• Tidak ada hasil yang ditemukan

\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Penggunaan minyak goreng biasanya sebagai media penggorengan bahan pangan, penambah cita rasa ataupun shortening yang membentuk tekstur pada roti. Sebanyak 49% dari total permintaan minyak goreng di Indonesia adalah untuk konsumsi rumah tangga dan sisanya untuk keperluan industri, termasuk industri perhotelan dan restoran-restoran dan juga usaha fast food.(Wijana, 2005)

Menurut Amang (1993), Minyak goreng dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku, diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, kacang-kacangan, bunga matahari dan bahan baku lainnya. Penggunaan minyak goreng berbahan baku kelapa sawit sejak beberapa tahun terakhir semakin mendominasi pengolahan minyak goreng setelah sempat dipegang oleh kelapa sebagai bahan baku minyak goreng di Indonesia. Dilihat dari sifat teknisnya, minyak goreng yang terbuat dari CPO memiliki banyak keunggulan, diantaranya yaitu :

1. Kecenderungan berasap lebih rendah

2. Sifat pembakaran yang lebih baik untuk kue dan roti, dan 3. Tingkat perkaratan pada kuali lebih rendah

Sebagai bahan pokok, kenaikan harga minyak goreng dipasar Indonesia

membutuhkan peran pemerintah untuk melakukan pengendalian. Kenaikan harga tersebut

pada saat ini tidak hanya meresahkan masyarakat miskin dan industri kecil, tetapi juga

memberikan efek pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Jika ini tidak

(2)

dikendalikan, dampak kenaikan harga minyak goreng dapat berkembang tidak hanya terbatas pada isu ekonomi, tetapi merambat ke masalah sosial dan politik. (Susila, 2007)

Amang (1995), menyebutkan bahwa kebijakan harga yang diberikan untuk bahan pangan merupakan instrumen pokok kebijaksanaan pengadaan pangan. Tujuan kebijakan harga dilakukan diantaranya, untuk :

1. Melindungi produsen dari penurunan drastis harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen

2. Melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli khususnya pada musim paceklik, dan

3. Mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga.

Tabel 2.1 menunjukkan pemberlakuan peraturan yang berbeda-beda terkait harga minyak goreng. Hal ini disebabkan oleh berbedanya situasi dan kondisi per periode.

Pada tahun 1977-1978 dan sekitar tahun 1984 terjadi gejolak kenaikan harga minyak

goreng di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena negara kekurangan pasokan kopra dan

CPO. Pada tahun 1977-1978 minyak kelapa sawit hanya diperuntukkan bagi ekspor,

namun selanjutnya minyak kelapa sawit mulai diarahkan untuk memenuhi kekurangan

bahan baku minyak goreng dalam negeri karena dinilai bisa mensubstitusi minyak kelapa

dan kopra yang mengalami kelangkaan. Sedangkan pada tahun 1984 pemerintah

memandang perlu diadakan kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng dan

menugaskan BULOG mengawasi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan minyak

goreng, diantaranya mengawasi pengolahan bahan baku minyak goreng, mengawasi

(3)

pengapalan CPO dan produk turunannya dari pusat produksi ke pabrik minyak goreng dan mengawasi pendistribusian minyak goreng.

Tabel 2.1

Lima Periode Kebijaksanaan Stabilisasi Harga CPO dan Minyak Goreng Selama Tahun 1979-1996

No. Periode Kebijaksanaan Pemerintah

1. 1979-1983 a. Digunakan instrument alokasi/jatah bagi

kebutuhan dalam negeri

b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan dalam negeri

c. Diperlukan ijin dari Departemen Perdagangan untuk ekspor

2. 1984-1986 (Mei) a. Ditetapkan pajak ekspor CPO sebesar 37,18 persen

b. Ditetapkan harga CPO untuk penjualan dalam negeri.

c. Instrumen alokasi dan perijinan tetap dipertahankan

3. 1986 (Juni) – 1991 (Mei) a. Pajak ekspor CPO diturukan menjadi 0 ( nol ) persen.

b. Ditetapkan system alokasi ekspor.

c. Tetap mempertahankan sistem penetapan harga CPO untuk penjualan dalam negeri.

