• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I P E N D A H U L U A N. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I P E N D A H U L U A N. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan

Konflik antarwarga sering terjadi di Maluku, baik dalam skala kecil maupun besar. Konflik tidak saja terjadi antarpribadi, antargolongan, antaragama, bahkan juga antarsuku. Geososial Maluku yang berbasis kepulauan, dan karenanya disebut “Daerah Seribu Pulau” dengan ribuan kategori sosial-budaya kemasyarakatannya, menampilkan adanya sebuah kondisi obyektif, yaitu perbedaan dan kemajemukan ciri sosial, budaya dan keagamaan yang berbasis komunitas kepulauan.

Kategori-kategori perbedaan tersebut, pada dirinya, selalu mengandung potensi konfik dan damai, di sisi lain, cenderung menampilkan pula adanya prasangka (prejudice) dan gambaran buruk (streotipe) terhadap sesama lainnya sehingga, pada gilirannya akan menjadi pemicu konfik, baik yang bersifat antarwarga, antaretnik maupun antaragama. Realitas konflik begitu menonjol sejak zaman prahistoris, yang kemudian telah membimbing masyarakat memasuki sebuah ambang kesadaran peradaban baru (new civilization) sebagai orang Maluku, di dalam budaya hidup orang Maluku, yaitu budaya orang basudara (budaya orang bersaudara) dengan sebuah pola kehidupan adat yang kuat.

Budaya hidup tersebut ditata dan dikelola, serta diselenggarakan dengan sebuah falsafah yang khas Maluku, yaitu falsafah hidop orang basudara (hidup

(2)

orang bersaudara), sebagai bentuk kearifan lokal (local genius) anak negeri Maluku yang sarat dengan kekayaan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai hidop orang basudara itu saling mengikat, mempertautkan dan mempersatukan masyarakat Maluku di dalam realitas perbedaannya yang kaya. Budaya hidop orang basudara dengan falsafah hidop orang basudara-nya itu, dijaga, dipelihara dan dilestarikan oleh pendukung-pendukung adat dan budaya orang Maluku, yang disebut anak adat dalam kelompok-kelompok adat (seperti uli, pata, lor, dan ur), yang bertaburan di berbagai wilayah kepulauan Maluku. Salah satu wujud empirisnya pada budaya pela-gandong. Berbagai ritus adat selalu digelar secara rutin untuk proses pelestarian budaya hidop orang basudara tersebut, seperti: ritus panas pela, dan panas gandong (Watloly, 2012:241-268).

Falsafah hidop orang basudara dengan budaya pela-gandong-nya, dalam perjalanannya, tidak pernah luput dari ujian yang terus menempa kehidupan masyarakat kepulauan Maluku.Konflik antarwarga yang terjadi antara tahun 1999 sampai tahun 2004 di Maluku telah menyita perhatian banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Konflik berskala besar itu pada satu pihak mengagetkan tetapi pada pihak lain membingungkan, sebab Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki institusi sosial yang kuat, teristimewa budaya pela-gandong (Pieris, 2004: vii).

Konflik-konflik yang ada, jika dibiarkan berlarut akan turut memengaruhi tatanan adat dan budaya yang ada di Maluku beserta nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya masyarakat Maluku

(3)

umumnya mempertegaskan pentingnya kekerabatan, kekeluargaan dan persaudaraan yang erat antaranggota masyarakat adat.

Terdapat bermacam bentuk kearifan lokal (local genius) di Maluku yang selalu dilestarikan. Kearifan lokal tersebut umumnya menjaga keutuhan masyarakat adat, sehingga kini menjadi perhatian penting dalam rangka membangun dan mengembangkan kehidupan masyarakat beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, teristimewa yang bernuansa humanis.

Kearifan lokal (local genius), secara umum menjadi salah satu perhatian penting di era post-modern. Perhatian kepada nilai-nilai budaya suatu daerah muncul sebagai akibat dari berkembangnya kesadaran mengenai sisi suram modernitas dan dengan meningkatnya kritik terhadap sifat anti kemanusiaan yang ditimbulkannya. Terjadi perhatian dan pertimbangan untuk kembali ke bentuk tradisional kehidupan sosial yang ditinggalkan atau dihancurkan oleh modernisasi. Era Post-modern akan memperlihatkan adanya pertimbangan untuk membangun kembali komunitas, pemakaian kembali ikatan sosial primordial, menghidupkan kembali kelompok dan hubungan primer (Sztompka, 2008:96).

Kehidupan kelompok masyarakat adat yang memiliki kekuatan budaya perlu menjadi perhatian, sehingga harus diketahui kedalaman sosio-budayanya (Liliweri, 2001:339). Tujuannya untuk memahami jati diri manusia yang berbudaya dengan nilai-nilai luhur yang melekat pada kehidupan bermasyarakat.

Ife dan Toseriero (2008:451) menyatakan, warisan budaya semestinya tidak dipisahkan, tetapi harus dilihat sebagai bagian yang nyata dari kehidupan masyarakat, sehingga tradisi budaya lokal dapat menjadi faktor sentral dan

(4)

penting untuk interaksi sosial demi pengembangan masyarakat. Pendapat Ife dan Toseriero mengindikasikan betapa pentingnya perhatian pada kearifan lokal yang ada dalam masyarakat.

Kearifan lokal menjadi ciri khas masyarakat yang berbudaya, dan masih menjaga kelestarian nilai-nilai luhur budayanya. Ciri khas masyarakat berbudaya dapat terlihat pada kehidupan anggota masyarakatnya, sehingga nampak pola hidup yang lahir dari pemahaman akan nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat setempat.

