DAFTAR ISI
PERNYATAAN ……….. i
ABSTRAK ………. ii
ABSTRACT ……… iii
KATA PENGANTAR ………. iv
PENGHARGAAN DAN UCAPAN TERIMA KASIH ……….. vi
DAFTAR ISI ………. ix
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM ………...……….. xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Hakekat Nilai dan Pendidikan Nilai ... 21
1. Pengertian Nilai ……… 21
2. Pendidikan Nilai ……… 23
B. Hakekat Kebersamaan ... 29
1. Pengertian ………. 29
2. Aspek Sikap Kebersamaan ……….... 31
3. Tujuan Sikap Kebersamaan ………. 34
C. Hakekat Nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa ……… 36
1. Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Values) ……….. 36
2. Nilai-nilai Cinta (Love Values) ……… 41
3. Pembelajaran Bahasa ……… 48
a. Hakekat Pembelajaran ……….. 48
b. Peranan Teacher Talk dalam Pembelajaran ………. 57
c. Hakekat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa Inggris ……… 62
▸ Baca selengkapnya: predikat dan deskripsi nilai sikap
(2)2.Teori Pemerolehan Bahasa Kedua ………. 65
3.Fungsi, Tujuan dan Ruang Lingkup Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA ……… 66
4.Pendekatan Pembelajaran Bahasa Inggris ……….. 69
a. Pembelajaran Kontekstual ……….. 69
b.Pengertian Pembelajaran Kontekstual ……….. 70
D. Nilai-Nilai Cinta Dengan Pendidikan Umum/Nilai ... 72
1. Pengertian dan Tunjuan Pendidikan Umum ………. 72
2. Ruang Lingkup Pendidikan Umum ………. 75
3. Sasaran Pendidikan Umum ……….. 77
4. Kaitan Nilai-nilai Cinta dalam Pendidikan Umum/Nilai………….. 78
E. Penelitian yang Relevan ……… 80
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain, Lokasi dan Subyek Penelitian ……….. 82
B. Definisi Operasional ……… 91
C. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian ……… 92
D. Instrumen Penelitian ……… 94
E. Teknik Analisis Data ……….. 98
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ……… 104
1. Program Sekolah dalam Pengembangan Integrasi Nilai-nilai Cinta dan Pembelajaran Bahasa Inggris……… 104
a. Gambaran umum SMAN 2 Pontianak………. 104
b. Program-program Pendidikan dan Pengembangan Nilai-nilai Cinta ………..……… 111
c. Proses Pembelajaran Bahasa Inggris……… 115
2. Proses Integrasi Nilai-nilai Cinta dan Pembentukan Sikap Kebersamaan ……… 120
a. Pendidikan Nilai-nilai Cinta ………. 120
b. Sikap Kebersamaan ………. 127
c. Bahasa Guru (Teacher Talk) ……….……….. 132
Nilai-nilai Cinta dalam Pembentukan Sikap Kebersamaan……… 136
a. Visi dan Misi SMAN 2 Pontianak ……….. 136
b. Kebijakan Kepala Sekolah ……….. 142
4. Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta dan Upaya Pembentukan Sikap Kebersamaan ……….…… 145
a. Model Awal ……….... 145
b. Model Validasi……… 151
c. Model Pengembangan (Akhir)……… 153
d. Hasil Uji-coba ……….………. 159
B. PEMBAHASAN ………. 164
1. Program Pendidikan Nilai ……….. 164
2. Proses Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa …….. 171
3. Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa ………. 186
4. Sikap Kebersamaan ……….. 201
BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ………. 214
B. Rekomendasi ……….……….. 219
C. Implikasi Hasil Penelitian ……….. 220
DAFTAR PUSTAKA ……….. 228
LAMPIRAN : 1. Silabus Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada Pembelajaran Bahasa Inggris ……… 229
2. Model RPP SMAN 2 Sebelum Terintegrasikan dengan Nilai-nilai Cinta … 241 3. Model RPP SMAN 2 Pada Model Integrasi Nilai-nilai Cinta ……….. 244
4. Pedoman Umum Interview ………. 247
5. Angket Pemahaman Siswa tentang Nilai-nilai Cinta dan Sikap Kebersamaan ………. 248
6. Hasil Angket Pemahaman Siswa tentang Nilai-nilai Cinta dan Sikap Kebersamaan ……….. 251
8. Gambar Lokasi Penelitian dan Kegiatan Siswa SMAN 2 Pontianak ……… 254
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Indikator Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Values)..………… 14
Tabel 2.1 Aspek-aspek Sikap Kebersamaan ………. 33
Tabel 2.2 Nilai-nilai Kemanusiaan dan Contoh Aspeknya ………….. 40
Tabel 2.3 Jenis Hubungan Cinta ……….. 46
Tabel 2.4 Butir-Butir Nilai-Nilai Cinta ……….. 47
Tabel 2.5 Kategori Bahasa Guru (Teacher Talk) …………. 61
Diagram 3.1 Alur Pikir Penelitian ………. 85
Diagram 3.2 Langkah-langkah Penelitian ……… 89
Diagram 3.3 Komponen Analisis Data Model Interaktif ……… 98
Diagram 4.1 Model Awal “Model Integrasi Nilai-Nilai Cinta dalam
Pembelajaran Bahasa Inggris” ………. 151
Diagram 4.2 Model Hasil Validasi Ahli ……… . 152
Diagram 4.3 Model Akhir “Model Integrasi Nilai-Nilai Cinta pada
Pembelajaran Bahasa Inggris” ……… 154
Tabel 4.4 Hasil Ujicoba Pemahaman Siswa Tentang Nilai-nilai Cinta …… 159
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dunia pendidikan dihadapkan pada berbagai tuntutan yang semakin
berat, terutama dalam mempersiapkan sumber daya manusia agar mampu
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya
menyentuh perubahan fisik sebagai akibat implementasi dari kemajuan iptek,
akan tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral
dalam kehidupan masyarakat.
Djahiri (1999:2) mengemukakan bahwa “besarnya dampak
globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang
tidak disertai pembinaan nilai-nilai moral dapat menjurus kepada terjadinya
dehumanisasi”. Pembinaan nilai-nilai moral merupakan esensi dari usaha
pendidikan, seperti yang tercantum pada Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional selanjutnya disingkat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Republik
Indonesia menggariskan bahwa:
2
Sementara itu, fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang
termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 berbunyi
seperti berikut:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” .
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut sangat jelas bahwa
sasaran utamanya adalah pembentukan watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat dalam mencerdaskan dan berkembangnya potensi peserta didik
yang memiliki kualitas prima dalam menghadapi persaingan global dengan
semangat sportifitas, beretika dan berbudi luhur serta bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Konsep yang sempurna dengan menyatukan kehidupan
jasmani dan rohani serta menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan kebebasan
individu. Konsep tersebut perlu menjadi fokus dalam proses pembelajaran yang
dilaksanakan di kelas agar peserta didik memiliki kompetensi yang
diamanatkan oleh Uudang-Undang pendidikan tersesbut.
Berkaitan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas,
UNESCO mengemukakan empat pilar pendidikan, yakni: (1) Learning to
know (belajar untuk mengetahui); (2) Learning to do (belajar untuk
melakukan/berbuat); (3) Learning to be (belajar untuk menjadi), dan (4)
pilar tersebut,aspek learning to live together sejalan dengan nilai-nilai
kebersamaan, fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Istilah “learning to live together” yang dalam penelitian ini
disepadankan dengan makna sikap kebersamaan karena tujuan utamanya
adalah membangun sikap saling memahami, menghargai, menghormati dan
toleransi terhadap orang lain, seperti memahami dan menghargai perbedaan
keyakinan, budaya dan nilai-nilai tradisi orang lain. Konsep ini diharapkan
mampu menghindari konflik dan tindakan kekerasan pada umat manusia, dan
selanjutnya dapat menciptakan perdamaian.
Pemahaman yang lebih mendalam tentang pilar ini bahwa perbedaan
(differences) dan keragaman (diversity) lebih sebagai peluang (opportunities)
daripada ancaman (threat). Sebagaimana yang tercantum pada The United
Nations Convention on the Rights of the Child (CRC) dikemukakan:
“Learning to live together is an intercultural and interfaith programme for ethics education, designed to contribute to the realization of the right of the child to full and healthy physical, mental, spiritual, moral and social development, and to education”. (http://www.ethiceducationforchildren.org.)
