitosan. Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada limbah tersebut. Kulit udang dan rajungan umumnya mengandung 30 – 50 % (berat kering) mineral. Mineral utama yang terdapat pada udang dan rajungan adalah kalsium dalam bentuk CaCO3 dan sedikit Ca3 (PO4)3 (Purwatiningsih 1993). Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan menambah HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume pengekstrak 1:7 (b/v) dipanaskan pada suhu 90-1000C selama satu jam (Suptijah et al. 1992). Reaksi demineralisasi dapat dilihat pada Gambar 4.

CaCO3 + 2HCL CaCl2 + H2CO3

H2CO3 H2O + CO2

CaCO3 + 2HCl CaCl2 + H2O + CO2

Ca3(PO4)2 + 6HCl 3CaCl2 + 2H3PO4 Gambar 4 Reaksi demineralisasi menurut Bastaman (1989)

Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan, karena dengan pengadukan yang konstan diharapkan asam berkonsentrasi rendah tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan (Karmas 1982).

Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein dari limbah udang dan rajungan. Efektivitas proses tersebut tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Menurut Suptijah et al. (1992), penggunaan larutan NaOH 3,5 % dengan pemanasan 90 0C selama satu jam dapat dilakukan sebagai alternatif deproteinasi. Penghilangan gugus asetil (-COCH3) dari khitin dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH pekat (50 %) dengan perbandingan 1:20 b/v dipanaskan pada suhu 120 – 140 0C selama satu jam.

Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu khitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan pada gugus khitin.

(20)

Semakin tinggi derajat deasetilasi khitosan, maka gugus asetil yang terdapat dalam khitosan tersebut semakin sedikit (Knorr 1982).

Menurut Suptijah et al. (1992), deasetilasi pada khitin yang optimum dapat dilakukan dengan cara menambahkan larutan NaOH pekat (50 %) nisbah 1:20 b/v kemudian dipanaskan pada suhu 120 – 140 0C selama satu jam. Waktu dan suhu pada proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir, waktu deasetilasi yang lama dengan suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan rendemen khitosan, berat molekul, viskositas, dan kemampuan mekanik dari film khitosan (Bastaman 1989).

2.6 Khitosan Sebagai Pengikat Logam Berat

Khitosan merupakan bahan pengkhelat yang kuat untuk ion logam terutama Cu, Ni, Hg (Blair dan Ho 1980). Menurut Mckay et al. (1987) khitosan mempunyai kemampuan untuk mengadsorbsi logam dan membentuk komplek khitosan logam. Mekanisme yang terjadi adalah seperti di bawah ini:

2R – NH3 + Cu2+ + 2Cl- (R – NH2) CuCl2

Menurut Knorr (1984), penggunaan khitin dan khitosan sebagai absorban logam berat dilakukan karena keselamatan dan perbaikan lingkungan. Dull et al.

(1962) menjelaskan bahwa adsorbsi adalah peningkatan konsentrasi gas, cairan, atau padatan tertentu pada permukaan cairan atau padatan lain. Sedangkan Considine (1976) menyatakan bahwa adsorbsi adalah salah satu sifat adhesi yang terdapat pada padatan atau cairan yang kontak dengan zat lain, sehingga terjadi penumpukan atau pengumpalan zat tersebut pada permukaan padatan atau cairan.

Absorpsi adalah suatu peristiwa fisik atau kimia pada permukaan yang dipengaruhi oleh suatu reaksi kimia antara absorben dan absorbat. Absorben adalah padatan atau cairan yang mengabsorsi sedangkan absorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diabsorbsi. Jadi proses absorbsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan, cairan dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren 1986).

Absorbsi adalah peristiwa terjadinya perubahan kepekatan dari molekul, ion, atau atom antara dua fase (Pari 1996). Pada kondisi dan tekanan tertentu

(21)

molekul, ion atau atom dalam daerah ini dapat mengalami ketidakseimbangan gaya, sehingga dapat menarik molekul lain sampai keseimbangan gaya tercapai dan zat yang terabsorbsi biasanya terkonsentrasi pada permukaan. Bahan yang terserap disebut absorbat, biasanya berupa larutan atau gas sedangkan yang menyerap dinamakan absorben, pada umumnya berupa padatan.

Absorbansi merupakan sifat khusus dari sampel (sifat yang khas) karenanya akan berbeda-beda (berubah) dengan konsentrasi dan ketebalan wadah. Sedangkan absorbsivitas adalah suatu sifat zat (sifat khusus) atau sifat kombinasi dari zat terlarut dan pelarut pada pengukuran panjang gelombang tertentu (Galen 1960).

Khitosan dapat dipaduka n dengan komponen lain menghasilkan khitosan Graft Kopolimer sebagai resin poliamin yang mempunyai porositas tinggi (high porosity) dan dapat digunakan sebagai adsorben pada penanganan limbah logam berat (Kawamura et al. 1993).

Khitosan mempunyai kapasitas gugus fungsional yang tinggi, laju pengikatan yang cepat dan penyaringan yang baik untuk beberapa ion logam. Khitosan juga mempunyai kapasitas sebagai buffer untuk ion H disebabkan kandungan grup amino yang tinggi dan grup amino bebasnya tersedia untuk modifikasi kimia. Pengaturan pH larutan dan regenerasi khitosan layak dibutuhkan untuk adsorbsi ion logam berat. Pengaruh pH yang rendah akan mengurangi penyerapan ion logam kedalam khitosan karena bersaing dengan ion H untuk menempati grup amino bebas (Masri dan Randall 1978).

(22)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2005-Mei 2006 di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Limnologi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Pangan dan Gizi Pusat Antar Universitas (PAU) IPB, serta Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beaker gelas, gelas ukur, pengaduk kaca, tabung reaksi, blender, timbangan analitik, kompor listrik, pipet volumetrik, oven, termometer, cawan porselen .

