• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK MELALUI PENGADILAN PAJAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK MELALUI PENGADILAN PAJAK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA

UTANG PAJAK MELALUI PENGADILAN PAJAK

Tutik Retnowati, SH., MH1 Sylvia Setjoatmadja2

ABSTRAK

Pajak adalah sumber pendapatan Negara terbesar. Pajak adalah kewajiban setiap wajib pajak yang dapat dipaksakan penarikannya oleh Negara. Oleh karena itu, dalam praktek sering terjadi sengketa antara wajib pajak dan fiskus apalgi dengan diterapkannya self asassment system. Bahwa, upaya penyelesaian sengketa utang pajak melalui badan pengadilan pajak sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Bahwa, kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia adalah sebagai badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.

Kata Kunci: Pajak, Peradilan Pajak, Kekuasaan Kehakiman

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual. 3Untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memper-hatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai

Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak.

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihan-nya. Dengan demikian pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka yang ternyata mengabaikan atau melanggar

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 2 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 3

(2)

ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.4

Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Oleh sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembagapaksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajakyang nakal.5

Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (selanjutnya di sebut BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (selanjutnya di sebut SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya di sebut PTUN).

Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 2004).

RUMUSA MASALAH

1) Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa utang pajak melalui pengadilan pajak ? 2) Bagaimanakah kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia ?

Metode Penulisan

a. Pendekatan Masalah

Penulisan ini menggunakan pendekatan statute approach. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan. Selain itu digunakan pendekatan empiris untuk

4

Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984, hal. 3

5

(3)

mengetahui fakta hukum yang ada mengenai berbagai macam sengketa utang pajak dengan berbagai penyebab disertai data yang diperoleh. Dengan metode pendekatan tersebut, maka penulisan skripsi ini diharapkan dapat lebih mengenai sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

b. Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber bahan hukum primer, yang didapatkan dari studi kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan.

Sedangkan sumber bahan skunder didapatkan dari pendapat para sarjana atau ahli hukum dan/atau ilmu pengetahuan tertentu, serta doktrin-doktrin berikut buku-buku literatur, makalah seminar, artikel dari media massa termasuk internet yang ada hubungannya dengan materi skripsi ini.

PEMBAHASAN

A. UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PAJAK 1. Pengertian Pajak

Menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya di sebut UU KUP), Pasal 1 angka (1), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Salah satu instrumen yang digunakan dalam negara untuk menjalani fungsinya adalah pajak. Pajak dipungut dengan tujuan untuk membiayai pengadaan public goods, namun bisa juga pajak dipungut untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah6. Sedangkan definisi pajak yang dikemukakan oleh Sommerfeld, Anderson dan Brock yang mendifinisikan pajak sebagai berikut :

“A Tax can be definied meaningfully as any non penal yet compulsory transfer of resources from the privat to the public sector, levied on the basis of predetermined criteriaand without receipt of specific benefit of equal value, in order to accomplish some of a nation’s economic and social objectives.”7

Selanjutnya Rochmat Soemitro menyatakan bahwa pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.” Sementara menurut Djajaningrat, pajak adalah “kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum”.8

6

Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 67.

7

Ibid, hal. 43.

8

(4)

Menurut P. J. A. Adriani Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R. Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.9

Beberapa kata dalam definisi yang telah disampaikan di atas, mempunyai arti sangat penting sebagai unsur-unsur yang memaknai pajak yaitu :

1. Pungutan dapat dipaksakan

Salah satu hal yang membedakan pajak dengan pungutan atau iuran lainnya adalah sifat memaksa yang melekat di dalamnya. Kata “compulsory” digunakan untuk menunjukan bahwa pemungutan pajak dapat dipaksakan. Dalam memungut pajak, pemerintah memiliki kewenangan penuh atas melakukan pemaksaan agar wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan selalu dapat dipaksakan. Di Indonesia, salah satu instrument paksaan dalam pemungutan pajak adalah Penagijan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang;

Unsur definisi pajak yang juga sangat penting adalah bahwa pajak harus ditetapkan berdasarkan undang-undang kata “predetermined criteria” secara implisit menunjukan bahwa pungutan pajak secara implisit menunjukan bahwa pemungutan pajak tidak bisa dilakukan secara serampangan, namun harus ada kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh otoritas publik dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

