• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kesejahteraan psikologis dengan pola kelekatan dewasa pada ibu bekerja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara kesejahteraan psikologis dengan pola kelekatan dewasa pada ibu bekerja."

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN POLA

KELEKATAN DEWASA PADA IBU BEKERJA

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis ibu bekejra dengan pola kelekatan yang dimilikinya. Variabel bebas dalam penelitian ii adalah pola kelekatan sedangkan variabel tergantungnya adalah kesejahteraan psikologis. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu bekerja yang berusia 20-65 tahun. Jumlah subjek adalah 80 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1) adanya ubungan positif antara pola kelekatan secure dengan kesejahteraan psikologis 2) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan preocuupied dengan kesejahteraan psikologis 3) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan dismissing dengan kesejahteraan psikologis 4) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan fearful dengan kesejahteraan psikologis. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesejahteraan psikologis dan skala pola kelekatan. Skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan enam dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Skala pola kelekatan disusun berdasarkan jenis pola kelekatan menurut Bartholomew & Horowitz (1991). Metode analisis data yang digunakan dalam metode statistik

Product-Moment Pearson dengan bantuan SPSS for Windows version 16.0. hasil penelitian ini adalah 1) ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola kelekatan secure dengan kesejahteraan psikologis (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) ada hubungan negative dan signifikan antara pola kelekatan

preoccupied dengan kesejahteraan psikologis (r=-0,342; p=0,001; p<0,05)

(2)

THE RELATIONSHIPBETWEEN A PSYCHOLOGICAL WELL-BEING AND

ADULT ATTACHMENTPATTERN IN WORKING MOTHER

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRACT

The purpose of this research is to know the relationship between a psychological well-being and an adult attachment pattern in working mother. The independent variable was attachment pattern and the dependent variable was psychological well-being. The subjectsin this research is a mother (working mother) in the age of 20 – 65 years old that is 80 people. The hypothesis of this research is 1) there are positive relationship between a secure attachment pattern and a psychological well-being 2) There are negative relationship between a preoccupied attachment pattern and a psychological well-being 3) there are negative relationship between a dismissingattachment pattern and a psychological well-being 4) there are negative relationship between a fearfulattachmentpattern and a psychological well-being. In this research, the instrument that is used is psychology well-being and attachment behavior scale. Psychological well-being is arranged based on Ryff’s 6 dimension of psychological well-being (1989). Attachment behavior scale is arranged based on Bartholomew and Horowitz’s kinds of attachment behavior pattern (1991). The analysis method that is used is Pearson’s method that is statistic Product-moment by SPSS for Windows version 16.0. The result is 1) there is positive and significant relationship between a secure pattern and a psychological well-being (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) there are negative and significant relationship between a preoccupied pattern and a psychological well-being (r=-0,342; p=0,001; p<0,05)

(3)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Cloudia Metha Hanesthi

NIM : 109114035

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

“Let’s say, today this is our last day that

we have so we must do the best”

“Selalu mengucap syukur untuk semua

hal yang pernah terjadi dalam hidup”

(7)

Karya ini ku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Dan Bunda Maria

Terima kasih semua selalu indah pada waktu-Nya

Bapak dan Ibu tercinta

Untuk dukungan, semangat dan doanya

Dea, Lauren, Yesa

Selalu mendukung dan semangatnya

Keluarga besarku

Untuk segala perhatiannya

Sahabat - sahabatku

Untuk selalu ada dan menemani selama ini

(8)
(9)

HUBUNGAN ANTARA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN POLA

KELEKATAN DEWASA PADA IBU BEKERJA

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis ibu bekerja dengan pola kelekatan yang dimilikinya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola kelekatan sedangkan variabel tergantungnya adalah kesejahteraan psikologis. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu bekerja yang berusia 20 – 65 tahun. Jumlah subjek adalah 80 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah 1) adanya hubungan positif antara pola kelekatan secure dengan kesejahteraan psikologis 2) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan preoccupied dengan kesejahteraan psikologis 3) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan dismissing dengan kesejahteraan psikologis 4) adanya hubungan negatif antara pola kelekatan fearful dengan kesejahteraan psikologis. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesejahteraan psikologis dan skala pola kelekatan. Skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan enam dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Skala pola kelekatan disusun berdasarkan jenis pola kelekatan menurut menurut Bartholomew & Horowitz (1991). Metode analisis data yang digunakan adalah metode statistic

Product-Moment Pearson dan Spearman Rank dengan bantuan program SPSS for Windows version

16.0. Hasil penelitian ini adalah 1) ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola kelekatan

secure dengan kesejahteraan psikologis (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) ada hubungan negatif dan signifikan antara pola kelekatan preoccupied dengan kesejahteraan psikologis (r= -0,342; p=0,001; p<0,05)

(10)

THE RELATIONSHIP

BETWEEN A PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

AND ADULT ATTACHMENT PATTERN IN WORKING MOTHER

Cloudia Metha Hanesthi

ABSTRACT

The purpose of this research is to know the relationship between a psychological well-being and an adult attachment pattern in working mother. The independent variable was attachment pattern and the dependent variable was psychological well-being. The subjects in this research is a mother (working mother) in the age of 20 – 65 years old that is 80 people. The hypothesis of this research is 1) there are positive relationship between a secure attachment pattern and a psychological well-being 2) There are negative relationship between a preoccupied attachment pattern and a psychological well-being 3) there are negative relationship between a dismissing attachment pattern and a psychological well-being 4) there are negative relationship between a fearful attachmentpattern and a psychological well-being. In this research, the instrument that is used is psychology well-being and attachment behavior scale. Psychological well-being is arranged based on Ryff’s 6 dimension of psychological well-being (1989). Attachment behavior scale is arranged based on Bartholomew and Horowitz’s kinds of attachment behavior pattern (1991). The analysis method that is used is Pearson’s method that is statistic Product-moment and Spearman rank by SPSS for Windows version 16.0. The result is 1) there is positive and significant relationship between a secure pattern and a psychological well-being (r=0,589; p=0,000; p<0,05) 2) there are negative and significant relationship between a preoccupied

pattern and a psychological well-being (r= -0,342; p=0,001; p<0,05)

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa yang Maha Kuasa dan Bunda Maria atas

segala berkat dan rahmat Roh Kudus yang diberikan kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Hubungan Antara Kesejahteraan

Psikologis dengan Pola Kelekatan Dewasa pada Ibu Bekerja”.

Penelitian ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari berbagai tantangan dan hambatan yang muncul saat menyusun,

melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Pelaksanaan penelitian ini dari awal

hingga akhir banyak melibatkan berbagai pihak. Penulis juga menyadari banyak

pihak yang telah mengisi kehidupan penulis selama menimba ilmu Psikologi. Oleh

karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah

memberikan warna-warni untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Mereka adalah :

1.

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas penyertaan, bimbingan dan

berkat-Nya. Saya menjadi kuat dalam mengerjakan skripsi walaupun banyak tantangan

yang dihadapi dan saya mampu menyelesaikan skripsi ini.

2.

Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang atas kesempatan yang telah diberikan selama

proses studi.

3.

Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku kepala program studi. Terima kasih atas

bantuan dan pelajaran yang diberikan dalam kelancaran

4.

Ibu Passchedona Henrietta PDADS, S.Psi., M.A

.

selaku dosen pembimbing

akademik. Terima kasih telah membantu dan memberikan bimbingan serta

saran selama penulis menempuh masa perkuliahan di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas dukungan dan semangat dari

(13)

5.

Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih Ibu

telah membimbing, menyediakan waku, memberikan saran dan dorongan, serta

membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. “Terima kasih atas kesabaran

ibu dalam membimbing saya. Ibu mengajarkan saya untuk berpikir dan

menggali rasa ingin tahu saya dengan mencari secara mandiri bahan bacaan

atau sumber informasi yang berguna dalam penelitian ini”.

6.

Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.si.

selaku dosen penguji.

7.

Seluruh Dosen dan Karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

yang telah membagikan ilmu, pengetahuan, pengalamannya, mendampingi dan

membimbing penulis selama masa studi atas segala kebaikan yang telah

diberikan.

8.

Ibu, yang telah mendukung, memberikan kasih sayang dan dukungan tiada

henti dan tidak pernah mengeluh untuk selalu mengingatkan penulis dan Bapak,

i know you always watch me from heaven. Miss you, pak.

9.

Adik-adik, Dea, Lauren dan Yesa yang selalu memberikan semangat dengan

canda tawa.

10.

Bule Tanti, Mama ning, Om Krido, Om Damar dan seluruh keluarga besar yang

selalu memberikan dukungan dengan caranya masing-masing.

11.

Sahabat hati Andhyka Yulius Sihaloho untuk segala cinta, ketulusan, perhatian,

kepedulian, semangat, kepercayaan, dukungan, kesabaran dan doa yang tak

henti selalu diberikan kepada penulis.

12.

Sahabat, Desi, Angel, Dita, Grego, Erin, Cha-cha yang telah memberikan

semangat dan warna dalam hidup penulis, berbagi kisah dalam perjalanan hidup

kita.

13.

Para subjek penelitian ini, yang rela menyediakan waktu dan bersedia untuk

ikut serta dalam pengambilan data demi keberhasilan penelitian ini.

14.

Teman-teman satu dosen pembimbing Bu Debri atas kebersamaan

(14)

15.

Teman-teman Psikologi angkatan 2010 (khususnya kelas A) dan berbagai

angkatan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu

menyebarkan kuesioner, mengisi hari-hari, memberi pengalaman yang berharga

bagi penulis dan atas dinamika yang berjalan selama menempuh masa

pendidikan di Universitas Sanata Dharma.

16.

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih

untuk dukungan, doa, dan kerjasamanya baik secara langsung maupun tidak

langsung selama ini.

Penulis sangat menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis menerima segala bentuk masukan, saran, dan kritik dari pembaca yang

sifatnya membangun demi perbaikan penelitian selanjutnya. Semoga penelitian

ini dapat memberikan manfaat bagi banyak orang dan kiranya Tuhan senantiasa

memberkati kita semua.

Yogyakarta, 18 Januari 2016

Penulis,

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I:

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

(16)

BAB II: LANDASAN TEORI ... 16

A.

Teori Kelekatan

...

16

1.

Pengertian Kelekatan

...

16

2.

Proses terbentuknya Kelekatan ... 19

3.

Perkembangan Kelekatan pada Masa Dewasa ... 22

4.

Jenis-jenis Kelekatan pada Masa Dewasa ... 26

B.

Kesejahteraan Psikologis ... 31

1.

Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 31

2.

Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 35

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan

Psikologis ... 41

C.

Ibu Bekerja ... 46

1. Pengertian Ibu Bekerja ... 46

2. Alasan Ibu Bekerja ... 48

D.

Dinamika Hubungan antara Kesejahteraan Psikologis dengan Pola

Kelekatan pada Ibu Bekerja ... 50

E.

Skema ... 58

F.

Hipotesis ... 59

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 60

A.

Jenis Penelitian ... 60

B.

Variabel Penelitian ... 60

(17)

D.

Metode Sampling ... 63

E.

Subjek Penelitian ... 63

F.

Metode Pengumpulan Data ... 64

G.

Instrumen Penelitian ... 65

H.

Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian ... 68

I.

Pengujian Instrumen Penelitian ... 73

1.

Validitas ... 73

2.

Analisis dan Seleksi Aitem ... 73

3.

Reliabilitas ... 74

J.

Metode Analisis Data ... 75

1.

Uji Normalitas ... 75

2.

Uji Linearitas ... 76

3.

Uji Hipotesis ... 76

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 77

A.

Pelaksanaan Penelitian ... 77

B.

Deskripsi Subjek Penelitian ... 77

C.

Deskripsi Hasil Penelitian ... 80

D.

Analisis Data Penelitian ... 82

1.

Uji Normalitas ... 82

2.

Uji Linearitas ... 84

3.

Uji Hipotesis ... 85

(18)

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A.

Kesimpulan ... 91

B.

Saran ... 92

1.

Bagi Ibu Bekerja ... 92

2.

Bagi Peneliti Selanjutnya ... 92

3.

Bagi Pembaca ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Pola Kelekatan pada Masa Dewasa... 27

Tabel 3.1

Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis ... 67

Tabel 3.2. Blue Print Skala Pola Kelekatan

...

68

Tabel 3.3

Skala Kesejahteraan Psikologis ... 69

Tabel 3.4

Distribusi Skala Kesejahteraan Psikologis Setelah Uji Coba ... 70

Tabel 3.5 Skala Pola Kelekatan ... 71

Tabel 3.6 Distribusi Skala Pola Kelekatan Setelah Uji Coba ... 72

Tabel 4.1.

Deskripsi Subjek berdasarkan Usia ... 78

Tabel 4.2.

Deskripsi Subjek berdasarkan Jumlah Anak ... 78

Tabel 4.3.

Deskripsi Subjek berdasarkan Lama Bekerja dalam Tahun ... 79

Tabel 4.4.

Deskripsi Subjek berdasarkan Jumlah Jam Bekerja ... 80

Tabel 4.5

Deskripsi Data Penelitian ... 81

Tabel 4.6

Uji Normalitas ... 83

Tabel 4.7

Uji Linearitas ... 84

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hierarki Struktur Model Kerja ... 21

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Uji coba ... 100

Lampiran 2. Reliabilitas

...

134

Lampiran 3. Skala Penelitian ... 150

Lampiran 5. Uji Normalitas ... 175

Lampiran 6. Uji Linearitas ... 176

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

(23)

mendorong kaum wanita yang telah berkeluarga untuk bekerja, diantaranya untuk menambah penghasilan keluarga, agar tidak tergantung pada suami, mengisi waktu luang, menghindari kebosanan, mengembangkan diri, memperoleh status dan memperoleh kepuasan.

(24)

tangga, peran ibu sebagai pekerja sudah menjadi fenomena yang semakin berkembang.

Wanita bekerja yang telah menikah mempunyai peran dalam keluarga sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sebagai wanita yang telah berkeluarga, mereka dituntut untuk dapat memainkan dua peran yang berbeda, di rumah mereka dituntut selalu siap memberikan bantuan pada keluarganya, sedangkan di tempat kerja mereka diharapkan untuk tahu bagaimana menjadi diri sendiri (Rowartt & Rowartt, 1990). Ini merupakan tugas utama dari seorang wanita bekerja yang berperan sebagai ibu.

(25)

Ketika ibu memutuskan untuk bekerja di luar rumah, maka ia rela kehilangan sebagian waktu bersama anaknya. Ibu yang bekerja tidak memiliki banyak waktu dengan anak dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja (Ninik, 2007). Para ibu yang bekerja dapat merasa kehilangan atau melewatkan peristiwa penting ketika tidak bersama dengan anak selama ia bekerja. Hal ini membuat para ibu akan memanfaatkan waktu dengan kegiatan yang berkualitas untuk menggantikan waktu yang telah hilang bersama anaknya. Ibu dapat memanfaatkan keadaan ini untuk mengajarkan kepada anak dalam menghargai waktu sehingga anak akan belajar dalam menggunakan waktunya sebaik mungkin (Itabiliana, 2012). Misalnya, ibu dapat membuat jadwal aktivitas di rumah dan bukan mengambil dari waktu yang tersisa. Hal ini dapat membuat anak memahami seberapa penting waktu terutama ketika bersama ibu mereka.