Salah satu kearifan lokal di Maluku adalah uli (kelompok) Hatuhaha Amarima Lou Nusa (lebih dikenal dan selanjutnya disebutkan dengan nama Hatuhaha Amarima), yakni suatu kelompok masyarakat adat yang terletak di sebelah Utara pulau Haruku, Kecamatan pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Komunitas masyarakat adat Hatuhaha Amarima terdiri dari lima negeri (desa) yaitu Pelauw, Rohomoni, Hulaliu, Kabauw, dan Kailolo. Kelompok masyarakat Hatuhaha Amarima masih melestarikan nilai-nilai budaya hingga kini. Nilai-nilai budaya masyarakat adat Hatuhaha Amarima penting untuk dikaji secara mendalam, sebab hingga kini masih memegang teguh tradisi, adat dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Persekutuan ini merupakan salah satu u1i yaitu, bentuk ikatan atau persekutuan beberapa aman (negeri, desa) dalam satu wilayah. Uli Hatuhaha Amarima adalah salah satu persekutuan adat yang terdiri dari lima negeri di Pulau Haruku yang penduduknya memeluk agama yang berbeda. Kelima aman itu adalah : 1). Aman Hatu Sima (negeri Pelauw), 2). Aman Hatu Waela (negeri Rohomoni), 3). Aman Hatu Alasi (negeri Hulaliu), 4). Aman

(5)

Hatu Amen (negeri Kailolo), 5). Aman Hatu Hutui (negeri Kabauw). Uli Hatuhaha Amarima merupakan bentuk ikatan kekerabatan serta persekutuan adat, genealogis, teritorial di pulau Haruku (Uhi, 2005:2).

Hatuhaha Amarima terbentuk atas kesadaran masyarakat kelima negeri tersebut karena memiliki nasib yang sama. Kelima negeri tersebut ke luar dari wilayah gunung Nunusaku di pulau Seram karena perang saudara, yang disebut perang Wemale dan Alune. Kelompok Hatuhaha Amarima bersama-sama melakukan perjalanan mengungsi, untuk menyelamatkan diri dari perang Wemale dan Alune. Peperangan tersebut telah memaksakan migrasi secara besar-besaran kelompok Hatuhaha Amarima (Bartels, 1994:36-37), yang diperkirakan terjadi sekitar abad ke – 6 Masehi (Rumahuru, 2012:54). Perkiraan ini didasarkan pada kedatangan orang-orang Cina ke Maluku abad ke – 7 Masehi, di mana ketika itu sudah ada penduduk di pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusalaut (Putuhena, 2006:341).

Para leluhur terpaksa meninggalkan kawasan gunung Nunu saku dan mengembara hingga mencapai bagian utara pulau Haruku, yaitu di daerah pedalaman yang disebut Hatuhaha, di gunung Alaka (Noya, 1995:15). Peralihan tempat tinggal dari kawasan pegunungan Nunusaku di Pulau Seram ke gunung Alaka di Pulau Haruku membuat terjadinya perubahan pada pola hidup dan budaya. Hal ini menunjukan adanya perubahan kebudayaan yang terjadi seirama dengan perubahan hidup bermasyarakat. Perubahan hidup itu terjadi akibat pengalaman baru, pengetahuan baru, situasi baru, dan penyesuaian cara hidup kepada situasi baru. Sikap mental dan nilai budaya turut berubah dan

(6)

dikembangkan sesuai integrasi dalam kehidupan bermasyarakat (Bakker, 2000:113). Integrasi dalam kehidupan bermasyarakat memiliki dua prinsip yang inheren dalam kehakikatan sesuatu, yaitu semangat perubahan dan semangat pemeliharaan, dimana tidak ada sesuatu yang riil tanpa keduanya. Bakker (2000:114) menjelaskan, perubahan yang paling berharga terjadi di dalam masyarakat, di mana ketahanan mental-rohani selalu sanggup memperbaharui dirinya oleh daya kritik diri, refleksi, dan daya cipta.

Situasi tempat tinggal baru telah memaksakan masyarakat Hatuhaha Amarima menjalani cara kehidupan yang baru. Hatuhaha adalah tempat di mana kelima negeri membentuk suatu kesatuan masyarakat yang bersifat genealogis teritorial. Masyarakat Hatuhaha Amarima kemudian mendirikan sebuah baileo (rumah adat) sebagai pusat upacara adat dalam keagamaan asli masyarakat di Maluku (agama suku). Rumah adat juga berfungsi sebagai pusat peribadatan sesuai kepercayaan yang dianut. Durkheim (2006:251) menyebutkan “Agama Asli”, yaitu agama yang paling primitif, sebab agama tersebut tidak dapat dipisahkan dari organisasi sosial yang ada dalam suatu masyarakat adat.

Kepercayaan religius masyarakat Hatuhaha Amarima sebagai “Agama Asli” bertahan sampai masuknya agama Islam ke pulau Haruku. Lima negeri kemudian menyatakan diri menjadi pemeluk agama Islam. Subagya (1979:24) menyebutkan peralihan ke agama Islam dengan ajarannya merupakan langkah besar ke arah kemajuan. Masuknya agama baru (awalnya agama Islam) dalam persekutuan Hatuhaha Amarima makin beragam lagi dengan datangnya bangsa Barat. Portugis menang pada perang Alaka I (Bartels, 1978: 118), sehingga

(7)

memaksakan salah satu negeri, yaitu Hulaliu turun ke daerah pesisir dan kemudian memeluk agama Kristen (Katolik). Pengaruh Portugis tersebut tidak berlangsung lama, sebab Belanda mengambil alih kekuasaan, setelah menang dalam perang melawan Portugis. Belanda segera mengeluarkan instruksi agar penduduk yang berdiam di daerah pegunungan turun ke pantai. Penduduk menolak instruksi tersebut sehingga terjadilah perang Alaka II yang berlangsung dari tahun 1637 sampai tahun 1638 (Leirissa, dkk., 1983:34-36). Belanda mengalami kekalahan sehingga menggunakan cara pemblokadean ekonomi. Blokade ekonomi berhasil melumpuhkan perlawanan masyarakat Hatuhaha Amarima. Akibatnya, masyarakat Hatuhaha Amarima meninggalkan tempat tinggal di Hatuhaha, turun dan menetap di daerah pesisir sampai sekarang. Masyarakat Hatuhaha Amarima mengalami perubahan kepercayaan religius dan perubahan cara hidup, yang oleh Earhart (1993:26) hal tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup masyarakat setempat (internal experience). Masyarakat Hatuhaha Amarima yang terbentuk dari masa sebelum penjajahan sampai sekarang tidak meninggalkan adat, tradisi dan budaya asli. Bahasa daerah, termasuk bahasa Hatuhaha, memang pernah dilarang penggunaannya dalam kekristenan sejak zaman Belanda (Cooley, 1987: 93-96), namun ternyata hingga kini masyarakat Hulaliu masih terus menggunakannya. Bahasa Hatuhaha kini menjadi salah satu mata pelajaran (Muatan Lokal) yang diajarkan pada sekolah-sekolah di kelima negeri. Perhatian akan pentingnya bahasa asli Hatuhaha sangat beralasan, sebab Boas (1955:13) mengungkapkan, bahwa intermediasi antara bahasa dan mitos yang terjadi dalam suatu masyarakat

