• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

(dikembangkan dan disesuaikan dari panduan yang dikeluarkan oleh IUCN 2013)

ISBN: 978-623-91240-2-1 Penyusun

Dini Rahmanita dan Hanom Bashari Foto sampul

Hanom Bashari, Fitri Sindhung Yugisworo, dan Ardin Mokodompit Tata Letak dan Grafis

Ika Tri Lestari

Penerbit

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS) – Project Jalan AKD, Mongkonai Barat, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara

Dukungan

Pengutipan

Rahmanita, D dan H. Bashari (2020) Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (dikembangkan dan disesuaikan dari panduan yang dikeluarkan oleh IUCN 2013). Kotambagu: Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS) – Project.

Cetakan pertama, Februari 2020

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

Empowered lives.

Resilient nations.

Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Dini Rahmanita, Hanom Bashari

(dikembangkan dan disesuaikan dari panduan yang dikeluarkan oleh IUCN 2013)

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS) – Project

(3)

iv v

Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone menyediakan ru- ang sebagai habitat alami terbaik bagi satwa-satwa asli Sulawesi maupun secara khusus untuk be- berapa jenis maupun sub-jenis endemik Sulawesi bagian utara.

Pedoman ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam proses pelepasliaran satwa, baik hasil sitaan maupun hasil proses lain- nya, yang akan dilepasliarkan ke dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Prosedur dalam podoman ini sebagian besar mengikuti petunjuk mau- pun prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh badan konservasi dunia IUCN (The International Union for Conservation of Nature) dalam proses re-introduksi dan translokasi untuk kepentingan konservasi, yang dikeluarkan pada 2013.

Saya sangat berterimakasih kepa- da tim yang telah bekerja dalam penyusunan dokumen penting ini.

Mudah-mudahan pedoman ini dapat bermanfaat tidak saja bagi Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sendiri, namun juga bagi para pihak lain, khusus- nya Unit Pelaksana Teknis lingk- up Direktorat Jenderal KSDAE, Lembaga-Lembaga Konservasi, Lembaga Penelitian, maupun para pihak lain yang membutuhkan.

Januari 2020 Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

drh. Supriyanto

Sambutan

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, buku mengenai “Pe- doman Pelepasliaran Satwa Liar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (dikembangkan dan disesuaikan dari panduan yang dikeluarkan oleh IUCN 2013)”

dapat diselesaikan.

Sebagai kawasan konservasi terluas di Sulawesi, keberadaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone menjadi sangat pent- ing. Posisinya di tengah semenan- jung utara Pulau Sulawesi dengan perwakilan habitat hutan hujan dataran rendah dan dataran ting- gi Sulawesi, menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi terbaik untuk mewakili kerag- aman hayati Sulawesi maupun secara khusus untuk semenan- jung utara Pulau Sulawesi.

Salah satu tantangan terbesar dalam konservasi satwa liar di Indonesia maupun secara khusus di Sulawesi bagian utara adalah tingkat ancaman perburuan dan perdagangan satwa liar yang cukup tinggi. Upaya sistematik untuk perlindungan satwa liar ini juga telah dilakukan, baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun mitra-mitranya dari lem- baga non-pemerintah.

Upaya penanganan perburuan dan perdaganga satwa liar um- umnya menghasilkan sitaan-si- taan satwa. Berbagai satwa hasil sitaan ini membutuhkan rehabili- tasi sebelum dilepasliarkan kem- bali. Pusat-pusat penyelamatan satwa telah ada di Indonesia, dan salah satunya juga telah ada di lingkup Sulawesi Utara.

(4)

Daftar Isi

Sambutan iv Pendahuluan 1

Beberapa pengertian 7

A. Pemulihan Populasi 8

1. Penguatan populasi 8

2. Reintroduksi 8

B. Introduksi konservasi 9

1. Kolonisasi yang dibantu 9

2. Penggantian ekologis 9

Pertimbangan dalam keputusan, kapan pemindahan dan pelepasliaran merupakan pilihan yang tepat 11 Kondisi pelepasliaran satwa di dalam kawasan

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone 15 Tahapan Pelepasliaran Satwa 19

A. Perencanaan 19

1. Menetapkan tujuan utama, sasaran,

dan rencana aksi 19

2. Merancang program pemantauan

setelah pelepasliaran 20

3. Menetapkan strategi setelah selesai 21 B. Penilaian kelayakan dan desain 21 1. Kelayakan secara biologi 21 a. Pengetahuan biologi dasar 22

b. Habitat 22

c. Iklim yang dibutuhkan 23

d. Sumber satwa 23

e. Kesejahteraan satwa 27

f. Pertimbangan penyakit dan parasit 27 2. Kepatuhan terhadap peraturan 30 3. Ketersediaan sumberdaya 33

C. Penilaian Risiko 34

D. Pelepasliaran dan implementasi 38 1. Seleksi area dan lokasi pelepasliaran 40 2. Strategi pelepasliaran 41 E. Pemantauan dan keberlanjutan pengelolaan 44 1. Pemantauan 44 2. Keberlanjutan Pengelolaan 46 F. Penyebarluasan informasi 46 Penutup 49

Bahan acuan 49

Lampiran 51

Perkici sulawesi Trichoglossus meyeri, salah satu jenis burung paruh-bengkok di TN Bogani Nani Wartabone, yang rentan terhadap perburuan dan perdagangan satwa

Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

Perkici sulawesi Trichoglossus meyeri, salah satu jenis burung paruh-bengkok di TN Bogani Nani Wartabone, yang rentan terhadap perburuan dan perdagangan satwa

Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

(5)

T

aman Nasional Bogani Nani Wartabone (282.098,93 hek- tar), merupakan kawasan konser- vasi darat terluas di Sulawesi. Ka- wasan ini berada di dua wilayah provinsi dan berbatasan langsung dengan empat kabupaten, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, dan Bolaang Mongondow Selatan yang berada di Provinsi Sulawesi Utara padabagian timur kawasan, serta Kabupaten Bone Bolango yang berada di Provinsi Gorontalo pada bagian barat kawasan.

Kawasan TN Bogani Nani Wartabone (TNBNW) merupa- kan kawasan yang utuh dalam satu hamparan yang tidak sal- ing terpisah, baik secara batas kawasan maupun fisik bentang alam. Seluruh kawasan berada di daratan. Sebagian besar kawasan berupa hutan hujan dataran ren- dah dan dataran tinggi, sampai area tertinggi 1.970 mdpl di pun- cak Matabulawa. Tidak ada area yang berbatasan dengan laut, se- hingga tidak ada hutan pantai maupun hutan mangrove di taman nasional ini.

Pendahuluan

Hutan hujan dataran rendah di lanskap TN Bogani Nani Wartabone Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW Hutan hujan dataran rendah di lanskap TN Bogani Nani Wartabone Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

(6)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

2 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 3

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Sampai akhir tahun 2019, keragaman jenis satwa di dalam kawasan ini telah tercatat 206 jenis burung (aves), 36 jenis mamalia, 40 jenis reptilia, 13 jenis amfibia, 200 jenis kupu-kupu(Lepidoptera: Rhopalo- cera), 1.395 jenis kepik (Hemiptera), 128 jenis laba-laba (Arachnida), 16 jenis capung (Odonata), 19 jenis belalang (Orthoptera: Acridoidea), dan 25 jenis ikan air tawar. Secara global berdasarkan IUCN 2018, 10 jenis burung dan 15 jenis mamalia tersebut masuk dalam kategori terancam punah. Saat ini, seluruh kawasan TNBNW masih mendukung habitat yang baik bagi beragam satwaliar dan tumbuhan tersebut.

Beberapa jenis satwa Sulawesi, secara global terancam akibat penangkapan atau perburuan serta perdagangan lintas daerah, wa- laupun kegiatan tersebut tidak selalu diambil atau terjadi dari dalam kawasan konservasi. Beberapa kejadian konflik antara masyarakat dan satwaliar juga masih kerap terjadi di Sulawesi Utara dan Gorontalo yang menyebabkan kejadian pengevakuasikan satwaliar tersebut dari habitat asalnya.

Sejumlah 25 satwa ditetapkan sebagai satwa prioritas nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan SK Direktur Jenderal KSDAE Nomor 180/IV-KKH/2015. Tiga jenis di antara satwaliar prioritas nasional ini kemudian ditetapkan lebih lanjut sebagai satwa prioritas TNBNW berdasarkan Keputusan Kepala Balai TN Bogani Nani Wartabone Nomor: SK. 161/BTNBNW-1/2015, yaitu Anoa (Bubalus quarlessi dan B. depressicornis), Babirusa (Babyrousa celebensis), dan maleo (Macrocephalon maleo).

