DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
i
HALAMAN PENGESAHAN...
ii
PERNYATAAN...
iii
PERSEMBAHAN...
iv
KATA PENGANTAR ...
v
ABSTRAK...
vii
ABSTRACT ...
viii
DAFTAR ISI ...
ix
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...
xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Pemikiran ... 2
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ..., 16
D. Definisi Operasional ... 17
E. Manfaat dan Pentingnya Penelitian ... 19
1.
Manfaat ... 19
2.
Pentingnya Penelitian ... 20
BAB II KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF, PEMECAHAN MASALAH
DAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK ... 23
A. Kemampuan Berpikir Kreatif ... 23
1. Berpikir Kreatif ... 23
2. Berpikir Kreatif dalam Matematika ... 27
B.
Kemampuan Pemecahan Masalah ... 31
1. Masalah Matematika ... 31
2. Pemecahan Masalah Matematika ... 33
C.
Pendidikan Matematika Realistik ... 39
1. Prinsip-prinsip Dasar PMR ... 41
D.
Keterkaitan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Pemecahan
Masalah Matematik serta Pendekatan Matematika Realistik ... 48
E.
Teori Belajar yang Mendukung ... 54
1. Konstruktivisme ... 54
2. Teori Belajar Bermakna ... 57
3. Teori Belajar Penemuan ... 58
F. Pembelajaran Biasa ... 60
G. Penelitian yang Relevan ... 63
H. Hipotesis Penelitian ... 67
BAB III METODE PENELITIAN ... 70
A. Analisi Data Kemampuan Berpikir Kreatif ... 70
B. Subjek Penelitian ... 70
C. Desain Penelitian ... 75
D. Instrumen Penelitian ... 77
1. Tes Kemampuan Berpikir Kreatif ... ... 78
2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ... 83
3. Lembar Observasi ... 88
4. Pedoman Wawancara ... 89
5. Angket Respon Siswa ... 90
E. Perangkat Pembelajaran ... 91
F. Kegiatan Pembelajaran ... 94
G. Analisis Data ... 95
H. Prosedur Penelitian ... 96
BAB IV HASIL ANALISIS DATA ... 99
A. Analisis Data Kemampuan Berpikir Kreatif ... 101
1. Deskripsi Kemampuan Berpikir Kreatif ... ... 101
2. Analisi Data Kemampuan Berpikir Kreatif Berdasarkan
Pembelajaran ... 107
3. Analisis Data Kemampuan Berpikir Kreatif Berdasarkan
Tingkat Kemampuan Siswa atau PAM ... 110
Berdasarkan Pembelajaran dan PAM ... 122
B. Analisis Data Kemampuan Pemecahan Masalah ... 128
1. Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah ... 128
2. Analisi Data Kemampuan Pemecahan Masalah
Berdasarkan Pembelajaran ... 134
3. Analisis Data Kemampuan Pemecahan Masalah
Berdasarkan Tingkat Kemampuan Siswa atau PAM ... 137
4. Analisis Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah
Berdasarkan PAM Siswa Kelompok Eksperimen ... 147
5. Analisis Interaksi Kemampuan Pemecahan Masalah
Bedasarkan Pembelajaran dan PAM ... 149
C. Analisis Pola Jawaban Siswa ... 154
1. Analisis Pola Jawaban Tes Kemampuan Berpikir Kreatif…. 154
2. Analisis Pola Jawaban Tes Kemampuan Pemecahan
Masalah ... 163
D. Deskrifsi tentang Aktivitas Siswa dan Respon Siswa ... 168
1. Persentase Rata-rata Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran 168
2. Respon Siswa terhadap PMR ... 178
E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 186
1. Pembahasan Hasil Analisis Data Kemampuan Berpikir
Kreatif ... 186
2. Pembahasan Hasil Analisis Data Kemampuan Pemecahan
Masalah ... 191
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 198
A. Kesimpulan ... 198
B. Implikasi ... 201
C. Rekomendasi ... 204
DAFTAR PUSTAKA ... 208
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
Pelajaran matematika
dipandang sebagai bagian ilmu-ilmu dasar yang
berkembang pesat baik isi maupun aplikasinya, sehingga pengajaran matematika
di sekolah merupakan prioritas dalam pembangunan pendidikan. Dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dinyatakan bahwa mata
pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari
sekolah dasar untuk membekali peserta didik kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (Diknas, 2006).
Selanjutnya, tujuan pembelajaran matematika pada tingkat Sekolah Dasar
(SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut.
1.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
2.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
3.
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4.
Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah
(Diknas, 2006).
Untuk mencapai tujuan tersebut, siswa diharapkan dapat menguasai
konsep dasar matematika secara benar sehingga dapat menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari matematika di jenjang sekolah
selanjutnya. Lebih jauh pembelajaran matematika di sekolah dasar diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan berhitung, meningkatkan kemampuan
bermatematika, dan membentuk sikap kritis, kreatif, jujur, disiplin, efisien dan
efektif. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu harapan yang ingin dicapai dalam
pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar bagi para siswa adalah
dimilikinya keterampilan berpikir matematik yang memadai, karena siswa harus
dipersiapkan sikap dan mentalnya untuk menghadapi situasi dan kondisi
perkembangan globalisasi dunia dan transfer ilmu, teknologi dan informasi di
masa depan.
Tujuan pendidikan matematika sebagaimana disebutkan di atas, sejalan
salah satu alasan utama diberikan matematika kepada siswa-siswa di sekolah
adalah untuk memberikan kepada setiap individu pengetahuan yang dapat
membantu mereka untuk mengatasi berbagai hal dalam kehidupan, seperti
pendidikan atau pekerjaan, kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan
sebagai warga negara. Selanjutnya Niss berpendapat bahwa tujuan pembelajaran
matematika sebaiknya diarahkan pada pemahaman siswa akan berbagai fakta,
prosedur, operasi matematika, dan memiliki kemampuan berhitung untuk
menyelesaikan soal matematika secara benar. Penekanan utamanya ditujukan
pada berbagai aspek pembelajaran matematika yaitu pola pikir dan kreativitas
bermatematika, penyelesaian soal aplikasi dan murni, eksplorasi, dan
pemodelan. Dalam hal ini pengajaran matematika harus menekankan pada
pemberian kesempatan kepada siswa untuk secara aktif mengerjakan matematika
berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
Menurut filsafat konstruktivisme bahwa seseorang yang mempunyai cara
berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk
menghadapi fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam
menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997). Hal ini berarti bahwa jika siswa
telah memiliki kemampuan berpikir matematika yang baik, maka akan menjadi
modal dasar baginya untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya ataupun sebagai bekal studinya
lebih lanjut. Sedangkan John Dewey menganjurkan bahwa sekolah harus
mengajarkan cara berpikir yang benar pada siswanya. Menurut Ruggiero (dalam
merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, memenuhi
keinginan untuk memahami, sebuah pencarian jawaban, dan sebuah pencapaian
makna. Pada jenjang pendidikan dasar, siswa (anak-anak) harus melakukan
langkah-langkah kecil dahulu sebelum akhirnya terampil berpikir dalam tingkatan
yang lebih tinggi.
