• Tidak ada hasil yang ditemukan

Romeyndo Gangga Wilman dan Johny Wahyuadi Soedarsono Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Romeyndo Gangga Wilman dan Johny Wahyuadi Soedarsono Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGARUH RASIO MASSA

PELET KOMPOSIT BIJIH

BESI/BATUBARA TERHADAP HASIL REDUKSI LANGSUNG

PELET

KOMPOSIT

BIJIH

BESI/BATUBARA

DENGAN

MENGGUNAKAN

SINGLE CONVEYOR BELT HEARTH FURNACE

Romeyndo Gangga Wilman dan Johny Wahyuadi Soedarsono

Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Abstrak

Dalam pengolahannya, proses reduksi bijih besi secara umum terbagi atas

dua metode yaitu reduksi langsung (

direct reduction

) dan reduksi tidak langsung

(

indirect reduction

).

Indirect reduction

dilakukan dalam

blast furnace

dengan

reduktor berupa kokas atau

char

dengan temperatur di atas titik lebur besi dengan

produk berupa lelehan logam Fe. Sedangkan proses reduksi langsung adalah

proses reduksi dengan menghindari fasa cair dan menggunakan batubara atau

minyak bumi sebagai reduktornya dan membutuhkan

feed

bijih besi dengan kadar

Fe yang tinggi seperti yang dimiliki bijih besi di Indonesia. Dalam penelitian ini,

proses reduksi langsung yang menggunakan pelet komposit bijih besi/batubara

dilakukan dengan menggunakan teknologi

single conveyor belt hearth furnace

.

Pelet yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Kalimantan Selatan,

Indonesia. Sampel merupakan mineral besi jenis

lump ore

dengan ukuran

partikel -140#. Reduktor yang digunakan adalah batubara yang memiliki

calorific

value

tertentu dan sebagai pengikat (binder) butir-butir campuran bijih

besi/batubara pada proses peletasi digunakan bentonit 1% yang memiliki nilai

plastisitas tertentu. Komposisi (

mass ratio)

dari pelet komposit tentunya

mempengaruhi perolehan besi yang dihasilkan, karena penentuan

mass ratio

dari

pelet komposit menentukan jumlah reduktor yang digunakan.

Mass ratio

pelet

yang paling efisien dapat menentukan perolehan fasa Fe yang diperoleh,

sehingga kita dapat menentukan

mass ratio

yang menghasilkan Fe paling

banyak, dalam skala laboratorium. Tujuan penelitian yaitu untuk

mengetahui pengaruh

mass ratio

pelet sehingga dapat diperoleh

mass ratio

yang

paling efisien pada proses reduksi langsung dengan teknologi

single conveyor belt

hearth furnace

Kata kunci : reduksi,

single conveyor belt hearth furnace

, bijih besi, batubara,

mass ratio

, fasa.

(2)

Abstract

The treatment process requires the separation of iron from iron ore with

impurities-impurities. This process is called the iron ore reduction process. In

processing, iron ore reduction process is generally divided into two methods:

direct reduction (direct reduction) and reduction (indirect reduction). Indirect

reduction is done in a blast furnace with a reducing agent such as coke or char at

temperatures above the melting point of the product in the form of molten iron to Fe

metal. While the direct reduction process is the reduction process by avoiding the

liquid phase and the use of coal or oil as needed feed reduktornya and iron ore with

high Fe levels like those of iron ore in Indonesia. In this study, the direct reduction

process using composite pellets of iron ore / coal performed using a single technology

conveyor belt furnace hearth. Pellets used in this study came from South Kalimantan,

Indonesia. The sample is a mineral type of lump iron ore with a particle size of

-140 #. Reducing agent used is coal that has a certain calorific value and the binder

(binder) mixed grains of iron ore / coal used in the process pelletasi 1% bentonite

which has a certain plasticity. Composition (mass ratio) of composite pellets of

course affect the acquisition of iron is produced, because the determination of the

mass ratio of the composite pellets were used to determine the amount of reducing

agent. Mass ratio pellets to determine the most efficient acquisition of Fe phase

obtained, so that we can determine the mass ratio that produces Fe at most, on a

laboratory scale. The purpose of research is to determine the effect of pellet mass

ratio that can be obtained in the most efficient mass ratio in the direct reduction

technology with a single conveyor belt furnace hearth.

