• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kenaikan jumlah penduduk ini akan mengakibatkan adanya hambatan ekstra pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kenaikan jumlah penduduk ini akan mengakibatkan adanya hambatan ekstra pada"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Ledakan penduduk sekarang ini merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat, yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025 (Anonim, 2005). Kenaikan jumlah penduduk ini akan mengakibatkan adanya hambatan ekstra pada komunitas, salah satunya adalah kemiskinan dan polusi.

Kesadaran akan pentingnya kontrasepsi sebagai upaya untuk pencapaian keluarga berencana dan mencegah ledakan penduduk di Indonesia perlu ditingkatkan. Metode kontrasepsi yang mendapat prioritas paling tinggi pada saat ini ditujukan untuk para wanita, sementara pria yang mempunyai keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam Program Keluarga Berencana (KB) hanya mempunyai pilihan yang lebih sedikit, khususnya pilihan metode kontrasepsi yang dapat memberikan hasil yang efektif, reversibel, dan tidak mengiritasi (Geoffrey, 2003). Metode kontrasepsi pria yang masih digunakan saat ini adalah vasektomi, kondom, dan senggama terputus. Penggunaan metode kontrasepsi untuk pria tersebut belum sepenuhnya dapat diterima masyarakat karena sebagian besar pengguna masih beranggapan bahwa metode-metode tersebut belum efektif mencegah kehamilan, serta ketakutan adanya efek samping yang ditimbulkan. Pencarian dan pengembangan bahan antifertilitas yang berasal dari tumbuhan

(2)

merupakan salah satu potensi alternatif yang dapat dilakukan, terutama di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang besar.

Pemanfaatan bahan tumbuhan mempunyai keuntungan tersendiri yaitu: toksisitasnya rendah, mudah diperoleh, murah harganya, dan kurang menimbulkan efek samping (Nurhuda et al., 1995). Melalui studi literatur, diketahui bahwa terdapat banyak tumbuhan yang secara nyata mempunyai aktivitas antifertilitas. Tumbuhan yang secara empiris digunakan sebagai kontrasepsi tradisional adalah Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith atau lebih dikenal sebagai tumbuhan pacing (Sari et al., 2013). Tumbuhan ini mudah dibudidayakan dan banyak tersebar di Asia Tenggara seperti India, Indonesia, dan Malaysia. Senyawa kimia yang terkandung dalam pacing adalah diosgenin, saponin steroid, saponin furostanol seperti costusosida I, costusosida J, asam oktasonoat, sikloartenol, gracilin (Srivastava et al., 2011), dan tanin (Najma et al., 2012).

Penelitian Adnan & Pagarra (2000) menyimpulkan bahwa ekstrak etanol rimpang tumbuhan pacing bersifat antifertilitas pada mencit Imprinting Control Region (ICR) jantan. Efek antifertilitas tersebut diduga karena adanya senyawa kimia diosgenin dan tanin yang terkandung dalam pacing. Diosgenin merupakan saponin steroid yang mempunyai struktur hampir serupa dengan kolesterol dan steroid lainnya (Rasooli, 2012). Struktur diosgenin yang hampir serupa dengan kolesterol, suatu prekursor testosteron, diperkirakan dapat dikonversi di dalam tubuh menjadi testosteron atau menstimulasi pembentukan testosteron (Rahayu, 2012).

(3)

Senyawa lain yang berpengaruh terhadap reproduksi adalah tanin. Senyawa tanin dilaporkan mampu menyebabkan terjadinya abnormalitas morfologi spermatozoa maupun viabilitas spermatozoa (Sari et al., 2013). Tanin pada daun beluntas juga dilaporkan memiliki efek antiferitilitas melalui efek hormonal karena struktur kimia yang mirip dengan steroid (Susetyarini, 2013). Tanin yang terdapat pada beluntas merupakan tanin yang sama dengan tanin pada pacing.

Fertilitas berhubungan dengan testosteron yang merupakan androgen paling aktif dihasilkan oleh testis. Aksi androgen pada jaringan target mengakibatkan efek maskulinisasi, ikut bertanggung jawab terhadap spermatogenesis, pertumbuhan tulang dan otot, serta perilaku seksual (Winarni, 2007). Kadar testosteron yang lebih tinggi dibandingkan keadaan normal akan mengakibatkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif. Mekanisme umpan balik negatif ini akan mengakibatkan penurunan sekresi Gonadotropin Releasing Hormone

(GnRH) yang diikuti dengan penurunan sekresi Luteinizing Hormone (LH). Penurunan LH akan mengakibatkan sekresi testosteron menurun (Guyton & Hall, 1997; Susetyarini, 2009). Kadar testosteron yang rendah dibandingkan normal berpengaruh terhadap depresi mood, penurunan libido, dan disfungsi ereksi (Mustofa, 2010).

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik herba pacing terhadap produksi testosteron intratestikuler. Hasil penelitian ini dapat dikembangkan untuk menunjang penelitian selanjutnya dalam menghasilkan obat kontrasepsi pria yang tidak menurunkan hormon testosteron. Hal ini dikarenakan obat kontrasepsi

(4)

yang baik adalah yang tidak berpengaruh terhadap depresi mood, tidak menurunkan libido, dan juga tidak menimbulkan disfungsi ereksi akibat penurunan kadar testosteron (Mustofa, 2010).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui:

1. Apakah pemberian ekstrak etanolik herba pacing mempengaruhi produksi testosteron intratestikuler tikus?

2. Pada dosis berapakah ekstrak etanolik herba pacing dapat berpengaruh terhadap produksi testosteron intratestikuler tikus?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik herba pacing terhadap produksi testosteron intratestikuler tikus atau tidak.