3. Pembayar pajak tidak mendapat manfaat langsung;

Pajak dipungut bukan untuk special benefit. Artinya pembayar pajak tidak menerima langsung manfaat atas kontribusi pembayaran pajakny. Hal tersebut berbeda dengan pungutan lainnya seperti retribusi. Retribusi dipungut kepada orang yang akan atau ingin mengkonsumsi barang dan jasa tertentu, artinya pembayar retribusi akan mendapat manfaat langsung atas pembayaran yang telah di lakukan.

4. Penerimaan pajak digunakan untuk menjalankan fungsi negara.

Kalimat in order to accomplish some of a nation’s economic and social

objectives, artinya penerimaan pajak digunakan untuk tujuan membiayai

pengadaan public goods, dan juga untuk tujuan ekonomi dan social yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi negara.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan tentang karakteristik dan sifat khusus pajak seperti :

9

Triyani Budianto, Makalah Seminar tax-ina, 30 April 2005, http://lovetya.wordpress. com/2008/05/19

(5)

a. Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-undang. b. Sifatnya dapat dipaksakan.

c. Tidak ada kontraprestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh si pembayar pajak.

d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta).

e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.10

Adapun subjek pajak adalah mereka (orang atau badan) yang mematuhi sarat subjektif, yaitu syarat yang melekat pada orang atau badan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang.11 Sementara itu wajib pajak adalah mereka (orang atau badan) yang selain memenuhi syarat subjektif, juga harus memenuhi syarat objektif misalnya memiliki penghasilan atau memiliki bumi bangunan yang memenuhi syarat untuk dikenai pajak dan sebagainya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek pajak itu belum tentu wajib pajak bila tidak memenuhi syarat objektif, sedangkan wajib pajak dengan sendirinya termasuk objek pajak. Jadi dalam hal ini pihak-pihak yang dapat disebut sebagai wajib pajak adalah :

1. Wajib pajak pribadi.

2. Warga negara asing yang berada atau bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan hingga meninggalkan Indonesia. 3. Wajib pajak badan sejak didirikan hingga bubar.

Adapun yang dimaksud dengan badan adalah bukan semata subjek pajak yang bergerak dalam bidang usaha (komersial) namun juga yang bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan dan sebagaianya sepanjang pendiriannya dikukuhkan dengan akta pendirian oleh yang berwenang sehingga tidak ada alasan bagi badan (khususnya organisasi) selain yang bergerak di bidang usaha untuk menyatakan bahwa mereka tidak termasuk sebagai subjek pajak.12

2. Utang Pajak

Rochmat Sumitro13 menyatakan bahwa pajak sebenarnya utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. Utang ini menurut hukum adalah perikatan (verbintenis). Meskipun pajak itu letaknya di bidang hukum publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum perdata dan hukum adat.

Utang Pajak menurut faham formal timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, seseorang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP. Sedangkan menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena

tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan

10

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Loc. Cit.

11

Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, 2002, h.40.

12

Erly Suandy, Hukum Pajak Salemba Empat, Yogyakarta, 2000, h,34.

13

(6)

peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak.

Pada lain pihak teori pemungutan pajak yang lazim dikenal saat ini antara lain adalah14: a. Teori Asuransi, menurut teori ini warga negara yang mendapat perlindungan negara membayar pajak yang dianalogkan sebagai premi asuransi atas jaminan perlindungan tersebut.

b. Teori Kepentingan, dalam teori ini pembagian beban pajak proporsional dengan kepentingan atau jaminan yang diberikan oleh negara

c. Teori daya pikul, menurut teori ini beban pajak disesuaikan dengan daya pikul masing-masing, baik secara objektif yaitu penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang maupun secara subjektif yaitu berkenaan dengan besarnya kebutuhan materi yang harus dipenuhi.

d. Teori bakti, menurut teori ini sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai kewajiban

e. Teori asas daya beli, teori ini menyatakan, bahwa negara mengurangi atau menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat, dan mengumpulkannya ke rumah tangga negara yang selanjutnya menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.