Keywords: reduction, single conveyor belt hearth furnace, iron ore, coal, mass ratio,

phase.

Latar Belakang

Indonesia memiliki cadangan bijih besi yang besar, menduduki peringkat

21 besar produksi besi dan baja di Dunia

[1]

. Banyaknya cadangan yang cukup besar

dan harga bijih besi yang relatif bersaing menyebabkan komoditas bijih besi

menjadi salah satu bahan tambang yang penting di Indonesia.

(3)

Banyak perusahaan telah bereksplorasi di berbagai tempat, namun

sayangnya bahan tambang ini belum dimanfaatkan secara optimal karena

seluruhnya diekspor ke luar negeri. Pada tahun 2009 Indonesia mengekspor

lebih dari 6,513 juta ton bijih besi (Steel Statistical Yearbook, 2010; Media

Industri, 2010) dalam bentuk iron ore atau bijih besi mentah.

Pendirianindustry ironmaking untuk memproduksi Sponge Iron

yang

sedang dilakukan hanya dapat mengolah bijih besi kadar tinggi.

Kenyataannya cadangan bijih besi lokal yang terbanyak jumlahnya yaitu jenis

laterit, dengan kadar Fe yang rendah, belum dimanfaatkan sebagai bahan

baku.

Beberapa penemuan dalam industry ironmaking sudah ditemukan seperti

Blast Furnace, Rotary Hearth Furnace, TRP-9810 Technology

[2]

ataupun Itmk3

[3]

sangat bermanfaat dalam pengolahan bijih besi yang akan dibuat di Indonesia

bila terlaksana. Namun, alat-alat yang digunakan adalah alat-alat

mass-production dan ditinjau dari harga dari alat-alat yang digunakan cenderung mahal

dan relatif kurang terjangkau untuk industri-industri di Indonesia.

Pada proses reduksi langsung terdapat beberapa parameter yang

mempengaruhi terbentuknya Fe pada produk reduksi langsung, salah satunya yaitu

rasio massa. Pada proses reduksi langsung yang menggunakan batubara sebagai

reduktornya akan dihasilkan gas CO yang berfungsi untuk mereduksi besi oksida yang

dikandung bijih besi. Reaksi pembentukan gas CO membutuhkan karbon,yang

diperoleh dari batubar sehingga jumlah kandungan batubara yang diberikan sangatlah

berpengaruh terhadap tersedianya gas CO untuk mereduksi besi oksida. Oleh karena

itu, pada studi ini akan diteliti efek kandungan batubara dalam komposisi pelet

terhadap perubahan senyawa, perubahan struktur makro yang terjadi,serta menentukan

komposisi yang paling efisien pada produk reduksi langsung dengan menggunakan

teknologi yang prinsip kerjanya mirip dengan teknologi

Paired Straight Hearth

Furnace

yaitu dengan menggunakan tungku yang di dalamnya terdapat sebuah

conveyor untuk menjalankan bijih besi.

(4)

Tinjauan Teoritis

Rasio massa bijih besi/batubara adalah salah satu parameter, selain

temperatur dan waktu tahan dan yang mempengaruhi terbentuknya Fe pada proses

reduksi langsung. Pengaruh temperatur terhadap berlangsungnya proses reduksi besi

oksida pada bijih besi dapat dilihat dari Diagram Boudouard-Baur-Glaessner

[4]

, yang

juga merupakan dasar untuk reduksi langsung dengan karbon. Diagram

Boudouard-Baur-Glaessner menunjukkan bahwa setiap reaksi reduksi besi oksida membutuhkan

gas CO, yang berarti bahwa senyawa yang terbentuk pada proses reduksi langsung

dipengaruhi oleh persentase dari gas CO yang terbentuk. Persentasi dari gas CO yang

terbentuk tersebut tentunya berkaitan dengan jumlah batubara yang dikandung dalam

pelet. Dari diagram Boudouard-Baur-Glaessner tersebut juga dapat diketahui jumlah

kandungan gas CO yang dihasilkan pada temperatur tertentu.