2. Untuk mengetahui dosis ekstrak etanolik herba pacing yang mempengaruhi produksi testosteron intratestikuler tikus.

(5)

D. Tinjauan Pustaka

1. Uraian Tumbuhan Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith (Pacing)

a. Morfologi

Merupakan tumbuhan perenial, berbatang tegak setinggi 2-3 m, mempunyai akar berupa umbi yang menjalar. Kenampakan dasar batang lebih berkayu dan pada bagian atas berbentuk spiral. Daun berseling, tersusun spiral, helaian daun memanjang sampai bentuk lanset, ujung meruncing, panjang 11-28 cm, lebar 8-11 cm, tepi rata, permukaan bawah berbulu lembut. Berbunga besar, putih, daun pelindung berbentuk duri meruncing yang rapat dengan biji warna hitam. Benang sari bentuk lanset, dengan garis tengah kuning dan ujung runcing, panjang 4-8 cm. Kepala putik tepat muncul di atas kepala sari, bentuk corong. Buah kotak, bentuk telur, merah, tinggi 1,5-3 cm. Pacing tumbuh pada tempat lembab dan teduh (Anonim, 2000; Bhogaonkar, 2012; Steenis, 1975). Gambar tumbuhan pacing dapat dilihat pada Gambar 1.

Berikut adalah klasifikasi tumbuhan pacing:

Kerajaan : Plantae

Sub-kerajaan : Tracheobinota Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Mangoliophyta

Kelas : Liliopsida

(6)

Bangsa : Zingiberales Suku : Costaceae Marga : Costus Spesies : Speciosus (Srivastava et al., 2011)   Gambar 1. Tumbuhan pacing

.  

b. Kandungan

Dasgupta et al. (1970) mengungkapkan bahwa diosgenin merupakan kandungan utama yang diisolasi dari pacing. Kuantitas maksimal diosgenin yang dapat ditemukan dari batang sebesar 0,65%, daun 0,37%, dan pada bunga 1,21%. Kandungan lainnya adalah tigogenin, dioscin, gracillin, β-sitosterol glukosidase, prosapogenin, α dan β dioscin, saponin furostanol seperti costusosid I & J, asam oktasonoat, sikloartenol (Srivastava et al., 2011). Daun, batang, dan rimpang dilaporkan mengandung saponin, flavanoida dan tanin (Anonim, 2000). Kadar diosgenin dalam ekstrak etanol pacing pada daun sebesar 0,07±0,05 % b/b dan pada batang 0,04±0,01 % b/b. Selain itu, dalam ekstrak etanol pacing mengandung senyawa total fenolik, yaitu sebesar 2,63±0,35 % b/b

(7)

pada daun, dan 10,18±2,37 % b/b pada batang (Ronanda, 2014). Tabel I menunjukkan kandungan senyawa dalam ekstrak metanol pacing adalah flavonoid, alkaloid, terpenoid, tanin, dan fenolik. Sementara itu, ekstrak pacing dengan pelarut lain yaitu air mengandung steroid, fenolik, dan saponin (Devi & Urooj, 2010).

Tabel I. Kandungan senyawa dalam daun pacing di dalam berbagai pelarut (Devi & Urooj, 2010)

 

Fitokimia Petroleum eter Benzen Kloroform Metanol Air

Flavonoid - - - + - Alkaloid - + + + - Terpenoid - + + + - Steroid + + - - + Tanin - - - + - Fenolik - - - + + Saponin - - - - + Keterangan :

+ : adanya kandungan senyawa dalam pacing - : tidak adanya kandungan senyawa dalam pacing

c. Kegunaan

Secara umum pacing digunakan untuk infeksi mata dan telinga, diare, demam, batuk, dispepsia, sakit kulit, dan obat gigitan ular. Rimpangnya berkhasiat untuk urus-urus, obat kencing nanah, obat sipilis, obat trachoma, astringen, ekspektoran dan bahan baku kontrasepsi. Sementara itu, pacing dapat dipakai sebagai obat disentri dan luka bekas gigitan serangga (Anonim, 2013a; Srivastava et al., 2011).

Menurut penelitian-penelitian sebelumnya, tumbuhan pacing memiliki aktifitas kontraseptif (Adnan & Pagarra, 2000), agen endokrin

(8)

aktif (Najma et al., 2012), hepatoprotektif (Verma & Khosa, 2009), antihiperglikemi dan hipolipidemi, antioksidan (Bavarva et al., 2008), antifungi (Duraipandiyan et al., 2012), antiinflamasi, analgesik dan antipiretik (Srivastava et al., 2013).

Pemberian ekstrak air daun dan rimpang pacing selama 14 hari berpengaruh terhadap gangguan spermatogenesis meliputi penurunan jumlah, viabilitas, dan motilitas spermatozoa, dan juga peningkatan morfologi abnormal spermatozoa (Rahayu, 2012). Penelitian lain menyebutkan bahwa ekstrak air herba pacing tidak mengganggu sexual behavior namun mampu mengganggu fungsi reproduksi tikus jantan dilihat dari parameter jumlah janin (Annisa, 2014). Adnan & Pagarra (2000) melaporkan bahwa ekstrak etanol rimpang tumbuhan pacing bersifat antifertilitas pada mencit ICR jantan.

