• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Banyak sekali bentuk karya sastra yang ada di sekitar kita. Karyakarya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Banyak sekali bentuk karya sastra yang ada di sekitar kita. Karyakarya"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan hal yang sering kita temui dalam kehidupan sehari -hari. Banyak sekali bentuk karya sastra yang ada di sekitar kita. Karya-karya sastra tersebut biasa ditemui dalam bentuk puisi, novel, ataupun cerpen.

Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa karya sastra itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Bisa saja sebuah karya yang dulunya dianggap biasa atau kontroversial tetapi sekarang malah dianggap sebagai sastra. Contohnya saja, erotisme. Hal tersebut dulunya adalah hal yang tabu. Tetapi, sekarang dianggap sebagai karya sastra ataupun seni. Oleh karena itu, setiap individu akan mempunyai pendapat yang berbeda tentang sastra.

Menurut A. Teeuw, dalam bukunya yang berjudul Sastradan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra (2003:22-23), dipaparkan bahwa dalam bahasa-bahasa Barat gejala yang ingin kita batasi disebut literature (Inggris), literature (Jerman), dan litterature (Perancis). Ketiga istilah tersebut berasal dari bahasa Latin litteratura yang sebetulnya merupakan terjemahan dari kata Yunani grammatika. Litteratura dan grammatika masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma

(2)

yang didefenisikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis.

Dalam buku Telaah Sastra (2002:6), Fananie menuliskan, sastra secara global adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna.

Sedangkan menurut Semi (1988:8), dalam bukunya yang berjudul Anatomi Sastra, mengatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan mereka yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Terlepas dari definisi sastra yang beragam tersebut, dunia kesusastraan telah berkembang sehingga melahirkan sastrawan-sastrawan legendaris dari berbagai belahan dunia. Eropa memiliki Shakespeare dan Victor Hugo yang sampai sekarang karyan ya masih hidup dalam berbagai bentuk. Indonesia memiliki Sutan Takdir Alisyahbana dan Mochtar Lubis yang legendaris.

Tidak kalah dengan Eropa dan Indonesia, Jepang memiliki Yasunari Kawabata dan Oe Kenzaburo sebagai sastrawan yang pernah menerima Nobel sastra. Selain sastrawan tersebut, Jepang juga memiliki sastrawan-sastrawan lain yang terkenal di Jepang. Salah satu sastrawan-sastrawan dari Jepang yang sangat terkenal dan menulis banyak karya sastra yang menarik adalah Miyazawa Kenji (1896-1933).

(3)

Miyazawa Kenji lahir pada tanggal 27 Agustus 1896 di Hanamaki, Prefektur Iwate, bagian utara Pulau Honshuu, Jepang. Akibat penyakit

penumania atau radang paru–paru, Miyazawa Kenji meninggal pada tanggal

21 September 1933 dalam usia 37 tahun. Miyazawa Kenji merupakan salah satu sastrawan yang tidak terkenal semasa hidupnya.

Walaupun sudah menulis berpuluh-puluh cerita dan puisi, hanya beberapa dari karyanya yang pernah diterbitkan semasa hidupnya. Karya beliau justru terkenal dan diakui setelah beliau meninggal. Contoh karya sastranya yang paling terkenal adalah Gin`ga Tetsudou No Yoru, Kaze No

Matasaburou; dan Gusko Budoori No Denki.

Hanya ada 2 buah buku yang pernah diterbitkan semasa beliau hidup. Itupun buku yang diterbitkan dengan biaya pribadi. Salah satu dari bukunya adalah kumpulan puisi karya Miyazawa Kenji yang berjudul Haru to Shura. Salah satunya lagi adalah buku kumpulan cerita anak berjudul Chuumon No

Ooi Ryouriten yang memuat 9 cerita karyanya.

Judul kesembilan cerpen tersebut adalah Donguri To Yamaneko; Oi No Mori To Zarumori, Nusutomori; Chuumon No Ooi Ryouriten; Karasu No Hokutoshichisei; Suisenzuki No Yokka; Yamaotoko N o Shigatsu; Kashiwabayashi No Yoru; Tsukiyo No Denshinbashira; dan Sishiodori No Hajimari. Dari kesembilan cerpen tersebut, judul yang paling terkenal adalah Chuumon No Ooi Ryouriten.