Nilai-nilai sikap kebersamaan, antara lain: respek (respect), empati
(empathy), keadilan (justice), dan kebaikan hati (kindness). Nilai-nilai sikap
kebersamaan ini semestinya tertanam pada para peserta didik sehingga tercipta
hubungan mesra dan harmonis baik antara warga sekolah maupun warga
sekolah dengan masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain,
4
hubungan yang harmonis dengan orang lain, termasuk dengan orang lain yang
berbeda dengan dirinya baik atas dasar etnis, budaya, maupun
agama/keyakinan.
Suatu kenyataan yang sulit dibantah adalah bahwa dalam beberapa
tahun belakangan ini sering terjadi konflik baik atas dasar etnis maupun agama.
Konflik etnis terjadi antara lain di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Batam. Sementara konflik yang melibatkan agama terjadi di Poso dan Ambon.
Konflik tersebut terjadi dapat disebabkan minimnya pemahaman,
penghormatan dan toleransi antar kelompok yang berbeda secara keyakinan
dan etnis.
Dari sudut pandang pendidikan umum, banyaknya konflik yang terjadi
di berbagai belahan bumi Indonesia menunjukkan kegagalan pendidikan.
Menurut Tu Wei-Ming (dalam Harison & Huntington, 2000:263) pendidikan
seyogianya menjadi:
“… the civil religion of society. The primary purpose of education is
character building. Intent on the cultivation of full person, school should teach the art of accumulating “social capital” through communication. In addition to the acquisition of knowledge and skills, schooling must be congenial to the development of cultural competence and the appreciation of spiritual values”.
Jadi, pendidikan menjadi “roh”nya masyarakat dan tujuan utama pendidikan
adalah membangun manusia berpribadi utuh. Pendidikan dalam kaitan ini harus
kepercayaan, kesediaan dan kemampuan bekerjasama, kemampuan
berkoordinasi, toleransi, kebiasaan berkontribusi pada sesama, dan bersahabat,
melalui proses pembelajaran yang dilakukan guru di sekolah, di samping
menyiapkan peserta didik menguasai pengetahuan dan ketrampilan. Pernyataan
Tu Wei-Ming di atas sekaligus juga mengokohkan arti penting pendidikan
umum sebagai pendidikan yang tujuannya, “menjadikan individu manusia yang
manusiawi, bernalar intelektual, emosional, sosial, spiritual seutuhnya
(Sumaatmadja, 2002:115)”, memupuk, menyirami, menyiangi, menumbuh
-kembangkan kebajikan-kebajikan intelektual di dalam pribadi seseorang
(Hutchins, 2003:133). Dengan kata lain, dalam perspektif pendidikan umum,
pendidikan semestinya menjadikan manusia yang manusiawi (humanizing),
berdaya (empowering), dan beradab (civilizing).
Tindakan antisipatif terhadap terjadinya konflik ke depan dapat
dilakukan melalui berbagai kegiatan di sekolah. Misalnya kegiatan proses
pembelajaran di kelas dimana guru berperan untuk membina perilaku peserta
didik. Pembinaan yang terus menerus dilaksanakan akan menyadarkan bahwa
sikap kebersamaan adalah perilaku yang sangat penting dalam menuju
kehidupan yang damai dan harmonis.
Sikap kebersamaan mengajarkan kita untuk saling menghargai,
menghormati, bertanggung jawab dan bersikap toleransi. Bangsa Indonesia
6
membutuhkan sikap saling menghargai, menghormati dan toleransi. Oleh
karenanya, pemahaman bangsa akan sikap kebersamaan tersebut bukan hanya
pada tataran wacana saja melainkan sudah pada tataran pengimplementasian
pada perlakuan sehari-hari. Dengan kata lain, sikap kebersamaan tersebut
sudah nampak pada aspek kehidupan dan perilaku seseorang.
Sifat toleransi pada aspek sikap kebersamaan pada kehidupan sosial
budaya masyarakat Indonesia yang plural perlu dikembangkan dan
ditumbuhkan secara maksimal. Hal ini penting agar masyarakat yang majemuk
ini tidak saling menyerang karena adanya perbedaan budaya dan keyakinan.
Sebagai contoh, kasus tawuran antar pelajar yang disebabkan adanya salah
pengertian yang berkaitan dengan persoalan sederhana, seperti percintaan
antara seorang pelajar pria dan seorang pelajar putri. Sifat cemburu atau karena
ceweknya diganggu oleh pria lain maka sifat cemburu muncul, dan ini dapat
berakibat pertengkaran dan berujung pada perkelahian masal antar pelajar.
Sifat solidaritas yang ditunjukkan kelompok secara berlebihan akan
memunculkan sikap kebersamaan yang destruktif karena pemahaman yang
selalu memenangkan kelompok sendiri meskipun mereka adalah pihak yang
bersalah. Kasus tawuran seperti itu semestinya tidak terjadi apabila para pelajar
tersebut memahami nilai-nilai persahabatan, saling menghargai dan toleransi
terhadap perbedaan pendapat, pandangan dan sosial budaya.
Contoh lain pada kasus yang sering kali terjadi adalah perselisihan
misalnya saling ejek yang berlebihan sehingga membuat salah seorang siswa
marah atau saling ejek ketika pertandingan antar kelas sehingga yang kalah
merasa “terhina” (menurut catatan guru BK di SMAN 2). Sesungguhnya kasus
ini tidak sepatutnya terjadi apabila ada sikap toleransi dan permasalahan
tersebut dapat diselesaikan secara masyawarah dan bersahabat. Persoalan
tersebut mungkin sangat sederhana namun itu dapat menjadi cerminan
rendahnya kualitas sikap kebersamaan. Rendahnya kualitas sikap kebersamaan
pada peserta didik dapat disebabkan kurangnya mereka mendapatkan
pencerahan tentang hidup bersama dengan saling menghormati dan menghargai
serta bersikap toleran terhadap sesama.
Dalam kontek yang lebih kecil adalah lingkungan sekolah. Sekolah
merupakan representasi dari kelompok kecil masyarakat karena para peserta
didik adalah manusia yang memiliki perbedaan secara sosial budaya,
agama/keyakinan, etnis dan keinginan. Perbedaan yang ada tersebut dapat
menjadi sumber konflik antar peserta didik apabila tidak dikelola dengan baik.
Dalam hal ini kehadiran sikap toleransi pada masing-masing peserta didik
dapat menjadi solusi untuk menciptakan suasana sekolah yang harmonis dan
damai.
Sikap toleransi, saling menghargai dan saling menghormati sangat
dibutuhkan pada proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran yang
menghendaki adanya proses pembelajaran yang kreatif, perdebatan dan
8
guru di sekolah. Dalam perdebatan dan ide-ide tersebut akan muncul
perbedaan, namun perbedaan tersebut bukan menjadi ancaman bagi proses
pembelajaran melainkan memperkaya dan memperluas wawasan peserta didik
akan suatu konsep dan makna pendidikan tersebut. Dengan demikian, sikap
toleransi, saling menghargai dan menghormati perlu ditumbuhkembangkan
agar para peserta didik memiliki perilaku yang sesuai dengan tujuan
pendidikan dan norma yang berlaku di masyarakat.
Toleransi dalam konteks ini dapat diartikan sebagai sikap, perilaku
atau perbuatan yang menerima, mengakui dan/atau mengenal segala perbedaan
yang eksis dalam berbagai kelompok yang majemuk/plural (Walzer, 1999).
Dengan demikian sikap toleransi haruslah mampu diciptakan dan
diaktualisasikan dalam segala dimensi kehidupan, yaitu dalam kehidupan
berpolitik, sosial, budaya, agama dan ekonomi. Dalam lingkup yang lebih khas,
yaitu sekolah, toleransi perlu disosialisasikan dan ditanamkan serta
diaktualisasikan secara kontinu terhadap peserta didik agar kelak mereka hidup
dalam lingkungan masyarakat akan mampu mengimplementasikannya. Sikap
toleransi harus mengakar atau membumi (down to earth) di lingkungan sekolah
secara khusus.
