• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal. pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada perseoalan apakah dalam melakukan perbuatan itu pelaku tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka orang tersebut harus dipidana. Tetapi manakala tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, pelakunya tentu tidak dipidana. Hal tersebut sesuai dengan asas yang mengatakan, “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada dipidananya pembuat.1

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

2

Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-

1 Roeslan Saleh., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 75.

2 Syafrinaldi., ”Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Perbandingan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, Jurnal Hukum Islam, Vol. VI No. 4. Desember 2006, hal. 4.

(2)

undang. Jika dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Jika dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Asas dalam hukum pidana disebutkan bahwa tindak pidana jika tidak ada kesalahan. Hal ini merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pelaku mempunyai kesalahan atau tidak.3

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH 2009), mengenai penerapan unsur kesalahan menurut hukum pidana (KUHP) berbeda dengan unsur kesalahan jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Perbedaan itu, dilihat dari ketentuan Pasal 88 UUPPLH 2009 disebutkan bahwa, ”Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Ketentuan dalam

3 Moeljatno., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 6.

(3)

Pasal 88 UUPPLH 2009 inilah yang menjadikan pertanggungjawaban pidana lingkungan berbeda dengan pertanggungjawaban menuru KUH Pidana.

Selain itu, juga didasarkan bahwa lingkungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan generasi manusia. Jika lingkungan tercemar oleh perbuatan segelintir orang, telah nampak dan jelas menimbulkan pengaruh buruk terhadap kehidupan manusia di sekitarnya, maka tidak perlu harus ada unsur kesalahan terhadap pelaku untuk membuktikannya karena di dasarkan kepada Pasal 88 UUPPLH 2009 tersebut. Pertanggungjawaban semacam ini disebut strict liability tanpa kesalahan.4

Penggunaan hukum lingkungan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009) merupakan primum remedium, dan hukum pidana sebagai ultimum remedium.

Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan.

Ini berarti bahwa Korporasi atau Perusahaan atau Perusahaan Terbatas atau disebut juga Perseroan yang tidak melaksankan kewajibannya berupa tanggung jawab sosial dan lingkungan seharusnya merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Menurut M. Arief Amrullah perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana.5

Masalah lingkungan pada hakekatnya adalah masalah ekologi manusia.

Masalah lingkungan timbul sebagai akibat adanya pencemaran terhadap

4 Sutan Remy Sjahdeini., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pres, 2007), hal. 78.

5 M. Arief Amrullah., “Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional tentang “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR)”, Diselenggarakan oleh PUSHAM-UII Yogyakarta bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway, Hotel Jogyakarta Plaza, Yogyakarta, tanggal 6 s/d 8 Mei 2008, hal. 15-16.

(4)

lingkungan. Faktor penyebab utamanya adalah adanya unsur kesalahan dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi. Kesalahan itu meliputi unsur kesengajaan dan kelalaian.6

Perusahaan atau korporasi di Indonesia saat ini belum sepenuhnya memandang masalah lingkungan hidup sebagai konsepsi pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment) sebagai suatu kewajiban sebagaimana yang diamanahkan oleh undang-undang. Sehingga menyebabkan kualitas lingkungan hidup yang semakin banyak menurun telah mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Dalam upaya perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, dengan menerapkan hukum lingkungan. Sehingga pada tanggal 3 Oktober 2009, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009) revisi terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997) dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok- Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945. Amanat UUD 1945 ini dilaksanakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

7

6 Ibid., hal. 10.

7 Sutan Remy Sjahdeini., Op. cit., hal. 130.

Sebagai contoh pemanasan global yang semakin meningkat, kasus lumpur PT. Lapindo Brantas yang mengakibatkan rusaknya lingkungan alam dan pencemaran terhadap penduduk,

(5)

kemudian kasus pencemaran lingkungan di Teluk Buyat yang dilakukan oleh PT.

