• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL TUGAS AKHIR KAJIAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI DESA CILILIN KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROPOSAL TUGAS AKHIR KAJIAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI DESA CILILIN KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG BARAT"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL TUGAS AKHIR

KAJIAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI DESA CILILIN

KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG BARAT

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan pendidikan Program Sarjana pada Program Studi Teknik Sipil

Disusun Oleh: Ginanjar Maulana Ismail

22-2015-151

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL

BANDUNG

2019

(2)

KAJIAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI DESA CILILIN

KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG BARAT

Oleh:

Ginanjar Maulana Ismail 22-2015-151

Telah disetujui dalam Seminar Proposal Tugas Akhir di depan Tim Penguji Pada tanggal 8 Mei 2019

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senangtiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Tugas Akhir yang berjudul “KAJIAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KABUPATEN BANDUNG BARAT”. Proposal Tugas Akhir ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi Program Pendidikan Sarjana pada Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional, Bandung.

Penulis menyadari bahwa selesainya penyusunan Proposal Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak kepada penulis. Oleh karena itu, dengan rasa penuh hormat penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua, yaitu Mamah dan Papah yang tiada henti memberikan doa, kasih

sayang, dan dukungan baik moral maupun materi.

2. Adik penulis, yaitu Saskia Maulana Ismail sebagai tempat bercanda gurau di rumah ketika penulis sedang bosan.

3. Ibu Emma Akmalah, S.T., M.T., Ph.D. dan Bapak Dr.techn. Indra Noer Hamdhan, Ir.M.T. selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan perhatiannya dalam penyelesaian Proposal Tugas Akhir ini.

4. Erlin Lestari, yang selalu menjadi teman curhat sekaligus motivator terbaik penulis dan selalu memberikan waktu, dukungan baik moral maupun materi serta tidak lupa untuk mengingatkan penulis agar tetap semangat.

5. Teman-teman “Mitigation Department” yang telah membantu dalam penyelesaian Proposal Tugas Akhir ini.

6. Keluarga “BJR” yaitu Tri Gustiansyah, Yogi Aditya, Erlin Lestari, Muhammad Naba Dinika, Alvian Fadhlih, Giani Rengganis, Yiyis Ulfaturrohmah, Adi, dan Vebriansyah Permana Putra, yang telah memberikan dukungan moral, canda tawa, dan sebagai kelompok belajar, serta kenangan yang tak akan pernah terlupakan selama masa perkuliahan.

7. Boo dan Sua yang selalu menemani dan mengantar penulis kemana pun tujuan penulis.

8. Rio, Booju, dan Sky yang selalu menemani penulis mengerjakan Tugas Akhir di rumah.

(4)

iv Penulis menyadari bahwa dalam Proposal Tugas Akhir ini masih terdapat kekurangan maupun kesalahan sehubungan dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang membaca Proposal Tugas Akhir ini agar dapat bermanfaat bagi penulis dalam penyempurnaan penulisan selanjutnya.

Akhir kata, penulis ucapkan semoga Proposal Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, April 2018

(5)

v

DAFTAR ISI

COVER JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Maksud dan Tujuan ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ... 5

1.6 Sistematika Penulisan... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Bencana Longsor ... 7

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Longsor ... 11

2.3 Manajemen Bencana ... 16

2.4 Mitigasi Bencana Longsor ... 19

2.5 Penelitian Terdahulu ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26

3.1 Prosedur Penelitian... 26

3.2 Identifikasi Masalah ... 28

3.3 Studi Literatur ... 29

3.4 Lokasi Penelitian ... 29

(6)

vi

3.7 Pengumpulan Data ... 42

3.8 Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 43

3.9 Pengolahan Data... 44

3.10 Analisis Data ... 44

3.10.1 Analisis Deskriptif ... 44

3.10.2 Analisis SWOT ... 45

3.11 Rekomendasi ... 45

3.12 Kesimpulan dan Saran... 45

(7)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana di Indonesia ... 1

Gambar 1.2 Bencana Longsor Sepanjang Tahun 2017... 2

Gambar 2.1 Longsor Translasi... 8

Gambar 2.2 Longsor Rotasi ... 9

Gambar 2.3 Longsoran Translasi Blok Batu ... 9

Gambar 2.4 Longsoran Rayapan Tanah ... 10

Gambar 2.5 Longsoran Runtuhan Batu ... 10

Gambar 2.6 Longsoran Aliran Bahan Rombakan ... 11

Gambar 2.7 Siklus Bencana Berkelanjutan ... 17

Gambar 2.8 Skema Lingkup Bahasan Rencana Penanggulangan Bencana... 21

Gambar 3.1 Alur Metodologi Penelitian... 26

(8)

viii

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Desa di Kecamatan Cililin 2018 ... 30

Tabel 3.2 Panduan Kuesioner ... 33

Tabel 3.3 Panduan Wawancara ... 38

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana alam merupakan sebuah fenomena alam yang sulit dihindari oleh manusia. Bencana alam bisa terjadi di negara maju maupun negara berkembang. Ketahanan akan bencana pada setiap negara pastinya berbeda-beda, tergantung pada manajemen bencana yang diterapkan di masing-masing negara. Indonesia sebagai negara berkembang juga perlu terus membenahi manajemen bencana yang diterapkan, karena manajemen bencana dapat membantu untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Dapat dilihat peta rawan bencana di Indonesia pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana di Indonesia Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Melihat pada kondisi geografis, geologis, maupun demografis Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap terjadinya bencana alam, dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut membuat Indonesia termasuk dalam jalur gunungapi Pasifik (Pasific Ring of Fire) (Morley, 2012). Keberadaan jalur gunungapi ini menyebabkan beberapa wilayah Indonesia terbentuk pegunungan dan perbukitan dengan kemiringan lereng landai hingga curam. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia memiliki potensi bencana tanah longsor yang tinggi.

(10)

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak 2014 hingga 2017, bencana tanah longsor menjadi salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Longsor yang terjadi pada malam hari sering menelan banyak korban jiwa. Mayoritas orang yang tidak sempat menyelamatkan diri karena longsoran menimpa pada saat mereka masih tidur. Dampak utama yang terjadi akibat bencana alam (longsor) seringkali menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak kerusakan non materi maupun psikologis. Bencana longsor yang terjadi sepanjang tahun 2017 dapat dilihat pada Gambar 1.2

Gambar 1.2 Bencana Longsor Sepanjang Tahun 2017 Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akibat bencana longsor, tercatat 156 orang meninggal dunia, 168 jiwa luka-luka, 52.930 jiwa mengungsi dan menderita, dan 70.00 lebih rumah mengalami kerusakan. Lalu pada bulan Januari hingga November tahun 2018 terjadi sebanyak 452 tanah longsor. Sekitar 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia pada saat ini tinggal di daerah rawan longsor sedang hingga tinggi

Banyaknya daerah rawan bencana longsor di Indonesia dan pentingnya peningkatan upaya pengurangan risiko bencana merupakan landasan kuat bagi bangsa

(11)

3

Indonesia untuk bersama-sama melakukan upaya tersebut secara terpadu dan terarah. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko bencana dengan adanya undang-undang yang membahas mengenai penanggulangan bencana yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, diikuti beberapa regulasi yang terkait, yaitu Peraturan Presiden Nomor 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 telah mengubah pola pikir penanganan bencana menjadi penanggulangan bencana yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya sebelum terjadinya bencana. Penanggulangan bencana tidak hanya berorientasi pada saat tanggap darurat, melainkan dilakukan sebelum (pra bencana), pada saat terjadi bencana, dan setelah (pasca bencana) atau bisa disebut mitigasi bencana.

Tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam menghadapi bencana masih tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dari jumlah korban meninggal dunia dan hilang akibat bencana pada 2018 paling besar sejak 2007 berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bencana-bencana longsor yang ada pada Gambar 1.2 dapat dikatakan bencana longsor yang memiliki skala yang besar, dimana Provinsi Jawa Barat termasuk provinsi yang rawan akan bencana longsor. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengatakan bahwa bencana longsor mendominasi jumlah bencana terbanyak di Jawa Barat, Data BPBD Provinsi Jawa Barat tercatat ada 1.560 bencana, dari jumlah itu 550 di antaranya adalah bencana tanah longsor (detiknews, 2/1/2019)

Pada saat ini pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan status siaga bencana banjir dan tanah longsor mulai pada 1 November 2018 hingga 31 mei 2019. Wilayah Kabupaten Bandung Barat merupakan wilayah yang sering mengalami bencana alam, sebanyak 290 kejadian bencana yang didominasi oleh longsor 150 kejadian menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Menurut Bupati Bandung Barat, Abubakar menyatakan diantaranya dari 150 bencana bencana longsor yang terjadi daerah Cililin merupakan bencana terbesar. Berikut bencana-bencana longsor yang terjadi di daerah Cililin:

(12)

1. Pada hari senin tanggal 25 maret 2013, sekitar pukul 04.00 WIB terjadi longsor di Kampung Mukapayung, Desa Nagrok, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. 17 korban yang tertimbung akibat longsor

2. Pada hari kamis tanggal 2 april 2015, sekitar pukul 08.00 WIB terjadi longsor di Perumahan Griya Utara Asabri RT 04/02 Kampung Cinangsi, Desa Karangtanjung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Sebanyak 12 rumah tertimbung longsor

3. Pada hari jumat tanggal 10 maret 2017, sekitar pukul 20.30 WIB terjadi longsor di Kampung Jati Radio RT 2 RW 12, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. 4 orang terluka dan 3 rumah mengalami rusak akibat tertimbun material longsor.

4. Pada hari sabtu tanggal 23 februari 2019, sekitar pukul 22.00 WIB terjadi pergerakan tanah di Kampung Babakan Jati RT 01/04, Desa Rancapanggung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. 7 rumah mengalami kerusakan, seperti retak-retak dibagian bangunan dan sebagian pondasi rumah ambles.

5. Pada hari kamis tanggal 4 april 2019, sekitar pukul 21.00 WIB terjadi longsor di Desa Nanggerang dan Karyamukti, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Sebanyak 21 rumah rusak berat dan 58 lainnya rusak ringan akibat tertimbun tanah longsor.

6. Pada hari sabtu tanggal 27 april 2019, sekitar pukul 18.00 WIB terjadi longsor di Desa Rancapanggung dan Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Belasan rumah warga mengalami kerusakan.

Maka dari itu, dalam penelitian ini akan dikaji tentang konsep mitigasi bencana longsor di daerah Cililin dan cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak bencana longsor tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya bencana longsor di Desa Cililin?

(13)

5

2. Sejauh manakah pemahaman masyarakat akan konsep mitigasi bencana dan upaya-upaya apa saja yang sudah dilakukan oleh masyarakat atau pemerintah dalam penerapan mitigasi bencana longsor baik secara struktural maupun non struktural di Desa Cililin?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala bagi masyrakat ataupun pemerintah dalam melakukan upaya mitigasi bencana?

4. Strategi-strategi apa sajakah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat khususnya di Desa Cililin?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengkaji sejauh mana masyarakat Desa Cililin peduli dan siap dalam menghadapi bencana longsor serta upaya-upaya apa saja yang sudah dilakukan pemerintah terhadap Desa Cililin.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat di Desa Cililin dan menganalisis upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di Desa Cililin, baik oleh masyarakat itu sendiri ataupun pemerintah.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi strategi-strategi dan evaluasi tindakan yang perlu dilakukan baik oleh pemerintah dan masyarakat di Desa Cililin dalam mengurangi dampak dari bencana longsor tersebut.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Masalah

Agar penelitian ini tidak meluas dari pembahasan yang dimaksud, maka diperlukan adanya batasan dari penelitian ini berdasarkan ruang lingkup kajian. Batasan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini yaitu:

1. Kriteria penelitian yang digunakan mengacu pada pedoman dan panduan mengenai penanggulangan bencana yang dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

(14)

3. Data statistik Desa Cililin mengacu pada data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat.

4. Jenis mitigasi yang dibahas pada penelitian ini, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural.

1.6 Sistematika Penulisan

Berikut ini adalah sistematika pembahasan yang digunakan pada penelitian ini.

1. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi bahasan mengenai latar belakang masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penulisan yang dapat menjelaskan secara garis besar tentang bab-bab berikutnya.

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas mengenai definisi bencana longsor, faktor-faktor penyebab terjadinya longsor, manajemen bencana, konsep mitigasi bencana longsor, dan studi-studi penelitian terdahulu yang dapat mendukung penulisan penelitian ini.

3. BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelasakan tentang tahapan penelitian diawali identifikasi masalah, studi literatur, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis yang akan dilakukan.

4. BAB IV STUDI KASUS

Bab ini menjelaskan tahapan proses pengambilan data dan pengolahan data, yaitu mitigasi bencana longsor dalam kategori kesiapsiagaan pada daerah rawan longsor di Daerah Cililin.

5. BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan hasil analisis berdasarkan studi kasus, kendala dan solusi dalam menyelesaikan masalah yang telah diolah menjadi suatu informasi yang mudah dipahami. 6. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas hasil analisis dan pembahasan permasalahan yang telah dilakukan dari penelitian dan menjadi rekomendasi yang dapat dijadikan bahan edukasi serta pertimbangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dibuat di masa yang akan datang.

(15)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Longsor

Definisi bencana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana menurut

International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC & RCS) adalah kejadian yang mendadak dan malang yang secara serius mengganggu fungsi masyarakat serta menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi dan lingkungan yang melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasinya dengan sumberdaya sendiri.

Pendapat lain dari World Health Organization International (WHO) menyatakan bahwa selain mengganggu kondisi eksistensi normal dan penderitaan yang melebihi kapasitas penyesuaian oleh masyarakat yang terkena dampak, mereka menekankan pada aspek keberadaan manusia yang terdampak dan paling berarti dibandingkan harta benda maupun faktor-faktor lainnya. Pendefinisian mengenai bencana maupun faktor-faktor yang mempengaruhinya baik yang disebabkan oleh alam, non-alam maupun oleh manusia itu sendiri dapat dipengaruhi oleh adanya aspek keterlibatan manusia dalam mengolah/ memanfaatkan alam itu sendiri. Dalam proses geologi yang terjadi di alam, berbagai peristiwa yang sering dianggap sebagai bencana oleh manusia sebenarnya hanyalah proses penyeimbangan energi atau pelepasan energi dalam upaya alam menyeimbangkan dirinya. Tetapi, peristiwa alam tersebut akan menjadi sebuah bencana ketika menimbulkan berbagai kerugian bagi manusia.

Berdasarkan Peraturan Menteri PU Nomor 22 Tahun 2007, pengertian bencana longsor adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam berupa tanah longsor. Tanah longsor itu sendiri adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran yang bergerak ke bawah atau keluar lereng.