Salah satu keluhan para guru di SD akhir-akhir ini adalah tentang kesulitan
siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika yang bersifat non rutin.
Kesulitan yang dialami siswa ini, tentu disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain; (1) faktor pendekatan pembelajaran, pendekatan pembelajaran yang
digunakan dalam pembelajaran kurang membangun kemampuan berpikir dan
kemampuan pemecahan masalah siswa, menurut Hadi (2005) bahwa beberapa hal
yang menjadi ciri praktek pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran
berpusat pada guru; (2) faktor kebiasaan belajar, siswa hanya terbiasa belajar
dengan cara menghafal, cara ini tidak melatih kemampuan berpikir dan
kemampuan pemecahan masalah, dan cara ini merupakan akibat dari penerapan
pembelajaran konvensional dimana guru mengajarkan matematika dengan
menerapkan konsep dan operasi matematika, memberi contoh mengerjakan soal,
serta meminta siswa untuk mengerjakan soal yang sejenis dengan soal yang sudah
diterangkan guru. Model pembelajaran seperti ini menekankan pada menghapal
konsep dan prosedur matematika guna menyelesaikan soal. Model pembelajaran
ini disebut model mekanistik (Fruedhental, 1973). Akibat penggunaan pendekatan
pembelajaran dan cara belajar sebagai mana tersebut di atas, sehingga berdampak
Rendahnya prestasi belajar matematika siswa, antara lain dilaporkan dari
hasil survei yang dilaksanakan Depdikbud tahun 1996, yaitu tentang evaluasi
pengaruh proyek PKG terhadap pengajaran matematika di SMP, mengungkapkan
bahwa pretasi belajar matematika siswa rendah (Suryanto, 1996; Somerset, 1997;
dalam Hadi, 2005). Demikian pula hasil penilaian yang dilakukan TIMSS (Trends
in International Mathematics and Sciences Study) tahun 1999, tentang
kemampuan penguasaan matematika kelas empat telah menempatkan siswa
Indonesia pada peringkat ke-34 dari 38 negara yang disurvei (Mullis et al, 2000).
Pada periode berikutnya (tahun 2003) dengan penekanan pada kemampuan
pengetahuan fakta, prosedur dan konsep, aplikasi pengetahuan matematika dan
pemahaman, serta penalaran siswa kelas empat, TIMSS menempatkan posisi
Indonesia yaitu berada di peringkat ke- 40 dari 49 negara yang disurvei (Mullis et
al, 2004).
Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyak siswa kelas 5
dan 6, masih belum tuntas atau setidaknya belum cukup mampu mencapai
perubahan kecakapan (aptitude) yang diharapkan dalam menyelesaikan soal
aplikasi matematik secara efektif dan berhasil (Corte, Greer & Verschaffel, 1996;
Schoenfeld, 1992; dalam Arifin, 2008). Selain itu, ditemukan pula bahwa banyak
siswa SD kelas 5 dan 6, memiliki kelemahan-kelemahan dalam
heuristic,
metacognitive, dan aspek-aspek afektif kompetensi matematika. Jika siswa
dihadapkan kepada situasi masalah yang kompleks dan tidak rutin (non-routine),
banyak siswa tidak dapat menerapkan secara spontan strategi
heuristic, seperti:
merinci atau memilah-milah suatu obyek atau permasalahan, menebak dan
mengecek jawaban (Bock, et al,1998; Corte & Somers, 1982; Lester et al, 1989;
Schoenfeld, 1992; Eissen, 1991).
Kelemahan lain yang ditemukan adalah lemahnya siswa dalam
menganalisis soal, memonitor proses penyelesaian, dan mengevaluasi hasilnya,
kurang nampak pada diri siswa. Jenis pendekatan yang digunakan siswa antara
lain: melihat soal secara sepintas, memutuskan dengan cepat kalkulasi apa yang
digunakan untuk memanfaatkan bilangan yang diberikan pada soal, kemudian
meneruskan perhitungan tanpa mempertimbangkan alternatif lainnya, sehingga
belum ada kemajuan yang ditunjukkan pada hasil pekerjaannya (Corte et al, 1996;
Greer, 1992; dalam Arifin, 2008). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa
siswa belum mampu menggunakan strategi
heuristic
dalam menyelesaikan soal
aplikasi matematik.
Rendahnya mutu hasil belajar matematika tersebut, tidak terlepas dari
strategi pembelajarn yang digunakan dalam proses pembelajaran. Sampai saat ini
masih banyak ditemukan, bahwa strategi pembelajaran di kelas masih
didominasi oleh paham strukturalisme atau behaviorisme atau objektivisme yang
tujuannya agar siswa mengingat informasi faktual (Nurhadi dan Senduk, 2003).
Buku teks dirancang, siswa membaca atau diberi informasi, lalu terjadi proses
memorisasi. Demikian pula tujuan pembelajaran dirumuskan sejelas mungkin
untuk keperluan merekam informasi. Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan
mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Aktivitas belajar mengikuti buku teks.
menghapal konsep, dan prosedur untuk dimanfaatkan menyelesaikan soal, dan
kurang membangun kemampuan penalaran siswa, akibatnya siswa mengalami
kesulitan menyelesaikan soal-soal yang membutuhkan penalaran, misalnya soal
bentuk cerita. Guru menyampaikan pelajaran dengan manggunakan metode
ceramah atau ekspositori, sementara para siswa mendengarkan dan mencatat,
sesekali guru bertanya dan sesekali pula siswa menjawab secara serentak, guru
memberi contoh soal kemudian memberi soal-soal latihan yang sifatnya rutin dan
kurang melatih kemampuan berpikir siswa.
Pelaksanaan
pembelajaran
seperti
di
atas,
tentu
tidak
dapat
mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara optimal, karena siswa
cenderung menghapal, belajar lebih diartikan untuk mengejar nilai agar
lulus/naik kelas, siswa pasif, jawaban atas pertanyaan dari guru dijawab serentak
oleh siswa, dan siswa takut bertanya. Hal inilah yang dikritik oleh Freudenthal.
Dia berpendapat, bahwa matematika adalah aktivitas manusia (human activity)
dan semua unsur matematika dalam kehidupan sehari-hari harus diberdayakan
untuk membelajarkan matematika di kelas. Pengetahuan matematika itu dibangun
oleh manusia (mereka yang mengetahui)
by doing mathematics, bukan suatu
barang jadi yang tinggal ditemukan saja (Van Heuvel, 1992). Pandangan ini
didukung oleh filsafat konstruktivisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan itu
dikonstruksi oleh mereka yang mengetahui (Suparno, 1997).
Diakui bahwa berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya
meningkatkan mutu dan kualitas pembelajaran matematika di semua jenjang
yaitu Kurikulum 1975 (Matematika Moderen), Kurikulum 1984, Kurikulum
1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, dan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Peningkatan kualitas guru, melalui pendidikan
formal ataupun pelatihan-pelatihan dan kelompok kerja guru juga terus digalakan.
Namun itu semua tidak membawa perubahan besar dalam pendidikan matematika.
Masih banyak guru pulang dari pelatihan atau kelompok kerja kembali mengajar
dengan cara-cara seperti biasanya (cara lama). Dan juga masih banyak guru yang
belum mendapat kesempatan mengikuti pelatihan ataupun kelompok kerja guru.
Informasi di atas, peneliti peroleh melalui diskusi dengan guru-guru SD dan SMP
di beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara, seperti kabupaten Kolaka,
kabepaten Bombana, kabupaten Konawe Selatan, kabupaten Raha, kota Bau-bau,
dan kota kendari.
-
Cooney (dalam Sumarmo, 2005) menyarankan reformasi pembelajaran
matematika dari pendekatan belajar meniru (menghapal) ke belajar pemahaman
yang berlandaskan pada pendapat
knowing mathematics is doing mathematics
yaitu pembelajaran yang menekankan pada
doing atau proses dibanding dengan
knowing that. Perubahan pandangan pembelajaran di atas, dimaksudkan agar
pembelajaran lebih difokuskan pada proses pembelajaran yang mengaktifkan
siswa untuk menemukan kembali (reinvent) konsep-konsep, melakukan refleksi,
abstraksi, formulasi dan aplikasi. Proses mengaktifkan siswa ini dikembangkan
dengan membiasakan siswa menggunakan kemampuan berpikirnya (berpikir
logis, kritis, dan kreatif) untuk memecahkan masalah dalam setiap kegiatan
berpikir seperti kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah
matematik dalam rangka penigkatkan prestasi belajar matematika dan
kemandirian siswa.
Menurut Johnson (2007), berpikir kreatif bukanlah suatu proses yang
terorganisasi, melainkan sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan
memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan
kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan
membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Hal ini berarti untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif siswa, dibutuhkan adanya latihan secara terus
menerus, ketekunan, disiplin diri, dan perhatian penuh, yang meliputi aktivitas
mental seperti: mengajukan pertanyaan; membangun keterkaitan, khususnya
antara hal-hal yang berbeda; menghubung-hubungkan berbagai hal dengan bebas;
menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru dan
berbeda; dan mendengarkan intuisi. Aktivitas mental seperti ini juga yang
dikembangkan dalam belajar matematika. Belajar matematika merupakan
aktivitas kreatif manusia, dan belajar matematika terjadi apabila siswa dapat
mengembangkan cara efektif untuk memecahkan masalah (de Lange, 1996;
Streefland, 1991; Treffers, 1991; Hadi, 2005).
Untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa,
nampaknya akan lebih menarik bila diawali dengan mengajukan masalah-masalah
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dikenal dan dialami siswa, karena
dengan memberi masalah yang tidak asing baginya, siswa akan merasa tertantang.
akan berusaha mencari solusi/jalan keluar dari masalah tersebut. Guru tidak perlu
mengajari siswa bagaimana menyelesaikan masalah. Siswa harus berlatih
menemukan cara sendiri untuk menyelesaikannya. Soal yang diberikan kepada
siswa hendaknya tidak jauh dari skema yang sudah mereka miliki dalam
pikirannya. Dalam keadaan tertentu guru dapat membantu siswa dengan
memberikan sedikit informasi sebagai petunjuk arah yang dapat dipilih siswa
untuk dilalui. Hal itu dapat dilakukan dengan cara bertanya atau memberi
komentar, apabila semua siswa tidak mempunyai ide bagaimana menyelesaikan
masalah.
Mengingat matematika itu obyek-obyek penelaahannya abstrak, tetapi
harus dipelajarai oleh siswa sejak sekolah dasar, maka dalam pembelajarannya
perlu memperhatikan aspek psikologi anak. Guru yang dapat mengenal dan
memahami karakter dan kemampuan siswanya dengan baik, dapat merupakan
modal awal yang sangat menunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran di
kelas. Dengan diketahui kemampuan siswa-siswanya yang tinggi, sedang dan
rendah, akan sangat membantu guru dalam menyusun rencana pembelajaran dan
pelaksanaannya didepan kelas. Begle (dalam Darhim, 2004) menyatakan bahwa
salah satu faktor prediktor terbaik untuk hasil belajar matematika adalah hasil
belajar matematika sebelumnya, dan peran variabel kognitif lainnya tidak sebesar
variabel hasil belajar matematika sebelumnya. Ini berarti kemampuan yang telah
dimiliki siswa sebelumnya apakah tinggi, sedang, dan rendah akan berkontribusi
dalam tercapainya keberhasilan belajar siswa. Karena itu pengetahuan guru
penting bagi guru untuk memposisikan siswanya dalam pelaksanaan proses
pembelajaran.
Selain itu, perlu diingat bahwa setiap siswa mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam memahami matematika. Galton (dalam Ruseffendi, 1991)
menyatakan bahwa dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan selalu
dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hal ini
disebabkan kemampuan siswa yang menyebar secara distribusi normal. Menurut
Ruseffendi (1991), perbedaan kemampuan yang dimiliki siswa bukan
semata-mata merupakan bawaan dari lahir, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan.
Oleh karena itu, pemilihan lingkungan belajar khususnya pendekatan
pembelajaran menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan artinya pemilihan
pendekatan pembelajaran harus dapat mengakomodasi kemampuan matematika
siswa yang heterogen sehingga dapat memaksimalkan hasil belajar siswa.
Dewasa ini telah berkembang teori-teori pembelajaran masing-masing
dengan berbagai keunggulannya, diantaranya: Konstruktivisme,
Contextual
Teaching and Learning (CTL), dan Pendidikan Matematika Realistik (PMR).
Peneliti meyakini, bahwa PMR dapat mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Hal ini
dimungkinkan karena dalam PMR pembelajaran dimulai dari sesuatu yang riil
sehingga siswa dapat terlibat dalam proses pembelajaran secara bermakna. Peran
guru hanya sebagai pembimbing dan fasilitator bagi siswa. Siswa tidak dapat
dipandang sebagai botol kosong yang harus diisi dengan air. Siswa adalah
Siswa diharapkan aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Bahkan di dalam PMR
diharapkan siswa tidak sekedar aktif sendiri, tetapi ada aktivitas bersama diantara
mereka (interaktivitas). Proses pembelajaran seperti ini, diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan berpikir siswa secara optimal, terutama kemampuan
berpikir kreatif dan pemecahan masalah.
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal di Belanda mengembangkan suatu
pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME
(Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa
itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika
harus diajarkan. Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak boleh dipandang
sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receivers of
ready-made mathematics). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada
penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali
matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak masalah di sekitar siswa yang
dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga
menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi,
yaitu dimulai dari penyelesaian yang terkait dengan konteks (context-link
solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat/strategi dan pemahaman
matematik dari informal ketingkat yang formal. Model-model bervariasi yang
muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di
kelas, sehingga mengarah kepada level berpikir matematik yang lebih tinggi
Freudenthal juga mengkritik pengajaran matematika yang mentransfer
pengetahuan yang dimiliki guru ke pikiran siswa, sebab bertentangan dengan cara
matematikawan menemukan konsep matematika tersebut (Van Heuvel, 1999).
Seharusnya mempelajari matematika itu seperti halnya matematikawan
menemukan konsep-konsep matematika yaitu dengan berbuat, bukan dengan cara
memindahkan konsep-konsep yang sudah ditemukan itu ke dalam pikiran siswa
tanpa memperhatikan bagaimana dulu konsep-konsep itu ditemukan. Menurut
Freudenthal, pembelajaran itu harus dilakukan dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan kembali
(reinvent) konsep-konsep itu dibawah
bimbingan orang dewasa.
Hasil ujicoba terhadap materi kurikulum RME di Belanda, yang diadaptasi
oleh MIC (Mathematics in Context) membuktikan bahwa apabila siswa diberi
kesempatan untuk belajar matematika melalui serangkaian soal-soal kontekstual
yang dirancang sejalan dengan alur berpikir anak, dan dengan bimbingan guru,
mereka mampu membangun konsep matematika. Selain itu, soal-soal kontekstual
yang problematik dan bersifat open-ended akan mampu mendorong interaktivitas
di kelas (Hadi, 2005). Dengan cara ini pelaksanaan pembelajaran matematika di
kelas dapat diubah dari
teacher-centred (berpusat pada guru) menjadi
student-centred learning (berpusat pada siswa).
Dari uraian di atas, timbul pertanyaan: Apakah pembelajaran dengan PMR
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa? Dan apakah pembelajaran dengan
dapat membangun, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuan berpikir
Berbagai literatur menyebutkan bahwa Pendidikan Matematika Realistik
(RME) berpotensi meningkatkan pemahaman matematika siswa (Streefland,
1991; Gravemeijer, 1997; dalam Armanto, 2001). Di Amerika Serikat sejumlah
sekolah telah menggunakan materi kurikulum RME yang dikembangkan atas
kerjasama antara University of Wisconsin dan Institut Freudenthal melalui proyek
MIC (Mathematics in Context). Hasil penelitian pendahuluan terhadap
negara-negara bagian di Amerika Serikat yang menggunakan materi tersebut,
menunjukkan bahwa prestasi siswa dalam ujian nasional meningkat pesat
(Romberg dan de Lange, 1998; dalam Hadi, 2005). Selain itu, beberapa penelitian
yang telah dilakukan, pada umumnya menyimpulkan bahwa PMR dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika siswa (Haji, 2005; Saragih, 2007;
Arifin, 2008). Demikian pula hasil studi di Puerto Rico menyebutkan bahwa
prestasi siswa yang mengikuti program pembelajaran matematika dengan
pendekatan matematika realistik, berada pada persentil ke-90 ke atas (Turmudi,
2004).
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, nampak pentingnya
peningkatan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika di SD, karena hal ini sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika. Dengan dimilikinya kemampuan berpikir kreatif dan
pemecahan masalah, diharapkan berdampak pada pengembangan mental dan
kepribadian siswa serta meningkatnya hasil belajar matematika siswa. Salah satu
pendekatan pembelajaran yang peneliti yakini dapat meningkatkan kemampuan
judul penelitian ini adalah: ”Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan
Pemecahan Masalah Matematik Siswa SD melalui Pendekatan Matematika
Realistik”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan di
atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan seperti berikut:
1.
Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif metamtik siswa yang
pembelajarannya menggunakan PMR lebih baik daripada siswa yang
pembelajarannya menggunakan PMB, ditinjau dari: (a) tingkat
kemampuan siswa tinggi, sedang dan rendah dan (b) secara keseluruhan?
2.
Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR pada tingkat
kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah?
3.
Apakah perbedaan tingkat kemampuan matematik siswa tinggi, sedang,
dan rendah berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematik siswa?
4.
Apakah perbedaan pembelajaran (PMR dan PMB) berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa?
5.
Apakah ada interaksi antara pembelajaran (PMR dan PMB) dengan
tingkat kemampuan matematik siswa tinggi, sedang, dan rendah dalam
peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa?
6.
Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik
daripada kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan PMB,
ditinjau dari: (a) tingkat kemampuan siswa, dan (b) secara keseluruhan?
7.
Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa yang pembelajarannya menggunakan PMR pada tingkat
kemampuan siswa tinggi, sedang, dan rendah?
8.
Apakah perbedaan tingkat kemampuan matematik siswa tinggi, sedang,
dan rendah berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa?
9.
Apakah perbedaan pembelajaran (PMR dan PMB) berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa?
10.
Apakah ada interaksi yang signifikan antara pembelajaran (PMR dan
PMB) dengan tingkat kemampuan matematik siswa tinggi, sedang, dan
rendah dalam peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik?
11.
Bagaimanakah aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, terutama
kinerja dan pola jawaban yang dibuat dalam menyelesaikan soal-soal atau
masalah yang diberikan, pada kelompok siswa yang menggunakan
pendekatan PMR?
12. Bagaimanakah respon siswa terhadap penggunaan pendekatan matematika
realistik?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka
1.
Mengkaji secara komprehensif, peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematik antara kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan
PMR dengan kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan PMB
ditinjau berdasarkan: (a) tingkat kemampuan siswa, dan (b) secara
keseluruhan .
2. Mengkaji secara komprehensif peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematik antara kelompok siswa yang pembelajarannya
menggunakan PMR dengan kelompok siswa yang pembelajarannya
menggunakan PMB ditinjau berdasarkan : (a) tingkat kemampuan siswa,
dan (b). secara keseluruhan.
3.
Mengkaji
secara
komprehensif
aktivitas
siswa
dalam
proses
pembelajaran, terutama kinerja dan pola jawaban yang dibuat siswa,
dalam menyelesaikan soal-soal atau masalah yang diberikan pada
kelompok siswa yang menggunakan PMR.
4. Mengkaji secara komprehensif tanggapan (respon) siswa terhadap
penggunaan pendekatan matematika realistik.
5. Membangun dan mengembangkan model (alur dan strategi) pembelajaran
matematika yang diduga efektif dan efisien, tersusun dalam perangkat
pembelajaran yang menerapkan PMR, instrumen tes kemampuan berfikir
kreatif dan instrumen tes pemecahan masalah matematika untuk siswa
D. Definisi Operasional
Berikut ini disajikan definisi operasional variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Kemampuan berpikir kreatif dalam matematika adalah kemampuan
menemukan dan menyelesaikan soal-soal atau masalah matematika yang
indikator-indikatornya meliputi: (1 Kefasihan/kelancaran (fluency), adalah
kemampuan untuk mengemukakan ide, jawaban, pertanyaan, dan
penyelesaian masalah: (2) Keluwesan
(flexibility), adalah kemampuan
untuk menemukan atau menghasilkan berbagai macam ide, jawaban
atau pertanyaan yang bervariasi; (3) Penguraian
(elaboration),
kemampuan untuk mengembangkan suatu ide, menambah atau
merinci secara detil suatu obyek, ide, dan situasi; (4) Hal yang baru
(originality),
adalah kemampuan untuk memberikan respon-respon yang
unik dan luarbiasa.
2.
Kemampuan pemecahan masalah dalam matematika adalah kemampuan
memecahkan soal-soal atau masalah matematik rutin atau tidak rutin
yang tidak dapat segera dipecahkan dengan mengikuti
langkah-langkah:
memahami
masalah,
membuat
rencana
penyelesaian,
melaksanakan penyelesaian (melakukan perhitungan), dan memeriksa
kembali langkah-langkah pengerjaan dan hasil yang diperoleh.
3.
Pendekatan matematika realistik adalah suatu pendekatan dalam
pembelajaran matematika yang menggunakan prinsip dan karakteristik
progressive mathematizing; (2) fenomenologi didaktik (didactical
phenomenology); dan (3) pengembangan model oleh siswa (self-developed
models). Karakteristik: (1) menggunakan masalah kontekstual; (2)
menggunakan pemodelan; (3) penggunakan kontribusi siswa; (4)
interaktif; dan (5) penggunakan jalinan antar konsep dan antar strategi.
E. Manfaat dan Pentingnya Penelitian
1. Manfaat
Penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan
sumbangan yang berguna untuk pengembangan pendidikan matematika bagi
masyarakat di tanah air tercinta ini, sehingga hasil penelitian ini dapat :
a.
Menjadi alternatif pilihan bagi para guru matematika dalam memilih
pendekatan pembelajaran dalam pengajaran matematika.
b. Menjadi acuan penyusunan perangkat pembelajaran bagi guru matematika
yang menggunakan pendekatan matematika realistik.
c. Berdampak dalam upaya guru/sekolah membangun, mengembangkan, dan
meningkatkan kemampuan matematika siswa, terutama kemampuan
berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematik.
d. Menjadi bahan masukan bagi LPTK dalam mendidik guru/calon guru
matematika.
e. Menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijakan yang terkait
2.
Pentingnya Penelitian
Salah satu aspek penting yang ikut berkontribusi dalam keberhasilan
pendidikan
matematika
adalah
peran
pembelajaran
dalam
rangka
mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Oleh sebab itu upaya
peningkatan proses pembelajaran matematika khususnya tentang
mengembangkan kemampuan berpikir matematik perlu dilakukan sejak dini
dan secara berkesinambungan.
Mengembangkan kemampuan berpikir matematik seperti berpikir
kreatif dan pemecahan masalah, sangat dibutuhkan dalam mempelajari
matematika, ilmu-ilmu lain dan teknologi, dan bagi pengembangan diri serta
sebagai bekal siswa untuk menghadapi tantangan hidup masa kini ataupun
masa mendatang yang semakin tidak menentu. KTSP 2006 dengan jelas
menyebutkan bahwa dalam pembelajaran matematika perlu dikembangkan
kemampuan berpikir dan pemecahan masalah matematik. Namun
kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran matematika di SD, pengembangan
kemampuan berpikir dan pemecahan masalah matematik umumnya kurang
mendapat perhatian. Kebanyakan guru mengajar mtematika menggunakan
cara biasa (tradisional) yang nampaknya kurang mendukung
pengembangan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah
matematik.
Memperhatikan tuntutan kurikulum tersebut, maka pengembangan
kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah seyogyanya
pendekatan
pembelajaran
yang
sesuai
dan
memungkinkan
untuk
mengembangkan
kemampuan-kemampuan
tersebut.
Dalam
hal
ini
pembelajaran dengan pendekatan PMR nampaknya berpotensi untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah
matematik.
Pembelajaran yang menggunakan PMR, dimulai dari mengerjakan
masalah yang langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengerjakan
masalah matematika yang dikenal dan berlangsung dalam kehidupan nyata
(masalah kontekstual), siswa membangun konsep dan pemahaman
matematika mereka dengan menggunakan naluri, insting, daya nalar, dan
konsep yang sudah diketahui. Mereka membentuk sendiri struktur
pengetahuan matematika mereka melalui bantuan guru dengan mendiskusikan
kemungkinan alternatif jawaban yang ada. Membangun konsep dan
pemahaman matematika seperti inilah yang diharapkan dapat menunjang
pengembangan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan
masalah.
Pembentukan konsep dan pemahaman matematik melalui pengerjaan
masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari diharapkan dapat
memberikan beberapa keuntungan kepada siswa, yaitu: (1) siswa dapat lebih
memahami adanya hubungan yang erat antara matematika dan situasi, kondisi,
dan kejadian di lingkungannya, karena banyak budaya di sekeliling mereka
yang mengandung unsur matematika didalamnya; (2) siswa terampil
yang ada dalam dirinya (insting, nalar, logika, dan ilmu). Dalam hal ini
pengembangan
”Learning for living” dan
”life Skill” mendapat porsi yang
sebenarnya; (3) siswa membangun pemahaman pengetahuan matematika
mereka secara mandiri sehingga menumbuh kembangkan rasa percaya diri
yang proporsional dalam bermatematika (siswa tidak takut terhadap pelajaran
matematika). Seiring dengan berkembangnya kemampuan-kemampuan ini,
diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan
matematika khususnya di SD, yang selanjutnya akan menjadi modal dasar
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen, oleh karena itu
pelaksanaannya menggunakan siswa kelompok eksperimen dan siswa kelompok
kontrol. Pada kelompok eksperimen, peneliti memberi perlakuan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan matematika realistik, yang bertujuan untuk
melihat gejala atau dampak yang ditimbulkan pada diri siswa terkait dengan
kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematik.
Selanjutnya untuk melihat gejala yang muncul pada subjek yang diberi perlakuan,
diperlukan kelompok subjek pembanding yang disebut kelompok kontrol. Hal ini
dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan, atau membandingkan nilai
rata-rata kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematik
pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Selain menghadirkan
kelompok pembanding peneliti berupaya semaksimal mungkin melakukan
pengontrolan terhadap variabel-variabel luar yang tidak menjadi fokus kajian
dalam penelitian.
B. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SD se-Kota Kendari
yang berjumlah 117 SD Negeri dan Swasta. Pemilihan siswa SD sebagai subyek
penelitian didasarkan atas pertimbangan: (1) tingkat perkembangan kognitif siswa
SD masih berada pada tahap operasi konkrit, sehingga penerapan pendekatan
matematika yang diberikan dan pengembangan keterampilan yang diinginkan;
(2) berdasarkan hasil studi terdahulu, bahwa penerapan pendekatan matematika
realistik (PMR) di sekolah dasar (SD) memberikan dampak positif terhadap
keaktifan siswa, sikap dan hasil belajar siswa.
Dalam penelitian ini dipilih sekolah dengan level menengah (sedang)
karena pada level ini kemampuan akademik siswanya heterogen, mulai dari yang
terendah sampai dengan yang tertinggi terwakili. Menurut Darhim (2004) sekolah
yang berasal dari level tinggi cenderung memiliki hasil belajar yang lebih baik
tetapi baiknya itu bisa terjadi bukan akibat baiknya pembelajaran yang dilakukan.
Demikian juga dengan sekolah yang berasal dari level rendah, cenderung hasil
belajarnya akan kurang, dan kurangnya itu bisa terjadi bukan akibat kurang
baiknya pembelajaran yang dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini,
sekolah dengan level tinggi dan level rendah tidak dipilih sebagai subyek
penelitian.
Kriteria untuk menentukan level sekolah berdasarkan perangkingan
jumlah nilai ujian akhir sekolah bertaraf nasional (UASBN) tahun 2007/2008 dan
2008/2009, yang dibuat Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara. Proporsi
sekolah peringkat tinggi, sedang, dan rendah yang digunakan untuk menentukan
peringkat tersebut adalah sebagai berikut: peringkat tinggi 20 %, sedang 50%, dan
rendah 30%. Penentuan 50% untuk sekolah peringkat sedang dengan alasan agar
tercapai peluang untuk mendapatkan siswa yang kemampuannya heterogen.
menengah (sedang). Selanjutnya untuk menentukan sampel penelitian, dipilih
secara acak dua SD.
Karena menurut kepala sekolah dan guru-guru kelas, bahwa kemampuan
masing-masing kelas di kedua sekolah tersebut relatif sama; dan peneliti tidak
mungkin mengambil siswa secara acak untuk membentuk kelas baru, maka
peneliti mengambil unit sampling terkecil dari masing-masing sekolah dipilih dua
kelas dari kelas V yang ada. Selanjutnya untuk menentukan kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan pemilihan secara acak dari
masing-masing kelas yang terpilih sebagai subyek penelitian. Pengambilan dua kelas
sebagai kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, dengan harapan agar
diperoleh sampel yang heterogen.
Untuk keperluan kesetaraan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa
pada kedua kelompok subyek penelitian (kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol), maka dilakukan uji normalitas dan homogenitas berdasarkan nilai
matematika siswa pada semester sebelumnya (nilai ulangan semester genap di
kelas IV). Deskripsi pengetahuan awal matematika siswa kedua kelompok
disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 3.1
Deskripsi Pengetahuan Awal Matematika (PAM) Subyek Penelitian
Berdasarkan Nilai Ulangan di Semester Genap Kelas IV
Kelompok N Min Max Mean Deviasi
Standar
Eksperimen 77 40,000 95,000 68,142 12,695
Kontrol 76 45,000 95,000 70,210 12,005
Tabel 3.1 di atas terlihat bahwa nilai rata-rata dan deviasi standar kedua
kelompok data relatif sama, walaupun demikian kebenarannya perlu diuji secara
statistik. Untuk itu, berikut ini akan dilakukan uji normalitas dan homogenitas
varians serta kesetaraan kedua kelompok data. Hasil uji normalitas kedua
kelompok data dapat dilihat pada Lampiran E 1 (halaman 356) sedangkan
[image:30.595.126.510.231.607.2]ringkasannya disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 3.2
Uji Normalitas Distribusi Data PAM
Kelompok Eksperimen dan Kontrol
N
Eksperimen
Kontrol
77
76
Normal
Parameters(a,b)
Mean
68,142
70,210
Std. Deviation
12,695
12,005
Kolmogorov-Smirnov Z
0,720
0,697
Asymp. Sig. (2-tailed)
0,678
0,717
H0: Data berasal dari populasi berdistribusi normal
Dari Tabel 3.2 terlihat bahwa nilai
Z
Kolmogorov-Smirnov untuk
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berturut-turut 0,720 dan 0,697
dengan nilai asimtotik signifikansi masing-masing sebesar 0,678 dan 0,717. Nilai
signifikansi asimtotik ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kedua kelompok data berasal dari populasi yang berdistribusi
normal (H
0diterima). Selanjutnya, untuk menguji homogenitas varians kedua
kelompok data dilakukan uji Levene. Hasil perhitungan selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran E 1 (halaman 356), sedangkan ringkasannya disajikan pada
Tabel 3.3
Uji Homogenitas Varians Data PAM
Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Levene Statistic (F)
Sig.
0,548
0,460
H0: Tidak ada perbedaan variansi
antar kedua kelompok data
Dari Tabel 3.3 terlihat bahwa nilai signifikansi statistik uji Levene
0,460. Nilai signifikansi ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Sehingga
dapat disimpulka bahwa variansi kedua kelompok data sama. Ini berarti kedua
kelompok data memiliki varians yang homogen (H0 diterima). Selanjutnya untuk
mengetahui kesetaraan rata-rata kedua kelompok data, dapat dilihat dari hasil uji t
independent samples test pada Lampiran E 1 (halaman 356) sedangkan
ringkasannya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.4
Hasil Analisis Uji-t Data Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Kelompok
Pengetahuan Awal Matematika
Perbedaan
Rata-rata
t
Sig.
(2-tailed)
H
0Eksperimen
dengan Kontrol
68,142<70,210
-1,035
0,302
Diterima
H0: Tidak ada perbedaan rata-rata kedua kelompok data
Dengan melihat ringkasan hasil analisis pada Tabel 3.4 di atas terlihat
bahwa nilai rata-rata kelompok eksperimen (= 68,142) nilai ini lebih kecil dari
nilai rata-rata kelompok kontrol (= 70,210). Walaupun demikian, dari hasil uji t
diperoleh nilai t sebesar -1,035 dan Sig. (2-tailed) adalah 0,302. Nilai sigifikansi
diterima, atau tidak ada perbedaan rata-rata kedua kelompok data. Hasil ini
memberikan kesimpulan bahwa data PAM kedua kelompok (eksperimen dan
kontrol) setara. Atau dengan kata lain pengetahuan awal matematika kelompok
eksperimen dan kontrol sama.
C. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kelompok kontrol non-ekuivalen
(Ruseffendi, 2005). Pengelompokan siswa ditentukan berdasarkan kategori
tingkat kemampuan matematika (tinggi, sedang, rendah), dengan pembelajaran
menggunakan pendekatan matematika realistik (PMR) dan pendekatan
matematika biasa (PMB). Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan kemampuan
berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa antara
pembelajaran yang menggunakan PMR dengan PMB digunakan desain penelitian
sebagai berikut:
O X O
---
O O
Keterangan:
X : Penerapan pembelajaran matematika realistik
O : Pengukuran tes kemampuan berpikir kreatif, dan tes kemampuan
pemecahan masalah matematik
Pada desain ini, kelompok eksprimen diberi perlakuan pembelajaran
dengan pendekatan PMR (X), dan kelompok kontrol pembelajarannya dengan
pendekatan PMB, kemudian masing-masing kelompok diberi pretes dan postes
Selanjutnya, untuk melihat pengaruh penggunaan kedua pendekatan tersebut
terhadap kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah
matematik, maka dalam penelitian ini melibatkan tingkat kemampuan matematika
siswa (tinggi, sedang, rendah). Keterkaitan antar variabel bebas, terikat, dan
kontrol disajikan dalam model Weiner yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3. 5
Tabel Weiner tentang Variabel Bebas, Terikat,
dan Kontrol (Kemampuan Matematika Siswa)
ASPEK YANG DIUKUR BERPIKIR KREATIF PEMECAHAN MASALAH
PENDEKATAN PEMBELAJARAN PMR (KKA) PMB (KKB) PMR (KMA) PMB (KMB) KELOMPOK SISWA
TINGGI (T) KKAT KKBT KMAT KMBT
SEDANG(S) KKAS KKBS KMAS KMBS
RENDAH(R) KKAR KKBR KMAR KMBR
Keterangan:
KKA
: Kemampuan berpikir kreatif siswa kelompok eksperimen
menggunakan pendekatan matematika realistik.
KKAT
: Kemampuan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan matematika realistik kelompok kemampuan tinggi.
KKAS
: Kemampuan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan matematika realistik kelompok kemampuan sedang.
KKAR
:
Kemampuan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan mate matika realistik kelompok kemampuan rendah.
KKB
: Kemampuan berpikir kreatif siswa kelompok kontrol menggunakan
pendekatan matematika biasa.
KKBT
: Kemampuan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan matematika biasa kelompok kemampuan tinggi.
KKBS
: Kemampuan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan
pendekatan matematika biasa kelompok kemampuan sedang.
[image:33.595.123.506.240.743.2]KMA
:
Kemampuan pemecahan masalah siswa kelompok eksperimen
menggunakan pendekatan matematika realistik.
KMAT
:
Kemampuan pemecahan masalah siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan matematika realistik kelompok kemampuan
tinggi.
KMAS
: Kemampuan pemecahan masalah siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan matematika realistik kelompok kemampuan
sedang.
KMAR
: Kemampuan pemecahan masalah siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan matematika realistik kelompok rendah.
KMB
: Kemampuan pemecahan masalah siswa kelompok kontrol
menggunakan pendekatan matematika biasa.
KMBT
:
Kemampuan pemecahan masalah siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan matematika biasa kelompok kemampuan
tinggi.
KMBS
: Kemampuan pemecahan masalah siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan matematika biasa kelompok kemampuan
sedang.
KMBR
: Kemampuan pemecahan masalah siswa yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan matematika biasa kelompok kemampuan
rendah.
D. Instrumen Penelitian
Salah satu komponen penting dalam sebuah penelitian adalah tersedianya
instrumen yang baik serta dapat diandalkan untuk menjaring dan mengumpulkan
data penelitian sesuai dengan kebutuhan penelitian. Instrumen yang digunakan
dalam kegiatan penelitian ini adalah: tes kemampuan berpikir kreatif, tes
kemampuan pemecahan masalah matematik, lembar observasi, pedoman
wawancara, dan angket respon siswa. Agar instrumen-instrumen tersebut
memenuhi kriteria baik dan dapat diandalkan, maka sebelum digunakan terlebih
dahulu dikembangkan (diuji validitas dan reliabilitasnya). Secara terperinci
pengembangan instrumen penelitian tersebut beserta hasil-hasilnya diuraikan
1.
Tes Kemampuan Berpikir Kreatif
Tes untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif (KBK) ini disusun dan
dikembangkan oleh peneliti berdasarkan prosedur penyusunan instrumen
yang baik dan benar. Indikator yang diukur dalam tes tersebut adalah:
kefasihan/kelancaran
(fluency),
keluwesan
(flexibility),
peguraian
(elaboration), dan hal yang baru (originality). Tes kemampuan berpikir kreatif
terdiri dari 8 butir soal, setiap indikator kemampuan berpikir kreatif
masing-masing diukur dengan dua butir soal. Uraian yang lebih jelas, dapat dilihat
pada tabel spesifikasi tes kemampuan berpikir kreatif Lampiran C 1.1
(halaman 314)
Tes kemampuan berpikir kreatif yang dikembangkan berbentuk tes
uraian. Sebelum tes tersebut digunakan, terlebih dahulu dilakukan validasi
tampilan (muka) dan isi oleh pembimbing, dosen/pakar pendidikan
matematika realistik, dan guru SD sebagai penimbang. Validasi tampilan
(muka), meliputi: kejelasan dari segi bahasa, kejelasan dari sisi format
penyajian, kejelasan dari segi gambar/ representasi. Validasi isi, meliputi:
kesesuaian dengan materi pokok, kesesuaian dengan indikator pencapaian
hasil belajar, kesesuaian dengan karakteristik kemampuan berpikir kreatif
matematik, kesesuaian dengan tingkat kesukaran siswa kelas V SD. Kepada
masing-masing penimbang diberikan perangkat tes dan kisi-kisinya serta
lembar penilaian, untuk memberikan penilaiannya terhadap kesesuai setiap
yang telah disediakan serta memberikan komentar terhadap item tes tersebut
bila diperlukan pada kolom yang telah disediakan. Hasil pertimbangan lima
orang penimbang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.6
Hasil Pertimbangan Validasi Tampilan Tes KBK
No
Penimbang
Hasil Pertimbangan Setiap Butir
1
2
3 4
5
6
7
8
1
PNB 1
1
1
1
1
1
1
1 1
2
PNB 2
1
1 1 1 1
1
1
1
3
PNB 3
1
1
1
1
1
1
1
1
4
PNB 4
1
1
1
1
1
1
1
1
5
PNB 5
1
1
1 1 1
1
1
1
Keterangan : Angka 1 berarti butir soal valid
Angka 0 berarti butir soal tidak valid
Dari Tabel 3.6 terlihat bahwa lima penimbang menyatakan semua butir
valid. Ini berarti lima penimbang telah memberikan pertimbangan yang
seragam terhadap validitas tampilan tes kemampuan berpikir kreatif. Dengan
demikian, dari aspek validitas tampilan, instrumen kemampuan berpikir
kreatif yang disusun layak digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya hasil
[image:36.595.124.509.205.626.2]Tabel 3.7
Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes KBK
No
Penimbang
Hasil Pertimbangan Setiap Butir
1
2
3 4
5
6
7 8
1
PNB 1
1
1
1
1
1
1
1 1
2
PNB 2
1
1 1 0 1
1
1 1
3
PNB 3
1
1
1
1
1
1
1 1
4
PNB 4
1
1
1
1
1
1 1 1
5
PNB 5
1
1
1
1
1
1
1 1
Keterangan : Angka 1 berarti butir soal valid
Angka 0 berarti butir soal tidak valid
Hasil pertimbangan validitas isi oleh lima orang penimbang tersebut
dianalisis dengan menggunakan statistik Q-Cochran. Analisis ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui apakah para penimbang telah melakukan
penilaian atau penimbangan terhadap isi naskah tes kemampuan berpikir
kreatif secara seragam atau tidak. Berikut ini adalah hipotesis yang diuji
dalam analisis statistik Q-Cochran.
H0 : Para penimbang melakukan pertimbangan yang seragam
H
a: Para penimbang melakukan pertimbangan yang berbeda.
Dengan kriteria pengujian: H0 diterima jika nilai probabilitas 0,05.
Sebaliknya H0 ditolak jika nilai probabilitas
≤0,05. Ringkasan hasil uji
[image:37.595.128.510.121.594.2]keseragaman pertimbangan para penimbang disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 3.8
Uji Keseragaman Pertimbangan
terhadap Validitas Isi Tes KBK
N 8
Cochran’s Q 4,000a
Df 4
[image:37.595.215.465.633.729.2]Dari Tabel 3.8 terlihat bahwa Asymp.Sig = 0,406. Nilai probabilitas ini
lebih besar dari 0,05, ini berarti bahwa H0 diterima pada taraf signifikansi
yang diajukan, sehingga dapat disimpulkan bahwa lima penimbang telah
memberikan pertimbangan yang seragam terhadap setiap butir tes kemampuan
berpikir kreatif. Dengan demikian, dari aspek validitas isi, instrumen
kemampuan berpikir kreatif yang disusun layak digunakan dalam penelitian
ini.
Selain melakukan uji validitas tampilan dan isi, pada tes kemampuan
berpikir kreatif peneliti juga melakukan uji validitas konkuren. Uji validitas
konkuren ini berdasarkan data skor yang diperoleh siswa setelah instrumen di
uji cobakan. Uji coba tes kemampuan berpikir kreatif ini, diberikan kepada 39
siswa SD kelas VI (SD 3 Baruga) sebagai sampel uji coba. Dipilihnya siswa
kelas VI, dengan pertimbangan bahwa mereka telah mempelajari materi yang
di uji cobakan ketika di kelas V. Dari data hasil uji coba yang diperoleh,
selanjutnya dianalisis reliabilitas, validitas masing-masing butir tes. Hasil
analisis reliabilitas tes kemampuan berpikir kreatif dapat dilihat pada tabel
[image:38.595.129.512.239.698.2]berikut ini.
Tabel 3.9
Hasil Uji Reliabilitas Tes KBK
dengan Menggunakan Uji Cronbach Alpha
Cronbach's Alpha N of Items
0,810 8
Dari analisis reliabilitas tes kemampuan berpikir kreatif dengan
Dengan menggunakan kriteria yang diajukan oleh Guilford (dalam Suherman,
[image:39.595.126.510.183.714.2]2003) yaitu:
Tabel 3.10
Interpretasi Koefisien Reliabilitas
Koefisien Reliabilitas
Interpretasi
0,90
≤
r11
≤
1,00
Sangat tinggi
0,70
≤
r11 < 0,90
Tinggi
0,40
≤
r11 < 0,70
Sedang
0,20
≤
r
11< 0,40
Rendah
r11 < 0,20
Sangat rendah
Nilai r = 0,810 ini tergolong tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa tes
kemampuan berpikir kreatif ini memiliki keterandalan yang tinggi.
Selanjutnya, analisis validitas butir dilakukan dengan menggunakan
Pearson
Correlation. Hasil analisis validitas delapan butir tes kemampuan berpikir
kreatif selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran D 3 (halaman 351 )
sedangkan rangkumannya disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 3.11
Hasil Analisis Validitas Butir Tes KBK
No.
Butir
Pearson
Correlation (r)
Sig.
(2-tailed)
Kriteria
1
0,640
0,000
Valid
2
0,776
0,000
Valid
3
0,690
0,000
Valid
4
0,383
0,016
Valid
5
0,812
0,000
Valid
6
0,571
0,000
Valid
7
0,536
0,000
Valid
Dari Tabel 3.11 di atas, terlihat bahwa hasil uji validitas kedelapan
butir tes kemampuan berpikir kreatif menunjukkan, butir nomor 1, 2, 3, 5, 6,
7, dan 8 memiliki nilai signifikansi 0,000 yang lebih kecil dari 0,05, dan butir
nomor 4 memiliki nilai signifikansi 0,016 lebih kecil dari 0,05. Ini berarti
kedelapan butir soal kemampuan berpikir kreatif tersebut valid. Karena tes
kemampuan berpikir kreatif ini memiliki keterandalan tinggi, dan semua butir
valid, berarti tes ini merupakan tes yang baik dan dapat digunakan sebagai alat
pengumpul data penelitian.
2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah (KPM) ini
disusun dan dikembangkan oleh peneliti berdasarkan prosedur penyusunan
instrumen yang baik dan benar. Indikator yang diukur dalam tes ini adalah:
memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan penyelesaian
atau melakukan perhitungan, dan memeriksa langkah-langkah penyelesaian
dan hasil yang diperoleh. Tes kemampuan pemecahan masalah yang yang
disusun terdiri dari delapan butir soal, dan setiap indikator pemecahan
masalah masing-masing diukur dengan menggunakan dua butir soal. Uraian
lebih jelas dapat dilihat pada tabel spesipikasi tes kemampuan pemecahan
masalah Lampiran C 2.1 (halaman 327).
Tes kemampuan pemecahan masalah yang disusun berbentuk tes
uraian. Sebelum tes tersebut digunakan, terlebih dahulu dilakukan validasi
matematika realistik, dan guru SD sebagai penimbang. Validasi
tampilan,
meliputi: kejelasan dari segi bahasa, kejelasan dari sisi format penyajian,
kejelasan dari segi gambar/ representasi. Validasi isi, meliputi: kesesuaian
dengan materi pokok, kesesuaian dengan indikator pencapaian hasil belajar,
kesesuaian
dengan kemampuan pemecahan masalah matematik, kesesuaian
dengan tingkat kesukaran siswa kelas V SD. Kepada para penimbang
diberikan perangkat tes dan kisi-kisinya serta lembar penilaian. Penimbang
memberikan penilaiannya terhadap kesesuai setiap indikator dengan cara
menulis angka 1 (valid) atau angka 0 (tidak valid) pada kolom yang telah
disediakan serta memberikan komentar terhadap item tes tersebut bila
diperlukan pada kolom yang telah disediakan. Hasil pertimbangan 5 orang
[image:41.595.130.508.240.660.2]penimbang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.12
Hasil Pertimbangan Validasi Tampilan Tes KPM
No
Penimbang
Hasil Pertimbangan Setiap Butir
1
2
3
4
5
6
7
8
1
PNB 1
1
1
1
1
1
1
1 1
2
PNB 2
1 1 1 1 1
1
1
1
3
PNB 3
1
1
1
1
1
1
1
1
4
PNB 4
1
1
1
1
1
1
1
1
5
PNB 5
1
1
1 1 1
1
1
1
Keterangan : Angka 1 berarti butir soal valid
Angka 0 berarti butir soal tidak valid
Dari Tabel 3.12 terlihat bahwa lima penimbang menyatakan semua
butir valid. Ini berarti lima penimbang telah memberikan pertimbangan yang
matematik. Dengan demikian dari aspek validitas tampilan, instrumen
kemampuan pemecahan masalah yang disusun layak digunakan dalam
penelitian ini. Selanjutnya hasil pertimbangan validasi isi disajikan pada tabel
[image:42.595.130.507.234.611.2]berikut.
Tabel 3.13
Hasil Pertimbangan Validasi Isi Tes KPM
No
Penimbang
Hasil Pertimbangan Setiap Butir
1
2
3 4
5
6
7 8
1
PNB 1
1
1
1
1
1
1
1 0
2
PNB 2
1 1 1 1 1
1
1 1
3
PNB 3
1
1
1
1
1
1
1 1
4
PNB 4
1
1
1
1
1
1 1 1
5
PNB 5
1
1
1
1
1
1
1 1
Keterangan : Angka 1 berarti butir soal valid
Angka 0 berarti butir soal tidak valid
Hasil pertimbangan validitas isi oleh lima orang penimbang tersebut
dianalisis dengan menggunakan statistik Q-Cochran. Analisis ini dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui apakah para penimbang telah memberikan
penilaian atau penimbangan terhadap isi naskah tes kemampuan pemecahan
masalah matematik secara seragam atau tidak.