(8)

adat akan melahirkan kreativitas-kreativitas yang artistik.

Masyarakat Hatuhaha Amarima menjalani hidup dalam kemajemukan keyakinan, tetapi tetap melestarikan ciri-ciri pribadi Hatuhaha Amarima. Masyarakat Hatuhaha Amarima tetap dalam ikatan sebagai masyarakat adat. Pengaruh berbagai agama baru tidak membuat berubahnya hubungan kekerabatan dan persaudaraan, justru menjadikan Hatuhaha Amarima tetap dalam keutuhan dengan tradisi hidup (budaya dan adat) yang tetap kokoh. Keutuhan masyarakat tetap terjadi meskipun Islam dianut oleh keempat negeri (Pelauw, Rohomoni, Kabau dan Kailolo) dan Kristen dianut oleh negeri Hulaliu. Agama Islam dan Agama Kristen tidak menghilangkan ikatan Hatuhaha Amarima dengan budaya dan tradisi. Masyarakat Hatuhaha Amarima masih tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang ada dalam budaya Hatuhaha.

Perubahan zaman selalu disertai dengan perubahan budaya dan peradaban. Perubahan peradaban, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan memengaruhi tingkah laku manusia, baik terhadap alam maupun sesama manusia (Sztompka, 2008:25-26). Sztompka (2008:85-90) pada bagian lain menyebutkan, seluruh kehidupan sosio-budaya, etik-moral, estetika, eko-lingkungan, religiositas, dan pandangan tentang keberagamaan juga mengalami perubahan. Kehidupan manusia penuh persaingan, sehingga berdampak pada menonjolnya pola hidup individualistis. Modernitas menimbulkan efek ambivalen, yaitu bukan hanya menguntungkan melainkan juga merugikan, dan ada kalanya menimbulkan kerusakan yang sangat tragis. Kemungkinan adanya perang nuklir, kerusakan lingkungan, runtuhnya transaksi kerjasama ekonomi global, dan potensi kerusakan

(9)

global lain memberikan sebuah cakrawala bahaya yang mengerikan (Giddens, 2005:163-165).

Sztompka (2008:91-93) menyebutkan bahwa dalam zaman modern manusia menjadi tidak berperikemanusiaan yang ditandai dengan sifat buas, egois, individualistis, dan siap bertempur untuk mempertahankan kepentingannya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Kehidupan sosio-budaya yang santun, etika hidup yang berbudaya, budaya hidup rukun dan damai, bekerjasama dan bekerja bersama-sama, budaya hidup dalam kecukupan dan kesederhanaan, budaya melestarikan alam, budaya ketimuran yang selalu beradab dan berperi- kemanusiaan, bukan saja telah menurun melainkan menuju ke masyarakat yang kehilangan identitas budayanya, termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya.

Cornelis Anthonie van Peursen (1988:17-19) menegaskan, perubahan zaman yang disertai dengan perkembangan kebudayaan umumnya terdiri atas tiga tahap perkembangan kebudayaan, yakni tahap mitis, tahap ontologi, dan tahap fungsional. Tahap-tahap perkembangan budaya ini menjadi penting untuk melihat perkembangan budaya pada masyarakat Hatuhaha Amarima.

Kenyataan suasana persaudaraan dalam kehidupan masyarakat Hatuhaha Amarima yang berlangsung pada setiap tahap perkembangan kebudayaan yang ada di komunitas Hatuhaha Amarima mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang mendalam dengan judul “Hatuhaha Amarima Lou Nusa dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan Cornelis Anthonie van Peursen dan Relevansinya dengan Keutuhan Bangsa Indonesia: Studi pada Masyarakat Adat di Pulau Haruku,

(10)

Maluku Tengah”. Kajian ini dititikberatkan pada upaya mengungkap dinamika historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima, serta menemukan hakikat Hatuhaha Amarima. Telaah atas Hatuhaha Amarima dilakukan dalam perspektif filsafat kebudayaan melalui pemikiran van Peursen untuk menemukan makna dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Penelitian disertasi ini dilakukan juga untuk menemukan relevansinya dengan keutuhan bangsa Indonesia.

2. Rumusan Masalah.

Permasalahan pokok yang akan diteliti dalam studi ini adalah:

1. Apa yang menjadi dinamika historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima?

2. Apa hakikat Hatuhaha Amarima?

3. Apa relevansi nilai-nilai budaya Hatuhaha Amarima dengan keutuhan bangsa Indonesia?

3. Keaslian Penelitian.

Beberapa penelitian yang pernah membahas keberadaan kesatuan Hatuhaha Amarima. Noya (1995) pernah melakukan penelitian, dan mengungkapkannya dalam tulisan yang berjudul “Nunulau Malaka: Sejarah Kesatuan Hatuhaha Amarima”. Penelitian Noya difokuskan pada sejarah Hatuhaha Amarima menurut masyarakat Hulaliu. Data penelitiannya didapat hanya pada salah satu negeri dari kelima negeri dalam Hatuhaha Amarima. Noya mendeskripsikan persekutuan Hatuhaha yang terdiri atas lima negeri, yaitu

(11)

Pelauw (negeri Islam), Hulaliu (negeri Kristen), Rohomoni (negeri Islam), Kailolo (negeri Islam) dan Kabauw (negeri Islam). Penelitian Noya bertujuan mempertegas hubungan genealogis dari kelima negeri tersebut dalam perspektif sejarah.