Secara umum, dunia fana ini terus berkonflik yang mengatasnamakan
perbedaan pandangan, agama/keyakinan dan sosial budaya. Sebagaimana yang
telah dikemukakan pada bagian yang terdahulu bahwa perbedaan tersebut
toleransi. Pertanyaan kita akan mengarah kepada cara untuk mengatasi atau
setidak-tidaknya mengeliminir sikap negatif seseorang. Dalam konteks ini
solusi yang menjadi alternatif penyelesaian sikap negatif tersebut adalah
hadirnya nilai-nilai cinta pada setiap umat manusia. Umat manusia harus
memiliki nilai-nilai cinta, seperti kasih sayang, peduli, persahabatan dan
empati.
Dalam konteks pembelajaran, nilai-nilai kebersamaan belum menjadi
perhatian utama guru ketika berinteraksi dengan peserta didik pada proses
pembelajaran di kelas. Guru lebih memfokuskan pembelajaran pada pokok
bahasan atau materi ajar yang tercantum pada buku teks. Hasil studi
pendahuluan, peneliti menemukan bahwa guru lebih mengutamakan
penyelesaian materi ajar daripada melakukan pengembangan atau inovasi
proses pembelajaran yang membahas nilai-nilai kebersamaan tersebut. Bahkan
guru merasakan jam pelajaran yang tersedia masih kurang untuk
menyelesaikan seluruh pokok bahasan yang semestinya diajarkan kepada
peserta didik.
Pendidikan nilai moral, termasuk di dalamnya nilai-nilai sikap
kebersamaan, di sekolah masih dikotomi karena pendidikan nilai moral masih
dianggap tanggung jawab guru agama dan PKN. Sedangkan pembinaan
perilaku peserta didik merupakan tanggung jawab guru bimbingan dan
konseling (BK). Kondisi seperti ini telah menyebabkan pendidikan nilai moral
10
persahabatan, peduli dan empati belum nampak sepenuhnya dalam perilaku
peserta didik.
Kenyataan lain yang menyebabkan belum berkembangnya sikap
kebersamaan secara maksimal pada peserta didik di lingkungan sekolah karena
peserta didik masih bersikap individualistis dan kelompok yaitu masih
mementingkan tugas individu dan kelompoknya. Dengan kata lain, seorang
peserta didik lebih fokus pada dirinya dan kelompoknya (temannya) daripada
pesrta didik lainnya. Misalnya, ketika waktu istirahat peserta didik berkumpul
atau makan bersama kelompoknya atau dengan teman sekelas.
Kondisi kehidupan di sekolah yang cukup kondusif dan tenang karena
tidak terjadi tindakan destruktif, seperti perkelahian masal antar siswa,
menyebabkan guru kurang memperhatikan pendidikan nilai. Hubungan yang
harmonis antara peserta didik di sekolah juga menjadi indikator bahwa sikap
kerbersamaan sudah terbina dengan baik. Namun hubungan yang harmonis
tersebut masih terjadi terbatas pada kelompok siswa, seperti teman sekelas,
teman olah raga dan teman belajar. Sebagai akibat model hubungan tersebut,
peristiwa pertengkaran yang menjurus pada perkelahian siswa masih terjadi.
Menurut guru bimbingan dan konseling (BK), peristiwa-peristiwa yang terjadi
antara peserta didik hanya terbatas pada peristiwa kecil saja, misalnya
pertengkaran antar peserta didik karena masalah cewek, saling mengolok,
bergurau dan pertandingan olahraga antar kelas yang kemudian menimbulkan
didik masih bersifat semu dan perlunya diciptakan hubungan harmonis yang
menyeluruh. Dengan demikian, guru harus mensosialisasikan sikap
kebersamaan secara terus menerus.
Demikian pula pada pembelajaran Bahasa Inggris, guru belum secara
maksimal menanamkan nilai-nilai sikap kebersamaan pada peserta didik. Hal
ini disebabkan model pembelajaran yang diterapkan guru belum berbasiskan
nilai-nilai. Guru lebih terfokus pada materi pelajaran (content based) dan
textbook sehingga kurang menyentuh nilai-nilai kebersamaan. Misalnya guru
menggunakan metode ceramah, tanya jawa dan latihan secara individu lebih
dominan sehingga tidak menimbulkan interaksi sosial antar siswa. Di samping
itu guru mengeluhkan waktu tidak cukup untuk mengajarkan seluruh materi
pelajaran berakibat guru kurang kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
instruksionalnya. Akibat pemahaman tersebut, pembelajaran dan
pengembangan instruksional yang mengandung nilai-nilai kebersamaan masih
sangat minim.
Krisis nilai-nilai kebersamaan pada peserta didik pada hakekatnya
bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah tetapi juga harus menjadi
tanggung jawab pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Semua pihak
harus berupaya mencari akar permasalahan daripada sifat ketidak harmonisan
tersebut, tidak adanya sifat toleransi, saling menghargai dan menghormati pada
peserta didik. Sebab krisis nilai kebersamaan dapat memunculkan krisis yang
12
Sesungguhnya nilai-nilai kebersamaan telah menjadi esensi tujuan
pendidikan pada SMA Negeri 2 Pontianak karena visi dan misi sekolah telah
mengemukakannya secara jelas dan konkrit mengenai pembentukan akhlak
yang mulia, disiplin, dan berwawasan teknologi dan informasi yang
berlandaskan iman dan taqwa. Demikian pula, pada setiap kesempatan
berkomunikasi dengan peserta didik, guru selalu mengingatkan para peserta
didik untuk selalu menciptakan kondisi yang rukun, harmonis dan saling
menghargai. Melalui proses berkomunikasi tersebut, kebersamaan antar
peserta didik akan lebih terwujud dalam perilaku atau tindakan mereka.
Suatu kenyataan bahwa sikap kebersamaan yang hadir di lingkungan
sekolah masih belum membumi (down to earth) karena kehidupan di sekolah
belum pada kondisi yang mengkhawatirkan. Peserta didik lebih disibukkan
dengan kegiatan akademiknya sehingga peristiwa yang kontra-produktif atau
melawan aturan sekolah sangat jarang terjadi. Kondisi sekolah yang tenang,
aman dan damai tersebut membuat guru kurang memperhatikan tentang
nilai-nilai hidup bersama. Perhatian guru hanya terfokus pada kehidupan di sekolah
saja kurang tepat karena peserta didik adalah bagian dari masyarakat secara
umum, dan akan hidup dilingkungan masyarakat. Oleh karenanya pembinaan
sikap kebersamaan tersebut harus mengacu terhadap pembinaan perilaku
untuk bekal hidup di masyarakat.
Upaya ke arah pembentukan sikap kebersamaan melalui proses
pembelajaran melalui diskusi kelompok memungkinkan peserta didik untuk
belajar menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Demikian pula,
kegiatan seperti study tour, ekstra kurikuler dan keagamaan akan membentuk
sifat toleransi, gotong royong, saling menghormati dan menghargai antar
individu (peserta didik) yang berbeda latar belakang status sosial, suku,
agama dan budaya. Pada konteks sekolah, kegiatan perayaan keagamaan
seringkali dirayakan dengan melibatkan seluruh warga sekolah ke dalam
kepanitiaan. Misalnya kegiatan idulfitri (lebaran) dan natalan di laksanakan di
sekolah yang melibatkan seluruh peserta didik. Peserta didik dilibatkan untuk
menjadi panitia yang bertugas mengurus makanan/snack sementara pemeluk
agama melakukan ibadah atau ritual keagamaan tersebut.
Untuk membangun sikap kebersamaan sebagaimana dikemukakan di
atas, guru perlu menanamkan nilai cinta pada peserta didik. Sifat toleransi,
peduli, belas kasih dan empati merupakan elemen-elemen nilai cinta yang
mampu menciptakan sikap kebersamaan dan sebaliknya elemen-elemen
tersebut harus mampu diwujudkan dalam perilaku seseorang. Dengan kata
lain, sikap kebersamaan harus mencerminkan kehadiran nilai-nilai cinta pada
perilaku seseorang. Menurut Tillman (2004:134) bahwa cinta adalah belas
kasih murni yang memotivasi pelayanan tanpa pamrih demi kebaikan bagi
orang lain, dan selanjutnya dikatakan cinta bukan sekedar perasaan emosi
atau nafsu saja, melainkan sesuatu yang lebih mendalam dan lebih mendasar
14
Kekuatan cinta dalam menyatukan perasaan dan emosi seseorang
dengan orang lain merupakan bentuk penerimaan seseorang terhadap orang
lain tanpa ada keinginan atau maksud tertentu. Sebagaimana yang
diungkapkan Lewis (2000:52) bahwa “Love is the emotion of strong affection
and personal attachment” (cinta adalah emosi dari kasih sayang dan atribut
seseorang yang kuat) atau dalam kontek filsafat “Love is a virtue representing
all of human kindness, compassion and affection” (cinta adalah kebajikan
yang mewakili seluruh kebaikan, belas kasih dan kasih sayang manusia).