Soemitro menyatakan bahwa pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari segi hukum, lebih menitik beratkan kepada perikatan (verbintenis), pada hak dan kewajiban Wajib pajak, Subyek Pajak dalam hubungannya dengan Subyek Hukum. Hak penguasa untuk mengenakan pajak, penagihan pajak dengan paksa, sanksi administrasi, maupun sanksi pidana, penyidikan, dan pembukuan. Soemitro mengatakan pajak dilihat dari segi hokum dapat didefinisikan sebagai berikut :Perikatan yang timbul karena Undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam Undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.15

Dari pandangan itu dapat dilihat bahwa pajak merupakan sebuah perikatan. Namun perikatan dalam pajak berbeda dengan perikatan perdata pada umumnya, karena beberapa hal, yakni :

a. Perikatan perdata dapat lahir karena perjanjian dan dapat pula lahir karena Undang-undang., sedangkan perikatan pajak hanya lahir karena Undang-undang, dan tidak lahir karena perjanjian.

b. Perikatan perdata berada dalam lapangan hukum privat sementara perikatan pajak berada dalam hokum public.

c. Dalam perikatan perdata, hubungan hukum terjadi diantara para pihak yang mempunyai kedudukan yang sama/sederajat, sementara di dalam perikatan pajak, kedudukan para pihaknya tidak sederajat.16

14

Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, 2003, Refika Aditama: Bandung, hlm.30-36.

15

Rochmat Soemitro, Op, Cit, hal. 51.

16

(7)

d. Prestasi yang dilakukan oleh Subjek Pajak untuk membayar pajak itu tidak mendapat imbalan langsung yang dapat ditunjukan. Hal tersebut membeda-kannya dengan retribusi.17

3. Pengertian Sengketa Utang Pajak

Pasal 29 ayat (1) UU KUP, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.

Sebagai produk akhir dan pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) atau kurang bayar tambahan (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT), lebih bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar/SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa menimbulkan sengketa antara Wajib pajak dengan fiskus. Hal ini bisa terjadi apabila fiskus menertibkan SK.PLB dengan nilai lebih kecil dan nilai SKPLB yang diharapkan Wajib pajak. Menurut ketentuan Pasal I angka (5) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan Perundangan-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.

4. Upaya Penyelesaian Sengketa Utang Pajak

Seperti kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self

assesment di mana dengan sistem ini Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk

menghitung dan melunasi sendiri pajak yang terutang. Perhitungan pajak yang terutang ini didasarkan pada ketentuan perpajakan yang berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Dirjen Pajak. Di sisi lain, otoritas pajak, dalam hal ini DJP, diberikan tugas untuk melakukan pengujian dan pengawasan terhadap kepatuhan masyarakat WP terhadap ketentuan perpajakan. Dalam konteks inilah, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP kepada sebagian WP.

Hasil pemeriksaan pada umumnya berbentuk surat ketetapan pajak (SKP) di mana SKP ini berfungsi untuk melakukan koreksi atas perhitungan yang dilakukan oleh Wajib pajak atau bisa juga untuk mengkonfirmasi kebenaran perhitungan oleh Wajib pajak. Jenis-jenis SKP ini adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

Dalam proses penetapan pajak melalui pemeriksaan ini sering timbul sengketa pajak antara Wajib pajak dan otoritas pajak. Sengketa ini bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran atas ketentuan perpajakan, perbedaan pemahaman atas ketentuan perpajakan, perbedaan sudut pandang dalam menilai suatu fakta, bisa juga karena ketidaksepakatan dalam hal proses pembuktian.

17

Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Jakarta : Rajawali Persada, 1995, hal. 23.

(8)

Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana ketentuan UU KUP dalam Pasal 25, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan, dengan menyampaikan surat keberatan, hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selain dari pada itu surat keberatan dapat disampaikan oleh Wajib pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagaimana ketentuan dalam UU KUP Pasal 25 ayat-ayat berikut; (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan; Ayat (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya; Ayat (3a) Dalam hal Wajib pajak mengajukan keberatan atas surat etetapan pajak, Wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sejumlah yang telah disetujui Wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, um surat keberatan disampaikan; ayat (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana imaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang diajukan WP dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib pajak. Namun demikian, Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Dalam hal tersebut, apabila WP masih belum menerima keputusan keberatan dan masih merasa keberatan juga, WP masih dapat menempuh upaya hukum berikutnya yaitu dengan mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, Pasal 1 angka 6 yaitu : “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. Sedangkan badan peradilan pajak yang dimaksud adalah

(9)

Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002.