2. Testosteron

Androgen merupakan senyawa maskulinisasi yang dihasilkan terutama oleh testis pada kondisi normal. Androgen juga diproduksi oleh korteks adrenal, ovari, dan sangat mungkin oleh plasenta. Testosteron merupakan salah satu androgen utama yang berasal dari testis. Laki-laki normal memiliki kadar testosteron kira-kira 0,5 µg tiap 100 mL plasma darah.

Testosteron memiliki berbagai metabolit seperti dihidrotestosteron (DHT), epitestosteron, androstandiol, androstendion, etiokolanolon, dan androsteron. DHT diyakini sebagai bentuk aktif dan merupakan androgen yang jauh lebih

(9)

poten daripada testosteron (Turner & Bagnara, 1988). Struktur kimia testosteron dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia testosteron (Neill, 2006)

Testosteron disekresi dalam jumlah yang besar pada saat bayi laki-laki yang baru lahir dan juga pada pria dewasa setelah pubertas. Testosteron mulai dibentuk oleh testis janin laki-laki pada sekitar minggu ke-7 masa embrional. Testis janin bertanggung jawab terhadap perkembangan sifat tubuh laki-laki termasuk pembentukan penis dan skrotum. Testosteron juga akan menyebabkan pembentukan kelenjar prostat, vesikula seminalis, dan duktus genitalia.  Testosteron akan disekresi kembali oleh tubuh setelah pubertas, menyebabkan penis, skrotum, dan testis membesar kira-kira 8 kali lipat sampai sebelum usia 20 tahun (Ganong, 1983; Guyton & Hall, 1997).

Sekresi testosteron berfluktuasi secara diurnal dan mempunyai fungsi antara lain untuk menimbulkan libido serta berperan dalam proses perpanjangan bentuk spermatid (Guyton & Hall 1996; Mingoti et al., 2003). Fluktuasi hormon testosteron terjadi karena adanya mekanisme umpan balik hormon LH dari hipofisis serta GnRH dari hipotalamus (Muller & Lipson 2003).  

(10)

Testosteron di dalam sistem sirkulasi terikat pada protein darah sehingga tidak melintasi glomerolus ginjal. Testosteron di dalam tubuh tidak disimpan namun segera dipakai atau dipecah menjadi androgen yang relatif inaktif. Bentuk androgen yang inaktif kemudian diekskresikan melalui urin atau feses (Turner & Bagnara, 1988).

Testosteron dan androgen lainnya berperan dalam efek inhibisi umpan balik sekresi LH hipofisis, mengembangkan dan mempertahankan sifat seks sekunder laki-laki, dan menimbulkan anabolik protein-protein penting dalam proses pertumbuhan. Bersama dengan Follicle-Stimulating Hormone (FSH), testosteron bertanggung jawab untuk mempertahankan gametogenesis (Ganong, 1983; Guyton & Hall, 1997).  

Testosteron merupakan hormon yang disekresi oleh sel Leydig di dalam testis. Mekanisme produksi testosteron oleh sel Leydig diawali dengan adanya pelepasan GnRH dari hipotalamus. Pelepasan GnRH ini terjadi dalam bentuk pulsasi yang berasal dari suatu generator denyut di dalam hipotalamus mediobasal. GnRH merupakan hormon yang diproduksi di hipotalamus, dan berfungsi untuk mengontrol pelepasan hormon hipofisis anterior. LH dan FSH merupakan hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. LH bersama dengan FSH akan dilepaskan oleh hipofisis sebagai respons terhadap pelepasan GnRH dari hipotalamus. Sekresi testosteron itu sendiri dipengaruhi oleh jumlah LH. Peningkatan jumlah LH sebanding dengan jumlah testosteron yang disekresikan (Corwin, 2001; Heffner & Schust, 2008).

(11)

Sementara itu, testosteron yang lebih tinggi dibandingkan keadaan normal akan memberikan umpan balik negatif terhadap hipotalamus. Akibatnya akan terjadi penurunan sekresi GnRH yang dilanjutkan dengan penurunan sekresi LH dan FSH. Sekresi LH yang menurun akan menurunkan pula sekresi testosteron (Guyton & Hall, 1997; Susetyarini, 2009). Mekanisme produksi dan umpan balik testosteron dapat dilihat pada Gambar 3.

 

Gambar 3. Mekanisme produksi dan umpan balik testosteron (Campbell et al., 2008)

3. Diosgenin

Merupakan sapogenin steroid yang terjadi dari hasil hidrolisis dioscin (glikosida diosgenin) dalam suasana asam (Heftmann et al, 1960; Evans, 1978). Diosgenin mempunyai struktur yang hampir serupa dengan kolesterol dan steroid lainnya (Rasooli, 2012). Diosgenin mempunyai inti rangka siklopentano perhidrofenantren dan bercabang cincin spiroketal (tidak

(12)

mengandung atom nitrogen) (Tarigan, 1980; Tyler et al., 1988; Harborne, 1984). Adanya ikatan rangkap pada atom C-5 membuat diosgenin mempunyai keistimewaan sebagai bahan pemula untuk sintesis progesteron dan hormon steroid lainnya yang mengandung gugus keto pada atom C-3,4 di dalam molekulnya (Heftmann et al., 1960). Semenjak penemuan tersebut, diosgenin digunakan sebagai prekursor utama tunggal yang digunakan industri farmasi untuk memproduksi steroid sintetik (Rasooli, 2012).

