commit to user
NOVEL SUPARTO BRATA’S OMNIBUS KARYA SUPARTO BRATA
(PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan
Bahasa dan Sastra Jawa
Oleh:
Krisna Pebryawan
S441008011
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
commit to user
v
SARIPATHI
Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Pembimbing II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Tesis Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Panaliten punika kanthi irah-irahan “Novel Suparto Brata‟s Omnibus” reriptanipun Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” ancasipun kagem nggambaraken kaliyan ngandharaken struktur, aspek sosia l budaya, lan nilai-nilai pendidikan ingkang nyakup nilai pendidikan agama, karakter,lan sosial budaya wonten ing novel punika.
Wujudipun panaliten inggih punika panaliten deskriptif kualitatif. Sumber data panaliten punika kapilah dados kalih, inggih punika dokumen lan informan.
Dokumen inggih punika Suparto Brata‟s Omnibus. Dene informan inggih punika pangripta Suparto Brata‟s Omnibus. Adhedhasar sumber data panaliten, pramila
data panalitenipun inggih punika teks Suparto Brata‟s Omnibus ingkang ngemu tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, aspek sosial buda ya, lan nilai-nilai pendidikan.
Pendekatan ingkang dipunginakaken inggih punika pendekatan struktural
lan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dipunginakaken amargi novel mujudaken karya sastra ingkang salebetipun ngemu unsur-unsur pambangun kados dene tema, alur, penokohan, setting, lan sudut pandang.
Pendekatan sosiologi sa stra dipunginakaken kagem mbikak wontenipun aspek sosial budaya wonten ing novel Suparto Brata‟s Omnibus. Salajengipun analisis nilai-nilai pendidikan wonten ing novel punika wau.
Teknik pengumpulan data ingkang dipunginakaken wonten ing panaliten inggih punika (1) analisis dokumen utawi metode dokumentasi. (2) wa wanca ra, inggih punika wa wancara terbuka lan pangripta novel Suparto Brata‟s Omnibus.
Asiling panaliten inggih punika: (1) unsur-unsur struktural wonten ing karya sastra ingkang nyakup tema, alur, setting, penokohan, lan sudut pandang
mujudkaken struktur pembangun karya sastra ingkang wigati. Wonten sesambetan ingkang jangkep lan terkait ing lebetipun. (2) aspek sosial buda ya wonten ing Suparto Brata‟s Omnibus ingkang nyakup adat istiadat, pendidikan, pagaweyan, basa, lan agami nggadahi sesambetan ageng kagem para paraganipun kaliyan mujudkaken potret gesang masyarakat wekdal semanten. (3) wonten nilai-nilai pendidikan ing novel punika ingkang nyakup nilai pendidikan agama, karakter, lan sosial budaya ingkang wigati sanget kagem generasi jaman sakniki. Nilai-nilai pendidikan punika wau dipunmangertosi kanthi pacelathon paraganipun lan lingkungan sosial budayanipun.
commit to user
vi
ABSTRAK
Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan).” Komisi Pembimbing I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Pembimbing II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Tesis Pendidikan Bahasa Indonesia, Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini berjudul “Novel Suparto Brata‟s Omnibus Karya Suparto Brata (Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” bertujuan untuk mendeskripsikan struktur, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai pendidikan yang meliputi nilai pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya dalam novel tersebut.
Bentuk penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini dapat dipilah menjadi dua, yaitu dokumen dan informan. Dokumennya adalah Suparto Brata‟s Omnibus tahun 2007. Informannya adalah pengarang Suparto Brata‟s omnibus. Berdasarkan sumber data penelitian, maka data penelitiannya adalah teks di dalam Suparto Brata‟s omnibus yang mengandung tema, alur, penokohan, setting, sudut pandang, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai pendidikan.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural diambil karena novel merupakan bentuk karya sastra yang di dalamnya mengandung unsur-unsur pembangun seperti tema, alur, penokohan, setting, dan sudut pandang. Pendekatan sosiologi sastra digunakan untuk mengungkap adanya aspek sosial budaya dalam novel Suparto Brata‟s omnibus. Untuk selanjutnya adalah analisis nilai-nilai pendidikan di dalam novel tersebut.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) analisis dokumen atau metode dokumentasi. (2) wawancara, yaitu wawancara terbuka dengan pengarang novel Suparto Brata‟s Omnibus.
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1) unsur-unsur struktural dalam karya sastra yang meliputi tema, alur, setting, penokohan, dan sudut pandang merupakan struktur pembangun karya sastra yang penting. Terdapat hubungan yang utuh dan terkait di dalamnya. (2) aspek sosial budaya dalam Suparto Brata‟s Omnibus yang meliputi adat istiadat, pendidikan, pekerjaan, bahasa dan agama berperan terhadap kehidupan para tokohnya dan merupakan potret kehidupan masyarakat pada waktu itu. (3) terdapat nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut yang meliputi nilai pendidikan agama, karakter, dan sosial budaya yang penting bagi generasi masa kini. Nilai-nilai pendidikan tersebut diketahui melalui percakapan para tokoh dan lingkungan sosial budaya yang membentuknya.
commit to user
vii
ABSTRACT
Krisna Pebryawan. S 441008011. “Novel Suparto Brata‟s Omnibus masterpiece of Suparto Brata (Literature review of Sociology and Educational Value).” Supervising Commission I: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. Supervising II: Dr. Nugraheni Eko. W., M.Hum. Education thesis Indonesian, Main Interest in Javanese Language and Literature Education, Post-Graduate, University of Surakarta March Eleven.
The study is titled “Novel Suparto Brata‟s Omnibus masterpiece of Suparto Brata (Literature review of Sociology and Educational Value)”. Which aims to describe the structure, know the socio-cultural aspect, and the values of education, which includes the value of religious education, character, cultural, and social education in the novel.
This research is a form of qualitative descriptive study. The source data of this study can be divided into two, namely documents and informants. Document is Suparto Brata's Omnibus in 2007. Informant is the author Suparto Brata's Omnibus. Based on research data sources, the research data is the text Suparto Brata's Omnibus that containing the theme, plot, characterization, setting, point of view, socio-cultural, and educational values in the novel.
The approach taken is a structural approach and the sociological approach to literature. Structural approach is taken because the novel is a literary form in which the building containing elements such as theme, plot, characterization, setting, and point a view. Sosiological approach to literature is used to reveal the exsistence of socio-cultural aspects of the novel Suparto Brata‟s omnibus. To further the analysis of educational values in the novel.
Data collection techniques are performed in this study were (1) analysis of the document or documentation method. (2) interviews with the author of the novel Suparto Brata‟s Omnibus.