4. 1991 (Juni) – 1994 (Agustus) a. Pemerintah membebaskan perdagangan dan ekspor CPO ( Adanya keinginan agar harga ditentukan oleh kekuatan pasar )

5. 1994 (September) a. Ditetapkan Pajak Ekspor progresif CPO dan produk olahan lainnya (bervariasi antara 40-60 persen tergantung harga FOB).

b. Sejak pertengahan 1995, BULOG dan PTP bekerjasama membentuk persediaan penyanggan (buffer stock) CPO

c. Kerjasama BULOG dengan produsen minyak goreng ( bimoli ) melakukan operasi pasar

Menurut Amang (199

Sumber : Amang, 1996

(4)

Dampak kebijakan tersebut cukup positif mengingat harga minyak goreng dapat diredam. Oleh sebab itu kenaikan harga minyak goreng baru terjadi lagi pada tahun 1992 dan kemudian pada tahun 1994 terjadi lagi gejolak kenaikan harga minyak goreng akibat dari kenaikan harga CPO di dunia. Adanya gejolak harga tersebut berusaha diatasi dengan menerapkan pajak ekspor hingga 60 % dan dibarengi dengan kebijakan alokasi CPO di pasar domestik pada tahun 1994. Kebijakan tersebut yang mendikte pasar mengakibatkan mekanisme pasar tidak berjalan. Harga CPO domestik terisolasi dari harga CPO internasional dan harga minyak goreng menjadi stabil. Pada saat ini ketika harga minyak goreng naik yang diduga akibat dari naiknya harga CPO internasional pemerintah juga mengeluarkan kebijakan dalam rangka menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik. Kebijakan yang dikeluarkan yaitu Kewajiban memasok CPO ke pengolah dalam negeri (DMO), Menaikkan Pungutan Ekspor, dan Penghapusan PPN atas minyak goreng curah dan kemasan

Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebagai salah satu instrumen kebijakan pemerintah dalam menstabilkan harga minyak goreng dilakukan pemerintah dengan mewajibkan produsen CPO dan minyak goreng untuk mengalokasikan produksinya pada harga tertentu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dengan harga maksimum sama dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). (Susila,2007)

Kebijakan Domestik Market Obligation didasarkan pada Keputusan Menteri

Pertanian No.339/Kpts/PD.300/5/2007 (Lampiran 4) yang ditetapkan pada tanggal 31

Mei 2007 tentang pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri guna stabilisasi harga

minyak goreng curah. Keputusan Menteri Pertanian tersebut menetapkan bahwa pasokan

(5)

CPO wajib dipenuhi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang merupakan anggota GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) maupun non anggota GAPKI.

Dua alternatif yang ditawarkan oleh pemerintah untuk kebijakan Domestic Market Obligation minyak sawit mentah yaitu :

1. Pengusaha wajib menyediakan pasokan minyak goreng domestik sebanyak 20%

yaitu 2,4 Juta Ton minyak goreng atau setara dengan 3,3 Juta ton CPO.

2. Pengusaha wajib menyediakan pasokan untuk kebutuhan minyak goreng domestik 18 % yaitu sekitar 2,15 juta ton atau setara dengan 2,96 juta ton minyak sawit mentah (CPO).

Kedua alternatif kebijakan tersebut dibuat berdasarkan pada perhitungan kebutuhan minyak goreng selama setahun dan berlaku untuk produsen CPO yang mempunyai luas lahan perkebunan sedikitnya 1.000 Hektar. Mekanisme yang dibuat adalah para produsen tersebut menyerahkan minyak sawit mentah kepada pengolah untuk diolah menjadi minyak goreng.

Selain DMO pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Pungutan Ekspor sebagai respon atas kenaikan harga minyak goreng. Kebijakan Pungutan Ekspor akan mengakibatkan berkurangnya volume ekspor CPO sehingga ketersediaannya di dalam negeri menjadi terjamin dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak goreng.