Diosgenin dapat diisolasi dari tumbuhan Dioscorea sp., Costus speciosus

(Koen.) J.E. Smith, dan Trigonella sp. dalam bentuk metabolit sekunder. Diosgenin mempunyai rumus molekul C27H4O3 dengan bobot molekul 414,61. Sinonim diosgenin adalah (25R)-Spirost-5-en-3-ol, nitogenin. Diosgenin larut dalam pelarut organik (Rasooli, 2012; Suryanti, 1990). Struktur kimia diosgenin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur kimia diosgenin (Srivastava, 2011)

 

Wiryawan & Wahyuniari (2009) melaporkan bahwa senyawa diosgenin yang terkandung dalam biji klabet diduga dapat menurunkan jumlah sel-sel spermatozoa pada kelinci. Selain itu, dilaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol Dioscorea esculenta (L.) Schott dengan kandungan utama saponin

(13)

steroid (diosgenin) selama 14 hari dapat menurunkan kadar testosteron secara signifikan (Shajeela et al., 2011).

4. Polifenol

Polifenol adalah senyawa yang mempunyai beberapa gugus hidroksi pada cincin aromatik. Polifenol merupakan metabolit sekunder yang tersebar luas di tumbuhan. Hampir keseluruhan polifenol berasal dari asam amino tirosin atau fenilalanin. Asam amino ini dideaminasi menjadi asam sinamat yang akan memasuki jalur fenilpropanoid. Polifenol dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Salah satu jenis polifenol yang banyak terkandung dalam tumbuhan adalah tanin (D’Archivio et al., 2007; Castellano et al., 2012; Robbers et al., 1996).

Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan yang diturunkan dari jalur asam sikimat. Tanin mempunyai berat molekul minimal 500 g/mol dan bersifat larut dalam air maupun pelarut organik seperti metanol, etanol, dan aseton. Senyawa tanin memiliki kemampuan untuk mengikat protein dan juga menimbulkan astringent sensation (rasa tidak enak) bagi hewan ternak atau manusia (Ismarani, 2012; Sundari, 2010).

Tanin yang muncul dalam jumlah yang cukup besar biasanya terlokalisasi pada tempat tertentu pada tumbuhan, seperti daun, batang, maupun buah. Tanin dibagi menjadi 2 kelas kimiawi berdasarkan identitas inti fenolik yang terlibat. Kelas pertama adalah hydrolyzable tannins (tanin yang dapat terhidrolisis) yang terdiri dari asam galat dan asam heksahidroksidifenat.

(14)

Kelas kedua adalah nonhyrolyzable atau condensed tannins (tanin yang tidak dapat terhidrolisis atau tanin yang terkondensasi). Umumnya, tanin kelas ini hanya mengandung inti fenolik, tetapi sering terhubung dengan karbohidrat atau protein. Tanin terkondensasi disebut juga protoanthocyanidin karena dengan penambahan asam yang dipanaskan akan memutus beberapa ikatan karbon dan kemudian membentuk monomer antosianidin. Contoh dari tanin terkondensasi adalah katekin dan leukosianidin (Luthar, 1992; Robbers et al., 1996).

Senyawa tanin dilaporkan mampu mengikat protein dan ion-ion yang terdapat dalam membran spermatozoa. Tanin akan menyebabkan gangguan pada kerja enzim tirosin dan proses fosforilasi di dalam membran spermatozoa. Akibat gangguan tersebut, menyebabkan terjadinya abnormalitas morfologi spermatozoa maupun viabilitas spermatozoa (Sari et al., 2013). Penelitian Susetyarini (2009) menunjukkan bahwa pemberian tanin dari daun beluntas selama 60 hari dapat menurunkan kadar testosteron. Tanin pada daun beluntas ini diduga sebagai senyawa antiferitilitas melalui efek hormonal karena struktur kimia yang mirip dengan steroid. Kemiripan struktur kimia tersebut diduga dapat mengakibatkan terjadinya mekanisme umpan balik negatif (Susetyarini, 2013). Di samping itu, senyawa polifenol diketahui dapat menghambat produksi spermatozoa dalam epididimis dan penghambatan pada kanal ion Ca tipe T yang terdapat dalam sel spermatogen (Sari et al., 2013).

(15)

5. Testis

Testis merupakan organ kelamin primer pada pria yang berjumlah dua buah dan terdapat pada suatu kantong yang disebut skrotum. Testis dewasa berbentuk bulat dengan volume rata-rata 18,6 ± 4,8 mL. Panjang rata-rata adalah 4,6 cm (3,6 - 5,5 cm) dan lebar rata-rata adalah 2,6 cm (2,1 - 3,2 cm). Kapsula testis terdiri dari 3 lapisan, yaitu tunika vaginalis, tunika albuginea, dan tunika vaskulosa yang terdiri dari kapsul testikuler. Tunika albugenia mengalami penebalan sehingga disebut mediastum testis yang membentuk sekat dan membagi lobus menjadi lobuli testis. Di dalam lobuli testis ini terdapat tubulus seminiferus yang melingkar-lingkar. Sel Leydig, pembuluh darah dan limfe, serta fibroblas tersebar di antara tubulus-tubulus tersebut. Sementara itu, suplai darah testis yang utama berasal dari arteria testikularis (Leeson et al., 1996). Morfologi testis dapat dilihat pada Gambar 5.

