• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Radiasi UV dari sinar matahari memiliki efek yang besar terhadap kulit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Radiasi UV dari sinar matahari memiliki efek yang besar terhadap kulit"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Radiasi UV dari sinar matahari memiliki efek yang besar terhadap kulit manusia. Efek dapat berupa efek positif dan efek negatif. Efek positif dari sinar UV adalah dapat membantu tubuh manusia untuk mensintesis vitamin D, membunuh mikroba, meningkatkan kebugaran pernafasan, dan lain-lain. Efek negatif yang paling jelas terlihat setelah irradiasi dalam waktu pendek adalah tanning yang disebabkan karena dua proses biokimia, yaitu oksidasi pigmen melanin yang dapat meningkatkan absorbsi sinar dan pembentukan melanosom (organel pengandung melanin) (Justel, 2000). Paparan secara kronis terhadap radasi UV menyebabkan penuaan kulit prematur dan meningkatkan resiko kanker kulit. Tanda-tanda terjadinya penuaan pada kulit diantaranya adalah kulit menjadi kering, kasar, muncul keriput, pigmentasi irregular, elastosis, dan telangiektasia (Muller &

Woods, 2013).

Adanya dampak negatif yang disebabkan oleh radiasi UV terhadap kulit manusia, maka sebaiknya digunakan pelindung yang dapat mengurangi efek radiasi tersebut, diantaranya tabir surya atau sunscreen. Tabir surya adalah sediaan yang berfungsi unuk menyerap atau menyebarkan sinar matahari sehingga intensitas sinar yang mampu mencapai kulit jauh lebih sedikit dari yang seharusnya (Wasitaatmaja, 1997).

(2)

2

Gambar 1. Struktur Kurkumin

Produk sunscreen yang beredar di pasaran sekarang ini adalah sunscreen dengan bahan aktif sintesis, sedangkan obat sintesis memiliki efek samping lebih besar dibandingkan obat herbal. Hal ini karena dalam obat sintesis hanya terkandung satu macam bahan aktif dan tidak mengandung bahan lain yang dapat mengimbangi efek samping yang ditimbulkan bahan aktif tersebut. Sedangkan obat herbal rata-rata mengandung bahan aktif lebih dari satu yang dapat saling bekerjasama untuk mengurangi efek samping masing-masing bahan aktif (Schep, 2010).

Rimpang temu putih dapat digunakan untuk mengatasi berbagai macam penyakit seperti kanker serviks, antiinflamasi, fibrinolitik, mengatasi nyerihaid, dll.

Kandungan rimpang temu putih juga bermacam-macam, diantaranya minyak atsiri, flavonoid, kurkumol (kurkumenol), kurdiona, kurkumin, kurkumemona, beta- elemene, sineol, kamfer, pati, resin, dll (Wijayakusuma, 2005).

(Menoo & Sudheer, 2007)

Kurkumin dalam temu putih berkhasiat sebagai antioksidan dengan mekanisme anti radikal bebas kimia dan biologis. Kurkumin diketahui melindungi biomembran terhadap kerusakan peroksidatif dengan cara menangkap radikal bebas

(3)

3

yang terlibat dalam peroksidasi. Antioksidan sebagian besar memiliki gugus fenol atau golongan beta-diketo (Menoo & Sudheer, 2007).

Penelitian yang dilakukan Yuliani (2010) menunjukkan bahwa struktur kurkuminoid yang mengandung gugus auksokrom dan kromofor dapat menyerap panjang gelombang pada kisaran panjang gelombang UV, sehingga dapat digunakan sebagai sunscreen. Selain kurkuminoid, senyawa flavonoid juga dapat berfungsi sebagai agen fotoproteksi karena kemampuannya yang dapat menyerap sinar UV; dapat menjadi agen antioksidan baik secara langsung dan tidak; serta sebagai agen antiinflamasi dan imunomodulator yang mendasari perkembangan fotoproteksi (Saewan & Jimtaisong, 2013). Hal inilah yang menjadi pertimbangan dilakukannya penelitian dengan menggunakan temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.)Roscoe], karena mengandung senyawa fenolik seperti kurkuminoid dan flavonoid dalam rimpangnya.

Formulasi sediaan topikal tabir surya berupa krim sering dipakai karena lebih efektif sebagai tabir surya. Sediaan krim memiliki keuntungan lebih lama menempel pada kulit dibanding lotion dan mudah dicuci dan dihilangkan dari pakaian. Krim tipe minyak dalam air bersifat tidak berminyak, tidak oklusif, mudah dicuci dengan air, serta dapat diencerkan dengan air (Winarti, 2013). Dalam pembuatan krim perlu diperhatikan eksipien yang ditambahkan agar krim stabil.

(4)

4

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan diselesaikan dalam penelitian ini, antara lain : 1. Bagaimana stabilitas fisik formula krim o/w ekstrak etanolik rimpang temu

putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] selama penyimpanan?

2. Bagaimana aktivitas krim o/w ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] sebagai tabir surya secara in vitro?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis stabilitas fisik formula krim o/w ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] selama penyimpanan.

2. Untuk menganalisis aktivitas krim o/w ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] sebagai tabir surya secara in vitro.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat yaitu didapatkan krim o/w ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] sebagai tabir surya yang berkualitas, sehingga diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif kosmetik tabir surya yang berasal dari bahan alam.

(5)

5

E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tanaman temu putih

Gambar 2. Rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.)Roscoe]

Temu putih termasuk divisi Spermathophyta, subdivisi Agiospremae, kelas Monocotyledoneae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma zedoaria (Berg.)Roscoe (Ernaningsih, 2002).

Temu putih umumnya ditanam sebagai tanaman obat, dapat ditemukan tumbuh liar pada tempat-tempat terbuka yang tanahnya lembap pada ketinggian 0- 1000 m dpl. Tanaman ini mirip dengan temulawak dan dapat dibedakan dari rimpangnya. Temu putih banyak ditemukan di Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra, Ambon, hingga Irian. Selain itu, juga dibudidayakan di India, Bangladhes, Cina, Madagaskar, Filpina, dan Malaysia (Dalimartha, 2003).

Terna tahunan ini dapat mencapai tinggi 2 m. Daunnya tunggal, bertangkai panjang. Helaian daun berbentuk bulat memanjang atau lanset, ujung dan pangkal

(6)

6

runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, warna hijau dengan sisi kanan-kiri ibu tulang daun terdapat semacam pita memanjang berwarna merah gelap atau lembayung, panjang 25-70 cm, lebar 8-15 cm (Dalimartha, 2003).

Rimpang induk bentuknya corong membulat dan mengeluakan rimpang cabang yang cukup banyak dan tumbuh ke samping, ukurannya lebih kecil, bentuknya memanjang dan mudah dipatahkan. Dari rimpang keluar akar-akar yang kaku pada ujungnya terdapat kantong air. Warna rimpangnya putih dengan hati yang berwana kuning muda. Bentuk buah bundar, berserat, segitiga, kulitnya lunak dan tipis. Biji bentuknya lonjong, berselaput, ujungnya warna putih (Dalimartha, 2003).

Beberapa zat kimia yang terkandung dalam rimpang temu putih antara lain kurkumin, tanin, saponin, polifenol, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin, (Utami & Puspaningtyas, 2013) dan minyak asiri yang tediri dari cineole, resin, camphene, zingibene, borneol, camphor, dan zedoarin (Rukmana, 2004). Rimpang

kering temu putih mengandung beberapa terpenoid, termasuk kurkumin, kurkumenon, kurdion, kurkumenol (Khare, 2007).

Khasiat temu putih untuk mengatasi memar, luka, keseleo, pegal linu, sengatan kalajengking atau ular. Selain itu juga untuk menguatkan pencernaan, perut kembung, menambah nafsu makan, pelancar peredaran darah, sakit gigi, mencegah kanker servik dan vulva, pembengkakan limpa, dan sebagainya (Hariana, 2006).

(7)

7

2. Tabir surya

Sunscreen atau tabir surya adalah sediaan topikal yang dapat mengeblok

efek dari radiasi UV pada kulit manusia dengan cara menyerap, memantulkan atau menghamburkan radiasi UV. Radiasi UV dapat merusak kulit melalui dua cara, baik dengan efeknya secara langsung terhadap DNA maupun efek tidak langsung terhadap sistem imun kulit (Levy, 2014).

Penggunaan sunscreen secara teratur dipercaya dapat mengurangi keratosis prekanker dan solar elatosis, serta mengurangi resiko melanoma. Mengacu pada penelitian yang telah dilakukan di Australia, pemakaian sunscreen setiap hari pada kulit tangan dan muka juga dapat menurunkan angka penderita karsinoma sel skuamus (Levy, 2014).

Formulasi tabir surya dalam sediaan sebaiknya memiliki sifat yang nyaman dan mudah dipakai; jumlah yang menempel pada kulit mencukupi kebutuhan;

bahan aktif dan bahan dasar mudah tercampur; serta bahan dasar dapat mempertahankan kelembutan dan kelembaban kulit. Sedangkan bahan aktif yang digunakan sebagai tabir surya sebaiknya memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Efektif menyerap radiasi UV-B tanpa perubahan kimiawi, karena jika tidak demikian akan mengurangi efisiensi, bahkan menjadi toksik atau menimbulkan iritasi.

b. Meneruskan UV-A untuk mendapatkan tanning (di kulit Kaukasia/Eropa).

c. Stabil, yaitu tahan keringat dan tidak menguap.

(8)

8

d. Mempunyai daya larut yang cukup untuk mempermudah formulasinya.

e. Tidak berbau atau boleh berbau ringan.

f. Tidak toksik, tidak mengiritasi, dan tidak menyebabkan sensitisasi (Tranggono & Latifah, 2007).

Penggunaan Sunscreen dibagi menjadi 2 jenis, yaitu sunscreen fisik dan sunscreen kimia.

a. Sunscreen Fisik

Sunscreen fisik yaitu produk tak tembus cahaya yang memantulkan

dan menghamburkan radiasi UV, biasanya mengandung besi oksida, red petrolatum, titanium dioksida, talk, seng oksida, feri klorida, dan/atau

ichthammol. Keuntungan sunscreen fisik ini adalah tidak diabsorbsi oleh kulit, sehingga mengurangi resiko alergi dermatitis (Helms et al., 2008).

Sunscreen fisik juga dapat memberikan proteksi yang lebih besar

dibandingkan sunscreen kimia, serta tak larut dalam air. Namun sunscreen fisik cenderung lebih tidak disukai karena umumnya dapat membentuk lapisan blocking film pada kulit. Selain itu, sunscreen jenis ini lebih sulit untuk diformulasikan karena dapat memecah emulsi (Chrisvert & Salvador, 2007).

Penggunaan beberapa senyawa sunscreen fisik tidak diperbolehkan menurut regulasi masing-masing area, seperti di Eropa yang diatur oleh EU Cosmetics Directive, hanya titanium dioksida yang boleh digunakan sebagai UV filter, dan seng oksida tidak. FDA menyatakan titanium

(9)

9

dioksida dan seng oksida diperbolehkan sebagai UV filter, sedangkan di Jepang tidak memperbolehkan keduanya (Chrisvert & Salvador, 2007).

b. Sunscreen Kimia

Sunscreen kimia (organik) adalah produk transparan yang menyerap

radiasi UV, mengandung bahan aktif yang dapat menyerap radiasi UV A maupun UV B. Beberapa bahan aktif penyerap UV A yaitu avobenzon dan antranilat. Beberapa bahan aktif penyerap UV B adalah PABA, ester-ester PABA seperti padimate-o dan gliseril PABA, golongan sinamat, dan golongan salisilat. Benzofenon dapat menyerap UV A maupun B (Helms et al., 2008). Senyawa-senyawa sunscreen kimia ini pada umumnya memiliki

satu atau beberapa struktur aromatis dan beberapa terkonjugasi dengan karbon-karbon ikatan rangkap ataupun karbonil.

Sediaan sunscreen kimia pada umumnya lebih disukai daripada sunscreen fisik walaupun memiliki resiko efek samping dermatologis. Hasil

studi toksikologi beberapa UV filter organik pada hewan juga menunjukkan adanya efek eksogenik dan antitiroid. Namun studi perubahan hormonal pada manusia yang menggunakan beberapa sunscreen menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidaklah terlalu tinggi (Chrisvert & Salvador, 2007).

FDA (US Food and Drug Administration) menyetujui metode untuk menilai efikasi sunscreen pada spectrum UV B adalah dengan menentukan SPF (Sun Protecting Factor). SPF adalah rasio waktu yang dibutuhkan radiasi UV untuk

(10)

10

menimbulkan eritema pada kulit yang terproteksi sunscreen dengan kulit tanpa proteksi sunscreen (Klein, 1997).

𝑆𝑃𝐹 =

𝑀𝐸𝐷 (𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑐𝑡𝑒𝑑 𝑠𝑘𝑖𝑛)

𝑀𝐸𝐷 (𝑢𝑛𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑐𝑡𝑒𝑑 𝑠𝑘𝑖𝑛) (1)

MED adalah Minimal Erythemal Dose yaitu jumlah radiasi UV minimal yang dapat menyebabkan respon eritema yang terdeteksi setelah paparan (Rai et al., 2004).

Tergantung pada sumber radiasi yang digunakan, nilai SPF dapat juga memberikan indikasi perlindungan yang diberikan oleh suatu formulasi terhadap radiasi UV-A. Nilai SPF ini dapat diuji dengan Faktor Proteksi Fototoksik, Faktor Proteksi Eritema UV-A, Faktor Proteksi Penggelapan Pigmen, Faktor Proteksi Transmisi In Vitro, atau Faktor Proteksi Sel Sunburn (Klein, 1997). Nilai SPF dikategorikan oleh FDA menjadi tiga kelompok berasarkan kemampuannya dalam melindungi kulit:

a. Produk dengan nilai SPF minimal 2 dan kurang dari 12 termasuk produk proteksi sunburn minimal.

b. Produk dengan nilai SPF antara 12 hingga 30 termasuk produk proteksi sunburn menengah.

c. Produk dengan nilai SPF diatas 30 termasuk produk proteksi sunburn tinggi

(Michalun & Dinardo,2014).

Aktivitas tabir surya juga dapat dinyatakan dengan nilai % Transmisi Eritema dan % Transmisi Pigmentasi. Persen transmisi eritma/pigmentasi yaitu perbandingan antara jumlah energi radiasi UV penyebab eritema/pigmentasi yang

(11)

11

diteruskan oleh sediaan tabir surya dengan jumlah faktor keefektifan eritema/pigmentasi pada tiap panjang gelombang dalam rentang 292,5-372,5 nm.

Semakin kecil nilai % transmisi eritema/pimentasi, maka kemampuan tabir surya untuk meneruskan radiasi ke kulit juga semakin kecil (Cumpelik,1972).

Klasifikasi penilaian aktivitas tabir surya berdasarkan kemampuan % Transmisi Eriema dan % Transmisi Pigmentasi dibagi menjad 4 golongan:

Tabel I. Klasifikasi penilaian aktivitas tabir surya

Klasifkasi Rentang eritema Rentang pigmentasi

Total blok <1 3-40

Proteksi ultra 1-6 42-86

Suntan 6-12 45-86

Pigmentasi cepat 10-18 >86

(Kreps & Goldemberg, 1972)

3. Sinar matahari

Radiasi sinar matahari yang mencapai bumi meliputi sinar tampak yang memiliki panjang gelombang 400-760 nm sebanyak 44,3%, sinar inframerah (760 – 1x106 nm) sebanyak 49,5%, dan radiasi Ultraviolet (100-400 nm) sebanyak 6,2%.

Sinar utraviolet terdiri dari sinar UV A (320-400 nm) 98%, sinar UV B (290-320 nm) 2%, dan sinar UV C (100-290 nm) (Chrisvert & Salvador, 2007).

Sinar matahari diperlukan oleh makhluk hidup sebagai sumber energi dan penyehat kulit dan tulang, misalnya dalam pembentukan vitamin dari pro-vitamin D yang mencegah penyakit polio atau riketsia, tetapi di lain pihak sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang membahayakan kulit. Sinar ultraviolet ini dapat menimbulkan berbagai kelainan pada kulit mulai dari kemerahan, noda hitam,

(12)

12

penuaan dini, kekeringan, keriput, sampai kanker kulit (Tranggono & Latifah, 2007).

Radiasi UV A pada awalnya dianggap tidak berbahaya, sehingga sunscreen hanya didesain untuk menyerap radisi UV B saja, dan meneruskan radiasi sinar UV A. Namun penelitian terbaru menyatakan bahwa UV A dapat lebih berbahaya dari UV B karena UV A lebih banyak 100-1000 kali dibanding UV B (tergantung musim) dan dapat terpenetrasi ke kulit lebih dalam hingga dapat mengubah posisi serat elastin dan dapat merusak pembuluh darah maupun DNA. Radiasi UV B yang mencapai permukaan bumi hanya kurang dari 1% dari total energi matahari, namun memiliki efek secara langsung pada molekul biologis sehinga menyebabkan kanker kulit, penuaan kulit, dan sunburn yang muncul tertunda (12-24 jam setelah paparan). UV C memiliki panjang gelombang paling pendek, tetapi energi serta daya perusak yang paling besar. Untunglah UV C tidak sampai ke bumi, karena diserap oleh lapisan ozon di angkasa luar. Namun seiring dengan meningkatnya polusi, maka lapisan dapat terkikis dan memungkinkan radiasi UV C mencapai permukaan bumi (Jones, 2000).