Pemerintah Indonesia berharap dengan adanya Pungutan Ekspor atas CPO dan

turunannya dapat melindungi konsumen dalam negeri, dan jika harga CPO di pasar

internasional turun maka pungutan ekspor juga akan diturunkan. Dasar diberlakukannya

Pungutan Ekspor adalah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) :

(6)

1. No.130/PMK 010/2005 2. No.61/PMK 011/2007 3. No.94/PMK 011/2007 4. No.09/PMK 011/2008

Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah adalah kebijakan pemberian subsidi. Jenis subsidi yang dikeluarkan ada yang diberikan kepada produsen yaitu berupa pembebasan PPN minyak goreng curah. Melalui keputusan menteri Keuangan nomor 118/PMK.011/2007 (Lampiran 5) tanggal 24 September 2007 tentang PPN Minyak Goreng Curah dalam negeri sebesar 10% ditanggung pemerintah yang mengacu pada UU Nomor 41/2007 tentang Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara, yang menetapkan bahwa PPN minyak goreng curah dan tidak bermerek ditingkat produsen Di-Tanggung-Pemerintah (DTP). Pada 4 Februari 2008 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.15/PMK.011/2008 tentang PPN dibayar oleh pemerintah atas penyerahan minyak goreng dalam kemasan di dalam negeri.(Lampiran 6).

PPN yang ditanggung pemerintah pada tahun 2007 dianggarkan sebesar 300

Milyar, Sedangkan untuk minyak goreng kemasan direncanakan berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Tahun anggaran 2008 sebanyak 600 Milyar. Boediono

(Menko Perekonomian) mengatakan bahwa melalui kebijakan ini produsen dan

distributor akan diringankan karena sebagian biaya produksi dibayar pemerintah,

sehingga diharapkan produsen dan distributor turut bertanggung jawab memastikan agar

harga minyak goreng dapat turun lebih rendah dan stabil hingga akhir tahun.

(7)

Tabel 2.2

Dampak Positif dan Negatif Masing-Masing Pilihan Kebijakan

Kebijakan Potensi Dampak Positif/Manfaat Potensi Dampak Negatif/ Masalah

Pajak Ekspor  Penerimaan Negara

 Distribusi beban antara konsumen dan produsen

 Mudah dilaksanakan

 Mendistorsi pasar internasional dan domestik

 Menghambat upaya peningkatan ekspor

 Menurunkan pendapatan industri CPO domestik

 Menurunkan pendapatan petani

Domestik Market Obligation

 Efektivitas relatif lebih baik  Mendistorsi pasar internasional dan domestik

 Menghambat upaya peningkatan ekspor

 Menurunkan pendapatan industri CPO domestik

 Menurunkan pendapatan petani

 Penerimaan negara lebih rendah Operasi Pasar  Tidak mendistorsi pasar ekspor

 Tidak membebani industri berbasis CPO

 Tidak membebani petani

 Membebani anggaran negara cukup besar

 Efektivitas rendah

Subsidi ke Industri Minyak Goreng

 Tidak mendistorsi pasar eskpor

 Tidak membebani industri berbasis CPO

 Tidak membebani petani

 Membebani anggaran negara cukup besar

 Ekspor minyak goreng bersubsidi

 Kesulitan implementasi Subsidi ke

Orang Miskin  Tidak mendistorsi pasar eskpor

 Tidak membebani industri berbasis CPO

 Tidak membebani petani

 Target lebih fokus sehingga beban anggaran lebih rendah

 Membebani anggaran negara

 Pelaksanaan sering tidak tepat sasaran

Sumber : Susila, 2007

(8)

Ilham dan Hermanto (2007), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tujuan dari dibuatnya kebijakan harga pertanian adalah untuk mengurangi ketidakpastian usaha tani, menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro.

Instrumen yang bisa digunakan diantaranya dengan kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Sedangkan secara tidak langsung stabilisasi harga dapat dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input yang dimaksud adalah dengan subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, pestisida dan benih.