(16)

Organ testis dapat berfungsi sebagai kelenjar eksokrin karena dapat menghasilkan sperma, dan dapat pula sebagai kelenjar endokrin karena menghasilkan hormon androgen (Sadler, 1993). Kedua fungsi tersebut berasal dari 2 komponen utama yang secara struktural terpisah. Tubulus seminiferus merupakan bagian yang bertanggung jawab terhadap produksi sekitar 30 juta spermatozoa perhari selama masa reproduksi pria, dan merupakan 80-90% massa testis. Fungsi kelenjar endokrin dilakukan oleh sel Leydig atau sel-sel interstitial dengan menghasilkan hormon androgen (terutama testosteron).

Pada awal pembentukan janin sampai menjelang kelahiran, testis berada dalam rongga abdomen. Beberapa hari setelah bayi dilahirkan, testis akan turun dan masuk ke dalam rongga skrotum agar suhu testis lebih rendah dari suhu rongga abdomen. Pengaruh suhu yang tinggi merupakan salah satu gangguan pada testis. Gangguan tersebut dapat menyebabkan kelainan dalam produksi androgen ataupun gamet, dan infertilitas (Greenspan & Baxter, 2000).

6. Steroidogenesis

Hormon steroid dihasilkan oleh kelenjar adrenal, ovarium, testis, plasenta, dan pada tingkat tertentu pada jaringan perifer. Hasil produksi pada tiap organ tersebut akan berbeda tergantung dari enzim yang terkandung di dalamnya. Steroid yang diproduksi oleh testis adalah testosteron. Testosteron dibentuk oleh sel Leydig yang terletak di antara interstitial tubulus seminiferus pada

(17)

testis. Sekresi testosteron berada di bawah pengaruh LH, di mana LH merangsang sel Leydig melalui peningkatan cyclic adenine monophosphate

(cAMP). Peningkatan cAMP akan meningkatkan pembentukan kolesterol dari ester kolesterol, dan mengaktifkan protein kinase untuk mengubah kolesterol menjadi pregnenolon (Ganong, 1983). Pregnenolon selanjutnya akan menjadi testosteron melalui serangkaian proses sintesis androgen.

Sintesis androgen memiliki 2 jalur. Jalur pertama adalah jalur Δ4. Jalur

Δ4 dimulai dari substrat kolesterol yang diubah oleh enzim P450scc menjadi pregnenolon. Selanjutnya, pregnenolon diubah menjadi progesteron oleh enzim 3β-HSD dan dilanjutkan dengan diubahnya progesteron oleh enzim P450c17. Oleh enzim yang sama seperti sebelumnya yaitu enzim P450c17, progesteron diubah menjadi androstenedion. Tahap akhir pada jalur ini adalah pengubahan androstenedion menjadi testosteron oleh enzim 17β-HSD. Jalur

Δ4 dapat ditemukan pada hampir semua hewan pengerat. Jalur yang kedua adalah jalur Δ5 yang dimulai dari diubahnya substrat kolesterol menjadi pregnenolon oleh enzim P450scc. Tahapan dilanjutkan dengan diubahnya pregnenolon menjadi 17α-hidroksipregnenolon dan dilanjutkan menjadi dehidroepiandrosteron oleh enzim yang sama, yaitu enzim P450c17. Oleh enzim 3β-HSD, dehidroepiandrosteron diubah menjadi androstenedion. Tahapan terakhir pada jalur ini sama dengan jalur Δ4, yaitu perubahan androstenedion menjadi testosteron oleh enzim 17β-HSD. Jalur Δ5 dapat ditemukan pada anjing, kelinci, manusia dan primata (Neill, 2006).  

(18)

Biosintesis testosteron dimulai dari substrat kolesterol. Kolesterol dihasilkan melalui sintesis de novo atau melalui ambilan dari Low Density Lipoprotein (LDL) melalui reseptor LDL. Terdapat juga sejumlah cadangan kolesterol dalam bentuk ester kolesterol sel-sel steroidogenik (Anwar, 2005). Enzim P450 side-chain cleavage (P450scc; CYP11A1) akan mengubah kolesterol menjadi pregnenolon. Konversi ini meliputi 3 reaksi monooksigenasi yang cepat dan berurutan. Setelah itu, pregnenolon akan berdifusi dari mitokondria ke dalam kompartemen mikrosomal di mana terdapat 3 enzim steroidogenik, yaitu 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (3β -HSD), sitokrom P450 17α-hidroksilase/17-20-liase (CYP17; P450c17), dan 17β-hidroksisteroid dehidrogenase (17β-HSD). Pregnenolon berubah menjadi testosteron setelah mengalami reaksi beruntutan oleh ketiga enzim steroidogenik tersebut (Neill, 2006). Jalur biosintesis androgen dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jalur biosintesis androgen (Handa et al., 2011)

(19)

7. Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah proses pembentukan dan pematangan spermatozoa yang terjadi di tubulus seminiferus yang terdapat pada testis. Inisiasi spermatogenesis membutuhkan FSH dan testosteron untuk mempertahankan kualitas spermatogenesis (Heffner & Schust, 2008).