Bahan yang digunakan meliputi bahan utama yaitu limbah karagenan dari CV Dinar (Tangerang), limbah rajungan dari Muara Angke. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah asam klorida (HCl 1 N), asam sulfat pekat (H2SO4), asam nitrat (HNO3), NaOH 50%, hidrogen peroksida (H2O2), asam perklorat (HclO4), aquades, natrium oksida (NaOH 3,5 N).

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi penelitian pendahuluan yaitu pembuatan khitosan dan penelitian utama yaitu proses penyerapan logam berat pada limbah karagenan dengan berbagai konsentrasi khitosan dengan menggunakan alat spektrofotometer serapan atom (AAS) model 170-30 merk Hitachi.

3.3.1 Penelitian pendahuluan a. Pembuatan khitosan

Dalam penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi khitin dan khitosan dari limbah rajungan. Sebelum dilakukan proses kimiawi, terlebih dahulu kulit rajungan dibersihkan kemudian dikeringkan dan dihancurkan dengan blender. Proses kimiawi meliputi demineralisasi dilakukan dengan melarutkan limbah

(23)

rajungan dalam larutan HCl 1 N (1:7) pada suhu 900C selama 1 jam. Proses deproteinase dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 3,5 N (1:10) pada suhu 900C selama 1 jam. Dari proses ini dihasilkan khitin, untuk menghasilkan khitosan dilakukan proses deasetilasi, yaitu penghilangan gugus asetil

(-COCH3) yang terdapat pada struktur molekul khitin menggunakan larutan NaOH 50% (1:20) pada suhu 1400C selama 1 jam (Suptijah et al. 1992). Alur proses pembuatan khitosan dapat dilihat pada Gambar 5.

Limbah Rajungan

Pencucian

Pengeringan

Penghancuran dengan blender

Demineralisasi

(900 C, 1 jam; 1 : 7 HCL 1,5 N)

Penyaringan dan pencucian

Deproteinasi

(900 C, 1 jam; 1 : 10 NaOH 3,5 N)

Khitin

Penyaringan dan pencucian

Deasetilasi

(1400 C, 1 jam; 1 : 10 NaOH 50%

Khitosan

(24)

b. Pembuatan larutan khitosan

Membuat larutan khitosan dengan konsentrasi masing-masing 1,25 ppm, 2,5 ppm, 3,75 ppm, 5,0 ppm dan 6,25 ppm dengan cara mengencerkan 1 gram serbuk khitosan melalui penambahan asam asetat 2 % sebanyak 2 ml kemudian ditambahkan aquades hingga mencapai volume 1000 ml.

3.3.2 Penelitian utama

Dalam penelitian utama digunakan hasil penelitian pendahuluan dengan berbagai konsentrasi khitosan yang berbeda masing-masing adalah 1,25 ppm, 2,5 ppm, 3,75 ppm, 5 ppm, dan 6,25 ppm. Kemudian masing-masing konsentrasi khitosan tersebut dicampur dengan limbah karagenan 100 ml. Membuat Limbah karagenan tersebut dengan cara mengencerkan 50 ml akuades ke dalam 50 ml limbah karagenan. Kemudian dilakukan pengadukan dengan pengadukan magnetik selama 10 menit, kemudian didiamkan selama 15 menit. Filtrat yang didapat dianalisis kembali untuk mengetahui kandungan logam Pb setelah pemeraman. Tahap penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram alir proses pengkhelatan logam berat Pb oleh khitosan Pengadukan 10 menit

Didiamkan 15 menit

Supernatan

Analisis Logam Berat

(25)

3.4 Prosedur Analisis

prosedur analisis ini dilakukan untuk mengetahui mutu khitosan hasil penelitian, yaitu:

(1) Kadar air (AOAC 1984)

Pengujian kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cawan kosong mula-mula dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 0C selama lebih kurang 30 menit. Kemudian cawan didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1 gram sampel ditimbang dalam cawan kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu yang sama selama 6 jam. Cawan yang berisi sampel dikeringkan lagi di dalam oven sampai dicapai berat konstan.

Kadar air ditentukan dengan rumus : Kadar air (%) =

(2) Kadar abu (AOAC 1984)

Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dan diletakkan dalam cawan pengabuan dihilangkan asapnya dengan menggunakan Bunsen. Cawan dimasukkan dalam tanur pengabuan, lalu dipanaskan secara bertahap sampai mencapai suhu 600 0C selama 5 jam atau sampai diperoleh abu yang berwarna putih. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus :

Kadar abu (%) = (g) akhir berat (g) awal berta x 100%

(3) Derajat deasetilasi (Protan Laboratoriesdalam Suptijah et. al. 1992)

Spektrum infra merah dapat dibuat dengan menggunakan spektrofotometer infra merah IP-408. Frekwensi yang digunakan antara 4000 cm-1 sampai 400 cm-1. Derajat deasetilasi bahan ditentukan dengan metode “base line” yang ditemukan oleh Moore dan Robert (1980) dalam

Prantommy (2005). Dua gram digerus dalam mortal dalam bentuk serbuk KBr. Kemudian dicetak dengan cetakan pellet. Pellet tipis yang transparan diteliti denga infra merah sehingga diperoleh kromatogram IR. Puncak

100% x (g) awal berat (g) akhir berat -(g) awal berat

(26)

tertinggi (Po) dan puncak terendah (p) dicatat dan diukur dari garis yang dipilih. Nilai absorbansi dihitung dengan menggunakan rumus :

A = P

Po Log

Po = jarak antar garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi dengan panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1

P = jarak antara garis dasar dengan lembah terendah pada panjang gelombang 1655 cm-1 atau 3450 cm-1

Perbandingan antara absorbansi pada 1665 cm-1 dengan absorbansi 3450 cm-1 digandakan denga satu per standar N-deasetilasi khitosan (1,33). Dengan mengukur nilai absorbansi pada puncak yang berhubungan nilai persen N-asetil dapat dihitung dengan rumus :

