• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBAHASAN. 1. Hak-hak Barat dan Ketentuan Konversi. Kata Konversi berasal dari Bahasa latin Convertera yang berarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PEMBAHASAN. 1. Hak-hak Barat dan Ketentuan Konversi. Kata Konversi berasal dari Bahasa latin Convertera yang berarti"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

PEMBAHASAN

A.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Hak-hak Barat dan Ketentuan Konversi

Kata “Konversi” berasal dari Bahasa latin Convertera yang berarti membalikan atau mengubah nama dengan pemberian nama baru atau sifat baru sehingga mempunyai isi dan makna yang baru. Sedangkan pengertian konversi dalam hukum agraria adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru. Dalam hal ini yang dimaksud hak-hak baru adalah hak-hak yang termuat dalam UUPA Khususnya Pasal 16 ayat (1), c.q Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak pakai1.

Menurut A.P Parlindungan bahwa konversi secara umum dapat dikatakan penyesuaian atau perubahan dari hak-hak yang diatur oleh peraturan lama disesuaikan dengan hak-hak baru2. Konversi hak atas tanah dapat dipahamkan sebagai pengubahan dan penyesuaian dari hak-hak lama atas tanah yaitu hak adat maupun hak perdata barat (BW) menjadi hak-hak atas tanah menurut UUPA. Dalam Pasal 55 UUPA diatur bahwa :

“Hak-hak yang ada sekarang ini menurut ketentuan konversi ini semuanya menjadi hak-hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria”

Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 , mengatur bahwa :

1 H. Ali Ahmad Chomzah, Op.Cit hlm.80.

2 A.P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Bandung: Alumni, 1982, hlm.49.

(2)

12

Hak penguasaan atas tanah Negara sebagai maksud dalam Peraturan Pemerintah No 8 tahun 1953, yang diberikan kepada departemen-departemen, Direktorat-direktorat dan daerah-daerah Swatantra sebelum berlakunya peraturan ini sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi hak pakai sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan”

Hak-hak Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama (S.1834-27), serta yang diatur di luar Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak adat (S. 1873-38).

Sejak Indonesia merdeka, banyak tanah-tanah bekas hak asing yang ditinggalkan oleh Belanda. Sehingga mengakibatkan banyak tanah-tanah berstatus hak asing. Sebelum berlakunya UUPA ketentuan mengenai penguasaan tanah tunduk kepada hukum adat dan hukum barat yakni Burgerlijk Wetboek (BW). Hal tersebut mengakibatkan adanya dualisme sistem hukum tanah di Indonesia. Maka dari itu lahirlah UUPA guna memberlakukan satu sistem hukum tanah untuk seluruh wilayah tanah air bukan lagi menggunakan ketentuan BW maupun Hukum Adat. UUPA menganut asas unifikasi dimana hukum agraria untuk wilayah tanah air hanya berlaku satu sistem yaitu yang ditetapkan yaitu yang tertuang dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi sebagai berikut :

(3)

13

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama 3.

Dari ketentuan diatas menjelaskan bahwa ketentuan konversi hanya akan berlaku pada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air. Ketentuan mengenai konversi tidak lagi tunduk pada ketentuan BW maupun hukum adat yang bersifat kedaerahan di seluruh tanah air, ataupun di samping ketentuan yang lama menurut BW maupun ketentuan baru berdasar pada UUPA/PP 10/61. Pelaksanaan Konversi didasarkan pada filosofi yaitu 5 prinsip sebagai berikut :

1. Prinsip Nasionaliltas

2. Prinsip Pengakuan hak-hak tanah terdahulu 3. Kepentingan hukum

4. Penyesuaian kepada ketentuan konversi 5. Status quo hak-hak tanah terdahulu

Ketentuan konversi UUPA ini sekaligus mempunyai tujuan guna untuk melikuidasi hak-hak asing4. Dengan kata lain hak-hak orang lain atau badan asing atas tanah. Dalam Pasal 55 ayat (1) UUPA berbunyi :

“Hak-hak asing yang menurut ketentuan Pasal 1, 2, 3, 4 dan 5 dikonversi menjadi hak guna usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara waktu selama sisa waktu hak tersebut dengam jangka waktu paling lama 20 tahun”

3 A.P Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Bandung:Penerbit Mandar Maju, 1999,hlm 1. 4 Sri Harini, Op.cit.hlm 87.

(4)

14

Kutipan dalam Pasal 55 ayat (1) menjelaskan bahwa dalam kurun waktu paling lama 20 tahun bekas hak barat yang dikonversi masih diakui. Namun setelah jangka waktu habis yaitu pada tanggal 24 September 1980, Pemerintah akan mengatur pemakaian tanah tersebut sesuai dengan Policy Negara.

Salah satu diberlakukannya UUPA adalah untuk melakukan penyatuan dan penyederhanaan hukum agraria nasional. Dalam rangka penyatuan dan penyederhanaan tersebut maka dilakukan konversi hak atas tanah. Konversi hak atas tanah adalah perubahan hak atas tanah yang lama menjadi hak atas tanah yang sesuai dengan ketentuan UUPA. Di bagian kedua UUPA tentang Ketentuan-ketentuan Konversi pada Pasal 1 hingga Pasal VII, secara garis besar, konversi hak atas tanah terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat

2. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia 3. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja.5 Dari ketiga jenis konversi hak atas tanah diatas, dalam masih dibagi lagi menjadi beberapa jenis hak atas tanah :

1. Berasal dari hak atas tanah hak barat terdiri dari :

a. Hak Eigendom, adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak menganggu

(5)

15

hak orang lain.6 Hak eigendom dapat di Konversikan menjadi hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai.

b. Hak Opstal, adalah hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain (Pasal 711 KUH Perdata). Hak postal dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.7 c. Hak Erfpacht, adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari

tanah milik orang lain dan mengusahakannya untuk waktu yang sangat lama (Pasal 820 KUH Perdata). Hak Erfpacht terbagi menjadi 3 jenis yaitu untuk perusahaan kebun besar yang dapat dikonversikan menjadi hak guna usaha, untuk perumahan yang dapat dikonversikan menjadi hak guna bangunan, untuk pertanian tidak dapat dikonversi dan dihapus. 8 d. Hak Gebruik (Recht Van Gebruik), adalah hak kebendaan atas benda

orang lain bagi seseorang tertentu untuk mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilmya, sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya. Hak Gerbuik dikonversi menjadi hak pakai.9

e. Bruikleen, adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma kepada pihak lain untuk dipakainya dengan disertai kewajiban untuk mengembalikan benda tersebut pada waktu yang ditentukan. Bruikleen dikonversi menjadi hak pakai.10

