JAWABAN PEMERINTAH ATAS
PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENGENAI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TANGGAL, 11 JULI 2001
DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 4-5 Jakarta
ARSIP DPR RI
JAW ADAN PEMERINTAH ATAS
PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI DPR-RI MENG EN AI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR31TAHUN1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Tanggal 11 Juli 2001
--·-·' ---· - - - -
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat, Hadirin dan Sidang yang kami muliakan,
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, perkenankanlah kami mengajak Pimpinan dan Anggota Dewan yang terhormat serta hadirin sekalian untuk bersama-sama memanjatkan puji syukur ke haclirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, pada hari ini Rabu tanggal 11Juli2001 dapat menghadiri sidang yang mulia ini dalam rangka mendengarkan Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengenai Rancangan Undang-lllldang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disampaikan dalam Sidang Paripuma DPR-RI pada hari Senin tanggal 18 Juni 2001.
Penyusllllan RUU ini dimaksudkan untuk melengkapi dan menyelaraskan perkembangan hukum di masyarakat yang menuntut adanya refonnasi di bidang hukwn, khususnya dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, Pemerintah mengharapkan sekiranya pembahasan R UU tersebut dapat diselescikan sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan, sehingga dapat segera diwujudkan adanya Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kompsi yang lebih
ARSIP DPR RI
lengkap disusllll atas dasar atau prinsip hukum yang berlaku secara universal, sehingga diharapkan mampu memberikan perlindungan hukwn dan keadilan, serta memberikan kepastian hukwn kepada warga negara Republik Indonesia.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan Yang Terhormat,
Sebelum memberikan jawaban atas pernandangan umum yang disampaikan Fraksi-fraksi DPR-RI melalui masing-masing juru bicaranya, perkenankanlah kami atas nama Pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas masukan para Anggota Dewan yang terhonnat, yang berupa pertanyaan, pendapat, usul, atau saran-saran yang konstruktif Berbagai masukan tersebut sangat berharga dalam upaya penyempurnaan materi yang diatur dalam RUU yang kita bahas bersama ini.
Selanjutnya, perlu dikemukakan bahwa Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama berupa penje1asan umwn dan bagian kedua berupa jawaban atas tanggapan yang dikemukakan Fraksi-fraksi terhadap substansi RUU.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan Yang Terhormat,
Kita menyadari bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan melembaga serta terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, oleh karena itu korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau lebih dikenal dengan istilah "extra-ordinary crimes". Dengan demikian, pemberantasan dan penanggulangan terhadap tindak pidana korupsi haius dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan penerapan sistem pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Agar tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan lebih intensif, dalam RUU telah pula diatur mengenai perluasan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk yang dirumuskan bahwa "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili; dan
ARSIP DPR RI
dari dokwnen, yakni setiap rekaman data atau infonnasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapW1 selain kertas, maupW1 yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 TahWl 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat ''premium remedium " dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Be bas dari Korupsi, Kolusi, dan N epotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini dikhususkan pada tindak pidana baru tentang
"pemberian" yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
"gratification" dan terhadap ''perampasan" harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu dakwaan tindak pidana sebaga~ana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 TahWl
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam R UU ini diatur pula mengenai perampasan yang dapat dilakukan terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan barn diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukwn tetap.
Harta benda yang disembm1yikan atau tersembunyi tersebut ada!ah harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Dalam hal demikian, negara diberikan hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk Komisi Pemberantasan Korupsi, jaksa, instansi yang dirugikan, atau kuasa yang ditunj uk, untuk mewakili negara.
Untuk terciptanya kepastian hukum, dalam RUU ini ditambahkan Ketentuan Peralihan. Ketentuan Peralihan ini pada dasamya sesuai dengan asas Utnlllll
hukwn pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang- w1dang Hukwn Pidana, yakni apabila tindak pidana dilakukan sebelum ketentuan pidana tersebut diubah, sehingga mengenai tindak pidana tersebut
ARSIP DPR RI
terdapat dua ketentuan widang-undang yakni Wldang-Wldang yang lama dan yang baru, maka dipilih yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Dari penjelasan wnwn di atas, Pemerintah mengharapkan adanya pemahaman yang sama yang secara substantif tidak lagi menimbulkan perbedaan yang esensial, sedangkan perbedaan yang mWlgkin masih ada, kiranya hanya terbatas pada hal-hal yang sffatnya redaksional dan teknis penyusunan RUU.