Miyazawa Kenji merupakan seorang sastrawan yang banyak menulis karyanya dalam bentuk dongeng. Hampir semua karyanya berupa sebua h

(4)

dongeng yang bahasanya ringan tetapi mempunyai makna yang mendalam. Salah satu dongeng hasil karya Miyazawa Kenji adalah cerpen Neko No Jimusho.

Cerpen tersebut berkisah tentang lima ekor kucing yang bekerja di sebuah perusahaan. Di dalam perusahaan tersebut, sang tokoh utama mengalami penindasan oleh temannya. Pada awalnya, hanya teman-teman sang tokoh utama yang melakukan penindasan. Lalu, pada saat atasan sang tokoh utama juga ikut melakukan penindasan, datanglah seekor singa yang menutup perusahaan tersebut.

Miyazawa Kenji sering kali menggunakan hewan untuk menyajikan tokoh-tokoh dalam karyanya. Tokoh dalam cerpen Neko No Jimusho adalah kucing. Kucing-kucing tersebut bersifat dan bertingkah laku bagaikan manusia.Miyazawa Kenji juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang memiliki bahasa dan ekpresinya yang khas. Dengan bahasa dan ekspresi yang khas, Miyazawa Kenji menghadirkan berbagai emosi dalam cerpen tersebut. Bahasa dan ekspresi tersebut adalah tanda-tanda yang dibuat oleh Miyazawa Kenji agar dipahami pembaca. Ekspresi yang digunakan Miyazawa Kenji di dalam cerpen tersebut adalah ekspresi tidak langsung yang sulit dipahami.

Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:29 disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan pencipataan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Dengan alasan tersebut, peneliti menjadikan Cerpen

(5)

Neko No Jimusho sebagai objek material dalam penelitian ini untuk dianalisis dengan pendekatan struktural dan semiotik Riffaterre karena pendekatan tersebut mampu mewakili berbagai makna yang terkandung dalam ceritanya.

Sebelum menganalisis lebih lanjut tentang makna dan tanda-tanda dalam cerita, perlu adanya penguraian unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita tersebut. Oleh karena itu, agar dapat memahami makna cerpen Neko No Jimusho secara keseluruhan, peneliti akan menggunakan analisis struktural dan analisis semiotik model Riffaterre, yaitu menguraikan unsur intrinsik cerpen secara struktural lalu menganalis is makna cerita dengan membaca tanda-tanda yang terkandung dalam cerpen tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada dua rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini . Pertama, apakah matriks, model, varian dan hipogram yang terdapat dalam cerpen Neko No Jimusho berdasarkan analisis semiotik Riffaterre? Kedua, apakah makna yang terkandung dalam cerpen Neko No Jimusho berdasarkan matriks, model, varian, dan hipogram tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan tersebut,

(6)

tujuan teoritis penelitian ini adalah mencari makna yang terkandung dalam cerpen Neko No Jimusho dengan menggunakan pendekatan struktural semiotik Riffaterre agar mendapatkan makna cerita secara keseluruhan. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah memperkaya pengetahuan dan wawasan pembaca tentang karya Miyazawa Kenji dengan memperkenalkan cerpen Neko No Jimusho beserta makna cerita yang terkandung di dalam cerpen tersebut.

1.4 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran yang telah peneliti lakukan, penelitian terhadap cerpen yang berjudul Neko No Jimusho karya Miyazawa Kenji sudah pernah dilakukan oleh seorang mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro yang bernama Triasa Senja Tosafiana dengan judul Konflik Batin Tokoh Kama Neko dalam Cerpen Neko No Jimusho Karya Miyazawa Kenji pada tahun 2014 ini.

Dalam penelitiannya, Triasa Senja Tosafiana menggunakan teori psikoanalisis milik Sigmund Freud untuk mengetahui konflik batin yang dialami oleh tokoh Kama Neko. Dalam psikoanalisis, terdapat konflik antara Id dan superego yang disebabkan oleh fungsi superego tidak stabil. Menurut penelitian ini, dapat dilihat bahwa Kama Neko mengalami konflik tersebut karena niatnya untuk berbuat baik dan jujur selalu mendapat balasan yang buruk dan pandangan negatif dari teman -temannya yaitu Kuro Neko, Shiro Neko, Tora Neko, dan Mike Neko.