Adapun syarat mengajukan banding yang harus dipenuhi Wajib pajak diatur dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yaitu: Pasal 35, yaitu ;

1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.

2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding.

Dan Pasal 36, yaitu ;

1. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

2. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.

3. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.

4. Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Selanjutnya masih ada upaya lain yang dapat ditempuh oleh WP, yaitu; dengan melakukan upaya Peninjauan Kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung, sebagaimana ketentuan UU Peradilan Pajak, Pasal 77 Ayat (3) ”Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”.

Sedangkan Pasal 91 UU Peradilan Pajak, Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

a) Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b) Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda.

c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada, yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 (1) b dan c UU Pengadilan Pajak;

d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

e) Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang.

Selanjutnya dalam Pasal 89 UU Peradilan Pajak, Ayat (1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. (3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum

(10)

diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

B. KEDUDUKAN PENGADILAN PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

1. Peradilan Pajak

Salah satu perangkat hukum yang memberi jaminan perlindungan hukum atas hak-hak wajib pajak adalah Badan Peradilan Pajak. Untuk memudahkan pemahaman tentang peradilan pajak, terlebih dahulu akan diberikan beberapa definisi tentang peradilan sebagaimana dibawah ini.

Menurut Apeldoorn:

Peradilan ialah memutuskan perselisihan oleh suatu instansi yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun tidak merupakan bagian dari pihak yang berselisih, tetapi berdiri sendiri diatas perkara, dan menyelesaikan pokok perselisihan dibawah suatu peraturan umum.18

Sedangkan peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi hukumnya.19 Berdasarkan beberapa pengertian peradilan dari ahli hukum dan unsur-unsur dari suatu peradilan diatas dapat disimpulkan bahwa, pengertian peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses penyelesaian semua bentuk sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak maupun oleh badan peradilan pajak yang independen, yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti sistem dengan wadah atau tempat yang bernama pengadilan;20

2. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;

3. Adanya suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti keberatan terhadap Surat Ketetapan Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;

4. Ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti wajib pajak melawan Direktur Jenderal Pajak mengenai pajak-pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.

5. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan, yaitu badan peradilan pajak yang mempunyai wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang perpajakan.

18

Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di

Indonesia, Bandung: Eresco, 1964, hlm. 6. 19

Bahari U. Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, HIm. 165.

20

Sudarsono, Kamus Hukum, cetakan pertama, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 349.

(11)

Sedangkan dalam arti sempit, peradilan pajak adalah proses penyelesaian sengketa pajak oleh badan peradilan pajak yang independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Selama ini badan peradilan pajak telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan bentuk dan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu :

1. Majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997), yang mempunyai kewenangan dalam hal banding pajak;

2. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), yang mempunyai kewenangan banding pajak dan gugatan pelaksanaan penagihan pajak;

3. Pengadilan Pajak (2002), yang mempunyai kewenangan banding pajak, gugatan pelaksanaan penagihan pajak, dan gugatan pelaksanaan keputusan perpajakan.

Kemudian Rochmat soemitro merumuskan bahwa, peradilan pajak sebagai suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberi keadilan dalam sengketa pajak baik kepada Wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah) sesuai ketentuan undang-undang, dimana proses itu merupakan rangkaian perbuatan yang harus dilakukan oleh Wajib pajak atau pemungut pajak dihadapan suatu instansi (administrasi atau pengadilan) yang berwenang mengambil keputusan untuk mengakhiri sengketa.21

Peradilan pajak di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang bersifat khusus di bidang perpajakan. Suatu peradilan dikatakan sebagai peradilan administrasi jika memenuhi unsur-unsur, yaitu salah satu pihak yang berselisih harus administrator (pejabat administrasi), yang menjadi terikat karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas wewenangnya, dan terhadap persoalan yang diajukan diberlakukan hukum publik atau hukum administrasi.22 Peradilan administrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peradilan administrasi murni dan peradilan administrasi tidak murni. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, peradilan pajak di Indonesia meliputi, peradilan administrasi murni maupun peradilan administrasi tidak murni, yaitu :

1. Peradilan administrasi murni, seperti penyelesaian sengketa pajak (dulu) oleh majelis Pertimbangan Pajak (1915 s/d 1997) dan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (1997 s/d 2001), dan (sekarang) oleh Pengadilan Pajak (2002).