Radiasi yang paling berpengaruh pada manusia yaitu radiasi yang memiliki rentang 2900 – 3150 A. Semua efek yang terjadi pada kulit seperti pembentukan vitamin D, eritema, pigmentasi, pengeriputan, penuaan, dan lain-lainnya adalah hasil dari paparan sinar matahari dengan intensitas yang berbeda. Efek-efek tersebut merupakan respon normal oleh tubuh untuk mempertahankan kesetimbangan dalam tubuh itu sendiri. Namun selain efek normal tersebut dapat juga terjadi efek malfungsi pada kulit maupun sistemik (Kreps & Goldemberg, 1972).

(13)

13

Jenis kulit yang berbeda juga dapat mempengaruhi efek radiasi pada kulit.

Stratum korneum orang Eropa mentransmisikan 64% sinar UV antara 3000-4000 A, sedangkan orang Afrika hanya 18% bahkan beberapa 3%. Kemampuan transmisi kulit berkorelasi dengan jumlah pigmen. Semakin banyak jumlah pigmen dan semakin hitam kulit seseorang, maka kemampuan transmisinya lebih randah (Kreps

& Goldemberg, 1972).

Manfaat paparan sinar UV pada jumlah kecil memiliki efek terapetik pada beberapa penyakit karena dapat meningkatkan pembentukan vitamin D endogen.

Vitamin D dapat meningkatkan penyerapan kalsium sehingga mencegah osteoporosis, ricketsia, dan dapat memberikan efek yang baik juga pada artritis, regulasi tekanan darah, diabetes, dan kekuatan otot (Chrisvert & Salvador, 2007).

Beberapa efek paparan sinar ultraviolet terhadap tubuh diantaranya:

a. Tanning

Tanning atau peningkatan pigmentasi pada kulit adalah reaksi

biologis yang umum terjadi ketika kulit terpapar oleh radiasi UV. Terdapat dua macam reaksi tanning yaitu immediate tanning dan delayed tanning.

Immediate tanning mencapai kondisi maksimumnya setelah paparan selama

1 jam dan dapat hilang setelah 3 jam akibat reaksi oksidasi fotokemikal dari granul melanin. Delayed tanning muncul 2 hari setelah paparan, dan mencapai maksimumnya setelah 2-3 minggu. Taning jenis ini akan hilang setelah 10-12 bulan (Jones, 2000). Hal ini dapat terjadi karena pembentukan pigmen melanin baru dalam kulit yang kemudian bermigrasi ke lapisan kulit

(14)

14

yang lebih luar. Melanin yang terbentuk berfungsi untuk menyerap radiasi UV, sehingga dapat melindungi kulit. Melanin juga dapat berfungsi sebagai anti radikal bebas, sehingga dapat mengurangi potensi kerusakan yang disebabkan oleh sinar UV (Kreps & Goldemberg, 1972).

b. Keratinisasi

Keratinisasi juga merupakan respon pertahanan alami kulit terhadap sinar UV. Sinar UV menyebabkan pembentukan keratin kulit yang dapat menghamburkan sinar matahari, sehingga mencegah sinar matahari menembus lapisan kulit lebih dalam (Jones, 2000).

c. Eritema

Ertitema atau sunburn adalah reaksi yang paling mudah terlihat ketika kulit terkena radiasi UV, terutama untuk orang berkulit putih (terang). Eritema terbentuk 2-3 jam setelah paparan dan mencapai maksimum 10-24 jam kemudian. Mekanisme yang terjadi melibatkan senyawa fotokemikal dari senyawa radikal yang begabung dan membentuk senyawa iritan seperti peroksida yang dapat menyebabkan eritema. (Jones, 2000). Perubahan histopatologi yang pertama terjadi pada jaringan dermis, dimana pembuluh darah berdilatasi dan terjadi infiltrasi leukosit. Setelah 10-24 jam, maka mulai terdapat efek pada epidermis, seperti edema dan degenerasi seluler. Setelah 5-7 hari, lapisan epidermis yang rusak akan mengalami kondensasi dimana terjadi penebalan lapisan tanduk pada stratum korneum (Kreps & Goldemberg, 1972).

(15)

15

d. Karsinogenesis

Karsinogenesis atau kanker kulit adalah konsekuensi paling berbahaya akibat paparan radiasi UV. Hal in telah dibuktikan bahwa paparan jangka panjang terhadap sinar UV dapat menyebabkan kanker kulit melanoma atau nonmelanoma. Kanker melanoma lebih serius dibanding non melanoma (Jones, 2000).

4. Kulit

Kulit adalah organ paling besar dan penting dalam sistem integumentum, memiliki bobot 16% total bobot manusia. Sistem integumentum terdiri dari kulit dan struktur pelengkapnya seperi rambut, kuku, berbagai kelenjar, dan sistem sensorik. Kulit merupakan organ yang vital, sebagai barier protektif yang memberikan respon baik terhadap tantangan eksternal maupun internal dan berperan serta dalam pemeliharaan homeostasis (Anderson, 1996).

Kulit manusia memiliki ketebalan bervariasi, mulai dari 0,5 mm sampai 5 mm, dengan luas permukaan sekitar 2 m2 dan berat sekitar 4 kg. Kulit terdiri dari tiga lapisan: (1) epidermis atau lapisan eksternal yang terdiri dari lapisan germinativum, spinosum, granulosum, lucidum, dan korneum; (2) kulit sejati atau dermal; dan (3) lapisan subkutan adipose atau panniculus adiposus (Fandeyev, 1968).