(26)

terlibat dalam urusan keluarga karena adanya harapan tradisional yang mengatakan bahwa pekerjaan merupakan hal yang utama untuk pria (Namora dan Emy, 2007). Pada kenyataannya, banyak wanita yang tidak cukup mampu mengatasi hambatan tersebut sehingga wanita dituntut memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan peran ganda tersebut (Anoraga, 1992). Ketika ibu bekerja tidak mampu untuk menyeimbangkan kedua peran ganda tersebut, maka akan mengganggu proses pencapaian kesejahteraan psikologis (psychological well-being).

(27)

hangat dengan orang lain, mampu mengontrol kehidupan dan lingkungannya serta mampu tumbuh dan berkembang.

Levy-Shiff (dalam Papalia, 2009) mengungkapkan bahwa ibu bekerja yang mampu mengatur diri sendiri dan mampu mengatasi berbagai macam tuntutan hidup berhasil mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Menurut Ryff (1989) individu dapat mencapai psychological well-being jika telah memenuhi beberapa kriteria yaitu seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri apa adanya (self-acceptance), mampu mengembangkan potensi dirinya (personal growth), memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan hidup (purpose in life), membentuk hubungan positif atau hangat dengan orang lain (positive relationship with others), mengontrol atau mengatur kehidupannya dan lingkungannya (environmental mastery), dan memiliki kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy). Keenam kriteria ini berkorelasi tinggi pada fungsi yang positif seperti kepuasaan hidup dan berkorelasi rendah pada fungsi yang negatif seperti depresi (Ryff & Singer, 1996).

(28)

yang hangat dengan orang lain maka individu tersebut akan mencapai kesejahteraan psikologis.

Hasil penelitian (Shek, 1997; Ferriere & Sastre, 2000; Abma, Linssen, & Van Wel, 2000 dalam Rastogi & Rathi, 2007) menunjukkan bahwa kualitas hubungan dalam keluarga, terutama dengan orangtua merupakan faktor utama psychological well-being. Pencapaian psychological well-being khususnya pada orang dewasa lebih dianggap sebagai hasil kontribusi dari konteks kehidupan sosial. Perjalanan kehidupan individu termasuk ibu memang tidak bisa dipisahkan dari kehadiran orangtua. Armsden dan Greenberg (1987) menemukan bahwa kualitas attachment dengan orangtua merupakan prediktor yang penting dalam well-being individu.

Bowbly seorang ahli perkembangan anak (Damayanti, 2003), menyatakan bahwa pondasi awal yang dapat membentuk kepribadian seorang anak adalah hubungan kelekatan yang kuat antara seorang ibu dengan anak. Teori kelekatan (attachment) pertama kali dikembangkan oleh Bowlby (1982), seorang ahli psikoanalisa dari Inggris yang berusaha memahami tekanan yang dialami oleh bayi yang dipisahkan dari orang tua mereka.

(29)

yang merupakan suatu respon yang menunjukkan perpisahan bayi dengan figur kelekatan utama. Yang dimaksud figur kelekatan utama adalah seseorang yang memberi dukungan, kasih sayang dan perlindungan.

Kelekatan-kelekatan yang diterima oleh seseorang (anak) dapat memberikan dampak bagi kehidupan selanjutnya. Weiss (dikutip oleh Feeney, 1999)menjelaskan bahwa kelekatan (attachment) antara bayi dengan pengasuhnya akan memberikan dampakpada hubungan individu dengan individu lainnya pada masa dewasa. Selain itu, berdasarkan teori Bowlby (Bartholomew, 1990; Bartholomew & Horowitz, 1991) pengalaman kelekatan dengan pengasuhnya untuk menggambarkan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain untuk membangun relasi dengan orang lain di luar anggota keluarga di kehidupan masa depan.

(30)

lingkungan tempat tinggal. Mikrosistem diperluas menjadi mesosistem. Mesosistem merupakan keterkaitan interaksi dua atau lebih mikrosistem. Mesosistem dapat mencakup antara rumah dengan tempat kerja atau rumah dengan teman sebaya. Sebagai contoh, seorang ibu yang dapat menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik namun kesulitan ketika menyelesaikan tugas di tempat kerja (Papalia, Olds, Feldman, 2009).

Griffin dan Bartholomew (1994a, 1994b) memperluas kerja Bowbly pada pola kelekatan pada masa bayi dengan menggambarkan pola kelekatan pada masa dewasa. Kombinasi sikap terhadap diri dan orang lain menghasilkan empat pola kelekatan pada masa dewasa. Pola kelekatan pertama adalah secure dimana individu mencari kedekatan interpersonal dan merasa nyaman dengan orang lain. Pola kelekatan yang kedua adalah fearful-avoidant yang menunjukan bahwa individu meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghindari hubungan yang akrab dengan orang lain serta cenderung memandang orang lain negatif. Pola kelekatan yang ketiga adalah preoccupied yang memandang diri negatif, namun memandang orang lain positif. Individu tersebut mencari kedekatan interpersonal namun individu ini merasa tidak layak untuk orang lain. Pola kelekatan keempat adalah dismissing memandang diri layak namun cenderung memandang orang lain negatif.

(31)

hubungan dibandingkan dengan orang dewasa dengan pola kelekatan tidak aman. Dalam menjalin hubungan, orang dewasa dengan kelekatan yang aman yakin bahwa pasangan mereka akan ada ketika dibutuhkan, terbuka dengan pasangan, dan memiliki ketergantungan dengan orang lain serta meminta orang lain untuk tergantung dengan dirinya. Orang dewasa dengan pola kelekatan aman akan memandang hubungan cinta dengan pasangan merupakan hal yang menyenangkan, saling percaya dan bersahabat. Selain itu, orang dengan gaya ini akan memiliki pandangan yang positif terhadap diri sendiri, pasangan dan hubungan yang mereka jalin.

Orang dewasa dengan pola kelekatan preoccupied cenderung untuk tidak peduli dengan menjalin hubungan dekat dengan orang lain dan tidak bergantung dengan orang lain serta orang lain tidak bergantung pada mereka. Orang dewasa yang memiliki kelekatan cemas cenderung khawatir bahwa orang lain atau pasangannya tidak mencintai mereka sepenuhnya, merasa khawatir orang lain tidak menghargai dirinya, mudah marah, mudah frustasi dan merasa tidak nyaman ketika hubungan interpersonalnya tidak terpenuhi. Orang dewasa dengan pola ini cenderung mencari keintiman dan respon yang lebih dari pasangannya dan kurang positif menilai diri sendiri.

(32)

menjalin hubungan dengan orang lain. Orang dewasa dengan pola kelekatan ini cenderung menghindari kedekatan dengan orang lain, menekan dan menyembunyikan perasaannya.

Orang dewasa yang memiliki pola kelekatan fearful-avoidant mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain namun mereka merasa tidak nyaman untuk dekat dengan orang lain. Mereka juga mempunyai pandangan yang negatif terhadap diri sendiri dan pasangannya. Mereka menganggap mendapat respon yang kurang dan kurang percaya pada pasangan. Oleh kerena itu, orang dengan gaya ini akan menghindari keintiman dan menutupi perasaan mereka.