6 Op.cit., Hlm.86. 7Op.cit., Hlm.95-96. 8Op.cit., Hlm. 98-101. 9Op.cit., Hlm.104-106. 10Op.cit., Hlm.106-107

(6)

16

2. Berasal dari tanah bekas hak Indonesia terbagi menjadi tiga jenis yaitu : a. Hak erfpacht yang altijddurend, adalah hak erfpacht yang diberikan

sebagai pengganti hak usaha diatas bekas partikulir menurut S. 1913 – 702. Hak ini dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan, tergantung pada subyek hak dan peruntukkannya.11

b. Hak agrarische eigendom, adalah hak buatan semasa pemerintahan colonial Belanda yang memberikan kaum bumiputera suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah. Hak agrarische eigendom juga dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, sesuai dengan subyek hak dan peruntukkannya.12

c. Hak gogolan, adalah hak seorang gogol (kuli) atas komunal desa. Hak gogolan juga sering disebut hak sanggao atau hak pekulen. 13

3. Berasal dari hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja terdiri dari:

a. Hak Hanggaduh, adalah hak untuk memakai tanah kepunyaan raja. Hak hanggaduh ini dikonversi menjadi hak pakai.14

b. Hak Grant, adalah hak atas tanah atas pemberian hak raja kepada bangsa asing. 15

c. Hak Konsesi dan sewa untuk perusahaan kebun besar, adalah hak-hak untuk mengusahakan tanah swapraja yang diberikan oleh kepala swapraja. 11Op.cit., Hlm.109-111 12Op.cit., Hlm.115-118 13Op.cit., Hlm.119. 14Op.cit., Hlm.130-132. 15Op.cit., Hlm.133

(7)

17

Sedangkan hak sewa untuk perusahaan besar adalah hak sewa atas tanah Negara, termasuk tanah bekas swapraja untuk dipergunakan sebagai perkebunan yang luasnya 25 Hak atau lebih. Hak ini dikonversi menjadi hak guna usaha.16

2. Permohonan Hak atas Tanah

Permohonan Hak atas tanah dapat dilakukan terhadap17 :

a. Tanah Negara bebas ; belum pernah melekat sesuatu hak diatasnya

b. Tanah Negara asalnya masih melekat sesuatu hak dan jangka waktunya belum berakhir, namun dimintakan perpanjangannya

c. Tanah Negara asalnya pernah melekat sesuatu hak dan jangka waktunya telah berakhir untuk dimintakan pembaharuannya, temasuk tanah-tanah Hak barat, sebagai mana dijelaskan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak barat, Pasal 1 ayat (1) “ Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak pakai asak Konversi hak barat ,yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagimana yang dimaksud dalam UUPA, pada saat berakhirnya hak, yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara” maupun tanah-tanah yang telah terdaftar menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

16Op.cit., Hlm.141-142.

17 1Ulfa Hasanah, Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No.5 Tahun

1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Dihubungkan dengan PP. No 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah”. Vol.3 No 1, Jalan Garuda Tangkerang Tengah Marpoyan Damai Pekanbaru, hlm. 13.

(8)

18

Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara menyatakan bahwa :

“Sebelum mengajukan permohonan Hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pada bagian kedua tentang pemberian hak milik Paragraf I Syarat-syarat Permohonan Hak milik menerangkan bahwa :

Pasal 9

(1) Permohonan Hak milik atas Tanah Negara diajukan secara tertulis (2) Permohonan Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memuat :

1. Keterangan mengenai pemohon :

a. Apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menajdi tanggungannya;

b. Apabila badan hukum : Nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang tentang penujukannya sebagai badan hukum yang mempunyai Hak milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik :

a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada surat ukur atau gambar situasi sebutkan tanggal dan nomornya)

c. Jenis tanah (pertanian dan non pertanian) d. Rencana penggunaan tanah

e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah Negara) Dalam Pasal 10 angka 2 lampiran mengenai tanah :

a. Data Yuridis : sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah, PPAT,akta pelepasan hak,

(9)

19

putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

b. Data fisik : surat ukur, gambar situasi dan IMB apabila ada 3. Pendaftaran Tanah

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa :

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susus, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membelinya.

Dalam Pasal 19 UUPA menyatakan bahwa :

Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari ketentuan diatas menjelaskan bahwa guna menjamin kepastian hukum bagi seseorang yang hendak memiliki tanah, secara legal formal pendaftaran tanah menjadi dasar bagi status/kepemilikan tanah bagi individual atau badan hukum selaku pemegang hak yang sah secara hukum.

Dari ketentuan diatas menjelaskan bahwa guna menjamin kepastian hukum bagi seseorang yang hendak memiliki tanah, secara legal formal pendaftaran tanah menjadi dasar bagi status/kepemilikan tanah bagi individual atau badan hukum selaku pemegang hak yang sah secara hukum. Guna menjamin kepastian hukum ini dikenal dengan sebutan Recht cadaster/legal cadaster18. Jaminan kepastian hukum yang

18 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif :Kencana Prenada media Group, 2012, hlm.278.

(10)

20

hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah, meliputi dari kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Dari pendaftaran tanah ini akan menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Bachtiar Effendi mengatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan recht cadaster yang bertujuan memberikan kepastian hak, yakni untuk memungkinkan orang-orang yang mempunyai tanah dengan mudah membuktikan bahwa dialah yang berhak atas sebidang tanah, apa hak yang dipunyainya, letak dan luas tanah. Serta memungkinkan kepada siapapun guna mengetahui hal-hal yang ia ketahui berkenaan dengan sebidang tanah, misalnya calon pembeli, calon kreditur, dan sebagainya.19