Newmont Minahasa Raya dari sejak tahun 2006 hingga sekarang tidak hanya penduduk sekitar yang menjadi korban pencemaran lingkungan tetapi juga dunia usaha, dan lain-lain.8

B. Perumusan Masalah

Perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Sehingga dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut terdapat hal-hal yang dikecualikan khususnya pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan dalam UUPPLH 2009 tidak sama dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Berdasarkan paparan di atas, maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan/peralihan unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang berbentuk skripsi sehingga dapat menjawab permasalahan yang timbul dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

8 http://id.wikipedia.org/wiki/Lapindo_Brantas_Inc, diakses terakhir tanggal 23 Oktober 2010.

(6)

2. Bagaimanakah pengaturan unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

dan

3. Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sedangkan manfaat penelitian ini dibagi atas manfaat teoritis dan praktis yaitu:

(7)

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan undang-undang. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana lingkungan hidup; dan

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum terkait misalnya Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, lembaga terkait seperti Bapedal, LSM, Masyarakat, dan lain-lain, khususnya Hakim yang mengadili kasus berkenaan dengan tindak pidana lingkungan hidup.

D. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pemeriksaan data tentang judul skripsi, ”Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Berdasarkan data yang diperoleh mengenai judul yang persis sama dengan judul di dalam penelitian ini, di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama.

Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dikatakan memiliki keaslian, dan jauh dari unsur plagiat serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif dan terbuka. Hal ini sesuai

(8)

dengan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian perbuatan pidana (actus reus) dan unsur pidana

Perbuatan pidana menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.9 Simons, menyatakan perbuatan pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertangungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.10

Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif (positif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, seperti mencuri sebagaimana dalam Pasal 362 KUHP, yang disebut delictum commissionis. Ada juga perbuatan pidana yang diwajibkan dengan kelakuan pasif (negatif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan sebagaimana dalam Pasal 531 KUHP dinamakan delictum omissionis.

Di samping itu ada delik yang dapat diwujudkan dengan berbuat negatif dinamakan delicta commissinis per omnissionem commisa, misalnya ketentuan

9 Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 54.

10 Simons., dalam Leden Marpaung., Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Cetakan I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1991), hal. 4.

(9)

dalam Pasal 341 KUHP dimana seorang Ibu yang bisa saja menghilangkan nyawa anaknya dengan cara tidak memberinya makanan.

Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, Moeljatno menyebutkan bahwa mengenai unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah sebagai berikut:11

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

d. Unsur melawan hukum yang objektif;

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Kelima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif.

a. Unsur pokok objektif

1) Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut:

a. Act adalah perbuatan aktif yang disebut perbuatan positif dan;

b. Omnission, adalah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.

2) Akibat perbuatan manusia. Hal ini erat hubungannya dengan kausalitas.

Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan.

3) Keadaan-keadaan. Pada umumnya keadaan-keadaan dibedakan atas:

11 Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Op. cit, hal. 63.

(10)

a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan;

b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sikap melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

b. Unsur Pokok Subjektif. Asas pokok hukum pidana adalah “tidak ada hukuman kalau tak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld). Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja (dolus/opzet) dan kealpaan (schuld).12

1) Kesengajaan. Menurut para pakar, ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu:

a. Sengaja sebagai maksud;

b. Sengaja sebagai kepastian; dan

c. Sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis).

2) Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan, ada 2 (dua) bentuk kealpaan yaitu:

a. Tidak berhati-hati dan; dan

b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.

c. Unsur melawan hukum. Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum itu kedalam dua macam yaitu:

1) Sikap melawan hukum formal. Menurut ajaran sifat melawan hukum formal, yang dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan

12 Leden Marpaung., Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Op. cit, hal.

6-7.

(11)

secara tegas dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis); dan

2) Sikap melawan hukum material. Menurut ajaran sifat melawan hukum material, disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar diluar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.

2. Teori pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana (criminal liability) atau (straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban atau liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku

(12)

dan seseorang yang dirugikan.13 Sedangkan menurut Roeslan Saleh, berpendapat bahwa tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.14

Konsep dalam rancangan KUHP baru tahun 1991/1992 memberikan defenisi pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.15

3. Syarat-syarat perbuatan pidana

Seseorang untuk dapat dijatuhi pidana dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran yaitu ajaran (aliran) monisme dan ajaran (aliran) dualisme.