(7)

Selain penelitian tersebut, ada beberapa penelitian yang menggunakan karya lain Miyazawa Kenji sebagai objeknya. Salah satu penelitian yang digunakan sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah skripsi yang berjudul Opperu To Zoo Karya Miyazawa Kenji: Analisis Struktural Semiotik yang ditulis oleh Nurcahyono Adi Nugroho pada tahun 2003.

Dalam penelitiannya, Nurcahyono Adi Nugroho menggunakan metode pemaknaan Riffaterre untuk menganalisis makna dalam cerpen

Opperu To Zoo. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan dalam dua hal. Pertama, masalah yang ada dalam cerpen

Opperu To Zoo adalah kesewenang-wenangan seorang tuan tanah kepada

pekerjanya. Adapun tema dari cerita ini adalah tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya.

Kedua, dari analisis semiotik dapat disimpulkan bahwa analisis mengenai hipogram menunjukkan bahwa yang menjadi hipogram dari cerita pendek Opperu To Zoo adalah peristiwa sejarah yang terjadi di Jepang pada tahun 1918. Hal itu dapat dilihat dari adanya beberapa persamaan antara motif-motifnya dengan sedikit perbandingan bentuk respon atau tanggapan terhadap hipogramnya.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Triasa Senja Tosafiana maupun Nurcahyono Adi Nugroho. Dalam penelitian Triasa, peneliti hanya meneliti tentang konflik batin yang dialami oleh sang tokoh utama, yaitu Kama Neko. Sedangkan dalam penelitian Nurcahyono,

(8)

dia telah menganalisis cerpen Opperu To Zoo, bukan cerpen Neko No Jimusho.

Hal yang berbeda dalam penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut adalah, penelitian ini akan menggunakan cerpen Neko No Jimusho karya Miyazawa Kenji berdasarkan metode pendekatan struktural dan semiotik Riffaterre untuk mengetahui makna yang terkandung dalam cerpen tersebut. Oleh karena itu, hasilnya tentu akan berbeda dengan kedua penelitian yang dijadikan tinjauan pustaka.

1.5 Landasan Teori

Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik karena karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna (Yunus via Pradopo, 1995: 118). Oleh karena itu, teori struktural digunakan dalam penelitian ini untuk membantu analisis semiotik.

1.5.1 Teori Struktural

Karya sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. (Nurgiyantoro, 2010:23). Sebuah karya sastra merupakan suatu keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antar bagian-bagiannya, antara bagian dengan keseluruhan (Luxemburg, dkk, 1989: 33).

(9)

mengkaji, menelaah, dan menyelidiki karya fiksi tersebut. Untuk melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur pembentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan itu disertai dengan kerja analisis. Istilah analisis, misalnya analisis karya fiksi, menyaran pada pengertian- pengertian mengurai karya itu atas unsur-unsur pembentuknya tersebut, yaitu yang berupa unsur-unsur intrinsiknya. (Nurgiyantoro, 2010:30)

Teori yang digunakan untuk menganalisis unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra adalah teori struktural. Struktur adalah keseluruhan relasi antara berbagai unsur sebuah teks. Strukturalisme adalah aliran ilmu dan kritik yang memusatkan perhatian pada relasi-relasi antar unsur (Noor, 2005: 78). Analisis struktural melihat unsur-unsur yang terdapat di dalam karya sastra seperti tema, alur, perwatakan, latar, dan sudut pandang, kemudian membongkar dan meneliti semua berdasarkan teks untuk melihat keterkaitan dan keterjalinan antara semua unsur dan aspek karya sastra (Teeuw, 1984:135).

Analisis struktural karya sastra fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Tujuan analisis struktural yaitu untuk membongkar, memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 2003: 112).

a. Tema

Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana (Stanton via Nurgiyantoro, 2010:

(10)

70). Hartoko dan Rahmanto (via Nurgiyantoro, 2005:68), menyatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar yang merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Sedangkan menurut Aminuddin (1987 : 91), untuk memahami tema, pembaca terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikasi yang membangun suatu

cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu

menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya. b. Plot/Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama yang menggerakkan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. Alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga peristiwa yang satu menyebabkan atau disebabkan oleh peristiwa yang lain (Stanton via Nurgiyantoro, 2010: 113).

Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan lainnya (Luxemburg via Nurgiyantoro, 2010: 117). Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengandung pertentangan antara dua kekuatan dan menyiratkan adanya aksi balasan (Wellek & Warren via Nurgiyantoro, 2010: 122). Klimaks adalah saat konflik telah memuncak dan tidak dapat dihindari kejadiannya (Stanton via Nurgiyantoro 2010: 127).

Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 142), mengatakan bahwa plot memiliki tiga tahapan yakni tahap awal (perkenalan), tahap tengah (pertentangan atau

(11)

konflik), dan tahap akhir (peleraian). Menurut Nurgiyantoro (2005 : 153-163) plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan dan kriteria yaitu :

a) Berdasarkan kriteria urutan waktu

Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang bersangkutan.

Macam-macam plot berdasarkan urutan waktu yaitu : 1. Plot maju atau lurus

2. Plot sorot balik 3. Plot campuran b) Berdasarkan kriteria jumlah

Kriteria jumlah yang dimaksud adalah banyaknya plot cerita yang terdapat dalam sebuah karya fiksi.

Macam-macam plot berdasarkan kriteria jumlah yaitu : 1. Plot tunggal

2. Plot sub-sub plot c) Berdasarkan kriteria kepadatan

Kriteria kepadatan yang dimaksud adalah padat atau tidaknya pengembangan dan perkembangan cerita.

Macam-macam plot berdasarkan kriteria kepadatan yaitu : 1. Plot padat

(12)

d) Berdasarkan kriteria isi

Kriteria isi yang dimaksud adalah sebagai sesuatu masalah atau kecenderungan masalah yang diungkapkan dalam cerita. Jadi sebenarnya, ia lebih merupakan isi cerita itu sendiri secara keseluruhan daripada sekadar urusan plot. Macam-macam plot berdasarkan kriteria isi antara lain:

1. Plot peruntungan 2. Plot tokohan 3. Plot pemikiran c. Latar

Latar atau setting merupakan sebagai landas tumpu, mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 2010: 216). Latar juga memberi pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 217).

Menurut Nurgiyantoro (2010 : 227-233), unsur latar dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu:

1. Latar tempat, menunjukkan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Untuk mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan, pengarang perlu menguasai medan.

2. Latar waktu, menunjukkan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi, juga dihubungkan dengan lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita.

(13)

perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

d. Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pembawa dan pelaku cerita dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan serta bertugas untuk menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang secara tidak langsung, melainkan melalui tingkah laku (verbal dan nonverbal), pikiran, perasaan, peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 2010: 74-75).

Menurut Aminuddin (1987:79) penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku. Suharianto (1982:31) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebagainya.

Watak adalah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain. Tokoh tidak dapat dipisahkan dengan watak karena merupakan suatu kesatuan yang utuh. Watak menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca sehingga dapat diketahui kualitas pribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2010: 165).

Nurgiyantoro (2005: 176-194), menerangkan bahwa peran tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dibedakan yakni :

(14)

1. Segi peranan

a) Tokoh Utama adalah tokoh yang diutamakan penceritanya dalam cerita pendek yang bersangkutan

b) Tokoh Tambahan adalah yang hanya melengkapi dalam bentuk konflik 2. Segi fungsi penampilan tokoh

a) Tokoh Protagonis adalah tokoh yang memerankan prilaku positif

b) Tokoh Antagonis adalah tokoh yang penyebab terjadinya konflik atau pelaku negatif

3. Segi perwatakannya

a) Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi atau watak tertentu

b) Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. 4. Segi berkembang atau tidaknya perwatakan

a) Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi

b) Tokoh berkembang adaalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot atau alur yang dikisahkan

5. Segi kemungkinan pencerminan tokoh cerita

a) Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan

(15)

b) Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.

e. Sudut Pandang (Point Of View)

Menurut Booth (via Nurgiyantoro, 2005:249) sudut pandang (point of view) merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Sedangkan menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2005:248), Point of View adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Nurgiyantoro (2009: 246) berpendapat bahwa sudut pandang adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-tindakan pada karya fiksi berdasarkan posisi pengarang di dalam cerita. Sudut pandang menurut Nurgiyantoro (2009: 256-267) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga: dia, sudut pandang persona pertama: aku, dan sudut pandang campuran.

f. Amanat

Menurut Suharianto (1982:70-71), amanat ialah nilai-nilai yang ada dalam cerita. Amanat atau nilai moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, 1966: 89 via Nurgiyantoro, 2009: 321).