FSH berfungsi untuk menggertak testis dan memacu proses spermatogenesis, yaitu pembentukan spermatogonia menjadi spermatid. Selain itu, FSH juga merangsang sel Sertoli dalam pembentukan protein pengikat androgen/Androgen Binding Protein (ABP). ABP berperan dalam pengangkutan testosteron ke dalam tubulus seminiferus dan epididimis. Mekanisme ini penting untuk mencapai kadar testosteron yang dibutuhkan untuk terjadinya spermatogenesis. Selain membentuk ABP, sel Sertoli juga membentuk inhibin. Inhibin adalah suatu hormon nonsteroid yang mempunyai mekanisme umpan balik untuk menghambat produksi FSH yang berlebihan (Susetyarini, 2003).

Spermatogenesis melibatkan dua proses, yaitu mitosis dan meiosis. Sel benih (stem cell) yang dikenal sebagai spermatogonia akan mengalami mitosis dan kemudian dapat membentuk spermatogonia tipe A dan B. Spermatogonia tipe A adalah sel benih, sedangkan spermatogonia tipe B selanjutnya akan bermigrasi secara apikal dari basal lamina dan mengalami profase meiotik pertama dan disebut sebagai spermatosit primer. Selama profase meiotik pertama, melibatkan beberapa proses yaitu reduplikasi kromosomal, sinapsis, crossing-over, dan rekombinasi homologus. Selesainya

(20)

pembelahan meiotik pertama akan menghasilkan spermatosit sekunder, yang selanjutnya secara cepat akan terjadi pembelahan meiotik kedua. Produk yang dihasilkan dari pembelahan meiotik kedua merupakan spermatid yang haploid (Junqueira & Carneiro, 2005).

Spermatid berukuran kecil, berbentuk bulat dengan nukleus dan sitoplasma, serta terletak secara apikal dalam tubulus seminiferus. Spermatid akan berubah menjadi spermatozoa dan proses tersebut dikenal dengan spermiogenesis. Pematangan spermatid menjadi spermatozoa mengakibatkan ukuran nukleus akan mengecil dan ekor akan muncul. Ekor tersebut mengandung struktur mikrotubular yang akan menggerakan sperma. Material kromatin pada nukleus sperma akan memadat dan hampir seluruh sitoplasma akan hilang. Pada kepala sperma, terdapat akrosom yang bertindak seperti lisosom dan mengandung enzim proteolitik yang penting untuk penetrasi ovum. Proses spermiogenesis tersebut terjadi di dalam lipatan pada sitoplasma sel-sel Sertoli (Ganong, 1983; Junqueira & Carneiro, 2005; Porterfield & White, 2007). Tahapan spermatogenesis dapat dilihat pada Gambar 7.

Sel Sertoli berhubungan erat dengan spermatogenesis, salah satunya bertanggung jawab untuk menyediakan nutrien. Contohnya, kebutuhan glukosa untuk energi. Untuk mendapatkan glukosa yang dapat digunakan secara efisien oleh sperma yang sedang mengalami meiosis, membutuhkan serangkaian proses yang dipengaruhi oleh stimulasi hormon (FSH dan testosteron). Spermatozoa akan dilepaskan dari sel Sertoli untuk kemudian

(21)

berada bebas di dalam lumen tubulus (Ganong, 1983; Junqueira & Carneiro, 2005; Porterfield & White, 2007).

   

 

Gambar 7. Tahapan spermatogenesis (Junqueira & Carneiro, 2005)

Durasi dari suatu siklus spermatogenesis berbeda untuk tiap spesies. Pada mamalia, satu siklus spermatogenesis membutuhkan paling tidak 8-17 hari. Pada tikus, satu siklus spermatogenesis terjadi selama 12-13 hari, sedangkan pada manusia terjadi selama 16 hari. Satu siklus spermatogenesis pada tiap spesies juga memiliki jumlah tahapan yang berbeda tergantung dari kriteria morfologi. Siklus spermatogenesis pada tikus memiliki 14 tahapan, pada kera memiliki 12 tahapan, dan pada manusia terdapat 6 tahapan. Sementara itu, perkembangan dan diferensiasi dari spermatogonia A hingga menjadi sperma matang membutuhkan setidaknya 4 kali siklus spermatogenesis. Karena dari

(22)

itu, durasi total dari spermatogenesis membutuhkan 50 hari pada tikus, 37-43 hari pada berbagai spesies kera, dan 64 hari pada manusia (Nieschlag et al.,

2010). Diagram siklus spermatogenesis tikus dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram siklus spermatogenesis dari tikus. Empat belas tahapan dari siklus spermatogenesis, dinotasikan I-XIV, ditunjukkan pada kolom vertikal. Pengembangan sel germinal ditunjukkan pada kolom horizontal. A1-4, spermatogonia tipe A1-4; In, spermatogonia

intermediet; B, spermatogonia tipe B; Pl, spermatosit preleptoten; L, spermatosit leptoten; Z, spermatosit zygoten; PS, spermatosit pakiten; Di, spermatosit pakiten diploid; II, spermatosit

sekunder. Proses spermiogenesis ditunjukkan 1-19 (Neill, 2006).

 

8. Kontrasepsi

Kontrasepsi berasal dari kata “kontra” yang berarti mencegah atau melawan, sedangkan “konsepsi” adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma yang selanjutnya mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur matang dengan sperma

(23)

Tujuan penggunaan kontrasepsi adalah untuk menghambat atau menunda kehamilan karena berbagai alasan, antara lain adalah pembatasan jumlah anak, menghindari resiko medis dari kehamilan, serta sebagai program pemerintah untuk mengendalikan jumlah populasi (Pernoll, 2001).