Ajaran (aliran) monisme, memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan pidana sudah pasti dipidana jika perbuatannya itu tidak memenuhi rumusan delik tanpa harus melihat apakah dia mempunyai kesalahan atau tidak.

Ajaran (aliran) dualisme, memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang, maka pertama terlebih dahulu harus dilihat apakah perbuatan yang telah dituduhkan itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi kemudian masuk pada tahap kedua yaitu melihat apakah ada kesalahan, kemudian ketiga melihat apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab. A.

13 Romli Atmasasmita., Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, (Jakarta:

Yayasan LBH, 1989), hal. 79.

14 Roeslan Saleh., Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 33.

15 Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru Buku I dan II, 1991/1992

(13)

Zainal Abidin merumuskan kedua ajaran (aliran) tersebut di dalam satu rumusan syarat-syarat pemidanaan yaitu:16

a. Ajaran (aliran) monisme atau klasik:

c=ab

Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan ab berarti seluruh unsur-unsur dari feit b. Ajaran (aliran) dualisme atau modern:

c=a + b

Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan

a + b berarti dua kelompok unsur feit dan dader

Berdasarkan ajaran ini, dibutuhkan dalam syarat-syarat pemidanaan harus dipenuhi unsur-unsur dari tindak pidana. Selain itu, dalam poin b ditambahkan satu unsur lagi adalah adanya pelaku (dader).

4. Kemampuan bertanggung jawab

Untuk adanya pertaggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat harus mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan, apabila seseorang itu tidak mampu bertanggung jawab.

Dalam Pasal 44 KUHP menyebutkan, “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”.

Sehubungan dengan itu, Moeljatno berpendapat bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada 2 (dua) hal yaitu:17

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; dan

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

16 A. Zainal Abidin., Asas Hukum dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus, (Jakarta: Prapartja dan Taufik 1962), hal. 38.

17 Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Op. cit., hal. 56.

(14)

5. Kesengajaan

Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan (schuld), kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan apabila dilakukan dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu kejahatan seperti penggelapan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 372 KUHP, merusak barang-barang sebagaimana Pasal 406 KUHP dan lain sebagainya.

Jadi, para sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai kesengajaan (dolus) tidak terdapat keseragaman tafsir antara para sarjana tersebut.

Perbedaan tafsir tersebut antara lain terdapat di dalam peristilahan yang digunakan dalam perumusan perundang-undangan terutama dalam bidang penentuan erat renggangnya atau jauh dekatnya kejiwaan seseorang pelaku kepada tindakan yang dilakukannya termasuk penyebab dan akibatnya.

Menurut sifatnya, EY Kanter dan SR. Sianturi, menyebutkan bahwa ada 2 (dua) jenis kesengajaan (dolus):18

1) Dolus malus, yakni dalam hal seseorang melakukan tindakan pidana tidak hanya seseorang itu menghendaki tindakannya itu, tetapi ia juga menginsyafi tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana; dan

2) Kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal seseorang melakukan tindak pidana tertentu cukuplah jika atau hanya menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat

18 EY. Kanter., dan SR. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 170.

(15)

antara kejiwaannya (batin) dengan tindakannya tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Kesengajaan jenis kedua inilah yang dianut dalam hukum pidana Indonesia dan sampai saat ini masih tetap dipandang sebagai yang lebih baik.

Berbeda halnya dengan tindak pidana yang dilakukan orang, perusahaan (perseroan), badan atau suatu korporasi terhadap lingkunan hidup yang merupakan tindak pidana tertentu, di dalam prakteknya dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas baru yang tidak ada dan merupakan kekecualian di dalam KUHP yaitu asas strict liability (pertanggungjawaban muthlak) sikap batin seseorang, badan hukum, perusahaan, atau korporasi telah melakukan tindak pidana menurut hukum diancam dan dipidana.