Susila (2007), telah melakukan suatu studi dengan mengilustrasikan pengenaan Pungutan Ekspor Perkebunan terhadap beberapa aspek Industri perkebunan Dengan menetapkan PE menjadi 5% sebagai skenario yang moderat, harga primer produk perkebunan di pasar domestik rata-rata menjadi 3.20% lebih rendah bila dibandingkan dengan tidak ada pajak ekspor. Namun sebagai akibatnya, harga ditingkat petani juga akan mengalami penurunan. Hal yang sama juga terjadi pada harga di tingkat produsen yang akanmengalami penurunan yang selanjutnya kan berdampak pada perluasan areal di industri hulu, penurunan produktifitas dan produksi. Selain itu gross margin (penerimaan kotor) petani akan mengalami penurunan.

Berbagai penelitian kebijakan stabilisasi harga minyak goreng yang dibuat oleh pemerintah, Kebijakan pengenaan Pungutan Ekspor dianggap tidak berpihak pada pengusaha kelapa sawit. Jatno Sunarjo dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Pajak Ekspor terhadap Pendapatan Produsen Kelapa Sawit” menyimpulkan bahwa pengaruh dari pajak ekspor ternyata menurunkan pendapatan riil marjinal pada usaha perkebunan.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan pajak ekspor sebesar Rp.1.000.000 akan

(9)

menurunkan pendapatan riil marjinal perkebunan swasta sebesar 0,1501. Kemudian Jatno Sunarjo juga menyimpulkan bahwa ternyata proporsi dari penerimaan pajak ekspor CPO dibandingkan dengan seluruh penerimaan negara dari sektor pajak sebenarnya relatif sangat kecil. Daniel (2007), dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa Kenaikan pungutan Ekspor diperkirakan akan menurunkan daya saing ekspor minyak kelapa sawit Indonesia dan dapat menyebabkan keterpurukan industri minyak kelapa sawit Indonesia.

Susila (2007), dalam penelitiannya merekomendasikan 2 kombinasi kebijakan

mengingat setiap kebijakan memiliki dampak positif dan negatif. Dua kebijakan tersebut

adalah (1) kebijakan yang berkaitan langsung dengan produsen dan perdagangan

internasional, dan (2) kebijakan yang berkaitan dengan konsumen. Susila

menyebutkannya sebagai Decoupled Policies (Kebijakan berpasangan), seperti yang

diterapkan di Negara maju seperti Amerika dalam membuat kebijakan produksi yang

semakin dipisahkan dengan kebijakan perdagangan. Jika kebijakan Decouple Policies

disepakati maka kebijakan yang diambil adalah adalah kebijakan yang bisa bersifat

jangka panjang yaitu Kombinasi kebijakan Pungutan ekspor (PE) dan Subsidi kepada

Rakyat miskin. PE ditetapkan mengikuti harga CPO dan nilai tukar. Sesuai dengan tabel

ilustrasi penetapan (Lampiran.11). Jika harga CPO sekitar US$ 700/ton dan nilai tukar

Rp.9000/Kg, maka PE adalah sekitar 10% . Dengan asumsi bahwa harga CPO adalah

sekitar 600 US$ /ton, maka pemerintah akan mendapatkan penerimaan sekitar Rp.5

Triliun. Sedangkan untuk konsumen dibutuhkan dana yang besar dan manajemen

distribusi yang handal . Kebijakan yang direkomendasikan mengadopsi kebijakan Ratian

Card, yaitu ketika harga minyak goreng diatas HET (Harga Eceran tertinggi) setiap

penduduk miskin diberi sejenis kartu agar bisa memperoleh minyak goreng dalam

(10)

volume dan harga tertentu. Dengan asumsi bahwa penduduk miskin sekitar 40 juta orang,

HET Rp.6500/kg, dan konsumsi per kapita 16kg/kapita/tahun,maka jumlah subsidi yang

dibutuhkan tidak lebih dari Rp.1 Triliun, ini jauh lebih sedikit dari yang didapat oleh

pemerintah dari hasil pungutan Ekspor.

(11)

2.2. Landasan Teori

Suharto (1997), menyebutkan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisiten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada tindakan (action-oriented) dan berorientasi kepada masalah (problem-oriented).