2. Peradilan administrasi tidak murni, seperti pembetulan dan atau pembatalan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (Pasal 16 UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan).

2. Kewenangan Pengadilan Pajak Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak

Kewenangan Pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, yaitu :

1. Dalam hal banding Pengadilan Pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pengadilan Pajak dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan perundang-undangan yang terkait mengatur demikian, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 Ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002;

21

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, cet. 1, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 4.

22

Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 114.

(12)

2. Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, atau keputusan pembetulan, atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan 3. Pengadilan Pajak berwenang mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan

hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 UU No. 14 Tahun 2002 di atas dapat disimpulkan bahwa, kewenangan Pengadilan Pajak meliputi kewenangan dalam penyelesaian sengketa pajak (yaitu berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak dalam hal banding dan gugatan) dan kewenangan dalam mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa pada Pengadilan Pajak.

Selanjutnya dala hal hal gugatan, menurut Pasal 31 Ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002, Pengadilan Pajak berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 dan keputusan lainnya menurut peraturan perpajakan yang berlaku. Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007 yang dapat menjadi obyek sengketa dalam hal gugatan, yaitu ;

1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumum-an LelPengumum-ang;

2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat (1) dan Pasal 26; dan

4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.

3. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia.

Dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa, “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.” Kekuasaan kehakiman dalam ketentuan diatas menegaskan bahwa Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan melaksanakan fungsi dan wewenangnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga), dan juga untuk menegaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan administrasi murni dimana lembaga ini independen, bukan merupakan bagian dari salah satu pihak yang bersengketa. Dengan demikian Pengadilan Pajak menurut Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 diatas berkedudukan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman khususnya dibidang perpajakan.

Secara normatif, Pengadilan Pajak sebagai pelaku kekuasaan kehakiman berada dalam salah satu lingkungan peradilan yang telah ada, sebagaimana dimaksud dalam

(13)

Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) Jo. Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004. Apabila ditinjau dari karakteristik dan substansi sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Pajak yang mengandung unsur publik, maka lebih tepat jika Pengadilan Pajak ditempatkan sebagai bagian khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.23

Dalam UU No. 14 Tahun 2002, baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya, tidak ditemukan ketentuan yang mewajibkan atau menyatakan secara jelas keberadaan Pengadilan Pajak dalam lingkungan peradilan, sedangkan Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 hanya menyebutkan tentang pembinaan teknis peradilan dalam Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan finansialnya dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Kecenderungan Pengadilan Pajak berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah karena sifat perselisihan (sengketa) dan sifat para pihaknya. Dilihat dari subyek sengketa, keduanya (Pengadilan Pajak dan Peradilan Tata Usaha Negara) mempertemukan unsur pemerintah dan unsur rakyat sebagai perorangan, dimana posisi pemerintah sebagai tergugat/terbanding yang keputusannya dipersoalkan. Dan dilihat dari obyek sengketa, keduanya mempermasalahkan tentang keputusan konkrit (ketetapan/beschikking) dari lembaga pemerintah yang ditujukan kepada individu, dimana ketetapan tersebut dianggap merugikan rakyat sebagai perorangan.

Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak dibarengi dengan keberadaan atau eksistensi Pengadilan Pajak itu sendiri. Hal ini karena keberlakuan Pengadilan Pajak tidak murni berdasar kepada UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman, akan tetapi masih mengacu pada UU No. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan24 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dilihat dari kedudukannya, Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.

PENUTUP 1. Kesimpulan

1) Bahwa, upaya penyelesaian sengketa utang pajak melalui badan pengadilan pajak sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Sedangkan sebagimana ketentuan Pasal 26 Ayat (1) UU KUP, gugatan

23

Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian

Sengketa Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak), cet. 1,

(Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 46.