Secara umum, cara kerja kontrasepsi adalah sebagai berikut: 1. Mengusahakan tidak terjadi konsepsi;

2. Melumpuhkan sperma;

3. Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma.

Kontrasepsi dapat digunakan oleh wanita maupun pria. Kontrasepsi pria yang dinilai baik dan ideal harus memenuhi syarat-syarat antara lain: dapat menimbulkan keadaan azoosperma total, mudah digunakan, tidak menimbulkan efek samping dan efek toksik, dan tidak mengganggu libido maupun perilaku seksual (Herrera et al., 1984; Sutyarso et al., 1992).

Metode kontrasepsi dapat dibedakan menjadi 2, yaitu metode kontrasepsi hormonal dan metode kontrasepsi hormonal. Metode kontrasepsi non-hormonal adalah metode kontrasepsi yang tidak mempengaruhi hormon di dalam tubuh. Metode ini memanfaatkan sistem atau alat tertentu untuk mencegah bertemunya sel telur matang dengan sperma. Contoh dari metode kontrasepsi non hormonal pada pria adalah senggama terputus, kondom, vasektomi, dan obat-obatan seperti: calcium channel blockers, obat penghambat metabolisme, dan obat yang dapat mempengaruhi epididimis. Sementara itu, metode kontrasepsi hormonal adalah metode yang akan

(24)

mempengaruhi hormon di dalam tubuh. Metode ini dapat dilakukan dengan cara memberikan hormon androgen. Pemberian hormon androgen akan menekan produksi LH oleh pituitari anterior. Produksi LH yang ditekan akan menurunkan produksi testosteron, yang pada akhirnya menekan spermatogenesis.

Berbagai penelitian dilakukan untuk mencari bahan kontrasepsi yang berasal dari tumbuhan. Pemanfaatan bahan tumbuhan mempunyai keuntungan tersendiri yaitu: toksisitasnya rendah, mudah diperoleh, murah harganya, dan kurang menimbulkan efek samping (Nurhuda et al., 1995). Beberapa tumbuhan yang telah diteliti antara lain tumbuhan gandarusa dan pepaya. Tumbuhan gandarusa mengandung 12 komponen flavonoid dengan komponen mayor berupa gandarusin A yang dapat menghambat enzim hyaluronidase (Prajogo, 2002). Enzim hyaluronidase merupakan enzim yang terdapat dalam akrosom sperma, fungsinya adalah menyebabkan depolimerisasi asam hyaluronat, yaitu komponen matriks ekstrasel pada sel telur (Srivastav et al., 2010). Penghambatan enzim hyaluronidase akan menyebabkan kegagalan sperma menembus sel telur. Sementara itu, biji pepaya muda dipercaya dapat mempengaruhi fertilitas. Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa biji C. papaya dapat mengganggu proses spermatogenik, menyebabkan azoospermia atau hambatan total motilitas sperma pada hewan uji. Mekanisme kontrasepsi ditunjukkan dengan mengecilnya volume nukleus dan sitoplasma dari sel-sel Sertoli. Akibat hal tersebut, terjadi degenerasi

(25)

nukleus pada spermatosit dan spermatid sehingga proses spermatogenesis terganggu (Manivannan, et al., 2009).

9. Ekstraksi

Ekstraksi atau penyarian adalah proses penarikan zat yang dapat larut dari simplisia dengan pelarut yang sesuai (Anonim, 2013b). Penyarian dapat dipengaruhi oleh derajat kehalusan serbuk dan perbedaan konsentrasi. Derajat kehalusan serbuk akan berpengaruh terhadap efektivitas penyarian. Faktor yang berperan dalam hal tersebut adalah tebal lapisan batas. Tebal lapisan batas adalah jarak yang harus ditempuh oleh cairan penyari untuk mencapai kandungan kimia aktif di dalam sel. Semakin kasar serbuk simplisia, maka semakin besar tebal lapisan batas. Hal itu menyebabkan konsentrasi zat aktif yang terlarut dan tertinggal di dalam sel makin banyak, sehingga proses penyarian tidak efektif. Sementara itu, perbedaan konsentrasi akan berpengaruh terhadap kecepatan penyarian. Semakin besar perbedaan konsentrasi, maka semakin besar daya dorong sehingga semakin cepat pula terjadi penyarian (Anonim, 1986).

Selain itu, pemilihan carian penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Murah dan mudah diperoleh; 2. Stabil secara fisika dan kimia; 3. Bereaksi netral;

(26)

5. Selektif, yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki; 6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat.

Farmakope Indonesia menetapkan air, etanol, etanol-air, atau eter sebagai cairan penyari untuk penyari. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena:

1. Murah dan mudah diperoleh; 2. Stabil;

3. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar; 4. Tidak beracun;

5. Alami.

Kerugian penggunaan air sebagai penyari: 1. Tidak selektif;

2. Sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman, serta cepat rusak; 3. Pengeringan dibutuhkan waktu yang lama.

Selain itu etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena: 1. Lebih selektif;

2. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas; 3. Tidak beracun;

4. Netral;

5. Absorbsinya baik;

6. Etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan; 7. Panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit.

Kerugian dari etanol adalah harga yang relatif mahal. Penyarian dapat ditingkatkan dengan menggunakan cairan penyari campuran etanol-air.

(27)

Perbandingan etanol dan air yang digunakan tergantung dari bahan yang akan disari (Anonim, 1986).