Dengan demikian, pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR-RI, dapat dilakukan dengan lancar dan cepat sehingga target penyempurnaan atas Undang-undang Nomor 3 I Tahun I 999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat segera terwujud dalam rangka menciptakan pemerintahan ( dalam arti luas) yang bersih dan berwibawa serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sesuai dengan amanat Tap MPR Nomor XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Saudara Pimpinan dan Anggota Dewan Yang Terhormat,
Setelah menyampaikan penjelasan umwn tersebut, perkenankanlah kami menyampaikan penjelasan terhadap tanggapan atau saran substansi RUU yang telah disampaikan oleh masing-masing Fraksi yang kami susun sebagai berikut:
1. F-PDKB
a. meminta penjelasan mengenai bagaimana menetapkan rekaman, dokumen, atau informasi tersebut asli atau hasi1 rekayasa karena kita belum memiliki culmp pakar untuk mengidentifikasi keaslian informasi.
Terhadap pertanyaan F-PDKB tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa untuk membuktikan bahwa data dalam bentuk rekaman atau dokwnen tersebut asli atau tidak, pengadilan dapat menghadirkan ahli yang diperlukan.
U ntuk menghadirkan ahli terse but, pada saat ini telah terdapat beberapa pakar atau ahli di bidang teknologi infonnasi.
Terhad.ap pertanyaan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas beban pembuktian, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa sesuai dengan asas yang dianut dalam R UU ini untuk menerapkan asas pembuktian terbalik, maka yang utama beban pembuktian diletakkan pada terdakwa.
ARSIP DPR RI
Terhadap pertanyaan mengenai Pasal 38 B RUU yang mengatur mengenai gugatan perdata terhadap terpidana atas harta benda miliknya yang dikatakan dapat dijadikan obyek pemerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa gugatan perdata ini dimaksudkan untulc menyelamatkan kekayaan negara yang dengan sengaja disembunyikan oleh terpidana yang belwn terjangkau atau terungkap pada waktu dilaksanakan pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Gugatan perdata ini dimaksudkan pula sebagai upaya hukum menghindari asas ne bis in idem dalam rangka ntencegah adanya niat bagi terdakwa yang dengan sengaja menyembunyikan basil tindak pidana korupsi.
b. berpendapat bahwa pembuktian terbalik me1anggar hak asasi manusia apabila dilakukan pada tingkat penyelidikan, penyidikan, da.n penuntutan. Untuk itu, pembuktian terbalik hams dilakukan pada tingkat pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Di samping itu, perlu dibuatkan pembatasan, misalnya, diperuntukkan bagi tindak pidana perpajakan clan keimigrasian atau yang menyangkut kerugian negara di atas Rp.100.000.000,-.
Mengenai pendapat dan saran tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa di dalam RUU telah diadakan pembatasan mengenai pembuktian terbalik, yakni hanya diterapkan pada tindak pidana penyuapan dan perampasan harta basil korupsi setelah dibuktikan pidana pokoknya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di dalam proses peradilan, pembuktian terbalik ini juga dibatasi, yakni hanya pada pemeriksaan di sidang pengadilan.
c. menyarankan agar dipertimbangkan kemungkinan penerapan asas retroaktif terhadap perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. Mengenai keinginan w1tuk menerapkan asas retroaktif, Pemerintah berpendapat bahwa penerapan asas retroaktif pada dasamya menyimpang dari sistem hukwn pidana yang menganut asas legalitas. Di samping itu,
ARSIP DPR RI
penerapan asas retroaktif dalam hukwn pidana dapat menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia.