Kulit memiliki banyak fungsi yang berperan sebagai pertahanan diri.

Berikut ini adalah fungsi kulit yang paling penting:

(16)

16

a. Proteksi

Kulit disebut sebagai “petahanan pertama” tubuh dari berbagai bahaya eksternal seperti mikroba patogen, senyawa kimia, benturan fisik, dan lain-lain.

b. Regulasi Temperatur

Regulasi temperatur tubuh oleh kulit dilakukan dengan mengatur sekresi keringat dan mengatur aliran darah yang dekat dengan permukaan tubuh.

c. Indra Peraba

Kulit berfungsi sebagai indra peraba karena memiliki jutaan ujung syaraf yang befungsi untuk menerima respon dari luar tubuh yang disebut reseptor.

d. Ekskresi

Fungsi ekskresi kulit dilakukan dengan mengatur volume cairan tubuh dan kandungan kimia dalam tubuh melalui pengeluaran keringat.

e. Sintesis Vitamin D

Sintesis vitamin D terjadi ketika kulit terpapar sinar UV. Prekusor pembentuk vitamin D yang berada di kulit akan ditransfer ke hati dan ginjal dan diubah menjadi vitamin D aktif.

(Thibodeau & Patton, 2011).

5. Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Depertemen

(17)

17

Kesehatan RI, 1995). Konsistensi dan rheologis krim tergantung dari jenis emulsinya, apakah minyak dalam air atau air dalam minyak, dan juga pada sifat zat padat dalam fase internal. Sifat rheologis dari krim dapat membuat krim mudah menempel pada mediumnya dalam waktu lama sebelum dicuci dan dihilangkan (Idson & Lazarus, 1994).

Krim saat ini lebih diarahkan pada emulsi minyak dalam air, dispersi mikrokristalin dari asam lemak rantai panjang, atau alkohol yang tercuci air dan lebih aseptabel dari segi estetik dan kosmetika. Krim farmasetis adalah sediaan emulsi semisolid yang mengandung air kurang dari 20% dan senyawa volatil dan/atau kurang dari 50% hidrokarbon, lilin-lilin, atau polietilenlglikol (PEG) sebagai pembawa. Krim biasa digunakan untuk menghantarkan bahan aktif yang digunakan sebagai antifungi, antibakteri, dan antiinflamasi melintasi stratum korneum atau mukosa vaginal, baik untuk aktivitas topikal maupun sistemik (Srivastava, 2006).

Krim mengandung fase air dan fase minyak, sehingga krim sering disebut emulsi semisolid. Krim hidrofilik mengandung banyak jumlah air pada fase eksternal (contohnya vanishing cream) dan krim hidrofobik mengandung air pada fase intenal (contohnya cold cream). Bahan pengemulsi digunakan untuk mencampurkan fase air dan fase minyak. Krim umumnya diformulasi untuk tujuan perlindungan kulit, sebagai emolien, ataupun sebagai pembawa obat melalui kulit, rektum, dan vagina. Krim bersifat lebih lembut dibandingkan dengan salep dan lebih disukai karena mudah diambil dari wadah dan dapat menyebar dengan mudah (Malingham et al., 2008).

(18)

18

Basis yang digunakan untuk membuat krim dibagi berdasarkan komposisi dan karakteristiknya. USP mengklasifikasikan basis menjadi 4:

a. Basis Hidrokarbon

Basis hidrokarbon terdiri dari bahan-bahan berminyak. Basis ini dapat memberikan sifat protektif dan emolien, serta dapat menempel pada kulit dalam waktu yang lama. Fase air sulit dicampurkan dengan basis ini, namun serbuk dapat dicampurkan dengan bantuan petrolatum cair. Krim dengan basis ini umumnya sulit dihilangkan dari kulit karena sifat hidrofobiknya. Contoh dari basis ini yaitu vaselin alba, vaselin flava, petrolatum USP, dan ointment USP (Malingham et al., 2008).

b. Basis Absorbsi

Basis absorbsi mengandung sedikit air dan bersifat kurang melembutkan dibandingkan dengan basis hidrokarbon. Basis ini sulit dihilangkan dari kulit karena sifatnya yang hidrofobik seperti basis hidrokarbon. Contoh basis ini adalah petrolatum hidrofil USP dan lanolin USP (Malingham et al., 2008).

c. Basis Tercuci Air

Basis ini pada dasarnya adalah basis minyak dalam air, sehingga dapat dengan mudah dicampurkan dengan air dalam jumlah banyak dengan bantuan agen pengemulsi. Basis tercuci air bersifat hidrofil, sehingga mudah dihilangkan dari kulit. Contoh dari basis ini adalah basis salep hidrofilik USP (Malingham et al., 2008).

(19)

19

d. Basis Larut Air

Basis larut air tidak mengandung bahan berminyak sama sekali dan sangat mudah tercuci dengan air. Padatan dapat dengan mudah dicampurkan dengan basis ini. Contoh basis ini adalah PEG (Malingham et al., 2008).

6. Senyawa fenolik

Senyawa fenolik merupakan turunan benzen dengan satu atau lebih gugus hidroksil yang menempel pada cincin benzen. Senyawa fenolik penting bagi fisiologis tanaman, berperan dalam perlindungan diri terhadap mikroorganisme dan serangga. Selain itu, senyawa fenolik juga berfungsi untuk pigmentasi dan penentuan bau atau rasa tanaman (Visioli et al., 2005).