Dengan demikian, cinta sebagai emosi dan kebajikan memiliki kekuatan yang
mampu menjadikan seseorang untuk dapat menerima perbedaan yang ada.
Chibber (2006) dan Jumsai (2003) mengemukakan nilai kemanusiaan
(human values) terdiri dari 5 (lima) kelompok, yakni: (1) kebenaran (truth),
(2) cinta (love), (3) perdamaian (peace), (4) perilaku yang benar (right
conduct), dan (5) tanpa kekerasan (non-violence). Komponen-komponen nilai
dari masing-masing kelompok nilai kemanusiaan seperti pada tabel berikut
ini:
Integrity (integritas)
rujukan pada pembahasan selanjutnya. Butir-butir nilai cinta yang terdapat
pada tabel 1.1 antara lain: acceptance, affection, care, compassion, empathy
dan friendship akan menjadi acuan untuk membentuk sikap kebersamaan.
Menjadi acuan berarti butir-butir tersebut akan dimasukkan atau dijelaskan
oleh guru dalam proses pembelajaran. Misalnya, peserta didik mampu
menunjukkan perilaku yang dapat menerima pendapat yang berbeda
(toleransi), mau membantu orang lain (peduli), berbagi kesenangan (kasih
sayang), dan memahami keresahan orang lain (empati). Perilaku yang
menunjukkan nilai-nilai cinta akan mengarahkan peserta didik untuk
memiliki sifat sikap kebersamaan. Integrasi nilai cinta pada pembelajaran
bahasa Inggris adalah upaya menyisipkan (insert) nilai-nilai cinta pada proses
pembelajaran di kelas. Proses integrasi tersebut membutuhkan kemampuan
guru dalam menyampaikan materi sehingga nilai-nilai cinta tersebut
16
kemampuan berkomunikasi yang menarik dan santun. Guru sebagai model
dan contoh akan ditiru dan diteladani oleh peserta didik (muridnya).
Pada proses pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran Bahasa
Inggris, nilai cinta harus menjadi unsur yang diintegrasikan agar peserta didik
memiliki pemahaman akan makna yang lebih mendalam. Nilai cinta bukan
hanya sekedar „penghias” dalam proses pembelajaran melainkan menjadi inti
dari pembelajaran itu sendiri. Untuk mencapai pemahaman nilai cinta dalam
proses pembelajaran maka nilai-nilai cinta harus dirancang pada program
pengajaran guru. Dengan kata lain, program pengajaran yang dilakukan oleh
guru harus memuat nilai-nilai cinta dengan mengintegrasikannya pada
komponen pembelajaran, termasuk diintegrasikan pada silabus dan RPP.
Pengintegrasian nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa akan menjadi
fondasi bagi pembentukan sikap kebersamaan pada peserta didik.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan umum di atas, peneliti merumuskan
masalah-masalah yang lebih spesifik dengan pertanyaan yang lebih operasional sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah program sekolah dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta
pada pembelajaran bahasa sebagai upaya pembentukan sikap kebersamaan
2. Bagaimanakah proses mengintegrasikan Nilai-nilai Cinta pada
pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan di
SMA Negeri 2 Pontianak?
3. Bagaimanakah Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada
pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap Kebersamaan di
SMA Negeri 2 Pontianak?
4. Bagaimanakah efektivitas Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai
Cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan Sikap
Kebersamaan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melahirkan
Pengembangan Model Integrasi Nilai-nilai Cinta (Love Values) pada
Pembelajaran Bahasa sebagai upaya Pembentukan Sikap Kebersamaan (To
Live Together). Secara spesifik, tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui gambaran program sekolah dalam pembinaan integrasi
Nilai-nilai Cinta pada pembelajaran bahasa;
2) Untuk mengetahui gambaran proses integrasi Nilai-nilai Cinta pada
pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap kebersamaan;
3) Untuk mengetahui pengembangan model integrasi Nilai-nilai Cinta pada
18
4) Untuk mengetahui efektivitas pengembangan model integrasi nilai-nilai
cinta pada pembelajaran bahasa dalam upaya pembentukan sikap
kebersamaan.
D. Asumsi Penelitian
Pendidikan nilai telah dilaksanakan pada SMA Negeri 2 Pontianak.
Asumsi tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sekolah memasang
stiker-stiker yang memuat kata-kata bijak atau pesan-pesan nilai moral pada
tiang-tiang sekolah. Dengan pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta dalam
pembelajaran bahasa, sikap kebersamaan dapat ditanamkan ke dalam pribadi
siswa sebagai pendidikan akhlak. Asumsi ini merujuk pada pernyataan
McConnell (1952:12) yaitu “bahwa pendidikan umum menekankan kepada
kebiasaan belajar” dan pernyataan Phoenix (1964:276) sebagai berikut: “a
major goal of general education in school should be to establish habits of
study that will lead one to continue general learning regularly, after
completing his formal education”.
Pendidikan umum memiliki potensi untuk mengembangkan nilai-nlai
cinta pada siswa. Pengembangan sikap tersebut dapat dicapai karena
pendidikan umum merupakan pendidikan untuk semua peserta didik dan
mengembangkan seluruh kemampuan individu. Asumsi ini didasarkan pada
“General education represents learning which all pupils must acquire. General education is that aspect of the school program that educate all pupils for the duties of citizenship, the obligation of family life, the maintenance of good health, the enjoyment of beauty, the establishment of good human relationships and the fulfillment of ethical values”.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan
(Research and Development). Menurut Borg and Gall (1979:781-782) bahwa
“research & development is a powerful strategy for improving practice. It is a
process used to develop and validate educational products” (penelitian dan
pengembangan adalah suatu strategi yang kuat/ampuh untuk meningkatkan
praktek dan merupakan proses yang digunakan untuk mengembangkan dan
memvalidasi hasil pendidikan). Mengingat karakteristik masalah yang
berkaitan dengan berbagai aspek dan memerlukan pendalaman serta kajian
yang mendalam dan terfokus, maka paradigma yang digunakan adalah
naturalistik dengan pendekatan kualitatif dan multi metode (Dahlan, 2002:8).
Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan peneliti disesuaikan dengan
rancangan research and development (R & D), yaitu: (1) Tahapan Study
Pendahuluan, (2) Tahapan Study Pengembangan, dan (3) Tahap Study
Evaluasi, dan hasilnya adalah Model Integrasi Nilai-nilai Cinta pada
Pembelajaran Bahasa. Tahapan-tahapan penelitian dengan rancangan R & D
20 F. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah lanjut atas (SLTA) di lingkungan
Kota Pontianak yang difokuskan pada SMAN 2 Pontianak. Pemilihan lokasi
tersebut didasarkan pada beberapa faktor, yakni (1) SMAN 2 adalah SMA
yang menduduki ranking ke 2 dalam hal prestasi, (2) SMAN 2 telah
ditetapkan sebagai RSBI, (3) guru sebagai sampel sudah memenuhi
persyaratan, yaitu guru yang mengajar sudah mencapai 15 tahun ke atas, (4)
guru sudah ada yang lulus sertifikasi, dan (5) guru laki-laki dan perempuan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain, Lokasi dan Subyek Penelitian
Penelitian ini berupaya untuk menghasilkan model pembelajaran
bahasa yang mengintegrasikan nilai cinta untuk membentuk sikap
kebersamaan di kalangan peserta didik, yang didasarkan pada kondisi atau
kebutuhan nyata di sekolah, khususnya di Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sesuai dengan maksud tersebut, maka bentuk penelitian yang relevan adalah
Research and Development (R&D).
Secara umum prosedur kerja dalam penelitian dan pengembangan ini
ditempuh dengan langkah sebagai berikut (Gall, Gall, dan Borg ( 2003: 775),
yaitu: (1) Research and information collecting planning. Mengkaji dan
mengumpulkan informasi, termasuk dengan membaca literatur,
mengobservasi, interviu dan menyiapkan laporan tentang kebutuhan
pengembangan. (2) Planning. Merencanakan prototipe komponen yang akan
dikembangkan, termasuk di dalamnya menentukan/mendefinisikan
keterampilan yang akan dikembangkan, merumuskan tujuan, menentukan
urutan kegiatan pembelajaran, menyusun skala pengukuran dan uji
kemungkinan dalam skala kecil. (3) Develop preliminary form of product.
menyusun/mengembangkan produk awal/prototipe awal. (4) Preliminary field
83
(termasuk melakukan pengamatan, interviu, dan angket ). Dalam tahapan ini
akan dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK). (5) Main product revision.
Revisi hasil treatment dari produk model awal. (6) Main field testing.
Penerapan uji coba lapangan (observasi, interview). Data kuantitatif pada awal
(pre) dan akhir (post) pengajaran dikumpulkan dan dievaluasi. (7) Operational
product revision. Melakukan revisi produk, berdasarkan hasil ujicoba
lapangan. (8) Operational field testing. Melakukan ujicoba lapangan. (9) Final
product revision. Melakukan revisi akhir terhadap model dan menetapkan
produk akhir. (10) Dissemination and implementation. Melakukan diseminasi
dan implementasi/distribusi ke berbagai pihak.
Langkah-langkah penelitian dan pengembangan di atas, dalam
penelitian ini selanjutnya disederhanakan sesuai dengan kondisi dan kegunaan
praktis di lapangan. Kesepuluh langkah yang disampaikan oleh Borg & Gall
(1979; 2003) di atas, dimodifikasi ke dalam tiga tahapan yakni tahap studi
pendahuluan dan pengembangan model/prototipe melalui kegiatan eksplorasi,
tahap pengujian model/prototipe, dan tahap desiminasi model/prototipe. Pada
tahap awal (Tahap I) kegiatan dimulai dari kajian kepustakaan yang
berhubungan dengan permasalahan sikap kebersamaan serta faktor
pembentuknya. Selain itu, pada tahap ini dilakukan juga kajian terhadap fakta
empirik melalui hasil-hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
sebagaimana dijelaskan di atas, pada tahap ini juga dilakukan kajian eksplorasi
mengenai praktik pembelajaran di sekolah, terutama yang terkait dengan
kandungan atau muatan sikap kebersamaan dan nilai cinta. Pada akhirnya,
pada tahap ini disusun model awal (prototipe) dari model integrasi nilai cinta
untuk membentuk sikap kebersamaan.
Pada tahap II, atau tahap perancangan model awal, kegiatan penelitian
terfokus pada ujicoba terbatas model awal yang telah dirancang. Dalam
kegiatan ini dikaji bagaimana tanggapan (respons) siswa maupun guru
terhadap model yang diujicoba. Selain itu, kegiatan pada tahap ini juga
mencakup observasi terhadap berbagai komponen pembelajaran dari model
integrasi nilai cinta untuk membangun kebersamaan yang sudah
dikembangkan. Hasil akhir dari kegiatan pada tahap ini adalah merevisi model
sesuai dengan tanggapan (respons) maupun hasil observasi yang dilakukan.
Pada tahap III, yakni tahap desiminasi model, kegiatan penelitian
mencakup kegiatan ujicoba lebih luas yang melibatkan guru-guru Bahasa
Inggris. Melalui tanggapan (respons) dan hasil observasi yang dilakukan pada
saat ujicoba dilakukan, maka disusun model akhir dari penelitian ini, yakni
model integrasi nilai cinta untuk mengembangkan sikap kebersamaan di
kalangan peserta didik.
Kegiatan yang dilakukan mulai dari tahap pertama (perencanaan dan
85
tahap ketiga (diseminasi model) memiliki rangkaian kegiatan yang
berkelanjutan. Artinya, penelitin akan diawali dengan kegiatan tahap I,
kemudian Tahan II baru kegiatan Tahap III. Apabila uraian di atas disajikan
dalam bentuk diagram, maka akan tampak seperti ditunjukkan pada Diagram
Diagram 3.1
Alur Penelitian Integrasi Nilai Cinta untuk Membentuk Sikap Kebersamaan 1. Tahap I: Studi Pendahuluan
Tahap ini dilakukan baik melalui studi kepustakaan maupun penelitian
lapangan (kajian empirik). Pada tahap ini dilakukan terlebih dahulu studi
literatur. Kajian kepustakaan dilakukan dengan mengkaji teori, konsep dan
hasil-hasil penelitian yang relevan untuk mendukung studi pendahuluan di
lapangan. Literatur yang dikaji adalah yang berhubungan dengan kajian
tentang esensi sikap kebersamaan dan nilai cinta, serta langkah-langkah
pembelajaran yang ada dan pernah dikembangkan, pendekatan dalam
pembelajaran Bahasa Inggris baik dari buku, hasil penelitian maupun jurnal
ilmiah. Dengan kata lain, semua kepustakaan yang terkait dengan model
pembelajaran nilai cinta yang dikembangkan.
Di antara bahan baku kerangka pikir yang digunakan dalam
penyusunan desain model konseptual/hipotetik pembelajaran dalam
penelitian ini mengacu pada hasil studi eksplorasi. Model konseptual tersebut
berangkat dari teori dasar konstruktivistik asumsi, antara lain sebagai berikut.
Dalam perspektif konstruktivisme, proses perubahan bagi pembelajaran
sesungguhnya akan bermakna bilamana didasarkan dari pengalaman dan Model Akhir:
87
kebutuhan peserta didik. Peserta didik sesungguhnya memiliki potensi dan
tidak bodoh, mereka punya prakarsa, dan apabila distimulasi mereka mampu
mengembangkan dirinya sendiri.
Dalam kegiatan tahap I, kajian literatur yang didapat belum cukup
untuk dapat merancang/mengembangkan suatu produk model integrasi nilai
cinta untuk mengembangkan sikap kebersamaan khususnya di SMA yang ada
di Kalimantan Barat. Oleh sebab itu diperlukan data/informasi yang akurat,
yang merefleksikan situasi yang terjadi atau yang ada di lapangan. Kegiatan
penelitian di lapangan dilakukan dengan pengamatan dan wawancara.
Observasi persiapan dan pelaksanaan proses pembelajaran ditujukan kepada
para guru Bahasa Inggris dan peserta didik. Wawancara diarahkan kepada
para guru, peserta didik dan Kepala SMA di sekolah tempat penelitian.
Beberapa data/informasi yang diperoleh sebagai dasar untuk
pengembangan model ini adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana desain dan implementasi model integrasi nilai cinta untuk
mengembangkan sikap kebersamaan yang telah dilakukan selama ini?
b) Bagaimana aktivitas dan motivasi belajar peserta didik selama proses
pembelajaran?
c) Bagaimana respons peserta didik terhadap model pembelajaran yang
dilakukan guru khususnya dalam kaitan dengan pengembangan sikap
d) Bagaimana sarana-prasarana pembelajaran yang tersedia di lingkungan
SMA yang mendukung integasi nilai cinta untuk mengembangkan sikap
kebersamaan?
e) Bagaimana hambatan guru dalam mengembangkan pembelajaran yang
mampu membentuk sikap kebersamaan di kalangan peserta didik?
Berangkat dari kajian literatur dan kajian di lapangan tersebut maka,
pada tahap ini, peneliti melakukan penyusunan/perencanaan draft model
(konsep model) pembelajaran integrasi nilai cinta untuk membentuk sikap
kebersamaan di kalangan peserta didik SMA. Rancangan draft model/produk
pendidikan yang dikembangkan, untuk selanjutnya pada tahap kedua,
pengembangan model, diujicobakan dengan sampel terbatas (kelas tertentu
SMA Negeri 2 Pontianak) dan dengan sampel lebih luas (semua kelas SMA
Negeri 2 Pontianak)
Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu “uji coba di atas meja” (desk
try out) atau disebut juga (desk evaluation) oleh para pembimbing untuk
melihat kelayakan draft model baik terhadap kelayakan dasar-dasar konsep
atau teori yang digunakan dan juga kelayakan praktis model tersebut.
Berdasarkan hasil verifikasi/rivieu tersebut dilakukan penyempurnaan draft
model hipotetik beserta instrumen lainnya, seperti test dan angket evaluasi
diri. Kemudian sebelum dilakukan uji coba secara terbatas, maka dilakukan
89
dalam kegiatan penelitian ini. Pertemuan sosialisasi draft model hipotetik ini
dilakukan pada 26 Juni 2010 di SMA Negeri 2 Pontianak, kepada lima orang
guru Bahasa Inggris yang ada di SMA Negeri 2 Pontianak. Hasil dari diskusi
ini, dilakukan penyempurnaan draft model hipotetik, yang berikutnya siap
untuk diujicobakan oleh guru Bahasa Inggris tersebut. Dalam diagram 3.2 di
bawah ini, dapat dilihat proses kegiatan penelitian di tahap studi pendahuluan.
Diagram 3.2
2. Tahap Pengembangan Model
Pada tahap ini model awal diujicoba, kemudian dilakukan analisis
untuk perbaikan hingga diperoleh model revisi integrasi nilai cinta untuk
membentuk sikap kebersamaan di kalangan peserta didik. Metode yang
digunakan adalah penelitian tindakan (action research). Penelitian tindakan
ini dilakukan secara kolaboratif dengan guru Bahasa Inggris SMA Negeri 2
Pontianak. Kolaboratif dalam mencari tindakan-tindakan yang mana yang
bisa memberikan perbaikan bagi tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Pada uji coba terbatas, hanya melibatkan dua guru Bahasa Inggris
yang ada di SMA Negeri 2 Pontianak yang mengajar di kelas XI dan XII
RSBI. Hasil evaluasi terhadap hasil uji coba terbatas dilakukan revisi dan
penyempurnaan. Setelah itu, dilakukan ujicoba secara luas pada kelas XI
RSBI yang ada di SMA Negeri 2 Pontianak. Dari hasil uji coba luas ini
kemudian dilakukan penyempurnaan produk/model yang siap untuk diuji
validitasnya.
Pihak yang dilibatkan dalam revisi dan penyempurnaan adalah
pembimbing, ahli dan guru Bahasa Inggris. Ahli atau pakar dilibatkan dalam
memberikan komentar, kritik, dan saran terhadap pengembangan draft model,
91
dipadukan dengan pendapat, temuan guru Bahasa Inggris sebagai pelaksana.
Hasil diskusi terhadap setiap kegiatan uji coba ini adalah dasar untuk
merevisi dan merancang produk final model pembelajaran integrasi nilai
cinta untuk membentuk sikap kebersamaan.
3. Tahap Pengujian Model
Pada tahap ini, dilakukan pengujian terhadap keefektivan dari model
yang sudah disempurnakan melalui proses pengembangan model sebagaimana
dijelaskan pada uraian yang lalu. Pengujian keefektifan rancangan final model
yang dikembangkan ini melibatkan peserta didik kelas RSBI yang ada di
SMA Negeri 2 Pontianak. Jumlah guru yang dilibatkan adalah guru-guru
Bahasa Inggris yang mengajar di kelas XI, XII RSBI yang ada di sekolah
tersebut. Analisis data pada tahap ini juga dilakukan secara kualitatif, dengan
mengacu pada cara kerja Huberman dan Miles, yakni: reduksi, penyajian data,
verifikasi data dan penarikan kesimpulan.
B. Definisi Operasional
Fokus penelitian ini adalah pengembangan model integrasi nilai-nilai
cinta pada pembelajaran bahasa di SMA Negeri 2 Pontianak dalam upaya
pembentukan sikap kebersaman. Untuk menghindari kesalahpahaman
pemaknaan terhadap fokus penelitian ini, berikut ini dijelaskan defines
1. Pengembangan Model Integrasi Nilai Cinta
Pengertian model yang dikemukakan Joyce (2011:76) adalah “Models are
developed patterns that have been submitted to research and
development”. Dalam kontek penelitian ini pengembangan model adalah
mengembangkan model atau pola yang sudah ada untuk tujuan
penyempurnaan sehingga model tersebut lebih baik dan sesuai
(appropriate) dengan kondisi pembelajaran pada masa kini.
Pengertian integrasi menurut A Standard Dictionary adalah “to
incorporate into a larger unit: bringing together into larger whole”.
Menurut Fraenkel (1977:7) ”A value is an idea - a concept about what
someone thinks is important for life”. Secara umum, cinta dapat diartikan
“Love is the emotion of strong affection and personal attachment”.
Merujuk pemahaman di atas, maka model integrasi nilai-nilai cinta pada
penelitian ini adalah suatu model pembelajaran yang mengintegrasikan
nilai-nilai cinta pada proses pembelajaran bahasa, khususnya Bahasa
Inggris.
2. Sikap Kebersamaan
Sikap kebersamaan dalam penelitian ini dipadankan dengan pengertian
atau makna learning to live together. Menurut UNESCO misi utama
konsep tersebut adalah pembangunan sikap memahami, menghargai,
93
menghargai keyakinan, nilai-nilai dan budayanya. Konsep ini diharapkan
dapat menghindari konflik atau tindakan kekerasan pada umat manusia,
dan selanjutnya dapat menciptakan perdamaian. Disamping itu, konsep
ini akan lebih mengenal bahwa perbedaan (differences) dan keragaman
(diversity) lebih sebagai peluang (opportunities) daripada bahaya (danger)
dan sebagai sumber yang berharga untuk menciptakan hal-hal yang baik
bagi kebrsamaan umat manusia.
C. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Pontianak Provinsi
Kalimantan Barat. Pemilihan SMA Negeri 2 Pontianak ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa sekolah ini di Kalimantan Barat adalah sekolah yang
berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Bahasa pengantar di
sekolah ini untuk mata pelajaran kelompok IPA (matematika, fisika, kimia dan
biologi) menggunakan bilingual (dua bahasa), yakni Indonesia dan Inggris.
Pertimbangan lain memilih sekolah ini sebagai tempat penelitian adalah
prestasi akademik sekolah ini menempati ranking 2 di tingkat SMA Kota
Pontianak.
Berdasarkan kondisi realistik yang ada tersebut serta anjuran Gall,
Gall dan Borg (2003:572) bahwa untuk tesis atau disertasi diperbolehkan
untuk dilakukan dalam skala kecil, maka penelitian pengembangan ini
diobservasi, maka pada setiap tahapan penelitian diambil subyek penelitian
yang berbeda-beda jumlahnya. Subyek penelitian ini adalah guru Bahasa
Inggris dan siswa SMA Negeri 2 Pontianak.
Tahap pertama penelitian dilakukan terhadap siswa kelas XI RSBI
SMA Negeri 2 Pontianak. Untuk kegiatan interview, responden siswa
dilakukan secara purposive random sampling diambil 10 orang siswa tiap
kelas tersebut. Tahap pertama penelitian ini, observasi juga dilakukan terhadap
semua siswa yang ada dan sedang mengkuti pembelajaran Bahasa Inggris
sebagai responden untuk diamati. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang penyelenggaraan pembelajaran Bahasa Inggris di SMA
Negeri 2 Pontianak. Sasaran observasi adalah aktivitas siswa dan guru dalam
kelas selama proses pembelajaran berlangsung.
Di samping observasi dan interview pada peserta didik, di tahap
pertama penelitian ini dilakukan juga pengumpulan data dalam bentuk
interview kepada para guru Bahasa Inggris.
Pada tahap pengujian model, saat dilakukan uji coba terbatas
terhadap draft model, pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling
di kelas XI RSBI SMA Negeri 2 Pontianak. Sampel yang dilibatkan adalah
peserta didik yang ada di kelas tersebut. Pemilihan karakteristik sampel ini
seperti ini didasarkan atas pertimbangan bahwa peserta didik di kelas ini diajar
95
aktif dalam memberikan kritik serta saran yang lebih tajam dan leluasa
dibanding peserta didik kelas di bawahnya. Masih pada tahap yang sama
(tahap pengujian model) juga dilakukan secara luas di dua kelas berbeda XI
dan XII RSBI.
Pada tahap III (diseminasi), ujicoba dilakukan dalam skala yang
lebih luas yakni dengan melibatkan semua peserta didik di kelas XI dan XII
RSBI SMA Negeri 2 Pontianak. Harapannya adalah agar diperoleh informasi
tentang validitas model yang dikembangkan.
D. Instrumen Penelitian
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat berupa kualitatif dan
kuantitatif. Untuk data yang bersifat kualitatif, teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada cara pengumpulan data yang
bersifat interaktif-sirkuler dan non interaktif-sirkuler (Goetz dan
LaComte,1984). Metode interaktif sirkuler digunakan untuk mengumpulkan
data wawancara dan observasi, sedangkan non-interaktif digunakan untuk
mengumpulkan data dokumentasi. Teknik tersebut dilakukan secara
berulang-ulang sesuai dengan pertanyaan peneliti yang muncul pada saat itu.
Observasi dilakukan mulai pada tahap perencanaan dan
pengembangan model, tahap pengujian model, serta pada tahap desiminasi
model. Observasi ini diarahkan untuk mendapatkan data kemampuan dan
belajar yang digunakan, hingga evaluasi pembelajaran yang dilakukan.
Pelaksanaan observasi ini dilakukan secara langsung oleh peneliti sendiri pada
tahap perencanaan dan pengembangan model serta pada tahap pengujian dan
tahap desiminasi model.
Wawancara dilakukan kepada guru dan siswa (subjek penelitian),
baik sebelum (tahap penelitian pendahuluan dan tahap pengembangan model)
atau sesudah pelaksanaan pembelajaran dengan model integrasi nilai cinta
dalam pembentukan sikap kebersamaan. Dengan kata lain, wawancara
dilakukan selama proses penelitian berlangsung seperti halnya kegiatan
observasi. Kegiatan wawancara ini dilakukan agar data yang diperoleh dengan
observasi dan angket menjadi lebih lengkap sehingga dapat digunakan untuk
merancang final model/produk pendidikan dalam penelitian ini.
Selama kegiatan pengumpulan data yang bersifat kualitatif digunakan
alat pengumpul data berupa tape recorder, kamera, dan catatan lapangan.
Tape recorder digunakan untuk merekam pembicaraan selama wawancara,
sedangkan kamera digunakan untuk merekam kegiatan yang diobservasi.
Catatan lapangan (fieldnotes) di samping digunakan untuk mencatat hasil
wawancara dan observasi digunakan juga untuk mencatat data yang terdapat
dalam dokumen yang mendukung studi ini. Dokumen dimaksud terkait
97
dalamnya berbagai data/informasi profil dan kelengkapan administrasi guru
(silabus dan RPP).
Untuk data yang bersifat kuantitatif, alat pengumpulan data yang
digunakan adalah angket. Angket yang diberikan dalam penelitian ini terdiri
dari dua bagian. Angket pertama diberikan pada responden guru dan
mahasiswa dan angket kedua (self evaluation) diberikan pada tahap
pengembangan dan pengujian model. Angket yang pertama digunakan untuk
mendapatkan data bagaimana proses pembelajaran yang memuat nilai cinta
(sebelum dilakukan penelitian dan pengembangan model pembelajaran ini)
yang terkait dengan proses dan hasil belajarnya. Jumlah sampel peserta didik
yang diberikan angket adalah sejumlah responden yang terdapat dalam tahap
pengembangan model dan pada tahap pengujian model. Adapun fokus dari
data yang dikumpulkan melalui angket ini adalah sikap kebersamaan siswa.
Selain itu, angket untuk peserta didik ini juga diharapkan dapat memberikan
informasi tentang pengalaman mereka dalam mengikuti pembelajaran bahasa
yang mengandung nilai cinta dan hambatan yang mereka hadapi dalam upaya
meningkatkan sikap kebersamaan.
Angket untuk guru digunakan untuk menjaring pengalaman mereka
dalam mempersiapkan pemmbelajaran, mengembangkan materi, serta
melaksanakan kegiatan pembelajaran bahasa dengan muatan nilai cinta. Di
kondisi/hambatan mereka dalam mengintegrasikan nilai cinta untuk
mengembangkan sikap kebersamaan.
Bentuk angket yang disusun dalam tahap ini terdiri dari pertanyaan
terbuka dan tertutup. Dengan dua bentuk pertanyaan tersebut diharapkan data
yang diinginkan dari responden akan lebih jelas, representatif dan terhindar
bias.
Pemberian angket tahap kedua (evaluasi diri), berbentuk rating scale
yang diberikan pada siswa saja untuk mendapatkan data kondisi motivasi dan
sikap kebersamaan mereka.
Panduan observasi disusun dalam upaya untuk menjaring data yang
terdapat di dalam proses pembelajaran Bahasa Inggeris di kelas dan situasi
nyata di sekitarnya, baik saat penelitian pendahuluan, maupun pada tahap
pengembangan model. Bentuk instrumen observasi ini disusun secara terbuka
dan tertutup. Lembar observasi terbuka yang peneliti maksudkan adalah
kegiatan mencatat semua temuan data hasil pengamatan selama
berlangsungnya proses perkuliahan berlangsung, sedangkan yang bersifat
tertutup peneliti mencatat data temuan berdasarkan panduan observasi yang
sudah disusun sebelumnya.
E. Teknik Analisis Data
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan
99
1. Analisis Data Tahap Perencanaan dan Pengembangan Model
Teknik analisis data yang digunakan dalam tahap ini adalah
deskriptif-kualitatif. Analisis data ini dilakukan secara berulang-ulang
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fokus yang telah dirumuskan
dalam penelitian ini.
Pada prinsipnya teknik analisis data dilakukan sepanjang kegiatan
penelitian dilakukan. Oleh karena itu, model analisis data yang digunakan
adalah analisis interaktif yang mengacu pada Miles dan Huberman
(1987:23) sebagaimana tampak pada gambar 3.3. berikut ini.
Data Collection
Data Display
Data Reduction
Conclusion: Drawing/
verification
Gambar 3.3
Komponen Analisis Data Model Interaktif
Untuk membuktikan bahwa apa yang diamati oleh peneliti sesuai
dengan apa yang sungguhnya ada di lapangan maka perlu diuji kredibilitas
hasil. Di samping dilakukan dengan trianggulasi ke sumber data,
dan teori, analisis kasus negatif dan pengecekan sejawat. Trianggulasi
dilakukan pada siswa dan guru
Untuk menilai proses penelitian yang telah ditempuh sampai dalam
bentuk laporan penelitian berupa disertasi, dilakukan dependabilitas data.
Tujuannya adalah agar kekeliruan di dalam mengkonseptualisasikan
kegiatan penelitian dapat ditanggulangi. Teknik yang digunakan untuk
menguji dependabilitas penelitian pada tahap ini adalah dependability
audit. Auditor dependen untuk pengujian dependabilitas penelitian ini
adalah promotor, ko-promotor serta anggota Promotor disertasi ini.
Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu,
dependabilitas dan konfirmabilitas perlu diuji keakuratannya oleh berbagai
pihak melalui penelusuran audit. Penelusuran audit ini tidak dapat
dilakukan jika tidak dilengkapi dengan catatan pelaksanaan keseluruhan
proses dan hasil penelitian yang perlu diklasifikasikan terlebih dahulu
sebelum auditing. Pada penelitian ini semua catatan dan rekaman kejadian
selama kegiatan penelitian disimpan baik dalam bentuk rekaman,
fieldnotes maupun compact disk (CD) dan dapat ditelusuri oleh siapa saja
yang berkepentingan dengan data tersebut.
Penulisan laporan penelitian pada tahap pertama ini, tidak saja
menampilkan temuan dari observasi, angket, dokumen, tetapi juga hasil
101
Untuk memperjelas isi ungkapan para responden yang diwawancarai,
maka sejalan dengan penelitian yang bersifat etnografis dalam penelitian
tindakan kelas, dilakukan penulisan kembali isi ungkapan responden
(direct speech) tersebut (Cresswell, 1998).
2. Analisis Data pada Tahap Pengujian Model
Pada tahap ini, analisis data dilakukan baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif. Seperti dikatakan oleh Dick dan Carey (dalam
Gall;Gall; Borg, 2003: 572), bahwa tahapan “formative evaluation”
dilakukan secara utama dengan metode kualitatif, walaupun metode
kuantitatif seperti data tes atau laporan peringkat kemampuan diri juga
diperbolehkan. Analisis data secara kualitatif pada tahap ini dilakukan
mengikuti kaidah-kaidah analisis data kualitatif sebagaimana dilakukan
pada penelitian tindakan kelas. Kolaborasi dengan guru selaku praktisi dan
siswa serta pakar pendidikan terus dilakukan selama proses pengembangan
model pembelajaran ini.
Untuk analisis data yang bersifat kuantitatif, digunakan statistik
deskriptif. Penggunaan analisis ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
pada tahap pengembangan peneliti ingin melihat perkembangan hasil
ujicoba dari ujicoba terbatas hingga ujicoba secara luas. Data yang
Hasil analisis dan refleksi ini menjadi bahan untuk dilakukan revisi
terhadap model pada siklus berikutnya yang dikembangkan hingga
memperoleh rancangan model yang final.
3. Analisis Data pada Tahap Pengujian Model
Pada tahap pengembangan dari penelitian ini menghasilkan model
yang sudah valid, namun masih harus diujicobakan lagi agar keefektifitas
model tersebut dalam pembelajaran dapat diketahui secara jelas.
Data yang diperoleh dari hasil ujicoba tersebut, dianalisis dengan
statistik deskriptif dan kualitatif. Penggunaan statistik deskriptif
didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam ujicoba model ini peneliti
ingin mengetahui dampak yang dirasakan oleh guru dan siswa setelah
keseluruhan pembelajaran selesai dilaksanakan.
F. Menguji Efektivitas
Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini akan menerapkan metode
preexperimengtal design. Desain yang digunakan adalah Quasi-Experimental
Design yaitu Nonequivalent (Pretest and Posttest) Control group Design.
Creswell (1994:132) mengemukakan ”... a popular approach to
quasi-experiments, the experimental group A and the control group B are selected
without random assignment. Both groups take a pretest and a posttest, and
103
kelompok eksperimen akan mendapatkan perlakukan sedangkan Group B
sebagai kelompok kontrol (control group) tidak mendapatkan perlakuan.
Kedua kelompok akan mendapatkan tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest).
Hasil tes tersebut akan dianalisis untuk melihat efek daripada perlakuan
tersebut.
Model Quasi-Experimental Design
Group A 0 --- X --- 0
Group B 0 --- 0
Sumber: Creswell (1994:132)
Catatan: X - treatment
Dalam penelitian kualitatif permasalahan dapat dilacak secara mendalam,
data yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, budaya, sikap
mental, dan komitmen yang dianut oleh seseorang maupun kelompok orang
dapat diungkap dengan jelas. Untuk dapat memahami dan memberikan makna
kepada data yang dikumpulkan, dilakukan dengan analisis dan interpretasi
kategorisasi data, triangulasi, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi,
sehingga menghasilkan kesimpulan yang lebih “grounded“.
Penelitian ini lebih difokuskan untuk mengkaji suatu proses
pengembangan model integrasi nilai, proses pembelajaran dan pembentukan
sikap, maka pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. McMillan dan Schumacher (2001:398) dalam suatu
pembahasan mendalam tentang pendekatan kualitatif mengemukakan bahwa
“penelitian kualitatif didasarkan pada asumsi bahwa realitas merupakan
sesuatu yang bersifat ganda, saling berinteraksi, dan didalamnya terjadi
pertukaran pengalaman-pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh setiap
individu”. Berdasarkan pembahasan tersebut, penelitian kualitatif menyakini
bahwa realitas sesungguhnya merupakan sebuah konstruksi sosial ketika
individu atau kelompok menemukan atau memperoleh sejumlah makna dalam
satu kesatuan yang spesifik, seperti dari beberapa peristiwa, orang, proses atau
tujuan.
Cressell (1994:145) mengemukakan bahwa “pendekatan kualitatif lebih
melihat sesuatu sebagaimana adanya dalam satu kesatuan yang saling terkait
dan lebih menekankan pada proses daripada dampak atau hasil”. Dengan
demikian, kegiatan penelitian lebih memfokuskan pada proses pengintegrasian
nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa dan upaya pembentukan sikap
BAB V
KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN IMPLIKASI
A. KESIMPULAN
Dalam masyarakat yang majemuk, pemahaman terhadap perbedaan masih
bersifat semu karena seringkali terjadi tindakan kekerasan yang
mengatasnamakan perbedaan tersebut. Di tingkat sekolah, perbedaan pendapat
atau pandangan antar pelajar baik yang satu sekolah maupun berbeda sekolah
berakibat pada peristiwa yang fatal, yaitu perkelahian masal atau tawuran.
Peristiwa tersebut dapat disebabkan masih dangkalnya pemahaman pelajar atau
peserta didik akan pentingnya membangun sikap kebersamaan, yaitu sifat saling
menghormati, berbaik hati dan rasa keadilan. Oleh karenanya, perlu upaya ke arah
pembentukan sikap kebersamaan tersebut dan salah satu solusinya adalah
menanamkan nilai-nilai cinta pada setiap insan sekolah tersebut.
Secara umum, penelitian ini menghasilkan potret kondisi sekolah, model
awal pembelajaran dan pengembangan model integrasi nilai-nilai cinta pada
pembelajaran Bahasa Inggris. Pembelajaran Bahasa Inggris lebih menekankan
pada penguasaan kognitif sehingga aspek afektif belum tersentuh oleh guru.
Kondisi tersebut memungkinkan siswa memiliki pemahaman yang minim
215
hal tersebut, siswa tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk memahami
nilai-nilai cinta.
Pengintegrasian nilai-nilai cinta pada pembelajaran bahasa Inggris
merupakan salah satu upaya membangun sifat dan naluri peserta didik agar
mampu hidup bersama secara harmonis, damai dan penuh cinta kasih. Oleh
karenanya, nilai-nilai cinta yang menjadi esensi dalam integrasi tersebut, antara
lain: toleransi (tolerance), kepedulian (care), persahabatan (friendship), empati
(empathy) dan disiplin (discipline).
Pembelajaran bahasa Inggris, dalam arti, penguasaan peserta didik
mengenai bahasa Inggris sudah cukup baik. Hal ini merupakan persyaratan bagi
SMAN 2 Pontianak yang berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RSBI). Baik guru maupun peserta didik harus memenuhi persyaratan mampu
berbahasa Inggris secara fasih karena beberapa mata pelajaran disampaikan dalam
bahasa Inggris. Peserta didik yang masuk dalam kelompok ini disebut kelas
RSBI. Oleh karenanya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran
nilai-nilai cinta yang diintegrasikan pada pembelajaran bahasa Inggris cukup
signifikan.
Sesungguhnya, visi sekolah telah menjadi energi bagi pelaksanaan
pendidikan nilai di SMAN 2 Pontianak. Dalam menwujudkan visi “prestasi
komunikasi dengan dilandasi iman dan taqwa menuju Sekolah Bertaraf
Internasional”, sekolah telah melaksanakan berbagai program. Program-program
tersebut selalu diarahkan pada pencapaian visi dan misi sekolah. Berkaitan
dengan pembinaan mental spiritual (aspek religius), program membaca Kitab Suci
sesuai dengan agamanya masing-masing selama 15 (limabelas) menit atau mulai
pukul 6:45 sampai pukul 7:00 pagi dilakukan setiap hari Senin sampai dengan
Sabtu. Program tersebut merupakan perwujudan daripada misi “membentuk
peserta didik yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur”.
Era globalisasi telah menginspirasi penyelenggaraan pendidikan di SMAN
2 Pontianak. Bahwa ke depan tantangan akan menjadi lebih berat dan persaingan
akan menjadi lebih ketat. Pemahaman terhadap tantangan dan persaingan global
dihadapi dengan mempersiapkan sumber daya manusia (peserta didik) yang
handal dan terampil. Pintu masuk untuk menjawab persoalan tersebut, salah
satunya, adalah penguasaan bahasa asing, dalam kontek ini penguasaan bahasa
Inggris. Melalui penguasaan bahasa Inggris yang fasih, maka penguasaan
teknologi dan informasi akan lebih baik. Untuk mewujudkan impian ini, program
pendidikan Bahasa Inggris lebih ditingkatkan melalui bimbingan dan kursus.
Program ini berupaya untuk mewujudkan misi “meningkatkan kemampuan