Dunn (1991), menyebutkan bahwa analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, ruang lingkup serta metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat dari suatu kebijakan. Dari kajian kebijakan tersebut diharapkan dapat memperoleh kesimpulan apakah kebijakan yang telah dijalankan efektif atau tidak.

Kebijakan yang diambil pemerintah dalam usaha pengendalian harga bahan pangan terutama untuk kenaikan harga minyak goreng diwujudkan dalam bentuk campur tangan pemerintah diantaranya dengan pemberian subsidi bagi pengusaha atau produsen minyak goreng yaitu dengan menghapus PPN sebesar 10 % terhadap pengusaha minyak goreng yang nantinya diharapkan bisa mengurangi sebagian biaya produksi pengusaha sehingga bisa menyalurkan minyak gorengdengan harga yang lebih murah kepada masyarakat luas. Penghapusan PPN itu sendiri diberi Cap DTP (Ditanggung Pemerintah).

Walaupun pemerintah bermaksud membantu konsumen dalam memperoleh

minyak goreng dengan harga murah, namun ternyata kebijakan tersebut dianggap

memihak produsen. Penghapusan PPN tersebut sendiri disebut sebagai fasilitas yang

diberikan pemerintah kepada Pengusaha Kena Pajak, berupa :

(12)

1. Penangguhan Pembayaran PPN / PPNBM, atau 2. Pajak terutang tidak dipungut, atau

3. PPN ditanggung Pemerintah.

Menurut Sukarji (1999), Fasilitas tersebut diberikan kepada pengusaha dengan maksud untuk mendorong pertumbuhan bidang usaha yang bersangkutan, untuk membantu likuiditas perusahaan atau untuk meunjang program pemerintah yang menyangkut hidup orang banyak.

Subsidi adalah pemberian pemerintah kepada produsen untuk mengurangi biaya produksi yang ditanggung produsen. Subsidi merupakan kebalikan atau lawan dari pajak, sering juga disebut sebagai pajak negatif. Subsidi yang diberikan atas produksi/ penjualan sesuatu barang menyebabkan harga jual barang tersebut menjadi lebih rendah. Dengan subsidi, produsen merasa ongkos produksinya menjadi lebih kecil sehingga ia bersedia menjual lebih murah kepada konsumen. Subsidi menyebabkan harga keseimbangan yang tercipta di pasar lebih rendah daripada harga keseimbangan sebelum atau tanpa subsidi, sedangkan jumlah keseimbangannya semakin bertambah. (Dumairy, 1999)

Lebih lanjut Dumairy (1999), menyatakan bahwa subsidi produksi yang diberikan

oleh pemerintah menyebabkan ongkos produksi yang dikeluarkan oleh produsen menjadi

lebih sedikit daripada ongkos produksi yang seharusnya dikeluarkan untuk menghasilkan

barang tersebut, Karena ongkos produksi yang dikeluarkan oleh produsen lebih kecil,

produsen bersedia menawarkan produknya dengan harga yang lebih rendah, sehingga

sebagian subsidi bisa dinikmati juga oleh konsumen. Kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah dengan memberikan subsidi atas suatu barang akan membuat harga yang

(13)

dibayar oleh konsumen akan turun, sedangkan secara bersamaan akan meningkatkan permintaan akan barang tersebut.

Tarif merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas-batas territorial. Tarif Ekspor atau yang lebih dikenal dengan Pungutan Ekspor (PE) merupakan pajak yang dikenakan pada eksportir untuk suatu komoditi yang di ekspor. (Salvatore, 1997).

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pungutan ekspor Atas Barang Ekspor Tertentu, Pungutan ekspor dimaksudkan untuk mendukung pelestarian sumber daya alam dan menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan baku bagi industri dalam negeri. Dalam menetapkan Harga Patokan ekspor untuk komoditi ekspor CPO dan produk turunannya digunakan harga rata-rata bursa Rotterdam dan Kuala Lumpur dalam satu bulan sebelum penetapan Harga Pungutan Ekspor.