2. F-PKB
a. mempertanyakan mengenai penerapan pembuktian terbalik yang dilakukan secara terbatas. Mengenai pertanyaan ini yang juga dipertanyakan oleh F-PDKB Pemerintah telah menjelaskan bahwa penerapan pembuktian terbalik tersebut memang dilakukan secara terbatas. Pemerintah sangat sependapat dengan keinginan F-PKB tersebut agar pembahasan RUU ini dilakukan secara hati-hati sehingga tercipta prinsip keadilan dan mengedepankan perlindungan hak asasi manusia.
Mengenai saran agar dipikirkan sanksi bagi koruptor· Wltuk kunm waktu litna sampai sepuluh tahWl ke depan, Pemerintah berpendapat bahwa penghapusan pidana minimum khusus dimaksudkan sebagai sanksi yang. fleksibel yang dapat diberlakukan pada masa yang akan datang dengan tetap memberikan kebebasan atau keleluasaan hakim dalam menerapkan hukwn sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
b. berpendapat bahwa Pasal 12 A ayat (3) seakan-akan menganulir ayat (I). Mengenai pendapat terse but, Pemcrintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan ayat (3) pada ,dasamya bukan menganulir ayat (I) tetapi justru dimaksudkan untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana.
Saran agar dipikirkan adanya alat bukti lain yang sekiranya dapat menjangkau perkembangan pengetahuan teknologi ke depan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa penambahan alat bukti yang tercantum Pasal 26 huruf d dan e dimaksudkan untuk mencakup dan menjangkau perkembangan pengetahuan dan teknologi ke depan. Hal ini tercennin pada Pasal 26 huruf d dalam frasa yang berbWlyi " .. serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada .. ".
c. berpendapat bahwa Pasal 43 A tidak memberi kepastian hukum dan mengisi kekosongan hukum sebagaimana dijelaskan
ARSIP DPR RI
Pemerintah dalam Keterangan Pemerintah beberapa waktu yang la1u, Pemerintah seka1i 1agi menje1askan da1am forum yang terhormat Int bahwa "Ketentuan Peralihan" tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dan sekaligus untuk menghindari adanya berbagai penafsiran di masyarakat. Di samping itu, ketentuan peralihan ini pada dasamya sesuai dengan asas wnwn hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni apabila tindak pidana dilakukan sebelwn ketentuan pidana tersebut diubah sehingga untuk tindak pidana tersebut terdapat pilihan karena ada dua macrun undang-undang yang lama dan yang barn, maka dipilih yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Mengenai · usulan diterapkannya asas "berlaku surut", Pemerintah telah menjelaskan unruk usul yang sama yang diajukan oleh F-PDKB.
3. F-KKI
a. mempertanyakan apakah ditetapkan ancaman hukum maksimal atau minimal baik untuk pidana penjara maupun denda, Pemerintah secara sepintas telah menyinggung mengenai . pertanyaan yang sama yang disampaikan oleh F-PDKB, namun untuk memperjelas pertanyaan tersebut, Pemerintah berpandangan bahwa penghapusan pidana minimum khusus tersebut dimaksudkan untuk menjamin rasa keadilan di masyarakat mengenai penjatuhan pidana oleh hakim bagi pelalm tindak pidana korupsi yang memang bukan dimaksudkan untulc merugikan keuangan negara. Untuk itu, ,putusan pidana ini sepenuhnya diserahkan kepada hakim dan diharapkan putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat dan masyarakat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menilai putusan pengadilan tersebut secara bertanggung jawab.
Terhadap pertanyaan apakah pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh badan hukwn, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa sesuai derigan ketentuan Pasal I angka 3 Undang-widang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah ditegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi adalah "setiap orang, yakni orang perseorangan atau termasuk
ARSIP DPR RI
korporsi". Ketentuan tersebut masih berlaku karena tidak diubah oleh RUU ini.