Sopacua, Pattinama dan Noya (dalam Sahusilawane, F, ed, 1996) melakukan penelitian dan membahas perang masyarakat Hatuhaha Amarima melawan Portugis dan Belanda. Hatuhaha Amarima, secara singkat diuraikan dalam perspektif sejarah peperangan masyarakat Maluku melawan bangsa penjajah. Penelitiannya tidak difokuskan pada kehidupan sosio-budaya masyarakat Hatuhaha Amarima.

Pattikayhatu dan Manuputty (1998) telah melakukan penelitian pada komunitas masyarakat Hatuhaha Amarima, dan menulis hasil penelitian tersebut dengan judul “Sejarah Lokal Maluku: Uli Hatuhaha”. Penelitian dan penulisan ini terfokus pada sejarah Hatuhaha Amarima yang isinya tidak meluas, dan tidak mencakup aspek kebudayaan Hatuhaha Amarima.

Uhi (2005) pernah melakukan penelitian pada kehidupan ikatan masyarakat Hatuhaha Amarima. Penelitian tersebut berpusat pada kehidupan beragama masyarakat Hatuhaha Amarima. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam tulisan tesis yang menekankan kehidupan beragama masyarakat Hatuhaha Amarima sebagai ajang membangun teologi pluralistis yang kontekstual. Uhi lebih mendeskripsikan fenomena hidup beragama dari masyarakat Hatuhaha Amarima yang kajiannya diuraikan secara teologis.

(12)

Penelitian-penelitian tersebut memberikan perhatian pada objek formal yang berbeda. Noya memfokuskan penelitiannya pada segi sejarah terbentuknya Hatuhaha Amarima secara genealogis. Sopacua, Patinama dan Noya mengkajinya dari aspek sejarah perang Hatuhaha, dimana Hatuhaha Amarima dilihat sebagai sebuah kerajaan, yaitu kerajaan Alaka. Hal yang sama juga terlihat pada hasil penelitian Pattikayhatu dan Manuputty. Uhi membahas Hatuhaha Amarima dari sudut Teologi sehingga tidak ada unsur kesamaan atau kemiripan dengan penelitian disertasi ini.

Peneliti mengkaji secara mendalam kehidupan masyarakat Hatuhaha Amarima pada aspek yang berbeda dari sebelumnya, yaitu dari sudut pandang filsafat kebudayaan. Penelitian ini menyajikan suatu penulisan yang sangat berlainan dari penulisan-penulisan sebelumnya. Meskipun objek material dari penelitian dan penulisan ini pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, namun penelitian ini didekati dari sudut pandang yang berbeda. Begitu pula dengan objek formalnya. Hal ini berarti yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek formal dan pendekatan analisisnya, sehingga keaslian dari penelitian dan penulisan ini dapat dipertanggung-jawabkan.

4. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini secara akademis dapat memberikan manfaat pemikiran bagi:

1. Ilmu pengetahuan, di mana penelitian ini diharapkan dapat menambah perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengkaji kebudayaan

(13)

daerah sebagai suatu kearifan lokal yang harus dipertahankan dan dikembangkan. Penelitian ini masih merupakan penelitian baru sehingga diharapkan hasilnya dapat memperluas dimensi pengetahuan budaya sekaligus dimensi materiil dari kajian filsafat.

2. Filsafat, teristimewa dalam pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya pada bidang filsafat kebudayaan guna memecahkan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan dewasa ini. Hasil penelitian dapat menambah inventarisasi informasi filsafat dengan konteks kedaerahan yang tersusun dengan baik dalam bentuk hasil penelitian. hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan mengembangkan filsafat nusantara. 3. Bangsa Indonesia. Penelitian ini secara praktis dapat memberikan manfaat

bagi bangsa Indonesia yang beranekaragam budaya, etnis, suku, agama dan ras dalam menjaga nilai-nilai budaya demi menjaga keutuhan bangsa dan terciptanya kehidupan masyarakat yang damai. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan refleksi bagi masyarakat lokal dan masyarakat luas untuk melihat sejauhmana nilai-nilai budaya dapat dijaga dan dilestarikan dalam praktik hidup bermasyarakat demi menjaga keutuhan kekerabatan dan persaudaraan sebagai bangsa.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengungkapkan dinamika historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima.

(14)

2. Mengungkapkan hakikat Hatuhaha Amarima.

3. Mengungkapkan relevansi nilai-nilai budaya Hatuhaha Amarima dengan keutuhan bangsa Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Hatuhaha Amarima Lou Nusa (biasanya disebut Hatuhaha Amarima) berarti di pulau (Haruku) berkumpul lima negeri di atas batu. Hatuhaha Amarima merupakan kelompok masyarakat yang terdiri dari lima negeri (Pattikayhatu dan Manuputty, 1998).

Hatuhaha Amarima muncul dari kesadaran diri sebagai orang-orang yang ke luar dari kenyataan keterpurukan hidup, akibat situasi perang saudara di kawasan gunung Nunusaku. Orang-orang yang mengungsi dari kawasan gunung Nunusaku bergumul dalam penderitaan dan ketidak-pastian masa depan dan berkeinginan memunculkan ada-nya sebuah kelompok masyarakat, yaitu Hatuhaha Amarima yang menghargai kekeluargaan dan persaudaraan sejati sepanjang zaman. Masyarakat Hatuhaha Amarima kemudian berkumpul dan bermusyawarah di sekitar gunung Alaka untuk membentuk dan mengelompokkan diri dalam satu ikatan yang disebut Hatuhaha Amarima Lou Nusa. Hatuhaha Amarima pada masa perkembangannya menjadi sebuah kekuatan politik dengan mendirikan “kerajaan Alaka” (Noya, 1987).

Masyarakat Hatuhaha Amarima memiliki sejarah perjuangan yang panjang dan berat untuk dapat mempertahankan keberadaannya. Perang melawan

(15)

Portugis dan Belanda, yang disebut perang Alaka, tidak dapat menghancurkan kekuatan keutuhan Hatuhaha Amarima (Lestaluhu, 1988).

Tatanan sosial Hatuhaha Amarima menampilkan adanya suatu relasi yang intens antara seseorang dengan orang lain, baik dalam salah satu negeri pada Hatuhaha Amarima, ataupun seseorang dengan orang lain di luar komunitas negerinya, namun masih dalam lingkup Hatuhaha Amarima. Salah satu ciri khas tatanan sosial yang erat, yang memperlihatkan sikap kekerabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan adalah bahasa Hatuhaha. Bahasa Hatuhaha menjadi salah satu ciri khas Hatuhaha Amarima, dalam kaitan dengan tatanan sosialnya. Tatanan sosial Hatuhaha Amarima ini dapat terlihat dalam aktivitas-aktivitas adat, budaya, dan agama, serta relasi-relasi non formal lainnya. Terkadang memang ada persinggungan, namun hal itu tidak menjadi halangan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya di dalam relasi sosialnya. Nilai-nilai-nilai budaya itulah yang menguatkan relasi social dan kerja sama Hatuhaha Amarima (Bartels, 1978).

Barbu (1971: 17-18) mencatat bahwa di dalam suatu kelompok, apalagi kelompok masyarakat, selalu terdapat kerja sama dan ada pembagian kerja di dalamnya. Kerja sama dan pembagian kerja terlihat pula dalam pola organisasi Hatuhaha yang memiliki pembagian tugas, dan dipimpin oleh Pati Hatuhaha (pemimpin tertinggi). Hatuhaha Amarima menjadi organisasi yang kuat pada zaman itu, dan memiliki simbol atau lambang dengan nama “Saira Nunu Lau Malaka” (beringin daun halus).

Anggota Hatuhaha Amarima memiliki relasi sosio-budaya yang erat antara kelima negeri tersebut. Relasi sosio-budaya tersebut mencerminkan suatu

(16)

hubungan, baik secara geneologis maupun hubungan antarmanusia yang terpencar di pedalaman pulau Haruku, yaitu dalam bentuk rumatau (keluarga). Pelauw, di dalam persekutuan Hatuhaha Amarima, berkedudukan sebagai pemimpin, sekaligus menempati kedudukan tertinggi, disusul oleh Rohomoni, Hulaliu, Kabau dan Kailolo. Interaksi sosial – budaya (sosio-cultural) yang terjalin dalam nuansa kekerabatan, kebersamaan dan persaudaraan yang telah ada sejak dahulu kala masih dipertahankan. Interaksi sosial-budaya terungkap dalam salah satu kapata (nyanyian adat) yang isinya berbunyi :

"Henamasa Ami loto Eri Allaka-o.

Puna lsu Ama Eke Amarima Hatuhaha-o. Ao Olo Ruma-e Eke Ruma S'igito.

Tanita-e-tanita-le-Maso- muso Soki-c- tanita. Kuru-e-Ume Kuru-Lau parutu.

Eke Ama Hatuhaha Amarima Lou Nusa ". Artinya :

Kemarin kita di gunung Allaka.

Kita membangun lima negeri di atas batu. Kita bangun rumah Masjid.

Kita membangun kesatuan yang lebih besar.

Masuk keluar gunung-gunung. Turun untuk bergabung.

Negeri di atas batu, lima negeri berkumpul di pulau". (Sahusilawane dkk, 1998: 26).

Kapata ini menunjukkan terbentuknya kesatuan Hatuhaha yang berintikan hubungan sosial budaya yang erat antarnegeri : Pelauw, Rohomoni, Hulaliu, Kabau, dan Kailolo. Kesatuan Hatuhaha Amarima, melalui kapata di atas mencerminkan suatu hubungan kekerabatan, kekeluargaan dan persaudaraan yang rukun dan damai.

Toynbee (2005 : 2-3) menegaskan, semua komponen yang ada dalam sebuah masyarakat selalu ditemukan dalam kesaling-terkaitannya dengan yang lain.

(17)

Masyarakat Hatuhaha Amarima juga berada dalam hubungan kesaling-terkaitan yang kuat antara satu dengan lainnya. Negeri Hulaliu (negeri Kristen) berada di tengah-tengah negeri yang lain (negeri-negeri Islam) dan menjalin hubungan yang erat dan harmonis. Posisi masyarakat Hulaliu di konteks Hatuhaha Amarima memiliki ciri tersendiri, karena menunjukkan sebuah konsistensi sosio-historis dengan saudara serumpunnya yang beragama Islam di desa lainnya dalam sebuah tradisi hidup yang khas dan mendalam. Konsistensi sosio-historis inilah yang menjadikan budaya hidup masyarakat Hatuhaha Amarima tetap memiliki nilai-nilai luhur sebagai orang bersaudara.

D. Landasan Teori

Kebudayaan selalu diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang (van Peursen, 1988:10), sehingga kebudayaan, kini dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, bukan hal yang kaku atau statis. Kebudayaan tidak lagi diartikan sebagai sebuah koleksi barang-barang kebudayaan. Van Peursen berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang dalam realitasnya selalu dinamis. Manusia, sebagai landasan ontologis kebudayaan, bukan saja memiliki ada berupa fakta diri yang fisik biologis apa adanya, tetapi juga memiliki dinamika keber-ada-an berupa peristiwa eksistensi yang hakiki.

Van Peursen (2003: 123) menegaskan, kebudayaan selalu mengingatkan orang pada sesuatu yang khas, sesuatu yang tidak termasuk hal-hal sehari-hari, sehingga kebudayaan sebenarnya menyangkut manusia itu sendiri. Artinya,

(18)

berbicara tentang kebudayaan berarti fokus pembicaraan selalu menyangkut hak cipta manusia. Van Peursen, dalam hal ini menyatakan bahwa kebudayaan baru ada dan berfungsi jika berada di dalam jangkauan manusia. Kebudayaan dapat bermakna apabila dilihat dalam eksistensi dan rencana hidup manusia.

