STUDI PENGARUH RASIO MASSA
PELET KOMPOSIT BIJIH
BESI/BATUBARA TERHADAP HASIL REDUKSI LANGSUNG
PELET
KOMPOSIT
BIJIH
BESI/BATUBARA
DENGAN
MENGGUNAKAN
SINGLE CONVEYOR BELT HEARTH FURNACE
Romeyndo Gangga Wilman dan Johny Wahyuadi Soedarsono
Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Abstrak
Dalam pengolahannya, proses reduksi bijih besi secara umum terbagi atas
dua metode yaitu reduksi langsung (
direct reduction
) dan reduksi tidak langsung
(
indirect reduction
).
Indirect reduction
dilakukan dalam
blast furnace
dengan
reduktor berupa kokas atau
char
dengan temperatur di atas titik lebur besi dengan
produk berupa lelehan logam Fe. Sedangkan proses reduksi langsung adalah
proses reduksi dengan menghindari fasa cair dan menggunakan batubara atau
minyak bumi sebagai reduktornya dan membutuhkan
feed
bijih besi dengan kadar
Fe yang tinggi seperti yang dimiliki bijih besi di Indonesia. Dalam penelitian ini,
proses reduksi langsung yang menggunakan pelet komposit bijih besi/batubara
dilakukan dengan menggunakan teknologi
single conveyor belt hearth furnace
.
Pelet yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Kalimantan Selatan,
Indonesia. Sampel merupakan mineral besi jenis
lump ore
dengan ukuran
partikel -140#. Reduktor yang digunakan adalah batubara yang memiliki
calorific
value
tertentu dan sebagai pengikat (binder) butir-butir campuran bijih
besi/batubara pada proses peletasi digunakan bentonit 1% yang memiliki nilai
plastisitas tertentu. Komposisi (
mass ratio)
dari pelet komposit tentunya
mempengaruhi perolehan besi yang dihasilkan, karena penentuan
mass ratio
dari
pelet komposit menentukan jumlah reduktor yang digunakan.
Mass ratio
pelet
yang paling efisien dapat menentukan perolehan fasa Fe yang diperoleh,
sehingga kita dapat menentukan
mass ratio
yang menghasilkan Fe paling
banyak, dalam skala laboratorium. Tujuan penelitian yaitu untuk
mengetahui pengaruh
mass ratio
pelet sehingga dapat diperoleh
mass ratio
yang
paling efisien pada proses reduksi langsung dengan teknologi
single conveyor belt
hearth furnace
Kata kunci : reduksi,
single conveyor belt hearth furnace
, bijih besi, batubara,
mass ratio
, fasa.
Abstract
The treatment process requires the separation of iron from iron ore with
impurities-impurities. This process is called the iron ore reduction process. In
processing, iron ore reduction process is generally divided into two methods:
direct reduction (direct reduction) and reduction (indirect reduction). Indirect
reduction is done in a blast furnace with a reducing agent such as coke or char at
temperatures above the melting point of the product in the form of molten iron to Fe
metal. While the direct reduction process is the reduction process by avoiding the
liquid phase and the use of coal or oil as needed feed reduktornya and iron ore with
high Fe levels like those of iron ore in Indonesia. In this study, the direct reduction
process using composite pellets of iron ore / coal performed using a single technology
conveyor belt furnace hearth. Pellets used in this study came from South Kalimantan,
Indonesia. The sample is a mineral type of lump iron ore with a particle size of
-140 #. Reducing agent used is coal that has a certain calorific value and the binder
(binder) mixed grains of iron ore / coal used in the process pelletasi 1% bentonite
which has a certain plasticity. Composition (mass ratio) of composite pellets of
course affect the acquisition of iron is produced, because the determination of the
mass ratio of the composite pellets were used to determine the amount of reducing
agent. Mass ratio pellets to determine the most efficient acquisition of Fe phase
obtained, so that we can determine the mass ratio that produces Fe at most, on a
laboratory scale. The purpose of research is to determine the effect of pellet mass
ratio that can be obtained in the most efficient mass ratio in the direct reduction
technology with a single conveyor belt furnace hearth.
Keywords: reduction, single conveyor belt hearth furnace, iron ore, coal, mass ratio,
phase.