Analysis of the results of this study can be concluded that (1) structural elements in a literary work that includes the theme, plot, setting, characterization, and the structure of the builders point a view of the literature that is important. There is a whole relationship and its associated. (2) socio-cultural aspects in Suparto Brata's Omnibus which include customs, education, employment, language and religion contribute to the lives of the characters and a portrait of community life at that time. (3) there is educational value in Suparto Brata's omnibus which includes the value of religious education, character, social and cultural significance for the present generation. Educational values are known through the conversations of the characters and cultures that shape the social environment.
commit to user
viii
MOTTO
1. Karena Hikmat lebih berharga dari pada permata, apa pun yang diinginkan orang tidak dapat menyamainya (Amsal 8: 11).
commit to user
ix
PERSEMBAHAN
1. Untuk Ayah dan Ibu yang selalu percaya bahwa talenta itu ada. 2. Untuk Bapak Suparto Brata dengan tulisannya yang menggoda; “orang
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Novel Suparto Brata‟s
Omnibus Karya Suparto Brata (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)” dengan lancar. Penyusunan tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
mencapai derajat Magister di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat
Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang
telah turut membantu, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan dalam penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi, M. Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana yang telah memberikan arahan dan persetujuan serta pengesahan penyusunan tesis ini.
3. Dr. Andayani, M. Pd., selaku sekretaris Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah memberikan persetujuan serta pengesahan penyusunan tesis ini.
4. Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
commit to user
xi
6. Kedua orang tuaku atas motivasinya yang membakar diriku untuk mencintai
ilmu pengetahuan dan mencapai cita-cita setinggi-tingginya.
7. Suparto Brata selaku pengarang SBO atas kesediaannya dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan tesis ini.
8. Saudaraku Djoko Sulaksono M.Pd untuk semua bantuannya baik moral maupun moril sehingga tesis ini dapat selesai.
9. Teman-teman Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Minat Utama Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Program Pascasarjana angkatan 2010 yang saling membagi semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan tesis bersama-sama.
10.Kepada staf Perpustakaan Program Pascasarjana dan staf Perpustakaan Pusat atas semua keramahtamahannya dan penyediaan buku-buku referensi dalam menunjang terselesainya tesis ini.
11.Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangatnya.
Peneliti menyadari bahwa tidak ada yang sempurna, termasuk di dalam
penyusunan tesis ini. Untuk itu peneliti berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga penyusunan tesis ini dapat bermanfaat. Bermanfaat bagi dunia kesastraan dan pendidikan.
Surakarta, 23 Pebruari 2012
commit to user
commit to user
xiii
7.Hakikat Nilai Pendidikan... 35
a. Nilai Pendidikan Agama.………... 36
b. Nilai Pendidikan Karakter... 37
c. Nilai Pendidikan Sosial Budaya... 40
B. Penelitian yang Relevan..………....…... 41
C. Kerangka Berpikir ………..…... 46
BAB III METODE PENELITIAN…………... ... 48
A. Bentuk dan Strategi Penelitian…... 48
B. Sumber Data………...……... 49
C. Teknik Pengumpulan Data……….…... 49
D. Validitas Data... 50
E. Teknik Analisis Data………..…... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 54
commit to user
xiv
5)Sudut Pandang... 150
2.Aspek Sosial dan Budaya dalam SBO... 153
a. Novel Astirin Mbalela... 153
b. Novel Clemang-clemong... 158
c. Novel Bekasi Remeng-remeng... 162
3.Nilai-nilai Pendidikan dalam SBO... 167
a. Nilai Pendidikan Agama... 167
b. Nilai Pendidikan Karakter... 169
c. Nilai Pendidikan Sosial Budaya... 180
B. Pembahasan... 183
1.Kajian Struktural... 183
2.Aspek Sosial dan Budaya dalam SBO... 185
3.Nilai-nilai Pendidikan dalam SBO... 186
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN... ... 190
DAFTAR PUSTAKA... 194
commit to user
xv
DAFTAR SINGKATAN
AM : Astirin Mbalela
BRR : Bekasi Remeng-remeng CC : Clemang-clemong
H : Halaman
K : Kalimat
P : Paragraf
commit to user
xvi
DAFTAR BAGAN
Gambar 1 Kerangka Berpikir... 54
Gambar 2 Analisis Interaktif... 59
Gambar 3 Bagan Cerita Astirin Mbalela... 172
Gambar 4 Bagan Cerita Clemang-Clemong... 206
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra terutama karya sastra Jawa merupakan bagian dari
kesusastraan Nusantara. Pada perkembangannya karya sastra Jawa
mengalami masa-masa pasang surut dalam dunia kesusastraan bersamaan
dengan sastra Indonesia. Semakin banyaknya peminat sekarang ini
menunjukkan bahwa sastra Jawa layak dan bahkan cukup berharga untuk
diteliti.
Karya sastra Jawa, bukan hanya merupakan curahan perasaan dan
hasil imajinasi pengarang saja, namun karya sastra Jawa juga merupakan
refleksi kehidupan yaitu pantulan respon pengarang dalam menanggapi
problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui kreatifitas
penulisnya. Tujuannya adalah untuk menghibur dan mendidik dengan cara
menyajikan keindahan dan memberi makna terhadap kehidupan bagi
masyarakat luas dan tidak hanya terbatas pada masyarakat Jawa.
Karya sastra mempunyai tiga komponen yang saling berhubungan
atau terkait, yaitu pengarang, pembaca atau masyarakat penikmatnya, dan
karya sastra itu sendiri. Pengarang mengungkapkan ide-ide, permasalahan
dan amanat atau pesan-pesan moral yang ingin disampaikan kepada
pembaca atau masyarakatnya melalui karya sastra tersebut. Permasalahan– permasalahan atau konflik yang ada dalam karya sastra sering mengangkat
commit to user
masyarakat. Permasalahan tersebut disajikan melalui jalan cerita dan
tokoh-tokohnya dengan daya kreativitas dan imajinasi pengarang,
meskipun tokoh dalam suatu cerita merupakan rekaan, namun bukan
semata-mata rekaan, melainkan lebih sebagai replika dari sebuah
kehidupan yang nyata. Di dalam sebuah karya sastra akan dapat tercermin
pula ajaran-ajaran moral melalui amanat, gagasan pengarang maupun latar
belakang sosial yang mendasari penciptaan karya tersebut.
Penelitian ini memfokuskan pada tinjauan sosiologi sastra dengan
landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret
fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret,
terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali
menjadi wacana baru dengan proses kreatif.