Van Peursen juga menyebutkan bahwa alam semesta merupakan bagian yang turut memengaruhi manusia dalam menciptakan budaya. Artinya, suatu kebudayaan membuat sebuah gambaran dari dunia secara tertentu, sehingga dunia di dalam gambaran kebudayaan tertentu juga memperoleh corak yang khas, yang disebut cultural context, yakni konteks kebudayaan (van Peursen, 1975: 24).

Penjelasan landasan ontologi budaya yang dibuat oleh van Peursen menegaskan bahwa kebudayaan meliputi seluruh wilayah praksis manusia, yang berlangsung secara sadar maupun tidak sadar (van Peursen, 1988: 181). Artinya, dalam setiap proses budaya manusia akan menjadi manusiawi yang sesungguhnya. Kebudayaan manusia tersebut muncul sebagai pengungkapan roh, baik dalam aspek objektif maupun subjektif.

Berkaitan dengan landasan epistemologi budaya, van Peursen (1980: 26) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan upaya manusia memahami sesuatu yang disadarinya, sekaligus dalam memahami itu manusia memahami dan menyadari dirinya. Andaikata manusia hidup, terkurung dalam dirinya, manusia tidak dapat memahami atau mengetahui sesuatu, sehingga tidak mampu menghasilkan suatu budaya. Van Peursen, dalam hal ini, menegaskan bahwa mengetahui sesuatu selalu mengandaikan adanya perbedaan antara “aku” dengan “yang lain”, tetapi “yang lain” juga dapat berupa kesadaran diri sendiri. Artinya,

(19)

dalam epistemologi budaya, pengetahuan budaya selalu menyangkut jalinan relasi antara subjek dan objek.

Nilai-nilai budaya akan selalu berkaitan dengan fakta. Pernyataan ini terlihat pada penjelasan van Peursen tentang nilai. Van Peursen (1990: 58) mengungkapkan bahwa fakta adalah pembatasan terhadap realitas yang lebih jelas, di mana manusia terlibat dalam percakapan terus-menerus tentang makna nilai. Artinya fakta tidak mendahului nilai. Sebaliknya, nilai selalu merupakan akar dari fakta, sehingga reduksi nilai menjadi fakta.

Van Peursen (1988:17-18) menjelaskan, ada tiga tahap perkembangan kebudayaan. Ketiga tahap tersebut memperlihatkan sesuatu yang terkandung dalam setiap kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan kebudayaan itu, antara lain:

1). Tahap mitis, yakni sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh adanya kekuatan gaib sekitar.

2). Tahap ontologis, yaitu sikap manusia yang tidak hidup dalam kekuatan mitis, tetapi bebas meneliti segala hal yang terjadi disekitarnya dengan cara menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu dan tentang segala sesuatu menurut perinciannya.

3). Tahap fungsional, yakni sikap dan alam pikiran yang terlihat dalam manusia modern, di mana terdapat relasi-relasi baru mengenai kebertautan antara sesuatu yang baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya. Van Peursen (1988:34-35) menyatakan bahwa tahapan dalam perkembangan kebudayaan yang meliputi tahap mitis selalu dikaitkan dengan adanya kekuatan-kekuatan ajaib di alam semesta. Sikap ontologi berusaha

(20)

menampakkan dunia transenden, dunia yang diketahui manusia, bahkan menyelidiki sesuatu yang dapat dimengerti. Akhirnya, pada tahap fungsional berusaha untuk mendapatkan arti dan maknanya melalui ilmu pengetahuan, yang sudah menyangkut hubungan pertautan dan relasi. Pendapat van Peursen mengindikasikan bahwa memahami kebudayaan harus diketahui faktor ontologinya, agar proses beradanya suatu kebudayaan dapat diketahui secara jelas sehingga terlihat unsur-unsur yang berperan dan memengaruhinya.

Van Peursen (1990:72) mengatakan, semua kebudayaan di dunia mengalami suatu periode perubahan yang mendalam. Nilai-nilai lama sering terlihat tidak berguna lagi dan generasi muda menolak nilai-nilai tersebut, sehingga nilai-nilai budaya yang ada selalu berkembang.

E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian filsafat dengan pendekatan kualitatif. Caranya, melakukan penelitian pustaka yang kemudian diperkuat dengan observasi dan wawancara di lapangan. Objek material penelitian ini adalah kehidupan kelompok masyarakat budaya (Kaelan, 2005: 300-304), yaitu Hatuhaha Amarima. Peneliti akan meneliti konsepsi dasar yang meresapi seluruh hidup suatu kelompok berbudaya dan salah satu fenomena sentralnya, serta apa yang pada umumnya menghidupkan suatu kelompok atau ikatan masyarakat adat dan memberikan stabilitas dan identitas kepadanya (Sudarto, 2002: 120-121).

(21)

Data yang dikumpulkan menyangkut latar belakang hidup masyarakat Hatuhaha Amarima. Seluruh alasan-alasan dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh anggota-anggota kelompok masyarakat budaya tentang kebiasaan dan perilaku hidup mereka juga dikumpulkan (Bakker dan Zubair, 2009: 93-94).

Sumber primer penelitian ini meliputi data atau tulisan tentang masyarakat Hatuhaha Amarima (objek material) dan buku-buku atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan filsafat kebudayaan dari Cornelis Anthonie van Peursen (objek formal). Sumber primer dari objek material meliputi buku-buku karangan:

1. G. E. Rumphius, 1695, D’Ambonsche Landbeschrijving, Den Haag (manuscript K.B).

2. G. E. Rumphius, 1910, De Ambonsche Historie, Behelsende Een kort Verhaal Der Gedenkwaardigste Geschiedenissen zo in Vreede als oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische Comp: Het Besit in Amboina Gehadt Heeft.

3. Odo Deodatus Tauren, 1918, Patasiwa und Patalima, Dom Molukkeneiland Seran und Seinen Bewohnern Ein Beitrag dur Delforfunde, Derlag Leipzig.