Pasokan CPO tersebut untuk bulan Mei 2007 sebesar 97.525 (Sembilan Puluh

Tujuh Ribu Lima Ratus Dua Lima) ton dan bulan Juni 2007 sebesar 102.800 (Seratus

Dua Ribu Delapan Ratus) ton untuk dikirim ke pabrik minyak goreng anggota Assosiasi

Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) dan atau Gabungan Industri Minyak Nabati

Indonesia (GIMNI) untuk diolah menjadi Olein (Minyak goreng) dengan ratio 1 (satu)

kilogram CPO menjadi 1(satu) kilogram Minyak goreng.

(14)

Kerangka Pemikiran

Pada pertengahan 2007 dengan terjadinya kenaikan harga minyak goreng, pemerintah berusaha menstabilkan harga minyak goreng yang sempat mencapai harga di atas Rp.10.000, (Juni 2007). Pemerintah mengeluarkan 3 kebijakan utama sebagai respon atas kenaikan harga tersebut yaitu pengahapusan PPN sebesar 10 %yang seharusnya menjadi beban produsen dan distributor, dinaikkannya Pungutan Ekspor (PE) minyak sawit secara progresif mengikuti harga CPO internasional, dan kebijakan terakhir adalah dengan mengharuskan setiap pengusaha memasok produksi minyak sawitnya ke pasaran domestik, yang disebut sebagai Domestic Market Obligation (DMO).

Semua kebijakan yang dikeluarkan dianggap pemerintah akan mampu menurunkan harga minyak goreng domestik dan menjaga pasokan minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng di dalam negeri. Secara garis besar banyak kalangan menilai semua kebijakan tersebut tidak efektif karena hanya bersifat jangka pendek dan berpihak pada sebagian kalangan. Namun pemerintah tetap menjalankan kebijakan tersebut dengan alasan bahwa kebijakan dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng merupakan hal yang penting bagi masyarakat dan bagi perekonomian secara keseluruhan.

Jika kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dinilai efektif maka akan mampu

membuat harga minyak goreng turun menjadi harga semula dan stabil. Namun jika tidak

maka pemerintah seharusnya mencari lagi kebijakan lain (kebijakan alternatif) yang bisa

dengan efektif menurunkan harga minyak goreng dan bukan hanya untuk jangka pendek

namun juga untuk jangka panjang.

(15)

Dalam penelitian ini kebijakan pemerintah sebagai suatu instrumen penstabil harga akan dinilai keefektifannya dalam menurunkan harga minyak goreng dan melihat kebijakan mana yang paling efektif untuk menurunkan harga minyak goreng .

Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 2.1

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran Kebijakan

Pemerintah

Penghapusan PPN

Pungutan

ekspor Domestic Market

Obligation

Efektif Tidak

Efektif

Penurunan dan

stabilitas harga Kebijakan

Alternatif Kenaikan Harga

Minyak Goreng

(16)

Hipotesis Penelitian

1. Kebijakan Pungutan Ekspor tidak berpengaruh kepada harga minyak goreng curah.

2. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) tidak berpengaruh kepada harga minyak goreng curah.

3. Harga CPO Domestik berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah.

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Sebaliknya, jika harga suatu barang atau jasa semakin rendah maka konsumen akan meningkatkan jumlah barang yang diminta (Mushlich, 1997)... Semakin tinggi harga daging sapi,

Dengan memperhatikan perilaku konsumen yang berbeda-beda dalam membuat keputusan membeli produk minyak goreng maka produsen harus tanggap dengan keinginan konsumen terhadap

Dengan memperhatikan perilaku konsumen yang berbeda-beda dalam membuat keputusan membeli produk mie instan maka produsen harus tanggap dengan keinginan konsumen terhadap produk

Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa harga pembelian tandan buah segar oleh perusahaan di dasarkan pada rumus harga pembelian tandan buah segar, yang mengandung variable indeks

Jika harga daging sapi naik, maka jumlah permintaan barang substitusi juga akan.

2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi pemasaran. Pasar yang

Perkembangan permintaan, penawaran, dan harga gula kristal putih pada waktu sebelumnya dapat diproyeksikan untuk melihat trend permintaan, penawaran, dan harga gula kristal putih

1) Perhitungan berdasarkan harga privat yaitu harga yang benar-benar diterima produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah. 2)