Novel Suparto Brata‟s Omnibus selanjutnya akan disingkat
menjadi SBO. Penelitian terhadap SBO mengkaji tentang aspek sosial
budaya, kemudian juga tentang nilai-nilai pendidikan dengan tinjauan
sosiologi sastra. Omnibus diartikan sebagai montor tumpakan sing nduweni dheretan kursi akeh kanggo ngemot penumpange. Omnibus uga ateges kumpulan karangan sing ditulis dening sa wenehe pengarang la n ngrembug, prekara karangane kuwi (Suparto Brata, 2007: 8). Dari pengertian di atas jelas bahwa omnibus berarti sebuah kumpulan karangan
yang ditulis oleh seorang pengarang dan berisi esai singkat tentang
karangan tersebut. SBO tersebut terdiri atas 3 novel karya Suparto Brata
Remeng-commit to user
remeng. Dalam ketiga novel tersebut pembaca dapat melihat gambaran mengenai problem-problem kehidupan yang banyak terjadi di masyarakat
kita. Tentang masalah kehidupan juga tentang perempuan Jawa, geliatnya,
pemberontakannya baik terselubung maupun terang-terangan terhadap
tradisi Jawa yang sampai saat ini masih ditemukan di dalam masyarakat
Jawa. Terkandung pula nilai-nilai pendidikan seperti pendidikan agama,
karakter, dan sosial budaya yang sangat diperlukan bagi generasi masa
kini. SBO pada awalnya adalah 3 novel yang terbit di tahun berbeda,
Astirin Mbalela terbit pada tahun 1992, kemudian Clemang-clemong pada tahun 1995, dan Bekasi Remeng-remeng pada tahun 2000.
Alasan lain yang menjadi dasar dipilihnya SBO sebagai objek
penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, Suparto Brata adalah seorang
pengarang yang sangat produktif. Usianya sudah 79 tahun, namun beliau
masih aktif menulis dan banyak menghasilkan karya-karya yang berupa
cerita cekak, cerita rakyat, cerbung, novel sampai roman yang
karya-karyanya sering muncul dalam majalah seperti Panjebar Semangat dan
Jaya Baya. Karya novelnya antara lain adalah Donyane Wong Culika, Dom Sumurup ing Banyu, dan Lara Lapane Kaum Republik, serta antologi cerkak berjudul Trem. Prestasi yang telah diperoleh pengarang antara lain, (a) Juara Harapan I Sayembara Kumpulan Naskah-naskah sandiwara P dan
K Yogyakarta pada tahun 1958 “Cinta dan Penghargaannya”, Juara 1
commit to user
tahun 2000, tahun 2001, dan tahun 2005. (c) Mendapat hadiah dari
Gubernur Jawa Timur (Sularso) 1993 sebagai seniman pengarang
tradisional. (d) Pada tahun 2007 mendapat hadiah dari Pusat Bahasa
sebagai salah seorang dari tiga sastrawan Indonesia yang ditunjuk sebagai
penerima The SEA Write Award di Bangkok.
Alasan yang kedua yaitu SBO sungguh sangat menarik. Di setiap
novelnya memiliki kekhasan masing-masing. Seperti halnya dalam novel
clemang-clemong, terdapat beberapa kata yang bagi sebagian orang dianggap tabu. Dalam novel Astirin Mbalela kita bisa melihat keberanian Astirin dalam menentang tradisi kawin paksa dan petualangannya saat
pergi ke Surabaya. Selanjutnya Suparto Brata menyajikan adegan
menegangkan dengan gaya khas detektif dalam novel Bekasi Remeng-remeng. Semuanya dikemas dengan tangan dingin Suparto Brata. Pembaca juga disuguhkan dengan alur cerita yang menawan. Tidak mudah ditebak!
Pembaca akan terus dibuat penasaran dan bertanya-tanya tentang peristiwa
selanjutnya. Istilah seperti suspense dan surprise juga dihadirkan dalam cerita Astirin Mbalela. Suspense yang membuat pembaca penasaran dan ingin terus membacanya, sedangkan surprise adalah hal yang memberi kejutan bagi pembaca dalam cerita tersebut.
Penelitian ini mengambil judul Novel Suparto Brata‟s Omnibus
karya Suparto Brata (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai-nilai
Pendidikan). Penelitian ini dimulai dengan sebuah kajian struktural yang
commit to user
dilanjutkan dengan kajian sosiologi sastra, dan nilai-nilai pendidikan yang
meliputi nilai pendidikan agama, karakter dan sosial budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah unsur-unsur struktural yang meliputi tema, alur,
penokohan, latar, dan sudut pandang yang terdapat dalam SBO?
2. Bagaimanakah aspek sosial dan budaya yang terdapat dalam SBO?
3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan dalam SBO?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur struktural yang
meliputi tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang yang terdapat
dalam SBO.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial dan budaya yang
terdapat dalam SBO.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam SBO.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian terhadap SBO ini diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian yang
diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian terhadap SBO ini diharapkan secara teoretis dapat
commit to user
terutama dalam struktur dan perspektif sosiologi sastra serta
pengungkapan nilai-nilai pendidikan melalui SBO tersebut.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian terhadap SBO ini diharapkan secara praktis dapat:
(1) Dimanfaatkan oleh para pendidik dalam pengajaran nilai-nilai
pendidikan bagi peserta didik. (2) Memberi kemudahan para pendidik dan
penikmat karya sastra dalam mengapresiasi SBO. (3) memberi kemudahan
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1. Hakikat Karya Sastra
Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang
berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās
-yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa
digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan
yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Lionel Trilling (dalam Graham A.,
Chris W., dan Susan W., 1995: vi) mengartikan sastra sebagai berikut:
“lirerature is the human activity that takes the fullest and most precise
account of variousness, possibility, complexity, and difficulty.” Yang artinya sastra merupakan aktivitas total manusia dan sangat tepat yang memuat
keragaman, kemungkinan, kompleksitas, dan kesukaran. Singkatnya Lionel
Trilling mencoba menjelaskan bahwa sastra itu ruwet dan rumit.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Edgar V. Robert (2003: 1) yang
mendefinisikan sastra: “We use the word literature, in a broad sense, to mean
composition that tell stories, dramatize situations, express emotions, and
analyze and advocate ideas”. Bahwa kata sastra mempunyai pengertian yang
luas untuk mengartikan komposisi yang menceritakan kisah, mendramatisir
situasi, mengungkapkan ekspresi, dan menganalisis serta menyokong ide.
commit to user
sebagai suatu hasil pemikiran atau ide yang berbentuk cerita yang penuh
ekspresi.
Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa
pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang panjang
mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penuh
penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam
tentang kehidupan.
Atar Semi (1989: 39) sastra adalah karya seni, karena itu ia
mempunyai sifat yang sama dengan karya seni lain, seperti seni suara, seni
lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu
manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada
eksistensinya, serta untuk membuka jalan menuju kebenaran. Yang
membedakannya dengan seni yang lain adalah bahwa sastra memiliki aspek
bahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan
hakikat karya sastra adalah seni yang dikemas dalam sentuhan imajinasi yang
berisi tentang nilai-nilai kehidupan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Melalui karya sastra, seorang menyampaikan pandangannya tentang
kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu, mengapresiasi karya sastra
berarti kita berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam
karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa ditemukan dalam karya
commit to user
2. Novel
Novel berasal dari bahasa Itali novella (dalam bahasa Jerman novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟ (Abram dalam Burhan
Nurgiyantoro, 1995: 9). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia “novelet”, karya prosa fiksi
yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu
pendek. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap
bersinonim dengan fiksi (Burhan Nurgiantoro, 1995: 9).
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 9), mengungkapkan
pandangnya terhadap novel yaitu lebih dititikberatkan pada unsur fisik sebuah
novel, yaitu barang baru yang kecil, yang berisi karangan prosa yang
panjangnya cukup, jadi tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.
Kemudian Burhan Nurgiyantoro (1995: 9) lebih setuju dengan mengganggap
novel bersinonim dengan fiksi. Hal ini cukup beralasan bagaimana
perkembangan cerita yang terjadi dalam suatu novel. Semua hal yang terjadi
di dalam novel tidak sama persis dengan apa yang ada di dalam masyarakat.
Akan tetapi pendapat Burhan Nurgiyantoro itu juga tidak sepenuhnya benar,
karena bagaimanapun juga novel itu merupakan hasil karya pengarang yang
notabene adalah anggota masyarakat dan hasil pemikirannya yang telah
dituangkan ke dalam bentuk novel tersebut merupakan potret kehidupan yang
ada dalam masyarakat itu sendiri. Jadi menurut penulis novel itu tidak
sepenuhnya fiksi, semuanya tergantung kepada pengarang untuk menciptakan
commit to user
Atar Semi (1993: 32) berpendapat bahwa novel merupakan karya fiksi
yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan
disajikan dengan halus. Novel yang diartikan sebagai memberikan konsentrasi
kehidupan yang lebih tegas. Sementara itu Dhanu Priyo Prabowo (2007: 187)
mendefinisikan novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur,
latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang
pengarang. Dalam suatu novel terkandung nilai kehidupan yang diolah dengan
teknik narasi/kisahan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Sekarang istilah
roman sama dengan penyebutan istilah novel.
Menurut Riris K. Toha-Sarumpaet (2002:40) sebagai genre karya
sastra, novel bukanlah “sekumpulan rumus” yang berharga bagi
perkembangan intelektualitas. Akan tetapi, ia lebih merupakan karya kreatif
yang menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial, dan psikologis, yang
semuanya itu bisa saja mendorong kemampuan pikiran seseorang untuk
berkontemplasi, merenung, berimajinasi, membawa pikiran ke segala macam
situasi.
Riris K. Toha-Sarumpaet memaknai pengertian novel secara lebih luas,
hingga menggunakan istilah “tidak hanya sekumpulan rumus”. Lebih jauh,
mereka mengemukaan tentang karya kreatif yang memberikan dampak
terhadap pemikiran, moral, sosial dan psikologis para pembacanya sehingga
dapat melambungkan imajinasi pembaca.
Novel mempunyai struktur yang sama dengan cerita pendek ataupun
roman, yaitu memiliki tema, amanat, penokohan, alur dan latar dalam cerita.
commit to user
yang terjadi dalam masyarakat yang disertai dengan sentuhan imajinasi
pengarang dalam mengembangkan suatu cerita dan melalui karya sastra
pengarang dapat melukiskan dengan jelas peristiwa yang terjadi pada suatu
waktu dan tempat tertentu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Taufik Abdulah (1983: 231) yang
mendefinisikan novel sebagai berikut: “novel, as work of art, is a wa y to reflect a concern and to comunicate with the society.”. Novel sebagai suatu
karya seni yang baik, merupakan jalan/cara untuk mencerminkan suatu
perhatian dan berkomunikasi dengan berbagai masyarakat luas. Jika Riris K.
Toha-Sarumpaet menggangap novel sebagai suatu karya kreatif, maka taufik
Abdulah lebih suka menyebut novel sebagai hasil seni. Namun di sini penulis
menyadari bahwa keduanya bermaksud menggambarkan pengertian novel
sebagai hasil karya manusia yang kreatif dan memiliki nilai seni.
3. Pendekatan Struktural
Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah
adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan
struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat
yang saling berjalin, dan usaha untuk memahami struktur sebagai suatu
kesatuan yang utuh (tidak terpisah), seseorang harus mengetahui unsur-unsur
pembentuknya yang saling berhubungan satu sama lain. (Rahmat Djoko
Pradopo, 2005: 108).
Teori struktural juga diartikan sebagai suatu disiplin yang memandang
karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang
commit to user
Dari kedua teori tersebut, dapat dilihat bahwa keduanya merumuskan
pengertian struktur dengan pengertian yang hampir sama. Rahmat Djoko
Pradopo berpendapat struktur adalah sebagai struktur otonom yang utuh dan
usaha untuk memahami struktur sebagai sesuatu yang utuh tersebut, maka
seseorang harus mengetahui unsur-unsur pembentuknya. Bandingkan dengan
pengertian Sangidu. Secara praktis, dapat kita simpulkan bahwa kedua
pendapat tersebut merumuskan pengertian struktural yang sama.
Analisis struktural merupakan tahap awal dalam suatu penelitian
terhadap karya sastra. Tahap ini sulit dihindari, sebab analisis struktural
merupakan pintu gerbang yang paling utama untuk mengetahui unsur-unsur
yang membangunnya. Kita akan mengetahui kedalaman suatu karya sastra
dengan cara kita menguak permukaannya lebih dahulu.
Teeuw (1984: 135) mengemukakan bahwa pada dasarnya analisis
struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti
dan sedetail serta sedalam mungkin keterjalinan semua anasir dan aspek karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Selanjutnya
Teeuw (1984:135-136) mengatakan analisis struktural bukanlah penjumlahan
unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra, tetapi yang terpenting adalah
sumbangan yang diberikan oleh masing-masing unsur dalam menghasilkan
makna atas terkaitan dan keterjalinannya antar unsur.
Dari pendapat Teeuw tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa
untuk dapat memahami dan mengerti sebuah karya sastra, kita harus melewati
commit to user
terhadap unsur strukutralnya, diharapkan kita dapat dengan mudah memahami
seluruh isi dan maksud dari sebuah karya sastra.
Sementara itu Stanton dalam bukunya yang berjudul: Teori Fiksi
(2007), mengemukakan adanya tiga tataran yang harus dilihat dalam menganalisis struktur sebuah karya sastra (fiksi). Tiga tataran itu adalah;
pertama, tataran fakta-fakta cerita. Yang dimaksud dengan fakta-fakta cerita yaitu meliputi unsur-unsur plot, penokohan dan latar. Unsur-unsur ini terjalin
secara erat dan membentuk struktur faktual. Tataran kedua, yaitu tataran
makna sentralatau yang lebih dikenal dengan istilah tema. Tampilnya makna
sentral atau tema didukung oleh tataran yang pertama, yakni struktur faktual
cerita yang di dalamnya terdapat plot, penokohan dan latar. Tataran ketiga,
yaitu tataran sarana kesastraan. Yang dimaksud dengan sarana kesastraan adalah cara-cara yang digunakan oleh pengarang untuk menyeleksi dan
menyusun detil-detil sebuah cerita sehingga membentuk pola-pola yang
bermakna. Adapun tujuannya agar memungkinkan bagi para pembaca untuk
dapat melihat fakta-fakta (cerita) itu, dan untuk sarana melihat pengalaman
yang diimajinasikan oleh pengarang itu (Stanton, 2007: 22).
Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan
mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek
cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus
dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, atau
bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama. Jika
relevansi hal-hal tersebut dengan alur dapat dikenali, keseluruhan cerita akan
commit to user
Menurut Stanton (2007: 44), selama menganalisis, kita hendaknya
berpegang teguh pada apa yang telah diniatkan sejak awal (menemukan tema
yang sesuai dengan cerita). Tema tersebut hendaknya memberi makna dan
disugestikan pada dan oleh tiap bagian cerita secara simultan. Lebih
mengerucut lagi, tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut.
1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai
detail menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang terpenting.
Kesalahan terbesar suatu analisis adalah terpaku pada tema yang
mengabaikan/ melupakan/ tidak merangkum beberapa kejadian yang
tampak jelas.
2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detil
cerita yang saling berkontradiksi. Pada intinya, pengarang ingin
menyampaikan sesuatu. Adalah tidak mungkin bagi pengarang untuk
melawan maksudnya sendiri. Seorang pembaca hendaknya bersikap
layaknya seorang ilmuwan. Ia harus selalu siap menerima berbagai bukti
yang saling berkontradiksi. Ia harus selalu siap untuk mengubah
interpretasinya, kapanpun bila diperlukan.
3. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada
bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit).
4. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas
oleh cerita bersangkutan. Contohnya, bila kita yakin bahwa sebuah cerita
bertema keberanian, kita juga harus dapat menemukan ungkapan eksplisit
dalam cerita yang menyebut atau mengacu pada keberanian itu. Kita
commit to user
menggambarkan perjalanan waktu dari sejak terbitnya matahari hingga
tenggelamnya. Ia langsung mengira bahwa sajak itu menyimbolkan
kehidupan seorang manusia dari lahir sampai mati. Jika benar hal tersebut
yang dimaksudkan pengarang, mengapa ia sama sekali tidak mengaitkan
terbit dan tenggelamnya matahari itu dengan kehidupan manusia, bahkan
lewat sebuah metafora atau secarik judul yang relevan? Oleh karena itu
perlu diingat, proses mencari tema sama saja dengan bertanya pada diri
kita sendiri, “mengapa pengarang menulis cerita ini? Mengapa cerita tersebut dituliskan?” kemampuan menelisik tema ke dalam setiap detail
cerita (bagaimana tema member fokus dan kedalaman makna hidup pada
pengalaman yang diutarakan) adalah keuntungan yang akan kita dapat
nantinya.
Awalnya buku „teori fiksi‟karya Stanton ini berjudul „An introduction to fiction‟ yang diterbitkan pada tahun 1965, untuk kemudian diterjemahkan
oleh Sugihastuti ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan untuk memudahkan
peneliti sastra di Indonesia dalam melakukan analisis sebuah karya sastra.
Stanton secara lebih mendalam berani mengelompokkan struktural menjadi
tiga tataran utama sebagai unsur pembentuk struktur karya sastra. selanjutnya
pendapat ini berkembang dan meluas dan banyak digunakan sebagai acuan
bagi para peneliti sastra termasuk juga di Indonesia.
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendekatan struktural merupakan langkah awal untuk mendapatkan makna
commit to user
Dalam penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pengelompokan
unsur-unsur berdasarkan teori dari Stanton yang mengelompokkan unsur
struktural menjadi 3 tataran. Sedangkan untuk teori dari Rahmat Djoko
Pradopo dan Sangidu merupakan teori penunjang dan pendukung dalam usaha
memahami pengertian dan batasan-batasan dalam struktural. Untuk kemudian
akan dijelaskan tentang pengertian tiga tataran tersebut yang meliputi alur,
penokohan, latar, tema, dan sudut pandang yang perlu dianalisis untuk
menelaah struktur sebuah karya sastra. Unsur-unsur struktural dalam karya
sastra yaitu:
a. Tema
Tema adalah merupakan unsur pembangun karya sastra yang
pertama, setelah membaca sebuah karya sastra, seseorang biasanya tidak
hanya bertujuan untuk mencari dan menikmati kehebatan sebuah cerita,
tetapi biasanya akan mencari apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh
pengarang lewat karyanya itu. Makna apa yang terkandung dalam karya
tersebut. Penggalian tema menurut Atar Semi (1993: 68), harus dikaitkan
dengan dasar pemikiran, falsafah yang terkandung di dalamnya, tentang
nilai luhur. Seringkali tema tersembunyi dibalik bungkusan bentuk,
menyebabkan peneliti mesti membacanya secara kritis dan berulang-ulang.
Dengan pengertian tersebut, tema dapat diartikan pula sebagai ide,
gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya
sastra.
Tema menjadi dasar pengembangan cerita dan bersifat menjiwai
commit to user
mendasari cerita tersebut. Namun keberadaan isi tema sebuah karya sastra
tidak mudah ditunjukkan. Karya sastra tersebut harus dibaca berulang kali
untuk dapat dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data pendukung
lainnya. Usaha untuk mendefinisikan tema tidaklah mudah, khususnya
definisi yang mewakili bagian dari sesuatu yang didefinisikan itu.
Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan
pendeskripsian pernyataan sebuah karya fiksi (Burhan Nurgiyantoro,
1995: 67).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat
disimpulkan di dalam penelitian ini bahwa tema adalah inti pokok dari
suatu cerita di dalam suatu karya sastra, dalam hal ini adalah karya sastra
Jawa. Atar Semi berpendapat bahwa tema adalah merupakan langkah awal
dalam struktural yang harus dipahami betul sebelum menganalisis karya
sastra lebih mendalam.
Atar Semi berpendapat tema berperan vital karena mengandung
falsafah, ide dan pemikiran pengarangnya yang hendak disampaikan
kepada pembaca. Untuk itu diperlukan membaca berulang-ulang untuk
memahami tema dalam sebuah karya sastra. selanjutnya Burhan
Nurgiantoro dalam bukunya “teori pengkajian fiksi‟ menambahkan
tentang peran penting sebuah tema dalam analisis struktur karya sastra,
bahwa tema yang jelas akan sangat membantu dalam usaha penafsiran
dan pendeskripsian sebuah karya sastra. jika dibandingkan tentu saja,
commit to user
dari segi kejelasan teori Atar Semi lebih mampu mendefinisikan secara
gamblang tentang pengertian tema dan kegunaannya.
b. Plot / Alur
Plot merupakan bagian yang penting dari cerita fiksi. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering menekankan pada alur/plot.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 8) plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara
dua tokoh yang berlawanan. Hal tersebut cukup beralasan sebab kejelasan
alur/plot akan mempermudah pemahaman terhadap cerita yang ditampilkan. Dari pengertian tersebut, Herman J Waluyo berusaha
memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian alur yaitu jalinan
cerita dari awal sampai akhir. Tentu saja jalinan cerita yang dimaksud
memuat semua peristiwa dari awal cerita, berkembangnya, sampai dengan
akhir cerita. Kemudian dalam jalinan cerita tersebut berisi jalinan konflik
antara dua tokoh yang berlawanan. Biasanya dibedakan antara tokoh
protagonis dengan tokoh antagonis.
Pengertian plot menurut Jan van Luxemburg, Mieke Bal dan Willem G. Westseijn (1986: 149, diterjemahkan oleh Dick Hartoko) ialah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang
secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau
dialami oleh para pelaku. Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa pembaca mengambil peran penting dalam penjelasan suatu alur.
commit to user
berbeda-beda terhadap detil suatu alur, meski secara keseluruhan tetap
sama. Hal ini tentu saja berhubungan dengan persepsi pembaca.
Senada dengan Herman J Waluyo, Plot/alur menurut Stanton (2007: 26) merupakan suatu rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
suatu peristiwa yang lain.
Dalam pengertian yang luas, pendapat Stanton ini melengkapi
pendapat Herman J Waluyo, bahwa alur selain terdiri dari jalinan peristiwa
dari awal sampai akhir dan jalinan konflik antar dua tokoh yang berbeda,
namun juga di dalamnya terdapat suatu hubungan sebab-akibat atau
kausalitas. Yaitu peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkab
peristiwa yang lain.
Plot/alur menurut Panuti Sudjiman (1984) yaitu rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama yang menggerakkan
jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian. Dalam
pengertian ini, alur merupakan rentetan peristiwa yang memperlihatkan
gerakan peristiwa dari yang satu ke yang lain. Panuti Sudjiman
memberikan detil lagi mengenai pengertian Alur yaitu dengan
menyertakan istilah klimaks dan penyelesaian. Keduanya merupakan
unsur dalam alur yang memberikan roh sehingga suatu cerita itu pantas
untuk dibaca.
Dalam perbincangan alur harus diwaspadai kemungkinan adanya
commit to user
peristiwa yang terputus-putus yang sukar dijajaki. Tetapi hal itu tidak
berarti alurnya tidak ada (Atar Semi, 1993: 68). Menurut Atar Semi ada
beberapa karya sastra yang memang menampilkan keistimewaan seorang
pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra dan keistimewaan itu
diperlihatkan dalam pengolahan alur yang mendetail dan rumit. Seperti
contohnya adalah alur campuran. Terjadi peristiwa yang maju-mundur
maju-mundur setiap kali dalam suatu adegan atau peristiwa hingga cerita
itu usai. Hal ini merupakan jebakan bagi pembaca, apabila kurang cermat
maka akan kesulitan dalam memahami alurnya.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa alur merupakan
rangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita, saling berkaitan dan
dialami oleh pelaku atau tokoh. Struktur alur terdiri dari (1) Situation
(pengarang mulai melukiskan suatu keadaan); (2) Generating Circumtance
(peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak); (3) Rising Action (keadaan mulai memuncak); (4) Climax (peristiwa-periwtiwa mencapai puncaknya); (5) Denounement (pemecahan persoalan-persoalan dari semua peristiwa, dalam Sugihastuti, 2002: 37). Sugihastuti mengklasifikasikan alur menjadi
lima tahapan seperti yang telah disebutkan di atas. Dimulai dari awal cerita
tau pelukisan keadaan awal berlanjut hingga mencapai klimaks dan
kemudian denoument atau pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
c. Penokohan
Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165) menyatakan,
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
commit to user
cerita disebut tokoh cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 1995: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan atau
karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang
untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya. Dalam karya prosa, pelukisan
pelaku dengan cara sebagai berikut:
1) Phisical description; pengarang menggambarkan watak pelaku cerita melalui pemerian (deskripsi) bentuk lahir atau temperamen pelaku.
2) Portra yal of thought Stream or of Conscious Thought; pengarang melukiskan jalan pikiran pelaku atau apa yang terlintas di dalam
pikiran pelaku.
3) Reaction to Event; pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu.
4) Direct Author Analysis; pengarang secara langsung menganalisis atau melukiskan watak pelaku.
5) Discussion of environment; pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku, sehingga pembaca dapat menyimpulkan watak pelaku tersebut.
6) Reaction of Other to Character; pengarang melukiskan pandangan-pandangan tokoh atau pelaku lain (tokoh bawahan) dalam suatu cerita
commit to user
7) Conversation of Other to character; pengarang melukiskan watak pelaku utama melalui perbincangan atau dialog dengan para pelaku
lainnya (Herman J. Waluyo, 2002: 19-20).
Pelukisan watak pelaku menurut Herman J Waluyo yang terdiri
dari tujuh tersebut di atas selain melalui pemerian watak pelaku secara
langsung, juga melalui percakapan, cara pelaku menanggapi suatu
peristiwa dan beberapa teknik lain sesuai dengan yang disebutkan di atas.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penokohan
adalah gambaran tentang sifat atau perwatakan tokoh-tokoh atau para
pelaku dalam sebuah karya sastra.
d. Latar atau Setting
Panuti Sudjiman (1984: 46) mengemukakan latar atau setting
adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya
lakuan dalam karya sastra. Termasuk dalam unsur latar ini adalah hari,
tahun, musim atau periode sejarah. Senada dengan pendapat tersebut,
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 216) menyatakan bahwa
latar/setting yang disebut landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Dari kedua pendapat tersebut, dapat diidentifikasi bahwa latar
berhubungan dengan waktu, tempat dan keadaan sosial dalam suatu
periode dalam cerita tersebut. Panuti Sudjiman menyatakan latar sebagai
periode sejarah yang berhubungan dengan hari, tahun dan musim yang
commit to user
latar diidentifikasikan sebagai landas tumpu yang mengacu pada
pengertian tempat, waktu dan keadaan sosial masyarakat. Jadi
kesimpulannya kedua teori tersebut hampir sama dan hanya berbeda pada
penggunaan kata-katanya.
Hal yang sama juga dilkemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro
(1995: 227) menyatakan, unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama
lain.
(1). Latar Tempat
Latar tempat menunjuk pada tempat atau lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Penggunaan latar
tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan sifat dan
keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat
memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan tempat lain.
(2). Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar
waktu menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti,
terutama jika dihubungkan dengan peristiwa sejarah. Pengangkatan
unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang
diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal dan dapat menjadi sangat
fungsional sehingga tidak dapat digantikan dengan waktu lain. Latar
commit to user
(3). Latar sosial
Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial-masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial
dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang
tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau
setting adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang dan suasana di dalam sebuah karya sastra.
e. Sudut Pandang (Point of View)
Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 248) sudut
pandang/point of view merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar,
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca.
Berbeda dari pendapat Abrams, Janet Burroway (2003: 49)
merumuskan pengertian Sudut pandang sebagai berikut. “Point of View a s a literary technique is a complex and specific concept, dealing with vantage point and addressing the question..” yang artinya adalah “Sudut
pandang sebagai sebuah teknik penulisan sastra adalah satu konsep yg
kompleks dan spesifik, searah dengan tempat yang menguntungkan dan
commit to user
Dari kedua pendapat tersebut mengenai pengertian sudut pandang,
penulis menyimpulkan bahwa pendapat keduanya adalah saling
melengkapi. Konsep yang dikemukakan oleh Janet Burroway melengkapi
toeri Abrams mengenai pengertian sudut pandang.
Tzvetan Todorov (1985: 31), mengemukakan bahwa hal yang
dapat menjadi ciri penghubung antara wacana dan fiksi adalah sudut
pandang: peristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiktif tidak
dikemukakan kepada kita sebagaimana aslinya, tetapi menurut sudut
pandang tertentu. Tzvetan Todorov menegaskan bahwa sudut pandang
dalam sastra tidak ada hubungannya dengan pandangan riil si pembaca,
yang tetap bisa berlain-lainan dan tergantung dari faktor-faktor di luar
karya, melainkan suatu pandangan yang dikemukakan di dalam karya,
yaitu cara yang khas dalam memandang peristiwa.
Teori yang lebih sederhana dan mudah dipahami yaitu pengertian
sudut pandang menurut Sangidu. Teorinya mengatakan bahwa sudut
pandang (titik pandang, pusat pengisahan) merupakan posisi pencerita
(narator) dalam sebuah cerita. Ada kalanya pencerita bertindak sebagai
orang pertama atau sebagai orang ketiga (Sangidu, 2004: 142). Dari
penjelasan keempat ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa sudut
commit to user
4. Pendekatan Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah suatu telaah obyektif dan ilmu tentang manusia
dalam masyarakat dan proses sosialnya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 17).
Sosiologi sastra membahas tentang fenomena (gejala-gejala) dalam
masyarakat dan sastra merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Sastra
begitu dekat hubungannya dengan masyarakat, hal ini disebabkan karena: (1).
karya sastra dihasilkan oleh pengarang. (2). pengarang itu sendiri anggota
masyarakat. (3). pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam
masyarakat, dan (4). karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat
(Nyoman Kutha Ratna, 2004: 60).
Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa sosiologi sastra merupakan
suatu telaah yang obyektif dan ilmu yang mempelajari tentang kehidupan
manusia dalam bermasyarakat serta psoses sosial manusia dalam berinteraksi
dengan sesama. Selanjutnya Nyoman Kutha Ratna menambahkan bahwa
sastra merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Hal itu dikarenakan
sastra itu adalah hasil karya pengarang, pengarang sendiri adalah anggota
masyarakat. Dalam proses kreatifnya pengarang memanfaatkan kekayaan
yang ada dalam masyarakat sehingga terciptalah karya sastra tersebut.
Selanjutnya sastra itu kembali dimanfaatkan oleh pembaca yang termasuk
anggota masyarakat.
Menurut Yudiono KS (2003: 3) sosiologi sastra merupakan suatu
pendekatan yang memperhitungkan nilai penting hubungan antara sastra dan
masyarakat. Dari pendapat Yudiyono tersebut sosiologi sastra ditekankan
commit to user
diantara keduanya. Yudiono menganggap sastra adalah bagian yang tak
terpisahkan. Hal ini memang benar karena bagaimanapun juga sastra itu
berasal dari masyarakat dan digunakan kembali oleh masyarakat.
Senada dengan hal itu, Atar Semi (1993: 73) berpendapat pendekatan
sosiologi sastra bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang
mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di
dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus
mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali
masyarakat sangat menentukan nilai suatu karya sastra yang hidup disuatu
jaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota dari masyarakat
tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang telah dan sudah diterimanya
dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya.
Penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra
memperlihatkan kekuatan yakni: sastra dipandang sebagai sesuatu hasil
budaya yang amat diperlukan masyarakat. Karya sastra dibuat untuk mendidik
masyarakat. Sastra merupakan media komunikasi yang mampu merekam
gejolak hidup masyarakat dan sastra mengabdikan diri untuk kepentingan
masyarakat (Atar Semi, 1993: 76).
Menurut Suwardi Endraswara (2006: 77) sosiologi sastra adalah
cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati
oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.
Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra
commit to user
karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu
merefleksikan zamannya.
Suatu pendekatan sosiologi sastra mencakup tiga komponen pokok
menurut pendapat Warren dan Wellek dalam Djoko Damono (1979: 3)
ketiganya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Sosiologi pengarang, yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial dan
lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.
b) Sosiologi karya sastra, yang memasalahkan karya sastra itu sendiri dan
yang menjadi pokok masalah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra
dan apa yang menjadi tujuannya.
c) Sosiologi sastra, yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya
sastra.
Hubungan antara ketiga komponen di atas sangat erat karena
pengarang merupakan bagian dari masyarakat. Pengarang dengan masyarakat
selalu berhubungan, karena pengarang juga merupakan anggota masyarakat.
Sehingga wajar saja bila pengarang sebagai pencipta karya sastra
menampilkan bentuk budaya pada jamannya, bahkan ide juga merekam
gejolak sosial yang terjadi di dalam masyarakatnya. Bagan tersebut hampir
sama dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dalam Atar Semi (1989: 54)
dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dan
masyarakat. Oleh karena itu telaah sosiologis suatu karya sastra akan
mencakup tiga hal:
1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial
commit to user
dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang
sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh
mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai
sastra berkaitan dengan nilai sosial, seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi
nilai sosial, seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat
penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
Dari skema atau klasifikasi di atas diperoleh gambaran bahwa
sosiologi sastra, yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan mempunyai cakupan yang luas,
beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta
pembacanya.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2005: 283-284), masyarakat sebagai
masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam
sebagai berikut:
a. masyarakat yang merupakan latar belakang produksi karya sastra.
b. masyarakat yang terkandung dalam karya sastra.
c. masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca.
Penelitian demikian mendasarkan asumsi bahwa pengarang merupakan
a silent being, mahkluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh
masyarakatnya, sastra berada pada jaringan sistem dan nilai dalam
commit to user
keterkaitan timbal balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan
sosiologi berusaha mencari pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensi.
Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari
kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta
secara mentah. Sastra tidak hanya diartikan sebagai copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyatan tersebut bukan jiplakan
yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Itulah sebabnya cukup
beralasan jika Hall (1979: 32) menyatakan bahwa “the concept of literature a social referent is, however, perfectly viable since it takes into account the writer‟s active concern to understand hid society.” (dalam Suwardi
Endraswara, 2006: 78). Terjemahan dalam bahasa Indonesia berarti “dalam
konsep kesusastraan, pendekatan sosiologi sastra adalah bagaimana seorang
pengarang mampu dengan sempurna memahami gejala yang tersembunyi
dalam masyarakat untuk dituangkan dalam sebuah tulisan.”
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap karya sastra dengan
pertimbangan pengarang sebagai pencipta karya sastra dan faktor-faktor lain
commit to user
5. Sosial Budaya dan Sastra
Berbicara mengenai sosial budaya, maka tidak terlepas dari
pengertian kebudayaan. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Ada pendirian lain mengenai asal
dari kata “kebudayaan” bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari
majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal (menurut P.J.
Zoetmulder dalam Koentjaraningrat, 1974: 19), sedangkan menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan gagasan dan
karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan
dari hasil budi dan karyanya itu.
Dari penjelasan para ahli di atas, dapat kita lihat bahwa kesemuanya
mempunyai definisi dan pengertian masing-masing sesuai dengan apa yang
para ahli pahami. Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam kebudayan terdapat unsur manusia beserta cipta,
rasa dan karsanya. Seperti halnya P.J Zoetmulder dan Koentjaraningrat
dengan definisi khas mereka mengenai pengertian kebudayaan.
Selanjutnya dari berbagai pendapat tersebut dapat dirumuskan
pengertian sosial budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
commit to user
dengan manusia lainnya dalam suatu hubungan sosial yaitu lingkungan yang
membentuknya. Jadi sosial budaya berkaitan sekali dengan eksistensinya
sebagai manusia dalam bermasyarakat dan berbudaya, segala aspek-aspek
kehidupan sosial dan bahkan juga gejala-gejala yang timbul dalam suatu
lingkungan masyarakat.
Sastra merupakan bagian daripada kebudayaan. Bila kita mengkaji
kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak
berubah, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah.
Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu amatlah erat, karena
kebudayaan itu sendiri menurut antropolog, adalah cara suatu kumpulan
manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang
menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih
dikehendaki, dari yang lain. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan
itu sebagai satu keseluruhan, di mana sistem sosial itu sendiri adalah sebagian
dari kebudayaan (Atar Semi, 1989: 54-55). Selanjutnya Atar semi
mengklasifikasikan kebudayaan menjadi tiga unsur, yaitu:
a. Unsur Sistem Sosial
Sistem sosial ini terdiri daripada: sistem kekeluargaan, sistem
politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, dan
sistem undang-undang. Terdapat struktur dalam setiap sistem ini yang
dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup
berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang lain dalam
jalinan hidup bermasyarakat.
commit to user
Sistem nilai dan ide merupakan sistem yang memberi makna
kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling,
bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga
menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga dari
yang lain; sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan
yang terdapat dalam sebuah masyarakat.
c. Peralatan Budaya
Peralatan budaya yaitu penciptaan material yang berupa perkakas
dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.
Kesusastraan sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan
mencerminkan pula ketiga unsur kebudayaan seperti yang dikemukakan di
atas.
1. Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat,
sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan,
sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Kesusastraan mencerminkan sistem ide dan sistem nilai, menggambarkan
tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak; bahkan karya sastra itu
sendiri menjadi objek penilaian yang dilakukan anggota masyarakat. Orang
dapat mengatakan novel ini lebih baik dari novel itu dan seterusnya.
3. Bagaimana mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam masyarakat
tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis yang digunakan dalam
mengembangkan sastra.
Pada hakikatnya fungsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam
commit to user
sebagai eskpresi kebudayaan akan mencerminkan pula adanya
perubahan-perubahan dalam masyarakat, akan mengenal adanya kesinambungan antara
yang satu dengan yang lain, akan mengenal adanya pewarisan antara yang
lama kepada yang baru, baik disadari maupun tidak.
Dari beberapa pendapat dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
sosial masyarakat, budaya dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat
antara satu dengan yang lainnya yang saling memberi pengaruh, saling
membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.
6. Hakikat Nilai
Atar Semi (1984: 54) Nilai adalah sifat-sifat, hal-hal yang penting dan
berguna bagi kemanusiaan. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang
menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang
lain Lebih lanjut atar semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah
bagaimana usaha untuk menetukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta
tentang apa yang dikehendaki dan apa yang di tolak.
Nilai menurut Papper dan Perry (dalam Munandar Soelaeman, 1987:
19) adalah segala sesuatu tentang baik atau buruk. Nilai merupakan segala
sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subjek, menyangkut segala
sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan dari berbagai
pengalaman dengan seleksi perilaku.
Atar Semi lebih cenderung memandang nilai sebagai sesuatu yang
berharga dan berguna, sedangkan Papper dan Perry memandang nilai sebagai