(16)

Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut, yaitu air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng. Gejala umum tanah longsor yaitu munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, biasanya terjadi setelah hujan, munculnya mata air baru secara tiba-tiba, tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. (Suharno, 2018).

Longsor itu sendiri terbagi menjadi 6 jenis longsor yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, longsoran translasi blok batu/pergerakan blok, longsoran rayapan tanah, longsoran runtuhan batu, longsoran aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah longsor aliran bahan rombakan.

a. Longsoran translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landau, seperti terlihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Longsor Translasi Sumber: Safetysign Indonesia

b. Longsoran rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung, seperti terlihat pada Gambar 2.2

(17)

9

Gambar 2.2 Longsor Rotasi Sumber: Safetysign Indonesia c. Longsoran translasi blok batu/pergerakan blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata atau landai. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu, seperti terlihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Longsoran Translasi Blok Batu Sumber: Safetysign Indonesia

d. Longsoran rayapan tanah

Longsoran rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus yang bergerak merayap lambat atau cepat, bahkan tidak terkendali. Setelah waktu yang cukup lama, longsoran jenis ini menyebabkan rumah, pohon atau tiang miring ke bawah, seperti terlihat pada Gambar 2.4

(18)

Gambar 2.4 Longsoran Rayapan Tanah Sumber: Safetysign Indonesia e. Longsoran runtuhan batu

Longsoran runtuhan batu adalah longsor yang terjadi ketika sejumlah besar batuan, tanah, atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah, seperti terlihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Longsoran Runtuhan Batu Sumber: Safetysign Indonesia f. Longsoran aliran bahan rombakan

Longsoran aliran bahan rombakan adalah longsor yang terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter

(19)

11

seperti di DAS sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban jiwa cukup banyak, seperti terlihat pada Gambar 2.6

Gambar 2.6 Longsoran Aliran Bahan Rombakan Sumber: Safetysign Indonesia

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Longsor

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dibandingkan gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. Bencana longsor ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik alam maupun manusia. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya longsor, yaitu:

1. Iklim (curah hujan)

Penyebab terjadinya longsor dari faktor iklim adalah curah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan tekanan hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan longsor (Barus, 1999). Air permukaan yang membuat tanah menjadi basah dan jenuh akan sangat rawan terhadap longsor. Hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi berkepanjangan durasi hujannya lebih dari 1 atau 2 hari akan berpeluang untuk menimbulkan tanah longsor (Soedrajat, 2007). Selanjutnya, hujan dengan curahan dan intensitas tinggi, misalnya 50 mm yang berlangsung lama (lebih dari 6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kodisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. (Litbang Departemen Pertanian, 2006).

(20)

Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 Tahun 2007 dijelaskan pengaruh curah hujan dalam stabilitas lereng. Curah hujan mempunyai pengaruh atau bobot sebesar 15% dalam terjadinya longsoran. Curah hujan mempunyai intensitas pengaruh yang besar/tinggi pada longsor apabila curah hujan rata-rata sebesar 2500 mm/tahun atau lebih dari 70 mm/jam tetapi berlangsung terus menerus selama lebih dari 2 jam hingga beberapa hari. Curah hujan mempunyai intensitas pengaruh sedang apabila curah hujan berkisar antara 30-70 mm/jam berlangsung tidak lebih dari 2 jam dan hujan tidak setiap hari atau curah hujan rata-rata tahunan antara 1000-2500 mm/tahun. Curah hujan mempunyai intensitas pengaruh yang rendah apabila curah hujan rata-rata kurang dari 1000 mm/tahuh atau curah hujan kurang dari 30 mm/jam dan berlangsung tidak lebih dari 1 jam dan hujan tidak terjadi setiap hari.

2. Topografi

Indikator faktor topografi dalam longsor adalah lereng atau kemiringan lereng. Lereng atau kemiringan lereng adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi dan longsor di lahan pegunungan atau perbukitan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan semakin curamnya lereng. Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling berpengaruh besar terhadap terjadinya longsor. Unsur lain yang berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Makin curam lereng, makin besar kemungkinan gerakan tanah dari atas ke bawah lereng. (Barus, 1999).

Kemiringan lereng menjadi faktor yang sangat penting dalam proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona kerentanan sangat terkait dengan kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan lereng lebih dari 150 perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah longsor dan tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mendukung. Pada dasarnya sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring berbakat atau berpotensi longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut. (Karnawati, 2001).

(21)

13

Pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 Tahun 2007 dijelaskan lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah apabila ujung lereng mempunyai bobot yang sangat tinggi dalam kerawanan longsor yaitu sebesar 30%. Secara umum tingkat kemiringan lereng yang mencapai 40% atau lebih memiliki sensitivitas tingkat kerawanan yang tinggi, kemiringan lereng yang berkisar antara 21-40% memiliki sensitivitas tingkat kewaranan sedang dan kemiringan lereng dengan tingkat kerawanan rendah adalah 0-20%.

3. Geologi (batuan)

Struktur geologi dalam lereng sangat menentukan kelakuan lereng. Sebagai contoh rangkaian, tebal dan letak bidang dasar batuan berpengaruh secara langsung terhadap potensi kestabilan. Ketidakmenerusan (discontinuoity) seperti patahan, lipatan dan kekar harus dipelajari dengan cermat, dalam memprediksi stabilitas lereng secara akurat, penting untuk memperhatikan urutan bidang lemah dan kuat, permukaan runtuhan yang telah lalu, zona patahan dan pengaruh hidrogeologi. (Hardiyanto, 2006).

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 tahun 2007 dijelasakan batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. Faktor batuan dalam terjadinya longsoran memiliki bobot 20%. Kriteria batuan yang memiliki sensitivitas tingkat kerawanan longsor tinggi adalah batuan penyusun lereng yang terlihat banyak struktur retakan. Sensitivitas tingkat kerawanan longsor sedang adalah batuan penyusun lereng yang terlihat terdapat retakan tetapi lapisan batuan tidak miring ke arah luar lereng, sedangkan kriteria sensitivitas tingkat kerawanan longsor rendah berupa lereng yang tersusun oleh batuan dan tanah namun ada struktur retakan/kekar pada batuan.

4. Vegetasi

Faktor vegetasi berpengaruh terhadap longsor melalui pengaruh akar dan kegiatan-kegiatan biologi yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif dan

(22)

pengaruhnya terhadap stabilitas struktur dan porositas tanah, dan transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang tebal atau rimba yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap longsor. Akan tetapi, kebutuhan manusia akan pangan, sandang dan permukiman membuat semua tanah tidak dapat dibiarkan tertutup oleh hutan dan padang rumput. (Arsyad, 1989).

Pengaruh vegetasi adalah pada penambahan beban lereng, menambah tekanan geser, gaya mendorong atau gaya menahan. Beban tanaman/vegetasi tersebut menambah kemantapan lereng pada sudut sekitar 340 atau kurang,

sedangkan untuk sudut yang lebih besar maka beban tanaman akan dapat mengganggu kestabilan lereng. Sistem perakaran dari tanaman dapat menambah kohesi yang akan menghambat terjadinya longsor. Vegetasi memodifikasi kandungan air dalam tanah dengan menurunkan muka air tanah akibat adanya evapotranspirasi, sehingga dapat menunda tingkat kejenuhan air tanah. Dengan demikian akan menambah kemantapan lereng.