Pelaksanaan konversi hak atas tanah,khususnya yang berasal dari hak barat sebagaimana diatur dalam UUPA, pendaftaran tanah menjadi dasar bagi terselenggaranya konversi, karena konversi bukan peralihan hak secara otomatis, tetapi harus dimohonkan dan didaftarkan ke Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (BPN), Dilihat dari ketentuan konversi, maka jelas bahwa prinsipnya hak-hak atas tanah sepanjang pemegang haknya pada saat ketentuan konversi berlaku adalah Warga Negara Indonesia Tunggal maka hak itu akan dikonversikan menjadi hak milik menurut UUPA. Konsekuensi dari berlakunya ketentuan konversi (UUPA) mengharuskan semua bukti kepemilikan sebelum berlakunya UUPA harus diubah status hak atas tanah menurut ketentuan konversi yang diatur dalam UUPA. Cara mengubah status hak atas tanah tersebut yaitu dengan mendaftarkan tanah tersebut untuk diberikan bukti kepemilikan yang baru, yaitu sertifikat hak atas tanah, dengan catatan hal itu dilakukan sebelum jangka waktu ditetapkan yakni sampai 24

19 Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 7

(11)

21

September 1980, jika permohonan atau pendaftaran hak atas tanah tidak dilakukan maka hak atas tanah akan dikuasai langsung Negara.20

Pendaftaran tanah juga menjadi dasar bagi terselenggaranya konversi, karena konversi bukan peralihan hak secara otomatis, tetapi harus dimohonkan dan didaftarkan ke Kepala Lantor Pendaftaran Tanah (BPN). Cara melakukan Pendaftaran tanah untuk mengubah status hak atas tanah dibagi atas 2 cara yaitu21:

1) Jika pemohon memiliki bukti hak atas tanah yang diakui berdasarkan Pasal 23 dan 24 PP No 24 Tahun 1997, maka dapat ditempuh proses konversi langsung yaitu dengan cara mengajukan permohonan dan menyerahkan bukti kepemilikan hak atas tanah kepada Kantor Pertanahan.

2) Jika pemohon tidak memiliki atau kehilangan bukti kepemilikan hak atas tanah, maka cara yang ditempuh adalah melaui penegasan konversi atau melalui pengakuan hak.

Terdapat 3 bukti tertulis yang dapat diajukan oleh pemilik tanah, yaitu22 : 1. Bukti tertulis Lengkap

2. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi 3. Bukti tertulisnya semua tidak ada lagi

Dalam kondisi bukti tertulis lengkap, maka tidak lagi memerlukan tambahan alat bukti, jika buktinya sebagian maka harus diperkuat dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan. Sedangkan jika bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi maka harus diganti keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan.

20 Ulfia Hasanah, Op.Cit.,hlm. 13. 21 Op.Cit.,hlm. 13.

(12)

22

Penegasan konversi dilakukan jika ada surat pernyataan kepemilikan tanah dari pemohon dan dilakukan oleh keterangan saksi tentang kepemilikan tanah tersebut, tapi juga tergantung pada lamanya penguasaan fisik tanah tersebut oleh pemohon.

Penguasaan Fisik atas suatu tanah diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mengatur sebagai berikut :

(1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam Pendaftaran tanah secara sporadik dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat :

a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. Penguasaan tersebut baik sebelumn maupun selama pengumuman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, dijelaskan bahwa :

Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada

(13)

23

waktu dilakukan pembukuan hak. Alat -alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat berupa :

a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik ; atau

b. Grosse akta hak eigendom yang diterbirkan berdasarkan Overschrijvings Ordionnantie (S.1834-27) sejak berlakunnya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan

Swapraja yang bersangkutan;atau

d. Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959;atau

e. Surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yan diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya;atau

f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini;atau

g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat PPAT, yang tanahnya belum dibukukan;atau

(14)

24

h. Akta Ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;atau i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang, yang

tanahnya belum dibukukan;atau

j. Surat penunjukan atau pembelian kaveing tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;atau

k. Petuk Pajak Bumi/Landrete, girik, pipil,kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961;atau

l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan;atau

m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa Ketentuan ini memberikan solusi bagi pemegang hak yang tidak dapat menyediakan bukti , berupa bukti tertulis maupun bentuk bukti lain yang dapat dipercaya. Bukti penguasaan fisik bisa menjadi alternatif sebagai alat bukti penguasaan atas tanah. Dari ketentuan diatas persyaratan pengakuan hak tersebut dapat dirincikan sebagai berikut23 :

1. Bahwa pemohon telah menguasai tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut atau dari pihak lain yang telah menguasainya

(15)

25

2. Penguasaan dilakukan dengan itikad baik

3. Penguasaan tanah itu tidak pernah diganggu gugat dan diakui serta dibenarkan oleh masyarakat di kelurahan atau tempat objek hak tersebut

4. Bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa

5. Bahwa jika pernyataan tersebut memuat hal-hak yang tidak sesuai dengan kenyataan maka pemohon dapat dituntut secara pidana maupun perdata dimuka pengadilan karena memberikan keterangan palsu.

4. Pembatalan Pemberian Hak atas Tanah

Dalam Pasal 125 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dimana dalam Pasal 125 mengatur bahwa :

(1) Pencatatan perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan Pengadilan atau penetapan Hakim/Ketua Pengadilan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah yang bersangkutan dan daftar umum lainnya dilakukan setelah diterimanya penetapan hakim/Ketua Pengadilan atau Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan Salinan Berita Acara eksekusi dari Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan

(2) Pencatatan yang dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan dengan melampirkan :

a. Salinan resmi penetapan atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan Salinan Berita acara eksekusi

b. Sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan

c. Identitas pemohon

(3) Pendaftaran pencatatan hapusnya suatu hak atas tanah atau Hak Pengelolaan atau Hak milik atas Satuan Rumah Susun berdasarkan Putusan pengadilan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan

(16)

26

setelah diterimanya Salinan keputusan mengenai hapusnya hak bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk

Dari Pasal diatas menerangkan bahwa putusan pengadilan dapat menjadi dasar untuk merubah data dalam pendaftaran tanah, disamping itu berlaku pula Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan dan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara, dimana Pasal 2 mengatur bahwa Kepala Kantor Wilayah BPN memberi Surat Keputusan pembatalan hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan baik yang terdadpat cacat hukum dalam penerbitannya maupun untuk melaksanakan putusan Pengadilan.

5. Penguasaan Hak atas Tanah a. Pengertian Penguasaan

Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Ada penguasaan beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.