(16)

Amanat dalam cerita dapat disampaikan kepada pembaca dengan cara tersirat dan tersurat. Tersirat atau inplisit berarti pengarang tidak menyampaikan langsung melalui kalimat-kalimat, tetapi melalui jalan nasib atau penghidupan pelakunya dalam cerita tersebut. Sedangkan tersurat atau eksplisit berarti pengarang menyampaikan langsung kepada pembaca melalui kalimat dalam cerita, baik itu berbentuk keterangan pengarang atau dialog pelaku yang tertulis dalam cerita tersebut. Amanat utama dalam sebuah cerita harus merujuk pada tema cerita. Sedangkan pesan moral lainnya dapat ditemukan tersebar dalam cerita dan bisa saja tidak merujuk pada tema cerita tersebut.

1.5.2 Teori Semiotik

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Secara etimologis, kata semiotika berasal dari bahasa Yunani semion, yang berarti tanda, yaitu sesuatu yang memiliki arti atau makna. Tanda juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Artinya, tanda bersifat representatif atau mewakili. Oleh karena itu, tanda memiliki hubungan dengan tanda-tanda lain, barang yang dilambangkan, dan dengan orang yang memakai tanda itu.

Bila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat tidak mempunyai arti pada dirinya sendiri, melainkan selalu sebagai relasi antara pengemban arti (signifiant) dengan apa yang diartikan (signifie) bagi seorang (pembaca) yang mengenal sistem bahasa yang bersangkutan. Tanda memiliki dua aspek, yaitu penanda dan petanda.

Berdasarkan hubungan antara penanda dengan petandanya, jenis-jenis tanda dibagi menjadi ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan

(17)

adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya) (Pradopo, 1995:120).

Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. (Littlejohn, 2009 : 53). Pendekatan semiotik yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah teori semiotik yang dikembangkan oleh Michael Riffaterre.

Karya sastra mengekspresikan konsep-konsep dan hal-hal melalui ketidaklangsungan. Dengan kata lain, karya sastra menyatakan sesuatu dan mengandung arti lain (Riffaterre, 1978:1). Menurut Riffatere (1978: 5-6), bahwa dalam memahami makna harus diawali dengan pembacaan semiotik yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik.

a. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi (Riffaterre, 1978: 166).

Riffaterre (1987: 5), berpendapat bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik yang menangkap arti sesuai dengan teks yang ada, dan diartikan dengan bahasa yang

(18)

sesuai dengan teks. Pada tahap ini, kompetensi kebahasaan dan kesastraan memainkan peran penting. Melalui kedua kompetensi tersebut, pembaca dapat mengenali adanya “keanehan dan kejanggalan” dalam sebuah karya sastra, baik dalam segi kebahasaan maupun dalam segi-segi yang berkaitan dengan struktur karya sastra secara keseluruhan.

Setelah melalui tahap pembacaan Heuristik, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua yang biasa yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, yaitu interpretasi yang sesungguhnya. Interpretasi tersebut dilakukan dengan mencari makna karya sastra tersebut secara utuh.

Dalam pembacaan ini, pembaca harus lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu (Riffaterre, 1987: 5). Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan apa yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek decoding atau pencarian makna. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang ekuivalen (Riffaterre, 1978: 5-6). Pembacaan hermeneutik atau pembacaan retroaktif menjadikan pembaca bertugas melakukan pembacaan secara terus-menerus melalui pembacaan teks sastra dari awal hingga akhir.

Dalam pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan pengertian antara arti dan makna. Yang dimaksud dengan arti adalah semua informasi dalam

(19)

tataran mimetik yang disajikan oleh teks kepada pembaca, sedangkan makna adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik (Riffaterre, 1978:2-3). Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa arti sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan makna bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar teks (Riffaterre, 1978:2).