(33)

Hal ini karena antara hubungan dengan orangtua dan hubungan dengan teman sebaya memberikan pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dalam perkembangan remaja. Dalam hal kemajuan sekolah dan rencana karir, remaja belajar tentang hubungan social di luar keluarga. Mereka berbicara tentang pengalaman dan minat yang bersifat pribadi. Mereka percaya bahwa teman sebaya akan memahami perasaan mereka dengan lebih baik dibandingkan orang dewasa (Santrock, 2007).

Kelekatan tidak sama dengan ketergantungan. Menurut Baron dan Byrne (2005) ketergantungan merupakan suatu asosiasi interpersonal dimana dua orang mempengaruhi kehidupan satu sama lain dan terlibat dalam berbagai aktivitas bersama sedangkan kelekatan merupakan sensasi ketenangan dan keamanan yang dirasakan dari partner untuk jangka waktu panjang. Kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan adalah hal yang lumrah dan manusiawi. Begitu juga untuk ibu bekerja, ketika kelekatan dengan pasangan atau suami terputus atau kurang dalam hal kualitas, maka individu tersebut akan mencari figur yang attachmentnya lebih kuat pada dirinya (Ardiani, 2003). Attachment menjadi penting diteliti untuk ibu bekerja untuk melihat bagaimana pola kelekatan yang dimilikinya dan dampaknya terhadap anak dan pasangan.

(34)

dijalankan bersama-sama. Dilihat dari sudut kepribadian, ibu rumah tangga yang bekerja sebagian besar berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Tahap perkembangan psikososial Erikson masa dewasa awal dituntut untuk saling berkomitmen. Tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim dengan orang lain (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berkaitan dengan hubungan yang intim menuntut keterampilan tertentu, seperti kepekaan, empati, kemampuan mengomunikasikan emosi, menyelesaikan konflik, dan mempertahankan komitmen. Penelitian menjadi penting dilakukan karena peneliti ingin melihat pola kelekatan yang dimiliki ibu bekerja dan kelekatan ibu bekerja dengan pasangan dan teman sebaya. Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan dalam diri peneliti “Apakah ada hubungan antara kesejahteraan psikologis seorang ibu bekerja dilihat dari pola kelekatan yang dimilikinya?” Penelitian ini akan lebih melihat pada kesejahteraan psikologis wanita yang mempunyai peran ganda yaitu dengan pola kelekatan yang diterima dari orangtuanya.

B. Rumusan Masalah

(35)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis ibu bekerja dengan pola kelekatan yang dimilikinya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dan memperkaya hasil penelitian dalam bidang psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi keluarga terutama berkaitan dengan pola kelekatan dan kesejahteraan psikologis ibu bekerja.

2. Manfaat Praktis : a. Pada ibu bekerja

(36)

b. Pada suami yang memiliki pasangan yang bekerja

Penelitian ini diharapkan dapat memahami mengenai pola kelekatan yang dimiliki oleh pasangannya dan dapat memberikan informasi bagi suami mengenai tingkat kesejahteraan psikologis pasangannya. c. Pada pembaca

(37)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori kelekatan (attachment)

Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sepenuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan diri pada orang lain, terutama ibunya. Oleh karena itu, ibu mempunyai peranan yang penting terhadap perkembangan kepribadian anak (Sarwono, 2009). Interaksi antara ibu dan anak dapat membentuk perkembangan kelekatan yang berperan besar dalam perkembangan segala kemampuan anak, seperti perkembangan kognitif, emosi, sosial, moral, dan sebagainya (Cook, 1972).

1. Pengertian Kelekatan

Kelekatan (attachment) adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dengan ibu (Santrock, 2002). Relasi dengan figur sosial yang melibatkan fenomena tertentu akan mewakili karakteristik relasi sehingga membentuk kelekatan. Dalam hal ini periode masa perkembangan saat masa bayi, figur-figur sosial adalah bayi dengan pengasuh dan fenomenanya ialah ikatan yang terjadi diantara mereka.

(38)

suka menyendiri dan kurang konsisten terhadap bayi akan menghasilkan kualitas hubungan yang kurang baik. Hal ini karena antara bayi dan pengasuh sama-sama memberikan kontribusi terhadap kualitas hubungan tersebut.

Menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne (2005), kelekatan adalah tingkat keamanan individu yang dialami dalam hubungan interpersonal. Pada awal masa bayi, individu membangun pola-pola yang berbeda, namun perbedaan kelekatan yang dimiliki oleh individu akan tampak mempengaruhi perilaku interpersonal sepanjang hidup. Kelekatan yang terbentuk pada masa kecil akan mempengaruhi perilaku individu di masa depan. Saat awal masa bayi tingkat keamanan individu akan terbentuk dari hubungan interpersonal yang terjadi antara bayi dengan pengasuh.

Cinta kelekatan orang dewasa adalah suatu ikatan afeksional kuat dengan orang tertentu yang mengalami kesedihan ketika tanpa sengaja terpisah dari orang tersebut dan berusaha untuk dekat dengannya ketika kita merasa terancam (Mercer dan Clayton, 2012). Individu dewasa akan merasakan kesedihan jika terpisah dari orang tertentu atau orang terdekat yang dalam hal ini adalah pasangannya.

(39)

keinginan hidup bersama dengan figur lekatnya. Figur lekat adalah pasangannya.

Bartholomew dan Horowitz (1991) menjelaskan bahwa kelekatan pada masa dewasa adalah pandangan kelekatan (ikatan afeksi) diri individu dewasa terhadap orang lain yang dihasilkan dari model mental diri sendiri dan model mental orang lain, baik secara positif maupun negatif. Model mental diri yang dimaksud adalah keyakinan bahwa diri dicintai (lovability) dan layak mendapatkan perhatian (worthiness of care) dari orang lain sedangkan model mental orang lain dipahami sebagai harapan bahwa orang lain hadir secara emosional dan responsif.

Menurut teori-teori Bowlby (1969) dan Ainsworth (1978) kelekatan menunjukkan bahwa cara individu membentuk ikatan dengan pengasuh utama mempengaruhi skema individu tersebut untuk membentuk dan mengembangkan hubungan di masa dewasa (Mercer dan Clayton, 2012). Kelekatan yang terbentuk dapat mempengaruhi kualitas hubungan di masa dewasa.

(40)

dewasa akan mengalami kesedihan ketika terpisah dari figur lekatnya. Dalam hal ini, figur kelekatannya adalah pasangannya. Jadi yang dimaksud dengan kelekatan dalam penelitian ini adalah ikatan yang terbentuk dari masa bayi yang menjadi dasar dalam memberikan pengaruh pada kehidupan interpersonal individu di masa dewasa yang dimana individu tersebut mempunyai pandangan mengenai model diri sendiri dan model orang lain.

2. Proses terbentuknya Kelekatan

Psikoanalisa dari Inggris John Bowlby (1969, 1989) menekankan pentingnya kelekatan pada tahun awal kehidupan bayi dengan respon dari pengasuh bayi tersebut. Bowlby yakin bahwa bayi dan ibunya membentuk suatu kelekatan secara naluriah. Ia juga mengemukakan bahwa secara biologis bayi yang baru lahir diberi kemampuan untuk memperoleh perilaku kelekatan dari ibu. Bayi menangis, menempel, merengek, dan tersenyum. Kemudian bayi akan merangkak perlahan-lahan dan berjalan mengikuti ibu. Hal tersebut dilakukan bayi untuk mempertahankan agar ibu selalu dekat (Santrock, 2002). Penyatuan kembali bayi dengan ibu akan membentuk kelekatan yang kuat.