Penguasaan dalam arti fisik secara nyata pemegang hak menguasai tanah. Namun ada juga penguasaan yuridis yang memberikan kewenangan untuk menguasai tanah haknya secara fisik, namun pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain, misalnya tanah yang dimiliki dan disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasai secara fisik,atau tanah tersebut dikuasai pihak lain tanpa hak. Dengan demikian pemilik tanah (penguasaan yuridis) berhak menuntut

(17)

27

diserahkannya kembali tanah itu secara fisik kepadanya. Pengertian penguasaan dan menguasai ini dipakai dalam aspek perdata.

Dalam aspek publik tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Kemudian dalam Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa :

(1)Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat”

a. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk :

b. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,air dan ruang angkasa;

d.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

e. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;

f. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

(18)

28

UUPA menetapkan tata jenjang/hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yaitu :

1. Hak Bangsa,

Hak bangsa merupakan hak penguasaan tanah tertinggi dimana hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung bersumber padanya. Hak bangsa mengandung 2 unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan serta penggunaan tanah Bersama yang dimilikinya. Hak bangsa atas tanah Bersama tesebut bukan hak pemilikan dalam pengertian yuridis yang menjadi subjek Hak bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-generasi terdahulu, sekarang dan generasi-generasi yang akan datang.

2. Hak menguasai dari Negara,

Mengacu pada ketentuan Pasal 33 UUD 1945 berarti hak menguasai Negara meliputi semua tanah, tanpa terkecuali. Notonagoro menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung antara Negara dengan bumi, air dan ruang angkasa, yaitu 24 :

a. Negara sebagai subjek, yang dipersamakan dengan perseorangan,sehingga dengan demikian hubungan antara Negara

24 Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 101.

(19)

29

dengan tanah itu mempunyai sifat privat-rechtelijk. Hak Negara terhadap tanah sama dengan hak perseorangan dengan tanah.

b. Negara sebagai subjek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi sebagai Negara. Dengan demikian Negara sebagai badan kenegaraann, sebagai badan yang publiek-rechtelijk. Dalam hal ini negara tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan. c. Hubungan antara Negara langsung dengan tanah ini tidak sebagai

subjek perseorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai Negara yang memiliki akan tetapi sebagai Negara yang menjadi personifikasi dari rakyat seluruhnya sehingga dalam konsepsi ini Negara tidak terlepas dari rakyat, Negara hanya menjadi pendiri,menjadi pendukung kesatuan dan persatuan rakyat. Bentuk ini masih dapat diadakan dua macam bentuk yaitu :

1. Memegang kekuasaan terhadap tanahnya atau

2. Hanya memegang kekuasaan terhadap pemakaiannya. Dalam penjelasan Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa permasalahan Agraria menurut sifatnya dan pada dasarnya merupakan tugas Pemerintah Pusat. Asas ini sangat penting untuk mempertahankan dan melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa serta wilayah Nasional Indonesia. Oleh karena itu tugas dan wewenang di bidang agraria/pertanahan tidak boleh diotonomkan kepada daerah dan harus tetap ada pada pemerintah Pusat.25

(20)

30

Subyek hak menguasai dari Negara adalah Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia, dan yang dikuasai adalah tanah-tanah yang ada di wilayah RI baik tanah-tanah yang tidak atau belum dihaki dengan hak-hak perseorangan26. Tanah yang belum dihaki dengan hak-hak perseorangan menurut UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara atau Tanah Negara.27 Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa dalam UUPA menganut konsep menguasai dan bukan memiliki dalam hubungan antara negara dengan tanah. Negara tidak memiliki tanah namun menguasai tanah. Dengan demikian yang disebut Tanah Negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak yaitu hak milik, HGU, HGB, Hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan, tanah ulayat serta tanah wakaf28.

3. Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat,

Dalam UUPA pengertian hak ulayat secara eksplisit tidak ditemukan. Hanya saja dalam Pasal 3 UU PA menyatakan bahwa :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”

Menurut Sumardjono mengatakan bahwa hak ulayat merupakan hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang

26 Ibid., hlm.149. 27 Ibid.,hlm.149.

(21)

31

atau kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar masyarakat hukum adat itu.29

4. Hak-hak Perorangan /Individual

Hak atas tanah sebagai individual yang memberi kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu. Hak-hak perorangan atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah. Karena semua tanah dalam wilayah NKRI baik yang berupa tanah hak maupun tanah Negara keseluruhannya diliputi oleh hak bangsa Indonesia maupun hak menguasai Negara tanpa kecuali. Boedi Harsono berpendapat bahwa tanah adalah kepunyaan Bersama rakyat Indonesia.30 Negara mempunyai kewenangan penuh atas tanah yang bersangkutan dan oleh karenanya Negara dapat pula memberikan tanah-tanah tersebut kepada pihak lain dengan sesuatu ha katas tanh, yaitu hak-hak atas tanah yang primer seperti Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.

6. Hak atas tanah

a. Pengertian Hak atas Tanah

Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang kewajiban dan /atau larangan bagi pemegang haknya untuk

29 Maria S.W. Soemardjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan

Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 14 Februari, Yogyakarta,(Selanjutnya disebut Maria S.W. Soemardjono II),hlm 26

30 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,

(22)

32

berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan inilah yang menjadi kriteria atau tolak ukur diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.31

Diatur pula mengenai hak menguasai dari Negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu :

“atas dasar ketentuan Pasal 33 aat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi dikusai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh masyarakat”.

Dari ketentuan diatas, Negara mempunyai wewenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, yaitu :

(1) Atas dasar hak meguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun Bersama dengan orang lain serta badan-badan hukum’.

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-bats menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”

(23)

33

Dari ketentuan di atas, maka Negara menentukan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu :

1. Hak milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Guna Bangunan 4. Hak Pakai

5. Hak sewa

6. Hak Membuka Tanah 7. Hak memungut hasil Hutan

Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak diatas akan diterapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53. Hak-hak atas tanah tersebut di atas yang bersifat sementara diatur lebih lanjut dalam Pasal 53 ayat (1) , yaitu :

“Hak-hak yang bersifat sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruh h, ialah Hak Gadai , Hak Usaha bagi Hasil,Hak Menumpang dan Hak sewa tanah Pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat”

b. Macam-macam Hak atas Tanah Hak atas Tanah yang bersifat Tetap

1. Hak Milik

Hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah serta mempunyai fungsi sosial. Hak ini memliki beberapa keistimewaan, antara lain seperti : jangka waktunya tak terbatas (berlangsung terus menerus), dapat diwariskan terkuat dan terpenuh.