Senyawa fenolik terbagi menjadi kelompok-kelompok berbeda berdasarkan struktur kimianya (berdasarkan jumlah atom karbon yang dimiliki), dan berdasarkan jalur terbentuknya pada tumbuhan yang dapat melalui dua jalur utama, yaitu jalur asetat dan jalur sikimat (Daniel, 2006). Fungsi lain senyawa fenolik pada tanaman adalah sebagai antioksidan untuk melindungi tanaman dari tekanan lingkungan termasuk radiasi UV dan temperatur tinggi. Tanaman yang memiliki kandungan fenolik cukup tinggi seperti anggur, zaitun, dan sayuran berpigmen pekat umumnya tumbuh banyak pada area Mediterania, dimana kombinasi panas dan radiasi sinar akan menginduksi pembentukan antioksidan pada tanaman (Visioli et al., 2005).

Senyawa fenolik juga telah banyak diteliti manfaatnya bagi manusia, contohnya sebagai antiseptik terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Selain

(20)

20

sebagai antieptik, senyawa fenolik juga dapat digunakan sebagai bahan aktif sunscreen karena adanya cincin aromatis dalam strukturnya, sehingga dapat secara

efektif menyerap radiasi UV B (antara 280-315 nm) dan mencegah sunburn (Vermerris & Nicholson, 2009).

Flavonoid merupakan senyawa fenolik sekunder (C6-C3-C6) dari tumbuhan yang bersifat kelat. Flavonoid bervariasi berdasarkan struktur kimianya, yaitu flavonol, flavon, flavanon, isolavon, katekin, antosianin, dan kalkon. Sumber utama flavonoid diantaranya buah jeruk, bawang, parsley, teh hijau, dan anggur merah (Pal & Verma, 2013). Senyawa flavonoid seperti flavonol, antosianin, dan flavanon (Srividya, A.R., et al., 2012; Cho, W.Y. & Kim, S.J., 2011; Eun, S., et al., 2010) juga terdapat dalam tanaman Curcuma zedoaria bersama dengan alkaloid, triterpenoid, tanin, kurkumin (Utami & Puspaningtyas, 2013).

Flavonoid memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Flavonoid juga memiliki efek protektif karena dapat menransfer elektron radikal bebas, mengkatalisis proses kelating logam, mengaktivasi enzim antioksidan, menurunkan radikal alpha-tocopherol, menghambat oksidasi, dan melindungi dari radiasi UV.

Oleh karena itu, flavonoid memiliki tiga efek fotoproteksi yang berbeda termasuk absorbsi UV, sifat antioksidan langsung dan tidak langsung, serta memodulasi beberapa jalur sinyal (signaling pathways) (Saewan & Jimtaisong, 2013).

Kurkumin termasuk senyawa fenolik yang termasuk dalam golongan polifenol. Kurkumin dikenal sebagai senyawa yang memberikan warna kuning pada kunyit; bersifat hidrofobik secara alami dan mudah larut dalam aseton, etanol,

(21)

21

dan minyak-minyak. Kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin dapat diisolasi dari berbagai rimpang, seperti rimpang Curcuma mangga, Curcuma xanthorrhiza, Curcuma aromatica, Curcuma phaeocaulis, dan Curcuma zedoaria

(Aggarwal et al., 2007).

Manfaat senyawa kurkumin yang telah diteliti diantaranya sebagai antiseptik, analgesik, antiinflamasi, antimalaria, dan repelan serangga (Aggarwal et al., 2007). Senyawa kurkumin juga dapat digunakan untuk menangkal radikal bebas

terhadap kulit, mencegah penguapan air secara trans-epidermal, serta mampu memiliki nilai SPF (hingga 15 atau lebih) untuk mencegah kerusakan kulit (Mukherjee et al., 2011). Pada penelitian yang dilakukan Yuliani (2010) menunjukkan bahwa struktur kurkuminoid yang mengandung gugus auksokrom dan kromofor dapat menyerap panjang gelombang pada kisaran panjang gelombang UV, sehingga dapat digunakan sebagai sunscreen.

7. Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat di dalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Pada prinsipnya, ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa dengan menggunakan pelarut yang tepat (Emilan et al., 2011). Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.

(22)

22

Bahan-bahan dalam tanaman terdiri dari campuran zat yang heterogen, ada yang bersifat farmakologis dan dianggap sebagai zat yang dibutuhkan, ada pula yang tidak bersifat farmakologis (inert). Pada proses pengumpulkan bahan aktif dari tanaman, hal yang paling diperhatikan adalah pemilihan pelarut. Pemilihan pelarut didasarkan pada daya larut zat aktif, zat inert, serta tergantung pada tipe preparat farmasi yang diperlukan. Pelarut yang baik dapat melarutkan sebagian besar zat aktif yang diinginkan serta sedikit melarutkan zat yang tidak diinginkan (Ansel, 1989).

Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya:

a. Berdasarkan energi yang digunakan

Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara panas atau dingin. Cara panas antara lain refluks, soxhlet, destilasi, infusa, dekokta. Sedangkan ekstraksi cara dingin antara lain pengocokan, maserasi, dan, perkolasi. Ekstraksi cara panas lebih cepat untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan karena panas akan memperbesar kelarutan suatu senyawa. Sedangkan untuk ekstraksi cara dingin dikhususkan untuk senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan (Emilan et al., 2011).

b. Berdasarkan bentuk fase

Ekstraksi ini didasarkan berdasarkan pada larutan yang bercampur dan pelarut yang tidak bercampur. Berdasarkan bentuk fasenya ekstraksi dibagi menjadi beberapa golongan yaitu ekstraksi cair- cair dan ekstraksi cair-padat (Emilan et al., 2011).

(23)

23

8. Monografi bahan

Bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam penelitian, antara lain:

a. Setil Alkohol

Setil alkohol memiliki nama kimia hexadecane-1-ol, rumus kimia C16H34O, dan memiliki berat molekul 242,44. Setil alkohol adalah campuran dari alkohol alifatik padat terutama 1-heksadekanol. Menurut USP32-NF27, tidak kurang dari 90,0 % setil alkohol, sedangkan sisanya terdiri dari alkohol terkait. Di pasaran, setil alkohol banyak dijual berupa campuran antara setil alkohol (60-70%) dan stearil alkohol (20-30%). Setil alkohol berupa serpihan putih, bergranul bentuk dadu, lunak, berbau samar khas dan memiliki rasa hambar. Setil alkohol memiliki titik leleh 45-52oC, titik didih 316-344oC, massa jenis 0,908 g/cm3 dan viskositas 7 mPas (7 Cps) pada 50oC. Setil alkohol larut dengan baik dalam etanol (95%) dan eter namun tidak larut dalam air (Unvala, 2009).

Pada sediaan losion, krim, dan salep, setil alkohol digunakan karena kemampuannya sebagai emolien, emulsifying agent, dan dapat menyerap air, sehingga dapat meningkatkan stabilitas, konsistensi, dan memperbaiki teksturnya. Sifat emolien setil alkohol berasal dari kemampuannya untuk menyerap dan menempel di epidermis, sehingga melumasi dan melembutkan kulit (Unvala, 2009).

Pada emulsi minyak dalam air, setil alkohol dapat meningkatkan stabilitas dengan cara mengombinasikannya dengan agen emulsifying larut air. Campuran emulsifier tersebut menghasilkan lapisan pembatas

(24)

24

monomolekuler pada permukaan minyak-air sehingga mencegah penggabungan antara minyak dan air. Range konsentrasi setil alkohol jika digunakan sebagai emolien adalah 2-5%, begitu juga sebagai emulsifying agent. Jika digunakan sebagai stiffening agent range konsentrasinya adalah

2-10% (Unvala, 2009).

b. Asam Stearat

Asam stearat memiliki nama kimia asam oktadekanoat dan rumus kimia C18H36O2. Menurut USP32-NF27, yang disebut asam stearat adalah campuran dari asam stearat dan asam palmitat, kandungan dari asam starat tidak kurang dari 40% dan jumlah dari kedua asam tidak kurang dari 90%.

Asam stearat berbentuk serbuk kristal padat berwarna putih sampai kuning muda, berbau lemah dan berasa seperti lemak. Dalam sediaan topikal, asam stearat sering dugunakan untuk emulsifying dan solubilizing agent. Asam stearat memiliki titik leleh 69-70 ⁰C, densitas 0,980 g/cm2, dan bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam benzen, karbon tetraklorida, heksana (Allen, 2009).

c. Gliserin

Gliserin bernama kimia propane-1,2,3-triol memiliki rumus kimia C3H8O3, dan memiliki berat molekul 92,09. Gliserin adalah cairan higroskopis, tidak berwarna, tidak berbau, dan berasa manis, rata-rata 0,6 kali lebih manis dari sukrosa. Bahan ini dapat digunakan untuk berbagai macam formulasi farmasetis, seperti oral, otik, ophthalmik, topikal, dan sediaan parenteral. Fungsi dari gliserin umumnya sebagai humektan dan

(25)

25

emolien, serta sebagai solven atau kosolven dalam sediaan krim dan emulsi (Alvarez-Nunes & Medina, 2009).

d. Propilenglikol

Propilenglikol yang memiliki stuktur kimia C3H8O2 merupakan cairan kental jernih tanpa bau dengan rasa manis sedikit asam seperti gliserin. Propilenglikol memiliki titik leleh -59⁰C, titik didih 371⁰C, berat jenis 1,038 g/cm3 pada 20⁰C, dan memiliki kelarutan yang baik pada air, aseton, kloroform, etanol 95%, dan gliserin. Propilenglikol berfungsi sebagai pengawet, desinfektan, humectant, plasticizer, solven, stabilizing agent, dan kosolven larut air. Propilenglikol dapat digunakan pada kosmetik

dan industri makanan sebagai pembawa untuk emulsifiers dan pembawa pewarna yang tak larut air (Weller, 2009).

e. TEA

Tretanolamin yang memiliki rumus kimia C6H15NO3 merupakan cairan kental tak berwarna hingga berwarna kekuningan dan berbau sedikit seperti amoniak. Trietanolamin memiliki pH 10,5 pada larutan 0,1 N, titik leleh 20-21⁰C, titik didih 335⁰C, dan memiliki kelarutan yang baik pada air, methanol, aseton, dan, karbon tetraklorida. Trietanolamin umumnya digunakan dalam sediaan topikal sebagai agen pengalkali atau agen pengemulsi. Ketika dicampur dengan proporsi asam lemak yang ekuimolar seperti asam stearat atau asam oleat, TEA membentuk sabun anionik dengan pH sekitar 8, sehingga dapat digunakan sebagai agen emulsifier dan dapat membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil (Goskonda, 2009).

(26)

26

f. Metil Paraben

Metil paraben memiliki nama kimia metil p-hidroksibenzoat dan rumus molekul C8H8O3. Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C8H8O3, dihitung terhadap zat yang dikeringkan. Metil paraben berupa hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih, tidak berbau atau berbau khas lemah; memiliki sedikit rasa terbakar. Bersifat sukar larut dalam air, dalam benzen, dan dalam karbon tetraklorida; mudah larut dalam etanol dan dalam eter (Departemen Kesehatan RI, 1995). Metil paraben biasa digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam sediaan kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetika, dapat digunakan secara tunggal maupun kombinasi (Haley, 2009).

g. Aquades

Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum. Berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa (Departemen Kesehatan RI, 1979).

F. Landasan Teori

Sinar matahari dapat memberikan dampak positif dan negatif pada kulit manusia. Untuk mencegah dampak negatif tersebut, maka telah dikembangkan sediaan sunscreen. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sunscreen dapat mencegah efek negatif yang disebabkan oleh radiasi UV, seperti sunburn (eritema), photoaging, kerusakan DNA sel kulit, perkembangan keratosis aktinik prekanker, serta pembentukan kanker kulit (Robert & Learn, 1997).

(27)

27 Sunscreen dapat diformulasikan dalam bentuk krim maupun lotion. Sediaan

krim untuk sunscreen memiliki kelebihan lebih lama melekat dibandingkan lotion.

Krim jenis emulsi dalam air lebih disukai debandingkan emulsi dalam minyak, karena lebih nyaman ketika diaplikasikan ke kulit, mudah dicuci dengan air, dan mudah menyebar di kulit (Winarti, 2013).

Krim termasuk dalam sistem emulsi. Emulsi adalah sistem dispersi kasar yang secara termodinamik tidak stabil, terdiri dari minimal dua atau lebih cairan yang tidak bercampur satu sama lain, dimana cairan yang satu dapat terdispersi di dalam cairan yang lain dan untuk memantapkannya diperlukan penambahan emulgator (Voight, 1995). Faktor yang dapat mempengaruhi sifat dan stabilitas emulsi diataranya volume fase dispersi, rata-rata ukuran droplet, viskositas bulk masing-masing fase, dan sifat serta kadar emulsifier (Miller et al., 2001).

Bahan aktif yang digunakan dalam sunscreen dapat berupa bahan organik (sunscreen kimia) atau bahan anorganik (sunscreen fisika). Beberapa bahan UV filter sintetis yang tersedia di pasaran memiliki batasan penggunaan, karena molekul aktifnya dapat menyebabkan adverse effect pada kulit manusia. Untuk mengatasi hal ini, senyawa herbal dapat dipertimbangkan sebagai agen fotoprotektif. Rimpang temu putih memiliki berbagai kandungan, diantaranya flavonoid, kurkmol (kurkumenol), kurdiona, kurkumin, kurkumemona, beta- elemene, sineol, kamfer, pati, resin, dll (Wijayakusuma, 2005). Senyawa flavonoid dalam rimpang temu putih dapat berfungsi sebagai agen fotoproteksi karena kemampuannya yang dapat menyerap sinar UV (Saewan & Jimtaisong, 2013).

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan Yuliani (2010) menunjukkan bahwa

(28)

28

struktur kurkuminoid yang mengandung gugus auksokrom dan kromofor dapat menyerap panjang gelombang pada kisaran panjang gelombang UV.

Aktivitas sebagai tabir surya secara in vitro dapat ditentukan dengan mengukur % transmisi eritema, % transmisi pigmentasi, serta nilai sun protection factor (SPF) secara spektrofotometri (Wilkinson dan Moore, 1982). Mansur et al.

(1986) telah mengembangkan persamaan matematika sederhana yang dapat secara cepat, mudah, dan efektif untuk menentukan nilai SPF menggunakan metode scanning spektrofotometri pada panjang gelombang 290-320 nm. Nilai % transmisi

eritema dan % transmisi pigmentasi dapat ditentukan dengan scanning spektrofotometri pada panjang gelombang 292,5-372,5 nm (Cumpelik, 1972).

Nilai SPF menunjukkan rasio waktu yang dibutuhkan radiasi UV pada panjang gelombang 290-320 nm untuk menimbulkan eritema pada kulit yang terproteksi sunscreen dengan kulit tanpa proteksi sunscreen (Klein, 1997). Nilai % transmisi eritema menunjukkan jumlah energi sinar ultraviolet penyebab eritema pada panjang gelombang 292,5 – 337,5 nm yang diteruskan oleh sediaan tabir surya. Sedangkan nilai transmisi pigmentasi merupakan jumlah energi sinar ultraviolet penyebab pigmentasi pada panjang gelombang 322,5 – 372,5 nm yang diteruskan oleh sediaan tabir surya (Cumpelik, 1972). Berdasarkan panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur kemampuan tabir surya, maka nilai SPF dan % transmisi eritema digunakan untuk menunjukkan efektivitas tabir surya terhadap sinar UV B, sedangkan nilai % transmisi pigmentasi digunakan untuk melihat efektifitas tabir surya terhadap sinar UV-A.

(29)

29

G. Hipotesis

1. Formula krim o/w ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] memiliki stabilitas fisik yang baik selama masa penyimpanan.

2. Krim o/w ekstrak etanolik rimpang temu putih [Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe] memiliki aktivitas sebagai tabir surya secara in vitro.

Referensi

Dokumen terkait

SK Dirjen Dikti tentang perubahan dan peraturan tambahan 5K Dirjen Dikti No ; 08/DIKTI/Kep/2002 5K Dirien Diktl tentang penyelenggaraafl program reguler dan non reguler di

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan DaerahDaerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah (Berita Negara tanggal 8 Agustus 1950) sebagaimana telah diubah

Determinan kejadian komplikasi persalinan di Indonesia adalah paritas satu atau lebih sama dengan empat anak, adanya komplikasi kehamilan dan adanya riwayat komplikasi

Sabun obat adalah garam yang berasal dari suatu asam lemak tinggi.. yang bereaksi dengan alkali dan ditambahkan dengan zat kimia, bahan

Analisis Pengaruh Rasio-rasio Keuangan Terhadap Kinerja Bank Umum di Indonesia (Studi Empiris Bank- bank Umum.. yang Beroperasi

ilmu mengenai tingkat kesehatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia

London Sumatra Indonesia Tbk, Unit Bah Lias Estate, sebagaimana humas atau public relations pada perusahaan lain, petugas humas di perusahaan ini memiliki tugas

Ingat, dengan induksi matematika dapat melakukan pembuktian kebenaran suatu pernyataan matematika yang berhubungan dengan bilangan asli, bukan untuk menemukan formula..