(41)

berusia 18 bulan. Pada bulan-bulan awal, bayi akan mengembangkan perasaan percaya terhadap individu-individu dan objek-objek dalam dunia mereka. Rasa percaya pada masa bayi akan membentuk harapan seumur hidup bahwa dunia merupakan tempat yang baik dan menyenangkan untuk dihuni (Santrock, 2002). Kelekatan yang aman akan merefleksikan rasa kepercayaan dan kelekatan yang tidak aman akan merefleksikan rasa ketidakpercayaan. Bayi yang mempunyai kelekatan aman telah belajar untuk percaya tidak hanya dengan para pengasuhnya tetapi juga kepada kemampuannya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan (Papalia, 2010). Jika rasa ketidakpercayaan (mistrust) lebih mendominasi maka anak akan memandang dunia sebagai tempat yang tidak bisa diprediksi dan akan memiliki masalah dalam pembentukan hubungan (Papalia dan Feldman, 2014).

Cindy Hazan (dalam Myers, 2012)menjelaskan bahwa pengalaman kelekatan di awal kehidupan membentuk dasar model kerja internal atau karakteristik cara berpikir mengenai suatu hubungan. Oleh karena itu, ibu yang memberikan respon akan memberikan rasa dasar kepercayaan bahwa dunia dapat dipercaya maka bayi akan mempunyai kelekatan dengan rasa aman.

(42)

1990). Collins dan Read (1994) menunjukkan bahwa model kerja harus berkaitan dengan empat komponen, yaitu:

a. Kelekatan berkaitan dengan kenangan dan pengalaman individu (terutama pada figur utama).

b. Kelekatan berkaitan dengan keyakinan, sikap dan harapan pada diri sendiri dan orang lain.

c. Tujuan dan kebutuhan hidup berkaitan dengan kelekatan.

[image:42.612.104.545.163.667.2]

d. Strategi dan rencana merupakan pencapaian tujuan yang berkaitan dengan kelekatan.

Gambar 1. Hierarki Struktur Model Kerja General Model of Self and Others in Relation

to Attachment

General Model of Self and

Others in

Model of Peer Relationships

Mother Father

(43)

Gambar diatas menunjukkan bahwa model umum mengenai diri sendiri dan orang lain yang berkaitan dengan kelekatan. Pada masa anak-anak, model atau pola kelekatan terjadi antara hubungan orangtua dan anak dimana ayah dan ibu merupakan figur kelekatan utama. Semakin bertambahnya usia individu kehadiran teman sebaya merupakan hal yang penting selain kehadiran orangtua dalam kehidupan individu. Model kelekatan pada masa remaja terjadi pada teman sebaya yang membentuk suatu hubungan yang dinamakan persahabatan. Individu dewasa akan menjalin hubungan dengan teman sebaya dan akan membentuk suatu ikatan yang kuat. Ikatan tersebut akan semakin kuat dan akan berkembang menjadi hubungan romantik dengan lawan jenis.

Berdasarkan data diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kelekatan terbentuk pada awal tahun kelahiran bayi. Bayi akan protes dan marah ketika ibu mereka berada jauh. Ini merupakan bentuk kekhawatiran perpisahan dan tekanan emosional yang terlihat pada bayi ketika mereka berpisah dengan ibu yang dianggap sebagai figur kelekatan (attachment). Respon baik yang diberikan ibu dapat membentuk kelekatan yang aman bagi sang bayi.

3. Perkembangan Kelekatan pada Masa Dewasa

[image:43.612.101.513.231.567.2]
(44)

individu mampu membentuk skema dasar mengenai diri sendiri dan orang lain yang membimbing perilaku interpersonal sepanjang hidup individu tersebut. Pada awal masa bayi akan mempengaruhi interaksi individu dengan anggota keluarga, teman sebaya, sahabat, pasangan romantis, pasangan hidup dan orang asing (Hazan dan Shaver, dalam Myers 2012). Banyak studi yang menggunakan kuesioner dan wawancara menemukan keterkaitan pola kelekatan di masa bayi akan mempengaruhi kualitas hubungan di masa dewasa (Mercer dan Clayton, 2012). Bayi dengan pengasuh yang memberikan respon akan kebutuhan bayi akan memiliki pola kelekatan aman (secure attachment) sehingga bayi cenderung akan memiliki tingkat kepercayaan tinggi, tidak memiliki kekhawatiran akan ditinggalkan oleh orang lain dan memiliki harga diri yang tinggi.Pada masa dewasa, individu yang memiliki pola kelekatan ini cenderung mudah untuk dekat dengan orang lain, mempunyai kemampuan untuk mempercayai orang lain serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan hubungan yang matang. Dengan hal-hal tersebut individu mampu memiliki hubungan yang bertahan lama dengan pasangannya. Selain itu, mereka cenderung tidak merasa khawatir bila harus bergantung dengan orang lain sehingga menghasilkan kepuasaan dan penyesuaian diri lebih besar.

(45)

lebih tinggi daripada rata-rata individu yang lain. Individu dengan pola kelekatan anxious-ambivalent attachment juga dinamakan dengan pola kelekatan preoccupied. Pada masa dewasa, individu ini cenderung memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain namun memiliki kekhawatiran jika orang lain tidak membalas upaya-upaya intimasi atau tidak memiliki kedekatan seperti yang mereka inginkan. Maka dari itu, individu ini cenderung mudah menjalin hubungan dengan orang lain namun mereka cenderung kesulitan mempertahankan hubungan dekat sehingga mereka cenderung memiliki hubungan jangka pendek dan memiliki hubungan yang kurang memuaskan. Selain itu, individu ini memiliki kekhawatiran apabila orang lain tidak menghargai dirinya seperti ia menghargai orang lain.

Pengasuh yang menyendiri, menjauh dan menolak upaya-upaya untuk intimasi maka bayi akan menekan kebutuhan untuk kelekatan atau ikatan. Hal ini akan berdampak pada masa dewasa. Maka dari itu, individu ini akan memiliki karakteristik menghindar sehingga memiliki pandangan negatif mengenai orang lain. Individu ini terlihat dalam pola kelekatan dismissing dan fearful.

(46)

lain sehingga kemungkinan kecil untuk menjalin suatu hubungan, memiliki komitmen yang rendah dan kesulitan untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain. Individu ini juga cenderung menekan dan menyembunyikan perasaan mereka.

Individu dengan pola kelekatan fearful memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain tetapi merasa tidak nyaman untuk dekat dengan orang lain. Individu ini mempunyai pandangan negatif mengenai diri sendiri dan orang lain sehingga merasa mendapat respon yang kurang dari pasangan dan cenderung memiliki rasa ketidakpercayaan dengan pasangan. Oleh karena itu, individu dengan pola kelekatan ini akan menghindari keintiman dan menutupi perasaan terhadap orang lain.

Individu yang memiliki pola kelekatan dismissing dan fearful memiliki karakteristik menghindar dari orang lain. Individu tersebut akan menggambarkan hubungan dengan pasangan bahwa pasangannya penuh kecemburuan dan cenderung kurang rasa ketidakpercayaan dengan pasangannya sehingga hubungan mereka kurang bertahan lama. Selain itu, individu ini memandang diri sendiri sebagai orang yang tidak disukai oleh orang lain dan mandiri.

(47)

membentuk perilaku yang mempengaruhi dalam hubungan interpersonalnya dan kontrol emosi dimasa dewasa.

4. Jenis-jenis Kelekatan pada Masa Dewasa

Berdasarkan konseptualisasinya mengenai interaksi ibu dan anak serta skema yang dipelajari, Bowlby (1982) mengemukakan bahwa bayi membentuk satu dari tiga pola kelekatan yaitu pola kelekatan aman (secure attachment), kelekatan tidak aman-menghindar (insecure-avoidant), dan pola kelekatan tidak aman-ragu-ragu (insecure-ambivalent). Ainsworth (1978) mengobservasi pola-pola yang sama dari masa bayi pada interaksi antara ibu dan anak.

Interaksi antara model diri sendiri dan model orang lain akan menghasilkan pola kelekatan. Bartholomew & Horowitz (1991) mengungkapkan bahwa pada masa dewasa individu memiliki empat pola kelekatan (attachment), yaitu secure, preoccupied, dismissing dan fearful. Pola kelekatan secure (aman) mengarah pada secure attachment (kelekatan aman) sedangkan pola kelekatan preoccupied, dismissing dan fearful mengarah pada pola insecure attachment (kelekatan tidak aman).

(48)

MODEL OF

OTHER

(Avoidance)

Positive (Low)

Negative(High)

MODEL OF SELF (Dependence)

[image:48.612.101.514.151.551.2]

Positive (Low) Negative (High) Area I Secure Comfortable with intimacy and autonomy Area II Preoccupied Preoccupied with relationship Overly dependent Area III Dismissive Dismissing of attachment Counter-dependent Area IV Fearful Fearful of attachment Socially avoidant

Tabel 2.1. Pola kelekatan pada masa dewasa

Bartholomew dan Horowitz (1991) menegaskan bahwa pola kelekatan pada masa dewasa dipengaruhi oleh gambaran individu mengenai diri sendiri dan orang lain. Penjelasan ciri khas setiap area dari empat pola kelekatan tersebut adalah sebagai berikut:

(49)

Individu ini tidak mudah bergantung dengan orang lain (low dependence) dan tidak ingin menghindar (low avoidance) dari orang lain serta memiliki keseimbangan antara keintiman dan kemandirian. Maka dari itu, individu dengan pola kelekatan secure cenderung memiliki hubungan yang akrab dengan orang lain. Mereka memiliki sikap memandang diri layak sehingga merasa nyaman untuk terlibat dalam hubungan akrab dengan orang lain, memiliki kemampuan untuk mandiri dan mampu untuk membangun rasa kepercayaan terhadap orang lain. Mereka juga terbuka dengan orang lain dan merasa nyaman pada saat dibutuhkan oleh orang lain. Individu ini cenderung memiliki strategi penyelesaian masalah yang efektif dan dapat menyelesaikan konflik secara konstruktif atau membangun. Hal ini dikarenakan individu tidak hanya memiliki pandangan terhadap diri sendiri tetapi juga memiliki pandangan terhadap orang lain secara positif.

(50)

cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah. Hal ini berpengaruh terhadap penyelesaian masalah. Dalam penyelesaian masalah, mereka cenderung bergantung kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki pandangan positif terhadap orang lain namun memiliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri. Dengan pandangan positif terhadap orang lain, mereka cenderung mudah bergaul dengan orang lain dan selalu ingin diperhatikan oleh orang lain. Dalam hubungan romantik dengan pasangan, mereka cenderung mencari keintiman dan menginginkan respon yang lebih dari pasangannya.

(51)

berusaha mencari pertolongan atau dukungan dari orang lain. Hal ini dikarenakan mereka memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri namun memiliki pandangan negatif terhadap orang lain.

(52)

B. Kesejahteraan Psikologis (psychological well-being)

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Menurut Diener dan Jahoda (dalam Ryff, 1989) penelitian mengenai kesejahteraan psikologis (psychological well-being) mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi lebih banyak menaruh perhatian pada rasa ketidakbahagiaan dan gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh manusia dibandingkan dengan menaruh perhatian pada faktor-faktor yang dapat mendukung dan mendorong individu dapat berfungsi secara positif (positive function).

Penelitian tentang kesejahteraan psikologis (psychological well-being) didasari oleh dua pandangan utama. Pandangan pertama adalah hedonicyang memandang bahwa mencapai kebahagiaan merupakan tujuan hidup yang utama. Hedonic dapat dipahami sebagai well-being yang tersusun atas kebahagiaan subjektif dan berfokus pada pengalaman subjektif dari individu yang menyakini bahwa segala sesuatu berupa kebahagiaan. Maka dari itu, hedonic dapat disebut juga dengan subjective well-being. Pandangan hedonic membentuk well-being dengan konsep kepuasaan hidup dan kebahagiaan (Bradburn, 1969).

(53)

dirinya yang sejati (true self). Diri yang sejati ini terjadi ketika individu melakukan aktivitas yang paling sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan secara menyeluruh serta benar-benar terlibat didalamnya (fully engaged) (Ryan & Deci, 2001). Pandangan eudaimonic lebih berfokus pada realisasi diri, ekspresi pribadi dan sejauh mana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan potensi dirinya (Waterman, dalam Ryan & Deci, 2001).

(54)

sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik, mampu membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan memiliki tujuan pribadi serta tujuan dalam pekerjaannya.

Warr (dalam Suryawidjaja, 1998) mengemukakan bahwa psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas-aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Bartram dan Boniwell (2007) mengemukakan bahwa psychological well-being berhubungan dengan kepuasaan pribadi, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasaan dan optimisme. Individu tersebut juga mengetahui kelebihan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimilikinya. Psychological well-being memimpin individu untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilakukannya.

(55)

kemandirian dan memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri dan orang lain (Boeree, 2010). Kesejahteraan psikologis juga berkaitan dengan teori Rogers yang memiliki konsep orang yang berfungsi sepenuhnya. Rogers memandang bahwa kesehatan mental merupakan proses perkembangan hidup yang alamiah. Rogers juga mempunyai teori kecenderungan aktualisasi yang diartikan sebagai motivasi yang ada dalam diri individu yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi-potensi yang ada (Boeree, 2010).

Menurut Ryff (1989) konsep-konsep mengenai positive psychological function dapat diintegrasikan menjadi sebuah model psychological well-being sebagai pencapaian penuh individu melalui enam dimensi yang multidimensional. Masing-masing dari dimensi tersebut menjelaskan tantangan berbeda-beda yang akan dihadapi oleh individu dalam usahanya berfungsi secara penuh dan positif.

(56)

sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya sendiri sehingga individu tersebut dapat merasakan adanya kesejahteraan batin dalam hidupnya.

2. Dimesi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) menjelaskan kesejahteraan psikologis dengan enam dimesi yang dimiliki individu. Keenam dimensi tersebut adalah:

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

Penerimaan diri merupakan sikap yang dapat menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan diri dapat dicapai saat individu mengetahui diri sendiri dengan berusaha memahami tingkah laku diri sendiri, melakukan evaluasi diri, menyadari kesalahan dan keterbatasan diri serta menyadari akan kelebihan dan kelemahan diri sendiri. Individu dapat menerima diri sendiri dengan baik apabila individu tersebut memiliki kesadaran dan penerimaan yang positif terhadap diri sendiri dengan mengakui kelebihan dan kelemahan diri sendiri serta merasa positif pada masa lalu yang individu miliki.

(57)

sendiri dapat dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam penerimaan diri.

Individu dikatakan memiliki taraf kesejahteraan psikologis dalam aspek penerimaan diri apabila individu tersebut:

1. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.

2. Mengakui dan menerima diri sendiri apa adanya (baik positif maupun negatif).

3. Merasa positif terhadap kehidupan masa lalu dan masa sekarang. b. Otonomi diri (autonomy)

Otonomi diri dicirikan dengan individu yang menentukan pilihan sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Dengan kata lain, individu ini memiliki kemampuan untuk mengevaluasi diri tanpa memperhitungkan persetujuan orang lain melainkan mengevaluasi dengan standar personal yang dimiliki. Kemampuan ini ditandai dengan sikap mandiri, dapat membuat keputusan sendiri dan dapat menghadapi tekanan sosial serta mengatur atau mengendalikan diri secara internal.

Sebaliknya, individu yang kurang memiliki otonomi diri akan memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial.

(58)

1. Mampu mengevaluasi standar personal bagi perilakunya. 2. Mampu mengendalikan diri dan bersikap mandiri.

3. Mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu.

c. Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others) Aspek ini menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat dan positif dengan orang lain serta adanya rasa kepercayaan antara individu pada orang lain. Individu yang memiliki hubungan yang positif dengan orang lain mempunyai rasa empati dan afeksi yang kuat pada orang lain, dan mampu memiliki rasa cinta dan persahabatan yang mendalam, membina hubungan yang intim dengan orang lain serta kemampuan untuk mengarahkan atau membimbing orang lain dan juga berkonsentrasi pada kesejahteraan orang lain.

Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam aspek hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, sulit peduli dan terbuka dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal dengan orang lain serta tidak memiliki keinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.

(59)

1. Memiliki hubungan hangat, rasa cinta dan persahabatan yang mendalam.

2. Memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. 3. Mampu membina hubungan yang intim pada orang lain. d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Penguasaan lingkungan merupakan aspek yang menekankan pada kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis dan kepribadiannya. Individu dikatakan mampu menguasai lingkungannya apabila individu tersebutmemiliki kemampuan untuk mengatur dan mengontrol lingkungan yang beragam, berpartisipasi dalam lingkungan diluar dirinya, serta menguasai dan melakukan perubahan secara kreatif melalui aktifitas fisik maupun mental. Dengan kata lain, aspek ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai dengan keadaan dirinya sendiri.

Individu yang kurang baik dalam aspek penguasaan lingkungan akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan keadaan di lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan.

(60)

1. Mampu mengelola dan mengontrol lingkungan.

2. Mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi dirinya dan kepribadiannya.

3. Memiliki kompetensi dalam mengelola lingkungan. 4. Mampu melakukan perubahan secara kreatif. e. Tujuan hidup (purpose in life)

Aspek ini menekankan pada keyakinan perasaan terhadap tujuan dan makna hidup. Kemampuan ini ditunjukkan dengan sikap individu yang memiliki pemahaman menyeluruh mengenai tujuan hidup, mempunyai keyakinan terhadap tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan objektif untuk kehidupan. Selain itu, individu memiliki perubahan tujuan dalam hidup seperti menjadi individu yang lebih produktif dan kreatif dalam mencapai integrasi emosional pada tahapan perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, kemampuan tersebut dapat membantu individu dalam menemukan tujuan dan makna hidup melalui pengalaman individu sendiri.

Individu dapat dikatakan kurang memiliki tujuan hidup apabila ia kehilangan makna hidup, kurang memiliki tujuan hidup, merasa kehilangan arah dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan tujuan hidup dan tidak melihat kejadian masa lalu sebagai makna dalam hidupnya.

(61)

1. Memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidup.

2. Memiliki tujuan dan makna hidup terhadap peristiwa masa lalu dan masa sekarang.

3. Memiliki perubahan tujuan hidup. f. Pengembangan diri (personal growth)

Pengembangan diri (personal growth) merupakan pemahaman keberlanjutan pertumbuhan dan perkembangan individu. Individu yang memiliki pengembangan diri digambarkan sebagai individu yang memiliki keterbukaan terhadap pengalaman baru, melihat kemajuan diri dan memiliki keinginan untuk memperbaiki diri serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan bertumbuh dan berkembang. Dalam hal ini dapat dikatakan selalu berkembang melainkan bukan hal yang menetap setelah berhasil menyelesaikan sebuah permasalahan.

Individu yang memiliki aspek pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya tidak mengalami perkembangan atau stagnan, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik.

Oleh karena itu, taraf kesejahteraan psikologis (psychological well-being) individu dapat terlihat dari sejauh mana seseorang:

(62)

3. Menyadari potensi, kemajuan diri dan memperbaiki diri. 4. Memiliki perasaan akan perkembangan yang berkelanjutan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif kesejahteraan psikologis (psychological well-being), kesejahteraan psikologis merupakan proses dimensi yang multidimensional dalam memenuhi potensi individu. Proses tersebut dilakukan untuk menuju proses realisasi diri, yang memperlihatkan keberfungsian penuh individu, kebermaknaan hidup dan aktualisasi diri. Proses dimensi yang multidimensional meliputi penerimaan diri yang positif, melatih kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, menguasai lingkungan, pencapaian tujuan dalam hidup serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri (Ryff dan Keyes, 1995).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

(psychological well-being)

Menurut Ryff (1989) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) individu. Faktor-faktor tersebut, antara lain:

a. Usia

(63)

(1995) mengungkapkan bahwa bertambahnya usia seseorang akan meningkatkan aspek otonomi diri dan penguasaan lingkungan, terutama pada masa dewasa madya. Oleh karena itu, dengan bertambahnya usia seseorang maka ia akan semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan sikap yang dapat memilih dan mengatur lingkungan sekitarnya sesuai dengan kondisi psikis dan kepribadiannya.

Seseorang yang berada pada masa dewasa awal memiliki aspek otonomi dan penguasaan lingkungan yang rendah, akan tetapi mengalami peningkatan dalam aspek pengembangan diri. Namun sebaliknya, seseorang yang berada pada tahap perkembangan masa dewasa akhir akan mengalami penurunan dalam aspek tujuan hidup dan pengembangan diri. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam aspek penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain.

b. Status Sosial Ekonomi

(64)

dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

c. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Ryff dan Keyes (1995) mengungkapkan bahwa wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada aspek hubungan yang positif dengan orang lain dan aspek pengembangan diri dibandingkan dengan pria. Pada aspek otonomi terlihat perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Pria mempunyai otonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita pada usia 35 tahun sampai 54 tahun, namun pada usia 55 tahun sampai dengan 74 tahun wanita memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Sementara aspek psychological well-being yang lain yaitu penerimaan diri dan penguasaan lingkungan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Ryff & Singer, 1996).

d. Budaya

(65)

yang menganut sistem nilai individualisme memiliki skor yang tinggi pada aspek pengembangan diri, otonomi diri, penerimaan diri dan aspek tujuan hidup.

Faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu adanya sikap konsistensi dalam diri individu. Konsistensi merupakan pendekatan kognitif dalam pengambilan suatu keputusan dalam hal komitmen. Individu yang dapat menunjukkan bahwa diri mereka cukup konsisten terhadap situasi dan kondisi lingkungan dengan perbedaan peraturan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang cenderung kurang konsisten atau memiliki konsep diri yang belum jelas (Cross, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being), yaitu:

a. Kepribadian

(66)

b. Pekerjaan

Pekerjaan yang bersifat rentan terhadap korupsi, iklim organisasi yang tidak mendukung dan pekerjaan yang tidak disenangi akan menyebabkan terbentuknya psychological well-being yang rendah. Sebaliknya, apabila iklim organisasi mendukung, menyukai pekerjaan yang dilakukan maka akan terbentuk psychological well-being yang tinggi.

c. Kesehatan dan fungsi fisik

Individu yang memiliki kesehatan dan fungsi fisik yang baik akan memiliki psychological well-being yang tinggi, namun sebaliknya individu yang mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik yang tidak optimal dapat menyebabkan psychological well-being yang rendah pada individu tersebut.

(67)

1974, dalam Sarafino, 1990). Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber, diantara lain pasangan, keluarga, teman sebaya, rekan kerja, dokter maupun organisasi sosial.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa kesejahteraan psikologis (psychological well-being) individu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain usia, status sosial ekonomi, jenis kelamin, latar belakang budaya, sikap konsiten pada diri individu, kepribadian, pekerjaan, kesehatan dan fungsi fisik individu serta dukungan sosial.

C. Ibu bekerja

1. Pengertian Ibu Bekerja

Wanita karir adalah seorang wanita yang melaksanakan suatu tugas pada waktu dan tempat tertentu menjadi pekerja atau karyawan (Nancy Van Vuren dalam Aliyah, 1997). Seseorang wanita yang melakukan suatu pekerjaan pada waktu dan berada ditempat tertentu maka disebut sebagai karyawan.

(68)

jumlah jam kerja yang pasti. Sedangkan kebanyakan perempuan yang bekerja di Indonesia belum mempunyai penghasilan yang tetap dan jumlah jam kerja yang tidak terbatas (Mastauli, 2007).

Menurut Dwijanti (1999), seorang wanita dikatakan bekerja apabila ia mendapat gaji dari seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu sehingga waktunya terbatas untuk bertemu anak-anaknya. Ibu bekerja cenderung kesulitan untuk bertemu dengan anak-anaknya karena tidak banyak waktu di rumah.

Kartono (1985) mengungkapkan bahwa ibu rumah tangga yang bekerja adalah wanita yang tidak hanya mengurus rumah tangga namun juga memiliki tanggung jawab diluar rumah, baik kantor, yayasan maupun usaha wiraswasta. Ibu rumah tangga yang bekerja mempunyai tanggung jawab didalam rumah (mengurus rumah tangga) dan diluar rumah (tugas atau pekerjaan kantor). Ibu rumah tangga yang bekerja adalah wanita yang melakukan suatu kegiatan untuk mencari nafkah (mata pencaharian), memperoleh perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan dan jabatan (Nanda, 2010). Ibu rumah tangga yang bekerja merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan memperoleh perkembangan dari pekerjaan dan jabatan.

(69)

kantor, lembaga, yayasan, usaha wiraswasta atau sudah terikat dengan pihak lain baik dalam hal penghasilan atau gaji maupun lama waktu bekerja.

2. Alasan Ibu Bekerja

Williams (1976) mengelompokkan berbagai alasan ibu bekerja ke dalam dua segi, diantaranya:

a. Segi sosial

Dilihat dari segi sosial, terdapat beberapa alasan ibu bekerja diantaranya karena adanya suatu keinginan untuk mengembangkan diri, mencapai identitas, bersosialisasi dan keinginan untuk mempertahankan standar hidup. Selain itu, juga karena ada keinginan untuk mengembangkan wawasan dan untuk menerima informasi-informasi baru yang sedang berkembang maupun yang akan datang.

b. Segi ekonomi

Alasan ibu bekerja karena kebutuhan sehari-hari yang banyak dan tekanan ekonomi. Ibu bekerja karena keadaan atau situasi yang menuntut untuk membantu keuangan keluarga.

Rini (dalam jurnal psikologi, 2003) juga mengemukakan mengenai beberapa alasan seorang ibu bekerja, yaitu:

a. Finansial

(70)

mendesak dan besar membuat suami dan istri harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Misalnya, penghasilan suami kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-sehari sehingga ibu harus bekerja karena tidak mempunyai pilihan lain.

b. Sosial-relasional

Beberapa ibu yang memilih tetap bekerja karena mempunyai kebutuhan sosial-relasional yang tinggi dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Ibu-ibu ini menyimpan kebutuhan akan penerimaan sosial dan akan adanya identitas sosial yang dapat diperoleh melalui komunitas kerja. Maka dari itu, menjalin relasi dengan rekan-rekan kerja merupakan hal yang menyenangkan dibandingkan tinggal di rumah.

c. Aktualisasi diri

(71)

Abraham Maslow (Feist dan Feist, 2008) mengembangkan teori hierarki kebutuhan. Ia mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Bagian dari proses pemenuhan dan pencapaian diri dengan cara berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, mengembangkan diri dan orang lain serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi.

Berdasarkan data yang diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ibu yang bekerja mempunyai peran ganda. Ibu yang bekerja dituntut bijaksana dalam membagi waktunya untuk pekerjaan di kantor dan mengurus rumah tangga. Alasan ibu bekerja untuk menambah penghasilan atau gaji suami atau memenuhi keperluan kebutuhan rumah tangga, sosial-relasional dan aktualisasi diri. Meskipun demikian, ibu yang bekerja tetap bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga.

D. Dinamika Hubungan Kesejahteraan Psikologis (psychological well-being)

dan Pola Kelekatan (Attachment) pada Ibu Bekerja

(72)

berbagi peran pada saat yang bersamaan: istri, ibu dan karyawan. Perpaduan antarperan tersebut sebagai bentuk peran ganda. Hal ini dikarenakan kedua peran tersebut saling mempengaruhi dalam keluarga dan pekerjaan (Frone, 2003). Banyak persoalan yang dialami oleh ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, seperti mengatur waktu dengan suami dan anak hingga mengurus keperluan atau kebutuhan rumah tangga dengan baik. Beberapa ibu rumah tangga yang bekerja dapat menikmati peran gandanya, namun terdapat pula ibu rumah tangga yang bekerja merasa kesulitan sehingga menimbulkan persoalan-persoalan yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari (Ananda, 2013).

Berdasarkan data yang diperoleh Imelda (2013) yang meneliti subjective well-being ibu dari status bekerja, mengungkapkan bahwa terdapat beberapa ibu bekerja yang merasa puas dalam menjalankan dua peran ganda, namun ada juga ibu yang merasa tidak puas dalam menjalankan dua peran tersebut. Dalam penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa status pekerjaan individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu.

(73)

ibu rumah tangga tidak berhasil. Hal ini dikarenakan banyak hal yang harus dikerjakan ibu sementara ia merasa lelah. Dalam hal ini, dukungan keluarga dan suami sangat diperlukan untuk membantu ibu dalam menjalani peran gandanya (Ratnawati, 2008).

Ketika dewasa, figur lekat seseorang bukan lagi orang tua melainkan pasangan, biasanya suami. Pola kelekatan (attachment) pada bayi ditentukan olehhubungan interpersonalpertama dengan orang tua (Baron dan Byrne, 2004). Pernyataan tersebut diperkuat bahwa hubungan diantara anggota keluarga mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola sikap dan perilaku individu kelak dalam membina atau menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan lingkungan awal untuk seorang anak melakukan interaksi (Hurlock, 1997). Pada awal kehidupan, pengalaman kelekatan membentuk dasar model kerja internal

Gambar

Gambar 1.  Hierarki Struktur Model Kerja .........................................................
Gambar 1. Hierarki Struktur Model Kerja
Gambar diatas menunjukkan bahwa model umum mengenai diri
Tabel 2.1. Pola kelekatan pada masa dewasa
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Disertasi Pengaruh faktor sosial ekonomi dan budaya ..... ADLN -

17 Hal ini menunjukkan bahwa dalam memecahkan masalah matematika pada soal cerita tidak dapat terlepas dengan

Sadang Sari no.25, telah dilakukan Rekonsiliasi terhadap pelaksanaan pekerjaan PROYEK MODERNISASI AKSES FTTH (TITO) MIGRASI STO TURANGGA, antara PT.TELKOM AKSES dengan

Pasal 18 ayat (5) UU ITE menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau

(2) Konsep Rancangan Standar Kompetensi yang dihasilkan oleh Panitia Teknik Perumusan Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sebelum dibahas dalam

Prestasi adalah hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan atau.. yang telah dikerjakan, atau hasil pelajaran yang diperoleh dari

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: makna masalah, klasifikasi masalah, pembelajaran pemecahan masalah matematika, metode dan teknik