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 22 tahun 2007).

5. Kondisi tanah

Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor. Tanah yang gembur karena mudahnya air masuk ke dalam permukaan tanah akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah bertekstur liat (clay). Hal ini dapat terlihat juga dari kepekaan erosi tanah. Nilai kepekaan erosi tanah menunjukan mudah tidaknya tanah mengalami erosi, ditentukan oleh berbagai sifat fisik dan kimia tanah. Makin kecil nilai kepekaan erosi tanah makin tidak peka suatu tanah terhadap erosi. (Sitorus, 2006).

Dalam hal kekritisan stabilitas lereng menurut Saptohartono (2007) pada intensitas hujan yang sama 127,4 mm/jam, tekstur tanah pasir cenderung lebih

(23)

15

cepat mencapai kondisi kritis sekitar 0,023 jam, dibandingkan tekstur tanah lempung 0,03 jam dan tanag liat sekitar 0,08 jam setelah terjadi hujan.

6. Pengelolaan lahan

Faktor manusia yang paling menentukan apakah tanah yang diusahakannya akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh manusia terhadap penggunaan lahan tentu akan berdampak pada longsor dan lingkungannya. (Kartasapoetro, 2006).

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PMPU) No 22 tahun 2007 memaparkan faktor manusia yang berkaitan dengan penggunaan lahan terdapat lima indikator yaitu berkaitan dengan pembangunan konstruksi (bobot 20 %), pencetakan kolam (seperti area persawahan) (bobot 10%), pola tanam (bobot 10%), drainase (bobot 10%), kepadatan penduduk (bobot 30%), serta pemotongan dan penggalian lereng (bobot 20%).

Pemanfaatan lahan untuk pembangunan konstruksi khusunya di atas lereng yang terjal memiliki sensitivitas tingkat kerawanan yang tinggi apabila dilakukan pembangunan konstruksi dan beban yang terlalu besar dan melampaui daya dukung. Sensivitas tingkat kerawanan longsor sedang apabila dilakukan pembangunan konstruksi dan beban yang masih sedikit, tetapi belum melampaui daya dukung dan sensitivitas tingkat kerawanan rendah apabila dilakukan pembangunan konstruksi beban yang masih sedikit dan belum melampaui daya dukung tanah, atau tidak ada pembangunan konstruksi.

Pencetakan kolam juga termasuk salah satu dalam pemanfaatan lahan oleh manusia. Di dalam indikator pencetakan kolam, kriteria sensivitas kerawanan longsor tinggi apabila dilakukan pencetkan kolam yang dapat mengakibatkan merembesnya air kolam ke lereng, sensitivitas rendah apabila terdapat pencetakan kolam tetapi ada perembasan air kolam ke dalam lereng dengan intensitas yang kecil, serta sensitivitas rendah apabila sama sekali tidak dilakukan pencetakan kolam pada lereng.

Penggalian dan pemotongan lereng memiliki sensivitas kerawanan yang tinggi apabila intensitas penggalian/pemotongan lereng tinggi tanpa memperhatikan struktur perlapisan tanah/batuan pada lereng dan tanpa perhitungan analisis kestabilan lereng, sensitivitas sedang apabila intensitas

(24)

penggalian/pemotongan lereng rendah, serta memperhatikan struktur perlapisan tanah/batuan pada lereng dan perhitungan analisis kestabilan lereng dan sensitivitas rendah apabila tidak melakukan penggalian atau pemotongan lereng.

Drainase atau saluran irigasi merupakan salah satu faktor yang menentukan terjadinya longsor. Sistem drainase yang layak akan dapat mencegah terlalu lamanya tanah tergenang air secara berlebihan. (Kartasapoetra, 2005).

2.3 Manajemen Bencana

Manajemen bencana adalah suatu proses terpadu, dinamis, dan berlanjut dalam rangka meningkatkan kualitas tindakan yang berhubungan dengan observasi, analisis bencana, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi bencana berdasarkan UU No 24 Tahun 2007.

Secara umum, manajemen bencana bertujuan untuk:

1. Membatasi dan mencegah jumlah korban manusia, material, dan lingkungan hidup

2. Mengurangi resiko bencana bagi penduduk dalam bentuk korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan sumber daya alam.

3. Mengurangi atau menghilangkan penderitaan dan kesulitan korban.

4. Mengembalikan korban bencana dari daerah pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan.

5. Merelokasi korban ke daerah baru yang aman dan layak huni.

6. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti transportasi, air minum, listrik, dan komunikasi termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana.

7. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.

8. Meminimalisasi kerugian pada individu, masyarakat, dan negara.

9. Meminimalisasi penderitaan yang ditanggung oleh individu dan masyarakat yang terkena bencana.

10.Menghindari kerugian pada individu, masyarakat, dan negara melalui tindakan dini, tindakan ini merupakan pencegahan yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi.

(25)

17

11.Memperbaiki kondisi sehingga individu dan masyarakat dapat mengatasi permasalahan akibat bencana.

12.Menjadi landasan perencanaan pembangunan.

13.Meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menghadapi dan mengurangi dampak dan resiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup aman.

Secara umum manajemen bencana meliputi tahapan-tahapan yaitu, pra-bencana, saat terjadi bencana, dan pasca-bencana. Kegiatan-kegiatan manajemen bencana yang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.7.

1. Pra-bencana

a. Pencegahan (prevention)

Pencegahan merupakan upaya melakukan pencegahan terjadinya bencana, upaya ini yang menitikberatkan pada upaya penyebarluasan dan pengendalian berbagai peraturan perundang-undangan.

b. Mitigasi (mitigation)

(26)

Mitigasi bencana serangkaian upaya untuk mengurangi dan memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh bencana, baik melalui pembangunan fisik (mitigasi struktural) maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana (mitigasi non-struktural).

c. Kesiapsiagaan (preparedness)

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian dan melalui langkah yang tepat dan berdaya guna seperti mendidik dan melatih masyarakat khususnya di daerah rawan bencana.

d. Peringatan dini (early warning)

Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan atau usaha pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat, agar dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelamatkan diri.

2. Saat terjadi bencana

a. Tanggap darurat (response)

Tanggap darurat merupakan upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi, dan pengungsian.

b. Bantuan darurat (relief)

Bantuan darurat merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, tempat tinggal sementara, sanitasi, air bersih, dan obat-obatan.

3. Pasca bencana

a. Pemulihan (recovery)

Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula, seperti memperbaiki jalan, listrik, dan air bersih.

b. Rehabilitasi (rehabilitation)

Rehabilitasi merupakan upaya langkah yang diambil setelah kejadian bencana untuk membantu memperbaiki rumah tinggal, fasilitas umum, dan fasilitas sosial, dan menghidupkan kembali roda perekonomian.

(27)

19

c. Rekonstruksi (reconstruction)

Rekonstruksi adalah program jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan infrastruktur, sosial, dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih dari sebelumnya.

Untuk dapat melaksanakan manajemen bencana dengan baik, maka diperlukan beberapa aspek pendukung seperti pengkajian, koordinasi, dan manajemen informasi yang baik. Selain itu, mobilisasi sumber, keterkaitan lokal-nasional dan internasional juga berperan dalam menjamin keberlangsungan manajemen bencana. Hal penting dari keterkaitan tersebut adalah adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, militer, masyarakat, swasta dan akademisi dalam melaksanakan manajemen bencana tersebut.

2.4 Mitigasi Bencana Longsor

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Secara umum pengertian mitigasi adalah usaha untuk mengurangi dan/ atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/ peredaman atau dikenal dengan istilah mitigasi.

Tujuan utama mitigasi bencana yaitu:

1. Mengurangi resiko bencana bagi penduduk dalam bentuk korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan sumber daya alam.

2. Menjadi landasan perencanaan pembangunan.

3. Meningkatkan kepedulian masyarakat untuk menghadapi serta mengurangi dampak dan resiko bencana sehingga masyarakat dapat hidup aman.

Untuk melakukan penanggulangan bencana, diperlukan informasi sebagai dasar perencanaan penanganan bencana yang meliput:

1. Lokasi dan kondisi geografis wilayah bencana serta perkiraan jumlah penduduk yang terkena bencana.

(28)

3. Ketersediaan air bersih, bahan makanan, fasilitas sanitasi, tempat penampungan dan jumlah korban.

4. Tingkat kerusakan, ketersediaan obat-obatan, peralatan medis serta tenaga kesehatan.

5. Lokasi pengungsian dan jumlah penduduk yang mengungsi. 6. Perkiraan jumlah korban yang meninggal dan hilang. 7. Ketersediaan relawan dalam berbagai bidang keahlian.

Mitigasi merupakan salah satu komponen dalam penanggulangan bencana, yang tujuannya untuk mengurangi korban, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan sekecil mungkin. Setiap saat manusia tidak lepas terhadap risiko sehingga pemahaman terhadap risiko bencana diperlukan sebagai dasar untuk penanggulangan bencana. Mitigasi bencana perlu didasarkan oleh macam dan penyebab bencana, sehingga upaya yang harus dilakukan harus disesuaikan dengan faktor penyebabnya.

Pada dasarnya rangkaian kegiatan penanggulangan bencana ini dapat dibagi dalam empat tahapan yakni:

1. Tahap pencegahan dan mitigasi. 2. Tahap kesiapsiagaan.

3. Tahap tanggap darurat. 4. Tahap pemulihan.

Dapat dilihat skema lingkup bahasan rencana penanggulangan bencana pada Gambar 2.8.

Siklus bencana yang digambarkan pada Gambar 2.8, sebaiknya tidak dipahami sebagai suatu pembagian tahapan yang tegas, dimana kegiatan pada tahap tertentu akan berakhir pada saat tahapan berikutnya dimulai. Akan tetapi harus dipahami bahwa setiap waktu semua tahapan dilaksanakan secara bersama-sama dengan porsi kegiatan yang berbeda. Misalnya pada tahap pemulihan, kegiatan utamanya adalah pemulihan tetapi kegiatan pencegahan dan mitigasi juga sudah dimulai untuk mengantisipasi bencana yang akan datang

(29)

21

Setiap kejadian tanah longsor yang pernah terjadi, apa yang ada disekitar area longsoran akan rusak atau hancur, seperti jalan, maka akses transportasi darat akan terhambat, karena jalan yang akan di lintasi oleh kendaraan tertutup oleh timbunan tanah, kemudia instalasi listrik, akses listrik di daerah tersebut akan padam dikarenakan kabel atau tiang listrik yang berada di daerah longsoran tersebut roboh dan putus kabelnya, kemudian tempat tinggal, warga yang tinggal di daerah sekitar longsoran tersebut akan kehilangan tempat tinggal, dan jika ada sarana Pendidikan di sekitar daerah longsoran maka sarana Pendidikan akan terganggu, perputaran ekonomi di daerah tersebut tidak akan jalan.

Untuk mencegah hal tersebut dapat dilakukan upaya-upaya seperti:

1. Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas do dekat pemukiman.

2. Buatlah terasering atau sengkedan pada lereng yang terjal bila membangun pemukiman.

3. Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah melalui retakan.

4. Jangan melakukan penggalian di bawah lereng yang terjal. Gambar 2.8 Skema Lingkup Bahasan Rencana

(30)

5. Jangan menebang pohon di lereng.

6. Jangan membangun rumah di bawah tebing.

7. Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal. 8. Pembangunan rumah yang benar di lereng bukit.

9. Jangan mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjal. 10.Pembangunan rumah yang salah dilereng bukit.

11.Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak.

12.Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi. Tahapan mitigasi bencana tanah longsor:

1. Pemetaan

Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan/ atau pemerintah kabupaten/ kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.

2. Penyelidikan

Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pengembangan wilayah.

3. Pemeriksaan

Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penanggulangannya.

4. Pemantauan

Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.

5. Sosialisasi

Memberikan pemahaman kepada pemerintah provinsi/ kabupaten/ kota atau masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannya. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain, mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau dapat secara langsung.

Hal-hal yang perlu dilakukan saat terjadi bencana tanah longsor: 1. Segera keluar dari daerah longsoran ke bidang yang lebih stabil.

(31)

23

2. Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala.

Hal-hal yang perlu dilakukan setelah bencana tanah longsor: 1. Hindari daerah longsor karena ada kemungkinan longsor susulan.

2. Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa langsung memasuki daerah longsor secara langsung.

3. Bantu arahkan SAR ke lokasi longsor.

4. Waspada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah longsor. 5. Laporkan kerusakan fasilitas umum kepada pihak berwenang. 6. Tanami kembali tanah yang mengalami kerusakan saat rehabilitasi. 7. Berkonsultasi dengan ahli untuk mengevaluasi ancaman longsor.

2.5 Penelitian Terdahulu

Pada penelitian ini terdapat beberapa referensi yang berperan sebagai penelitian terdahulu mengenai konsep mitigasi longsor. Penelitian terdahulu tersebut untuk mengetahui sejauh mana posisi penelitian ini.

1. Nur Ainun Jariyah dan Syahrul Donie, Universitas Muhammadiyah Surakarta 2016, Mitigasi Bencana Terhadap Bahaya Longsor (Studi kasus di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)

Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa faktor penyebab masyarakat masih tetap tinggal di daerah longsor adalah karena

1. mereka masih harus mempertahankan warisan nenek moyang; 2. tidak ada pilihan tempat lain;

3. tidak ada biaya;

4. mata pencaharian sudah ada tempat tinggalnya; 5. sudah betah karena tanah kelahiran;

6. tempat relokasi kurang sesuai dengan masyarakat.

Mitigasi yang telah dilakukan oleh masyarakat agar terhindar dari bahaya adalah telah dilakukan

1. perbaikan dan pembersihan saluran air;

(32)

3. pembangunan pembentengan TPT (Tembok Penahan Tebing) dengan pemasangan baru atau brojong kawat;

4. perbaikan dan pembersihan saluran air;

5. menutup retakan-retakan sebelum musim hujan.

2. Lulu Mari Fitria, STTNAS Yogyakarta 2015, Mitigasi Bencana Longsor Di Lereng Gunung Wilis Kabupaten Nganjuk

Berdasarkan hasil dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa tingkat ancaman bahaya dan kerentanan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan dan perumusan mitigasi bencana longsor di Lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk. Mitigasi dilakukan didasarkan pada zonasi tingkatan risiko mitigasi bencana longsor. Arahan mitigasi di Kawasan rawan longsor Lereng Gunung Wilis Kabupaten Nganjuk, adalah upaya mitigasi dengan menurunkan tingkat kerentanannya dan tingkat ancaman bahayanya, dilakukan dengan melihat ancamannya yang menengah-tinggi, arahan mitigasi lebih ditekankan pada mitigasi tingkat kerentanan dibandingkan dengan tingkat ancaman karena mempertimbangkan dari dampak sosial dan ekonomi.

3. Heru Setiawan, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar 2015, Kajian Bentuk Mitigasi Bencana Longsor dan Tingkat penerimaannya Oleh Masyarakat Lokal

Pemerintah dan stakeholder yang lain melakukan berbagai upaya mitigasi bencana untuk meminimalisir terjadinya bencana di Kecamatan Tawangmangu. Terdapat dua bentuk mitigasi yang dilakukan yaitu mitigasi secara struktural dan non-struktural. Secara umum tingkat penerimaan masyarakat terhadap program mitigasi bencana longsor dikategorikan dalam tingkat sedang dengan persentase 38%, kemudian diikuti oleh tingkat rendah dengan 33%, dan tingkat tinggi dengan 49%. Faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan masyarakat terhadap program mitigasi longsor adalah umur, jenis kelamin, dan pengalaman terhadap longsor.

4. Amni Zarkasyi Rahman, Universitas Diponegoro 2015, Kajian Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Banjarnegara

Mitigasi bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara dilakukan secara struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural dilakukan dengan penyusun data base daerah potensi bahaya dan pemasangan Early Warning System (EWS). Mitigasi

(33)

non-25

struktural dilakukan dengan pemberian informasi, sosialisasi serta pelatihan dan simulasi bencana.

Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan efektivitas mitigasi bencana adalah dengan pembentukan masyarakat tangguh serta desa tangguh bencana.

5. Bondan Fiqi Riyalda, Iyan Turyana, dan Eko Santoso, Perekayasa Pertama dan Madya pada Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) 2018, Sistem Informasi Bencana Tanah Longsor (Si-Benar) Berbasis Web Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat

Aplikasi sistem informasi bencana tanah longsor (Si-Benar) berbasis web ini merupakan solusi untuk memberikan informasi faktual mengenai data-data yang berhubungan dengan potensi bencana tanah longsor di wilayah Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat. Diharapkan dengan adanya aplikasi ini, monitoring dan evaluasi terhadap pengurangan resiko bencana tanah longsor pada daerah tersebut dapat berjalan dengan baik dan dapat meminimalisir besarnya kerugian korban jiwa dan harta akibat bencana tanah longsor, karena potensi terjadinya bencana tanah longsor dapat dideteksi lebih awal.

6. Arifuddin Biki, Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo 2015, Penguatan Kapasitas Kelompok Masyarakat Peduli Bencana Dalam Kesiapsiagaan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Bandung Barat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan memfokuskan pada penguatan kapasitas kelompok masyarakat peduli dengan pengurus, anggota kelompok dan masyarakat.

Kemudian dari pelaksanaan kegiatan tersebut menghasilkan susunan kegiatan/program kerja, pelaksanaan kemudian tidak terlepas sampai disitu, selanjutnya susunan kegiatan/program kerja kemudian dibuatkan dalam sebagai dokumen penting dan secara khusus dapat menjadi pegangan yang dapat mempermudah pemahaman, menambah pengetahuan dan kejelasan akan kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan.

Selanjutnya untuk kegiatan yang ketiga pengkomunikasian kegiatan/program merupakan upaya mempermudah pemahaman pengurus, anggota, dan masyarakat dalam mengartikan kegiatan/program kerja secara sederhana sesuai dengan pemahaman masyarakat lokal.

(34)

26

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Prosedur Penelitian

Metodologi penelitian ini dilakukan dengan tahapan seperti yang terlihat pada Gambar 3.1.

(35)

27

(36)

3.2 Identifikasi Masalah

Adanya korban jiwa, masyarakat yang berada di lokasi kehilangan tempat tinggalnya, terputusnya jalur transportasi yang berdampak perekonomian daerah tersebut tersendat, rusaknya infrastruktur dan sanitasi lingkungan, dan timbulnya trauma psikis bagi masyarakat ataupun korban yang berada disekitar daerah tersebut. Masalah-masalah ini lah yang menjadikan alasan utama diperlukannya manajemen bencana (mitigasi bencana), yang bertujuan untuk meminimalisir dampak kerugian akibat bencana.

(37)

29

3.3 Studi Literatur

Studi literatur dalam penelitian ini mengacu kepada penelitian-penelitian terdahulu, definisi bencana longsor, penyebab terjadinya bencana longsor, konsep manajemen bencana, mitigasi bencana longsor.

3.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Secara astronomis terletak pada koordinat 107o 27’ 32,7” BT dan 6o 56’ 51,2” LS, dengan luas area 3,5 km2 atau sebesar 4,5% dari total luas keseluruhan di Kecamatan Cililin. Dipilih Desa Cililin karena desa ini memiliki luas paling kecil di Kecamatan Cililin dengan kepadatan penduduk paling banyak Seperti terlihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Peta Kecamatan Cililin Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

(38)

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

Menentukan populasi dan sampel dapat digunakan sebagai sumber data. Bila hasil penelitian akan digeneralisasikan (simpulan data sampel untuk populasi) maka sampel yang digunakan sebagai sumber data harus representative dapat dilakukan dengan cara mengambil sampel dari populasi secara random sampai jumlah tertentu.

3.5.1 Populasi

Nawawi (2005:141) menyebutkan bahwa, “populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif pada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap”.

Dari pendapat di atas dapat ditarik simpulan bahwa populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Pada penelitian ini digunakan populasi terbatas yang bersifat homogen, artinya mempunyai sumber data yang jelas batasnya secara kuantitatif sehingga dapat dihitung jumlahnya, dan sumber data yang unsurnya memiliki sifat yang sama sehingga tidak perlu mempersoalkan jumlahnya secara kuantitatif. Populasi yang diambil untuk penelitian ini adalah warga di Desa Cililin, dengan jumlah total warga baik laki-laki maupun perempuan sebesar 10.991. Seperti terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Desa di Kecamatan Cililin 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Karyamukti 1906 1687 3593 112.98 2 Nanggerang 2237 1869 4106 119.69 3 Mukapayung 6525 5808 12333 112.35 4 Rancapanggung 6295 5947 12242 105.85 5 Bongas 6256 6054 12310 103.34 6 Batulayang 5450 5776 11226 94.36 7 Cililin 5597 5394 10991 103.76 8 Karangtanjung 4227 4307 8534 98.14 9 Kidangpananjung 2104 1844 3948 114.1 10 Budiharja 2389 2234 4623 106.94 11 Karanganyar 3801 3305 7106 115.01 Kecamatan Cililin 46787 44225 91012 105.79 Penduduk

(39)

31

3.5.2 Teknik Penarikan Sampel

Menurut Arikunto, S (2008:117) menjelaskan bahwa sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Sugiyono (2010:57) memberikan pengertian bahwa sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik simpulan bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti. Karena tidak semua data dan informasi akan diproses dan tidak semua orang atau benda akan diteliti melainkan cukup dengan menggunakan sampel yang mewakilinya.

Teknik penarikan sampel atau Teknik sampling adalah suatu cara mengambil sampel yang representatif dari populasi. Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili dan dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu probability sampling, dimana teknik sampling ini digunakan untuk memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.

Teknik pengambilan sampel menggunakan rumus dari Taro Yamane yang dikutip oleh Rakhmat (2008:82) sebagai berikut.

𝑛 = 𝑁

𝑁. 𝑑2+ 1 Keterangan:

n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi

d2 = Presisi yang ditetapkan

maka dari itu, dengam mengambil presisi atau tingkat kepercayaan 10% banyaknya sampel yang akan digunakan sebesar

𝑛 = 10991

10991. 10%2 + 1

𝑛 = 100 responden

(40)

3.6 Perancangan Alat Ukur

Perancangan alat ukur pada penelitian ini dilakukan dengan membuat panduan angket (kuesioner) yang akan diberikan kepada masyarakat secara langsung, panduan wawancara yang akan diajukan kepada Lembaga pemerintah seperti RT/RW dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), pengamatan (observasi) secara langsung untuk melihat kondisi secara aktual. Berikut ini akan disediakan tabel untuk mempermudah pemilihan pertanyaan-pertanyaan yang akan digunakan. Seperti terlihat pada Tabel 3.2 – Tabel 3.4.

(41)

33

Tabel 3.2 Panduan Kuesioner PANDUAN KUESIONER

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

1

Pengetahuan dan Pemahaman mengenai

bencana longsor

Mengetahui apa itu longsor

Apakah anda pernah mengalami longsor Apakah anda mengetahui wilayah tempat tinggal anda termasuk wilayah rawan longsor

Memahami apa itu longsor

Menurut anda pada musim apakah sering terjadi bencana longsor

Apakah ciri-ciri terjadinya bencana longsor Bagaimana gejala-gejala akan terjadinya

bencana longsor

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya bencana longsor

Apa saja dampak-dampak yang diakibatkan oleh bencana longsor

2

Sikap masyarakat dalam menghadapi ancaman

bencana longsor

Rasa kepedulian masyarakat yang tinggal di wilayah rawan longsor

Apa yang akan anda lakukan setelah mengetahui wilayah tempat tinggal anda

termasuk wilayah rawan longsor Apa yang akan anda lakukan setelah wilayah

anda mengalami bencana longsor untuk pertama kalinya

Apa yang akan anda lakukan apabila di wilayah anda mendapatkan penyuluhan atau

(42)

Tabel 3.2 Panduan Kuesioner (Lanjutan) PANDUAN KUISIONER

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

2

Sikap masyarakat dalam menghadapi ancaman

bencana longsor

Rasa kepedulian masyarakat yang tinggal di wilayah rawan longsor

Apa yang akan anda lakukan apabila terjadi hujan deras secara terus menerus dengan waktu yang

lama

Apa yang akan anda lakukan apabila terdengar suara gemuruh dari atas lereng

3

Kebijakan dan panduan terhadap kesiapsiagan

bencana longsor

Meningkatkan kemampuan masyarakat terlatih untuk melakukan

penanganan secara mandiri

Apakah anak-anak anda sudah diberikan edukasi terkait bencana longsor sejak dini

Apakah anda pernah mendapatkan penyuluhan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya

longsor

Apakah anda pernah mengikuti kegiatan simulasi bencana longsor

Apakah anda pernah mendapatkan atau membaca poster/brosur/spanduk yang terkait tentang bencana

longsor

Aturan-aturan yang berlaku untuk menekan dampak bencana longsor

Apakah anda memiliki surat izin membangun (IMB) tempat tinggal anda yang sekarang Adakah aktifitas-aktifitas manusia yang masih

berlangsung di atas-atas lereng yang curam Adakah tanda-tanda peringatan, bahaya, atau

(43)

35

Tabel 3.2 Panduan Kuesioner (Lanjutan) PANDUAN KUISIONER

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

4

Rencana tanggap darurat bencana

longsor

Pengkajian wilayah rawan longsor

Apakah anda mengetahui wilayah-wilayah mana saja yang berpotensi terjadi longsor

Apakah anda mengetahui jalur-jalur evakuasi dan rambu-rambu evakuasi apabila

terjadi bencana longsor

Apakah anda mengetahui titik-titik kumpul apabila terjadi bencana longsor

Persiapan untuk mengurangi ancaman bencana longsor

Apakah anda sudah mempersiapkan tas siaga bencana yang sudah berisi barang-barang penting berupa obat-obatan(P3K), makanan,

surat-surat, alat komunikasi, dan barang-barang penting lainnya

Apakah anda dan keluarga sudah menentukan tugas masing-masing anggota

keluarga saat terjadi bencana longsor Apakah anda pernah mengikuti musyawarah untuk membahas mengenai penanggulangan

bencana longsor

Apakah anda mempunyai nomor-nomor penting untuk dihubungi disaat keadaan

darurat bencana longsor

Apakah anda mengikuti organisasi atau kelompok masyarakat siaga bencana Apakah anda membuat pos-pos siaga bencana di titik-titik wilayah rawan longsor

(44)

Tabel 3.2 Panduan Kuesioner (Lanjutan) PANDUAN KUISIONER

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

4 Rencana tanggap darurat bencana longsor

Upaya pembangunan atau perbaikan sebagai pencegahan terjadinya longsor

Apakah anda sudah membuat bangunan penahan tanah seperti jangkar (anchor) atau dinding

penahan tanah

Apakah anda sudah membuat sistem terasering untuk mengurangi kemiringan lereng yang curam Apakah anda sudah menjaga saluran drainase atau

selokan yang baik dan layak Apakah anda sudah melakukan penanaman kembali atau reboisasi pada lahan-lahan yang

gersang

5 Sistem peringatan dini bencana longsor

Menyiapkan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu

Apakah anda mengetahui adanya sistem peringatan dini atau Early Warning System

(EWS) di wilayah anda

Bagaimana cara anda untuk memberitahukan keadaan darurat akibat longsor kepada

lembaga-lembaga yang berwenang seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) atau

tim SAR

Adakah kelompok masyarakat yang bertugas untuk memandu dan menghibau masyarakat

menuju tempat pengungsian sementara Bagaimana cara anda untuk mengetahui informasi

keadaan terkini mengenai bencana longsor yang sedang terjadi

(45)

37

Tabel 3.2 Panduan Kuesioner (Lanjutan) PANDUAN KUISIONER

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

6

Sumber daya yang ada terhadap kesiapsiagaan

bencana longsor

Mobilisasi sumber daya baik sumber daya manusia (SDM), pendanaan, dan

prasarana-sarana penting untuk menunjang pada saat keadaan darurat

Apakah akses jalan yang disediakan oleh masyarakat dapat mendukung kelancaran

pemberian bantuan

Apakah di tempat penampungan sementara (evakuasi) sudah disediakan tenda-tenda darurat,

obat-obatan, alat komunikasi, dan alat-alat penting lainnya

Apakah sudah disediakan kendaraan untuk membantu proses evakuasi

Apakah sudah dipersiapkan dokter dan perawat dari puskesmas yang akan membantu langsung

ditempat penampungan sementara Apakah sudah disediakan air bersih ditempat

penampungan sementara Apakah ada bantuan berupa dana dari pemerintah secara berkala untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan pada saat evakuasi

(46)

Tabel 3.3 Panduan Wawancara PANDUAN WAWANCARA

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

1

Kebijakan dan aturan untuk meminimalisir dampak bencana longsor

Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah

Apakah pemerintah telah memberikan pendidikan atau edukasi mengenai bencana

longsor sejak dini

Apakah pemerintah telah memberikan penyuluhan mengenai cara penanggulangan

bencana longsor

Apakah pemerintah telah mengadakan kegiatan berupa pelatihan simulasi tanggap

darurat bencana longsor Apakah pemerintah telah memberikan himbauan siaga bencana longsor berupa

poster/brosur/spanduk

Aturan-aturan yang dibuat pemerintah

Apakah pemerintah telah memasang tanda peringatan, bahaya, atau larangan memasuki

kawasan rawan longsor

Sanksi atau hukuman apa yang diberikan kepada masyarkat yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah

2

Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh

pemerintah

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat

Apakah pemerintah sudah memasang sistem peringatan dini atau Early Warning System

(EWS) pada wilayah rawan longsor Apakah pemerintah telah menyediakan alat

komunikasi untuk mempermudah masyarakat memberikan keadaan terkini kepada lembaga-lembaga yang berwenang

(47)

39

Tabel 3.3 Panduan Wawancara (Lanjutan) PANDUAN WAWANCARA

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

2 Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pemerintah

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan

kesiapsiagaan masyarakat

Apakah pemerintah telah menyiapkan pos-pos siaga bencana longsor di wilayah-wilayah rawan

longsor

Apakah pemerintah telah membuat peta wilayah rawan longsor

Apakah pemerintah telah memberikan himbauan akan jalur-jalur evakuasi dan titik-titik kumpul untuk dijadikan tempat penampungan sementara

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi potensi

bencana longsor

Apakah pemerintah telah membuat bangunan penahan seperti jangkar (anchor) atau dinding

penahan tanah

Apakah pemerintah mengadakan kegiatan penanaman kembali atau reboisasi kepada

masyarakat

Apakah pemerintah telah menyediakan saluran drainase atau selokan yang layak dan baik

3 Organisasi-organisasi yang dibuat pemerintah

Organisasi tanggap darurat dan pengelola penanggulangan bencana

Apakah pemerintah pernah mengadakan musyawarah dengan masyarakat untuk membuat

kelompok masyarakat siaga bencana Apakah pemerintah telah mempersiapkan tim

(48)

Tabel 3.3 Panduan Wawancara (Lanjutan) PANDUAN WAWANCARA

NO ASPEK INDIKATOR PERTANYAAN

3 Organisasi-organisasi yang dibuat pemerintah

Organisasi tanggap darurat dan pengelola penanggulangan bencana

Apakah pemerintah telah mempersiapkan tim medis untuk pemberian pertolongan kepada

korban bencana longsor

Apakah pemerintah telah mempersiapkan tim untuk mangatur bala bantuan

4 Sumber daya yang dimiliki pemerintah

Sumber daya manusia, pendanaan, dan sarana-prasarana penting untuk keadaan

darurat

Apakah pemerintah memiliki personil yang cukup dan memadai untuk bisa mengevakuasi

satu desa

Apakah pemerintah memiliki alat berat untuk membantu proses penyingkiran material tanah yang menimbun bangunan-bangunan masyrakat

baik rumah tinggal atau fasilitas utma lainnya Apakah pemerintah sudah menyiapkan kebutuhan pokok untuk masyarakat yang sedang

mengungsi seperti obat-obatan, makanan, air bersih, pakaian, listrik dan hal penting lainnya

5 Kendala-kendala yang dihadapi pemerintah

Permasalahan yang menghambat pemerintah dalam menciptakan desa

tangguh bencana

Apakah dana yang pemerintah dapat sudah terasa cukup untuk memenuhi kebutuhan suatu desa dalam mewujudkan desa siapsiaga bencana

Apakah masyarakat desa memiliki rasa kurang peduli pada lingkungan sekitar

(49)

41

Tabel 3.4 Panduan Observasi PANDUAN OBSERVASI

NO ASPEK INDIKATOR PERNYATAAN

1 Mengurangi potensi bencana longsor

Pemberian informasi kepada masyarakat secara tepat dan terpadu

Pengecekan adanya spanduk, brosur, atau poster mengenai bencana longsor di Desa Cililin Pengecekan adanya tanda peringatan, bahaya,

dan larangan di wilayah rawan longsor

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat

Pengecekan adanya bangunan-bangunan penahan tanah pada lereng-lereng yang curam Pengecekan adanya sistem terasering pada lereng

Pengecekan adanya wilayah gersang pada lereng Pengecekan saluran selokan/saluran drainase

yang baik dan layak

Pengecekan adanya sistem peringatan dini bencana longsor

Pengecekan adanya jalur evakuasi untuk masyarakat bila terjadi bencana longsor Pengecekan adanya titik kumpul sebagai tempat penampungan sementara korban bencana longsor

(50)

3.7 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diperlukan disini adalah teknik pengumpulan data mana yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat data yang valid dan reliabel. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan 3 metode yaitu angket (kuesioner), wawancara, dan pengamatan (observasi). Untuk mengetahui pemahaman akan mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat pengumpulan data yang dilakukan berdasarkan hasil kuesioner, sedangkan untuk mengetahui upaya-upaya dan kendala dalam penerapan mitigasi yang dihadapi baik masyarakat atau pemerintah berdasarkan hasil wawancara dan observasi.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian digunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan, karena data yang diperoleh akan dijadikan landasan dalam mengambil kesimpulan.

3.7.1 Pengumpulan Data Primer

Data primer merupakan pengambilan data yang dihimpun langsung oleh peneliti dari pihak yang terkait dengan objek yang diteliti. Pengumpulan data primer menggunakan 3 metode yaitu:

1. Angket (Questionnaire)

Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain, bersedia memberikan respons (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. Tujuan penyebaran angket ialah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dan responden tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan. Jenis angket yang digunakan yaitu angket tertutup, angket tertutup (angket berstruktur) adalah angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya dengan cara memberikan tanda silang atau tanda centang. Angket ini akan diberikan kepada 100 responden masyarakat yang tinggal di Desa Cililin

2. Pengamatan (Observation)

Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Apabila objek penelitian bersifat

Gambar

Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana di Indonesia  Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Gambar 1.2 Bencana Longsor Sepanjang Tahun 2017  Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Gambar 2.1 Longsor Translasi  Sumber: Safetysign Indonesia
Gambar 2.2 Longsor Rotasi  Sumber: Safetysign Indonesia  c.  Longsoran translasi blok batu/pergerakan blok
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti mendiskripsikan dengan mengadakan penelitian tentang ketangguhan desa terkait peran yang diberikan pemerintah desa dan kesiapsiagaan masyarakat dalam hal

Tujuan penilitian ini adalah mengkaji dan mendiskripsikan 1) Bentuk – bentuk mitigasi struktural bencana banjir di Desa Ngrombo, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo.

MITIGASI BENCANA ERUPSI GUNUNG MERAPI DI MASYARAKAT DESA SIDOREJO KECAMATAN KEMALANG KABUPATEN

Bagaimana upaya masyarakat dalam mitigasi yang dilakukan pasca erupsi tahun 2006. “pasca erupsi 2006 masyarakat tidak melakukan apa- apa, karena dikira merapi tidak

Penelitian yang berjudul pengetahuan masyarakat dalam mitigasi bencana banjir di desa penolih kecamatan kaligondang kabupaten purbalingga bertujuan untuk mengetahui

(2-tailed) pada penelitian ini adalah 0,00 lebih kecil dari 0,05 menunjukkan pendidikan mitigasi bencana tanah longsor memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

TENGKULAK DAN PETANI: KAJIAN HISTORIS TERHADAP PERKEMBANGAN TENGKULAK SAYUR DI DESA NANGGERANG KECAMATAN CILILIN KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana longsor di Desa Tabbinjai Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa dan untuk