Latar Belakang
Indonesia memiliki cadangan bijih besi yang besar, menduduki peringkat
21 besar produksi besi dan baja di Dunia
[1]. Banyaknya cadangan yang cukup besar
dan harga bijih besi yang relatif bersaing menyebabkan komoditas bijih besi
menjadi salah satu bahan tambang yang penting di Indonesia.
Banyak perusahaan telah bereksplorasi di berbagai tempat, namun
sayangnya bahan tambang ini belum dimanfaatkan secara optimal karena
seluruhnya diekspor ke luar negeri. Pada tahun 2009 Indonesia mengekspor
lebih dari 6,513 juta ton bijih besi (Steel Statistical Yearbook, 2010; Media
Industri, 2010) dalam bentuk iron ore atau bijih besi mentah.
Pendirianindustry ironmaking untuk memproduksi Sponge Iron
yang
sedang dilakukan hanya dapat mengolah bijih besi kadar tinggi.
Kenyataannya cadangan bijih besi lokal yang terbanyak jumlahnya yaitu jenis
laterit, dengan kadar Fe yang rendah, belum dimanfaatkan sebagai bahan
baku.
Beberapa penemuan dalam industry ironmaking sudah ditemukan seperti
Blast Furnace, Rotary Hearth Furnace, TRP-9810 Technology
[2]ataupun Itmk3
[3]sangat bermanfaat dalam pengolahan bijih besi yang akan dibuat di Indonesia
bila terlaksana. Namun, alat-alat yang digunakan adalah alat-alat
mass-production dan ditinjau dari harga dari alat-alat yang digunakan cenderung mahal
dan relatif kurang terjangkau untuk industri-industri di Indonesia.
Pada proses reduksi langsung terdapat beberapa parameter yang
mempengaruhi terbentuknya Fe pada produk reduksi langsung, salah satunya yaitu
rasio massa. Pada proses reduksi langsung yang menggunakan batubara sebagai
reduktornya akan dihasilkan gas CO yang berfungsi untuk mereduksi besi oksida yang
dikandung bijih besi. Reaksi pembentukan gas CO membutuhkan karbon,yang
diperoleh dari batubar sehingga jumlah kandungan batubara yang diberikan sangatlah
berpengaruh terhadap tersedianya gas CO untuk mereduksi besi oksida. Oleh karena
itu, pada studi ini akan diteliti efek kandungan batubara dalam komposisi pelet
terhadap perubahan senyawa, perubahan struktur makro yang terjadi,serta menentukan
komposisi yang paling efisien pada produk reduksi langsung dengan menggunakan
teknologi yang prinsip kerjanya mirip dengan teknologi
Paired Straight Hearth
Furnace
yaitu dengan menggunakan tungku yang di dalamnya terdapat sebuah
conveyor untuk menjalankan bijih besi.
Tinjauan Teoritis
Rasio massa bijih besi/batubara adalah salah satu parameter, selain
temperatur dan waktu tahan dan yang mempengaruhi terbentuknya Fe pada proses
reduksi langsung. Pengaruh temperatur terhadap berlangsungnya proses reduksi besi
oksida pada bijih besi dapat dilihat dari Diagram Boudouard-Baur-Glaessner
[4], yang
juga merupakan dasar untuk reduksi langsung dengan karbon. Diagram
Boudouard-Baur-Glaessner menunjukkan bahwa setiap reaksi reduksi besi oksida membutuhkan
gas CO, yang berarti bahwa senyawa yang terbentuk pada proses reduksi langsung
dipengaruhi oleh persentase dari gas CO yang terbentuk. Persentasi dari gas CO yang
terbentuk tersebut tentunya berkaitan dengan jumlah batubara yang dikandung dalam
pelet. Dari diagram Boudouard-Baur-Glaessner tersebut juga dapat diketahui jumlah
kandungan gas CO yang dihasilkan pada temperatur tertentu.