24

Ali Kadir, Eksistensi Peradilan Pajak di Indonesia Perkembangan Dan

Permasalahannya (Makalah disampaikan pada kuliah umum Hukum Pajak FHUI Depok, 12

November 2002), hlm. 21 dikutip dalam Akhmad Riski Rasyid, “Keberadaan Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,” (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2003), hlm. 105.

(14)

dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan.

2) Bahwa, kedudukan pengadilan pajak dalam sitem peradilan di Indonesia adalah sebagai badan peradilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, namun demikian tidak murni melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena terdapat tugas-tugas eksekutif yang dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak.

2. Saran

1) Seperti diketahui Sengketa Pajak berawal dan perbedaan pendapat antara Wajib pajak dan Fiskus. Kemudian Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan keberatannya. Dalam penyampaian perbedaan pendapat dan keberatan dimaksud haruslah dilakukan oleh Wajib Pajak secara tertulis sebagai sarana bukti bagi upaya pembuktian selanjutnya

2) Pengadilan Pajak adalah Pengadilan Banding dan termasuk Gugatan atas tagihan Pajak terutang. Sebelum mengajukan banding Wajib Pajak haruslah memeriksa lebih dahulu keputusan dan keberatan persyaratan banding. Demikian pula persyaratan upaya gugatan atas tagihan pajak terutang.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Ali Kadir, Eksistensi Peradilan Pajak di Indonesia Perkembangan Dan

Permasalahannya (Makalah disampaikan pada kuliah umum Hukum Pajak

FHUI Depok, 12 November 2002), hlm. 21 dikutip dalam Akhmad Riski Rasyid, “Keberadaan Pengadilan Pajak Dalam Lingkungan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,” (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2003) Bahari U. Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Bachasan Mustafa, Pokok-pokok Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1979. Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Jakarta : Rajawali Persada, 1995. Erly Suandy, Hukum Pajak Salemba Empat, Yogyakarta, 2000.

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, cet. 1, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Munawir, Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, 1992.

Rochmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung : Eresco, 1990.

Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di

Indonesia, Bandung: Eresco, 1964.

Saadudin Ibrahim dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai, Jaya Prasada, Jakarta, 1984.

Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, 2003, Refika Aditama: Bandung

Sudarsono, Kamus Hukum, cetakan pertama, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, 2002,

Triyani Budianto, Makalah Seminar tax-ina, 30 April 2005, http://lovetya.wordpress. com/2008/05/19.

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat. Jakarta, 2001. Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian

Sengketa Pajak (Menurut UU No. 14 Tahun 22 Tentang Pengadilan Pajak),

cet. 1, (Bandung: Refika Aditama, 2006).

Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan kecil bagi jumlah luas permukaan apabila panjang sisi tapak menyusut dari 5 ke 4.99 cm... Rajah 3 menunjukkan graf

Data penelitian dianalisis berdasarkan aspek kemampuan berpikir kreatif yang mengacu pada Munandar (2009) dengan jenis penulisan berupa deskriptif kualitatif, karena

Contoh kayu eboni yang diambil dari daerah Sindue menunjukkan bahwa kayu eboni dari daerah ini memiliki strip yang relatif teratur, strip hitam agak tipis dan

Sedangkan sub kelompok yang mengalami deflasi berturut-turut pada sub kelompok bumbu-bumbuan 6,02 persen, sub kelompok sayuran 3,12 persen, sub kelompok daging dan

Pada tanggal 20 Maret 1986 nama AKIS berubah menjadi STMIK STIKOM SURABAYA, singkatan dari Sekolah Tinggi Manajemen Informatika & Teknik Komputer Surabaya

Penunjang pembangunan ekonomi, seperti jalan, transportasi dan bantuan kredit bagi masyarakat yang kurang mampu sampai saat ini masih menjadi permasalahan serius, dimana jalan

(1) Bidang Penetapan dan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d, mempunyai tugas melaksanakan pengkoordinasian penetapan dan keberatan pajak

Untuk menyelesaikan sengketa seperti ini, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak sebagaimana ketentuan UU KUP dalam Pasal 25, Wajib pajak