Kesalahan saja tidak cukup untuk seseorang dapat dipertanggungjawabkan melainkan juga harus melihat nila-nilai moral atau kesusialaan serta keadaan- keadaan batin yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, sehingga dapat diterapkan asas baru tentang strict liability dan juga melihat tindak pidana lingkungan ini mengalami kendala di dalam membuktiannya apakah seseorang, badan atau korporasi itu bersalah atau tidak serta siapa saja yang dapat mempertanggungjawabkannya.

Dalam KUH Pidana, sengaja adalah kemauan untuk melakukan perbuatan- perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Ada 2 (dua) teori yang berhubungan dengan teori sengaja yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan (teori membayangkan).

(16)

Teori kehendak memandang bahwa sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sedangkan menurut paham teori pengetahuan (teori membayangkan) memandang bahwa sengaja adalah apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu tidak dibuat.19

F. Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.20

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Alasan penggunaan penelitian yuridis normatif karena penelitian ini hendak melihat

19 Ibid., hal. 180.

20 Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta:

Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

(17)

norma-norma hukum yang berlaku dan mengatur tentang kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.21

2. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, jurnal, surat kabar, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, serta dokumen pribadi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh teori-teori, asas-asas, norma-norma dan pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang diteliti kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan.22

4. Analisis Data

21 Ibid.

22 Bambang Sunggono., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.

(18)

Data-data yang diperoleh, dianalisis secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan yurisprudensi serta pasal-pasal di dalam pasal-pasal terpenting yang relevan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini, dibagi dalam 5 (lima) bagian yaitu:

Bab pertama, yaitu pendahuluan, dimana bahwa dalam bab ini yang dibahas adalah mengenai hal-hal berkaitan dengan latar belakang yang mengantarkan judul kepada perumusan masalah yang diteliti, tujuan dan manfaat penelitian secara teoritis dan praktis, tinjauan kepustakaan memuat defenisi- defenisi terkait, metode penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, dibahas tentang pengaturan tindak pidana lingkungan hidup menurut UUPPLH 2009, dimana yang dipaparkan adalah undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai lex Specialis, perbandingan pengaturan antara UUPLH 1997 dengan UUPPLH 2009 tentang

(19)

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pengaturan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana lingkungan hidup menurut undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Bab Ketiga, dibahas tentang unsur kesalahan dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut UUPPLH 2009, dipaparkan mengenai sanksi pidana dalam tindak pidana lingkungan hidup, kejahatan korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, korporasi merupakan subyek hukum, jenis-jenis kejahatan korporasi, kesalahan sebagai salah satu unsur tindak pidana menurut hukum pidana, dan Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup.

Bab Keempat, dibahas tentang pertanggungjawaban dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut UUPPLH 2009, dipaparkan dalam bab ini mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, pertanggungjawaban pidana berdasarkan doktrin pertanggungjawaban mutlak dalam tindak pidana lingkungan hidup.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) permintaan beras secara nyata dipengaruhi oleh harga riil beras Indonesia, jumlah penduduk, dan permintaan beras tahun sebelumnya,

Tabela 1: Pregled finančnih reklamacij iz naslova imetnikov kartic na bančnih avtomatih Gregor Skok: Avtomatizacija reševanja reklamacij pri kartičnem poslovanju... Pošiljatelj

Data-data yang telah didapat tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai hidrodinamik koefisien yang terdiri atas drag coefficient dan lift coefficient .Dari hasil

MEMENUHI Auditee melakukan pembelian bahan baku dari pengepul berupak kayu rakyat dengan disertai Kwitansi pembelian bahan baku, dokumen angkutan hasil hutan yang

Bahwa pelaku tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidak sengajaan seperti

Mampu memecahkan masalah dalam pendidikan jasmani berbasis projek dan penemuan terbimbing secara mandiri atau kelompok (KK1) Mampu merancang penelitian secara mandiri atau

Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menguji efektivitas peningkatan Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial dan Belanja Bantuan Keuangan melalui pengaruh ketiga pos