Pada pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan arti sebuah teks, sedangkan makna diperoleh ketika pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik. Pergantian dari arti menjadi makna pada akhirnya memunculkan konsep interpretan, yaitu sebuah tanda yang “menerjemahkan” tanda-permukaan teks dan menjelaskan hal lain yang disajikan oleh teks (Riffaterre, 1978:81).

Untuk memperoleh makna karya sastra lebih lanjut maka dicari tema dan masalahnya dengan mencari matriks, model, dan varian-variannya terlebih dahulu (Riffaterre, 1982:13, 19-21).

b. Matriks, Model dan Varian-varian

Memahami sebuah karya sastra sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk membentuk sebuah bentuk donat yang utuh di sekeliling ruang kosong itu. Dalam karya sastra, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (Riffaterre, 1978: 13).

Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks merupakan invarian yang hanya dapat dilihat dari

(20)

serangkaian gramatikal dan leksikal dari suatu struktur serta dilambangkan dengan sebuah kata, walaupun kata tersebut tidak muncul dalam teks.

Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur oleh aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Model merupakan aktualisasi pertama dari matriks yang berupa kata, gabungan kata, bagian kalimat, kalimat sederhana, atau kalimat tertentu yang khas. Kekhasan tersebut mampu membedakan kalimat-kalimat atau kata-kata dalam teks. Kehadiran kata bisa dikatakan ada apabila di dalam kata tersebut memiliki tanda yang bersifat hipogramatik dan monumental.

Model akan menentukan bentuk-bentuk varian yang menurunkan teks secara keseluruhan. Varian merupakan bentuk transformasi dari matriks dan model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama (Riffaterre, 1978:19). Jadi matriks diwujudkan oleh model sebagai aktualisasi pertama dari matriks yang menentukan bentuk-bentuk varian. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata-cara pemerolehannya atau pengembangannya (Riffaterre, 1978:21).

c. Hipogram dan Interkstualitas

Interpretasi secara menyeluruh terhadap karya sastra hanya mungkin dilakukan oleh pembaca melalui interteks. Interteks adalah keseluruhan teks yang dapat didekatkan dengan teks yang ada di hadapan kita, keseluruhan teks yang dapat ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks. Karya sastra

(21)

mengandung arti hanya dengan mengacu kepada teks-teks lain (Riffaterre, 1978:149), baik teks secara harafiah maupun teks dalam pengertian universal.

Pemaknaan karya sastra bersandar sepenuhnya pada intertekstualitas dan

untuk mengenalinya bergantung sepenuhnya pada kemampuan

pembaca (Riffaterre, 1978:124). Makna hakiki sebuah karya sastra dapat diperoleh dengan memanfaatkan prinsip intertekstualitas, yaitu menjajarkan, membandingkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya (Riffaterre, 1978:3). Intertekstualitas adalah suatu fenomena yang mengarahkan pembacaan teks, yang mungkin menentukan interpretasi, dan yang merupakan kebalikan dari pembacaan per baris. Ini adalah cara untuk memandang teks yang menentukan pembentukan makna wacana, sedangkan pembacaan per baris hanya menentukan makna unsurnya.

Berkat cara memandang teks semacam ini, pembaca sadar bahwa dalam suatu karya sastra, kata-kata tidaklah mengacu pada benda-benda atau konsep atau secara umum tidak mengacu pada dunia yang bukan kata-kata (nonverbal). Di sini kata-kata mengacu pada suatu jalinan pemunculan yang secara keseluruhan sudah menyatu dengan dunia bahasa. Jalinan itu dapat berupa teks-teks yang telah dikenal maupun bagian-bagian dari teks yang muncul setelah terlepas dari konteksnya yang dapat dikenali dalam konteksnya yang baru, sehingga orang tahu bahwa teks tersebut telah ada sebelum ia muncul dalam konteksnya yang baru ini (Riffaterre, dalam Zaimar, 1991:26).

Berkaitan dengan prinsip intertekstualitas, ada dua kaidah yang berlaku dalam memproduksi teks, yaitu perluasan (ekspansi) dan perubahan

(22)

(konversi) (Riffaterre, 1978:22, 47). Ekspansi mengubah kalimat matriks menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks (Riffaterre, 1978:47), sedangkan konversi mengubah kalimat matriks dengan memanfaatkan faktor yang sama (Riffaterre, 1978:63).