% N- deasetilasi = [1-( A3450 A1655 x 1,33 1 )] x 100 %

A1655 = absorbansi pada panjang gelombang 1655 cm-1 A3450 = absorbansi pada panjang gelombang 3450 cm-1 1,33 = konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna

(4) Viskositas (Benjakul dan Saphanodora 1993)

Khitosan sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 200 ml asam asetat 2 %. Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai viskositas dengan menggunakan viskosimeter rotari model BM. Rotari yang digunakan adalah rotari no. 2 dengan menggunakan kecepatan putaran 60 rpm. Nilai viskositas dapat dihitung menggunakan rumus :

(5) Analisa Kimia Pb (AOAC 1984)

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis logam berat pada limbah karagenan yang dilakukan sebelum penelitian dan hasil akhir penelitian. Analisis yang dilakukan sebelum penelitian

(27)

dimaksudkan untuk mengetahui kadar logam berat yang terkandung dalam limbah karagenan. Sedangkan analisis hasil akhir dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas khitosan dalam mengikat (sebagai pengkhelat) logam berat tersebut.

Tahap analisis yang dilakukan adalah samp el homogen diambil 100 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam labu destruksi, dengan ditambah H2SO4 pekat sebanyak 10 ml dan HNO3 pekat sebanyak 5 ml. Labu dipanaskan dalam alat destruksi selama ± 1 jam atau sampai nitrat hilang dan larutan berwarna hitam. Setelah itu diangkat dan setelah dingin ditambahkan asam perklorat (HClO4) sebanyak 5 ml. Kemudian sampel dipanaskan sampai berwarna bening. Selanjutnya labu diangkat dan didinginkan, setelah itu larutan ditepatkan volumenya sampai dengan 50 ml dengan HCl 1 N. Larutan dianalisis dengan menggunakan alat spektrofotometer serapan atom (AAS) model 170-30 merk Hitachi.

Analisis yang dilakukan pada Pb menggunakan panjang gelombang 283,5 nm dengan aliran lampu sebesar 7,5 µA, dan gas pembakarnya adalah oksigen-asetilen.

Hasil analisis dapat diketahui melalui perhitungan dengan rumus :

Keterangan: Sp = Pembacaan AAS untuk sampel Bl = Pembacaan AAS untuk blanko fp = Faktor pengenceran

3.5 Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang dicobakan adalah perlakuan konsentrasi, masing-masing 0 ppm, 1,25 ppm, 2,5 ppm, 3,75 ppm, 5 ppm, dan 6,25 ppm. Model rancangan percobaan yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut : Yi j = µ + αi + εij;

dimana i = 1,2,3,....,a dan j = 1,2,3,....,b

Logam berat (ppm) = Absorban (Sp – Bl) x fp gram sampel

(28)

Keterangan: Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i ulangan ke-j

µ = Nilai rata-rata pengamatan

αi = Faktor pengaruh perlakuan ke-i

εij = Pengaruh galat p

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA). Selanjutnya untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (Uji Tukey) menurut Steel dan Torrie (1995) sebagai berikut:

BNJ = qa/2 (p, dbs) Sy

Dimana:

qa /2 = Taraf nyata diperoleh dari table wilayah yang

distudenkan

p = jumlah perlakuan dbs = Derajat bebas sisa Sy = (

r KTS

(29)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan dengan tujuan mendapatkan khitosan dari limbah rajungan. Pembuatan khitosan yang dihasilkan dari limbah rajungan ini yang akan digunakan dalam penelitian utama. Setelah mendapatkan khitosan, kemudian khitosan tersebut dianalisis mutunya yang terdiri dari kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat deasetilasi dan viskositas. Data hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis mutu khitosan

Parameter Fisika Kimia Nilai

Kadar air (%) 8, 04

Kadar abu (%) 2,88

Derajat deasetilasi (%) 84,84

Viskositas (cps) 224,25

Kadar air dari khitosan hasil penelitian ini sebesar 8,04% lebih kecil dari standar kadar air maksimal khitosan yaitu 10% dengan demikian maka khitosan tersebut sudah sesuai dengan standar mutu khitosan. Nilai kadar air ini dipengaruhi oleh proses pengeringan dalam pembuatan khitosan dan kemampuan khitosan itu sendiri untuk menyerap air serta ditentukan oleh kelembaban relatif udara lingkungan. Sedangkan kadar abu khitosan pada penelitian ini diperoleh sebesar 2,88% lebih besar dari standar mutu khitosan yaitu 2%. Nilai kadar abu berhubungan dengan proses demineralisasi yaitu proses penghilangan mineral dari khitin dengan larutan HCl 1,5 N. Pada proses demineralisasi terjadi reaksi kimia antara asam klorida (HCl) dengan kalsium CaCO3 dan Ca(PO4 )2 dan akan menghasilkan kalsium klorida yang larut dan mudah dipisahkan dari produk. Kadar abu yang terdapat pada khitosan ini lebih besar dari standar yang telah ditetapkan dikarenakan cangkang rajungan yang lebih tebal dibandingkan dengan cangkang udang seperti yang diungkapkan (Wibowo et. al. 2005) bahwa kulit rajungan umumnya mengandung sekitar 75 – 85 % (BK). Ini berarti bahwa kulit

(30)

rajungan lebih banyak mengandung mineral dari kulit udang sehingga proses demineralisasi yang terjadi pada cangkang rajunga n ketika proses isolasi kimia adalah antara HCl kalsium CaCO3 dan Ca(PO4)2 yang belum/tidak mencapai sasaran yang ditengah-tengah ketebalan cangkang rajungan dibandingkan dengan cangkang udang yang tidak terlalu tebal.

Khitin mengalami proses deasetilasi yaitu proses penghilangan gugus asetil yang terdapat pada khitin dengan menggunakan larutan NaOH 50% untuk menghasilkan khitosan (Suptijah et al., 1992). Nilai derajat deasetilasi sebesar 84,84%, nilai tersebut apabila dibandingkan dengan standar mutu khitosan yang dikeluarkan oleh Laboratorium Protan telah memenuhi kriteria standar yaitu derajat deasetilasi = 70%.