2. Hak Guna Usaha

Berdasarkan Pasal 28 UUPA Hak Guna Usaha adalah untuk mengusahakan kegiatan Pertanian (perkebunan, pertenakan, perikanan) diatas Tanah Negara selama-lamanua 25 Tahun. Hak ini dapat dialihkan kepada pihak lain, dan hanya WNI atau Badan Hukum Indonesia saja yang dapat memilikinya

(24)

34 3. Hak Guna Bangunan

Berdasarkan Pasal 30 UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan diatas Tanah Negara selama-lamanya 30 tahun dan dapat diperpanjang selama-lamanya 25 tahun, dapat dijadikan kepada pihak lain dan hanya WNI/Badan Hukum Indonesia saja yang dapat memilikinya.

4. Hak Pakai

Berdasarkan Pasal 41 UUPA hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain.

5. Hak Sewa

Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya.

Hak atas Tanah bersifat sementara

1. Hak Gadai

Hak Gadai adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembali tanahnya tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama.

(25)

35 2. Hak usaha bagi hasil

Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengna perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi di antara kedua belah pihak menurut perjajian yang telah disetujui sebelumnya.

3. Hak sewa Tanah Pertanian

Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya.

4. Hak menumpang

Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas pekarangan oran lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang empunya tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah, jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian.

7. Ketentuan tentang Hak Milik a. Pengertian Hak Milik

(26)

36

(1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpeuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.

(2) Hak milik dapat beralih ke orang lain.

Dari ketentuan diatas menerangkan bahwa sifat-sifat yang dimiliki hak milik membedakan dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Dalam penjelasan Pasal 20, menyatakan bahwa pemberian dari sifat ini tidak bersifat mutlak, tak terbatas dan tidak dapat dingganggu gugat, sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Kata-kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainya, yaitu untuk menunjukan bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang terkuat dan terpenuh serta pemegang hak milik atas tanah ini memiliki wewenang yang luas untuk menggunakan tanahnya.

b. Subyek Hak milik

Dalam Pasal 21 UUPA yang dimaksud sebagai subyek hak milik adalah sebagai berikut :

1.Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik;

2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya;

3. Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran hartak karena wahaarisan atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraannya itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan

(27)

37

ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

4. Selama seseorag di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing maka ia dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan ayat (3) Pasal ini

Berdasarkan ketentuan pada ayat (2) hak milik dapat dipunyai oleh badan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, Yaitu sebagai berikut :

a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139)

c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama

d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah ditunjuk Menteri Sosial yang terkait

8. Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 12 tahun 1994 Yang menjadi Subjek pajak bumi dan/atau bangunan adalah :

(28)

38

(1) Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan

9. Pertimbangan Hakim

Penelitian ini terfokus kepada dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara No Nomor : 10/Pdt.G/2017/PN Unr. Menurut Cik Hasan Bisri ,Hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.

Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yag diperiksa dan diadili. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan, maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan (lihat Pasal 164 HIR). Sehingga keputusan yang dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan,kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif. Pada Pasal 5 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman, dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpilan hukum atas fakta yang terungkap dipersidangkan. Untuk itu Hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Menurut R. Soeparmono (1946:

(29)

39

146), sumber hukum yang dapat diterapkan oleh hakim dapat berupa peraturan perundang-undangan berikut peraturan pelaksanaanya, hukum tidak tertulis(hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli. Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus didasarkan pada berbagai pertimbangan yang dapat diterima semua pihak dan tidak menyimpang dari kaidah-kaidah hukum yang ada.

Putusan yang baik harus memenuhi 2 unsur yaitu memenuhi kebutuhan teoritis dan praktis. Kebutuhan teoritis bahwa mengacu pada isinya, maka putusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari sudut ilmu hukum (Juridis Verantwoord), bahkan tidak jarang melalui putusannya hakim dapat membentuk atau menentukan yang baru (penemuan hukum). Kebutuhan praktis adalah dengan putusannya diharapkan Hakim dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan khususnya, masyarakat umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum32. Suatu putusan hakim juga harus mengandung unsur keadilan (ex aequo et bono),unsur kepastian hukum, serta mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik dan cermat.

Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim perlu mencari dasar-dasar atau alasan-alasan secara hukum sebelum sampai kepada putusan. Legal reasoning diartikan sebgai “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana hakim memutuskan perkara/kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasikan hukum

32 Ateng Afandi dan Wahyu fandi, Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata, Bandung, Penerbit

(30)

40

dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum33. Menurut Sudikno Mertukusumo bagi para Hakim Legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sebelum menjatuhkan putusannya harus memperhatikan serta mengusahakan agar jangan sampai putusan yang akan dijatuhkan nanti kemungkinan akan menimbulkan perkara baru.

Menurut Sudikno Mertokusumo , Legal reasoning atau ratio decidendi atau pertimbangan hakim adalah bagian dari putusan pengadilan Indonesia yang mempertimbangkan dasar hukum yang dipakai dalam memutuskan suatu perkara. Menurut Peter Mahmud Marzuki untuk mememukan ratio decidendi dalam suatu putusan biasanya dapat dilihat pada bagian-bagian tertentu. Untuk sampai pada salah satu putusan itu hakim harus menuliskan alasan-alasanya.

Tugas hakim pada dasarnya34 :

a. Mengkonstatir artinya melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya suatu peristiwa yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim harus pasti akan konstateringnya, sehingga ia harus pasti akan kebenarannya itu, tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah tentang adanya peristiwa yang bersangkutan. Selanjutnya hakim harus melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya. Dan peristiwa yang telah dikonstatir sebagai peristiwa tersebut, lalu “Mengkualifisir” nya

33 Tim Peneliti Komisi Yudisial RI, Profesionalisme Hakim : Studi Tentang Putusan Pengadilan Tingkat Pertama dalam Perkara Perdata dan Pidana di Indonesia, Jakarta, Riset: Komisi Yudisial, Jakarta, 2009,hlm.27.