Beberapa jenis satwa khas Sulawesi juga menjadi perhatian seri- us dari beberapa lembaga, baik untuk proses rehabilitasi, habituasi, penyelamatan dari perburuan dan pemangsaan, pengembangbiakan, dan sebagainya.

Kawasan TNBNW merupakan salah satu lokasi terbaik bagi habitat satwa liar di semenanjung Sulawesi bagian utara. Hutan di TNBNW juga menjadi lokasi yang cocok bagi pelepasliaran satwaliar yang secara asal, genetik, dan kebutuhan habitat sesuai dengan kondisi

kawasan ini. Keidealan ini selain karena habitat yang cocok, juga karena memiliki aspek perlindungan hukum kawasan yang pasti. Untuk itu, Balai TNBNW perlu bersiap untuk menerima dan menjalankan proses pelepasliaran satwa-satwa liar ini.

Tabel 1. Keberadaan jenis-jenis satwa liar Sulawesi yang berpotensi dilepasliarkan ke dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone

Kelas Nama Indonesia

(nama ilmiah) Status

IUCN Keterangan Mamalia Kuskus-kerdil sulawesi

(Strigocuscus celebensis) VU Rentan penangkapan dan perdagangan

Mamalia Kuskus-beruang sulawesi (Ailurops ursinus)

VU Rentan penangkapan dan perdagangan

Mamalia Tarsius sulawesi

(Tarsius tarsier) VU Rentan penangkapan Mamalia Monyet-hitam

sulawesi (Macaca nigra) CR Rentan penangkapan dan perdagangan

Mamalia Monyet-hitam gorontalo (Macaca nigrescens)

VU Rentan penangkapan dan perdagangan

Mamalia Musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroeki)

VU Rentan penangkapan

Mamalia Babirusa sulawesi

(Babyrousa celebensis) VU Rentan penangkapan dan perdagangan

Mamalia Anoa dataran-rendah

(Bubalus depressicornis) EN Rentan penangkapan dan perdagangan, dan hasil penangkaran

Mamalia Anoa pegunungan

(Bubalus quarlesi) EN Rentan penangkapan dan perdagangan, dan hasil penangkaran

Aves Maleo senkawor

(Macrocephalon maleo) EN Hasil proses habituasi pada beberapa sanctuary maleo

(7)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

4 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 5

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Kelas Nama Indonesia

(nama ilmiah) Status

IUCN Keterangan Aves Kakatua-kecil jambul-

kuning (Cacatua sulphurea sulphurea)

CR Habitat memungkinkan di TNBNW, namun tidak pernah ada catatan sebelumnya, kecuali di daerah sekitarnya Aves Perkici dora

(Trichoglossus ornatus) LC Rentan penangkapan dan perdagangan

Aves Perkici sulawesi

(Trichoglossus meyeri) LC Rentan penangkapan dan perdagangan

Aves Serindit sulawesi

(Loriculus stigmatus) LC Rentan penangkapan dan perdagangan

Aves Betet-kelapa punggung-biru (Tanygnathus sumatranus)

LC Rentan penangkapan dan perdagangan

Reptilia Sanca bantik (Python

reticulatus reticulatus) LC Rentan penangkapan dan perdagangan

Reptilia Buaya muara

(Crocrodylus porosus) LC Rentan penangkapan dan perdagangan

Anoa dataran-rendah Bubalus depressicornis, satu dari dua jenis anoa di TN Bogani Nani Wartabone

Foto: Ardin Mokodompit / BTNBNW

(8)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

6

T

ranslokasi atau pemindahan satwa adalah pergerakan sat- wa hidup yang dimediasi oleh manusia dari suatu area/lokasi ke area lain dalam bentuk pele- pasliaran. Translokasi adalah istilah umum. Translokasi dapat memindahkan satwa hidup dari alam liar atau dari hasil penang- karan. Translokasi bisa secara ke- betulan (seperti terbawa tidak se- ngaja oleh satwa lain yang dile- pasliarkan) atau memang dise- ngaja. Translokasi yang disengaja terdapat beberapa tujuan, yaitu untuk mengurangi ukuran po- pulasi, untuk kesejahteraan, poli-

tik, kepentingan komersial atau rekreasi, atau untuk tujuan kon- servasi.

Translokasi satwaliar untuk tujuan konservasi adalah pemin- dahan yang disengaja dan dilan- jutkan dengan pelepasliaran sat- wa liar tersebut (dalam keadaan hidup), dengan tujuan utama un- tuk aspek konservasi, yaitu pe- ningkatan status konservasi je- nis tersebut secara lokal atau global, dan/atau memulihkan fungsi atau proses ekosistem ala- mi di lokasi tersebut.

Beberapa pengertian

Jenis-jenis beringin Ficus spp.

di TN Bogani Nani Wartabone, banyak menarik beragam jenis burung berkumpul Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW Jenis-jenis beringin Ficus spp.

di TN Bogani Nani Wartabone, banyak menarik beragam jenis burung berkumpul Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

(9)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

8 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 9

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

A

B Introduksi konservasi

Introduksi konservasi adalah gerakan yang disengaja dan pelepasli- aran satwaliar di luar daerah aslinya. Dua jenis introduksi konservasi yang diakui:

1. Kolonisasi yang dibantu

Kolonisasi yang dibantu yaitu pemindahan dan pelepasliaran suatu jenis yang disengaja ke area yang bukan daerah aslinya, namun bertujuan untuk menghindari kepunahan populasi jenis.

Hal ini diperkenankan apabila ancaman yang terjadi saat ini atau di masa mendatang tidak ada atau lebih sedikit akan terjadi di lokasi pelepasliaran tersebut daripada lokasi lainnya. Keadaan ini mencakup dari pemindahan area yang sangat jauh, dipisahkan oleh non-habitat jenis tersebut, maupun hanya sekedar pemindahan di area kecil yang bersebelahan.

2. Penggantian ekologis

Penggantian ekologis yaitu pemindahan dan pelepasliaran suatu jenis yang disengaja ke luar daerah aslinya, yang dimaksudkan untuk melakukan fungsi ekologis tertentu. Keadaan ini digunakan untuk membangun kembali fungsi-fungsi ekologis yang hilang karena kepunahan, dan akan sering melibatkan sub-jenis yang ada dan paling cocok, atau kerabat dekat dari jenis yang punah dalam genus yang sama.

Translokasi konservasi dapat mencakup pelepasliaran baik di dalam atau di luar daerah asli jenis tersebut. Daerah asli suatu jenis adalah distribusi yang diketahui atau disimpulkan yang dihasilkan dari catatan sejarah (tertulis atau lisan), atau bukti fisik dari keberadaan jenis tersebut. Jika bukti langsung tidak memadai untuk mengkonfirmasi keberadaan mereka sebelumnya, keberadaan habitat yang sesuai da- lam jarak yang sesuai secara ekologis dengan rentang terbukti dapat diambil sebagai bukti yang memadai dari informasi sebelumnya.

Pemulihan Populasi

Pemulihan populasi adalah setiap translokasi konservasi ke dalam daerah asli satwa tersebut. Terdiri dari dua kegiatan:

1. Penguatan populasi

Penguatan populasiadalah pemindahan dan pelepasliaran yang disengaja pada daerah yang populasi jenis tersebut masih ada di daerah pelepasliaran. Penguatan populasi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan hidup populasi tersebut untuk bertahan, misalnya dengan meningkatkan ukuran populasi, meningkatkan keragaman genetik, atau dengan meningkatkan perwakilan kelom- pok atau tahapan demografis tertentu.

2. Reintroduksi

Reintroduksi adalah pemindahan dan pelepasliaran yang disen- gaja di area asli jenis tersebut namun jenis tersebut sudah tidak ada (punah lokal) atau daerah yang dulunya ada namun telah menghilang.Reintroduksi bertujuan untuk membangun kembali populasi jenis dimaksud di area tersebut dalam populasi yang layak di dalam wilayah aslinya.

(10)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

10

T

ranslokasi konservasi selain dimaksudkan untuk manfaat konservasi, juga membawa risiko bagi kepentingan ekologis, sosial dan ekonomi.Secara umum harus ada bukti kuat bahwa ancaman itu menyebabkan kepunahan di masa sebelumnya, yang telah diidenti- fikasi dengan benar serta sudah dihilangkan atau dikurangi risiko tersebut.

Penilaian usulan pemindahan harus mencakup identifikasi po- tensi manfaat dan potensi dam- pak negatif, yang mencakup as- pek ekologi, sosial dan ekonomi.

Ini akan lebih mudah untuk pe- nguatan atau reintroduksi da-

lam daerah asli dibandingkan de- ngan pemindahan ke luar daerah aslinya.

Bukti global menunjukkan bah- wa introduksi jenis di luar wilayah asli mereka sering kali dapat menimbulkan dampak ekstrem, negatif yang dapat bersifat eko- logis, sosial atau ekonomi, sering- kali sulit diperkirakan, dan dapat terlihat dampaknya setelah waktu lama. Oleh karena itu, translokasi konservasi di luar wilayah asli lebih berpotensi membawa risiko tinggi, yang seringkali sulit atau tidak mungkin diprediksi dengan akurat.

Pertimbangan dalam keputusan,

kapan pemindahan dan pelepasliaran merupakan pilihan yang tepat

Hutan primer di TN Bogani Nani Wartabone, memberikan habitat terbaik bagi banyak jenis satwa khas Sulawesi Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW Hutan primer di TN Bogani Nani Wartabone, memberikan habitat terbaik bagi banyak jenis satwa khas Sulawesi Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

(11)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

12

Meskipun analisis risiko di sekitar translokasi ha- rus proporsional dengan risiko yang dapat diperkira- kan, namun membenarkan introduksi konservasi memerlukan tingkat keyakinan yang sangat tinggi atas keadaan jenis atau individu tersebut setelah rilis, termasuk dalam jangka panjang, dengan jam- inan keadaan lokasi yang ditempati dari perspektif ekologi area pelepasliaran, dan kepentingan sosial dan ekonomi komunitas manusia di sekitarnya.

Dalam setiap keputusan, apakah individu jenis tersebut akan dipindah dan lepasliarkan atau tidak, tingkat risiko secara pasti harus seimbang diper- hitungkan terhadap skala manfaat yang diharapkan.

Jika tingkat ketidakpastian yang tinggi tetap ada atau tidak mungkin menilai dengan andal bahwa introduksi konservasi menghadirkan risiko rendah, maka hal itutidak boleh dilanjutkan, dan harus dicari solusi konservasi alternatifnya.

Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

Hutan primer TN Bogani Nani Wartabone, sebagai sumber plasma nutfah dan keragaman hayati

(12)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

14

T

erdapat tiga kondisi yang mungkin terjadi dalam kasus pengiriman dan/atau pelepasli- aran satwa ke dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone.

1. Satwa masih berada di da- lam kawasan TN Bogani Nani Wartabone atau hutan pe- nyangganya, belum berinte- raksi banyak dengan manusia atau permukiman,serta kon- disi masih baik dan sehat.

Keadaan ini dapat terjadi be- rupa satwa hasil tangkapan atau jerat, baik yang ditemu- kan masih dalam jerat mau- pun sudah dalam kandang khusus yang dibawa oleh pem-

buru, atau masih berada di rumah kebun tepi hutan di dekat lokasi penangkapan.

Jika ini terjadi maka dire- komendasikan untuk segera dilepasliarkan langsung di lokasi tersebut, dengan me- lengkapi berita acara sesuai yang diperlukan.

2. Satwa merupakan hasil re- habilitasi akibat penangka- pan atau konflik dengan ma- syarakat.

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone tidak memiliki kandang rehabilitasi sat- wa, jika satwa memerlukan perawatan khusus sebelum

Kondisi pelepasliaran satwa

di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Tarsius sulawesi Tarsius tarsier, walaupun jarang diperdagangkan, namun rentan tertangkap oleh masyarakat sekitar hutan karena memiliki habitat sampai kebun-kebun masyarakat di pinggir hutan Foto: Ardin Mokodompit / BTNBNW

Tarsius sulawesi Tarsius tarsier, walaupun jarang diperdagangkan, namun rentan tertangkap oleh masyarakat sekitar hutan karena memiliki habitat sampai kebun-kebun masyarakat di pinggir hutan Foto: Ardin Mokodompit / BTNBNW

(13)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

16 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 17

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

dilepasliarkan. Lokasi terdekat pusat rehabilitasi satwa berada di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki Bitung. Satwa yang akan dilepasliarkan, yang berasal dari pusat rehabilitasi, harus memenuhi syarat sesuai ketentuan yang ditetapkan (tersaji pada bagian setelah ini) dan mengisi kelengkapan informasi dan pe- nilaian (lihat format dalam Lampiran). Satwa yang telah memenuhi syarat, baik fisik dan administratif dapat dilepasliarkan di dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone.

3. Satwa hasil pembesaran atau pembiakan yang disengaja di dalam kandang.

Di beberapa lokasi di Sulawesi, terdapat pusat perawatan atau pembesaran atau pembiakan beberapa satwa khas Sulawesi. Balai TN Bogani Nani Wartabone sendiri mengelola beberapa sanctuary maleo, yang salah satu tujuannya adalah melakukan pembesaran dan habituasi sementara beberapa maleo dari anak sampai dewasa, untuk tujuan pendidikan dan penelitian. Maka satwa yang sudah layak dilepasliarkan, harus segera dilepasliarkan. Satwa-satwa asli Sulawesi lainnya juga, yang merupakan hasil pembiakan di luar habitat aslinya, dapat dilepasliarkan di dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone. Beberapa persyaratan penilaian kelayakan harus dilakukan (seperti akan tersaji pada bagian setelah ini) dan mengisi kelengkapan informasi dan hasil penilaian (lihat format dalam Lampiran).

Maleo senkawor Macrocephalon maleo, burung endemik Sulawesi yang menjadi maskot TN Bogani Nani Wartabone

Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

(14)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

18

A

Tahapan

Pelepasliaran Satwa

Perencanaan

1. Menetapkan tujuan utama, sasaran, dan rencana aksi Setiap translokasi konservasi harus memiliki tujuan yang jelas dan harus mengikuti proses yang logis dari konsep awal ke desain, penilaian ke- layakan dan risiko,pengambi- lan keputusan, implementasi, pemantauan, penyesuaian dan evaluasi.

Perencanaan untuk translo- kasi konservasi dapat den- gan bermanfaat mengikuti pendekatan Species Survival Commission’s – IUCN, untuk perencanaan konservasi je- nis, yang membutuhkan spe- sifikasi tujuan, sasaran, dan tindakan. Rujukan ke fase per- kembangan populasi translo- kasi yang diamati secara umum dapat membantu pe- rencanaan

Monyet-hitam gorontalo Macaca nigrescens, satu dari dua monyet endemik Sulawesi yang terdapat di TN Bogani Nani Wartabone, sangat rentan terhadap perburuan dan perdagangan Foto: Agus Anto Juanto / BTNBNW

(15)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

20 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 21

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

• Data apa yang harus dikumpulkan, di mana dan kapan, untuk memberikan bukti ini, dan metode serta protokol apa yang harus digunakan?

• Siapa yang akan mengumpulkan data, menganalisisnya, dan memastikan penyimpanan yang aman?

• Siapa yang akan bertanggung jawab untuk menyebarkan infor- masi hasil pemantauan kepada pihak-pihak terkait?

3. Menetapkan strategi setelah selesai

Tidak semua translokasi berjalan sesuai rencana. Akan ada titik di mana investasi sumber daya lebih lanjut tidak lagi dibenarkan, meskipun ada penyesuaian manajemen sebelumnya. Keputusan untuk tidak melanjutkan program translokasi ini dapat diperta- hankan jika desain translokasi menunjukkan indikasi kurangnya keberhasilan dalam batas durasi yang dapat ditoleransi, atau jika terjadi konsekuensi yang tidak diinginkan dan tidak dapat diterima.

Strategi setelah selesai harus menjadi bagian integral dari rencana translokasi apa pun. Memiliki strategi memungkinkan kegiatan ini terhenti secara tertib dan dapat dibenarkan.

Penilaian kelayakan dan desain 1. Kelayakan secara biologi

Fokus utama dari perencanaan translokasi adalah kinerja yang diinginkan dari jenis tersebut, baik dalam hal kinerja populasi, perilaku dan/atau peran ekologisnya setelah translokasi. Namun, desain translokasi yang diusulkan akan mengikuti peluang dan kendala, dan semua akan mempengaruhi kelayakan kegiatan yang diusulkan. Penilaian kelayakan harus mencakup berbagai faktor biologis dan non-biologis yang relevan.

Pemantauan kemajuan yang diperoleh harus didorong pada semua tahap, sehingga tujuan tercapai melalui proses siklus yang baik, yang memungkinkan penyesuaian dalam tujuan atau dalam kerangka waktu berdasarkan kemajuan yang diamati.

Tujuan utama adalah pernyataan hasil yang diharapkan dari translokasi konservasi. Ini harus menyatakan manfaat konservasi yang dimaksudkan, dan biasanya sering dinyatakan dalam bentuk ukuran dan jumlah populasi yang akan dicapai sesuai kebutuhan manfaat konservasi baik secara lokal maupun global, semua dalam jangka waktu tertentu.

Sasaran akan merinci bagaimana tujuan utama akan direalisasikan.

Sasaran harus jelas dan spesifik dan memastikan akan menangani semua ancaman yang diidentifikasi atau diperkirakan akan terjadi terhadap jenis yang dilepasliarkan.

Recana aksi adalah pernyataan yang tepat tentang apa yang harus dilakukan untukmemenuhi tujuan. Rencana aksi harus mampu melakukan pengukuran, memiliki jadwal waktu, menunjukkan sumber daya yang dibutuhkan dan siapa yang bertanggung jawab atas implementasinya. Rencana aksi ini adalah elemen yang de- ngannya kemajuan translokasi akan dipantau dan dinilai.

2. Merancang program pemantauan setelah pelepasliaran

Pemantauan jalannya translokasi adalah kegiatan yang sangat penting. Ini harus dianggap sebagai bagian integral dari desain translokasi, tidak hanya ditambahkan pada tahap selanjutnya.Upaya yang diinvestasikan dalam mengembangkan tujuan utama dan sasaran yang realistis adalah titik awal untuk program pemantau- an, desainnya harus mencerminkan fase pengembangan populasi yang ditranslokasi dan menjawab setidaknya hal-hal berikut ini:

• Bukti apa yang dapat mengukur kemajuan untuk menuju pen- capaian tujuan translokasi dan, pada akhirnya, apakah berhasil atau gagal?

B

(16)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

22 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 23

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

a. Pengetahuan biologi dasar

Pengetahuan yang diperlukan dari setiap jenis kandidat untuk translokasi harus mencakup kebutuhan habitat biotik dan abio- tiknya, hubungan interspesifik dan ketergantungan kritisnya, dan biologi dasarnya. Jika pengetahuan terbatas, informasi terbaik yang tersedia harus digunakan, dan selanjutnya informasi terse- but digunakan untuk mengkonfirmasi atau menyesuaikan dalam pengelolaan.

Informasi dari kandidat atau jenis yang berkerabatan dekat dapat digunakan untuk membangun model skenario dan hasil translokasi alternatif, bahkan model sederhana ini dapat membantu pengam- bilan keputusan yang efektif.

b. Habitat

Menyesuaikan kesesuaian habitat dan ketersediaan dengan ke- butuhan jenis kandidat adalah inti dalam kelayakan dan desain.

Poin-poin penting yang harus diperhatikan adalah:

Walaupun reintroduksi ke dalam daerah asli selalu lebih disukai, daerah asli sebelumnya mungkin bukan lagi habitat yang cocok, tergantung pada dinamika ekologis selama periode tertentu.

Tempat terakhir di mana suatu jenis/populasi ditemukan mungkin bukan habitat terbaik untuk mengembalikan jenis.

Habitat yang cocok harus memenuhi kebutuhan biotik dan abio- tik total dari jenis kandidat melalui ruang dan waktu dan untuk semua tahap kehidupannya. Selain itu, kesesuaian habitat harus mencakup kepastian bahwa pelepasliaran jenis, dan pergerakan selanjutnya, harus sesuai dengan area yang diizinkan di daerah yang terkena dampak.

Peran ekologis dari jenis yang ditranslokasi di lokasi tujuan harus dinilai secara menyeluruh, sebagai bagian dari penilaian risiko.

Dampak yang tidak direncanakan atau tidak diharapkan umumnya akan menjadi lebih kecil dalam upaya penguatan populasi dan akan terlihat berdampak besar pada translokasi di luar daerah asli.

c. Iklim yang dibutuhkan

Iklim di lokasi tujuan harus sesuai untuk masa yang panjang. Model

“amplop bio-iklim” dapat digunakan untuk menilai kemungkinan perubahan iklim di luar batas toleransi jenis, dan karenanya untuk mengidentifikasi lokasi tujuan yang sesuai di bawah keadaan iklim masa mendatang.

d. Sumber satwa

Sumber satwa dan ketersediaannya

Sumber satwa dapat berasal dari hasil penangkaran atau yang berasal dari alam. Sumber satwa yang akan dilepasliarkan harus menunjukkan karakteristik berdasarkan asal-usul genetik, morfologi, fisiologi, dan perilaku, yang dinilai sesuai melalui perbandingan dengan populasi liar asli atau yang masih ada.

Potensi efek negatif dengan mengeluarkan individu dari alam ataupopulasi dalam penangkaran, juga harus dinilai. Populasi hasil penangkaran adalah sumber satwa yang dapat digunakan, namun pengelola penangkaran harus memastikan bahwa rencana pengumpulan mereka, secara kelembagaan dan regional, dirancang untuk mendukung translokasi konservasi.

Individu yang ditangkap dari penangkaran atau sumber lain harus berasal dari populasi dengan demografi, genetik, pengelolaan kesejahteraan dan kesehatan, serta perilaku yang menunjukkan kondisi yang layak.

(17)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

24 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 25

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Sungai Bone, salah satu sungai terbesar di lanskap TN Bogani Nani Wartabone Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW Sungai Bone, salah satu sungai terbesar di lanskap TN Bogani Nani Wartabone Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

(18)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

26 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 27

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Substitusi takson

Dalam beberapa kasus jenis atau sub-jenis asli mungkin te- lah punah baik di alam maupun di penangkaran. Jenis atau sub-jenis yang serupa dapat diganti sebagai pengganti ekolo- gis, asalkan substitusi didasarkan pada kriteria objektif seperti kedekatan filogenetik, kesamaan dalam penampilan, ekologi, dan perilaku dengan jenis atau sub-jenis yang punah tersebut.

Pertimbangan genetik

Pemilihan sumber satwa harus bertujuan untuk menyediakan keragaman genetik yang memadai.Sumber populasi yang secara fisik lebih dekat, atau dari habitat yang mirip, mungkin lebih cocok secara genetik dengan kondisi yang diinginkan.

Jika sumber satwa dari populasi atau wilayah yang terpisah ternyata sudah sangat bercampur secara genetik, mungkin secara genetik menjadi tidak cocok lagi.

Introduksi konservasi dapat membenarkan strategi yang lebih radikal, yaitu secara sengaja mencampurkan beberapa populasi sumber satwa untuk memaksimalkan keragaman di antara individu, dan karenanya meningkatkan kemungkinan beberapa individu yang ditranslokasi atau keturunan mereka berkembang di bawah kondisi baru.

Pertimbangan genetik dalam pemilihan sumber satwa akan menjadi kasus yang spesifik. Jika translokasi dimulai dengan basis genetik yang luas, jumlah individu yang cukup besar, dan selanjutnya untuk kinerja diferensial atau kematian dapat diterima (dan akan dipantau), maka genetika pemilihan sumber satwa tidak mungkin membatasi kelayakan translokasi konservasi.

e. Kesejahteraan satwa

Translokasi konservasi harus sedapat mungkin mematuhi standar kesejahteraan yang diterima secara internasional, tetapi harus mematuhi undang-undang, peraturan, dan kebijakan di wilayah sumber dan pelepasliaran. Harus dilakukan segala upaya untuk mengurangi stress atau penderitaan.

Stress pada hewan yang ditranslokasi dapat terjadi selama pe- nangkapan, penanganan, mengangkut dan menahan, termasuk melalui mengurung individu asing dalam jarak dekat, baik sampai dan setelah pelepasliaran.

Stress mungkin sangat berbeda untuk hewan yang lahir dari penangkaran dan yang di tangkap di alam, khususnya jika me- nerapkan strategi soft release yang justru dapat meningkatkan stress pada hewan yang ditangkap di alam, jika memperpanjang waktu mereka di kandang.

Satwa yang berasal dari alam dapat mengalami stress jika pe- mindahan individu tersebut mengganggu hubungan sosial mereka yang sudah mapan. Dalam penetapan strategi setelah selesai, mungkin memerlukan pemindahan individu dari jenis yang telah dilepasliarkan, khususnya ketika melakukan introduksi konservasi.

Keadaan ini harus dinilai sebelum memulai translokasi.

f. Pertimbangan penyakit dan parasit

Manajemen penyakit dan transfer patogen yang diketahui adalah penting, baik untuk memaksimalkan kesehatan satwa yang di- translokasi dan untuk meminimalkan risiko memaparkan patogen baru ke daerah tujuan.

(19)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

28 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 29

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Walaupun tidak mungkin atau tidak memungkinkan setiap satwa untuk menjadi “bebas parasit dan penyakit”, banyak satwa yang non-patogenik sampai ko-infeksi atau ko-faktor, atau limpahan antara jenis inang menciptakan kondisi yang meningkatkan patogenisitas. Secara khusus, karena kondisi imun inang dapat menentukan patogenisitas suatu organisme, penting untuk mem- pertimbangkan apakah satwa yang ditranslokasi cenderung dapat mengatasi patogen baru dan tekanan yang ditemui di lokasi tujuan atau tidak.

Tingkat perhatian terhadap masalah penyakit dan parasit di seki- tar satwa yang ditranslokasi dan komunitas tujuan mereka harus proporsional dengan potensi risiko dan manfaat yang diidentifikasi dalam setiap situasi translokasi.

Karantina sebelum pelepasliaran, sebagai cara pencegahan penya- kit atau pengenalan patogen, adalah tindakan pencegahan dasar untuk sebagian besar translokasi. Pelaksanaannya harus dinilai berdasarkan kasus per kasus karena dapat menyebabkan stress yang tidak dapat diterima. Stresspada satwa dapat membawa infeksi laten.

Patogenisitas dapat didorong oleh tekanan kondisi penguru- ngan yang tidak dikenal atau tidak wajar, terutama selama proses translokasi.Jika tindakan pencegahan yang wajar diambil dan pencegahan penyakit yang sesuai diterapkan, dengan stress di- minimalkan dalam proses, jarang ada alasan untuk menganggap translokasi tidak mungkin dilakukan karena penyakit dan parasit.

Kelayakan sosial

Setiap usulan translokasi konservasi harus dikembangkan dalam infrastruktur konservasi nasional dan regional, mengakui mandat lembaga yang ada, kerangka kerja hukum dan kebijakan, rencana aksi keanekaragaman hayati nasional atau rencana pemulihan jenis yang ada.

Komunitas manusia di dalam atau di sekitar area pelepasliaran akan memiliki kepentingan sah dalam setiap translokasi. Kepen- tingan-kepentingan ini akan bervariasi, dan sikap masyarakat dapat menjadi ekstrem dan bertentangan secara internal. Konsekuensinya, perencanaan translokasi harus mengakomodasi keadaan sosial ekonomi, sikap dan nilai-nilai masyarakat, motivasi dan harapan, perilaku dan perubahan perilaku, serta biaya dan manfaat yang diharapkan dari translokasi. Memahami ini adalah dasar untuk mengembangkan kegiatan hubungan masyarakat serta mengorien- tasikan masyarakat dalam mendukung translokasi.

Mekanisme untuk komunikasi, keterlibatan dan penyelesaian masalah di masyarakat (terutama individu-individu kunci yang paling mungkin dipengaruhi atau khawatir tentang translokasi), dan pengelola translokasi harus dibentuk dengan baik sebelum rilis dilakukan.

Tidak ada satwa yang harus dipindahkan atau dilepasliarkan tanpa tindakan yang memadai/bersyarat untuk menangani masalah para pihak terkait yang berkepentingan (termasuk masyarakat lokal/

adat). Hal ini ini termasuk pemindahan apa pun sebagai bagian dari strategi setelah selesai.

Jika kepunahan di daerah tujuan yang diusulkan terjadi sejak lama, atau jika introduksi konservasi sedang dipertimbangkan, ma- syarakat lokal mungkin tidak memiliki hubungan dengan jenis yang tidak diketahui oleh mereka, dan karenanya menentang kegiatan pelepasliaran ini. Dalam kasus seperti itu, upaya khusus untuk melawan sikap seperti itu harus dilakukan sebelum pelepasliaran.

Translokasi yang berhasil dapat menghasilkan peluang ekonomi, seperti melalui ekowisata, tetapi dampak ekonomi negatif juga dapat terjadi. Pada tahap desain dan implementasi harus menya- takan potensi dampak negatif pada pihak yang terkena dampak atau untuk oposisi masyarakat. Jika memungkinkan, peluang ekonomi berkelanjutan harus ditetapkan untuk masyarakat lokal.

(20)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

30 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 31

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Aspek organisasi juga penting untuk keberhasilan translokasi.

Banyak lembaga, seperti lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, kelompok kepentingan informal (beberapa di antaranya mungkin menentang translokasi) semuanya memiliki kepentingan hukum atau kepentingan yang sah dalam translokasi. Hal yang penting bahwa terdapat mekanisme untuk semua pihak dalam berperan yang sesuai dan konstruktif. Ini mungkin memerlukan pembentukan tim khusus yang bekerja di luar hirarki birokrasi for- mal yang dapat membimbing, mengawasi dan merespons dengan cepat dan efektif ketika masalah pengelolaan muncul.

Banyak pihak yang terlibat dalam translokasi, sebagian besar translokasi memiliki mandat, prioritas, dan agenda mereka sendiri.

Kegiatan harus diselaraskan melalui fasilitasi dan kepemimpinan yang efektif, agar tidak terjadi konflik yang tidak produktif, yang dapat secara fatal merusak implementasi atau keberhasilan translokasi.

Translokasi yang berhasil harus dapat berkontribusi pada kewa- jiban etika umum untuk melestarikan jenis tersebut dan ekosistem, tetapi keuntungan konservasi dari translokasi harus diseimbangkan dengan kewajiban untuk menghindari kerusakan bagi jenis lain, ekosistem atau kepentingan manusia.

2. Kepatuhan terhadap peraturan

Translokasi konservasi mungkin perlu memenuhi persyaratan peraturan di setiap atau semua level internasional, nasional, regional atau sub-regional. Hal ini termasuk pertimbangan ke- sesuaian penggunaan lahan yang diizinkan dan tidak diizinkan di daerah yang diusulkan untuk dilepaskan atau di mana satwa yang dilepaskan selanjutnya dapat dipindahkan.

Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW Hutan primer yang baik, memberikan habitat yang

terbaik pula bagi Kuskus-kerdil sulawesi Strigocuscus celebensis, satu dari dua kuskus endemik Sulawesi di TN Bogani Nani Wartabone

(21)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

32 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 33

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Di negara mana pun, berbagai lembaga mungkin bertanggung jawab untuk evaluasi proposal, izin impor atau pelepasliaran, atau sertifikasi ketaatan. Program translokasi mungkin memiliki pers- yaratan untuk melaporkan secara teratur kepada lembaga-lembaga tersebut tentang kemajuan dan ketaatan.

Gerakan internasional

Pemindahan individu satwa seperti ini perlu mematuhi persyaratan internasional. Misalnya, perpindahan individu dari jenis apa pun yang ada dalam Appendiks I, II atau III CITES harus memenuhi persyaratan CITES.

Selain itu, peraturan perlu mempertimbangkan apakah izin dan perjanjian diwajibkan berdasarkan Protokol Nagoya untuk menan- gani manfaat yang timbul dari penggunaan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional.

Undang-undang untuk jenis yang dipindahkan di luar daerah asli mereka

Banyak negara memiliki undang-undang formal yang membatasi penangkapan dan/atau pengumpulan jenis dalam yurisdiksi mere- ka. Selain itu, banyak negara memiliki undang-undang resmi yang membatasi pelepasliaran jenis asing, dan ini mungkin berlaku untuk pelepasliaran satwa di negara asal mereka tetapi di luar daerah asli mereka.

Izin untuk melepaskan satwa

Terlepas dari izin untuk mengimpor jenis-jenis tertentu, setiap translokasi konservasi harus diberikan izin pemerintah yang sesuai untuk melepaskan satwa tersebut.

Pemindahan lintas batas

Jika satwa diangkut melalui lintas yurisdiksi atau batas-batas ke- sukuan/adat yang diakui secara formal sebelum dilepaskan, atau kemungkinan besar akan melintasi batas-batas tersebut setelah pelepasliaran, desain translokasi harus sesuai dengan persyaratan yang dibolehkan dan peraturan semua yurisdiksi yang terkena dampak.

Persyaratan kesehatan nasional dan internasional

Di mana ada pergerakan satwa secara internasional, maka harus patuh terhadap standar Organisasi Dunia mengenai Kesehatan Hewan untuk pergerakan satwa dan standar Konvensi Perlindungan Tanaman Internasional, sehingga dapat memfasilitasi izin impor.

Persyaratan nasional untuk kesehatan tanaman dan hewan sebelum pelepasliaran harus dipenuhi. Impor jenis liar yang terlibat sebagai vektor penyakit hewan manusia atau domestik dapat dikenakan peraturan dan kontrol khusus oleh otoritas nasional.

3. Ketersediaan sumberdaya

Manajemen translokasi yang efektif akan benar-benar multi-disiplin, dengan penekanan kuat pada penggabungan keterampilan sosial serta keahlian biologis/teknis.Dalam keadaan normal, translokasi tidak boleh dilanjutkan tanpa jaminan dana untuk semua kegiatan penting selama periode waktu yang memadai.

Lembaga donor harus menyadari bahwa perubahan rasional terhadap rencana translokasi selama implementasi adalah nor- mal, dan anggaran harus cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan tersebut.

(22)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

34 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 35

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

C Penilaian Risiko

Setiap translokasi mengandung risiko bahwa tidak akan mencapai tujuannya dan/atau akan menyebabkan kerusakan yang tidak diing- inkan. Konsekuensinya, serangkaian bahaya yang mungkin terjadi baik selama translokasi dan setelah pelepasliaran satwa tersebut harus dinilai terlebih dahulu.

Harus ditekankan bahwa setiap translokasi di luar daerah asli membawa risiko lebih lanjut, karena: (1) kurangnya kepastian terhadap hubungan ekologis dan ketidakmampuan untuk memprediksi hasil ekologis, dan (2) catatan jenis yang bergerak di luar daerah asli mer- eka yang telah menjadi alien invasif, seringkali dengan dampak buruk yang ekstrem pada keanekaragaman hayati asli, layanan ekologi, atau kepentingan ekonomi manusia.

Risiko adalah kemungkinan suatu faktor-risiko yang terjadi, dikombi- nasikan dengan tingkat keparahan dampaknya.

Risiko individu jenis satwa umumnya akan meningkat seiring peningkatan skala berikut:

1. Durasi periode kepunahan,

2. Tingkat perubahan ekologis selama periode kepunahan, 3. Tingkat ketergantungan kritis dari jenis dimaksud pada

jenis lain,

4. Jumlah jenis yang akan dipindahkan,

5. Perbedaan genetik antara individu asli dan individu yang ditranslokasi,

6. Potensi dampak negatif pada kepentingan manusia, 7. Kemungkinan dampak ekologis yang tidak dapat diterima, 8. Apakah translokasi ke dalam atau di luar jangkauan

daerah asli.

Tingkat penilaian risiko harus proporsional de- ngan tingkat risiko yang diidentifikasi. Jika data- nya buruk, penilaian risiko mungkin hanya kuali- tatif, tetapi tetap perlu karena kurangnya data tidak menunjukkan tidak adanya risiko. Kesimpulan dari penilaian risiko dan studi kelayakan harus menentu- kan apakah translokasi harus dilanjutkan atau tidak.

Bila memungkinkan, harus digunakan metode formal untuk membuat keputusan berdasarkan bukti terbaik. Sebagai prinsip umum, di mana ketidakpas- tian substansial tentang risiko translokasi di luar daerah asli satwa tetap ada, translokasi semacam itu tidak boleh dilakukan.

1. Jumlah faktor risiko yang terjadi, 2. Ketidakpastian atas terjadinya masing-

masing faktor risiko,

3. Ketidakpastian tentang seberapa parah dampaknya,

4. Ketidaktahuan faktor risiko lain yang mungkin,

5. Tingkat kompetensi mereka yang ber- tanggung jawab untuk implementasi, 6. Efek kumulatif dari semua risiko yang

terjadi,

7. Sejauh mana risiko ini berinteraksi.

Sedangkan risiko lanskap secara total akan ditentukan oleh:

(23)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

36 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 37

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Risiko keuangan:

walaupun harus ada beberapa tingkat dalam jaminan pendan- aan untuk diantisipasi dari setiap translokasi, harus ada kesadaran akan kemungkinan kebutuhan pendanaan untuk menghentikan translokasi atau untuk menerapkan pendanaan perbaikan untuk setiap kerusakan yang disebabkan oleh jenis yang ditranslokasi.

Risiko sosial-ekonomi:

ini termasuk risiko yang dampak langsung, ber- bahaya pada manusia dan mata pencaharian masyarakat dari satwa yang dilepaskan, dan dampak ekologis yang lebih tidak langsung dan negatif yang mempengaruhi layanan ekosistem. Translokasi di luar daerah asli memiliki kemungkinan lebih besar dampak sosial ekonomi negatif dan, karenanya, sikap publik yang akhirnya akan merugikan.

Risiko terhadap populasi sumber:

kecuali dalam keadaan langka, memindah- kan individu untuk translokasi tidak boleh membahayakan popu- lasi yang telah ada.

Risiko ekologis:

jenis yang ditranslokasi dapat memiliki dampak besar (baik yang diinginkan/tidak diinginkan, dimaksudkan/tidak dimaksudkan) di lokasi pelepasliaran pada jenis lain dan pada fungsi ekosistem.

Kinerja jenis yang dilepasliarkan mungkin tidak sama dengan keadaan ketika berada di lokasi asalnya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa risiko lebih besar untuk translokasi di luar daerah asli jenis tersebut, dan dampak buruknya mungkin baru muncul setelah bertahun-tahun kemudian.

Risiko penyakit:

karena tidak ada satwa yang ditranslokasi dapat sepenuhnya bebas dari infeksi dengan mikroorganisme atau parasit, dengan risiko penyebarannya, penilaian risiko penyakit harus dimulai pada tahap perencanaan,dengan kedalamannya sebanding dengan perkiraan kemungkinan terjadinya dan tingkat

keparahan dampak dari setiap patogen yang prospektif, dan harus ditinjau secara berkala melalui implementasi.

Risiko invasi terkait:

terpisah dari risiko masuknya patogen, desain translokasi harus memperhatikan biosecurity yang lebih luas dari area pelepasliaran.

Harus juga diperhatikan bahwa jenis yang berpotensi invasif secara tidak sengaja bisa saja terlepakan bersamaan dengan dilepaskannya individu dari jenis yang sengaja dilepasliarkan. Hal ini adalah risiko khusus ketika mentranslokasi organisme perairan atau pulau.

Pelarian gen:

pertukaran gen antara individu yang ditranslokasi dan pen- ghuni adalah salah satu tujuan penguatan populasi dalam pelepasliaran individu jenis tertentu. Namun, ketika populasi yang terisolasi secara historis dicampur, atau di mana satwa dipindahkan di luar daerah aslinya, dan ada risiko hibrid- isasi dengan jenis atau sub-jenis yang berkerabat, ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas keturunan dan/atau hilangnya genetik asli dan utuh darijenis di lokasi tersebut.

Hal ini harus dimasukkan dalam penilaian risiko.

Kategori risiko utama di lokasi trans-

lokasi adalah:

1 2

3

4

5

6 7

(24)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

38 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 39

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

D Juga harus dicatat bahwa risiko dari tindakan konservasi, atau tidak adanya tindakan, berubah seiring waktu. Sebagai contoh, jika translokasi dari populasi yang relatif banyak, maka risiko utama adalah ekosistem tujuan, karena ukuran populasi sumber menurun, risiko terhadap pop- ulasi ini meningkat, sementara tetap sama untuk populasi tujuan.

Babirusa sulawesi Babyrousa celebensis, tersebar cukup luas hampir di seluruh hutan TN Bogani Nani Wartabone

Foto: Ardin Mokodompit / BTNBNW

(25)

Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 41

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Lokasi pelepasliaran harus:

− Memenuhi semua kebutuhan praktis untuk pelepas- liaran yang efektif dengan sedikit tekanan untuk satwa yang dilepaskan,

− Memungkinkan satwa yang dilepaskan untuk mengeks- ploitasi area pelepasliaran di sekitarnya dengan cepat,

− Cocok untuk kebutuhan media dan kesadaran publik, serta keterlibatan masyarakat.

− Sedangkan daerah pelepasliaran harus:

− Memenuhi semua persyaratan biotik dan abiotik jenis tersebut,

− Menjadi habitat yang tepat untuk tahap kehidupan yang dilepaskan dan semua tahap kehidupan jenis tersebut,

− Cukup untuk semua kebutuhan habitat setiap waktu atau musim,

− Cukup besar untuk memenuhi manfaat konservasi yang diperlukan,

− Memiliki konektivitas yang memadai ke habitat yang sesuai jika habitat itu terfragmentasi,

− Cukup diisolasi dari daerah suboptimal atau non-habitat yang mungkin merupakan area yang hilang bagi populasi.

Pelepasliaran dan implementasi

Implementasi translokasi konservasi tidak hanya berupapelepasliaran satwa. Translokasi, termasuk area yang sangat cocok, dapat gagal karena pelepasliaran yang dirancang dengan buruk. Karena itu implementasi harus mempertimbangkan aspek-aspek yang mencakup persyaratan hukum, keterlibatan publik, pengelolaan habitat, sumber dan pele- pasliaran organisme, intervensi, dan pemantauan pasca-pelepasliaran.

Ketika satwa yang dibebaskan menjadi mapan di lokasi pelepasli- aran mereka, penekanan akan bergeser ke pemantauan populasi dan penyesuaian manajemen berdasarkan hasil pemantauan.

Banyak aspek dari biologi satwa yang ditranslokasi, relevan dengan strategi pelepasliaran.Intinya adalah:

− Tahap kehidupan dan waktu-waktu pelepasliaran harus diop- timalkan sehubungan dengan usia atau musim penyebaran alami jenis tersebut, mengingat apakah penyebaran setelah pelepasliaran harus didorong atau dihilangkan,

− Usia/ukuran, komposisi jenis kelamin, dan hubungan sosial satwa-satwa tersebut dapat dioptimalkan untuk pengemba ngan dan tingkat pertumbuhan populasi yang dinyatakan da lam tujuan,

− Keberhasilan translokasi meningkat dengan jumlah individu yang dilepaskan (yang sering ditingkatkan melalui beberapa acara pelepasliaran di lebih dari satu tahun), tetapi ini perlu diseimbangkan dengan dampak pada populasi di sumber asal,

− Pelepasliaran, baik secara bersamaan atau berurutan, di be- berapa lokasi dapat berfungsi untuk menyebarkan satwa yang dilepaskan, dengan beberapa manfaat potensial,

− Meminimalkan stress selama penangkapan, penanganan, trans- portasi dan manajemen pra-pelepasliaran akan meningkatkan kinerja pasca-pelepasliaran,

− Berbagai intervensi dan dukungan manajemen sebelum dan sesudah pelepasliaran dapat meningkatkan kinerja.

2. Strategi pelepasliaran

1. Seleksi area dan lokasi pelepasliaran

(26)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

42 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 43

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Buaya muara Crocodylus porosus, salah satu reptilia paling terancam di TN Bogani Nani Wartabone Foto: Ardin Mokodompit / BTNBNW

Buaya muara Crocodylus porosus, salah satu reptilia paling terancam di TN Bogani Nani Wartabone Foto: Ardin Mokodompit / BTNBNW

(27)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

44

E Pemantauan dan keberlanjutan pengelolaan 1. Pemantauan

Manajemen translokasi adalah proses siklus implementasi, pe- mantauan, umpan balik, dan penyesuaian aspek biologis dan non-biologis sampai tujuan tercapai atau translokasi dianggap tidak berhasil. Terlepas dari desain dan pemodelan translokasi yang menyeluruh, ketidakpastian dan risiko yang melekat akan mengarah pada situasi yang diharapkan maupun yang tidak terduga.

Program pemantauan adalah cara untuk mengukur kinerja satwa yang dilepaskan terhadap tujuan, menilai dampak, dan member- ikan dasar untuk menyesuaikan tujuan atau mengadaptasi rezim pengelolaan atau mengaktifkan strategi setelah selesai nantinya.

Sumber daya yang memadai untuk pemantauan harus menjadi bagian dari kelayakan dan komitmen keuangan.

Data ekologi dasar pra-pelepasliaran akan menambah nilai besar bagi informasi pemantauan selanjutnya. Pemantauan harus dapat mengidentifikasi ancaman baru terhadap populasi yang ditranslo- kasi yang bukan bagian dari desain translokasi.

Intensitas dan lamanya pemantauan sumber dan populasi yang ditranslokasi harus sesuai untuk setiap situasi.Selain memperbaiki translokasi yang sedang berlangsung, kesimpulan dari pemantauan harus dapat menjadi panduan bagi kegiatan translokasi lainnya, baik di lokasi yang sama tau tidak, atau jenis yang sama atau tidak.

Elemen-elemen penting dari pemantauan setelah pelepasliaran,

secara lebih rinci sebagai berikut:

Kinerja demografis

Aspek utama untuk setiap translokasi harus mencakup pemantauan pertumbu- han dan/atau penyebaran populasi, pemantauan yang lebih intensif untuk mem- perkirakan kelangsungan hidup individu yang dilepas- liarkan. Sedangkan aspek reproduksi dan penyebaran mungkin diperlukan ter- gantung pada keadaan.

Pemantauan perilaku

Memantau perilaku individu yang ditranslokasi dapat menjadi indikator awal kemajuan translokasi yang cukup penting, tetapi nilai- nya tergantung pada data komparatif dari populasi alami yang sebanding atau individu yang sama sebelum dikeluarkan dari populasi sumbernya.

Pemantauan ekologis.

Jika translokasi dirancang un- tuk membuat atau mengem- balikan fungsi ekologis, kemajuan menuju tujuan tersebut harus dinilai. Setiap dampak ekologis yang timbul dari translokasi harus dinilai dan ditentukan apakah hal tersebut bermanfaat, masih dapat dikendalikan, atau berbahaya. Hal ini memung- kinkan perubahan rasional dalam manajemen.

Pemantauan genetik

Ketika masalah genetik diidentifikasi sebagai hal penting untuk keberhasilan translokasi, pemantauan da- pat digunakan untuk menilai keragaman genetik dalam menetapkan populasi atau efek dari penguatan atau manajemen lainnya.

Pemantauan kesehatan dan kematian

Ini menilai sejauh mana populasi yang telah mapan di alam mengalami pe- nyakit, atau kondisi ke- sejahteraan yang buruk atau bahkan kematian, sebagai dasar untuk mengi- dentifikasi penyebab yang mendasarinya.

Pemantauan sosial, budaya dan ekonomi

Partisipasi dalam peman- tauan dapat menjadi sarana praktis untuk menarik minat dan dukungan masyarakat lokal, dan dapat digunakan untuk menilai sikap terhadap translokasi, setiap manfaat dan biaya yang timbul, baik langsung maupun tidak langsung.

(28)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

46 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 47

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

F 2. Keberlanjutan Pengelolaan

Beberapa translokasi membutuhkan pengelolaan selama ber- tahun-tahun. Hasil pemantauan akan memberikan dasar untuk melanjutkan atau mengubah pola pengelolaan. Hasil pemantauan juga memberikan justifikasi untuk setiap perubahan dalam tujuan translokasi atau jadwal waktu yang lebih baik.

Belajar dari hasil translokasi dapat ditingkatkan melalui pene- rapan pendekatan pengelolaan adaptif yang lebih formal. Model alternatif didefinisikan sebelumnya dan diuji melalui pemantauan.

Proses ini berarti bahwa model yang digunakan untuk memutuskan manajemen didasarkan pada bukti terbaik.

Penyebarluasan informasi

Pelaporan dan penyebaran informasi secara berkala harus dimulai dari tahap niat atau rencana untuk mentranslokasi itu sendir sampai sepanjang kemajuan dari translokasi tersebut. Informasi ini akan ba- nyak memberikan masukan untuk setiap translokasi konservasi mau- pun pengelolaan translokasi secara kolektif atau dalam area tertentu secara keseluruhan, yaitu:

− Untuk menciptakan kesadarantahuan dan dukungan untuk translokasi kepada pihak-pihak kunci yang terkena dampak.

− Untuk memenuhi persyaratan hukum apa pun.

− Untuk berkontribusi sebagai bagian informasi dan pemahaman tentang translokasi. Upaya kolaboratif untuk mengembangkan ilmu translokasi kan terbantu ketika laporan ini diterbitkan dalam jurnal peer-review (sebagai indikator obyektif berkualitas tinggi), dan termasuk translokasi atau metode yang didokumen- tasikan dengan baik tetapi tidak berhasil serta yang berhasil.

− Sarana penyebaran masal, seperti melalui media cetak konvensional, radio, dan film, atau media berbasis internet seperti pertemuan ke- hadiran virtual, dan jejaring sosial). Media, format, dan bahasa yang digunakan semuanya harus sesuai untuk audiens target.

Foto: Richard Montolalu / BTNBNW Serindit sulawesi Loriculus stigmatus, salah

satu kelompok jenis burung paruh-bengkok di TN Bogani Nani Wartaboone

(29)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

48

Penutup

P

rinsip kehati-hatian harus diutamakan dalam setiap proses translokasi dan pelepasliaran satwa, khususnya di dalam kasa- wasan TN Bogani Nani Wartabone ini. Kajian awal harus menjadi perhatian utama agar pelepasliaran bukan hanya sekedar untuk menghilangkan beban pengelola satwa itu sebelumnya, namun juga harus menjadi pelajaran berharga, baik keberhasilan maupun kegagalannya. Mudah-mudahan semua kegiatan translokasi dan pelepasliaran yang dilangsungkan ke dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone ini dapat menambah nilai kawasan dan produk- tivitas fungsi kawasan.

Bahan acuan

IUCN/SSC (2013). Guidelines for Reintroductions and Other Conser- vation Translocations. Version 1.0. Gland, Switzerland: IUCN Species Survival Commission. Available on line at: www.iucnsscrsg.org

Sanca bantik Python reticulatus reticulatus, reptilia cantik yang rentan terhadap perburuan dan perdagangan di Sulawesi Utara Foto: Fitri Sindhung Yugisworo / BTNBNW

(30)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

50

Lanskap TN Bogani Nani Wartabone, memberikan habitat terbaik bagi berbagai jenis satwa asli Sulawesi Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

Lampiran

(dibuat untuk tiap jenis satwa yang akan dilepasliarkan pada satu rangkaian waktu)

Lanskap TN Bogani Nani Wartabone, memberikan habitat terbaik bagi berbagai jenis satwa asli Sulawesi Foto: Hanom Bashari / EPASS-BTNBNW

(31)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

52 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 53

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Lembar penilaian

PELEPASLIARAN SATWA DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE Penanggung jawab pelepasliaran

(Sebutkan nama personal dan lembaga yang bertanggung jawab terhadap proses pelepasliaran ini)

Nama jenis

(Sebutkan dari tingkat suku/family, jenis, sampai sub-jenis jika ada) Jumlah

(Individu)

Umur dan jenis kelamin

(Jelaskan umur dan jenis kelamin dari setiap individu satwa yang akan dile- pasliarkan, jika diketahui)

Rencana waktu pelepasliaran

(Sebutkan rencana tanggal pelepasliaran) Lokasi pelepasliaran

(Sebutkan dan gambarkan dalam peta, lokasi/tapak pelepasliaran dan area yang diperkirakan menjadi lokasi/habitat satwa setelah pelepasliaran) Asal satwa

(Jelaskan daerah asal satwa secara detail jika satwa berasal dari tangkapan alam; atau jelaskan sejarah satwa jika hasil dari penangkaran atau kelahiran di luar habitat aslinya)

Tujuan umum

(Jelaskan tujuan umum pelepasliaran, apakah untuk pemulihan populasi da- lam bentuk penguatan populasi atau reintroduksi, ataukah untuk introduksi konservasi dalam bentuk kolonisasi yang dibantu atau penggantian ekologis)

Sasaran

(Tetapkan sasaran yang ingin dicapai dari pelepasliaran ini, yaitu bagaimana tujuan umum di atas akan direalisasikan)

Penilaian kelayakan 1. Kelayakan biologi

a. Informasi umum satwa

(Jelaskan aspek bio-ekologi umum satwa yang akan dilepasliarakan, habitat yang sesuai, peran ekologis, populasi global, situasi taksonomi jika ada, dsb.)

b. Informasi asal satwa

(Jelaskan habitat asal satwa, kondisi ancaman di lokasi asal, keadaan populasi di habitat asal, dsb.)

c. Informasi satwa yang akan dilepasliarkan

(Jelaskan kelayakan kondisi satwa, jenis uji penyakit menular satwa yang telah diujikan, siapa yang melakukan uji kesehatan, lampirkan hasilnya, bagaimana aspek kesejahteraan satwa ini sampai siap dile- pasliarkan, jika dipasang tagging, siapa dan dari lembaga mana, dsb.) d. Informasi habitat tempat satwa dilepasliarkan

(Jelaskan habitat target, kesesuaian dengan habitat satwa yang dib- utuhkan, dsb.)

2. Kelayakan sosial

a. Keadaaan sosial masyarakat asal satwa

(Jelaskan kondisi sosial atau persepsi masyarakat terhadap keberadaan satwa ini di lokasi asal)

b. Keadaan sosial masyarakat di lokasi tujuan pelepasliaran

(Jelaskan kondisi sosial atau persepsi masyarakat terhadap keberadaan satwa ini di lokasi yang akan dilepasliarkan)

(32)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

54 Pedoman Pelepasliaran Satwa Liar 55

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

3. Perundang-undangan yang sesuai

(Nyatakan bahwa pelepasliaran ini sudah sesuai dengan perundang-un- dangan yang berlaku dan sebutkan undang-undang atau peraturan yang menaunginya, baik lokal/perda, nasional, maupun international)

4. Dukungan para pihak

(Sebutkan para pihak yang secara nyata mendukung program pelepasli- aran ini dalam jangka pendek maupun panjang, khususnya memastikan sumber pembiayaan yang berkelanjutan).

Penilaian Risiko

1. Risikopopulasi sumber satwa dan populasi yang akan dilepasliarkan (Uraikan risiko apa yang mungkin terjadi terhadap populasi di daerah asal satwa dan daerah pelepasliaran)

2. Risiko ekologis

(Uraikan risikoterhadap ekosistem ketika atau setelah satwa dilepasliarkan) 3. Risiko perilaku dan aspek biologis

(Uraikan risiko perubahan perilaku atau aspek bilogis satwa yang mungkin terjadi setelah dilepasliarkan akibat perlakuan sebelum dilepasliarkan atau akibat penandaan yang diberikan [tagging])

4. Risiko penyakit

(Jelaskan jika ada risiko terbawanya penyakit dari satwa yang dilepasliar- kan ke satwa yang berada pada lokasi yang sama)

5. Risiko invasi jenis

(Jelaskan apakah ada risiko satwa yang dilepasliarkan berubah menjadi jenis yang invasif)

6. Risiko genetika

(Jelaskan apakah ada risiko pencampuran gen yang tidak diinginkan dari satwa yang dilepasliarkan ini terhadap satwa sejenis di lokasi pelepasliaran)

7. Risiko sosial ekonomi

(Uraikan risiko yang mungkin terjadi terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah sekitar pelepasliaran, mis. potensi menjadi hama, diburu, dsb.)

8. Risiko keuangan

(Jelaskan apakah ada risiko program ini berhenti di tengah jalan karena tidak ada pembiayaan lanjutan atau jaminan pembiayaan yang jelas) Proses pelepasliaran

1. Titik pelepasliaran

(Sebutkan dan jelaskan lokasi detail pelepasliaran, seperti posisi GPS, arah perkiraan pergerakan satwa, dsb. Penjelasan melalui grafis berupa peta akan lebih baik)

2. Waktu pelepasliaran

(Sebutkan kapan rencana pelepasliaran dilakukan) 3. Pelaku pelepasliaran

(Sebutkan siapa saja yang akan melakukan secara fisik pelepasliaran ini, berserta lembaganya)

4. Proses dan strategi pelepasliaran

(Uraikan proses pelepasliaran yang akan dilaksanakan, mulai satwa dib- erangkatkan dari lokasi asal sampai siap untuk dilepasliarkan)

Pemantauan dan keberlanjutan 1. Pemantauan

(Uraikan rencana pemantauan setelah pelepasliaran ini, mis. pemasangan tagging, jadwal pemantauan, pelaksana pemantauan, sistem pelaporan, dsb.)

2. Keberlanjutan

(Jelaskan rencana tindak lanjut, setelah proses pelepasliaran ini)

(33)

Dini Rahmanita & Hanom Bashari

56

Penyebarluasan informasi

(Jelaskan strategi yang akan dilakukan untuk menyebarluaskan informasi proses pelepasliaran ini, baik peliputan media, pelaporan, pihak-pihak yang dilibatkan, dsb.)

Strategi setelah selesai (exit strategy)

(Uraikan kondisi seperti apa proses pelepasliaran, pemantauan, dan intervensi dapat dihentikan)#

(34)

ISBN 978-623-91240-2-1

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS) – Project

Jalan AKD, Mongkonai Barat, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara Telp: +62 81245941865 E-mail: btnbnw@yahoo.com

www.boganinaniwartabone.org

Gambar

Tabel 1. Keberadaan jenis-jenis satwa liar Sulawesi yang berpotensi  dilepasliarkan ke dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone

Referensi

Dokumen terkait

Judul skripsi : jelas tidaknya mahasiswa mengemukakan kandungan variable penelitian, baik variable bebas maupun variable terikat, dimana lokasi atau institusi atau area

Berbeda dengan penelitian ini, layanan penguasaan konten diberikan untuk meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa di mana tidak hanya keterampilan komunikasi saja

Masalah – masalah tersebut di atas juga dibuktikan dengan kajian hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pautina (2012) yang menjelaskan bahwa siswa yang

Suatu aset keuangan (atau mana yang berlaku, bagian dari aset keuangan atau bagian dari kelompok aset keuangan yang sejenis) dihentikan pengakuannya pada saat:

Bila pekerja menggunakan kacamata bifokal biasa yang dirancang untuk melihat objek yang dekat (30 cm) dengan bagian bawah kacamata, maka harus mendongak ke atas dan sedikit

Dari dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa likuiditas bagi instusi perbankan mencakup dua hal yakni kemampuan bank Islam untuk segera memenuhi liabilitas yang telah

Sosialiasi yang dilakukan oleh pihak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Gubeng semata-mata dilakukan untuk mengenalkan Faktur Pajak Elektronik kepada Pengusaha

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut; (1) Corporate Social Responsibility memiliki hubungan yang sangat kuat, searah dan signifikan