Metodologi Penelitian

Batu besi yang berasal dari Kalimantan Selatan, Indonesia, dengan ukuran

partikel -140#, dilakukan karakterisasi

X – Ray Diffraction

(XRD) untuk mengetahui

senyawa yang dikandungnya dan

X-ray fluorescence spectrometry

(XRF) untuk

mengetahui komposisi unsur yang dikandungnya serta

Simultaneous Thermal Analysis

(STA) untuk mengetahui reaksi-reaksi yang terjadi pada bijih besi berdasarkan

perubahan entalpi dan massa. Setelah itu serbuk bijih besi dicampur dengan serbuk

batubara, yang telah diuji STA, dengan rasio massa bijih besi : bajubara 2:1 ,1:1, dan

1:2 kemudian ditambahkan bentonit sebagai pengikat (

binder

) butir-butir campuran

bijih besi/batubara. Campuran tersebut lalu diaduk (

mixing

) dan dipeletasi

menghasilkan bola-bola pelet dengan diameter sekitar 14mm. Pelet komposit tersebut

lalu dilakukan karakterisasi STA.

Setelah itu dilakukan pemanasan awal pada pelet pada temperatur 200

o

C

selama 10 menit untuk mencegah terjadinya

thermal shock

saat proses reduksi

langsung. Kemudian dilakukan proses reduksi langsung pada pelet komposit pada

temperatur 900

o

C dengan waktu tahan 30 menit. Hasil reduksi langsung, yang disebut

direct reduced iron

(DRI), kemudian diuji XRD untuk mengetahui senyawa yang

dikandungnya dan dibandingkan dengan hasil XRD bijih besi sebelum direduksi.

Selain itu, dilakukan juga pengamatan makro menggunakan mikroskop optik yang

(5)

dilengkapi kamera digital pada serbuk DRI. Pengamatan makrostruktur serbuk DRI

bertujuan untuk melihat kecenderungan aglomerasi logam Fe yang terjadi pada DRI.

Hasil Penelitian

Hasil Pengujian STA Bijih Besi

Analisa STA dilakukan pada rentang temperatur 25 – 1000°C dalam atmosfir

nitrogen. Laju kenaikan temperatur sebesar 10°C/menit dan laju alir gas total 20

mL/menit.

Gambar 1 menunjukkan hasil pengujian STA bijih besi berupa kurva TG dan

kurva DSC.

Gambar 1. KurvaTG-DSC sampel bijih besi

Hasil Pengujian XRD Bijih Besi sebelum Direduksi

Gambar 2. Grafik pola XRD (yang telah diolah) sampel bijih besi

Hasil Pengujian XRF Bijih Besi

Tabel 1. Komposisi kimia bijih besi

Elemen

Fe

Al

Si

Ca

%

elemen

74,88

4,48

14,27

3,8

(6)

Hasil Pengujian STA Pelet Komposit Bijih Besi/Batubara

Analisa STA dilakukan pada rentang temperatur 25 – 1000°C dalam atmosfir

nitrogen. Laju kenaikan temperatur sebesar 10°C/menit dan laju alir gas total 20

mL/menit.

Gambar 3 menunjukkan hasil pengujian STA pelet komposit bijih

besi/batubara 1:1 berupa kurva TG dan kurva DSC.

Gambar 3. KurvaTG-DSC pelet komposit bijih besi/batubara 1:1

Gambar 4menunjukkan hasil pengujian STA pelet komposit bijih

besi/batubara 1:2 berupa kurva TG dan kurva DSC.

Gambar 4 Kurva TG-DSC Sampel Pelet Komposit 1:2

Hasil Pengujian STA Batubara

Analisa STA dilakukan pada rentang temperatur 25 – 1000°C dalam atmosfir

nitrogen. Laju kenaikan temperatur sebesar 10°C/menit dan laju alir gas total 20

mL/menit.

(7)

Gambar 4. menunjukkan hasil pengujian STA batubara berupa kurva TG dan

kurva DSC.

Gambar 4. KurvaTG-DSC batubara

Hasil Pengujian XRD Bijih Besi setelah Direduksi pada Berbagai Temperatur

Gambar 5. Grafik pola XRD sampel tereduksi pada berbagai temperatur

(8)

Hasil Struktur Makro Pelet Komposit Bijih Besi/Batubara Sebelum dan Sesudah

Reduksi

(a) (b) (c) (d)

Gambar 6. (a) Foto makro pelet sebelum direduksi, perbesaran 50x;(b) Foto makro pellet 2:1 setelah direduksi pada 900oC, perbesaran 50x;(c) Foto makro pelet 1:1setelah direduksi pada 900oC. perbesaran 50x;(d) Foto makro pelet 1:2 setelah direduksi pada 900oC, perbesaran 50x (lingkaran oranye menunjukkan aglomerat-aglomerat yang terbentuk)

Pembahasan

Hasil Pengujian STA Bijih Besi

Puncak Endotermik 1 yang berada pada temperatur sekitar 87,5

o

C disebabkan

oleh reaksi pembebasan kandungan air sampel. Puncak Endotermik 2 muncul pada

temperatur sekitar 221,2

o

C yang disebabkan oleh dehidroksilisasi goetit (FeO(OH),

hydrated iron oxide

) yang dikuti pembentukan dari hematit (Fe

2

O

3

)

[5]

.Pada kurva TG

sampel bijih besi pada Gambar 1 tampak bahwa sampai temperatur sekitar 192,3

o

C

terjadi penghilangan berat sebesar 0,58% dari berat awal sampel. Hal ini disebabkan

pelepasan kandungan air dari sampel. Lalu pada rentang temperatur 192,3

o

-554

o

C

penghilangan berat yang terjadi menjadi 1,35% dari berat awal. Diasumsikan

penghilangan berat tersebut terjadi karena adanya proses penghilangan air kristal dari

senyawa goetit pada bijih besi

[5]

.Dan di atas temperatur 554

o

C tidak tampak

kehilangan berat yang signifikan.

Hasil Pengujian XRD Bijih Besi sebelum Direduksi

Berdasarkan Gambar 2, bijih besi yang digunakan pada penelitian ini

diasumsikan mengandung Magnetit (Fe

3

O

4

), Hematit (Fe

2

O

3

) dan Fayalit (Fe

2

SiO

4

).

(9)

Hasil Pengujian XRF Bijih Besi

Kandungan Fe yang dimiliki sampel bijih besi yang digunakan pada penelitian

ini cukup tinggi, yaitu 74,88%. Kandungan Fe ini adalah Fe dalam bentuk oksidanya,

yaitu Fe

2

O

3

dan Fe

3

O

4

. Sedangkan unsur pengotor terbesar yang dimilikinya adalah Si

dengan kadar 14,27%. Unsur Si ini diduga berasal dari senyawa fayalit yang

dikandung bijih besi.

Hasil Pengujian STA Pelet Komposit Bijih Besi/Batubara 1:1

Perubahan entalpi yang terjadi pada proses-proses termal di pelet komposit

bijih besi/batu bara dengan rasio massa 1:1 akan memperlihatkan hasil yang sama

dengan perubahan entalpi pada proses termal di bijih besi sebelum temperatur 600

o

C.

Hal ini terlihat pada kurva DSC di atas dimana terdapat puncak endotermik Endo 1

dan Endo 2 yang merupakan reaksi pembebasan kandungan air dan reaksi

dehidroksilasi goethite yang diikuti pembentukan hematit.

Menurut G. Liu dkk

[4]

, kurva DSC pelet komposit akan menunjukkan hasil

yang berbeda dengan kurva DSC bijih besi setelah temperatur 600

o

C. Pada kurva DSC

pelet komposit akan terdapat puncak eksotermik pada rentang temperatur 600-700

o

C

dan puncak endotermik pada rentang temperatur 800-900

o

C dan 900-1000

o

C. Reaksi

eksotermik dan kedua reaksi endotermik tersebut berturut-turut diasosiasikan dengan

reaksi reduksi hematit (Fe

2

O

3

), magnetit (Fe

3

O

4

) dan wustit (FeO) yang terjadi pada

bijih besi oleh gas CO hasil gasifikasi karbon yang terdapat pada batu bara yang terjadi

pada temperatur 450-950

o

C. Namun pada kurva DSC pelet komposit yang diperoleh

tidak terdapat puncak-puncak tersebut. Hal ini disebabkan mungkin karena pada pelet

yang diuji jumlah batu bara yang dikandungnya sedikit sehingga tidak cukup

menyuplai karbon untuk membentuk gas CO sebagai reduktor bijih besi yang

dikandung pelet.

Dari kurva TG pada Gambar 3 terlihat pelet komposit mengalami kehilangan massa

sekitar 10.84 mg dari massa awal 38.84 mg menjadi 28 mg. Dalam hal ini terlihat

bahwa reaksi pembebasan kandungan air permukaan yang ditunjukkan pada puncak

Endo 1 mengakibatkan berkurangnya massa sekitar 1.09 mg atau 10.05% dari total

kehilangan massa.

(10)

Dalam kurva TG juga terlihat bahwa reaksi dehidroksilasi goethite yang

ditunjukkan pada puncak Endo 2 mengakibatkan berkurangnya massa sekitar 0.75 mg

atau 6.91% dari total kehilangan massa. Reaksi eksotermik dan kedua reaksi

endotermik tersebut berturut-turut diasosiasikan dengan reaksi reduksi hematit

(Fe

2

O

3

), magnetit (Fe

3

O

4

) dan wustit (FeO) yang terjadi pada bijih besi oleh gas CO

hasil gasifikasi karbon mengakibatkan kehilangan massa sekitar 5.1 mg atau 47.05%,

1.15 mg atau 10.61%, serta 2.75 mg atau 25,38%.

Hasil Pengujian STA Pelet Komposit Bijih Besi/Batubara 1:2

Pada proses-proses termal di pelet komposit bijih besi/batu bara dengan rasio

massa 1:2 perubahan entalpi yang terjadi akan memperlihatkan hasil yang sama

dengan perubahan entalpi pada proses termal di bijih besi sebelum temperatur 600

o

C.

Hal ini terlihat pada Gambar 4 dimana terdapat puncak Endo 1 dan Endo 2 yang

(11)

merupakan reaksi pembebasan kandungan air dan reaksi dehidroksilasi goethite yang

diikuti pembentukan hematit.

Menurut G. Liu dkk

[4]

, sesudah temperatur 600

o

C kurva DSC pelet

kompositakan menunjukkan hasil yang berbeda dengan kurva DSC bijih besi. Pada kurva

DSC pelet komposit akan terdapat puncak eksotermik pada rentang temperatur 600-700

o

C

dan puncak endotermik pada rentang temperatur 800-900

o

C dan 900-1000

o

C. Reaksi

eksotermik dan kedua reaksi endotermik tersebut berturut-turut diasosiasikan dengan

reaksi reduksi hematit (Fe

2

O

3

), magnetit (Fe

3

O

4

) dan wustit (FeO) yang terjadi pada bijih

besi oleh gas CO hasil gasifikasi karbon yang terdapat pada batubara yang terjadi

pada temperatur 450-950

o

C. Tetapi pada kurva DSC pelet komposit yang diperoleh tidak

terdapat puncak-puncak tersebut yang mungkin disebabkan karena pelet yang diuji jumlah

batubara yang dikandungnya masih kurang banyak sehingga kurang cukup menyuplai

karbon untuk membentuk gas CO sebagai reduktor bijih besi yang dikandung pelet.

Dari kurva TG pada Gambar 4 terlihat pelet komposit mengalami

kehilangan massa sekitar 12.323 mg dari massa awal 34.323 mg menjadi 22 mg. Dalam

hal ini terlihat bahwa reaksi pembebasan kandungan air permukaan yang ditunjukkan

pada puncak Endo 1 mengakibatkan berkurangnya massa sekitar 1.323 mg atau 10.73%

dari total kehilangan massa. Dalam kurva TG juga terlihat bahwa reaksi dehidroksilasi

goethite yang ditunjukkan pada puncak Endo 2 mengakibatkan berkurangnya massa

sekitar 0.6 mg atau 4.86% dari total kehilangan massa. Reaksi eksotermik dan kedua

reaksi endotermik tersebut berturut-turut diasosiasikan dengan reaksi reduksi hematit

(Fe

2

O

3

), magnetit (Fe

3

O

4

) dan wustit (FeO) yang terjadi pada bijih besi oleh gas CO

hasil gasifikasi karbon mengakibatkan kehilangan massa sekitar 5.6 mg atau 45.44%,

1.1 mg atau 8.92%, serta 2.8 mg atau 22,71%.

Hasil Pengujian STA Batubara

Puncak Endotermik 1 yang berada pada temperatur sekitar 74,2

o

C disebabkan oleh

reaksi pembebasan kandungan air sampel. Sedangkan pada temperatur sekitar 307

o

C

tampak Puncak Eksotermik 1 yang diasumsikan terjadi karena reaksi pembentukan tar dan

pembebasan materi volatil yang dikandung batubara

[7]

.

Sedangkan dilihat dari kurva TG sampel pelet batubara pada Gambar 4, sampai

dengan temperatur sekitar 115

o

C terjadi penghilangan berat sebesar 8,8% dari berat awal

sampel batubara. Kehilangan berat ini terjadi karena reaksi pelepasan kandungan air

sampel.

(12)

Pada rentang temperatur 115

o

-405

o

C diasumsikan terjadi reaksi pembentukan tar

dan pembebasan materi volatil yang dikandung batubara yang menyebabkan kehilangan

berat sebesar 20% dari berat awal sampel

[6]

. Kemudian pada rentang temperatur

405o-987oC persentase kehilangan berat bertambah menjadi 55,9% dari berat awal yang

diakibatkan reaksi gasifikasi karbon batubara

[6]

.

Efek Rasio Massa

Dari grafik XRD yang diperoleh, dapat terlihat peningkatan jumlah FeO

dan Fe

3

O

4

dari rasio massa

2:1 , 1:1, ke 1:2. Hal tersebut menunjukkan terjadinya

reduksi pada pellet setelah percobaan dilakukan. Pada grafik 1:2 terdapat pula

peningkatan jumlah Fe

2

O

3

, yang diasumsikan terjadinya oksidasi kembali dari

Fe

3

O

4

menjadi Fe

2

O

3

.

Pada grafik XRD yang diperoleh, hasil reduksi seluruh sampel pada

temperature 900

o

C tidak terdapat puncak FeO. Ini mungkin terjadi juga, karena Fe

yang mengalami re-oksidasi membentuk FeO kemudian FeO juga re-oksidasi

membentuk magnetite berdasarkan persamaan :

(13)

2Fe + O

2

= 2FeO

ΔF = -124100 + 29,9T kal/mol

6FeO + O

2

= 2Fe

3

O

4

ΔF = -149240 + 59,8T kal/mol

Re-oksidasi dapat terjadi karena pada saat pencampuran pelet tidak

homogen (batubara tidak homogen tersebar pada pelet) sehingga pada saat

pemanasan CO dari sisi permukaan pelet habis terlebih dahulu yang disebabkan

oleh ketidakhomogenan sampel, yang menyebabkan Fe kontak langsung dengan

O sehingga terdapat kemungkinan teroksidasi kembali. Ini memungkinkan Fe

dapat bereaksi dengan oksigen membentuk FeO,FeO membentuk Fe

3

O

4

dan

Fe

3

O

4

membentuk Fe

2

O

3

.

Pada grafik XRD terlihat bahwa tren peak hematite yang terdapat pada

sampel awal menurun, seiring dengan peningkatan kandungan batubara dalam

komposisi pelet. Pada temperature reduksi 500

o

C hematit mulai mengalami

reduksi menjadi magnetit oleh gas CO dimana hal tersebut dapat dilihat dari

puncak-puncak hematite yang berubah menjadi puncak magnetite. Semakin

menurunnya peak hematite,dengan pemberian perlakuan temperatur yang sama,

disebabkan oleh semakin meningkatnya kadar gas CO yang dihasilkan oleh pelet

yang memiliki kandungan batubara lebih, yaitu pelet komposisi rasio massa

1:2.

Di bawah ini adalah reaksi reduksi hematite oleh gas CO menjadi magnetit :

3Fe

2

O

3

+ CO → 2Fe

3

O

4

+ CO

2

Reaksi reduksi hematite membentuk magnetite terjadi pada rentang

temperatur 500

o

C dan 670

o

C oleh gas CO hasil dari devolatilisasi batubara

[7]

. Gas

CO mulai dihasilkan dari devolatilisasi batubara pada temperatur 450

o

C

[7

sehingga

pembentukan magnetit tersebut akibat reduksi hematit bisa terjadi pada pelet

komposit.

Puncak SiO

2

muncul diduga karena terjadi dekomposisi fayalite saat reduksi

berlangsung, dengan persamaan reaksi:

2FeO.SiO

2

+ 2CO

2Fe + SiO

2

+ 2CO

2

Pada grafik XRD terlihat bahwa semakin meningkatnya kandungan

batubara yang dimiliki oleh pelet komposit maka intensitas peak SiO

2

akan

meningkat juga. Hal ini diduga diakibatkan semakin banyaknya gas reduktor yang

dihasilkan. Terlihat dalam reaksi dekomposisi fayalite dibutuhkan gas CO dalam

(14)

jumlah yang cukup, sehingga keberadaan gas tersebut sangat berpengaruh. Hal ini

terlihat pada sampel rasio massa

1:2 yang memiliki kandungan batubara paling

banyak , menunjukkan intensitas peak SiO

2

tertinggi, karena gas reduktor total

yang terkandung pada sampel rasio massa

1:2 merupakan terbanyak dibandingkan

sampel lainnya.

Dey dkk.

[4]

menyatakan bahwa pada temperatur dibawah 10000C

reaksi reduksi

terjadi

dengan

menggunakan

gas

CO.

Namun pada

temperatur diatas 10000C reaksi yang lebih dominan adalah reaksi reduksi

langsung antara besi oksida dan juga karbon. Hal tersebut juga dikuatkan

dengan hasil penelitian Wang dkk.

[8]

yang menghasilkan kesimpulan serupa.

Salah

satu faktor yang berpengaruh

terhadap kinetika reaksi

reduksi langsung adalah kadar karbon yang ditambahkan. Untuk mengetahui

pengaruh penambahan kadar karbon terhadap laju reaksi reduksi langsung, maka

pada penelitian dilakukan variasi terhadap jumlah karbon yang ditambahkan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini mendekati dengan penelitian

yang dilakukan oleh Dey dkk

[4]

. Dalam penelitian ini, variasi rasio massa yang

dilakukan adalah 2:1, 1:1, dan 1:2. Analisa yang dilakukan menggunakan

software Match!

Dalam menganalisa peak apa saja yang diperoleh. Pada pelet

komposit rasio massa

2:1, peak Fe yang ditemukan hanya satu, sehingga dapat

diasumsikan tidak ada fasa Fe yang terbentuk pada pelet komposit rasio

massa2:1. Berbeda dengan pelet komposit rasio massa

2:1, pada pelet komposit

rasio massa

1:1 dan 1:2, terdapat 3 peak Fe yang terbentuk. Hal ini

menunjukkann pada pelet komposit rasio massa

1:1 dan 1:2 terbentuk fasa Fe.

Peak fasa Fe yang terbentuk pada pelet komposit rasio massa

1:2 lebih tinggi

dibandingkan peak fasa Fe yang diperoleh pada pelet komposit rasio massa

1:1.

Hal ini menunjukkan perolehan Fe pada pelet komposit rasio massa

1:2 lebih

banyak dibandingkan pada pelet komposit rasio massa

1:1. Analisanya, hal ini

disebabkan jumlah gas reduktor (CO) yang dihasilkan pada saat proses reduksi

langsung lebih banyak dihasilkan pada pelet komposit

mass ratio

1:2

dibandingkan pelet komposit rasio massa

1:1.

(15)

Hal ini dapat terlihat dari Diagram Bouduard bahwa proses reduksi FeO menjadi Fe

terjadi pada perpotongan garis kesetimbangan Bouduard dan garis kesetimbangan Wustit

pada 700

o

C terlihat pada gambar 4.9. Sehingga pada temperatur 900

o

C akan terbentuk Fe

metal sesuai dengan persamaan reaksi:

FeO + CO = Fe + CO

2

Pada

diagram

Boudard-Baur-Glaessner

terlihat

reaksi

reduksi

pembentukan Fe dapat berjalan jika besarnya persentasi CO minimal 60%. Sehingga

semakin tinggi persentasi gas CO yang tersedia pada saat proses reduksi berlangsung

maka semakin mudah terbentuk Fe pada produk akhir. Reaksi pembentukan gas CO dari

karbon (gasifikasi karbon) merupakan reaksi endotermik sehingga membutuhkan

temperature tinggi hingga 1000

o

C agar bisa dihasilkan 100% gas CO. Reaksi gasifikasi

karbon adalah sebagai

berikut :

C + O

2

→ CO

2

CO

2

+ C → CO

Gas CO yang terbentuk akan digunakan sebagai reduktor besi oksida di dalam pellet

untuk membentuk Fe.

Analisis Foto Makro

Tren yang diperoleh dari foto makro yang diperoleh adalah pada sampel rasio

massa 2:1 terjadi aglomerat yang besar. Ini menunjukkan unsur-unsur yang paling banyak

terkumpul adalah pada rasio massa

2:1, karena pada foto makro pelet rasio massa

2:1

terlihat aglomerat yang paling luas terjadi, dibandingkan dengan pelet rasio massa

1:1

dan 1:2.

Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan, mengenai rasio

massa bijih besi : batubara yaitu :

Efek dari rasio massa

terhadap perubahan fasa adalah semakin banyaknya kandungan

reduktor dalam komposisi pelet akan meningkatkan tingkat reduksi yang terjadi, yang

(16)

menghasilkan Fe (ataupun FeO) yang lebih banyak.

Efek perbedaan rasio massa

dari pelet terhadap perubahan struktur makro pada bijih

besi tidak dapat dijelaskan secara spesifik berdasarkan komposisi, namun bisa

terlihat aglomerat pada saat setelah pemanasan pada tiap-tiap sampel rasio massa

.

Rasio massa pelet yang paling efisien adalah rasio massa

yang memiliki kandungan

reduktor paling banyak (yang bisa memproduksi gas reduktor paling banyak), yaitu mass

ratio 1:2, pada suhu 900

o

C dan waktu tahan 30 menit, karena pada kondisi tersebut

diperoleh peningkatan jumlah Fe dan FeO.

Daftar Pustaka

[1].

Suharno, Bambang.

Diktat Kuliah Pembuatan Besi Baja

. Departemen Metalurgi dan

Material FTUI. Depok : 2008

[2].

Wallace, D. Huskonen.

New Ironmaking Technology to Get Demo Plant. Metal Producing

.

2001

[3].

Hoffman, G. & Tsuge, O..

Itmk3 – Application of new ironmaking technology for the iron

mining industry

. Mining Engineering, 56, 2004

[4].

Liu, G., Strezov, V., Lucas, J.A., Wibberley, L.J. (2004).

Thermal investigations of direct

iron ore reduction with coal

. Thermochimica Acta, 410, 133-140.

[5].

Sah, R & Dutta, S. K. (2010). Kinetic Studies of Iron Ore–Coal Composite Pellet

Reduction by TG–DTA. Indian Institute of Metals.

[6].

Lin Yang, Jing-yu Ran, & Li Zhang. (2011). Mechanism and kinetics of pyrolysis of coal

with high ash and low fixed carbon contents.

Transactions of the ASME - M - Journal of

Energy Resources Technology

, 133, 9, 031701.

[7].

Brown, Michael E. Introduction to thermal analysis- techniques and applications (2nd ed.).

London : Kluwer academic publishers. 2001

[8].

Q. Wang, Z. Yang, J. Tian, W. Li, and J Sun:

Ironmaking and Steelmaking

, vol. 24,

pp. 457-60. 1997.

Gambar

Gambar  1  menunjukkan  hasil  pengujian  STA  bijih  besi  berupa  kurva  TG  dan  kurva DSC
Gambar  3  menunjukkan  hasil  pengujian  STA  pelet  komposit  bijih  besi/batubara 1:1 berupa kurva TG dan kurva DSC
Gambar  4.  menunjukkan  hasil  pengujian  STA  batubara  berupa  kurva  TG  dan  kurva DSC
Gambar 6. (a) Foto makro pelet sebelum direduksi, perbesaran 50x;(b) Foto makro pellet 2:1

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi dan inspirasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengungkap kemampuan matematis lainnya

Ketiga, Pertamina juga bergabung dalam Perusahaan Patungan Indonesia Battery Company untuk memproduksi baterai kendaraan listrik hingga 140 gigawatt hour (GWh) pada 2029.

Yang diajukan untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia,

yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Metalurgi dan Material, Departemen Teknik Metalurgi dan Material

yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Metalurgi Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik

Yang dibuat untuk melengkapi persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Jurusan Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia, sejauh yang saya ketahui bukan

Suara yang saya gunakan untuk menganalisa kelima aspek tersebut berasal dari bermacam-macam tepukan tangan yang diajarkan dosen saya, Bapak Joko Sarwono (untuk

Pernyataan tersebut sependapat dengan hasil penelitianYaniawati (2013) yang mengatakan HOTS pebelajar lebih tinggi menggunakan sistem pembelajaran blended dibandingkan