34 1Nur Iftitah Isnantiana, “Legal Reasoning Hakim Dalam Pengambilan Putusan Perkara di Pengadilan”. Vol XVIII No 2, 2017, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, hlm. 47 - 48

(31)

41

b. Mengkualifisir artinya menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi dengan cara memilih kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa hukum dari hasil pemeriksaan di persidangan. Selanjutnya hasil penilaian peristiwa hukum tersebut dihubungkan dengan norma hukumnya. Dengan demikian setelah tahapan ini seorang Hakim harus dapat menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatirnya. Hakim setelah mengkonstatir peristiwa atau kejadian berarti Hakim tersebut mempunyai “solving legal problems” dan ia wajib mencari solusinya atau jawabannya, memang sebenarnya tidak mudah untuk mendapat jawabannya. Tetapi Hakim sebagai seorang yang mempunyai kompetensi memberikan jawabannya harus dapat menemukan hukumya. Oleh karena itu Hakim sebelumnya harus mampu menyeleksi masalahnya dan kemudian merumuskan hukumnya. Setelah itu baru ia menemukan hukumnya. Setelah menemukan hukum dari peristiwa/kejadian itu seorang Hakim harus melakukan pemecahan hukum (legal problems solving)

10. Menemukan Hukum oleh Hakim

Menurut Bernard Arif Sidharta , proses-proses pembuatan putusan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan bernalar Hakim. Kegiatan bernalar dari Hakim dengan beragam motivering yang menopangnya, selalu berada dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir yuridis yang terpelihara dalam sebuah sistem autopoesis, sehingga dapat berkembang menurut logika sendiri, dan eksis sebagai sebuah model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-tugas

(32)

42

profesionalnya35. Proses bernalar dari seorang Hakim harus berdasarkan pada argument dan alasan. Dalam kamus istilah “argument” diberikan arti sebagai alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatau pendapat, pendirian, atau gagasan . Istilah Argumentasi diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Bergargumentasi berarti memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.36

Argumentasi dapat diartikan sebagai mengajukan alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut konklusi, untuk memperkuat menolak suatu pendapat pendirian atau gagasan. Berkaitan tugas Hakim maka dalam hal ini argumentasi yang dimaksud adalah argumentasi hukum, yang berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret,serta sistem hukum dan penemuan hukum. Suatu argumentasi bermakna, hanya dibangun atas dasar logika,adalah suatu “conditio sine qua non” agar suatu keputusan dapat diterima , yakni apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi37. Argumentasi yang merupakan hasil ijtihad Hakim dari pada putusan itu harus dicantumkan dengan jelas dalam pertimbangan hukumnya, dan sesuai dengan sistem penalaran hukum dalam membuat putusan. Hakim dalam membuat argumentasi pada putusannya senantiasa akan menggunakan logika formal dengan menarik kesimpulan dari premis mayor dan

35 Bernard Arif Sidharta. Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. hlm. 206.

36 Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.hlm. 36 37 1Nur Iftitah Isnantiana. Op.cit. hlm 50.

(33)

43

premis minor38. Selain menarik fakta atau peristiwa hukum Hakim harus mensinergikan norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat, baik dari hukum positif, hukum kebiasaan dan norma-norma hukum lainnya. Sehingga putusan tersebut akan terjadi sistematis dan logis dan apabila dibaca dapat diketahui atau dipahami dengan jelas argumen-argumen atau alasan-alasannya.

11. Asas-asas Putusan

Dalam Pasal 178 HIR/189 RGB dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, memuat tentang asas-asas yang harus diterapkan dalam putusan, yaitu sebagai berikut 39 :

1.Memuat Dasar alasan yang Jelas dan Rinci

Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim harus berdasarkan pertimbangan yang cukup dan jelas. Alasan yang dijadikan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum. Dalam Pasal 50 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman memerintahkan Hakim untuk menggali nilai-nilai,

38Algra, K. van Duyvendijk. terjemah J.C.T. Simorangkir. Mula Hukum, Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu Hukum untuk Pendidikan Hukum dalam PengantaruIlmu Hukum, Jakarta: Bina Cipta, 1983.hlm 65.

39Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Penerbit Prenadamedia Group, 2015) Edisi Pertama, hlm, 48.

(34)

44

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan

Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RGB dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan oleh undang-undang

3. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan

Berdasarkan Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RGB dan Pasal 50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntunan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan itu disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan Hakim dengan itikad baik maupun sesuai dengan kepentingan umum.

4. Diucapkan di muka umum

Persidangan dan putusan diucapkan dalam siding pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas Fair trial. Melaui asas ini, pemeriksaan persidangan

(35)

45

harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Prinsip peradilan terbuka un tuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Hal itu tentunya dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara perceraian. Akan tetapi walaupun dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, putusan wajib diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Dalam Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak diucapkan di muka umum berakibat putusan batal demi hukum.

12.Putusan Hakim atas Gugatan Cacat Formil dan Gugatan Tidak Terbukti 1. Gugatan Mengandung Cacat Formil

Dalam Pasal 123 ayat (1) HIR jo SEMA No. 4 Tahun 1996, gugatan tidak memiliki dasar hukum, gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau Plurium litis consortium, mengandung cacat obscuur libel atau melanggar yuridiksi (kompetensi) absolut atau relative dan sebagainya.40

- Jika cacat formilnya dengan alasan surat kuasa, error in persona, obscuur libel, premature, kadaluwarsa, ne bis in idem, maka amar putusannya berbunyi : “Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima”

- Jika cacat formilnya dengan alasan mengenai yuridiksi atau kompetensi, maka amar putusannya berbunyi :

40M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta:Sinar Grafika,2009, hlm 811.

(36)

46

(1) “Menyatakan Tidak Berwenang Mengadili” atau (2) Gugatan Tidak Dapat Diterima

2. Gugatan Tidak Terbukti

Apabila penggugat tidak mampu mengajukan alat buti yang cukup memenuhi batas minimal pembuktian atau tergugat mengajukan bukti lawan yang melumpuhkan atau menyingkirkan eksistensi dan nilai kekuatan pembuktian yang diajukan penggugat maka secara teknis yustisial, penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya , gugatannya mesti ditolak seluruhnya, maka dengan demikian amar putusannya berbunyi :

“ Menolak Gugatan Penggugat Seluruhnya”41

(37)