Cara ekstraksi itu sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu cara dingin dan cara panas. Berikut adalah penjelasan cara ekstraksi:

a. Cara dingin 1) Maserasi

Maserasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif kemudian akan terlarut dalam cairan penyari. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel mengakibatkan larutan yang lebih pekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut terjadi berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Cairan penyari yang direkomendasikan adalah etanol atau campuran etanol-air. Keuntungan dari maserasi adalah pengerjaannya mudah, peralatannya murah, dan sederhana. Kekurangan dari maserasi antara lain waktu ekstraksi cukup lama, dan cairan penyari yang dibutuhkan banyak (Anonim, 1986; Anonim, 2013b).

2) Perkolasi

Perkolasi merupakan metode penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah

(28)

dibasahi. Metode ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi serbuk kering terutama simplisia yang keras seperti kulit batang, kulit buah, biji, kayu, dan akar. Cairan penyari yang digunakan umumnya etanol atau campuran etanol-air. Keuntungan perkolasi dibandingkan dengan maserasi adalah tidak dibutuhkannya penyaringan perkolat, namun kerugiannya adalah waktu yang lebih lama dan jumlah penyari yang lebih banyak (Anonim, 2013b). b. Cara panas

1) Digesti

Digesti adalah metode penyarian dengan air menggunakan pemanasan lemah, yaitu 400-500 C. Metode ini digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Keuntungan digesti antara lain waktu ekstraksi yang lebih singkat dibanding maserasi, dan zat aktif yang tersari lebih banyak (Anonim, 2013b). 2) Infundasi

Infundasi adalah metode penyarian yang dilakukan dengan menggunakan pemanasan tidak langsung pada suhu 900 C selama 15 menit (infusa) atau 30 menit (dekokta). Metode ini digunakan untuk menyari zat aktif dari simplisa yang larut dalam air panas. Penyarian dengan metode ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan jamur (Anonim, 2013b).

(29)

3) Refluks

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi selanjutnya direndam dengan cairan penyari. Perendaman dilakukan di dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak dan dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap dan uap akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dari simplisia tersebut (Anonim, 1986).

Pemilihan metode dan jenis cairan penyari yang akan digunakan tergantung dari zat aktif yang akan disari (Anonim, 2013b).

 

E. Landasan Teori

Tumbuhan pacing digunakan secara empiris oleh masyarakat sebagai kontrasepsi tradisional. Penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa ekstrak air daun dan rimpang pacing terbukti dapat menghambat spermatogenesis secara reversibel. Senyawa aktif dalam pacing yang memiliki efek antifertilitas di antaranya adalah diosgenin dan tanin.

Senyawa yang terkandung pada ekstrak etanol rimpang tumbuhan pacing dilaporkan bersifat antifertilitas pada mencit ICR jantan. Selain itu diketahui bahwa ekstrak air herba pacing tidak mengganggu sexual behavior namun mampu mengganggu fungsi reproduksi tikus jantan dilihat dari parameter jumlah janin.

Pemberian saponin steroid (diosgenin) Dioscorea esculenta (L.) Schott selama 14 hari dapat menurunkan kadar testosteron secara signifikan. Sementara itu,

(30)

pemberian tanin dari daun beluntas selama 60 hari dilaporkan dapat menurunkan kadar testosteron.

F. Hipotesis

Pemberian ekstrak etanolik herba pacing dengan tiga dosis yaitu 275, 550, dan 1100 mg/kgBB selama 14 hari berturut-turut diperkirakan dapat mempengaruhi produksi testosteron intratestikuler tikus.

Gambar

Gambar 1. Tumbuhan pacing  . 	
  
Tabel I. Kandungan senyawa dalam daun pacing di dalam berbagai pelarut (Devi
Gambar 3. Mekanisme produksi dan umpan balik testosteron (Campbell et al., 2008)
Gambar 4. Struktur kimia diosgenin (Srivastava, 2011)  	
  
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tindakan (action research) yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan baru dan untuk memecahkan masalah dengan penerapan secara langsung (Suryabrata,

Dengan berbagai jenis konten yang terbagi dalam beberapa rubrik, Green- scene.co.id bertekad untuk terus memberi informasi up to date, berkualitas serta terpercaya bagi para

Tapi tiba-tiba, tanpa ada sebab, datang satu tahap skeptic dan ketidakperdulian (semuanya terjadi secara bertahap pada diriku), lalu aku mentertawakan kesempatan hatiku

Tawuran yang dilakukan pelajar merupakan reaksi dari komunikasi kekerasan yang kerap dilakukan di lingkungan sekolah yang sampai saat ini belum benar-benar dapat

Beberapa hasil penelitian ini menurut peneliti dimungkinkan karena sebagian besar tingkat pengetahuan lansia tentang hipertensi di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang

ABSTRAKSI : Pengolahan data penerimaan siswa baru di SMK PGRI Donorojo masih dilakukan secara konvensional yaitu calon pendaftar harus datang langsung ke tempat

Di satu sisi produk berbahan eceng gondok ini menghasilkan kertas dengan nilai seni yang relatif lebih indah dan di sisi lain adalah upaya pengendalian gulma eceng gondok di

Dalam hal pemberian kuasa kepada bank untuk mengambil ganti kerugian tersebut dan mengambil bagian yang menjadi haknya, maka hal tersebut perlu diatur dalam ketetentuan