4. Boulan, M. Christina, 1983, Uru, Son of The Sunrise, Universite Libra de Bruxelles, Paris.

5. Dieter Bartels, 1994, In de Schaduw van de Berg Nunusaku, Landelick Steunpunt Edukatie Molukkoes, Utrecht.

(22)

7. H. J. de Graaf, 1977, De Geschiedenis van Ambon en de Molukken,n Uitgeverijt Wever B.V. Franeker.

Sumber primer lain dari objek material akan didapatkan dari pelaksanaan penelitian di lapangan. Data lapangan akan dikumpulkan secara sosiologis dan antropologis, ditabulasi dan korelasinya merupakan pokok penelitian (Bakker dan Zubair, 2009: 95). Data lapangan akan dikumpulkan dalam bentuk hasil observasi yang didapatkan dengan cara melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian, yakni di kelima negeri Hatuhaha Amarima. Pengamatan tertuju pada aktivitas sesehari dari masyarakat, maupun pada acara-acara budaya. Data lapangan juga akan dikumpulkan dalam dari hasil wawancara kepada kelima raja dalam komunitas Hatuhaha Amarima, kepala-kepala adat, dan tokoh-tokoh masyarakat. Peneliti, dalam hal ini, melakukan wawancara baik secara formal maupun non-formal, sehingga tidak terbatas atau dibatasi oleh ruang dan waktu. Wawancara dapat dilakukan di dalam ruangan dengan waktu yang telah disepakati, namun juga dapat dilakukan di tempat lain dengan waktu yang tidak ditentukan. Data tersebut juga akan dijadikan oleh peneliti sebagai bahan mentah, dan selanjutnya dikaji dalam perspektif filsafat. Bahan tersebut dikumpulkan, selanjutnya diberikan hermeneutik, pemaknaan dan memberi nilai. Penelitian ini juga menyangkut masa lalu dari Hatuhaha Amarima, sehingga hermeneutik penting untuk dilakukan, sebagaimana yang ditekankan oleh Gadamer, bahwa hermeneutik harus dapat dipenuhi dalam setiap kasus, termasuk dalam penggabungan secara arif terhadap seluruh masa lalu dengan masa kini (Gadamer, 2004: 410).

(23)

Sumber primer dari objek formal meliputi buku-buku karangan Cornelis Anthonie van Peursen, antara lain: Korte Inleiding In de Existentiephilosophie (1951), Phenomenology and Reality (1972), Itu Tuhan: Beberapa Renungan Mengenai Arti Kata Tuhan (1974), Orientasi di Alam Filsafat (1980), Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengentar Filsafat Ilmu (1985), Strategi Kebudayaan (1988), Tubuh Jiwa Roh: Sebuah Pengantar dalam Filsafat Manusia (1988), Fenomenologie en analytische filosofie (tanpa tahun), Na Het Postmodernisme: van Metafysica tot Filosofisch Surrealisme (1994), Fakta, Nilai, Peristiwa: Tentang Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan dan Etika (1990), Menjadi Filsuf: Suatu Pendorong ke Arah Berfilsafat Sendiri (2003), Berpikir Secara Kefilsafatan; Bab V - Filsafat Manusia (tanpa tahun).

Data pendukung berupa keterangan tambahan dari luar sumber primer juga menjadi faktor kontributif yang penting dalam penelitian ini. Data pendukung tersebut berupa tulisan-tulisan lain yang mencakup objek material maupun objek formal.

Penelitian ini secara fundamental, juga bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya (Moleong, 2001: 3). Keberlangsungan penelitian dalam latar yang wajar atau alamiah, prosesnya berbentuk siklus. Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif, karena pendekatan ini ditujukan untuk mendeskripsikan, menggambarkan, serta melukiskan suatu pemikiran atau pandangan hidup filosofis (Kaelan, 2005: 57).

(24)

Peneliti terjun ke lapangan untuk mengamati objeknya, menjelajah dan menemukan wawasan-wawasan baru. Penelitian terus-menerus di-reformulasi dan di-redireksi ketika menemukan informasi-informasi baru (Rakhmat, 1971: 24-26). Peneliti, dalam hal ini harus memiliki sifat yang reseptif, yaitu selalu mencari, dan bukan menguji. Peneliti harus memiliki kekuatan integratif, yaitu memadukan berbagai macam informasi yang diterimanya menjadi satu kesatuan penafsiran. Peneliti bukan saja menjabarkan, tetapi juga memadukan. Peneliti merupakan instrumen utamanya dan analisis datanya dilakukan secara deskriptif-kualitatif.

2. Jalan Penelitian

Jalannya penelitian ini akan melalui beberapa tahap, yaitu : a. Pengumpulan Data.

Proses pengumpulan data dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu pertama, pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, di mana peneliti akan melalukan eksplorasi data berupa buku-buku, jurnal, laporan penelitian, artikel-artikel, berbagai tulisan yang berkaitan dengan Hatuhaha Amarima. Kedua adalah observasi, yaitu pengamatan langsung di lapangan. Proses observasi dilakukan dengan pola pengamatan dan pencatatan sesuai kebutuhan penelitian. Observasi berguna untuk menjelaskan, memeriksa dan merinci gejala yang terjadi. Observasi yang digunakan adalah observasi tidak berstruktur yang berarti peneliti lebih bebas dan lebih lentur (flexible) dalam mengamati peristiwa. Ketiga adalah

(25)

wawancara (guide interview) yang dilakukan untuk mendapatkan kedalaman informasi (pedoman wawancara terdapat pada lampiran 1). Hasilnya berupa data kualitatif dari wawancara dengan subjek penelitian. Peneliti akan menggunakan tape recorder untuk merekam setiap percakapan dalam wawancara (jika disetujui oleh orang yang diwawancarai). Wawancara dilakukan dengan para raja dari kelima negeri dalam Hatuhaha Amarima, orang-orang yang dituakan dalam masyarakat Hatuhaha Amarima, tokoh-tokoh agama, beberapa tokoh pemuda dan anggota-anggota masyarakat Hatuhaha Amarima yang dianggap penting, entah yang ada di dalam maupun di luar kelima negeri Hatuhaha Amarima. Wawancara akan dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur, disengaja atau tidak disengaja, dan dinyatakan atau tidak dinyatakan di lapangan. Wawancara dilakukan dengan menyesuaikan kondisi informan di lapangan. Keempat adalah dokumentasi. Dokumentasi dilakukan dengan merekam, menyalin data, dan memfoto data yang berguna untuk kebutuhan penelitian dan dianggap penting untuk mendukung hasil penelitian.

b. Reduksi Data.