47 B. HASIL PENELITIAN

1. Asal Usul Tanah

Pada awalnya Tanah beserta bangunan (rumah) diatasnya merupakan milik warga Belanda bernama Mr.Kroes. Yang kemudian tanah tersebut dialihkan kepada PANGDAM VII DIPONEGORO PANGKO KAMTIB JATENG & DIY, dan Mr. Kroes kembali ke Negara Belanda. Pada tanggal 17 Mei 1972 seorang Veteran bernama Hadikusumo mendapat surat keterangan prioritas untuk membeli tanah berdasarkan surat perintah PANGDAM VII/DIPONEGORO PANGKO KAMTIB JATENG & DIY. Nomor :16 /KAMDA/6/1972. Namun sejak tanggal 12 februari 1973 di non aktifkan dan dikembalikan kepada masyarakat. Pada tanggal 03 Mei 1973, Hadikusumo kembali menyewa rumah yang berada diatas tanah dengan membayar sewa untuk tahun 1967-1972 sebesar Rp. 7200,00 ( tujuh ribu dua ratus rupiah), dan untuk sewa tanah pada tahun 1973 sebesar. 3600,00 (tiga ribu enam ratus ribu rupiah). Pada tanggal 24 Mei 1973 Hadikusumo menjual tanah kepada Jasmin (Veteran). Pada tanggal 23 Februari 2002 Jasmin sebagai yang menguasai tanah setelah Hadikusumo mewariskan Tanah tersebut kepada anaknya yang bernama Budi Santoso (penggugat).Bagan 1. Asal UsulTanah

Mr. Kroes (orang Belanda) Mengalihkan tanah ke PANGDAM Tahun 1972 Menjual Tanah ke Hadikusumo (Veteran) Tahun 1973 Menjual Tanah ke Jasmin Tahun 2002 Mewariskan Tanah ke

(38)

48 2. Duduk Perkara

Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah P3MB (Panitia Pelaksanaan Penguasaan Milik belanda) tanah bekas hak eigendom Verp.No 2146 seluas 172 M2 berkedudukan di Lingkungan Bandungan RT.001/RW. 007 Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang dengan batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah Utara : LVRI Maran Bandungan - Sebelah Timur : Sdr. Ramelan

- Sebelah Selatan : Sdr Hendro Susanto dan Sdr Slamet Hadjo Prawito (Wr. Slamet)

- Sebelah Barat : Jalan Sukorini

Duduk perkara dalam sengketa ini bermula dari Hadikusumo menjual tanah tersebut kepada Jasmin (Veteran dan ayah Penggugat) pada tanggal 24 Mei 1973, dengan harga Rp. 55.400,00 (lima puluh lima ribu empat ratus rupiah). Hadikusumo memberikan kuasa ke Jasmin untuk menyelesaikan pengurusan sertifikat dan peralihan hak balik nama. Pada tanggal 15 April 1951 Jasmin melangsungkan perkawinan dengan E. Ngateni dan memiliki 7 orang anak. Pada tanggal 24 April Jasmin meninggal Dunia. Dengan meninggalnya Jasmin pihak yang menguasai tanah, ia mewariskan tanah tersebut kepada Budi Santoso Religius (Penggugat) pada tanggal 23 Februari 2002 dan telah disepakati oleh ahli waris lainnya. Tanah tersebut telah beralih kepada Budi Santoso Religius (Penggugat) dengan proses pewarisan dari Jasmin kepada Budi Santoso Religius (Penggugat). Disaat Hadikusumo menempati rumah tersebut, telah berdiri pula kios-kios diatasnya. Kios-kios ini berdiri pada tahun1972 dan dikuasai oleh para Veteran. Pada Tanggal 5 Juli 1977 terjadi Jual beli kios antara Orang tua Bagus Arya (Tergugat I) dengan Sunarto (Veteran). Jual beli kios terjadi pula pada tahun 1999 antara Hadiyitno selaku Sekretaris Veteran dengan

(39)

49

Alm.Sinah Selaku istri dari Yitno Sukoyo (Tergugat 2). Budi Santoso (Penggugat) merasa dirugikan oleh Para Tergugat karena sejak bulan Desember 2000 Para Tergugat masih menguasai dan menempati kios-kios yang berdiri diatas rumah, sehingga Penggugat tidak dapat menikmati dan menguasai seluruhnya (kios-kios diatas rumah) dan mendalilkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dari penjelasan diatas diketahui bahwa diatas tanah tersebut terdapat 2 objek berupa rumah dan Kios-kios, rumah berada di lantai 1 dan Kios-kios berada di lantai 2. Rumah yang berada di lantai 1 dikuasai oleh Penggugat (Budi Santoso) ,sementara kios-kios yang berada di lantai 2 dikuasai oleh Tergugat 1 (Bagus Arya) dan Tergugat 2 (Yitno Sukoyo). Dimana Penggugat (BS) tidak bisa menguasai kios-kios diatas rumah dengan alasan Para tergugat masih menempatinya sejak Penggugat (BS) mulai menempati rumah tersebut sekitar tahun 2001 hingga saat ini. Penggugat (BS) mendalilkan bahwa ia yang berhak atas tanah dan mempunyai bukti-bukti formil atas tanah tersebut, selain itu Penggugat (BS) sedang dalam pengurusan permohonan atas tanah sehingga menurut Penggugat rumah dan kios-kios diatasnya adalah hak nya karena pada tanah tersebut terdapat 2 objek yang berdiri diatasnya yaitu rumah dan kios-kios. Sementara di sisi lain Para Tergugat yakni Tergugat 1 (Bagus Arya) dan Tergugat 2 (Yitno Sukoyo) sudah menempati kios-kios diatas rumah sejak lama. Tergugat 1(BA) menempati kios sejak tahun 1977 dan Tergugat 2(YS) menempati kios sejak 1973. Menurut Para Tergugat, mereka mempunyai hak atas kios-kios diatas rumah atas dasar jual beli kios, dan menempatinya secara fisik. Selain itu Para Tergugat mempunyai bukti berupa setoran pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atas kios-kios.

(40)

50

Kios BA (Tergugat 1) Tahun 1977

Bagan 2. Duduk Perkara

Agar Pembaca lebih memahami, penulis sajikan dalam bentuk gambar : Lantai 1

Lantai 2

Tanah bekas Hak Asing

Keterangan : Bangunan dan Kios berdiri diatas Tanah dengan alas Bekas Hak Asing . Kios BA (Tergugat 1) dan Kios YS (Tergugat 2) berada diatas Bangunan BS

(Penggugat).