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama ini dilakukan dengan menggunakan hasil penelitian pendahuluan dan dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pertama untuk mengamati daya absorbansi khitosan terhadap logam berat (Pb) dalam bentuk larutan Pb asetat sebagai standar untuk mengetahui daya ikat khitosan terhadap Pb asetat, melihat tingkat kejernihan larutan Pb asetat yang diberi khitosan dengan pendeteksian spektofotometer UV-160. Hasil absorbansi dari spektrofotometer ini menunjukkan sisa Pb asetat yang tidak terikat. Bila hasil absorbansi khitosan pada larutan Pb asetat tersebut berpengaruh maka selanjutnya khitosan tersebut dapat diaplikasikan pada logam berat Pb yang terdapat pada limbah karagenan. Sedangkan tahap kedua adalah mengamati daya ikat khitosan terhadap logam berat (Pb) yang terkandung dalam limbah pengolahan rumput laut yang diuji dengan menggunakan alat AAS (Atomic Absorbsion Spektrofoto meter).

4.2.1 Pengikatan logam Pb oleh khitosan

Pada proses pengikatan molekul absorbat tidak hanya terkonsentrasi pada permukaan absorben tetapi dapat juga menembus ke dalam struktur padatan atau masuk diantara kisi-kisi kristal absorben. Kegunaan pengukuran absorbansi adalah untuk mengetahui efektivitas bahan pengikat logam yang diindikasikan dalam pengikatan warna larutan Pb asetat sebagai standar dan menentukan intensitas warna larutan Pb asetat yang tidak terikat.

(31)

Sebagai kurva standar, digunakan hasil absorbansi dari variasi konsentrasi larutan Pb asetat. Hasil uji spektrofotometer yang dilakukan pada setiap variasi konsentrasi logam berat berupa larutan Pb asetat sebagai standar diperoleh peningkatan. Nilai absorbansi kurva standar logam berat Pb dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai absorbansi kurva standar logam berat Pb

Logam berat Pb (ppm) Nilai absorbansi

0 0,012 1 0,197 2 0,250 3 0,278 4 0,302 5 0,328

Dengan melihat data Tabel 5 di atas maka semakin besar konsentrasi larutan logam Pb maka makin besar pula hasil absorbansinya. Nilai hasil absorbansi logam berat Pb tanpa perlakuan khitosan dapat dilihat pada Gambar 7.

y = 0.0549x + 0.0355 R2 = 0.7995 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0 1 2 3 4 5 Konsentrasi Pb Asetat Absorbansi

Gambar 7. Grafik standar larutan Pb Asetat

Pada grafik standar terlihat bahwa konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ppm menghasilkan nilai absorbansi 0,012, 0,197, 0,250, 0,278, 0,302 dan 0,328. Jadi

(32)

setiap kenaikan konsentrasi logam Pb sebesar 1 ppm akan mengakibatkan peningkatan nilai absorbansinya sebesar 0.0549 satuan.

Khitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat logam berat. Hal ini dapat terlihat dari nilai absorbansi yang dihasilkan setelah perlakuan berbagai konsentrasi khitosan 0 ppm, 1,25 ppm, 2,5 ppm, 3,75 ppm, 5 ppm dan 6,25 ppm pada logam Pb yang semakin menurun. Nilai absorbansi logam berat Pb setelah penambahan khitosan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai absorbansi logam berat Pb setelah penambahan berbagai konsentrasi khitosan Konsentrasi khitosan (ppm) Nilai absorbansi supernatan Konsentrasi Pb dan supernatan (ppm) 0 0,286 3,28 1,25 0,253 2,08 2,50 0,217 1,24 3,75 0,145 0,68 5,00 0,094 0,40 6,25 0,075 0,28

Dari data di atas terlihat bahwa penambahan khitosan berbanding terbalik dengan nilai absorbansi dan konsentrasi Pb pada supernatan. Grafik hubungan antara konsentrasi khitosan dengan nilai absorbansi dan konsentrasi Pb supernatant dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.

y = -0.0458x + 0.3387 R2 = 0.9785 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0 1.25 2.5 3.75 5 6.25 Konsentrasi Khitosan Absorbansi

Gambar 8. Grafik nilai absorbansi Pb asetat supernatant setelah penambahan khitosan

(33)

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 0 1.25 2.5 3.75 5 6.25 Konsentrasi Supernatan Konsentrasi Pb

Gambar 9. Grafik hubungan antara konsentrasi supernatan dengan konsentrasi Pb

Grafik hubungan antara konsentrasi khitosan dengan nilai absorbansi mempunyai persamaan regresi Y = - 0,0458x + 0,3387 dengan koefisien korelasi sebesar 97,85 %. Dari persamaan regresi pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa setiap penambahan konsentrasi khitosan sebesar 1,25 ppm akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sebesar 0,0458 satuan. Secara statistik penambahan khitosan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai absorbansi. Penambahan khitosan dengan konsentrasi yang berbeda memberika n pengaruh yang berbeda pula terhadap nilai absorbansi. Hal ini terlihat dari hasil yang berbeda nyata antara perlakuan konsentrasi 0 ppm, 1,25 ppm, 2,5 ppm, 3,75 ppm, 5 ppm, dan 6,25 ppm. Penambahan khitosan sebesar 1,25 ppm menurunkan nilai absorbansi sebesar 11,54 % yaitu dari 0,286 menjadi 0,253. Sedangkan khitosan sebesar 2,5 ppm menurunkan nilai absorbansi sebesar 24,12 % yaitu dari 0,286 menjadi 0,217. Sedangkan penambahan khitosan sebesar 3,75 ppm menurunkan nilai absorbansi sebesar 49,30 % yaitu dari 0,286 menjadi 0,145. konsentrasi khitosan 5 ppm menurunkan nilai sebesar 67,13 % yaitu dari 0,286 menjadi 0,094. dan penambahan khitosan sebesar 6,25 ppm menurunkan nilai absorbansi terbesar yaitu 73,77 % dari 0,286 menjadi 0,075. Terjadi penurunan nilai absorban diawali dari penambahan konsentrasi 1,25 ppm yaitu 0,253 dan diikuti konsentrasi 2,5 ppm dan seterusnya. Dengan demikian maka semakin besar konsentrasi khitosan maka semakin kecil nilai absorban yang didapat. Hal ini terjadi karena sifat khitosan yang dapat mengikat ion logam,

(34)

khitosan dapat berfungsi sebagai pengkhelat karena adanya gugus asetil yang bermuatan (Ditjen Perikanan 1989).

Hubungan antara konsentrasi supernatan dengan konsentrasi Pb menunjukan bahwa semakin besar konsentrasi supernatan yang terdeteksi berarti semakin kecil konsentrasi Pb. Hal ini berarti pula bahwa semakin besar konsentrasi supernatan maka semakin kecil konsentrasi Pb yang tidak terikat oleh khitosan.

Dari proses pengikatan tersebut maka akan didapat nilai absorbsi pada perlakuan penambahan khitosan. Nilai absorbsi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kandungan logam Pb yang diikat oleh khitosn

Konsentrasi khitosan (ppm) Nilai konsentrasi (ppm)

1,25 1,20

2,50 2,04

3,75 2,60

5,00 2,88

6,25 3,00

Dari data di atas dapat dilihat bahwa semakin besar penambahan khitosan yang diberikan maka semakin besar pula pengikatannya. Nilai konsentrasi di atas adalah hasil pengikatan khitosan terhadap logam Pb. Hal ini terjadi karena setiap penambahan khitosan dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap daya pengikatannya. Grafik kandungan logam Pb yang terikat oleh khitosan dapat dilihat pada Gambar 10.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 1.25 2.5 3.75 5 6.25 Konsentrasi Khitosan Konsentrasi Pb

(35)

Penambahan konsentrasi khitosan 1,25, 2,5, 3,75, 5 dan 6,25 ppm akan mengikat logam Pb sebesar 1,20, 2,04, 2,60, 2,88 dan 3,00 ppm. Jadi semakin besar konsentrasi khitosan yang ditambahkan maka semakin besar pula logam Pb yang terikat.

4.2.2 Kandungan timbal (Pb) pada limbah karagenan

Pada penelitian ini diuji coba pengikatan khitosan terhadap logam berat Pb yang terdapat pada limbah karagenan sebagai tujuan utama pada penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa besar daya ikat khitosan terhadap logam berat Pb pada limbah karagenan dengan pendeteksian oleh alat spektrofotometer serapan atom (AAS).

Hasil analisis kandungan logam timbal (Pb) pada sampel limbah karagenan tanpa perlakuan khitosan dengan menggunakan alat spektrofotometer serapan atom (AAS) adalah 0,030mg/ml. Setelah penambahan larutan khitosan, kandungan logam timbal (Pb) pada limbah karagenan menurun menjadi berkisar antara 0,014 mg/ml-0,027mg/ml atau terjadi penurunan sebesar 13,33 %–50,00 %. Kandungan logam berat setelah penambahan khitosan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. kandungan logam berat timbal (Pb) pada limbah karagenan dengan penambahan konsentrasi khitosan

Logam Berat Kandungan logam berat (mg/ml)

0 ppm 1,25 ppm 2,5 ppm 3,75 ppm 5 ppm 6,25 pmm Pb 0,030 0,026 0,024 0,020 0,017 0,015

0,030 0,028 0,025 0,018 0,015 0,013 Rata-rata 0,030 0,027 0,0245 0,019 0,016 0,014 % reduksi - 13,33 % 20,00 % 33,33 % 43,33% 50,00 %

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi khitosan yang diberikan maka kemampuan mengikat logam cenderung semakin besar. Kecenderungan semakin besarnya kapasitas penyerapan logam akan menyebabkan menurunnya kandungan logam pada limbah cair.

Adanya penur unan nilai kandungan logam berat disebabkan karena dengan penambahan khitosan terjadi pembentukan senyawa kompleks. Pembentukan

(36)

kompleks senyawa khelat tersebut mula-mula merupakan suatu detoksifikasi (proses hilangnya sifat racun zat beracun melalui proses biokimiawi atau proses lain) (Loomis 1978). Pembentukan khelat melalui reaksi antara khitosan dengan ion logam, yang dalam proses ini akan menyebabkan ion logam kehilangan sifat ionnya dan dengan demikian juga akan kehilangan sebagian besar sifat toksiknya. Melalui reaksi pengikatan (chelatin) khitosan mampu menyerap logam berat, hal ini diduga karena adanya gugus CH2OH dan NH2 yang mampu mengikat logam berat dari limbah cair.

Logam timbal (Pb) merupakan salah satu logam berat beracun pada konsentrasi rendah dalam organisme. Bagi kehidupan organisme , logam ini tidak bermanfaat, sifat akumulatif logam nonesensial ini cenderung membentuk ikatan komplek dengan bahan organik (Waldichuck 1974). Kenaikan logam Pb dalam suatu perairan akan menyebabkan akumulasi yang terus menerus dalam organisme yang tidak mampu mengeks kresi dengan baik logam tersebut.

Khitosan mempunyai bentuk kristal rombik dengan struktur saling silang antar bentuk alfa, beta dan gamma, membentuk suatu matriks seperti resin sehingga cocok digunakan sebagai absorben atau agen amobilisasi. Senyawa tersebut dapat dipadukan dengan komponen lain sehingga membentuk campuran yang mempunyai kemampuan mengabsorsi lebih kuat dan digunakan dalam absorbsi logam berat (Kawamura et al.1993).

Khitosan mempunyai gugus amin/NH yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak serta kemampuannya membentuk gel maka khitosan dapat berperan sebagai komponen reaktif, pengkelat, pengikat, pengabsorbsi, penstabil, pembentuk film, penjernih, flokulan, koagulan (Shahidi et al.1999). Dengan gugus fungsi yang unik itulah khitosan dapat diaplikasikan di bidang-bidang kesehatan, kosmetik, farmasi, pangan/pakan, pengolahan limbah, tekstil, kertas dan lain-lain. Absorbsi logam berat oleh khitosan melalui reaksi pengkhelatan yang membentuk senyawa kompleks melalui reaksi seperti pada Gambar 11.

(37)

Gambar 11. Bentuk senyawa kompleks pengikatan logam berat oleh khitosan (Hirano, 1988 dalam Rahadhiyan, 2001)

Proses penyerapan tersebut juga berhubungan dengan adanya gugus hidrofilik di dalam molekul khitosan, sehingga khitosan mempunyai ke mampuan untuk mengikat air dan bahan-bahan yang tersuspensi dalam air. Dengan demikian semakin besar konsentrasi khitosan dalam limbah maka semakin besar logam berat terikat dalam khitosan yang kemudian turun mengendap sehingga menyebabkan semakin kecilnya nilai absorbansi cairan limbahnya.

Kemampuan khitosan dalam mengikat logam berat karena khitosan memiliki sifat anionik yang kuat dan merupakan flokulan dan koagulan yang baik, membentuk membran serta membentuk gel dengan anion bervalensi ganda. Khitosan memiliki gugus amino bebas sebagai polikationik dan penghelat dalam larutan asam asetat. Kemampuan khitosan ini yang dimanfaatkan dalam pengolahan limbah pengkhelat logam. Zat pengikat logam ini mampu mengikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga mengalahkan pengaruh negatif dari logam berat. Molekul khitosan mampu mengikat ion logam dalam bentuk ikatan kompleks karena khitosan mempunyai gugus fungsional yaitu CH2OH dan NH2. Proses pengikatan ion logam ini merupakan proses keseimbangan pembentukan kompleks ion logam (Winarno 1992). Hasil uji khitosan terhadap logam berat pada limbah karagena n disajikan pada Gambar 12.

Logam Logam X X X X X X H H H H H H H H O OH OH H CH2OH CH 2OH H H H N N O O n Logam Logam X X X X X X H H H H H H H H O OH OH H CH2OH CH 2OH H H H N N O O n

(38)

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0 1.25 2.5 3.75 5 6.25 Konsentrasi Khitosan

Kadar Logam Berat (ppm)

Gambar 12. Kandungan logam Pb pada limbah karagenan setelah penambahan khitosan

Setiap penambahan khitosan memberikan pengaruh terhadap nilai pengikatan, dimana pada konsentrasi 0 ppm, 1,25 ppm, 2,5 ppm, 3,75 ppm, 5 ppm dan 6,25 ppm memberikan hasil yang berbeda. Penambahan khitosan 1,25 ppm mampu menurunkan kadar logam Pb sebesar 13,33 % yaitu dari 0,030 menjadi 0,027. sedangkan khitosan sebesar 2,5 ppm menurunka n kadar logam Pb sebesar 20 % yaitu dari 0,030 menjadi 0,025. Penambahan khitosan sebesar 3,75 ppm menurunkan kadar logam Pb sebesar 33,33 % yaitu dari 0,030 menjadi 0,019. Konsentrasi khitosan 5 ppm menurunkan kadar logam Pb sebesar 43,33 % yaitu dari 0,030 menjadi 0,016, dan penambahan khitosan sebesar 6,25 ppm menurunkan kadar logam Pb terbesar yaitu 50,00 % dari 0,030 menjadi 0,014. Terjadi penurunan nilai kadar logam Pb diawali dari penambahan konsentrasi 1,25 ppm yaitu 0,027 dan diikuti konsentrasi 2,5 ppm dan seterusnya. Dengan demikian maka semakin besar konsentrasi khitosan maka semakin kecil nilai kadar logam Pb yang didapat. Hal ini terjadi karena sifat khitosan yang dapat mengabsorbsi dan mengikat ion logam.

Dari seluruh perlakuan konsentrasi khitosan yang diberikan, perlakuan 6,25 ppm memberikan hasil terbaik terhadap reduksi logam berat Pb. Hal ini dapat dilihat dari semua perlakuan yang dicobakan hasil terbaik pada perlakuan konsentrasi 6,25 ppm. Dari hasil ya ng didapat diketahui bahwa jumlah Pb sebenarnya yang ada dalam limbah karagenan yang ditambahkan larutan khitosan 6,25 ppm adalah sebanyak 0,014 ppm.

(39)

Dengan demikian maka penambahan konsentrasi khitosan yang semakin besar dalam limbah karagenan akan menyebabkan semakin kecil kandungan logam berat Pb pada limbah karagenan. Hal ini berarti semakin besar konsentrasi khitosan yang diberikan akan menyebabkan semakin besar pula logam berat Pb pada limbah karagenan yang terserap oleh khitosan.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1) yang dilakukan memperlihatkan pengaruh konsentrasi khitosan terhadap kandungan logam berat limbah pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa konsentrasi khitosan yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap absorbsi kadar logam berat Pb. Penggunaan konsentrasi khitosan yang berbeda akan mempengaruhi kandungan logam berat pada limbah yang dianalisis.

Berdasarkan hasil uji Tukey’s pada selang kepercayaan 95 % terhadap berbagai konsentrasi yang digunakan menunjukkan bahwa konsentrasi khitosan yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Dari uji lanjut Tukey’s dapat diketahui bahwa perlakuan dengan menggunakan khitosan 6,25 ppm memberikan hasil terbaik dengan pengaruh yang berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Pada perlakuan khitosan 6,25 ppm terjadi penurunan logam berat Pb sebesar 50,00 %.

(40)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Karakteristik fisik khitosan yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi standar mutu khitosan. Penambahan khitosan sebagai pengkhelat memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol yaitu konsentrasi khitosan 0 %. Konsentrasi khitosan berbanding terbalik dengan nilai-nilai pengikatan logam Pb sehingga semakin tinggi konsentrasi khitosan maka semakin kecil kandungan logam berat Pb pada limbah karagenan.

Hasil analisis kandungan logam timbal (Pb) pada sampel limbah karagenan tanpa perlakuan khitosan adalah 0,030mg/ml. setelah penambahan larutan khitosan, kandungan logam timbal (Pb) pada limbah karagenan menurun menjadi berkisar antara 0,014mg/ml - 0,027mg/ml atau terjadi penurunan sebesar 13,33 %– 50,00 %.

Dari seluruh perlakuan konsentrasi khitosan yang diberikan, perlakuan 6,25 ppm memberikan hasil terbaik terhadap reduksi logam berat Pb. Hal ini dapat dilihat dari semua perlakuan yang dicobakan memberikan hasil terbaik pada konsentrasi 6,25 ppm. Dari hasil yang didapat diketahui bahwa jumlah logam berat Pb sebenarnya yang ada dalam limbah karagenan yang ditambahkan larutan khitosan 6,25 ppm adalah sebanyak 0,014mg/ml .

5.2 SARAN

a. Perlu penelitian lebih lanjut tentang cara yang lebih optimal untuk pengikatan logam berat lainnya pada limbah perikanan lain

b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kemampuan khitosan dalam mengabsorbsi logam Pb dengan Variasi waktu dan suhu

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Pemanfaatan Limbah Hasil Laut. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. IPB.

AOAC. 1984. Official Method of Analisis of The Association of Official Analytical Chemist, 14th . AOAC Inc. Virginia.

Austin, P. A. 1984. Chitin Solvent and Solubility Parameters. U. S. Dept. of Commerce. The University of Delaware, New York. USA.

Bastaman, S. 1989. Studies of Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Enginering. The Queen’s Univ. Belfast.

Benjakul, S. dan P. Sophanodora. 1993. Chitosan Production from Carapace and Shell of Black Tiger Shrimp (Penaeus monodon). Asean Food Journal. Vol 8(4), p 145-148.

Bhargava, G. 1992. Pollution and Its Control. Metal Publication, New Delhi.

Blair, H. S. dan T. C. Ho. 1980. Studies in the Adsorbtion and Diffusion of Ion in Chitosan. J. Chem. Tech. Biotechnol. 31 : 6

Brzeski, M. M. 1987. Chitin and Chitosan Putting Waste to Good Use. Infofish International (5). P. 31-33.

Candrkrachang, S., U. Chinadit, P. Chandayot dan T. Supairi. 1991. Profitable spin Offs from Shrimph – Seaweed Polyculture. Infofish International. 6. p. 26-28.

Ceamsa. 2001. Gelatin in Carrageenan: Technical Information. Spanyol: http://Ceamsa.Com.

Considine, D. M. 1976. Scientific Encyclopedia. Van Nostrand Reinhold Co. Melbourne.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Mahluk Hidup. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

(42)

_______ 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungan Dengan Toksikologi Senyawa Logam. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Perikanan Tangkap. Jakarta.

Dull, C. E., H. C. Metcalfe, dan J. E. Williams. 1962. Modern Chemistry. Holt, Rinehart and Winston Inc. New York.

[EPA] Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria. Ecological Research. Washington.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Faust, S. P. dan O. M. Aly. 1981. Chemistry of Natural Water. Ann Arbor. Science Publishers Inc. New York.

Fellows, P. S. 1992. Food Processing Technology. Ellis Horwood Limited, England.

Food Chemical Codex. 1981. Carrageenan. Washington: National Academic Press. Hal 74-75

Galen, E. 1960. Instrumental Method of Chemical Analisis. Second Edition Mc Graw-Hill Book Company, Inc. New York.

Glicksman M. 1983. Seaweed extracts. Di dalam Glicksman M (ed). Food Hydrocolloids Vol II. CRC Press, Boca Raton, Florida.

Hamidah. 1980. Pengaruh Logam Berat Terhadap Lingkungan Perwata Oseana

No. 2. LON-LIPI Jakarta.

Hart, B. I. dan S. H. R. Davies. 1978. A Study of The Physico-Chemical Forms of Trace Metals in Natural Water and Waste-Water. Departement of National Development. Teknical Paper No. 35 Aust. Water Resurces Council.

Hutagalung, H. P. dan Hamidah. 1981. Kandungan Logam Berat Dalam Beberapa Perairan Laut di Indinesia. Dalam Kondisi Lingkungan pesisir dan Laut di Indonesia. Lon-LIPI. Jakarta.

Hutagalung, H. P. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat. Dalam Studi Pencemaran di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. ed. Djoko Hadi Kunarso dan Ruyitno. Proyek Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Air Tawar. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI Jakarta.

(43)

Irukayama, K. 1979. The Pollution of Minamata Bay and Minamata Disease.

Dalam River Pollution II. Editor Klein. London.

Johnson, E. L dan Q. P. Peniston. 1982. Utilization of Shellfish Wastes For Production of Chitin and Chitosan Production. Chemistry and Biochemistry of Marine and Food Product. The AVI Publishing co., Westport, Connecticut.

Karmas, E. 1982. Meat Poultry and Seafood Technology Recent Development of Food Science. Rutgers University. Park Ridge, New Jersey. USA

Kawamura M, Mitsuhashi H, Tanibe H, Yoshi. 1993. Adsorption of Metal Ions on Polyaminated Highly Poronschitosan Chelatin Resin. Ind. Eng. Chem.. Res 32: 386-391.

Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.

Knorr, D. 1982. Function Propertes of Chitin and Chitosan. J. Food Science. 47(2) : 593-595 p.

_______ 1984. Us of Chitinous Polimers in Food. Food Tec. 38(1) : 85-97 p. .

Latifah, 2000. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Timbal (Pb) Terhadap Nilai LC50 Ikan Mas (Cyprinus carpio Lin). [Skripsi]. Bogor: Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institute Pertanian Bogor.

Laws, E. A. 1981. Aquatic Pollution. John Willey and Sons. New York.

Loomis, T. A. 1978. Toksikologi Dasar. Edisi ketiga. Alih Bahasa 1.A. Donatus. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Masri, M. S. dan V. G. Randall. 1978. Chitosan and Chitosan Derivatives For Removal of Toxic Metallic Ions from Manufacturing Plant Waste Streams. Dalam R. A. A. Muzzarelli dan E. R. Pariser (eds.). Proe. 1 st Intern Conf. Chitin/Chitosan MIT Sea Grant Report, Cambridge.

McKay, G., H. S. Blair dan S. Grant. 1987. Desorption of Copper From a Copper – Chitosan Complex. J. Chem. Tech Biotechnol. 40 : 63.

Ornum, J. V. 1992. Shrimp waste must it be wasted?. Infofish 6/92. 48-51 p.

Pari, G. 1996. Kualitas Arang Aktif dari 5 Jenis Kayu. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 14. No. 2 : 60-68.

(44)

Piotrowski, J. K. dan D. O. Coleman. 1980. Environmental Hazard of Heavy Metal: Summary Evaluation of Lead, Cadmium and Mercury.

WHO, Geneva.

1986. Environmental Hazard of Heavy Metal: Summary Evaluation of Lead, Cadmium and Mercury. Chelsea College, London.

Prantommy 2005. Pemanfaatan Khitosan dari Kulit Udang Windu (Panaeus Monodon) Untuk Pengolahan Limbah Cair. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Purwatiningsih. 1993. Isolasi Khitin dan Senyawa Kimia dari Limbah Udang

Windu (Panaeus monodon). Buletin Kimia No. 8 th 1992. FMIPA. IPB.

Rahadhiyan, S. 2001. Mempelajari Proses Penurunan Kadar Logam Berat Pada Limbah Cair dengan Perlakuan Berbagai Konsentrasi Larutan Khitosan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rahayu, L. 1995. Analisis Jumlah Klorofil dan Kandungan Logam Berat Pb Dalam Jaringan Daun Akibat Pencemaran Lalu Lintas. Manusia dan Lingkungan II (5) : 53-66.

Reilly, C. 1980. Metal Contamination of Food. Applied Science Publisher, Ltd. London.

Rha, C. 1984. Chitosan as Biomaterial. Dalam Biotecnology In The Marine Science. Editor R. R. Colwell, A. J. Sinsley dan E. R. Peniser. John Wiley and Sons. New York.

Saeni, M. S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Shahidi F, Janak KVA, Yon JJ. 1999. Food Applications of Chitin Chitosans. Dept. of Biochemistry Memorial Univ of Newfoundland. St Johns N.F. A. B. 3 YG Canada Elsevier Science Ltd.

Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Jakarta.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia. Jakarta.

Suptijah, P., E. Salamah, H. Sumaryanto, S. Purwaningsih dan J. Santoso. 1992.

Pengaruh Berbagai Isolasi Khitin Kulit Udang Terhadap Mutunya. Laporan Penelitian Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

(45)

Suptijah, P. 2002. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3, Institut Pertanian Bogor.

_______ 2006. Deskripsi Karakteristik Fungsional dan Aplikasi Khitin Khitosan. Prosiding Seminar Nasional Khitin-Khitosan 2006. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.

Waldichuk, M. 1974. Some Biological Concern in Metal Pollution. Academic Press London.

West, B., P. M. Sandman dan M. R. Greenberg. 1998. Panduan Pemberitaan Lingkungan Hidup. Terjemahan Soediro. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Wibowo S, Chasanah E, Fawzya YN. 2005. Prospek of Chitin Produktion and Application in Indonesia. Paper Presented at International Seminar on Biochitin. BPPT. Jakarta.

Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Winarno, F. G. dan T. S. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan Makanan dan Kontaminasi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Wirakartakusumah, A., Subarna, M. Anwar, S. Dahrul dan B. S. Isyana. 1992.

Petunjuk Laboratorium Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. PAU. Bagor.

(46)

Gambar

Tabel 1. Pemakaian unsur-unsur logam berat dalam berbagai industri
Gambar 1. Diagram metabolisme Pb (Sumber: Racliffe (1981) dalam   Latifah 2000)
Tabel 2. Produksi krustasea di Indonesia pada tahun 2000-2002 (ton)
Gambar 2. Struktur kimia khitin (Suptijah 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran terbaru tentang praktek pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan yang telah go public di

Kalsium klorida diproduksi dari batu kapur (kalsium karbonat) yang direaksikan dengan asam klorida (HCl) pada kondisi tertentu untuk dapat bereaksi menjadi

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara awal yang telah dilakukan pada tanggal 9 Januari 2020 lalu dengan Kepala Rumah Autis cabang Depok, Bapak Suyono, disebutkan bahwa

Siswa memahami bahwa sifat larutan yang terhidrolisis adalah berdasarkan larutan yang bersifat kuat dari asam maupun basanya, karena siswa menganggap bahwa sifat

Dengan menyimak teks eksplanasi melalui video, siswa mampu menelaah informasi penting dari teks ekplanasi yang didengar dengan

Setelah dilakukan analisis data, diperoleh hasil yang signifikanpada masalah emosional ( p-value &lt;0.05) dengan menggunakan uji Chi-Square sehingga dapat dinyatakan

Sosialisasi prinsip-prinsip dan praktek-praktek terbaik GCG serta kebijakan terkait lainnya, seperti corporate values dan corporate behaviours

hubungannya dengan akta- akta notaris mengenai perbuatan perjanjian dan ketetapan. - Akta harus dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, yang demikian