Metodologi Penelitian
Batu besi yang berasal dari Kalimantan Selatan, Indonesia, dengan ukuran
partikel -140#, dilakukan karakterisasi
X – Ray Diffraction
(XRD) untuk mengetahui
senyawa yang dikandungnya dan
X-ray fluorescence spectrometry
(XRF) untuk
mengetahui komposisi unsur yang dikandungnya serta
Simultaneous Thermal Analysis
(STA) untuk mengetahui reaksi-reaksi yang terjadi pada bijih besi berdasarkan
perubahan entalpi dan massa. Setelah itu serbuk bijih besi dicampur dengan serbuk
batubara, yang telah diuji STA, dengan rasio massa bijih besi : bajubara 2:1 ,1:1, dan
1:2 kemudian ditambahkan bentonit sebagai pengikat (
binder
) butir-butir campuran
bijih besi/batubara. Campuran tersebut lalu diaduk (
mixing
) dan dipeletasi
menghasilkan bola-bola pelet dengan diameter sekitar 14mm. Pelet komposit tersebut
lalu dilakukan karakterisasi STA.
Setelah itu dilakukan pemanasan awal pada pelet pada temperatur 200
oC
selama 10 menit untuk mencegah terjadinya
thermal shock
saat proses reduksi
langsung. Kemudian dilakukan proses reduksi langsung pada pelet komposit pada
temperatur 900
oC dengan waktu tahan 30 menit. Hasil reduksi langsung, yang disebut
direct reduced iron
(DRI), kemudian diuji XRD untuk mengetahui senyawa yang
dikandungnya dan dibandingkan dengan hasil XRD bijih besi sebelum direduksi.
Selain itu, dilakukan juga pengamatan makro menggunakan mikroskop optik yang
dilengkapi kamera digital pada serbuk DRI. Pengamatan makrostruktur serbuk DRI
bertujuan untuk melihat kecenderungan aglomerasi logam Fe yang terjadi pada DRI.
Hasil Penelitian
Hasil Pengujian STA Bijih Besi
Analisa STA dilakukan pada rentang temperatur 25 – 1000°C dalam atmosfir
nitrogen. Laju kenaikan temperatur sebesar 10°C/menit dan laju alir gas total 20
mL/menit.
Gambar 1 menunjukkan hasil pengujian STA bijih besi berupa kurva TG dan
kurva DSC.
Gambar 1. KurvaTG-DSC sampel bijih besi
Hasil Pengujian XRD Bijih Besi sebelum Direduksi
Gambar 2. Grafik pola XRD (yang telah diolah) sampel bijih besi
Hasil Pengujian XRF Bijih Besi
Tabel 1. Komposisi kimia bijih besi
Elemen
Fe
Al
Si
Ca
%
elemen
74,88
4,48
14,27
3,8
Hasil Pengujian STA Pelet Komposit Bijih Besi/Batubara
Analisa STA dilakukan pada rentang temperatur 25 – 1000°C dalam atmosfir
nitrogen. Laju kenaikan temperatur sebesar 10°C/menit dan laju alir gas total 20
mL/menit.
Gambar 3 menunjukkan hasil pengujian STA pelet komposit bijih
besi/batubara 1:1 berupa kurva TG dan kurva DSC.
Gambar 3. KurvaTG-DSC pelet komposit bijih besi/batubara 1:1
Gambar 4menunjukkan hasil pengujian STA pelet komposit bijih
besi/batubara 1:2 berupa kurva TG dan kurva DSC.
Gambar 4 Kurva TG-DSC Sampel Pelet Komposit 1:2
Hasil Pengujian STA Batubara
Analisa STA dilakukan pada rentang temperatur 25 – 1000°C dalam atmosfir
nitrogen. Laju kenaikan temperatur sebesar 10°C/menit dan laju alir gas total 20
mL/menit.
Gambar 4. menunjukkan hasil pengujian STA batubara berupa kurva TG dan
kurva DSC.
Gambar 4. KurvaTG-DSC batubara
Hasil Pengujian XRD Bijih Besi setelah Direduksi pada Berbagai Temperatur
Gambar 5. Grafik pola XRD sampel tereduksi pada berbagai temperatur
Hasil Struktur Makro Pelet Komposit Bijih Besi/Batubara Sebelum dan Sesudah
Reduksi
(a) (b) (c) (d)
Gambar 6. (a) Foto makro pelet sebelum direduksi, perbesaran 50x;(b) Foto makro pellet 2:1 setelah direduksi pada 900oC, perbesaran 50x;(c) Foto makro pelet 1:1setelah direduksi pada 900oC. perbesaran 50x;(d) Foto makro pelet 1:2 setelah direduksi pada 900oC, perbesaran 50x (lingkaran oranye menunjukkan aglomerat-aglomerat yang terbentuk)