• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Suparto Brata’s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra Dan Nilai Pendidikan) KrisnaS441008011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Novel Suparto Brata’s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra Dan Nilai Pendidikan) KrisnaS441008011"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

NOVEL SUPARTO BRATA’S OMNIBUS KARYA SUPARTO BRATA

(PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan

Bahasa dan Sastra Jawa

Oleh:

Krisna Pebryawan

S441008011

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

v

SARIPATHI

Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Pembimbing II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Tesis Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Panaliten punika kanthi irah-irahan “Novel Suparto Brata‟s Omnibus” reriptanipun Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” ancasipun kagem nggambaraken kaliyan ngandharaken struktur, aspek sosia l budaya, lan nilai-nilai pendidikan ingkang nyakup nilai pendidikan agama, karakter,lan sosial budaya wonten ing novel punika.

Wujudipun panaliten inggih punika panaliten deskriptif kualitatif. Sumber data panaliten punika kapilah dados kalih, inggih punika dokumen lan informan.

Dokumen inggih punika Suparto Brata‟s Omnibus. Dene informan inggih punika pangripta Suparto Brata‟s Omnibus. Adhedhasar sumber data panaliten, pramila

data panalitenipun inggih punika teks Suparto Brata‟s Omnibus ingkang ngemu tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, aspek sosial buda ya, lan nilai-nilai pendidikan.

Pendekatan ingkang dipunginakaken inggih punika pendekatan struktural

lan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dipunginakaken amargi novel mujudaken karya sastra ingkang salebetipun ngemu unsur-unsur pambangun kados dene tema, alur, penokohan, setting, lan sudut pandang.

Pendekatan sosiologi sa stra dipunginakaken kagem mbikak wontenipun aspek sosial budaya wonten ing novel Suparto Brata‟s Omnibus. Salajengipun analisis nilai-nilai pendidikan wonten ing novel punika wau.

Teknik pengumpulan data ingkang dipunginakaken wonten ing panaliten inggih punika (1) analisis dokumen utawi metode dokumentasi. (2) wa wanca ra, inggih punika wa wancara terbuka lan pangripta novel Suparto Brata‟s Omnibus.

Asiling panaliten inggih punika: (1) unsur-unsur struktural wonten ing karya sastra ingkang nyakup tema, alur, setting, penokohan, lan sudut pandang

mujudkaken struktur pembangun karya sastra ingkang wigati. Wonten sesambetan ingkang jangkep lan terkait ing lebetipun. (2) aspek sosial buda ya wonten ing Suparto Brata‟s Omnibus ingkang nyakup adat istiadat, pendidikan, pagaweyan, basa, lan agami nggadahi sesambetan ageng kagem para paraganipun kaliyan mujudkaken potret gesang masyarakat wekdal semanten. (3) wonten nilai-nilai pendidikan ing novel punika ingkang nyakup nilai pendidikan agama, karakter, lan sosial budaya ingkang wigati sanget kagem generasi jaman sakniki. Nilai-nilai pendidikan punika wau dipunmangertosi kanthi pacelathon paraganipun lan lingkungan sosial budayanipun.

(6)

commit to user

vi

ABSTRAK

Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Pembimbing II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Tesis Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” bertujuan untuk mendeskripsikan struktur, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai pendidikan yang meliputi nilai pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya dalam novel tersebut.

Bentuk penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini dapat dipilah menjadi dua, yaitu dokumen dan informan. Dokumennya adalah Suparto Brata‟s Omnibus tahun 2007. Informannya adalah pengarang Suparto Brata‟s omnibus. Berdasarkan sumber data penelitian, maka data penelitiannya adalah teks di dalam Suparto Brata‟s omnibus yang mengandung tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai pendidikan.

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural diambil karena novel merupakan bentuk karya sastra yang di dalamnya mengandung unsur-unsur pembangun seperti tema, alur, penokohan, setting, dan sudut pandang. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk mengungkap adanya aspek sosial budaya dalam novel Suparto Brata‟s omnibus. Untuk selanjutnya adalah analisis nilai-nilai pendidikan di dalam novel tersebut.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) analisis dokumen atau metode dokumentasi. (2) wawancara, yaitu wawancara terbuka dengan pengarang novel Suparto Brata‟s Omnibus.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) unsur-unsur struktural dalam karya sastra yang meliputi tema, alur, setting, penokohan, dan sudut pandang merupakan struktur pembangun karya sastra yang penting. Terdapat hubungan yang utuh dan terkait di dalamnya. (2) aspek sosial budaya dalam Suparto Brata‟s Omnibus yang meliputi adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, bahasa dan agama berperan terhadap kehidupan para tokohnya dan merupakan potret kehidupan masyarakat pada waktu itu. (3) terdapat nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut yang meliputi nilai pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya yang penting bagi generasi masa kini. Nilai-nilai pendidikan tersebut diketahui melalui percakapan para tokoh dan lingkungan sosial budaya yang membentuknya.

(7)

commit to user

vii

ABSTRACT

Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus masterpiece of Suparto Brata (Literature review of Sociology and Educational Value).” Supervising Commission I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Supervising II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Education thesis Indonesian, Main Interest in Javanese Language and Literature Education, Post-Graduate, University of Surakarta March Eleven.

The study is titled “Novel Suparto Brata‟s Omnibus masterpiece of Suparto Brata (Literature review of Sociology and Educational Value)”. Which aims to describe the structure, know the socio-cultural aspect, and the values of education, which includes the value of religious education, character, cultural, and social education in the novel.

This research is a form of qualitative descriptive study. The source data of this study can be divided into two, namely documents and informants. Document is Suparto Brata's Omnibus in 2007. Informant is the author Suparto Brata's Omnibus. Based on research data sources, the research data is the text Suparto Brata's Omnibus that containing the theme, plot, characterization, setting, point of view, socio-cultural, and educational values in the novel.

The approach taken is a structural approach and the sociological approach to literature. Structural approach is taken because the novel is a literary form in which the building containing elements such as theme, plot, characterization, setting, and point a view. Sosiological approach to literature is used to reveal the exsistence of socio-cultural aspects of the novel Suparto Brata‟s omnibus. To further the analysis of educational values in the novel.

Data collection techniques are performed in this study were (1) analysis of the document or documentation method. (2) interviews with the author of the novel Suparto Brata‟s Omnibus.

Analysis of the results of this study can be concluded that (1) structural elements in a literary work that includes the theme, plot, setting, characterization, and the structure of the builders point a view of the literature that is important. There is a whole relationship and its associated. (2) socio-cultural aspects in Suparto Brata's Omnibus which include customs, education, employment, language and religion contribute to the lives of the characters and a portrait of community life at that time. (3) there is educational value in Suparto Brata's omnibus which includes the value of religious education, character, social and cultural significance for the present generation. Educational values are known through the conversations of the characters and cultures that shape the social environment.

(8)

commit to user

viii

MOTTO

1. Karena Hikmat lebih berharga dari pada permata, apa pun yang diinginkan orang tidak dapat menyamainya (Amsal 8: 11).

(9)

commit to user

ix

PERSEMBAHAN

1. Untuk Ayah dan Ibu yang selalu percaya bahwa talenta itu ada. 2. Untuk Bapak Suparto Brata dengan tulisannya yang menggoda; “orang

(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Ucapan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia-Nya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Novel Suparto Brata‟s

Omnibus Karya Suparto Brata (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” dengan lancar. Penyusunan tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam

mencapai derajat Magister di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat

Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang

telah turut membantu, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan dalam penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana yang telah memberikan arahan dan persetujuan serta pengesahan penyusunan tesis ini.

3. Dr. Andayani, M. Pd., selaku sekretaris Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan persetujuan serta pengesahan penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

(11)

commit to user

xi

6. Kedua orang tuaku atas motivasinya yang membakar diriku untuk mencintai

ilmu pengetahuan dan mencapai cita-cita setinggi-tingginya.

7. Suparto Brata selaku pengarang SBO atas kesediaannya dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan tesis ini.

8. Saudaraku Djoko Sulaksono M.Pd untuk semua bantuannya baik moral maupun moril sehingga tesis ini dapat selesai.

9. Teman-teman Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana angkatan 2010 yang saling membagi semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan tesis bersama-sama.

10.Kepada staf Perpustakaan Program Pascasarjana dan staf Perpustakaan Pusat atas semua keramahtamahannya dan penyediaan buku-buku referensi dalam menunjang terselesainya tesis ini.

11.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangatnya.

Peneliti menyadari bahwa tidak ada yang sempurna, termasuk di dalam

penyusunan tesis ini. Untuk itu peneliti berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga penyusunan tesis ini dapat bermanfaat. Bermanfaat bagi dunia kesastraan dan pendidikan.

Surakarta, 23 Pebruari 2012

(12)

commit to user

(13)

commit to user

xiii

7.Hakikat Nilai Pendidikan... 35

a. Nilai Pendidikan Agama.………... 36

b. Nilai Pendidikan Karakter... 37

c. Nilai Pendidikan Sosial Budaya... 40

B. Penelitian yang Relevan..………....…... 41

C. Kerangka Berpikir ………..…... 46

BAB III METODE PENELITIAN…………... ... 48

A. Bentuk dan Strategi Penelitian…... 48

B. Sumber Data………...……... 49

C. Teknik Pengumpulan Data……….…... 49

D. Validitas Data... 50

E. Teknik Analisis Data………..…... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 54

(14)

commit to user

xiv

5)Sudut Pandang... 150

2.Aspek Sosial dan Budaya dalam SBO... 153

a. Novel Astirin Mbalela... 153

b. Novel Clemang-clemong... 158

c. Novel Bekasi Remeng-remeng... 162

3.Nilai-nilai Pendidikan dalam SBO... 167

a. Nilai Pendidikan Agama... 167

b. Nilai Pendidikan Karakter... 169

c. Nilai Pendidikan Sosial Budaya... 180

B. Pembahasan... 183

1.Kajian Struktural... 183

2.Aspek Sosial dan Budaya dalam SBO... 185

3.Nilai-nilai Pendidikan dalam SBO... 186

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN... ... 190

DAFTAR PUSTAKA... 194

(15)

commit to user

xv

DAFTAR SINGKATAN

AM : Astirin Mbalela

BRR : Bekasi Remeng-remeng CC : Clemang-clemong

H : Halaman

K : Kalimat

P : Paragraf

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR BAGAN

Gambar 1 Kerangka Berpikir... 54

Gambar 2 Analisis Interaktif... 59

Gambar 3 Bagan Cerita Astirin Mbalela... 172

Gambar 4 Bagan Cerita Clemang-Clemong... 206

(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra terutama karya sastra Jawa merupakan bagian dari

kesusastraan Nusantara. Pada perkembangannya karya sastra Jawa

mengalami masa-masa pasang surut dalam dunia kesusastraan bersamaan

dengan sastra Indonesia. Semakin banyaknya peminat sekarang ini

menunjukkan bahwa sastra Jawa layak dan bahkan cukup berharga untuk

diteliti.

Karya sastra Jawa, bukan hanya merupakan curahan perasaan dan

hasil imajinasi pengarang saja, namun karya sastra Jawa juga merupakan

refleksi kehidupan yaitu pantulan respon pengarang dalam menanggapi

problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui kreatifitas

penulisnya. Tujuannya adalah untuk menghibur dan mendidik dengan cara

menyajikan keindahan dan memberi makna terhadap kehidupan bagi

masyarakat luas dan tidak hanya terbatas pada masyarakat Jawa.

Karya sastra mempunyai tiga komponen yang saling berhubungan

atau terkait, yaitu pengarang, pembaca atau masyarakat penikmatnya, dan

karya sastra itu sendiri. Pengarang mengungkapkan ide-ide, permasalahan

dan amanat atau pesan-pesan moral yang ingin disampaikan kepada

pembaca atau masyarakatnya melalui karya sastra tersebut. Permasalahan– permasalahan atau konflik yang ada dalam karya sastra sering mengangkat

(18)

commit to user

masyarakat. Permasalahan tersebut disajikan melalui jalan cerita dan

tokoh-tokohnya dengan daya kreativitas dan imajinasi pengarang,

meskipun tokoh dalam suatu cerita merupakan rekaan, namun bukan

semata-mata rekaan, melainkan lebih sebagai replika dari sebuah

kehidupan yang nyata. Di dalam sebuah karya sastra akan dapat tercermin

pula ajaran-ajaran moral melalui amanat, gagasan pengarang maupun latar

belakang sosial yang mendasari penciptaan karya tersebut.

Penelitian ini memfokuskan pada tinjauan sosiologi sastra dengan

landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret

fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret,

terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan

didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali

menjadi wacana baru dengan proses kreatif.

Novel Suparto Brata‟s Omnibus selanjutnya akan disingkat

menjadi SBO. Penelitian terhadap SBO mengkaji tentang aspek sosial

budaya, kemudian juga tentang nilai-nilai pendidikan dengan tinjauan

sosiologi sastra. Omnibus diartikan sebagai montor tumpakan sing nduweni dheretan kursi akeh kanggo ngemot penumpange. Omnibus uga ateges kumpulan karangan sing ditulis dening sa wenehe pengarang la n ngrembug, prekara karangane kuwi (Suparto Brata, 2007: 8). Dari pengertian di atas jelas bahwa omnibus berarti sebuah kumpulan karangan

yang ditulis oleh seorang pengarang dan berisi esai singkat tentang

karangan tersebut. SBO tersebut terdiri atas 3 novel karya Suparto Brata

(19)

Remeng-commit to user

remeng. Dalam ketiga novel tersebut pembaca dapat melihat gambaran mengenai problem-problem kehidupan yang banyak terjadi di masyarakat

kita. Tentang masalah kehidupan juga tentang perempuan Jawa, geliatnya,

pemberontakannya baik terselubung maupun terang-terangan terhadap

tradisi Jawa yang sampai saat ini masih ditemukan di dalam masyarakat

Jawa. Terkandung pula nilai-nilai pendidikan seperti pendidikan agama,

karakter, dan sosial budaya yang sangat diperlukan bagi generasi masa

kini. SBO pada awalnya adalah 3 novel yang terbit di tahun berbeda,

Astirin Mbalela terbit pada tahun 1992, kemudian Clemang-clemong pada tahun 1995, dan Bekasi Remeng-remeng pada tahun 2000.

Alasan lain yang menjadi dasar dipilihnya SBO sebagai objek

penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, Suparto Brata adalah seorang

pengarang yang sangat produktif. Usianya sudah 79 tahun, namun beliau

masih aktif menulis dan banyak menghasilkan karya-karya yang berupa

cerita cekak, cerita rakyat, cerbung, novel sampai roman yang

karya-karyanya sering muncul dalam majalah seperti Panjebar Semangat dan

Jaya Baya. Karya novelnya antara lain adalah Donyane Wong Culika, Dom Sumurup ing Banyu, dan Lara Lapane Kaum Republik, serta antologi cerkak berjudul Trem. Prestasi yang telah diperoleh pengarang antara lain, (a) Juara Harapan I Sayembara Kumpulan Naskah-naskah sandiwara P dan

K Yogyakarta pada tahun 1958 “Cinta dan Penghargaannya”, Juara 1

(20)

commit to user

tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2005. (c) Mendapat hadiah dari

Gubernur Jawa Timur (Sularso) 1993 sebagai seniman pengarang

tradisional. (d) Pada tahun 2007 mendapat hadiah dari Pusat Bahasa

sebagai salah seorang dari tiga sastrawan Indonesia yang ditunjuk sebagai

penerima The SEA Write Award di Bangkok.

Alasan yang kedua yaitu SBO sungguh sangat menarik. Di setiap

novelnya memiliki kekhasan masing-masing. Seperti halnya dalam novel

clemang-clemong, terdapat beberapa kata yang bagi sebagian orang dianggap tabu. Dalam novel Astirin Mbalela kita bisa melihat keberanian Astirin dalam menentang tradisi kawin paksa dan petualangannya saat

pergi ke Surabaya. Selanjutnya Suparto Brata menyajikan adegan

menegangkan dengan gaya khas detektif dalam novel Bekasi Remeng-remeng. Semuanya dikemas dengan tangan dingin Suparto Brata. Pembaca juga disuguhkan dengan alur cerita yang menawan. Tidak mudah ditebak!

Pembaca akan terus dibuat penasaran dan bertanya-tanya tentang peristiwa

selanjutnya. Istilah seperti suspense dan surprise juga dihadirkan dalam cerita Astirin Mbalela. Suspense yang membuat pembaca penasaran dan ingin terus membacanya, sedangkan surprise adalah hal yang memberi kejutan bagi pembaca dalam cerita tersebut.

Penelitian ini mengambil judul Novel Suparto Brata‟s Omnibus

karya Suparto Brata (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai-nilai

Pendidikan). Penelitian ini dimulai dengan sebuah kajian struktural yang

(21)

commit to user

dilanjutkan dengan kajian sosiologi sastra, dan nilai-nilai pendidikan yang

meliputi nilai pendidikan agama, karakter dan sosial budaya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah unsur-unsur struktural yang meliputi tema, alur,

penokohan, latar, dan sudut pandang yang terdapat dalam SBO?

2. Bagaimanakah aspek sosial dan budaya yang terdapat dalam SBO?

3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan dalam SBO?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur struktural yang

meliputi tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang yang terdapat

dalam SBO.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial dan budaya yang

terdapat dalam SBO.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam SBO.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian terhadap SBO ini diharapkan dapat memberikan manfaat

baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian yang

diharapkan adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Hasil penelitian terhadap SBO ini diharapkan secara teoretis dapat

(22)

commit to user

terutama dalam struktur dan perspektif sosiologi sastra serta

pengungkapan nilai-nilai pendidikan melalui SBO tersebut.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian terhadap SBO ini diharapkan secara praktis dapat:

(1) Dimanfaatkan oleh para pendidik dalam pengajaran nilai-nilai

pendidikan bagi peserta didik. (2) Memberi kemudahan para pendidik dan

penikmat karya sastra dalam mengapresiasi SBO. (3) memberi kemudahan

(23)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,

KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Hakikat Karya Sastra

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang

berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās

-yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa

digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan

yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Lionel Trilling (dalam Graham A.,

Chris W., dan Susan W., 1995: vi) mengartikan sastra sebagai berikut:

“lirerature is the human activity that takes the fullest and most precise

account of variousness, possibility, complexity, and difficulty.” Yang artinya sastra merupakan aktivitas total manusia dan sangat tepat yang memuat

keragaman, kemungkinan, kompleksitas, dan kesukaran. Singkatnya Lionel

Trilling mencoba menjelaskan bahwa sastra itu ruwet dan rumit.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Edgar V. Robert (2003: 1) yang

mendefinisikan sastra: “We use the word literature, in a broad sense, to mean

composition that tell stories, dramatize situations, express emotions, and

analyze and advocate ideas”. Bahwa kata sastra mempunyai pengertian yang

luas untuk mengartikan komposisi yang menceritakan kisah, mendramatisir

situasi, mengungkapkan ekspresi, dan menganalisis serta menyokong ide.

(24)

commit to user

sebagai suatu hasil pemikiran atau ide yang berbentuk cerita yang penuh

ekspresi.

Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa

pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang panjang

mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penuh

penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam

tentang kehidupan.

Atar Semi (1989: 39) sastra adalah karya seni, karena itu ia

mempunyai sifat yang sama dengan karya seni lain, seperti seni suara, seni

lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu

manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada

eksistensinya, serta untuk membuka jalan menuju kebenaran. Yang

membedakannya dengan seni yang lain adalah bahwa sastra memiliki aspek

bahasa.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan

hakikat karya sastra adalah seni yang dikemas dalam sentuhan imajinasi yang

berisi tentang nilai-nilai kehidupan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Melalui karya sastra, seorang menyampaikan pandangannya tentang

kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu, mengapresiasi karya sastra

berarti kita berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam

karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa ditemukan dalam karya

(25)

commit to user

2. Novel

Novel berasal dari bahasa Itali novella (dalam bahasa Jerman novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟ (Abram dalam Burhan

Nurgiyantoro, 1995: 9). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia “novelet”, karya prosa fiksi

yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu

pendek. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap

bersinonim dengan fiksi (Burhan Nurgiantoro, 1995: 9).

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 9), mengungkapkan

pandangnya terhadap novel yaitu lebih dititikberatkan pada unsur fisik sebuah

novel, yaitu barang baru yang kecil, yang berisi karangan prosa yang

panjangnya cukup, jadi tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.

Kemudian Burhan Nurgiyantoro (1995: 9) lebih setuju dengan mengganggap

novel bersinonim dengan fiksi. Hal ini cukup beralasan bagaimana

perkembangan cerita yang terjadi dalam suatu novel. Semua hal yang terjadi

di dalam novel tidak sama persis dengan apa yang ada di dalam masyarakat.

Akan tetapi pendapat Burhan Nurgiyantoro itu juga tidak sepenuhnya benar,

karena bagaimanapun juga novel itu merupakan hasil karya pengarang yang

notabene adalah anggota masyarakat dan hasil pemikirannya yang telah

dituangkan ke dalam bentuk novel tersebut merupakan potret kehidupan yang

ada dalam masyarakat itu sendiri. Jadi menurut penulis novel itu tidak

sepenuhnya fiksi, semuanya tergantung kepada pengarang untuk menciptakan

(26)

commit to user

Atar Semi (1993: 32) berpendapat bahwa novel merupakan karya fiksi

yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan

disajikan dengan halus. Novel yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi

kehidupan yang lebih tegas. Sementara itu Dhanu Priyo Prabowo (2007: 187)

mendefinisikan novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur,

latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang

pengarang. Dalam suatu novel terkandung nilai kehidupan yang diolah dengan

teknik narasi/kisahan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Sekarang istilah

roman sama dengan penyebutan istilah novel.

Menurut Riris K. Toha-Sarumpaet (2002:40) sebagai genre karya

sastra, novel bukanlah “sekumpulan rumus” yang berharga bagi

perkembangan intelektualitas. Akan tetapi, ia lebih merupakan karya kreatif

yang menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial, dan psikologis, yang

semuanya itu bisa saja mendorong kemampuan pikiran seseorang untuk

berkontemplasi, merenung, berimajinasi, membawa pikiran ke segala macam

situasi.

Riris K. Toha-Sarumpaet memaknai pengertian novel secara lebih luas,

hingga menggunakan istilah “tidak hanya sekumpulan rumus”. Lebih jauh,

mereka mengemukaan tentang karya kreatif yang memberikan dampak

terhadap pemikiran, moral, sosial dan psikologis para pembacanya sehingga

dapat melambungkan imajinasi pembaca.

Novel mempunyai struktur yang sama dengan cerita pendek ataupun

roman, yaitu memiliki tema, amanat, penokohan, alur dan latar dalam cerita.

(27)

commit to user

yang terjadi dalam masyarakat yang disertai dengan sentuhan imajinasi

pengarang dalam mengembangkan suatu cerita dan melalui karya sastra

pengarang dapat melukiskan dengan jelas peristiwa yang terjadi pada suatu

waktu dan tempat tertentu.

Pendapat lain dikemukakan oleh Taufik Abdulah (1983: 231) yang

mendefinisikan novel sebagai berikut: novel, as work of art, is a wa y to reflect a concern and to comunicate with the society.”. Novel sebagai suatu

karya seni yang baik, merupakan jalan/cara untuk mencerminkan suatu

perhatian dan berkomunikasi dengan berbagai masyarakat luas. Jika Riris K.

Toha-Sarumpaet menggangap novel sebagai suatu karya kreatif, maka taufik

Abdulah lebih suka menyebut novel sebagai hasil seni. Namun di sini penulis

menyadari bahwa keduanya bermaksud menggambarkan pengertian novel

sebagai hasil karya manusia yang kreatif dan memiliki nilai seni.

3. Pendekatan Struktural

Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah

adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan

struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat

yang saling berjalin, dan usaha untuk memahami struktur sebagai suatu

kesatuan yang utuh (tidak terpisah), seseorang harus mengetahui unsur-unsur

pembentuknya yang saling berhubungan satu sama lain. (Rahmat Djoko

Pradopo, 2005: 108).

Teori struktural juga diartikan sebagai suatu disiplin yang memandang

karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang

(28)

commit to user

Dari kedua teori tersebut, dapat dilihat bahwa keduanya merumuskan

pengertian struktur dengan pengertian yang hampir sama. Rahmat Djoko

Pradopo berpendapat struktur adalah sebagai struktur otonom yang utuh dan

usaha untuk memahami struktur sebagai sesuatu yang utuh tersebut, maka

seseorang harus mengetahui unsur-unsur pembentuknya. Bandingkan dengan

pengertian Sangidu. Secara praktis, dapat kita simpulkan bahwa kedua

pendapat tersebut merumuskan pengertian struktural yang sama.

Analisis struktural merupakan tahap awal dalam suatu penelitian

terhadap karya sastra. Tahap ini sulit dihindari, sebab analisis struktural

merupakan pintu gerbang yang paling utama untuk mengetahui unsur-unsur

yang membangunnya. Kita akan mengetahui kedalaman suatu karya sastra

dengan cara kita menguak permukaannya lebih dahulu.

Teeuw (1984: 135) mengemukakan bahwa pada dasarnya analisis

struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti

dan sedetail serta sedalam mungkin keterjalinan semua anasir dan aspek karya

sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Selanjutnya

Teeuw (1984:135-136) mengatakan analisis struktural bukanlah penjumlahan

unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah

sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan

makna atas terkaitan dan keterjalinannya antar unsur.

Dari pendapat Teeuw tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa

untuk dapat memahami dan mengerti sebuah karya sastra, kita harus melewati

(29)

commit to user

terhadap unsur strukutralnya, diharapkan kita dapat dengan mudah memahami

seluruh isi dan maksud dari sebuah karya sastra.

Sementara itu Stanton dalam bukunya yang berjudul: Teori Fiksi

(2007), mengemukakan adanya tiga tataran yang harus dilihat dalam menganalisis struktur sebuah karya sastra (fiksi). Tiga tataran itu adalah;

pertama, tataran fakta-fakta cerita. Yang dimaksud dengan fakta-fakta cerita yaitu meliputi unsur-unsur plot, penokohan dan latar. Unsur-unsur ini terjalin

secara erat dan membentuk struktur faktual. Tataran kedua, yaitu tataran

makna sentralatau yang lebih dikenal dengan istilah tema. Tampilnya makna

sentral atau tema didukung oleh tataran yang pertama, yakni struktur faktual

cerita yang di dalamnya terdapat plot, penokohan dan latar. Tataran ketiga,

yaitu tataran sarana kesastraan. Yang dimaksud dengan sarana kesastraan adalah cara-cara yang digunakan oleh pengarang untuk menyeleksi dan

menyusun detil-detil sebuah cerita sehingga membentuk pola-pola yang

bermakna. Adapun tujuannya agar memungkinkan bagi para pembaca untuk

dapat melihat fakta-fakta (cerita) itu, dan untuk sarana melihat pengalaman

yang diimajinasikan oleh pengarang itu (Stanton, 2007: 22).

Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan

mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek

cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus

dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, atau

bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama. Jika

relevansi hal-hal tersebut dengan alur dapat dikenali, keseluruhan cerita akan

(30)

commit to user

Menurut Stanton (2007: 44), selama menganalisis, kita hendaknya

berpegang teguh pada apa yang telah diniatkan sejak awal (menemukan tema

yang sesuai dengan cerita). Tema tersebut hendaknya memberi makna dan

disugestikan pada dan oleh tiap bagian cerita secara simultan. Lebih

mengerucut lagi, tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut.

1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai

detail menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang terpenting.

Kesalahan terbesar suatu analisis adalah terpaku pada tema yang

mengabaikan/ melupakan/ tidak merangkum beberapa kejadian yang

tampak jelas.

2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detil

cerita yang saling berkontradiksi. Pada intinya, pengarang ingin

menyampaikan sesuatu. Adalah tidak mungkin bagi pengarang untuk

melawan maksudnya sendiri. Seorang pembaca hendaknya bersikap

layaknya seorang ilmuwan. Ia harus selalu siap menerima berbagai bukti

yang saling berkontradiksi. Ia harus selalu siap untuk mengubah

interpretasinya, kapanpun bila diperlukan.

3. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada

bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit).

4. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas

oleh cerita bersangkutan. Contohnya, bila kita yakin bahwa sebuah cerita

bertema keberanian, kita juga harus dapat menemukan ungkapan eksplisit

dalam cerita yang menyebut atau mengacu pada keberanian itu. Kita

(31)

commit to user

menggambarkan perjalanan waktu dari sejak terbitnya matahari hingga

tenggelamnya. Ia langsung mengira bahwa sajak itu menyimbolkan

kehidupan seorang manusia dari lahir sampai mati. Jika benar hal tersebut

yang dimaksudkan pengarang, mengapa ia sama sekali tidak mengaitkan

terbit dan tenggelamnya matahari itu dengan kehidupan manusia, bahkan

lewat sebuah metafora atau secarik judul yang relevan? Oleh karena itu

perlu diingat, proses mencari tema sama saja dengan bertanya pada diri

kita sendiri, “mengapa pengarang menulis cerita ini? Mengapa cerita tersebut dituliskan?” kemampuan menelisik tema ke dalam setiap detail

cerita (bagaimana tema member fokus dan kedalaman makna hidup pada

pengalaman yang diutarakan) adalah keuntungan yang akan kita dapat

nantinya.

Awalnya buku „teori fiksi‟karya Stanton ini berjudul „An introduction to fiction‟ yang diterbitkan pada tahun 1965, untuk kemudian diterjemahkan

oleh Sugihastuti ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan untuk memudahkan

peneliti sastra di Indonesia dalam melakukan analisis sebuah karya sastra.

Stanton secara lebih mendalam berani mengelompokkan struktural menjadi

tiga tataran utama sebagai unsur pembentuk struktur karya sastra. selanjutnya

pendapat ini berkembang dan meluas dan banyak digunakan sebagai acuan

bagi para peneliti sastra termasuk juga di Indonesia.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

pendekatan struktural merupakan langkah awal untuk mendapatkan makna

(32)

commit to user

Dalam penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pengelompokan

unsur-unsur berdasarkan teori dari Stanton yang mengelompokkan unsur

struktural menjadi 3 tataran. Sedangkan untuk teori dari Rahmat Djoko

Pradopo dan Sangidu merupakan teori penunjang dan pendukung dalam usaha

memahami pengertian dan batasan-batasan dalam struktural. Untuk kemudian

akan dijelaskan tentang pengertian tiga tataran tersebut yang meliputi alur,

penokohan, latar, tema, dan sudut pandang yang perlu dianalisis untuk

menelaah struktur sebuah karya sastra. Unsur-unsur struktural dalam karya

sastra yaitu:

a. Tema

Tema adalah merupakan unsur pembangun karya sastra yang

pertama, setelah membaca sebuah karya sastra, seseorang biasanya tidak

hanya bertujuan untuk mencari dan menikmati kehebatan sebuah cerita,

tetapi biasanya akan mencari apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh

pengarang lewat karyanya itu. Makna apa yang terkandung dalam karya

tersebut. Penggalian tema menurut Atar Semi (1993: 68), harus dikaitkan

dengan dasar pemikiran, falsafah yang terkandung di dalamnya, tentang

nilai luhur. Seringkali tema tersembunyi dibalik bungkusan bentuk,

menyebabkan peneliti mesti membacanya secara kritis dan berulang-ulang.

Dengan pengertian tersebut, tema dapat diartikan pula sebagai ide,

gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya

sastra.

Tema menjadi dasar pengembangan cerita dan bersifat menjiwai

(33)

commit to user

mendasari cerita tersebut. Namun keberadaan isi tema sebuah karya sastra

tidak mudah ditunjukkan. Karya sastra tersebut harus dibaca berulang kali

untuk dapat dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data pendukung

lainnya. Usaha untuk mendefinisikan tema tidaklah mudah, khususnya

definisi yang mewakili bagian dari sesuatu yang didefinisikan itu.

Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan

pendeskripsian pernyataan sebuah karya fiksi (Burhan Nurgiyantoro,

1995: 67).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat

disimpulkan di dalam penelitian ini bahwa tema adalah inti pokok dari

suatu cerita di dalam suatu karya sastra, dalam hal ini adalah karya sastra

Jawa. Atar Semi berpendapat bahwa tema adalah merupakan langkah awal

dalam struktural yang harus dipahami betul sebelum menganalisis karya

sastra lebih mendalam.

Atar Semi berpendapat tema berperan vital karena mengandung

falsafah, ide dan pemikiran pengarangnya yang hendak disampaikan

kepada pembaca. Untuk itu diperlukan membaca berulang-ulang untuk

memahami tema dalam sebuah karya sastra. selanjutnya Burhan

Nurgiantoro dalam bukunya “teori pengkajian fiksi‟ menambahkan

tentang peran penting sebuah tema dalam analisis struktur karya sastra,

bahwa tema yang jelas akan sangat membantu dalam usaha penafsiran

dan pendeskripsian sebuah karya sastra. jika dibandingkan tentu saja,

(34)

commit to user

dari segi kejelasan teori Atar Semi lebih mampu mendefinisikan secara

gamblang tentang pengertian tema dan kegunaannya.

b. Plot / Alur

Plot merupakan bagian yang penting dari cerita fiksi. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering menekankan pada alur/plot.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 8) plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara

dua tokoh yang berlawanan. Hal tersebut cukup beralasan sebab kejelasan

alur/plot akan mempermudah pemahaman terhadap cerita yang ditampilkan. Dari pengertian tersebut, Herman J Waluyo berusaha

memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian alur yaitu jalinan

cerita dari awal sampai akhir. Tentu saja jalinan cerita yang dimaksud

memuat semua peristiwa dari awal cerita, berkembangnya, sampai dengan

akhir cerita. Kemudian dalam jalinan cerita tersebut berisi jalinan konflik

antara dua tokoh yang berlawanan. Biasanya dibedakan antara tokoh

protagonis dengan tokoh antagonis.

Pengertian plot menurut Jan van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Westseijn (1986: 149, diterjemahkan oleh Dick Hartoko) ialah

konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang

secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau

dialami oleh para pelaku. Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa pembaca mengambil peran penting dalam penjelasan suatu alur.

(35)

commit to user

berbeda-beda terhadap detil suatu alur, meski secara keseluruhan tetap

sama. Hal ini tentu saja berhubungan dengan persepsi pembaca.

Senada dengan Herman J Waluyo, Plot/alur menurut Stanton (2007: 26) merupakan suatu rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.

cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan

sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya

suatu peristiwa yang lain.

Dalam pengertian yang luas, pendapat Stanton ini melengkapi

pendapat Herman J Waluyo, bahwa alur selain terdiri dari jalinan peristiwa

dari awal sampai akhir dan jalinan konflik antar dua tokoh yang berbeda,

namun juga di dalamnya terdapat suatu hubungan sebab-akibat atau

kausalitas. Yaitu peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkab

peristiwa yang lain.

Plot/alur menurut Panuti Sudjiman (1984) yaitu rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama yang menggerakkan

jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Dalam

pengertian ini, alur merupakan rentetan peristiwa yang memperlihatkan

gerakan peristiwa dari yang satu ke yang lain. Panuti Sudjiman

memberikan detil lagi mengenai pengertian Alur yaitu dengan

menyertakan istilah klimaks dan penyelesaian. Keduanya merupakan

unsur dalam alur yang memberikan roh sehingga suatu cerita itu pantas

untuk dibaca.

Dalam perbincangan alur harus diwaspadai kemungkinan adanya

(36)

commit to user

peristiwa yang terputus-putus yang sukar dijajaki. Tetapi hal itu tidak

berarti alurnya tidak ada (Atar Semi, 1993: 68). Menurut Atar Semi ada

beberapa karya sastra yang memang menampilkan keistimewaan seorang

pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra dan keistimewaan itu

diperlihatkan dalam pengolahan alur yang mendetail dan rumit. Seperti

contohnya adalah alur campuran. Terjadi peristiwa yang maju-mundur

maju-mundur setiap kali dalam suatu adegan atau peristiwa hingga cerita

itu usai. Hal ini merupakan jebakan bagi pembaca, apabila kurang cermat

maka akan kesulitan dalam memahami alurnya.

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa alur merupakan

rangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita, saling berkaitan dan

dialami oleh pelaku atau tokoh. Struktur alur terdiri dari (1) Situation

(pengarang mulai melukiskan suatu keadaan); (2) Generating Circumtance

(peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak); (3) Rising Action (keadaan mulai memuncak); (4) Climax (peristiwa-periwtiwa mencapai puncaknya); (5) Denounement (pemecahan persoalan-persoalan dari semua peristiwa, dalam Sugihastuti, 2002: 37). Sugihastuti mengklasifikasikan alur menjadi

lima tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Dimulai dari awal cerita

tau pelukisan keadaan awal berlanjut hingga mencapai klimaks dan

kemudian denoument atau pemecahan persoalan dari semua peristiwa.

c. Penokohan

Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165) menyatakan,

penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

(37)

commit to user

cerita disebut tokoh cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam Burhan

Nurgiyantoro, 1995: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki

kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan atau

karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang

untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya. Dalam karya prosa, pelukisan

pelaku dengan cara sebagai berikut:

1) Phisical description; pengarang menggambarkan watak pelaku cerita melalui pemerian (deskripsi) bentuk lahir atau temperamen pelaku.

2) Portra yal of thought Stream or of Conscious Thought; pengarang melukiskan jalan pikiran pelaku atau apa yang terlintas di dalam

pikiran pelaku.

3) Reaction to Event; pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu.

4) Direct Author Analysis; pengarang secara langsung menganalisis atau melukiskan watak pelaku.

5) Discussion of environment; pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku, sehingga pembaca dapat menyimpulkan watak pelaku tersebut.

6) Reaction of Other to Character; pengarang melukiskan pandangan-pandangan tokoh atau pelaku lain (tokoh bawahan) dalam suatu cerita

(38)

commit to user

7) Conversation of Other to character; pengarang melukiskan watak pelaku utama melalui perbincangan atau dialog dengan para pelaku

lainnya (Herman J. Waluyo, 2002: 19-20).

Pelukisan watak pelaku menurut Herman J Waluyo yang terdiri

dari tujuh tersebut di atas selain melalui pemerian watak pelaku secara

langsung, juga melalui percakapan, cara pelaku menanggapi suatu

peristiwa dan beberapa teknik lain sesuai dengan yang disebutkan di atas.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penokohan

adalah gambaran tentang sifat atau perwatakan tokoh-tokoh atau para

pelaku dalam sebuah karya sastra.

d. Latar atau Setting

Panuti Sudjiman (1984: 46) mengemukakan latar atau setting

adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya

lakuan dalam karya sastra. Termasuk dalam unsur latar ini adalah hari,

tahun, musim atau periode sejarah. Senada dengan pendapat tersebut,

Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 216) menyatakan bahwa

latar/setting yang disebut landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Dari kedua pendapat tersebut, dapat diidentifikasi bahwa latar

berhubungan dengan waktu, tempat dan keadaan sosial dalam suatu

periode dalam cerita tersebut. Panuti Sudjiman menyatakan latar sebagai

periode sejarah yang berhubungan dengan hari, tahun dan musim yang

(39)

commit to user

latar diidentifikasikan sebagai landas tumpu yang mengacu pada

pengertian tempat, waktu dan keadaan sosial masyarakat. Jadi

kesimpulannya kedua teori tersebut hampir sama dan hanya berbeda pada

penggunaan kata-katanya.

Hal yang sama juga dilkemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro

(1995: 227) menyatakan, unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu

tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama

lain.

(1). Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Penggunaan latar

tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan sifat dan

keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat

memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan tempat lain.

(2). Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar

waktu menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti,

terutama jika dihubungkan dengan peristiwa sejarah. Pengangkatan

unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang

diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal dan dapat menjadi sangat

fungsional sehingga tidak dapat digantikan dengan waktu lain. Latar

(40)

commit to user

(3). Latar sosial

Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku kehidupan sosial-masyarakat di suatu tempat yang diceritakan

dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup

berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial

dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,

pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang

tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau

setting adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana di dalam sebuah karya sastra.

e. Sudut Pandang (Point of View)

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 248) sudut

pandang/point of view merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,

dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi

kepada pembaca.

Berbeda dari pendapat Abrams, Janet Burroway (2003: 49)

merumuskan pengertian Sudut pandang sebagai berikut. “Point of View a s a literary technique is a complex and specific concept, dealing with vantage point and addressing the question..” yang artinya adalah “Sudut

pandang sebagai sebuah teknik penulisan sastra adalah satu konsep yg

kompleks dan spesifik, searah dengan tempat yang menguntungkan dan

(41)

commit to user

Dari kedua pendapat tersebut mengenai pengertian sudut pandang,

penulis menyimpulkan bahwa pendapat keduanya adalah saling

melengkapi. Konsep yang dikemukakan oleh Janet Burroway melengkapi

toeri Abrams mengenai pengertian sudut pandang.

Tzvetan Todorov (1985: 31), mengemukakan bahwa hal yang

dapat menjadi ciri penghubung antara wacana dan fiksi adalah sudut

pandang: peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiktif tidak

dikemukakan kepada kita sebagaimana aslinya, tetapi menurut sudut

pandang tertentu. Tzvetan Todorov menegaskan bahwa sudut pandang

dalam sastra tidak ada hubungannya dengan pandangan riil si pembaca,

yang tetap bisa berlain-lainan dan tergantung dari faktor-faktor di luar

karya, melainkan suatu pandangan yang dikemukakan di dalam karya,

yaitu cara yang khas dalam memandang peristiwa.

Teori yang lebih sederhana dan mudah dipahami yaitu pengertian

sudut pandang menurut Sangidu. Teorinya mengatakan bahwa sudut

pandang (titik pandang, pusat pengisahan) merupakan posisi pencerita

(narator) dalam sebuah cerita. Ada kalanya pencerita bertindak sebagai

orang pertama atau sebagai orang ketiga (Sangidu, 2004: 142). Dari

penjelasan keempat ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa sudut

(42)

commit to user

4. Pendekatan Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah suatu telaah obyektif dan ilmu tentang manusia

dalam masyarakat dan proses sosialnya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 17).

Sosiologi sastra membahas tentang fenomena (gejala-gejala) dalam

masyarakat dan sastra merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Sastra

begitu dekat hubungannya dengan masyarakat, hal ini disebabkan karena: (1).

karya sastra dihasilkan oleh pengarang. (2). pengarang itu sendiri anggota

masyarakat. (3). pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam

masyarakat, dan (4). karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat

(Nyoman Kutha Ratna, 2004: 60).

Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa sosiologi sastra merupakan

suatu telaah yang obyektif dan ilmu yang mempelajari tentang kehidupan

manusia dalam bermasyarakat serta psoses sosial manusia dalam berinteraksi

dengan sesama. Selanjutnya Nyoman Kutha Ratna menambahkan bahwa

sastra merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Hal itu dikarenakan

sastra itu adalah hasil karya pengarang, pengarang sendiri adalah anggota

masyarakat. Dalam proses kreatifnya pengarang memanfaatkan kekayaan

yang ada dalam masyarakat sehingga terciptalah karya sastra tersebut.

Selanjutnya sastra itu kembali dimanfaatkan oleh pembaca yang termasuk

anggota masyarakat.

Menurut Yudiono KS (2003: 3) sosiologi sastra merupakan suatu

pendekatan yang memperhitungkan nilai penting hubungan antara sastra dan

masyarakat. Dari pendapat Yudiyono tersebut sosiologi sastra ditekankan

(43)

commit to user

diantara keduanya. Yudiono menganggap sastra adalah bagian yang tak

terpisahkan. Hal ini memang benar karena bagaimanapun juga sastra itu

berasal dari masyarakat dan digunakan kembali oleh masyarakat.

Senada dengan hal itu, Atar Semi (1993: 73) berpendapat pendekatan

sosiologi sastra bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan

kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang

mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di

dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus

mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali

masyarakat sangat menentukan nilai suatu karya sastra yang hidup disuatu

jaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota dari masyarakat

tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang telah dan sudah diterimanya

dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.

Penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra

memperlihatkan kekuatan yakni: sastra dipandang sebagai sesuatu hasil

budaya yang amat diperlukan masyarakat. Karya sastra dibuat untuk mendidik

masyarakat. Sastra merupakan media komunikasi yang mampu merekam

gejolak hidup masyarakat dan sastra mengabdikan diri untuk kepentingan

masyarakat (Atar Semi, 1993: 76).

Menurut Suwardi Endraswara (2006: 77) sosiologi sastra adalah

cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati

oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.

Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra

(44)

commit to user

karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu

merefleksikan zamannya.

Suatu pendekatan sosiologi sastra mencakup tiga komponen pokok

menurut pendapat Warren dan Wellek dalam Djoko Damono (1979: 3)

ketiganya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Sosiologi pengarang, yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial dan

lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.

b) Sosiologi karya sastra, yang memasalahkan karya sastra itu sendiri dan

yang menjadi pokok masalah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra

dan apa yang menjadi tujuannya.

c) Sosiologi sastra, yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya

sastra.

Hubungan antara ketiga komponen di atas sangat erat karena

pengarang merupakan bagian dari masyarakat. Pengarang dengan masyarakat

selalu berhubungan, karena pengarang juga merupakan anggota masyarakat.

Sehingga wajar saja bila pengarang sebagai pencipta karya sastra

menampilkan bentuk budaya pada jamannya, bahkan ide juga merekam

gejolak sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Bagan tersebut hampir

sama dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dalam Atar Semi (1989: 54)

dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan

masyarakat. Oleh karena itu telaah sosiologis suatu karya sastra akan

mencakup tiga hal:

1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial

(45)

commit to user

dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang

sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh

mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai

sastra berkaitan dengan nilai sosial, seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi

nilai sosial, seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat

penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.

Dari skema atau klasifikasi di atas diperoleh gambaran bahwa

sosiologi sastra, yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan

mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan mempunyai cakupan yang luas,

beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta

pembacanya.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 283-284), masyarakat sebagai

masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam

sebagai berikut:

a. masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya sastra.

b. masyarakat yang terkandung dalam karya sastra.

c. masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca.

Penelitian demikian mendasarkan asumsi bahwa pengarang merupakan

a silent being, mahkluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh

masyarakatnya, sastra berada pada jaringan sistem dan nilai dalam

(46)

commit to user

keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan

sosiologi berusaha mencari pertautan antara sastra dengan kenyataan

masyarakat dalam berbagai dimensi.

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari

kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta

secara mentah. Sastra tidak hanya diartikan sebagai copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyatan tersebut bukan jiplakan

yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Itulah sebabnya cukup

beralasan jika Hall (1979: 32) menyatakan bahwa “the concept of literature a social referent is, however, perfectly viable since it takes into account the writer‟s active concern to understand hid society.” (dalam Suwardi

Endraswara, 2006: 78). Terjemahan dalam bahasa Indonesia berarti “dalam

konsep kesusastraan, pendekatan sosiologi sastra adalah bagaimana seorang

pengarang mampu dengan sempurna memahami gejala yang tersembunyi

dalam masyarakat untuk dituangkan dalam sebuah tulisan.”

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan

sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap karya sastra dengan

pertimbangan pengarang sebagai pencipta karya sastra dan faktor-faktor lain

(47)

commit to user

5. Sosial Budaya dan Sastra

Berbicara mengenai sosial budaya, maka tidak terlepas dari

pengertian kebudayaan. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa

Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal

manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Ada pendirian lain mengenai asal

dari kata “kebudayaan” bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari

majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal (menurut P.J.

Zoetmulder dalam Koentjaraningrat, 1974: 19), sedangkan menurut

Koentjaraningrat, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan

karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan

dari hasil budi dan karyanya itu.

Dari penjelasan para ahli di atas, dapat kita lihat bahwa kesemuanya

mempunyai definisi dan pengertian masing-masing sesuai dengan apa yang

para ahli pahami. Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa dalam kebudayan terdapat unsur manusia beserta cipta,

rasa dan karsanya. Seperti halnya P.J Zoetmulder dan Koentjaraningrat

dengan definisi khas mereka mengenai pengertian kebudayaan.

Selanjutnya dari berbagai pendapat tersebut dapat dirumuskan

pengertian sosial budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

(48)

commit to user

dengan manusia lainnya dalam suatu hubungan sosial yaitu lingkungan yang

membentuknya. Jadi sosial budaya berkaitan sekali dengan eksistensinya

sebagai manusia dalam bermasyarakat dan berbudaya, segala aspek-aspek

kehidupan sosial dan bahkan juga gejala-gejala yang timbul dalam suatu

lingkungan masyarakat.

Sastra merupakan bagian daripada kebudayaan. Bila kita mengkaji

kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak

berubah, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah.

Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu amatlah erat, karena

kebudayaan itu sendiri menurut antropolog, adalah cara suatu kumpulan

manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang

menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih

dikehendaki, dari yang lain. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan

itu sebagai satu keseluruhan, di mana sistem sosial itu sendiri adalah sebagian

dari kebudayaan (Atar Semi, 1989: 54-55). Selanjutnya Atar semi

mengklasifikasikan kebudayaan menjadi tiga unsur, yaitu:

a. Unsur Sistem Sosial

Sistem sosial ini terdiri daripada: sistem kekeluargaan, sistem

politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, dan

sistem undang-undang. Terdapat struktur dalam setiap sistem ini yang

dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup

berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang lain dalam

jalinan hidup bermasyarakat.

(49)

commit to user

Sistem nilai dan ide merupakan sistem yang memberi makna

kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling,

bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga

menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga dari

yang lain; sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan

yang terdapat dalam sebuah masyarakat.

c. Peralatan Budaya

Peralatan budaya yaitu penciptaan material yang berupa perkakas

dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.

Kesusastraan sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan

mencerminkan pula ketiga unsur kebudayaan seperti yang dikemukakan di

atas.

1. Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat,

sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan,

sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.

2. Kesusastraan mencerminkan sistem ide dan sistem nilai, menggambarkan

tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak; bahkan karya sastra itu

sendiri menjadi objek penilaian yang dilakukan anggota masyarakat. Orang

dapat mengatakan novel ini lebih baik dari novel itu dan seterusnya.

3. Bagaimana mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam masyarakat

tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis yang digunakan dalam

mengembangkan sastra.

Pada hakikatnya fungsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam

(50)

commit to user

sebagai eskpresi kebudayaan akan mencerminkan pula adanya

perubahan-perubahan dalam masyarakat, akan mengenal adanya kesinambungan antara

yang satu dengan yang lain, akan mengenal adanya pewarisan antara yang

lama kepada yang baru, baik disadari maupun tidak.

Dari beberapa pendapat dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

sosial masyarakat, budaya dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat

antara satu dengan yang lainnya yang saling memberi pengaruh, saling

membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya.

6. Hakikat Nilai

Atar Semi (1984: 54) Nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan

berguna bagi kemanusiaan. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang

menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang

lain Lebih lanjut atar semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah

bagaimana usaha untuk menetukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta

tentang apa yang dikehendaki dan apa yang di tolak.

Nilai menurut Papper dan Perry (dalam Munandar Soelaeman, 1987:

19) adalah segala sesuatu tentang baik atau buruk. Nilai merupakan segala

sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek, menyangkut segala

sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan dari berbagai

pengalaman dengan seleksi perilaku.

Atar Semi lebih cenderung memandang nilai sebagai sesuatu yang

berharga dan berguna, sedangkan Papper dan Perry memandang nilai sebagai

Gambar

Gambar 1 Kerangka Berpikir....................................................................
Gambar 1 Kerangka berpikir
Gambar 2 Bagan Analisis Interaktif (H.B. Sutopo, 2003: 87)
Gambar 3 Bagan cerita Astirin Mbalela
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil temuan penelitian dapat dideskripsikan meliputi: (1) pandangan dunia Suparto Brata adalah pandangan dunia humanisme sosial terkait dengan persoalan gender, (2) struktur

Merah karya Iwan Simatupang yang diterbitkan oleh PT. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berupa artikel yang relevan. Teknik pengumpulan data menggunakan

[r]

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan

a) Tahap situation (Tasrif juga memakai istilah dalam bahasa Inggris): Tahap penyituasian, tahap terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan

Tulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas

Meskipun sang anak telah memilih jalan yang berbeda dengan orang tuanya, tapi rasa sayang orang tua terhadap anaknya tidak akan pernah hilang begitu saja.. Rasa

Hasil penelitian diketahui bahwa 1 pengarang menampilan pandangan berbeda dari Punakawan sebagai tokoh utama melalui kisah heroik, pemikiran kritis, kebijaksanaan, kesetiaan, dan