(1973) terdapat Kios-kios yang berada

diatas rumah

yang dikuasai oleh Veteran bernama Darmanto dan

Sunarto

Terjadi peralihan jual beli kios antara Darmanto kepada Sinah ( Istri Tergugat 2 Yitno Sukoyo : YS ) dan Sunarto kepadaTrimo ( ayah Tergugat 1 Bagus Arya : BA) Para Tergugat 1 (BA) dan Tergugat 2 (YS) menguasai kios-kios diatas Rumah sampai sekarang 1972 Hadikusumo

mendapat Surat

Keterangan Prioritas dari PANGDAM untuk membeli tanah

1973 Hadikusumo menjual Tanah kepada Jasmin (ayah Penggugat (Budi Santoso)

Tahun 2002 diwariskan kepada Budi Santoso (Penggugat) Sehingga BS (Penggugat) mendalilkan bahwa Para Tergugat melakukan perbuatan hukum dan

menyebabkan kerugian karena Penggugat (BS) tidak bisa menikmati objek sengketa secara menyeluruh.

Rumah

(Ditempati oleh BS (Penggugat) Tahun 2001 Kios YS (Tergugat 2)

(41)

51 3. Dalil Penggugat (Budi Santoso)

a. Penggugat (BS) mendalilkan bahwa ia berhak atas tanah dengan bukti formil berupa surat keterangan prioritas untuk membeli tanah pemerintah berdasarkan surat perintah PANGDAM yang diberikan kepada Hadikusumo b. Hadikusumo menyewa rumah tanah P.3.M.B bekas R.v.E. Verp. No. 2146 ,

dan membayar sewa rumah untuk tahun 1967 -1972 sebesar Rp. 7200 dan sewa rumah dan tanah pada tahun 1973 sebesar Rp 3600 tanggal 03 mei 1973

c. Berdasarkan surat ketetapan iuran pembangunan daerah Desa Bandungan, Kecamatan Ambarawa, Jenis Tanah adalah leter D dengan Luas : 0,020 ha. Atas nama wajib bayar : R.M.A Hadikusumo

d. Pada tanggal 07 maret 1974, Hadikusumo telah mengajukan permohonan kepada P.3.M.B bekas R.v.E Verp. No. 2146 di Bandungan, Ambarawa seluas 198 M2 Provinsi Jateng. d/a Direktorat Agraria di Semarang.

e. Bukti formil dari pihak penggugat adalah R.M.A Hadikusumo, menjual tanah kepada Jasmin ( Ayah Penggungat sebagai yang menguasai Tanah kedua setelah Hadikusumo melalui proses jual beli dengan Hadikusumo) dengan Harga Rp 55.400,00 pembayaran angsuran Tanah bekas R.v.E Verp. No. 2146 di Bandungan Ambarawa seluas 198 M2,setelah menjualnya Hadikusumo, memberikan kuasa kepada Jasmin untuk mengurus dan menyelesaikan pengurusan sertifikat dan peralihan hak balik nama dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, tahun 1974

f. Sesuai dengan Surat Keterangan Waris yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Bandungan, Kecamatan Ambarawa pada tanggal 23 Februari 2002, dan Ahli waris sepakat untuk memberikan Kepada Budi Santoso Religius ( Penggugat dan/atau pihak yang menguasai tanah ketiga setelah Jasmin melalui proses pewarisan)

g. Desember tahun 2000 Para tergugat telah menguasai dan menempati kios-kios yang berada diatas rumah. Perbuatan yang dilakukan para tergugat tersebut adalah perbuatan melawan hukum dan menyebabkan kerugian bagi

(42)

52

Penggugat karena Penggugat Tidak bisa menikmati dan menguasai objek sengketa tersebut sejak desember tahun 2000.

4. Aspek Alat Bukti

a. Bukti Surat dari Pihak Penggugat

Untuk menguatkan dalil gugatannya Penggugat mengajukan bukti- bukti surat sebagai berikut :

Penggugat (Budi Santoso yang selanjutnya disingkat BS) mendalilkan mempunyai alas hak atas tanah dari Ayahnya yang bernama Jasmin karena proses pewarisan. Jasmin mendapat tanah yang menjadi objek sengketa atas dasar Jual beli dengan Hadikusumo (Veteran). Hadikusumo (Veteran) mendapat Surat Keterangan Priotitas dari PANDAM untuk membeli tanah yang menjadi objek sengketa. Karena sebelumnya Tanah yang menjadi objek sengketa adalah milik orang Belanda bernama Mr. Kroes yang kemudian dialihkan ke PANGDAM. Berikut bukti-bukti surat yang diajukan penggugat dalam persidangan yang akan sekaligus penulis analisis :

1. Surat Keterangan Prioritas untuk membeli tanah pemerintah berdasarkan surat Perintah PANGDAM VII/DIPONEGORO PANGKO KAMTIB JATENG & DIY Nomor : 16 /KAMDA/6/1972. Tanggal 4 Juni 1972. Surat Keterangan Prioritas tidak memberikan alas hak untuk menjadi bukti bahwa Seseorang memiliki tanah. Tanah yang menjadi objek sengketa merupakan Tanah bekas Hak Eigendom yang berarti telah melekat Hak Barat pada tanah tersebut. Seharusnya terhadap Tanah tersebut dilakukan konversi bukan melalui jual beli. Selain itu tidak ada surat bukti bahwa Hadikusumo memang benar nyata membeli tanah tersebut. Hal ini diperkuat lagi dengan bukti.

Referensi

Dokumen terkait

“Estimasi MCMC Untuk Return Volatility dalam Model ARCH dengan Return Melalui Model ARCH”..

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan dukungan suami dan kepatuhan ibu hamil dengan HIV positif dalam mengkonsumsi obat ARV di Puskesmas Sukarahayu Subang.. Jenis

kita bekerja pada R  R  , yang demikian tidak akan terjadi. Darinya, kita memperoleh bahwa. Dengan demikian, himpunan. Menurut terbatas atas. Misalkan memiliki supremum.

Hasil identifikasi formalin pada 10 jenis ikan segar di pasar Mimbo terdapat 8 sampel di antaranya adalah ikan tongkol, ikan kembung, ikan makarel, ikan swangi, ikan bawal,

PKSA dirancang sebagai upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan dan

Secara umum dari model dapat dijelaskan bahwa latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa basal sementara setelah latihan, namun lama-kelamaan akan naik kembali ke

Informatika Kota Pontianak 90,67 Baik 5 PIPIT PANCA LESMONO, A.Md 19800119 201001 1 005 Pengadministrasian Umum Dinas Perhubungan Komunikasi dan.. Informatika Kota Pontianak 87,08

Kualitas bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP kelas IX adalah (1) bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP