• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK PERUSAHAAN PERKEBUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK PERUSAHAAN PERKEBUNAN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

1 LAMPIRAN 1 : PERATURAN MENTERI PERTANIAN

NOMOR : TANGGAL :

PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK PERUSAHAAN PERKEBUNAN

No. Prinsip dan

Kriteria Indikator Panduan Peraturan terkait

1.

1.1

PERIZINAN LAHAN USAHA PERKEBUNAN Izin Lokasi

Pengelola

perkebunan harus memperoleh izin lokasi dari pejabat yang berwenang

1. Tersedia izin lokasi dari pejabat berwenang sesuai peraturan yang berlaku 2. Tanah yang dapat ditunjuk

dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukan bagi

penggunaan yang sesuai dengan rencana

3. Pemegang Izin Lokasi wajib membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan 4. Pemegang izin lokasi wajib

memenuhi persyaratan

a. Izin Lokasi diterbitkan oleh instansi berwenang sesuai ketentuan yang berlaku dikaitkan dengan tahun penerbitan

b. Untuk pembukaan kebun setelah tanggal 4 Februari tahun 2011, Izin lokasi diterbitkan oleh Badan Pertanahan dengan pertimbangan Tim Teknis Pertanahan sesuai dengan hal sebagai berikut:

 Pertimbangan Teknis Pertanahan lintas wilayah Provinsi dilaksanakan oleh Tim Pertimbangan Teknis

Pertanahan Nasional, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;

1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/

OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

2) Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor

.565/Kpts/org/10/1997 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pertanian Dalam Rangka Penanaman Modal Kepada Ketua BKPM 3) Peraturan Menteri Negara

Agraria Nomor 2 tahun 1993 Tentang Tata cara

memperoleh izin lokasi dan hak atas tanah bagi

perusahaan dalam rangka

(2)

2 Kriteria

yang berlaku

5. Untuk usaha perkebunan yang berasal dari hak erfpacht dikecualikan dari kewajiban untuk memiliki izin lokasi.

 Pertimbangan Teknis Pertanahan lintas wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Tim Pertimbangan Teknis Pertanahan Provinsi, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional; dan

 Pertimbangan Teknis

Pertanahan dalam satu wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Tim Pertimbangan Teknis Pertanahan Kabupaten/Kota, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan.

c. Apabila di dalam areal izin lokasi terdapat tanaman dan bangunan, perusahaan perkebunan harus mengganti rugi atas kehilangan tanaman dan bangunan tersebut yang besarnya ganti ruginya ditentukan oleh oleh Tim atau instansi pemerintah setempat d. Perolehan tanah oleh pemegang

Izin Lokasi harus diselesaikan dalam jangka waktu 3 tahun (waktu Izin Lokasi), yang sesuai dengan luas areal izin lokasi.

e. Apabila dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (C) perolehan tanah

penanaman modal.

4) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 Tentang Izin Lokasi

5) Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 2011 Tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah;

(3)

3 Kriteria

belum selesai, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah

diperoleh mencapai lebih dari 50%

dari luas tanah yang ditunjuk dalam Izin Lokasi.

f. Apabila perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu Izin Lokasi, maka tanah tidak memperoleh Izin Lokasi dan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh dilakukan tindakan sebagai berikut:

- Dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal dengan penyesuaian mengenai luas pembangunan, dengan ketentuan bahwa apabila diperlukan masih dapat

dilaksanakan perolehan tanah sehingga diperoleh bidang tanah yang merupakan satu kesatuan bidang;

- Dilepaskan kepada perusahaan atau pihak lain yang memenuhi syarat

g. Hak erfpacht berakhir pada tanggal 24 September 1980 (20 tahun setelah terbitnya UU No 5 Tahun 1960 tentang UUPA).

(4)

4 Kriteria

1.2 Perusahaan perkebunan harus memiliki Izin Usaha Perkebunan

Telah memiliki izin usaha perkebunan seperti: Izin Usaha Perkebunan (IUP), Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B), Izin Usaha

Perkebunan Pengolahan (IUP-P), Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP), Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan (ITUBP) atau Izin Usaha Tetap Usaha Industri Perkebunan (ITUIP).

1.

1. Izin Usaha Perkebunan diterbitkan oleh Bupati untuk areal yang berada dalam satu kabupaten dan oleh Gubernur apabila lokasinya lintas kabupaten.

2. IUP adalah izin usaha perkebunan dengan luas areal diatas 1.000 ha dan harus terintegrasi dengan unit pengolahan.

3. IUP-B wajib dimiliki oleh usaha budidaya tanaman perkebunan bila luasan usaha perkebunan lebih dari 25 hektar.

4. IUP-P wajib dimiliki oleh unit pengolahan dengan kapasitas diatas 5 ton/jam dan harus memenuhi penyediaan bahan baku paling rendah 20% dari kebun sendiri dan kekurangannya wajib dipenuhi dari masyarakat atau kemitraan pengolahan.

5. IUP, SPUP, ITUBP dan ITUIP yang diterbitkan sebelum Permentan No 98/2013 tentang Pedoman IUP diundangkan tetap berlaku.

6. Perusahaan perkebunan yang telah memiliki hak atas tanah namun belum memiliki izin sesuai butir 5 tersebut diatas wajib memiliki salah satu perizinan

1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/

OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

2) Permenhut no.P.33/Menhut- II/2010 tentang Pelepasan kawasan hutan Produksi yang dapat dikonversi 3) Permenhut No.P.41/Menhut-

II/2012Perubahan aras Peraturan Menteri

Kehutanan no.P.32/Menhut- II/2010 tentabng tukar Menukar Kawasan hutan 4) Surat Keputusan Menteri

Pertanitan

Nomor.565/Kpts/org/10/1997 Tentang Pelimpahan

Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pertanian Dalam Rangka Penanaman Modal Kepada Ketua BKPM

(5)

5 Kriteria

usaha perkebunan yang sesuai setahun setelah peraturan tentang pedoman IUP diundangkan.

7. Setelah terbitnya Keppres No. 32 Tahun 1979, usaha perkebunan yang berasal dari hak erfpacht harus memiliki izin usaha perkebunan.

8. Bagi Pelaksana Program

Pemerintah (PIR-Trans atau PIR- Bun), tidak dipersyaratkan memiliki izin usaha perkebunan

1.3 Perolehan lahan usaha perkebunan

Lahan usaha perkebunan dapat berasal dari lahan dengan status:

1. Areal Penggunaan Lain lain (APL).

2. Lahan kawasan hutan dari katagori jenisHutan

Produksi Konversi (HPK).

3. Tanah Adat/Tanah Ulayat dari Masyarakat Hukum Adat.

a. Kewenangan penggunaan lahan APL adalah pada pemerintah daerah (bupati/gubernur). Dalam hal ini apabila perusahaan telah memperoleh Izin Lokasi dengan perizinan lainnya antara lain IUP dapat diproses untuk

memperoleh Hak Guna Usaha (HGU).

b. Lahan Kawasan Hutan sebelum untuk memperoleh HGU

diperlukan proses pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

c. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum

1) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, 1) UU no 41 tahun 1999

Tentang Kehutanan.

2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,

2) Permen Agraria No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ,

3) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 Tentang Izin Lokasi

4) Peraturan Badan Pertanahan Nasional

(6)

6 Kriteria

adat menurut ketentuan hukum adat setempat,

d. Terdapat hak adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum adat, e. Dalam hal tanah yang digunakan

adalah tanah ulayat masyarakat hukumadat, perusahaan wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat

pemegang hak ulayat yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai

penyerahan tanah dan imbalannya.

Nomor 2 tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah;

5) Permenhut no.P.33/Menhut- II/2010 tentang Pelepasan kawasan hutan Produksi yang dapat dikonversi 6) Permenhut No 17/Menhut-

II/2011 tentang Perubahan atas Permenhut No P.33/Menhut- II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi;;

7) Permenhut No.P.41/Menhut- II/2012Perubahan aras Peraturan Menteri

Kehutanan no.P.32/Menhut- II/2010 tentabng tukar Menukar Kawasan hutan

(7)

7 Kriteria

1.4 Hak Atas Tanah Pengusaha perkebunan wajib memiliki hak atas tanah berupa HGU.

1. Memiliki HGU dengan luasan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perizinan usaha perkebunan,

1. HGU adalah Hak Atas Tanah negara yang wewenangnya diberikan kepada pemegangnya, tanah tersebut digunakan untuk usaha pertanian, peternakan dan perikanan sesuai peruntukannya, 2. HGU diberikan oleh menteri atau

pejabat yang ditunjuk. Sebagai bukti pemegang HGU diberikan sertifikat tanah,

3. HGU diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat perbaharui selama 35 tahun.

4. Apabila di areal HGU masih terdapat bangunan dan/atau tanaman maka sesuai

Permendagri No 15/1975 harus diberikan ganti rugi yang

besarnya ganti rugi dittetapkan oleh tim yang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat.

1) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria,

2) PP N0.40 Tahun 1996 Tentang HGU, HGB dan HP Atas Tanah,

3) Permen Agraria No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

4) Peraturan Pemerintah no.

24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah 5) Kep Pres no.34 Tahun

2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

6) Permenhut

no.P.33/Menhut-II/2010 Tentang Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang dapat dikonversi 8) Permenhut

no.P.41/Menhut-

II/2012Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan

no.P.32/Menhut-II/2010 Tentang Tukar Menukar

(8)

8 Kriteria

Kawasan Hutan

9) UU no 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.

10) Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;

1.5 Pembangunan kebun masyarakat sekitar

Perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 ha atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20% dari luas areal IUP-B atau IUP.

1. Dokumen kerjasama perusahaan dengan masyarakat sekitar kebun dalam memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah 20% dari total areal kebun yang diusahakan;

2. Laporan perkembangan realisasi fasilitasi

pembangunan kebun masyarakat sekitar.

3. Penyelesaian

pembangunan kebun masyarakat paling lama 3 (tiga tahun) sejak

dimulainya pembangunan kebun perusahaan

a. Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah 20% hanya untuk perusahaan yang memperoleh IUP dan IUP-B dengan luasan 250 ha atau lebih.

Berdasarkan Permentan Nomor 98 Tahun 2013; Pembangunan tersebut mempertimbangkan:

1) Ketersediaan lahan

2) Jumlah keluarga masyarakat yang layak sebagai peserta.

3) Kesepakatan bersama antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar yang diketahui oleh dinas yang membidangi

perkebunan.

1) UU No 18 Tahun 3004 Tentang Perkebunan.

2) Permentan Nomor 98/Permentan/.140/89 Tahun 2013; Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan

3) PerMenhut no P.17/

Menhut-II/ tahun 2011 Tentang Perubahan Peraturan Menteri

Kehutanan no.P.33/Menhut- II/2010 Tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi

(9)

9 Kriteria

b. Kewajiban memfasilitasi

pembangunan kebun masyarakat seluas 20% dari luas kebun inti tidak berlaku bagi perusahaan perkebunan yang telah melakukan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR- KKPA atau pola kerjasama inti plasma lainnya, sedang bagi perusahaan perkebunan yang belum melakukan kerjasama tersebut wajib melakukan kegiatan produktif untuk masyarakat sekitar yang diketahui oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai

kewenangannya.

c. Kewajiban memfasilitasi pembangun kebun masyarakat tersebut dilakukan dengan memanfaatkan kredit, bagi hasil dan / atau bentuk pendanaan lain sesuai kesepakatan dan

peraturan perundang undangan.

d. Bagi badan hukum yang berbentuk koperasi tidak wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20%.

1.6 Lokasi Perkebunan Pengelola

perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan lahan

1. Rencana tataruang sesuai peraturan perundang- undangan

2. Rekaman perolehan hak

a. Bagi perusahaan yang berlokasi di provinsi/kabupaten yang belum menetapkan RUTWP/ RUTWK, dapat menggunakan Rencana

1) UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penata Ruang 2) PP 26 tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang

(10)

10 Kriteria

perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tataruang Wilayah Provinsi (RUTWP) atau Rencana Umum Tataruang Wilayah

Kabupaten/Kota (RUTWK).

atas tanah 3. Peta lokasi

kebun/topografi/jenis tanah.

Umum Tata Ruang yang berlaku.

b. Tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut tataruang wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana pengembangan wilayah tersebut yang akan dilaksanakan oleh suatu perusahaan.

c. Perusahaan pemegang Izin Lokasi wajib menghormati

kepentingan pihak pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan, tidak menutup atau mengurangi aksesibilitas dan melindungi kepentingan umum.

d. Bagi lahan yang berasal dari Kawasan Hutan yaitu Hutan Produksi Konversi (HPK) diperlukan persetujuan dari Kementerian Kehutanan serta perusahaan perkebunan kelapa sawit telah memenuhi kewajiban tukar menukar kawasan sesuai ketentuan yang berlaku.

e. Bagi perusahaan perkebunan yang memperoleh hak atas tanah sebelum tahun 1960 (Undang- Undang Pokok Agraria), cukup menunjukkan HGU yang terakhir.

f. Melaporkan perkembangan perolehan hak atas tanah dan penggunaannya.

Wilayah Nasional 3) PP No. 16 tahun 2004

Tentang Penatagunaan Tanah.

(11)

11 Kriteria

a. 3)

1.7 Tanah Terlantar Perusahaan perkebunan harus memanfaatkan hak atas tanah sesuai dengan

peruntukannya.

Tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan haknya oleh negara berupa HGU, HGB dan HP, atau dasar penguasaan tanah yang tidak diusahakan, tidak

dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya dengan sifat dan tujuan dari penguasaan tersebut.

a. Hak atas tanah yang

ditelantarkan kurang atau sama dengan 25%, pemegang hak dapat mengajukan revisi luas.

b. Tanah yang diusulkan tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar dan dinyatakan keadaanya status quo sejak tanggal pengusulan.

c. Dalam waktu 1 bulan setelah dinyatakan tanah terlantar, tidak dapat dilakukan perlakuan hukum apapun atas hak atas tanah tersebut dan wajib dikosongkan dan dikembalikan haknya kepada negara.

5) UU No 5 Tahun 1960 Tentang UUPA.

6) PP No.11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Tanah Terlantar.

7) PP No 40 Tahun 1996 Tentang HGU, HGB dan HP

1.8 Sengketa Lahan Pengelola perkebunassn wajib

menyelesaikan sengeka lahan

1. Pengelola perkebunan wajib mendaftarkan sengketa lahan yang ada di dalam areanya kepada BPN untuk diselesaikan,

a. Sengketa pertanahan selanjutnya adalah perselisihan antara

perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak sosio-politik.

1) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 Tentang

Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus

Pertanahan.

(12)

12 Kriteria

yang ada di dalam areanya dengan melibatkan instansi yang terkait.

termasuk pembuatan peta dari lahan yang

disengketakan tersebut.

2. Pengelola perkebunan harus dapat membuktikan bahwa sengketa lahan yang ada di arealnya telah disepakati

penyelesaiannya 3. Rekaman penyelesaian

masalah sengketa dan rekaman masalah sengketa yang sedang diproses.

b. Lahan yang disengketakan, harus dienclave selama dalam proses penyelesaian

c. Dalam hal sengketa lahan yang dalam gugatannya, memiliki bukti yang sangat kurang , Perlu dibuat peta lahan, juga harus ditangani oleh Tim BPN.

d. Penyelesaian lahan dapat melalui dengan mediasi / negosiasi atau musyawarah , dimana peta lahan sedang diproses, apabila tidak dapat diselesaikan dengan cara ngosiasi dan musyawarah maka ditempuh jalur hukum.

2) Peraturan Menteri

Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

3) Permendagri No 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan ketentuan

Pembebasan tanah;

4) PP no. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

1.9 Bentuk Badan Hukum Perusahaan

Perkebunan kelapa sawit harus

berbentuk badan hukum.

Diibuktikan dengan dokumen sesuai peraturan perundang- undangan.

1. Bentuk badan hukum antara lain : a. Perseroan Terbatas;

b. Yayasan;

c. Koperasi.

2. Badan hukum asing yang melakukan usaha perkebunan wajib bekerjasama dengan pelaku usaha perkebunan dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

3. Bukti dokumen antara lain berupa akta pendirian, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

1) UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;

2) UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;

3) UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

4) UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

5) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

6) UU No 4 Tahun 2007 tentang Perseroian

(13)

13 Kriteria

Terbatas;

7) UU No 17 Tahun 2012 tentang Koperasi.

8) Permentan No 98/

Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan;

2

2.1

MANAJEMEN PERKEBUNAN, Perencanaan Perkebunan Perkebunan harus memiliki

perencanaan jangka panjang untuk

memproduksi minyak sawit berkelanjutan.

1. Perusahaan telah memiliki Visi dan Misi untuk

memproduksi minyak sawit berkelanjutan

2. Memiliki struktur organisasi dan uraian tugas yang jelas bagi setiap unit dan

pelaksana.

3. Memiliki perencanaan jangka panjang yang dijabarkan dalam perencanaan minimal 5 tahun dimana evaluasi dilakukan setiap tahun untuk menjamin

berlangsungnya usaha perkebunan. Perencanaan tersebut meliputi

replanting, proyeksi

a. Visi dan Misi minyak sawit berkelanjutan menjadi komitmen perusahaan mulai dari pimpinan tertinggi hingga seluruh karyawan b. Tersedia rencana kerja jangka

pendek dan jangka panjang pembangunan perkebunan;

c. Tersedia hasil audit neraca keuangan perusahaan oleh akuntan publik;

d. Tersedia laporan tahunan yang secara lengkap menjelaskan kegiatan perusahaan;

e. Tersedia informasi tentang kewajiban pembayaran pajak;

f. Tersedia SOP perekrutan karyawan;

g. Tersedia sistem penggajian dan pemberian insentif;

1) UU No.12 tahun 1992 Tentang Sitem Budidaya Tanaman

2) UU No.18 Tahun 2004 Tentang perkebunan 3) Permentan

No.98/Permentan/OT.140/9/

2013 Tentang Pedoman Perizinan Perkebunan 4) Permentan 07/T.140/2/2009

Tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan

(14)

14 Kriteria

produksi, proyeksi

rendemen, perkiraan harga dan indikator keuangan.

4. Memiliki Sistem

Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).

5. Dalam hal melakukan kemitraan harus dilengkapi dengan perjanjian secara tertulis yang diketahui oleh Pemerintah Daerah untuk menghasilkan minyak sawit berkelanjutan.

h. Memiliki sistem jenjang karier dan penilaian prestasi kerja;

i. Tersedia peraturan perusahaan tentang hak dan kewajiban karyawan ;

j. Tersedia peraturan dan sarana keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ;

k. Rekaman pelatihan yang telah diikuti oleh karyawan kebun;

l. Identifikasi jenis pelatihan yang diperlukan oleh perusahaan

2.2

2.2.1

2.2.1.1

Penerapan Teknis Budidaya dan Pengolahan Hasil

Penerapan pedoman teknis budidaya

Pembukaan lahan Pembukaan lahan yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air

1. Tersedia SOP pembukaan lahan termasuk penataan lahan

2. Tersedia peta penataan lahan

a. SOP pembukaan lahan harus mencakup :

- Pembukaan lahan tanpa bakar - Sudah memperhatikan kaidah-

kaidah konservasi tanah dan air;

1) UU No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman.

2) UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan

(15)

15 Kriteria

3. Tersedia rekaman pembukaan lahan

b. Penataan lahan meliputi penataan blok, pembuatan jalan kebun dan emplasemen

c. Dokumentasi kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar sejak tahun 2004 tidak diperkenankan.

d. Pembuatan sistem drainase, terasering bagi lahan dengan kemiringan tertentu, penanaman tanaman penutup tanah (cover crops) untuk meminimalisir erosi dan kerusakan/degradasi tanah.

e. Pembukaan lahan dilakukan berdasarkan persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan (dahulu dikenal dengan AMDAL/RKL-RPL) sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

1. Perusahaan dilarang membuka lahan dan penanaman kelapa sawit dengan jarak sampai dengan:

- 500 m tepi waduk/danau.

- 100 m kiri kanan tepi sungai.

- 50 m kiri kanan tepi anak sumgai.

- 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang.

- 130 kali selisih pasang

teringgi dan pasang terendah dari tepi pantai

3) Kepres No.32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 4) Pedoman Teknis

Pembangunan Kebun Kelapa Sawit, Kementerian pertanian, Direktorat

Jenderal Perkebunan September 2007 5) Pedoman Teknis

Pembukaan Lahan Tanpa Bakar, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Jakarta 2007.

(16)

16 Kriteria

2.2.1.2 Konservasi

Terhadap Sumber dan Kualitas Aiir

1. Tersedia SOP identifikasi, pengelolaan dan

pemeliharaan sumber dan kualitas air.

2. Tersedia program pemantauan kualitas air permukaan yang

dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

3. Tersedia rekaman pengelolaan air dan pemeliharaan sumber air

a. Perusahaan harus menggunakan air secara efisien.

b. Perusahaan menjaga air buangan tidak terkontaminasi limbah

sehingga tidak menimbulkan

dampak negatif terhadap pengguna air lainnya.

c. Perusahaan melakukan pengujian mutu air di laboratorium secara berkala.;

d. Perusahaan harus

melindungi/melestarikan sumber air yang ada di areal perkebunan sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

1) UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2) UU No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan;

3) UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;

4) UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

5) PP No 35 Tahun 1991 Tentang Sungai;

6) PP No 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air.

7) PP No 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lokasi.

8) Kepres No 32 Tahun 1990 tTntang Pengelolaan Kawasan Lindung;

9) Kepmen LH No 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri.

10) Permen LH No 12 Tahun 2006 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah ke Laut

2.2.1.3 Perbenihan

(17)

17 Kriteria

Perusahaan perkebunan dalam menghasilkan produk

memanfaatkan benih unggul.

1. Tersedia SOP perbenihan.

2. Tersedia sertifikat benih yang diterbitkan oleh UPTD atau UPT Pusat

Perbenihan Perkebunan atau surat keterangan asal benih yang diterbitkan oleh Dinas yang

menyelenggarakan fungsi Perkebunan provinsi atau kabupaten/kota

3. Tersedia

rekaman/dokumentasi pelaksanaan penyediaan benih dan pengelolaan benih.

4. Tersedia

rekaman/dokumen penanganan benih/bibit yang tidak memenuhi persyaratan

Prosedur atau instruksi kerja/SOP pelaksanaan proses perbenihan harus dapat menjamin :

a. Benih yang digunakan sejak tahun 1997 merupakan benih bina yang berasal dari sumber benih yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah dan bersertifikat dari instansi yang berwenang.

b. Umur dan kualitas benih yang disalurkan sesuai ketentuan teknis.

c. Penanganan terhadap benih yang tidak memenuhi persyaratan dituangkan dalam Berita Acara

1) UU No 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman;

2) PP No 44 Tahun 1995 Tentang Perbenihan;

3) PP No 14 Tahun 2002 Tentang Karantina Tumbuhan;

4) Kepmenta No

511/Kpts/PD.310/3/2006 Tentang Komoditi Binaan Ditjen Perkebunan, Ditjen Tan Pangan dan Ditjen Hortikultura;

5) Permentan No

37/OT.140/8/2006 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas;

6) Permentan

No38/OT.140/8/2008 tentang Pemasukan dan

Pengeluaran Benih;

7) Permentan

No39/OT.140/8/2008 tentang Produksi Sertfikat Benih Bina.

2.2.1.4 Penanaman pada lahan mineral

Perusahaan 1. Tersedia SOP penanaman a. SOP atau instruksi kerja 1) UU No 12 Tahun 1992

(18)

18 Kriteria

perkebunan harus melakukan

penanaman sesuai baku teknis

yang mengacu kepada Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa Sawit di Lahan Mineral

2. Tersedia rekaman

pelaksanaan penanaman;

penanaman harus mencakup : - Pengaturan jumlah tanaman

dan jarak tanaman sesuai dengan kondisi lapangan dan praktek budidaya perkebunan terbaik.

- Adanya tanaman penutup tanah dan/atau tanaman sela.

- Pembuatan terasering untuk lahan miring.

b. Rencana dan realisasi penanaman.

Tentang Sistem Budidaya Tanaman;

2) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Perkebunan;

3) Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa Sawit, Dep Pertanian, Ditjen

Perkebunan, Desember 2006;

2.2.1.5 Penanaman pada Lahan Gambut Perusahaan perkebunan yang melakukan

penanaman kelapa sawit pada lahan gambut harus dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan

1. Tersedia SOP /instruksi kerja untuk penanaman pada lahan gambut dan mengacu peraturan perundang-undangan/

2. Penanaman dilakukan pada lahan gambut berbentuk hamparan dengan kedalaman < 3 m dan proporsi mencakup 70% dari luas areal gambut yang diusahakan;

Lapisan tanah mineral dibawah gambut bukan pasir kuarsa atau tanah sulfat masam dan pada lahan gambut dengan tingkat kematangan

SOP atau instruksi kerja penanaman harus mencakup :

a. Pengaturan jumlah tanaman dan jarak tanaman sesuai dengan kondisi lapangan dan praktek budidaya perkebunan terbaik.

b. Adanya tanaman penutup tanah.

c. Penurunan lapisan tanah gambut diukur dengan tonggak bertanda untuk menentukan besarnya kehilangan lapisan

1) UU No 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman;

2) UU No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.

3) Peraturan Menteri Pertanian No

14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk

Budidaya Kelapa Sawit;

4) Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa Sawit, Dep Pertanian, Ditjen

Perkebunan, Desember 2006;

(19)

19 Kriteria

matang (saprik).

3. Pengaturan tinggi air tanah (water level) antara 60-80 cm untuk

menghambat emisi karbon dari lahan gambut.

4. Rekaman pelaksanaan penanaman tanaman terdokumentasi.

1) Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa Sawit, Dep Pertanian, Ditjen

Perkebunan, Desember 2006;

2.2.1.6 Pemeliharaan tanaman

1. Tersedia SOP

pemeliharaan tanaman dengan menerapkan GAP kelapa sawit.

2. Tersedia

rekaman/dokumen

pelaksanaan pemeliharaan tanaman.

Pemeliharaan tanaman mencakup kegiatan:

- Mempertahankan jumlah tanaman sesuai standar;

- Pemeliharaan terasering dan tinggi muka air (drainase);

- Pemeliharaan piringan;

- Pemeliharaan tanaman penutup tanah (cover crop).

- Sanitasi kebun dan penyiangan gulma;

- Pemupukan berdasarkan hasil analisa tanah dan daun.

1) UU No 12 Tahun 2012 Tentang Sistem Budidaya Tanaman.

2) Kepmentan No

239/Kpts/OT.210/ 4/2003 Tentang Pengawasan Formula Pupuk Anorganik;

3) Pedoman Teknis

Pembangunan Kebun Kelapa Sawit, Dep Pertanian, Ditjen Perkebunan, Desember 2006;

2.2.1.7 Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Perusahaan perkebunan harus menerapkan sistem

1. Tersedia SOP pengamatan dan pengendalian OPT.

2. Tersedia SOP untuk

SOP dan instruksi kerja pengendalian OPT harus dapat menjamin bahwa :

a. Pengendalian OPT dilakukan secara terpadu (pengendalian

1) UU No 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman;

2) UU No 18 Tahun 2004

(20)

20 Kriteria

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai Pedoman Teknis.

penanganan limbah pestisida.

3. Tersedia rekaman

pelaksanaan pengamatan dan pengendalian OPT serta penggunaan jenis pestisida yang terdaftar.

hama terpadu/PHT), yaitu memadukan berbagai teknik pengendalian secara mekanis, biologis, fisik dan kimiawi.

b. Diterapkan sistem peringatan dini (Early Warning Sistem / EWS) melalui pengamatan OPT secara berkala;

c. Pestisida yang digunakan telah terdaftar di Komisi Pestisida Kementerian Pertanian.

d. Penanganan limbah pestisida dilakukan sesuai petunjuk teknis Komisi Pestisida untuk

meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan;

e. Tenaga (regu) pengendali yang sudah terlatih oleh institusi yang berwenang dan disetujui oleh komisi pestisida khusus untuk penggunaan pestisida terbatas . f. Memiliki gudang penyimpanan

alat dan bahan pengendali OPT g. Tersedia rekaman jenis tanaman

inang musuh alami OPT.

tentang Perkebunan;

3) UU No 32 Tahun 2009 TentangTentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

4) PP No Tahun 1973 Tentang Peredaran, Penggunaan dan Penyimpanan Pestisida;

5) PP N0 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan

kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

6) PP No 14 Tahun 2002 Tentang Karantina Tumbuhan;

7) PP No 6 Tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman;

8) Permentan No

887/Kpts/OT.210/ 9/1997 Tentang Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT);

9) Permentan No

1/Kpts/OT.140/1/ 2007 Tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida yang Dilarang dan Pestisida Terbaru;

10) Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa Sawit, Dep Pertanian, Ditjen

(21)

21 Kriteria

Perkebunan, Desember 2006;

2.2.1.8 Pemanenan Perusahaan perkebunan melakukan panen tepat waktu dengan cara yang baik dan benar dan mencatat produksi TBS

1. Tersedia SOP

pelaksanaan pemanenan 2. Tersedia rekaman

produksi bulanan, triwulan, semester dan tahunan 3. Tersedia informasi

proyeksi produksi sampai dengan tahun mendatang.

SOP dan instruksi kerja pelaksanaan pemanenan harus mencakup : - Penyiapan tenaga kerja, peralatan

dan sarana penunjangnya.

- Penerapan penetapan kriteria matang panen dan putaran panen.

1) UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;

2) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

3) Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa Sawit, Dep Pertanian, Ditjen

Perkebunan, Desember 2006;

4) Kriteria Penetapan matang panen adalah:

a) Kurang matang (12,5% – 25% buah luar

membrondol) buah berwarna kemerahan.

b) Matang 1 (25% – 60%

buah luar membrondol) buah berwarna merah mengkilat.

c) Matang 2 (50% - 75%

buah luar membrondol) buah berwarna orang.

2.2.2 Penerapan pedoman teknis

(22)

22 Kriteria

2.2.2.1

pengolahan hasil perkebunan.

Pengangkutan Buah.

Perusahaan perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang dipanen harus segera diangkut ke tempat pengolahan untuk menghindari penurunan kualitas.

1. Tersedia SOP untuk pengangkutan TBS.

2. Tersedia rekaman

pelaksanaan pengangkutan TBS;

SOP / Instruksi kerja pengangkutan buah berisikan ketentuan sebagai berikut:

- Ketersediaan alat transportasi serta sarana pendukungnya.

- Buah harus terjaga dari kerusakan, kontaminasi, kehilangan,

terjadinya fermentasi

- Ketepatan waktu sampai di tempat pengolahan.

1) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

2) Permentan No

44/OT.140/10/ 2009 tentang Pedoman Penanganan Pasca Panen Asal Tanaman Yang Baik (Good Handling Practices);

2.2.2.2 Penerimaan TBS di Pabrik

Pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan

1. Tersedia SOP penerimaan dan pemeriksaan/ sortasi TBS yang sesuai peraturan perundang-undangan.

2. Tersedia Rekaman penerimaan TBS yang sesuai dan tidak sesuai dengan persyaratan.

3. Tersedia rekaman harga TBS

1. SOP penerimaan, pemeriksaan dan sortasi TBS juga harus mencakup: Kriteria sortasi buah yang diterima

2. Perusahaan tidak menerima Tandan Buah Segar (TBS) yang berasal dari penjarahan atau pencurian dan TBS yang

diproduksi dengan menjarah hutan negara. Kriteria TBS yang diterima di pabrik harus dibuat terbuka.

3. Penetapan harga pembelian TBS

1) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

2) PP No 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan

Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri;

3) Permentan No 35/Permentan/

OT.140/7/2008 tentang Persyaratan dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil

(23)

23 Kriteria

sesuai Peraturan perundang- undangan.

4. Tersedia financial indicator

Pertanian Asal Tumbuhan Yang Baik ( Good

Manufacturing Practices);

4) Permentan No 17/Permentan/

OT.140/2/2010 Tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBSKelapa Sawit Produksi Pekebun.

2.2.2.3 Pengolahan TBS.

Pengelola pabrik harus

merencanakan dan melaksanakan pengolahan TBS melalui penerapan praktek

pengolahan yang baik (GMP).

1. Tersedia SOP dan instruksi kerja yang diperlukan baik untuk proses pengolahan maupun proses pemantauan dan

pengukuran kualitas CPO.

2. Tersedia rekaman hasil uji spesifikasi teknis hasil pengolahan

3. Tersedia izin dari dinas provinsi atau

kabupaten/kota yang menyelenggarakan fungsi perkebunan untuk

peningkatan kapasitas PKS yang melebihi 30% dari kapasitas terpasang.

4. Tersedia rekaman

pelaksanaan pengolahan 5. Tersedia rekaman

a. Harus ada perencanaan produksi.

b. Peralatan dan mesin-mesin produksi harus dirawat dan dikendalikan untuk mencapai kesesuaian produk dan efisiensi.

c. Peralatan pabrik kelapa sawit harus dipelihara untuk menjamin proses pengolahan TBS dapat memenuhi kualitas hasil yang diharapkan.

d. CPO yang dihasilkan harus mampu telusur untuk mengetahui

persentase CPO yang sustainable dan tidak.

e. Bagi perusahaan yang belum mempunyai Pabrik Kelapa Sawit (PKS) harus mengolahkan TBS nya kePKS yang legal dan

terdaftar. PKS wajib memiliki kebun 20%, kekurangannya dapat diisi dari kebun lainnya. Untuk PKS yang tidak memiliki kebun pasokan

1) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

2) PP No 17 Tahun 1986 Tentang Kewenangan

Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri;

3) Permentan No 35/Permentan/

OT.140/7/2008 tentang Persyaratan dan Penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan Yang Baik ( Good

Manufacturing Practices)

(24)

24 Kriteria

penggunaan air untuk pabrik kelapa sawit.

TBSnya dapat dipenuhi dari sumber PKS yang legal.

f. Penggunaan air harus sesuai dengan izin penggunaan yang ditentukan oleh pemerintah daerah setempat

2.2.2.4 Pengelolaan limbah.

Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa sawit dikelola sesuai peraturan perundang- undangan.

1. Tersedia SOP mengenai pengelolaan limbah (padat, cair dan udara).

2. Rekaman mengenai

pengukuran kualitas limbah cair sesuai parameter baku mutu

3. Rekaman mengenai pengukuran kualitas udara (emisi dan ambient) 4. Rekaman pelaporan

pemantauan dan

pengelolaan limbah kepada instansi yang berwenang terdokumentasi.

5. Tersedia surat izin

pembuangan air limbah ke badan air dari instansi berwenang.

Prosedur dan petunjuk teknis pengelolaan limbah antara lain mencakup tentang :

b. Pengukuran kualitas limbah cair di outlet Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sesuai ketentuan yang berlaku;

c. Pengukuran kualitas udara emisi dari semua sumber emisi dan udara ambien sesuai ketentuan yang berlaku

d. Melaporkan per tiga bulan hasil pengukuran air limbah setiap bulan e. Melaporkan per enam bulan hasil

pengukuran udara emisi dan udara ambien

f. Untuk mengetahui bahwa kualitas limbah sudah tidak berbahaya bagi lingkungan dan dapat dibuang ke sungai, pada kolam terakhir perusahaan sering memelihara

1) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

2) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

3) PP No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran udara.

4) PP No 81 tahun 1999

tentang Pengelolaan Limbah B3.

5) PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

6) PP No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

7) Kepmen LH No 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri;

8) Permen Lh No 7 Tahun 2007

(25)

25 Kriteria

berbagai beberapa jenis ikan di kolam tersebut.

tentang Baku mutu sumber tidak bergerak bagi ketel uap.

9) Permen LH No 21 Tahun 2008 baku mutu emisi sumber tidak bergerak pembangkit listrik.

2.2.2.5 Pemanfaatan limbah.

Perusahaan

Perkebunan/Pabrik harus

memanfaatkan limbah untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.

1. Tersedia SOP pemanfaatan limbah (padat, cair dan udara).

2. Tersedia surat izin pemanfaatan limbah cair untuk Land Application (LA) dari instansi berwenang.

3. Tersedia Rekaman pemanfaatan limbah.

a. Pengelola perkebunan/ pabrik dapat memanfaatkan limbah antara lain:

1) Pemanfaatan limbah padat berupa serat, cangkang dan janjang kosong untuk pengganti bahan bakar fosil;

2) Pemanfaatan tandan/janjang kosong untuk pupuk organik;

3) Pemanfaatan limbah cair berupa Land Application (LA) untuk pemupukan.

b. Penyimpanan limbah di pabrik tidak boleh menimbulkan pencemaran lingkungan atau menyebabkan terjadinya kebakaran pabrik.

c. Pemanfaatan limbah cair harus dilaporkan kepada instansi yang berwenang.

1) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

2) UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

3) PP No 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

4) Kepmen LH No 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengkajian

Pemanfaatan Air Limbah dari Kelapa Sawitpada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit;

5) Kepmen LH No 29 Tahun 2003 Tentang

PedomanSyarat dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah di

(26)

26 Kriteria

Perkebunan Kelapa Sawit.

2.3 Tumpang Tindih dengan Usaha Pertambangan Perusahaan Perkebunan memiliki kesepakatan terhadap penyelesaian tumpang tindih dengan usaha pertambangan sesuai peraturan perundang- undangan.

1. Tersedia kesepakatan bersama secara tertulis antara pemegang hak atas tanah (pengusaha perkebunan) dengan pengusaha pertambangan tentang luasan, periode usaha pertambangan dan besaran kompensasi.

2. Perusahaan Perkebunan memiliki bukti bahwa Pengusaha pertambangan wajib mengembalikan tanah bekas tambang seperti kondisi semula (tanah lapisan bawah di bawah dan lapisan atas berada di atas) tanpa menimbulkan dampak erosi dan kerusakan lahan dan lingkungan.

a. Pengusaha pertambangan mineral dan/atau batubara yang

memperoleh Izin Lokasi Pertambangan pada areal Izin Lokasi Usaha Perkebunan, harus mendapat izin dari pemegang hak atas tanah.

b. Apabila usaha pertambangan telah selesai dan usaha perkebunan masih berjalan, maka lahan tersebut wajib dikembalikan untuk usaha perkebunan dan reklamasi lahan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar lahan tersebut tetap produktif untuk usaha perkebunan kelapa sawit.

c. Biaya reklamasi lahan menjadi beban pihak pengusaha pertambangan.

1) UU No 4 Tahun 2009 TMineral dan Batubara;

2) PP No 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara

Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan;

3) Permenhut no P.43/Menhut- II/2008 tentang Pinjam Pakai Kawasan

4) PP no.23 tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara

2.4 Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan pabrik

1. Tersedia rekaman rencana dan realisasi pemanfaatan lahan (HGU) untuk

pembangunan perkebunan

a. Realisasi pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya yaitu untuk tanaman kelapa sawit dan waktu yang diberikan;

1) UU No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.

2) Permentan No 07/Permentan/

(27)

27 Kriteria

pabrik, kantor, perumahan karyawan, dan sarana pendukung lainnya.

2. Tersedia rekaman rencana dan realisasi kapasitas pabrik kelapa sawit.

b. Realisasi pemanfaatan lahan sesuai dengan izin yang dikeluarkan (HGU, HGB).

c. Realisasi Pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) dan kapasitasnya ;

OT.140/2/2009 Tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.

3) Permentan No

98/Permentan/ )T.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

2.5 Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai peraturan perundang- undangan dan pemangku kepentingan lainnya selain informasi yang dikecualikan.

1. Tersedia SOP pelayanan informasi kepada

pemangku kepentinga.

2. Tersedia rekaman pemberian informasi kepada pemangku kepentingan.

3. Rekaman tanggapan atas pelayanan informasi terhadap permintaan informasi.

a. Jenis informasi yang dikecualikan meliputi pemasaran, keuangan ( termasuk pinjaman dan jaminan bank ), keberadaan satwa langka, atau bilamana pengungkapan informasi tersebut akan berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial;

b. Dokumen HGU tidak boleh dibuka untuk publik.

1) UU no.25 tahun 2009 Tentang pelayanan public 2) Permeneg Agraria/Kepala

BPN No 2 Tahun 1996 Tentang Izin Lokasi

3. PENERAPAN

INPRES NO 10 TAHUN 2011 DAN INPRES NO 6

(28)

28 Kriteria

TAHUN 2013.

Penundaan pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

melalui moratorium penerbitan izin baru dan

penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.

Perusahaan harus dapat membuktikan bahwa pembangunan kebun tidak bertentangan dengan INPRES No 10 tahun 2011 dan INPRES No 6 tahun 2013. tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

a. Penundaan izin baru yang berkaitan dengan usaha

perkebunan yaitu Izin Lokasi, izin usaha perkebunan;

b. Penundaan izin baru sesuai peta indikatif pada hutan primer dan lahan gambut yang berada pada hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi

biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan areal penggunaan lain.

c. Untuk izin pelepasan kawasan hutan, kecuali permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan peraturan ini tidak berlaku;

d. Penundaan pemberian Hak atas tanah (HGU, HGB, HP dll) termasuk berkas permohonan yang telah diproses sampai pada Panitia B di propinsi

e. Penundaan (moratorium) izin lokasi, IUP dan pemberian hak atas tanah berlaku selama 2 (dua) tahun yaitu mulai 20 Mei 2011 s.d

1) Instruksi Presiden No 10 Tahun 2011 tentang

Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

2) Inpres No 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

(29)

29 Kriteria

20 Mei 2013 dan diperpanjang hingga Mei 20

4.

4.1

PENGELOLAAN DAN

PEMANTAUAN LINGKUNGAN.

Kewajiban Perusahaan Perkebunan yang memiliki pabrik Perusahaan Perkebunan yang memiliki pabrik harus

melaksanakan kewajiban

pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai Peraturan

perundang- undangan.

1. Memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) 2. Memiliki izin dari

Pemerintah Daerah untuk pembuangan limbah cair ke badan air.

3. Memiliki izin dari KLH untuk pabrik yang membuang limbah cairnya ke laut.

4. Tersedia rekaman terkait kegiatan (1 s/d 3).

a. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan /atau

kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL, UPL dalam rangka

perlindungan dan penglolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan

kegiatan

b. Untuk industri kelapa sawit yang melakukan Land Aplication wajib memantau limbah cair, kualitas tanah dan kualitas air tanah sesuai ketentuan yang berlaku;

c. Melaporkan per tiga bulan hasil pemantauan air limbah yang

dilakukan setiap bulan; melaporkan pengukuran air tanah, sumur pantau setiap 6 bulan sekali; dan pengukuran kualitas tanah 1 tahun sekali.

1) UU No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan;

2) UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup;

3) PP N0 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

4) PP No 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

5) PP No 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.

6) Kepmen LH No 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri;

(30)

30 Kriteria

d. Melaporkan kualitas udara emisi dari semua sumber emisi dan ambient setiap 6 bulan sekali kepada PEMDA dengan tembusan KLH;

4.2 Kewajiban terkait izin lingkungan.

Pengelola Perusahaan Perkebunan harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan izin lingkungan.

1. Memiliki Izin Lingkungan yaitu AMDAL / UKL-UPL, Izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (IPPLH); sesuai ketentuan perundang undangan.

2. Tersedia Rekaman terkait pelaksanaan penerapan hasil Izin Lingkungan termasuk laporan kepada instansi yang berwenang.

a. Pelaku usaha perkebunan kelapa sawit sebelum melakukan

usahanya wajib memiliki izin lingkungan sesuai dengan

Peraturan Pemerintah No 27/2012 tentang Izin Lingkungan.

b. Pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi wajib menerapkan hasil AMDAL, UKL/UPL;

c. Melaporkan hasil pemantauan dan pengelolaan lingkungan secara rutin kepada instansi yang berwenang.

1) UU No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan;

2) UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup;

3) PP No 27 Tahun 1999 Tentang AMDAL;

4) PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 5) PP No 27 Tahun 2012

Tentang Izin Lingkungan 6) Kepmeneg LH No 2 Tahun

2000 Tentang Panduan Penilaian AMDAL;

7) Permeneg LH No 08 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

8) Permeneg LH No 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan / atau kegiatan

(31)

31 Kriteria

yang wajib dilengkapi dengan AMDAL;

9) Permeneg LH No 19 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

10) Permeneg LH No 13 Tahun 2010 tentang Upaya

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya

Pemantauan Lingkungan hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan

Lingkungan Hidup.

4.3 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Limbah B3 harus dikelola sesuai peraturan perundang- undanngan agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.

1. Tersedia surat izin penyimpanan sementara dan/atau pemanfaatan limbah B3 dari

Pemerintah Daerah 2. Tersedia SOP dan

instruksi kerja mengenai pengelolaan limbah B3;

3. Perjanjian kerja dengan penunjukan pihak ketiga untuk menangani limbah B3;

Pengelola Limbah B3 di pabrik harus melakukan hal sbb:

a. Mengirimkan Limbah B3 yang dihasilkan ke pihak ketiga yang memiliki izin;

b. Membuat neraca (catatan keluar masuk limbah) untuk Limbah B3 yang dihasilkan, dikelola lanjut dan yang tersimpan di TPS Limbah B3;

c. Melaporkan neraca Limbah B3 dan manifest pengiriman Limbah B3 secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada instansi terkait.

1) UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup;

2) PP No 74 Tahun 2001

Tentang Pengelolaan Limbah B3;

3) Permen LH No 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah B3;

4) Permeneg LH No 30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana

(32)

32 Kriteria

4. Rekaman penanganan limbah B3 terdokumentasi.

Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah B3 serta Pengawasan Pemulihan Akibat Pencemaran Limbah B3 Kepada Pemerintah Daerah;

5) Kepdal No 01/BAPEDAL/09/

1995 tentang Tentang Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan

Pengumpulan Limbah B3;

6) Kepdal No 03/BAPEDAL/09/

1995 Tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3;

7) Kepdal No 03/BAPEDAL/09/

1995 tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3;

8) Kepdal No 04/BAPEDAL/09/

1995 tentang Tata Cara Penimbunan Limbah B3;

9) Kepdal No 05/BAPEDAL/09/

1995 tentang Simbol dan Label Limbah B3.

(33)

33 Kriteria

4.4 Gangguan dari Sumber yang tidak Bergerak

Gangguan sumber yang tidak

bergerak berupa baku teknis tingkat kebisingan, baku tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan baku tingkat gangguan lainnya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

1. Tersedia SOP dan instruksi kerja untuk menangani gangguan sumber tidak bergerak sesuai dengan pedoman yang yang diterbitkan dari Kementerian LH.

2. Laporan hasil pengukuran baku teknis tingkat

gangguan dari sumber yang tidak bergerak kepada Pemerintah Daerah.

3. Rekaman penanganan gangguan dari sumber tidak bergerak

terdokumentasi.

a. Pedoman teknis pengendalian dari sumber gangguan tidak bergerak ditetapkan oleh instansi yang terkait;

b. Baku teknis tingkat gangguan dari sumber tidak bergerak setiap 5 (lima) tahun ditinjau kembali.

c. Baku teknis mutu gangguan dari sumber tidak bergerak meliputi kebisingan, getaran dan kebauan mengacu Kepmen LH No 48/1996, Kepmen LH No 49/1996 dan Kepmen LH No 50/1996.

3) PP N0 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

4) Kepmeneg LH No 7 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Udara Sumber Tidak Bergerak bag Ketel Uap;

5) Kepmen LH No 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan;

6) Kepmen LH No 49 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Getaran;

7) Kepmen LH No 50 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebauan;

(34)

34 Kriteria

4.5 Pencegahan dan penanggulangan kebakaran Perusahaan Perkebunan harus melakukan

pencegahan dan penanggulangan kebakaran

1. Tersedia SOP pencegahan dan penanggulangan kebakaran

2. Tersedia SDM yang mampu mencegah dan menangani kebakaran.

3. Tersedia sarana dan prasarana

pengendalian/penanggula ngan kebakaran sesuai peraturan perundang- undangan;

4. Memiliki organisasi dan sistem tanggap darurat;

5. Tersedia Rekaman

pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pemantauan kebakaran dan

pemeliharaan sarana dan prasarana serta

pelaporannya.

a. Melakukan pelatihan

penanggulangan kebakaran secara periodik

b. Melakukan pemantauan dan pencegahan kebakaran serta melaporkan hasilnya secara berkala (minimal 6 bln sekali) kepada Gubernur, Bupati/ Walikota dan instansi terkait.

c. Melakukan penanggulangan bila terjadi kebakaran.

d. Melakukan pengecekan secara berkala terhadap sarana dan prasarana

pengendalian/penanggulangan kebakaran.

e. Memiliki Sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan dan kebun sesuai peraturan perundang- undangan.

1) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

2) Pedoman Teknis Pembukaan Lahan Tanpa Bakar, Ditjen Perkebunan, Dep Pertanian, Jakarta 2007.

3) Pedoman Pengendalian Kebakaran Kebun dan Lahan. Direktorat

Perlindungan Perkebunan, Ditjen Perkebunan,

Kementerian Pertanian 2010.

Diganti dengan Permentan Nomor 47 tahun 2014

4.6 Pelestarian keanekaragaman Hayati

(biodiversity)

(35)

35 Kriteria

Perusahaan

perkebunan harus menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai dengan izin usaha perkebunan.

1. Memiliki daftar jenis tumbuhan dan satwa di kebun dan sekitar kebun, sebelum dan sesudah dimulainya usaha perkebunan;

2. Melaporkan keberadaan tumbuhan dan satwa langka kepada Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA);

3. Melaksanakan sosialisasi mengenai keberadan tumbuhan dan satwa langka.

4. Tersedia rekaman bila pernah ditemukan dan/atau insiden dengan satwa langka dan cara penanganannya.

a. Pada prinsipnya sesuai UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, satwa langka hanya dapat dipelihara in situ (dalam habitatnya) eks situ (diluar habitatnya). Di luar habitatnya satwa langka hanya dapat

dipelihara oleh instansi pemerintah (BKSDA). Apabila satwa yang terdapat di perkebunan memenuhi persyaratan untuk dilindungi dapat dipelihara sesuai peraturan

perundang-undangan. Apabila terdapat flora/fauna yang langka maka pengusaha perkebunan wajib melapor kepada BKSDA dan perlindungan diberikan mungkin berupa enclave ;

b. Terdapat daftar flora, fauna yang langka dari BKSDA setempat atau dari Direktorat Jenderal

Perlindungan, Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan.

c. Identifikasi keberadaan flora fauna di sekitar dan di dalam kebun d. Pengelola perkebunan mencatat

apabila ada insiden karena adanya hewan liar dan langka misalnya gajah, harimau, badak, dan lain- lain.

e. Upaya-upaya perusahaan untuk

1) UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

2) UU no.5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological diversity

3) UU no. 21 tahun 2004 tenrang Pengsahan Cartagena Protocol on

Biosafety to the Covention on Biological diversity

4) Lampiran PP no.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa 5) PP no.8 tahun 1999 tentang

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan satwa liar 6) KepPres No.1 tahun 1987

tentang Pengesahan Amendement1979 atas Convention on International 7) UU No 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan;

8) Perpres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 9) Keputusan Dirjen

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam SK06/IV- KKH/2008 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan

(36)

36 Kriteria

konservasi flora dan fauna (antara lain dengan buffer zone, pembuatan poster, papan peringatan, dll).

Alam dan penangkapan Satwa liar untuk periode 2008

4.7 Kawasan lindung Perusahaan perkebunan harus melakukan

identifikasi, sosialisasi dan menjaga kawasan lindung sesuai peraturan perundang- undangan.

1. Tersedia hasil identifikasi berbentuk peta kawasan lindung yang wajib

dipatuhi dan disampaikan kepada Pemerintah Daerah.

2. Tersedia peta yang menunjukkan lokasi

kawasan lindung, di dalam dan di sekitar kebun.

3. Rekaman identifikasi, sosialisasi dan keamanan kawasan lindung.

a. Dilakukan inventarisasi kawasan lindung di sekitar kebun.

b. Sosialisasi kawasan lindung kepada karyawan dan masyarakat serta petani di sekitar kebun.

c. Jenis Kawasan Lindung ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

1) UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya;

2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

3) Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

4) PP No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

(37)

37 Kriteria

4.8 Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi.

Perusahaan perkebunan harus melakukan

koservasi lahan dan menghindari erosi sesuai peraturan perundang- undangan.

1. Tersedia SOP konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi termasuk sempadan sungai.

2. Tersedia peta topografi dan lokasi penyebaran sungai.

3. Tersedia Rekaman pelaksanaan konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi.

a. SOP konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi termasuk sempadan sungai harus dapat menjamin, bahwa :

1) Kawasan dengan potensi erosi tinggi antara lain adalah daerah sempadan sungai yang tidak lagi ditanami kelapa sawit.

2) Dilakukan penanaman tanaman yang berfungsi sebagai penahan erosi pada sempadan sungai.

b. Apabila di kawasan sempadan sungai sudah ditanami kelapa sawit dan sudah menghasilkan (>4 tahun), maka perlu dilakukan program rehabilitasi pada saat peremajaan (replanting).

1) UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya;

2) UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

3) PP No.28 tahun 2011tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk

Penambangan bawah tanah 4) Kepres No 32 Tahun 1990

tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

4.9 Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Perusahaan perkebunan harus melakukan

inventarisasi dan mitigasi sumber emisi GRK.

1. Tersedia inventarisasi sumber emisi GRK;

2. Tersedia /SOP mitigasi GRK;

3. Tersedia rekaman tahapan alih fungsi lahan.

4. Tersedia rekaman mitigasi

a. Dilakukan inventarisasi sumber emisi GRK;

b. Menerapkan pengurangan emisi GRK misalnya pengaturan tata air pada lahan gambut, pengelolaan pemupukan yang tepat, dan

1) UU No 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim;

2) PP No 41 Tahun 1999

(38)

38 Kriteria

GRK; penerapan penangkapan gas

metan dari POME atau gas

methan yang di dibakar /flare serta menerapkan perhitungannya , sesuai ketentuan ISPO

c. Melakukan pemanfaatan limbah padat (serat, cangkang, dll) sebagai biomassa menggantikan bahan bakar fosil;

d. Untuk menghitung emisi GRK perlu diamati dan dicatat /dihitung hal hal sebagai berikut:

1) Perubahan penggunaan lahan (hilangnya karbon).

2) Pemupukan, penggunaan pestisida dll.

3) Penggunaan listrik.

4) Penggunaan bahan bakar pertahun untuk transportasi.

5) Pengurangan emisi dari POME.

Sedangkan produk samping dapat berperan dalam pengurangan emisi dapat dihitung dari produk samping seperti kernel.

e. Perhitungan Gas Rumah Kaca secara mandatori diterapkan pada 1 April 2015

tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

3) Inpres No 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

4) MoU Pemerintah Indonesia dan Norwegia Tahun 2010 tentang Kerjasama dalam Mengurangi Emisi GRK dari Deforesrasi dan Degradasi Hutan.

5) Permenhut No P 68/Menhut- II/2008 tentang

Demonstration Actvities Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

6) Permenhut No P 30/Menhut- II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan

(39)

39 Kriteria

5.

5.1

TANGGUNG JAWAB TERHADAP PEKERJA.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Perusahaan perkebunan wajib menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

1. Tersedia Dokumentasi K3 yang ditetapkan

olehPerusahaan.

2. Telah dibentuk organisas K3 yang didukung sarana dan prasarana.

3. Tersedian rekaman penerapan K3 termasuk pelaporan

a. Perlu dilakukan pelatihan dan kampanye mengenai K3;

b. Dilakukan identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko kecelakaan;

c. Dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja

dengan resiko kecelakaan kerja tinggi;

d. Riwayat kejadian kecelakaan / cidera harus disimpan;

e. Adanya pelaporan penerapan SMK3 secara periodik kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sesuai ketentuan yang berlaku.

1) UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

2) UU No 23 Tahun 1993 tentang kesehatan;

3) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

4) UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem jaminan sosial Nasional;

5) PP No 13 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek;

6) Permen Teaga Kerja No Per 05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen K3;

7) Permenakertrans No PER- 12/MEN/VI/2007

tentangPetunjuk Teknis Pendaftaran, Kepesertaan, Pembayaran

Iuran,Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jamsostek.

(40)

40 Kriteria

5.2 Kesejahteraan dan peningkatan

kemampuan pekerja Perusahaan

perkebunan harus menerapkan peraturan perundangan tentang

kesejahteraan pekerja dan meningkatkan kemampuannya.

1. Diterapkannya peraturan tentang Upah Minimum.

2. Memiliki sistem

penggajian baku yang ditetapkan.

3. Tersedia sarana dan prasarana untuk kesejahteraan pekerja (perumahan, poliklinik, sarana ibadah, sarana pendidikan dan sarana olahraga)

4. Tersedia kebijakan perusahaan untuk mengikutsertakan

karyawan dalam program jaminan sosial

ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Tersedia program pelatihan untuk

peningkatan kemampuan karyawan dan rekaman pelaksanaannya.

a. Upah minimum yang dibayarkan sesuai dengan UMR daerah bersangkutan.

b. Daftar karyawan yang mengikuti program Jamsostek;

c. Daftar kebutuhan dan rencana pelatihan karyawan;

d. Daftar karyawan yang telah mengikuti pelatihan;

1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

2) UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem jaminan sosial Nasional;

3) PP No 13 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek;

4) PP No 31 Tanun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional

5) Permenakertrans No PER .01/ MEN/1999 tentang Upah Minimum

(41)

41 Kriteria

5.3 Penggunaan Pekerja Anak dan Diskriminasi pekerja (Suku, Ras, Gender dan Agama)

Perusahaan perkebunan dilarang

mempekerjakan anak di bawah umur dan melakukan diskriminasi.

1. Menerapkan kebijakan tentang persyaratan umur pekerja dan menjaga kesusilaan sesuai peraturan perundangan 2. Menerapkan kebijakan

tentang peluang dan perlakuan yang sama untuk mendapatkan kesempatan kerja.

3. Tersedia rekaman daftar karyawan.

4. Tersedia mekanisme penyampaian pengaduan dan keluhan pekerja.

5. Tersedia rekaman pengaduan dan keluhan pekerja.

a. SOP penerimaan pekerja/pegawai,

b. Tidak terdapat pekerja di bawah umur yang ditentukan

c. Perusahaan wajib menjaga keamanan dan kenyamanan bekerja

d. Tersedia rekaman daftar

karyawan berisi informasi tentang nama, pendidikan, jabatan, tempat dan tanggal lahir dan lain

sebagainya

1) UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;

2) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

3) Keputusan Menakertrans No.

224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang mempekerjakan

pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00.

4) Kepmenakertrans No

235/MEN 2003 tentang Jenis jenis Pekerjaan yang

membahayakan kesehatan keselamatan atau moral anak;

5) Kepmenakertrans No 115/MEN/VII/2004 tentang Perlindungan Bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk mengembangkan Bakat dan Minat;

5.4 Pembentukan

(42)

42 Kriteria

Serikat Pekerja.

Perusahaan perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat Pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak pekerja.

1. Menerapkan kebijakan terkait dengan serikat pekerja.

2. Memiliki kebijakan tentang pembentukan serikat pekerja perusahaan.

3. Memiliki daftar pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja.

4. Tersedia rekaman pembentukan serikat pekerja dan pertemuan- pertemuan baik antara perusahaan dengan serikat pekerja maupun intern serikat pekerja.

a. Perusahaan memfasilitasi terbentuknya serikat pekerja b. Perusahaan memberikan

pembinaan kepada serikat pekerja c. Perusahaan memberikan fasilitas

untuk kegiatan serikat pekerja d. Bila serikat kerja telah terbentuk ,

maka serikat pekerja tersebut harus memenuhi peraturan yang berlaku

1) UU No 21 Tahun 2000 tentang serikat Pekerja;

2) Menakertrans No PER.06/MEN/ IV/2005 tentang Verifikasi

Keanggotaan Serikat Pekerja

5.5 Perusahaan mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja

1. Tersedia Kebijakan perusahaan dalam

mendukung pembentukan koperasi;

2. Memiliki daftar pekerja yang menjadi anggota koperasi.

3. Rekaman pembentukan koperasi oleh para karyawan

a. Perusahaan memfasilitasi

terbentuknya koperasi karyawan b. Perusahaan memberikan

pembinaan kepada koperasi karyawan sampai terbentuknya badan hukum koperasi karyawan c. Bila koperasi telah terbentuk :

Koperasi memiliki surat pendirian dan melengkapi persyaratan yang lengkap yaitu akta pendirian dan anggaran dasar dan

Koperasi memperoleh status hukum setelah aktanya

1) UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;

2) PP No 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Anggaran Dasar Koperasi;

3) PP No 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan

simpan Pinjam oleh Koperasi;

4) PP No 33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan Koperasi;

(43)

43 Kriteria

pendiriannya disahkan oleh Pemerintah

d. Koperasi karyawan melakukan RAT

e. Koperasi karyawan mempunyai aktifitas yang nyata

f. Daftar karyawan yang menjadi anggota koperasi

5) Kepmenkop dan UKM No 96/Kop/MKUKM/x/2004 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Simpan Pinjam dan Unit simpan Pinjam.

6.

6.1

TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN

PEMBERDAYAAN EKONOMI

MASYARAKAT Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan Perusahaan perkebunan harus memiliki komitmen sosial,

kemasyarakatan dan

pengembangan potensi kearifan lokal.

1. Tersedia program meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan sendiri,

komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya;

2. Ikut meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sekitar kebun dengan melakukan kemitraan

a. Berperan dalam memberdayakan masyarakat sekitar.

b. Memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat sekitar.

c. Melakukan identifikasi keberadan masyarakat sekitar termasuk penduduk asli

1) UU No 40 Tahun 1997 tentang Perseroan Terbatas 2) UU No 19 Tahun 2003

tentang Badan Usaha Milik Negara

3) UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

4) Permentan No 98/Permentan/OT.

140/9/2013 tentang

Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan

Referensi

Dokumen terkait

cablin (Gambar 1) berupa gejala mosaik yaitu adanya perbedaan gradasi warna hijau tua dan hljau muda pada daun yang diinokulasi, sedangkan gejala yang muncul

Dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang berkesan ABM amat penting bagi guru untuk memastikan proses pengajaran dapat berjalan dengan lancar kerana isi pengajaran yang

Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan untuk tidak percaya diri karena perubahan kondisi fisik, tidak banyak mempengaruhi subjek Kemungkinan hal ini terjadi kai'ena faktor

Proses ritual Fua Ton terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan, yang menjadi satu kesatuan ritual. Berikut tahapan- tahapan proses ritual Fua Ton dari awal hingga

Setelah melakukan kegiatan pelatihan dan pendampingan pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan media digital ini dapat disimpulkan bahwa para peserta didik

satu sasaran strategis dalam IKU dengan capaian target berupa meningkatnya Jumlah Peserta KB Aktif merupakan hasil tugas pokok fungsi BKKBN Prov Kaltim, tahun

Sehubungan itu, kajian ini cuba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan agihan pendapatan di kawasan transmigrasi dan kawasan bukan

Selain itu juga, guru menjadi fasilitator dalam model problem based learning (Emiliasari et al., 2019). Model pembelajaran berbasis masalah memiliki langkah pembelajaran