Reduksi data dilakukan dalam rangka menulis ulang, secara terperinci tentang data yang diperoleh di lapangan. Penulisan data ulang dilakukan secara sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan.

c. Klasifikasi data.

(26)

data-data dikelompokkan berdasarkan ciri khas masing-masing sesuai dengan objek formal penelitian.

d. Display data.

Display data dilakukan untuk membuat berbagai macam pengklasifikasian sistematisasi sebab terlalu banyaknya data yang dikumpulkan. Display data bertujuan agar peneliti dapat mengetahui dan menguasai data-data yang ada. Display juga merupakan bagian dari kegiatan analisis (Kaelan, 2005: 212). e. Kesimpulan.

Tahap berikutnya adalah mengambil kesimpulan yang mula-mula sifatnya tentatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data kesimpulan tersebut tidak lagi bersifat “grounded”. Kesimpulan itu akan diverifikasi selama penelitian berlangsung dan dilakukan beberapa kali dengan menggunakan hukum-hukum logika, yaitu induktif apesteriori.

3. Analisis Data

Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan dua model analisis, yaitu: analisis hermeneutika dan analisis heuristika. Analisis hermeneutika dilakukan dengan menggunakan empat unsur metodis berupa, pertama verstehen, di mana unsur metodis verstehen dilakukan dengan alasan bahwa yang menjadi sumber primer dari penulisan dan penelitian ini adalah data kepustakaan dan data lapangan yang mencakup objek material dan objek formal dari penulisan disertasi ini. Analisis metode ini diperlukan dalam rangka menemukan pemahaman mendasar tentang objek penelitian. Kedua, interpretasi yang diperlukan dalam analisis data dengan tujuan untuk melakukan penafsiran, mengungkapkan pesan realitas Hatuhaha

(27)

Amarima, dan menangkap makna konsep-konsep serta pemikiran filosofis budaya masyarakat Hatuhaha Amarima secara sistematis. Ketiga, koherensi, yang diperlukan untuk menemukan keterhubungan data yang satu dengan data lainnya sehingga menjadi bahan penting untuk menjelaskan objek penelitian. Keempat, induktif yang mana proses ini diterapkan atas data yang telah terkumpul dan dilakukan analisis, yakni melalui suatu sintesis dan penyimpulan secara induktif apesteriori. Proses ini bukanlah proses generalisasi melainkan suatu pembentukan “konstruksi teoritis”.

Analisis data dengan model heuristika dilakukan untuk mempertimbangkan kemungkinan munculnya suatu pemahaman atau interpretasi baru yang timbul sebagai akibat dari pendekatan baru dalam proses penelitian. Tujuannya untuk mendapatkan temuan baru dari penelitian disertasi ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan isi disertasi ini akan disusun dalam lima bab, dengan sitematika berikut ini. Bab I berisikan pendahuluan, di dalamnya akan termuat latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II akan memuat kajian objek formal dari penelitian dan penulisan disertasi ini dengan judul konsep kebudayaan dalam filsafat kebudayaan Cornelis Anthonie van Peursen. Rinciannya meliputi penjelasan mengenai kebudayaan sebagai karya manusia, landasan ontologi budaya, landasan epistemologi budaya, landasan aksiologi budaya, dan tahap-tahap perkembangan budaya.

(28)

Bab III mengurai objek material dari penelitian ini, yaitu Hatuhaha Amarima dalam dinamika historis dan wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima. Penguraian objek material ini dirincikan lagi dalam sub-sub bahasan, antara lain: a) historitas sebagai tonggak perubahan budaya yang meliputi mitos Nunusaku, mitos manusia Maluku, perang Wemale – Alune sebagai awal penyebaran penduduk Nunusaku, pembentukan uli Hatuhaha Amarima, dan kerajaan Islam Hatuhaha; b) wujud kebudayaan Hatuhaha Amarima yang meliputi kosmologi Hatuhaha Amarima, agama sebagai sumber nilai komunitas Hatuhaha Amarima, bahasa sebagai perekat eksistensi Hatuhaha Amarima, budaya Hatuhaha Amarima sebagai wujud akulturasi adat dan agama, serta maningkamu sebagai inti persaudaraan Hatuhaha Amarima.

Bab IV memuat uraian analisis filosofis, yang di dalamnya menjelaskan ontologi Hatuhaha Amarima, epistemologi Hatuhaha Amarima, nilai-nilai budaya Hatuhaha Amarima, refleksi kritis, dan relevansinya dengan keutuhan bangsa Indonesia.

Bab V berisikan penutup dari penulisan disertasi ini. Bab ini akan memuat kesimpulan yang berisikan jawaban atas permasalahan dari penelitian ini dan saran pemikiran ke depan.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep Pieper tentang manusia dan masyarakat, sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini, menjadi perspektif penulis untuk mengemukakan konsep tentang persahabatan yang disimpulkan

Berdasarkan pengamatan kemampuan berbahasa siswa pada siklus 1 telah mengalami peningkatan dari pratindakan walaupun belum mencapai persentase KKM yang telah ditentukan.

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Dari hasil penelitian tahun 2018 tersebut dan survei data eksisting yang menunjukan adanya kepadatan lalu lintas di ruas jalan Stasiun Poncol Kota Semarang,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan rumah kasa dapat mengurangi serangan hama sehingga biaya insektisida dapat dikurangi sebesar 73,19% dengan produksi lebih

Melalui penerapan sistem data warehouse dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan, diantaranya proses analisis ataupun pengelolaan informasi berdasarkan data

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau