• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR PENGHAMBAT ALOKASI LUAS LAHAN KEBUN PLASMA SEBAGAI SYARAT PEROLEHAN HAK GUNA USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR PENGHAMBAT ALOKASI LUAS LAHAN KEBUN PLASMA SEBAGAI SYARAT PEROLEHAN HAK GUNA USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR PENGHAMBAT ALOKASI LUAS LAHAN KEBUN PLASMA SEBAGAI SYARAT PEROLEHAN

HAK GUNA USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Oleh :

MUTIARA PANJAITAN ABSTRACT

The research used descriptive juridical normative method with statue approach.

Secondary data were obtained from primary, secondary and tertiary legal materials.

They were gathered by conducting library research and field research method as well as interview and analyzed qualitatively. The result of the research shows that there is the difference or overlapping in the regulation on allocating plasma plantation to the people, based on Permentan RI No. 98/2013 and Permen No. 7/2017. The inhibiting factors in allocating plasma plantation by oil palm plantations were that the regulation was not consistent and the mechanism of implementing it was uncertain.

The effort to solve them was by completing the regulation of plantation licensing among the government agencies, especially the Ministry of Agriculture and the Ministry of Agrarian Affairs and Layout.

Key Words : Plasma Plantation, Allocation of Land Area, Leasehold, Oil Palm Plantation

I. Pendahuluan

Kehadiran perusahaan pada suatu daerah akan memberikan kesejahteraan hidup bagi masyarakat sekitar.1 Salah satunya adalah perusahaan yang bergerak pada sektor industri perkebunan kelapa sawit yang dapat memberikan kesejahteraan melalui penyediaan lowongan pekerjaan yang padat karya serta dari peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat melalui

1 Menurut teori stakeholder menyatakan bahwa kewajiban dasar manajemen bukanlah untuk memaksimalkan keberhasilan keuangan perusahaan, tetapi untuk memastikan kelangsungan hidupnya dengan menyeimbangkan tuntutan yang saling bertentangan dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Perusahaan harus dikelola untuk kepentingan daripada stakeholder, pelanggan, pemasok, pemilik, karyawan, dan masyarakat lokal. Hak-hak kelompok-kelompok tersebut harus dipastikan dan lebih jauh lagi kelopok tersebut harus berpartisipasi dalam beberapa keputusan yang secara substansial mempengaruhi kesejahteraan mereka. Lihat : Martono Anggusti, “Pengaturan Pengelolaan Perusahaan Untuk Kesejahteraan Tenaga Kerja”, Disertasi, Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015, hlm. 10-11.

(2)

penyediaan lahan plasma kelapa sawit seluas 2 (dua) hektar atau lebih sesuai ketentuan yang berlaku.2

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian RI No.

98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, bahwasanya “Perusahaan perkebunan yang mengajukan Izin Usaha Perkebunan-Budidaya (IUP-B) atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan luas 250 (dua ratus lima puluh) hektar atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20% (dua puluh persen) dari luas areal IUP-B atau IUP”.

Kewajiban penyediaan kebun plasma juga turut menjadi salah satu persyaratan perolehan hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU) oleh Perusahaan, sebagaimana ditetapkan pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, yang pada Pasal 40 huruf (k) dan Pasal 41 bahwasanya : “Salah satu kewajiban Pemegang HGU adalah : k. Memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas tanah yang dimohon HGU untuk masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan (plasma) sesuai dengan izin kegiatan usaha dari instansi teknis yang berwenang, dan permohonan hak atas tanah kemitraan (plasma) tersebut diajukan bersamaan dengan permohonan HGU perusahaan”.

Dapat disimpulkan areal kebun masyarakat (kebun plasma) juga akan dimohonkan haknya oleh Pemegang HGU. Dengan kata lain, permohonan HGU Plasma harus bersamaan dengan HGU Perusahaan (Pemegang HGU).

Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juga telah mengatur mengenai pemanfaatan tanah masyarakat atau tanah ulayat masyarakat untuk kegiatan perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 55 huruf (b), yang berbunyi :

“Setiap Orang secara tidak sah dilarang : b. mengerjakan, menggunakan,

2 Harian Bisnis Indonesia, “Sofyan Djalil : Pengusaha Sawit Wajib Bangun Kebun Plasma”, diterbitkan pada hari Kamis, tanggal 02 Februari 2017. Lihat juga : Majalah Tempo,

“Sofyan Djalil : BPN, Pengusaha Sawit Wajib Bangun Kebun Plasma”, diterbitkan pada hari Kamis, tanggal 02 Februari 2017.

(3)

menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan”.

Dengan dasar Pasal 55 huruf b Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, maka bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib hukumnya tunduk dan patuh terhadap seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai usaha perkebunan, termasuk tapi tidak terbatas pada Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha. Kewajiban membangun areal perkebunan masyarakat (plasma) diatur dalam ketentuan tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam melakukan implementasi ketentuan tersebut.

Secara tidak sah berarti tidak dikelola sebagaimana ketentuan yang berlaku atau biasa disebut dengan istilah penyerobotan lahan masyarakat tanpa kesepakatan ganti rugi terlebih dahulu.3 Kesepakatan ganti rugi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa metode, tergantung asal muasal serta status tanah yang akan dikelola. Jika tanah tersebut berstatus tanah hak ulayat masyarakat adat, maka wajib dimusyawarahkan oleh pelaku usaha perkebunan bersama komunitas adat tersebut pada sebelum mengajukan permohonan HGU.4 Ganti rugi yang dilakukan sebelum permohonan HGU ini sangat erat kaitannya dengan pembagian hak plasma kepada masyarakat yang menyerahkan lahannya kepada perusahaan, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 15 ayat (4) Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang berbunyi :

“Masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta kebun masyarakat yang mendapatkan kebun plasma, adalah :

3 Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

4Website HukumOnline.com, “Tanah Ulayat”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6522/tanah-ulayat., diakses pada hari Selasa, tanggal 21 Maret 2018.

(4)

a. masyarakat yang lahannya digunakan untuk pengembangan perkebunan dan berpenghasilan rendah sesuai peraturan perundang- undangan;

b. harus bertempat tinggal di sekitar lokasi IUP-B atau IUP; dan c. sanggup melakukan pengelolaan kebun”.

Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dapat disimpulkan lahan masyarakat yang dipakai untuk usaha perkebunan tidak boleh diserobot harus dilakukan ganti rugi. Masyarakat yang lahan miliknya digunakan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit memiliki hak atas plasma secara proporsional dari total luasan plasma yang ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku. Hak tersebut mutlak harus difasilitasi perusahaan perkebunan dan diperuntukkan kepada masyarakat. Pemberian areal perkebunan plasma tersebut, pada kenyataannya sering dimusyawarahkan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat. Wilayah plasma adalah wilayah yang merupakan suatu kesatuan usaha yang layak secara ekonomi untuk dikembangkan oleh petani peserta. Dalam mewujudkan pola kemitraan dalam perkebunan kelapa sawit ini diperlukan peran dari perusahaan inti, KUD, bank, dan petani plasma.5

Bukan sebaliknya, bermusyawarah setelah ada penetapan HGU tersebut, bahkan musyawarah yang mengandung kepalsuan pada pasca terjadinya konflik. “Kejujuran” pengusaha perkebunan kelapa sawit juga dituntut “terbuka” menjelaskan secara pasti bahwa lahan kebun plasma “berada di luar lahan Izin Hak Guna Usaha (HGU) atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) tersebut” atau sebaliknya justru “berada di dalam luasan IUP/HGU tersebut”

sesuai Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian RI No.

98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Menurut peraturan perundang-undangan, memang lahan kebun plasma berada di dalam luasan IUP/HGU. Namun, jika Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pertanian RI berkata lain, hal inilah yang menjadi masalah. Jika memang peraturan perundang-undangan berkata benar,

5 Yan Fauzi, dkk., Kelapa Sawit : Budi Daya, Pemanfaatan Hasil, dan Analisis Usaha dan Pemasaran, Cet. Ke-1, (Jakarta : Penebar Swadaya, 2012), hlm. 23.

(5)

mungkin salahnya pada transparansi penyampaian informasi sejak awal, sehingga masyarakat tidak tahu. Lebih dari itu, mengapa masyarakat peserta plasma dari kalangan Transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Trans) tersebut dapat lahan dari perusahaan sawit.6 Sedangkan, masyarakat adat setempat harus menyediakan lahan sendiri di luar HGU. Inilah letak permasalahannya, sehingga aspek Informed (diinformasikan terlebih dahulu) dalam FPIC (Free, Prior, Informed and Consent) dalam dunia investasi sangat penting diperlukan.7

Semua harus jelas diinformasikan pada sebelumnya, baik oleh pemerintah maupun perusahaan. Tidak hanya itu, tetapi juga mengenai pengadaan tanah dan/atau pengelolaan kebun plasma melalui sistem perkoperasian, agar pihak perusahaan tidak mendayagunakan peran orang- perorangan sebagai pemilik atau pengelola “koperasi tertentu” untuk menjadi

“kambing hitam” pemulusan urusan pengadaan tanah dan pengelolaan kebun plasma, khususnya bagi masyarakat adat setempat sebagai pemilik hak ulayat.8

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis mencoba mengkaji mengenai luasan kebun plasma yang ditentukan oleh pemerintah sebagai regulator terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diserahkan kepada masyarakat adat. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI No.

98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa lahan kebun plasma diberikan sebanyak 20% dari Izin Usaha Perkebuna (IUP). Sementara, Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga mengatur mengenai pembangunan kebun untuk masyarakat (kebun plasma) bagi perusahaan untuk mengajukan permohonan HGU agar disetujui adalah “paling rendah seluas 20% (dua puluh persen) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan” sebagaimana ternyata dituangkan dalam

6 Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

7 FPIC (Free, Prior, Informed and Consent) adalah prinsip persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal. Sumber : Forest Peoples Programme, “Free, Prior and Informed Consent : A Field Guide for Activists”, 1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh, Naskah Kerja, Maret 2006.

8 Daniel Yarawobi, “Siaran Pers Suku Besar Yerisiam Gua Kampung Sima Distrik Yaur Kabupaten Nabire-Papua”, diterbitkan hari Minggu, tanggal 27 Maret 2016.

(6)

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.

Terjadinya dualisme regulasi tersebut mengakibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit kesulitan untuk melakukan implementasi peraturan perundang-undangan. Peraturan yang mana mau diterapkan, di satu sisi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, kebun plasma yang diserahkan kepada masyarakat adalah seluas 20% dari luasan IUP. Di sisi lain, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, kebun plasma yang wajib diserahkan kepada masyarakat “paling sedikit” 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan.9 Ditambah lagi, perusahaan harus melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.10

Pertimbangan luas permohonan HGU, umumnya selalu lebih kecil dari luasan Izin Usaha Perkebunan (IUP) adalah, misalnya diketahui bahwa berdasarkan kondisi faktual di lapangan :

1. Masyarakat pemilik tanah tidak bersedia untuk diganti rugi oleh perusahaan perkebunan;

2. Areal tidak layak untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit (alasan teknis mengenai ketinggian, jenis tanah, dan lain-lain);

3. Adanya kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai larangan/

penundaan permohonan hak/izin pada areal tertentu, contohnya adalah ketentuan mengenai areal yang terindikasi berada pada Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Areal yang terindikasi berada pada PIPPIB, tidak dapat dimohonkan HGU.

9 Pasal 40 ayat (1) huruf k Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.

10 Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

(7)

Faktor-faktor tersebut di atas, otomatis mengakibatkan luasan permohonan HGU sangat mungkin jauh lebih kecil dari luasan IUP yang dimiliki. Apabila mengikuti peraturan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang, dimana luasan HGU sudah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, maka sangat mungkin bahwa areal yang dialokasikan untuk plasma menjadi lebih sedikit. Hal ini dikarenakan acuan perhitunganya adalah 20% dari luas HGU yang dimohonkan. Sementara, apabila mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian RI, dimana alokasi lahan plasma adalah seluas 20% dari luasan IUP yang dimiliki perusahaan perkebunan.

Dengan adanya dualisme peraturan ini, masyarakat cenderung menuntut pembagian plasma dengan mengacu kepada IUP yang dimiliki oleh Perusahaan (Peraturan Menteri Pertanian). Namun, di sisi lain, bagi perusahaan, dengan pertimbangan investasi yang telah dikeluarkan akan selalu mengacu kepada regulasi yang menguntungkan perusahaan, sepanjang keputusan pemberian plasma tersebut tetap memiliki landasan hukum yang jelas, yaitu dengan mengacu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka banyak timbul permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini, yaitu : bagaimana faktor penghambat alokasi luas lahan kebun plasma sebagai syarat perolehan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

II. Metodologi

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sifat penelitian adalah deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan dan studi lapangan dengan alat pengumpulan data berupa wawancara. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif.

(8)

III. Pembahasan

Kewajiban Mengalokasikan Kebun Masyarakat (Lahan Plasma) Dalam Perolehan Status Hak Guna Usaha (HGU) oleh Perkebunan Kelapa Sawit

Adanya pengaturan tentang kewajiban mengalokasikan pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan di atas mengandung suatu ratio legis atau dasar pertimbangan bahwa luas areal yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan dalam bentuk HGU dan hasil dari usaha dari kegiatan perkebunan tidak hanya dikuasai dan dinikmati sendiri oleh perusahaan perkebunan. Akan tetapi, perusahaan perkebunan harus berbagi kepada masyarakat. Tujuan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas minimal 20% dari total lahan yang dimiliki perusahaan perkebunan tersebut tidak lain agar pekebun dan/atau masyarakat di sekitar perkebunan juga turut serta mendapatkan kemanfaatan dan menikmati kesejahteraan dari adanya kegiatan usaha perkebunan. Sehingga dampak sosial dari kesenjangan sosial ekonomi bisa dihindari.11

Dengan demikian, dari segi filosofis diharapkan dapat mewujudkan adanya kepastian hukum, keadilan dan kesejahteraan masyarakat; dari segi yuridis, untuk mengatur secara jelas dan tegas tentang hak dan kewajiban dari perusahaan perkebunan dan para pemangku kepentingan perkebunan lainnya;

dari segi sosiologis, dimaksudkan untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi para pelaku usaha perkebunan sekaligus juga untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar perkebunan serta negara secara luas.12

Pada akhirnya, pengaturan tersebut dapat dikatakan sebagai sarana untuk menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan/kesejahteraan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam pembangunan dan pengelolaan usaha perkebunan dan bangsa Indonesia secara luas. Peraturan pelaksanaan dari amanat pengaturan yang ada dalam Pasal 58, Pasal 59 dan Pasal 60 UU Perkebunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah beserta turunannya harus

11 Majalah Hortus Archipelago, “Ermanto Fahamsyah : Ratio Legis Kewajiban Fasilitasi Kebun Masyarakat 20%”, Vol. 74 November 2018, hlm. 49.

12 Ibid.

(9)

segera diterbitkan. Hal ini sangat penting untuk memberikan dasar hukum yang bersifat operasional guna menghindari kemungkinan terjadinya kerancuan dan multitafsir bagi para pelaku usaha, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan lainnya dalam implementasinya. Sehingga cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai oleh negara melalui pembangunan perkebunan dapat tercapai.13

Selain kewajiban untuk mengalokasikan Pembangunan Kebun Masyarakat seluas 20% tersebut, perusahaan perkebunan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) juga diwajibkan untuk melakukan Corporate Social Responsibility atau Community Development. CSR atau CD tersebut terdapat dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Besaran anggaran yang diwajibkan kepada perseroan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, memang tidak disebutkan berapa besaran atau persentase nominal yang dianggarkan untuk Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan tersebut. Hal ini tentunya memberatkan perusahaan perkebunan yang sudah memberikan 20% areal lahan plasma kepada masyarakat.

Diperlukan penelitian lanjutan mengenai hal ini, apakah 20% areal lahan plasma yang diberikan kepada masyarakat oleh perusahaan perkebunan sudah dapat dianggap sebagai bentuk Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan perusahaan.

Berdasarkan teori hierarki peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya undang-undang yang lebih rendah bergantung kepada undang-undang yang lebih tinggi. Dalam hal ini, Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 UU Perkebunan telah memerintahkan untuk segera membuat peraturan turunan mengenai Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Namun, peraturan yang dibuat adalah dalam tingkatan Peraturan Menteri, dimana aturan tersebut berlaku secara internal kepada lembaga yang mengeluarkannya sehingga perusahaan perkebunan wajib untuk mematuhinya.

13 Ibid.

(10)

Perjanjian Kemitraan Inti Plasma Dengan Perkebunan

Adapun sejumlah kecenderungan kondisi tidak menguntungkan bagi petani dalam perjanjian kemitraan plasma setelah menelaah sejumlah kerjasama plasma beberapa perusahaan besar swasta perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dengan masyarakat per individu maupun koperasi, antara lain14 :

1. “Sebagian tanah/lahan yang dijadikan kebun plasma ternyata adalah tanah/lahan yang berasal dari tanah warga sendiri, bukan tanah/lahan dari areal konsesi perkebunan inti yang seharusnya disisihkan sejumlah tertentu untuk menjadi lahan plasma/kemitraan;

2. Perusahaan perkebunan tidak akan mau mengurangi areal konsesinya untuk dijadikan kebun plasma;

3. Setelah memastikan bahwa lahan/atanah masyarakat diserahkan untuk kebun plasma/kemitraan, perkebunan inti juga selalu menekankan agar lahan tidak ada permasalahan apapun, bila ada masalah saat itu atau kemudian hari, maka menjadi tanggung jawab warga atau koperasi warga;

4. Ketika lahan/tanah diserahkan kepada perkebunan inti untuk kemudian diagunkan kepada bank dan untuk dikelola, maka lahan tersebut kemudian tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan inti, meskipun kredit plasma telah lunas;

5. Perkebunan inti diduga menyuruh plasma/kelompok untuk mengurus perizinan dan lain-lainnya dengan menyediakan dana talangan yang kemudian dianggap utang plasma. Dana talangan tersebut dimasukkan sebagai utang plasma, meskipun alokasi penggunaannya tidak terlalu jelas, bahkan bisa saja digunakan untuk praktik sogok, suap, dan “servis” kepada pejabat yang berhubungan dengan izin.

6. Perkebunan inti mewajibkan plasma menjual hasil panen Tanda Buah Segar (TBS) kepada kebun inti bahkan sampai setelah selesainya kredit plsama, yaitu sampai satu siklus tanam sekitar 25 tahun. Dampaknya, tidak ada kesempatan bagi petani plasma untuk mendapatkan harga yang lebih bersaing.

7. Perkebunan inti tidak transparan dalam menentukan harga dan tonase TBS yang diserahkan kepada pabrik dari perkebunan inti, kemudian dikatakan sebagai harga patokan pemerintah atau harga pasar.

8. Perkebunan inti juga tidak jarang ikut campur menyeleksi anggota kelompok, bahkan tidak jarang manajemen inti memasukkan orang- orang yang menjadi koleganya, atau karyawannya atau bahkan top manajemen dari perkebunan inti sebagai peserta plasma, untuk

14 Ibid.

(11)

mengamankan usahanya dan menguasai koperasi, baik itu pejabat ataupun lainnya.

9. Perkebunan inti tidak transparan dalam pengajuan dan pembayaran kredit ke bank. Kelompok plasma hanya disodorkan hasil akhir yang tidak pernah dilaporkan secara terbuka. Selain itu, ada biaya- biaya yang seharusnya sudah ter-cover dari kredit yang diajukan ke bank masih dianggap sebagai biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan inti, sehingga perusahaan inti memotong hasil panen lagi, selain biaya pelunasan kredit, yaitu biaya operasional, biaya investasi, biaya sarana dan prasarana dan juga biaya siluman berupa upah manajemen.

10. Setelah dipaksa menjual TBS kepada pabrik kelapa sawit milik perkebunan inti, plasma masih harus juga menyetor/dipotong biaya sebesar 5% sebagai management fee dari hasil panen TBS.

Perkebunan inti berdalih memberikan bantuan untuk pengembangan organisasi (institusional building) koperasi atau kelompok warga, tetapi dimasukkan sebagai utang, yang mana jumlahnya juga tidak diketahui oleh koperasi/kelompok, sampai pada saatnya hutang koperasi/ kelompok membengkak.

11. Sarana dan prasarana dalam plasma dan dibangun untuk plasma, misalnya gudang, pondok karyawan plasma, saprodi dan lain-lain dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan inti, sementara biaya pembangunan sarana prasarana tersebut sebenarnya telah dibebankan atau diambil dari biaya plasma dari hasil kredit bank dan bukan milik perkebunan inti.

12. Sertifikasi lahan plasma, termasuk skema pelunasan dan kredit dengan agunan sertifikat plasma tidak dijelaskan dan seolah-olah telah diserahkan sepenuhnya kepada perkebunan inti, imbasnya, jika perkebunan inti melakukan praktik “ngemplang” utang kepada bank, maka sertifikat plasma akan disandera bank dan anggota plasma akan kesulitan mendapatkan sertifikat.

13. Perusahaan inti juga diduga meminta secara memaksa dalam perjanjian untuk melakukan pemotongan di depan terhadap dana yang dikucurkan kredit bank sebesar 5% dengan alasan biaya yang tidak jelas, yaitu biaya yang disebut perusahaan inti sebagai

“overhead”. Perkebunan inti selalu berusaha mengelabui dan menjerat plasma dengan pasal perjanjian harus jual ke perusahaan inti selama satu siklus tanam, padahal seharusnya ketika plasma telah melunasi kreditnya, maka keduanya akan menjadi para pihak yang bebas dan perjanjian harus ditinjau ulang.

14. Besarnya kredit tidak diketahui oleh pihak koperasi/kelompok plasma dan cicilan kredit tidak juga diketahui oleh koperasi plasma, dimana pihak inti sebagai avalis atau penjamin tidak melaporkan secara transparan berkala kepada koperasi plasma dan tidak ada ruang untuk koperasi melakukan audit.

(12)

15. Perjanjian yang dibuat perusahaan inti diajukan untuk mengikat selama satu siklus tanam bahkan sampai batas waktu yang tidak terbatas, seharusnya hanya sampai ketika kredit lunas, maka perjanjian harus diperbaharui, dan apabila tidak terjadi kesepakatan baru nantinya, masing-masing pihak sudah bebas dan mandiri serta perikatan awal dinyatakan selesai”.

Berdasarkan hal tersebut di atas, adapun faktor penghambat alokasi lahan plasma bagi masyarakat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, maka secara garis besar posisi tawar (bargaining position) masyarakat berada di bawah perusahaan perkebunan sebagai pemilik modal. Sementara, lahan yang digunakan adalah lahan masyarakat, bukanlah lahan perusahaan. Lahan plasma yang diagunkan ke bank biasanya atas perintah dari perusahaan sebagai perkebunan inti. Perkebunan inti juga mewajibkan lahan plasma untuk menjual hasil kebun kepada perkebunan inti dengan harga yang ditentukan oleh perkebunan inti tersebut.

Pengaturan dan Regulasi Lahan Plasma Bagi Masyarakat

Jika merujuk pada Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 58 ayat (1) mengatur mengenai Kemitraan Usaha Perkebunan bahwasanya perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah (minimal) seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan perkebunan.

Kewajiban membangun kebun masyarakat ini diawali dengan mengalokasikan lahannya terlebih dahulu. Luas areal lahan plasma sebesar 20% dari luasan HGU perusahaan wajib disediakan perusahaan. Mekanismenya, saat proses pengajuan HGU perusahaan harus sudah memiliki lokasi yang akan menjadi objek pembangunan kebun masyarakat.

Pengaturan dalam regulasi/kebijakan pelaksanaan pembangunan lahan plasma bagi masyarakat masih tidak konsisten karena mekanisme pelaksanaannya masih belum diatur secara tegas dan jelas. Perhitungan 20%

masih belum jelas dihitung dari mana sehingga belum terdapat kesatuan pengaturan dan penafsiran apakah perhitungan didasarkan dari luasan areal

(13)

HGU berdasarkan IUP atau didasarkan pada HGU atau didasarkan pada areal tertanam.

Mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian RI No. 26 Tahun 2007, pada Pasal 11 ayat (1), berbunyi : “Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan”.

Terhadap Peraturan Menteri Pertanian ini terdapat perbedaan pemahaman antara perusahaan dengan masyarakat mengenai penentuan area lahan yang akan dibangun kebun plasma tersebut. Menurut pandangan perusahaan, area lahan yang digunakan sebagai lahan plasma adalah area yang berada di luar HGU karena untuk perusahaan yang sudah beroperasi sebelum keluarnya Permentan tersebut, mayoritas sudah melakukan penanaman kelapa sawit di keseluruhan IUP yang telah dimiliki. Sedangkan, dari pandangan masyarakat berpendapat jika area lahan yang digunakan sebagai lahan plasma harus berada di dalam area HGU perusahaan sesuai dengan peraturan yang ada.

Hal tersebut mengakibatkan tuntutan dari masyarakat yang menginginkan plasma segera diberikan. Padahal, dalam kenyataannya untuk mendapatkan plasma tersebut, harus melalui proses yang panjang dan tidak bisa didapatkan secara instan.

Regulasi kewajiban pembangunan kebun masyarakat dalam Peraturan Menteri Pertanian RI No. 26 Tahun 2007 yang diatur minimal 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan perusahaan, maka dikarenakan terjadinya multitafsir kewajiban pembangunan kebun plasma diatur kembali berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Peraturan Menteri Pertanian RI No. 26 Tahun 2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 63 Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98 Tahun 2013.15

15 Pasal 63 Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, menyatakan bahwa : “Dengan diundangkannya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

(14)

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98 Tahun 2013 tersebut di atas, secara garis besar mewajibkan perusahaan perkebunan untuk memfasilitsai pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luas minimal 20% dari luas areal IUP-B atau IUP. Kebun masyarakat yang difasilitasi tersebut, pembangunannya berada di luar areal IUP-B atau IUP. Artinya bahwa dari luasan areal yang didapat berdasarkan IUP-B atau IUP, perusahaan perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar di luar areal IUP-B atau IUP tapi di dalam HGU.

Berbeda dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, mengenai kewajiban pembangunan kebun masyarakat dengan luas minimal 20% dihitung dari luas tanah yang dimohonkan HGU. Hal ini terdapat dalam beberapa pasal, sebagai berikut :

1. Pasal 40 ayat (1) huruf k :

“Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk : k. memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas tanah yang dimohon Hak Guna Usaha untuk masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan (plasma) sesuai dengan izin kegiatan usaha dari instansi teknis yang berwenang, bagi pemegang hak berbadan hukum”.

2. Pasal 41 ayat (1) :

“Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling seidikit seluas 20% (dua puluh persen) dari luas tanah yang dimohon Hak Guna Usaha untuk masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan (plasma) sebagaimana dimaksud Pasal 40 huruf k, diperuntukkan bagi Pemohon Hak Guna Usaha pertama kali dengan luas 250 ha (dua ratus lima puluh hektar) atau lebih”.

Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 7 Tahun 2017 tersebut, mewajibkan perusahaan perkebunan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat minimal 20%

dari luas tanah yang dimohonkan HGU untuk masyarakat sekitar. Adapun bentuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat tersebut adalah dalam bentuk kemitraan (plasma) sesuai dengan izin kegiatan usaha dari instansi teknis yang berwenang, bagi pemegang hak berbadan hukum.

(15)

Dengan demikian, antara Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98 Tahun 2013 dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN No. 7 Tahun 2017 terdapat inkonsistensi regulasi mengenai kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat. Akar konflik atau sumber konflik dari kasus antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat sekitar perkebunan adalah ketika keluarnya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN No. 7 Tahun 2017 berkenaan dengan perbedaan pandangan diantara perusahaan perkebunan dengan masyarakat dalam menentukan area lahan yang akan digunakan untuk membangun kebun plasma. Di satu sisi, perusahaan perkebunan menginterpretasikan kewajiban pembangunan kebun plasma seluas 20% dihitung dari luas IUP-B atau IUP, namun di sisi lain masyarakat menginginkan areal yang lebih luas dengan perhitungan pembangunan kebun plasma 20% tersebut dihitung dari luasan HGU yang tentunya lebih besar dari luasan IUP-B atau IUP perusahaan perkebunan.

Menurut Bambang, selaku Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI, menegaskan bahwa porsi 20% yang dimintakan kepada pengusaha sawit adalah di luar HGU yang sudah dimiliki. Artinya, pengusaha harus menambah 20% kepemilikan lahan untuk diberikan kepada petani rakyat.

Fasilitas pembangunan kebun sawit masyarakat dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun tersebut harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Hak Guna Usaha diberikan dan harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.16

Perusahaan perkebunan yang melanggar kewajiban tersebut dikenai sanksi administratif, berupa : denda; pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/atau pencabutan Izin Usaha Perkebunan. Ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat

16 Bambang dalam Majalah InfoSawit, “DirjenBun : 20% Kewajiban Lahan Plasma Sawit Di Luar HGU”, diterbitkan pada hari Rabu, tanggal 26 Desember 2018.

(16)

(FPKM) mengenai jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah yang sampai sekarang masih dalam proses penyusunan.17

Adapun kriteria masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta, yaitu : masyarakat yang lahannya digunakan untuk pengembangan perkebunan dan berpenghasilan rendah sesuai peraturan perundang-undangan; harus bertempat tinggal di sekitar lokasi IUP-B atau IUP; dan sanggup melakukan pengelolaan kebun serta ditetapkan oleh Walikota/Bupati berdasarkan usulan dari camat setempat. Pelaksanaan Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) oleh perusahaan penerima IUP-B atau IUP didampingi dan diawasi oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan yang meliputi : perencanaan, pemenuhan kewajiban, dan keberlanjutan usaha.18

Gubernur, Bupati/Walikota dan Perusahaan Perkebunan memberi bimbingan kepada masyarakat untuk penerapan budidaya, pemanenan dan penanganan pasca panen yang baik. Selanjutnya, Pasal 16 mengatur bahwa kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dilakukan dengan memanfaatkan kredit, bagi hasil dan/atau bentuk pendanaan lain sesuai dengan kesepakatan dan peraturan perundang-undangan. Namun, ketentuan tentang kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat tidak diberlakukan terhadap badan hukum yang berbentuk koperasi.19

Terdapat trianggulasi kepentingan, yang meliputi kepentingan psikologi, kepentingan prosedural dan kepentingan substansional. Kepentingan psikologi adalah sumber konflik dilihat sesuai dengan cara pandang dari pihak yang berkonflik. Kepentingan prosedural adalah sumber konflik dilihat sesuai dengan tata cara yang dilakukan untuk menjalankan misi. Sedangkan, kepentingan substansional adalah sumber konflik dilihat dari perbedaan pandangan dalam menafsirkan regulasi mengenai kewajiban memfasilitasi lahan plasma.

17 Ibid.

18 Ibid.

19 Ibid.

(17)

Secara psikologis, masyarakat beranggapan bahwa perusahaan harus membangun kebun plasma minimal 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan. Kebun masyarakat tersebut dibangun dalam area lahan perusahaan yang telah mendapatkan IUP. Jika lahan yang digunakan adalah lahan yang berasal dari masyarakat, maka perusahaan berkewajiban untuk mengganti rugi lahan yang digunakan untuk membangun kebun masyarakat tersebut.

Sedangkan, perusahaan berpandangan jika kawasan yang digunakan untuk membangun kebun masyarakat berada di luar area perusahaan yang telah mendapatkan IUP.

Secara prosedural, masyarakat sekitar perkebunan mempunyai misi untuk tetap mempertahankan hak mereka untuk mendapatkan kebun plasma minimal 20% dari area HGU perusahaan, baik yang beroperasi sebelum keluarnya permentan ataupun setelah keluarnya permentan. Sedangkan, untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit sendiri memiliki misi untuk tetap mempertahan pendapat mereka dalam menafsirkan isi dari permentan berkaitan dengan pengaturan areal lahan yang digunakan untuk membangun kebun plasma.

Secara substansional, isi dari Pasal 40 ayat (1) huruf k Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN No. 7 Tahun 2017 yang mengakibatkan ketidakjelasan dan konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN No. 7 Tahun 2017 yang mengatur mengenai kewajiban memfasilitasi kebun masyarakat merupakan ujung pangkal dari konflik antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat sekitar perkebunan. Tuntutan masyarakat kepada perusahaan untuk memberikan plasma masyarakat minimal 20% dari area HGU yang dimiliki perusahaan perkebunan. Munculnya faktor penghambat tersebut disebabkan karena perbedaan pandangan dalam menafsirkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN No. 7 Tahun 2017 dengan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98 Tahun 2013 yang mengatur tentang pembangunan kebun plasma masyarakat. Keinginan masyarakat sekitar untuk dibangunkan

(18)

kebun plasma di area HGU perusahaan perkebunan dan mendapatkan haknya secara cepat tanpa memahami proses panjang yang harus dilalui juga merupakan masalah yang belum dapat terselesaikan.

Mekanisme Pelaksanaan Pembangunan Kebun Plasma

UU Perkebunan perlu untuk dilakukan revisi, sebab berdasarkan Pasal 58 ayat (1), Perusahaan Perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar minimal seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan. Menurut Penjelasan Pasal 58 ayat (1) tersebut, yang dimaksud dengan “total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan” adalah luas sesuai dengan IUP atau IUP-B.

Regulasi soal lahan plasma bagi masyarakat tersebut di atas, hingga kini masih belum jelas tentang mekanisme pelaksanaannya. Ketidakjelasan tersebut disebabkan aturan turunan yang seharusnya menjadi pedoman teknis pelaksanaan, tidak juga kunjung diterbitkan oleh pemerintah. Bahkan, setidaknya ada 3 (tiga) Peraturan Menteri yang mencantumkan soal Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM), namun definisinya berbeda-beda.20

Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) yang secara mandatory memerintahkan perusahaan perkebunan untuk membangun 20%

kebun plasma sudah terdapat regulasinya, akan tetapi tidak ada sinergitas antar kementerian yang mengeluarkan pengaturan tersebut. Dikarenakan tidak ada sinergitas tersebut, maka menimbulkan multitafsir. Tumpang tindih serta multitafsirnya regulasi tersebut, antara lain terkait pembangunan kebun baru, peremajaan kebun swadaya, serta klasterisasi kebun swadaya. Sebagai contoh : jika ada perusahaan perkebunan yang melakukan replanting, seharusnya replanting yang dilakukan dapat dianggap sebagai komitmen 20% Fasilitas

20 Keterangan Joko Supriyono selaku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam Website Berita Online LinkPublik, “Gapki : Aturan Soal Kewajiban Lahan Plasma Kelapa Sawit Perlu Direview Kembali”, https://linkpublik.com/2018/12/12/gapki-aturan-soal-kewajiban-lahan-plasma-kelapa-sawit- perlu-direview-kembali/., diakses pada hari Senin, tanggal 04 Maret 2019.

(19)

Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM). Selanjutnya, terdapat sekitar 3 juta kebun swadaya yang belum masuk program replanting tetapi produktivitasnya jelek, maka kebun swadaya tersebut dapat masuk klasterisasi.21

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemerintah sebaiknya segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan mengenai Fasilitasn Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebagai perintah Pasal 59 UU Perkebunan.22

IV. Kesimpulan

Berangkat dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik benang merah : ketentuan mengenai alokasi luas lahan plasma (kebun masyarakat) dalam rangka perolehan status Hak Guna Usaha (HGU) oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit merupakan kewajiban sebagaimana diatur oleh Kementerian Pertanian RI berupa Peraturan Menteri Pertanian RI No.

98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, maupun oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN berupa Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha. Terdapat perbedaan ataupun tumpang tindih pengaturan alokasi lahan plasma untuk masyarakat berdasarkan kedua peraturan tersebut. Perbedaannya terletak pada ketentuan mengenai 20% dari luas areal perusahaan. Pada permentan, luas areal yang dialokasikan mengacu kepada luas tanah yang dimohonkan HGU, sedangkan berdasarkan permen agraria luas areal yang dialokasikan dihitung berdasarkan luas areal IUP-B atau IUP perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anggusti, Martono., “Pengaturan Pengelolaan Perusahaan Untuk Kesejahteraan Tenaga Kerja”, Disertasi, Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015.

21 Ibid.

22 Pasal 59 Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, menyatakan bahwa : “Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

(20)

Fauzi, Yan., dkk., Kelapa Sawit : Budi Daya, Pemanfaatan Hasil, dan Analisis Usaha dan Pemasaran, Cet. Ke-1, Jakarta : Penebar Swadaya, 2012.

Forest Peoples Programme, “Free, Prior and Informed Consent : A Field Guide for Activists”, 1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh, Naskah Kerja, Maret 2006.

Harian Bisnis Indonesia, “Sofyan Djalil : Pengusaha Sawit Wajib Bangun Kebun Plasma”, diterbitkan pada hari Kamis, tanggal 02 Februari 2017.

Majalah Hortus Archipelago, “Ermanto Fahamsyah : Ratio Legis Kewajiban Fasilitasi Kebun Masyarakat 20%”, Vol. 74 November 2018.

Majalah InfoSawit, “DirjenBun : 20% Kewajiban Lahan Plasma Sawit Di Luar HGU”, diterbitkan pada hari Rabu, tanggal 26 Desember 2018.

Majalah Tempo, “Sofyan Djalil : BPN, Pengusaha Sawit Wajib Bangun Kebun Plasma”, diterbitkan pada hari Kamis, tanggal 02 Februari 2017.

Peraturan Menteri Pertanian RI No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

Peraturan Menteri Pertanian RI No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.

Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Website Berita Online LinkPublik, “Gapki : Aturan Soal Kewajiban Lahan Plasma Kelapa Sawit Perlu Direview Kembali”, https://linkpublik.com/2018/12/12/gapki-aturan-soal-kewajiban-lahan- plasma-kelapa-sawit-perlu-direview-kembali/., diakses pada hari Senin, tanggal 04 Maret 2019.

Website HukumOnline.com, “Tanah Ulayat”,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6522/tanah-ulayat., diakses pada hari Selasa, tanggal 21 Maret 2018.

Yarawobi, Daniel., “Siaran Pers Suku Besar Yerisiam Gua Kampung Sima Distrik Yaur Kabupaten Nabire-Papua”, diterbitkan hari Minggu, tanggal 27 Maret 2016.

Referensi

Dokumen terkait

cablin (Gambar 1) berupa gejala mosaik yaitu adanya perbedaan gradasi warna hijau tua dan hljau muda pada daun yang diinokulasi, sedangkan gejala yang muncul

Dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang berkesan ABM amat penting bagi guru untuk memastikan proses pengajaran dapat berjalan dengan lancar kerana isi pengajaran yang

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan angka kematian penyakit gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh hipertensi dan infark

PT Gagah Satria Manunggal Banjarmasin memiliki sistem pencatatan data transksi penerimaan dan pengeluaran kas yang sudah terkomputerisasi tetapi masih menggunakan Microsoft

Pengukuran latency dilakukan secara langsung dari command prompt dan tidak dilakukan untuk setiap per hop behaviour seperti pada pengukuran jitter dan packet loss ,

Kebalikan dari support, yaitu batasan di mana analisis teknikal mempercayai bahwa jika harga mencapai level tersebut maka investor akan menjual sahamnya (garis

diselesaikan dosen di akhir percakapan (baris 1) mengisyaratkan adanya usaha mahasiswa untuk mengambil alih giliran dengan melakukan interupsi. Selain bentuk meminta

Selain itu juga, guru menjadi fasilitator dalam model problem based learning (Emiliasari et al., 2019). Model pembelajaran berbasis masalah memiliki langkah pembelajaran