Fenomena intertekstual tidak dapat dikenali tanpa membandingkan teks dengan generatornya, yaitu hipogram (Riffaterre, 1978:42). Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan sastra disebut dengan hipogram (Riffaterre, 1978: 11). Sedangkan teks yang menyerap dan mentransformasi hipogram disebut teks transformasi.

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa matriks adalah kalimat minimal yang harafiah. Melalui ekspansi dan konversi inilah matriks akan diubah menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Ekspansi dan konversi ini merupakan suatu interpretasi baru atas hipogram untuk menghasilkan teks transformasi.

Hipogram merupakan sebuah sistem tanda yang berisi setidaknya sebuah pernyataan yang bisa saja sebesar sebuah teks, bisa hanya berupa potensi sehingga terlihat dalam tataran kebahasaan, atau bisa juga aktual sehingga terlihat dalam teks sebelumnya (Riffaterre, 1978:23). Kalimat inti hipogram bisa saja aktual atau tidak sama sekali (Riffaterre, 1978:25).

Ketika pembaca mengenali hipogram dan menguraikan teks berdasarkan hipogramnya, interpretasinya tidak hanya berisi penguraian, tetapi juga kesadaran terhadap tradisi. Kesadaran ini mengarahkan pembaca kepada evaluasi estetikanya (Riffaterre, 1978:144). Hipogram dapat dihasilkan dari

(23)

ungkapan-ungkapan klise, kutipan dari teks-teks lain, atau sebuah sistem deskriptif (Riffaterre, 1978:63). Hipogram merupakan dead landscape yang mengacu kepada realitas yang lain (Riffaterre, 1978:12) dan keberadaannya harus disimpulkan sendiri oleh pembaca (Riffaterre, 1978:94).

Ketika pembaca berhasil menemukan interteks, intertekstualitas akan terlihat secara eksplisit (Riffaterre, 1978:137). Maksudnya, ketika pembaca berhasil menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya, kemudian menjajarkan, dan membandingkan keduanya sehingga dapat mengetahui hubungannya, pembaca akan merasa lebih mudah dalam mengungkap makna teks. Di dalam teori semiotika Riffaterre juga dikenal adanya dual sign. Dual sign adalah sebuah kata yang bermakna rangkap sebagai hasil perpotongan atau pertemuan dua sekuen semantik atau asosiasi bentuk (Riffaterre, 1978:86). Dengan kata lain, sebuah tanda di dalam karya sastra memiliki kemungkinan untuk mengacu kepada tanda-tanda yang lain; satu tanda memiliki dua acuan atau lebih. Dual sign tidak hanya berupa kata-kata yang terdapat di dalam sebuah teks, tetapi juga bisa berupa judul.

Judul dapat memberikan informasi awal atau gambaran kepada pembacanya tentang apa yang terdapat di dalam teks yang akan dibacanya. Pada saat yang sama, judul bisa saja mengacu kepada teks-teks di luarnya (Riffaterre, 1978:99). Makna yang terkandung di dalam dual sign dapat diungkap setelah pembaca menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya (Riffaterre, 1978:82). Sebuah tanda yang berkedudukan sebagai dual sign seperti sebuah pendulum semantik sehingga pembacaannya pun tidak pernah stabil (Riffaterre, 1978:90).

(24)

Ketidakstabilan di sini tidak hanya mengacu pada pembacaan yang dilakukan oleh dua pembaca yang berbeda, tetapi juga mengacu pada pembacaan yang dilakukan oleh seorang pembaca. Hasil yang diperoleh seorang pembaca pada suatu pembacaan selalu memiliki kemungkinan untuk mengalami pergeseran atau perubahan pada pembacaan-pembacaan berikutnya terhadap teks yang sama. Hal ini dikarenakan selalu ada perubahan pengetahuan atau pengalaman pembacaan yang mengarahkan horison harapan pembaca seiring dengan perjalanan waktu.

Pada akhirnya, dapat dinyatakan bahwa pembacalah satu-satunya penghubung antara teks, interteks, dan interpretan (Riffaterre, 1978:164). Tanda-tanda di dalam karya sastra memiliki dua wajah, yaitu textually ungrammatical (tidak gramatikal secara tekstual) dan intertextually grammatical (gramatikal secara intertekstual) (Riffaterre, 1978:165). Segala sesuatu yang pada awalnya dan secara tekstual terlihat sebagai ketidakgramatikalan, sebagai sesuatu yang “aneh,” akan menjadi gramatikal dan masuk akal secara intertekstual. Pembacaan terhadap karya sastra bukanlah sesuatu yang stabil dan tidak ada interpretasi final (Riffaterre, 1978:165)

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara kerja yang dipakai demi mempermudah memahami sasaran penelitian. Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis.

Dalam pengumpulan data, teks yang digunakan sebagai objek penelitian adalah cerpen Neko No Jimusho. Cerpen tersebut tergabung

(25)

dalam sebuah buku kumpulan cerpen Miyazawa Kenji yang asli dalam Bahasa Jepang.

Selain objek penelitian, diperlukan juga data -data pendukung penelitian yang berasal dari buku-buku referensi dan skripsi terdahulu yang telah diterbitka. Buku referensi yang digunakan meluputi buku-buku tentang teori sastra, biografi, budaya, dan teori penelitian karya ilmiah. Selain itu, pencarian data juga dilakukan melalui internet untuk melengkapai hal-hal yang tidak dapat ditemukan dalam data-data lain. Data-data tersebut banyak yang masih dalam Bahasa Jepang. Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu menerjemahkan data tersebut ke dalam Bahasa Indonesia untuk mempermudah proses selanjutnya.

Setelah proses terjemahan selesai dan data telah lengkap, dimulailah proses analis. Pertama, peneliti melakukan pembacaan heuristik, yaitu membaca dari awal hingga akhir, lalu membuat ringkasan cerita. Setelah itu, mulai melakukan analisis struktural, yaitu menjabarkan unsur -unsur intrinsik dalam cerpen. Hal ini bertujuan agar mempermu dah proses selanjutnya.

Setelah itu, melakukan analisis sesuai teori semiotik Riffaterre, yaitu melakukan pembacaan hermeneutik dengan mencari matriks, model, varian, dan hipogram. Apabila hipogram telah ditemukan, peneliti dapat mencapai pembacaan hermeneuitk yang lebih tinggi lagi, yaitu menemukan makna cerita Neko No Jimusho sesuai dengan konstruksi teori dan analisis serta interpretasi peneliti terhadap isi cerpen tersebut.

(26)

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan ke dalam lima bab dengan pembagian sebagai berikut :

Bab I terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.

Bab II berisi tentang Miyazawa Kenji dan karya-karyanya.

Bab III berisi tentang ringkasan cerita dan analisis struktural yang mencakup tema, alur, penokohan, dan latar.

Bab IV berisi analisis semiotik model Riffaterre berdasarkan pembacaan hermeneutik, yaitu dengan mengungkap matriks, model, dan varian- varian serta hipogram yang terdapat di dalamnya

Referensi

Dokumen terkait

1 Tetap, gedung dan ruangan kantor UPT Uji Mutu Bahan Bangunan dan Perbengkelan saat ini 3.3 UPT Perkantoran Terpadu Perkantoran Terpadu gedung B lantai 2 sisi

Berdasarkan hasil analisis, telah dibuktikan bahwa novel Статский Советник /Statskij Sovetnik/ Penasihat Negara karya Boris Akunin termasuk ke dalam jenis

Sampel pada penelitian ini adalah kelas XI IPA 3 sebagai kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving yang dilengkapi media laboratorium

Oleh karena itu, Artha Wiweka hadir untuk menjadi solusi dalam penyaluran edukasi mengenai literasi keuangan dan pengelolaan keuangan yang baik di masyarakat

Penelitian mengenai interferensi ini dilakukan oleh penulis untuk mengidentifikasi faktor interferensi yang terjadi di dalam kelas VIIIA pada saat proses

Setelah fixed wing UAV seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 telah berhasil dikembangkan dan dibuat menggunakan material yang murah dan mudah untuk dicari.. Langkah

(2) ada perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara kelas RSBI dan Reguler pada kelompok mata kuliah tertentu, yaitu pada kelompok mata kuliah MPB,

Dalam novel ini Rita Johnson tumbuh dan tinggal berpindah-pindah lokasi dari lokasi satu ke tempat lain di wilayah Amerika bagian Selatan Amerika yang masih memegang