Terhadap pertanyaan mengenai "nilai suap" dikait.kan dengan sistem hukum pidana yang .mengkualifikasikan perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukwn pidana tanpa melihat besar kecilnya nilai suap, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pembatasan nilai Rp. 10.000.000,00 bukan untuk menentukan apakah pemberian tersebut termasuk suap atau '
tidak, tetapi untuk menentukan beban pembuktian, yakni apabila nilai pemberian Rp.10.000.000,00 atau lebih, pembuktian dibebankan kepada terdakwa, sedangkan apabila pemberian kurang dari Rp. I 0.000.000,00, pembuktian dibebankan kepada penuntut wnum. M engenai penentuan batasan nilai pemberian yang hams dibuktikan terbalik, Pemerintah bersedia membahas dalam tingkat pembahasan selanjutnya.
b. menyarankan agar pembuktian terbalik diterapkan pada tingkat pemeriksaan di pengadilan. Mengenai saran ini Pemerintah sependapat.
Saran agar untul< mendapatkan alat bukti . yang diperluas pengertiannya tidak bertentangan dengan kaidah hukwn positif, hak asasi manusia, dan moral Pancasila, Pemerintah berpendapat bahwa Wltuk memperoleh alat bukti tersebut akan selalu mendasarkan pada KUHAP dan hukwn acara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. F-PDU
menyarankan agar pembuktian terbalik diterapkan pada pemeriksaan di sidang pengaqilan, Pemerintah telah menjelaskan bahwa untuk saran tersebut Pemerintah sependapat.
Adanya anggapan bahwa ketentuan Pasal 12 A RUU akan mengakibatkan dibentuknya Komisi Anti Korupsi di setiap kabupaten, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa di dalam RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah ditentukan bahwa Komisi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
ARSIP DPR RI
Mengenai usulan agar pelaporan penerimaan hadiah Rp. l 0.000.000,- atau lebih disampaikan ke kejaksaan negeri, Pemerintah bersedia membahas lebih lanjut dalam pembahasan tingkat berikutnya.
5. F-Reformasi
F-Refonnasi mengusulkan agar pelaksanaan sistem pembuktian terbalik hams diikuti dengan sistem administrasi dan dokwnentasi atas penyelenggara negara yang memadai, Pemerintah mengucapkan terima kasih atas usulan yang sangat kondusif tersebut.
Mengenai usulan agar Komisi Anti Korupsi yang akan dibentuk nanti memiliki kewenangan yang berlaku surut dan berwenang pula memeriksa dari tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penwitutan, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa di dalam RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur mengenai usulan F- Refonnasi dan hal ini tidak tepat apabila diatur di dalam RUU ini karena ruang lingkup pengaturannya sangat berbeda.
6. F-TNI/Polri
a. Berkaitan dengan pertimbangan penghapusan pidana minimwn khusus pada Pas al 5, Pasal 6, Pas al 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, Pemerintah telah menjelaskan sesuai dengan pertanyaan F-PKB dan F-KKI. Demikian pula terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan Pasal 12 A mengenai pertimbangan ditetapkan nilai Rp. l 0 juta rupiah serta pembentukan Komisi di daerah tingkat II yang telah pula kami jelaskan dalam Jawaban atas pertanyaan F-PKB, F-KKI, dan F-
PDU.
b. Mengenai pertanyaan apakah ketentuan Pasal 37 A merupakan delik, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 37 A tersebut bukan merupakan delik tersendiri melainkan dimaksudkan untuk memperkuat alat bukti.
c. Terhadap Pasal 43 A, kata "diperiksa" kaitannya dengan hukwn fonnal mengakibatkan Undang-Wldang Nomor 3J Tahllil 1999 menjadi mandul karena tidak mampu mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi sebelwn 16 Agustus 1999. Atas pertanyaan tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa kata
ARSIP DPR RI
"diperiksa" mencakup pula tindakan penyidikan dan penuntutan, dengan demikian tindak pidana yang terjadi sebelwn tanggal 16 Agustus 1999 tetap akan diberlakukan ketentuan Undang- undang N omor 3 Tahwi 1971.
d. Mengenai sistem pembuktian terbalik yang dikhawatirkan menimbulkan peluang petugas untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, Pemerintah telah menjelaskan mengenai hal tersebut sebagaimana dipertanyakan oleh F-PKB, F-KKI, F- PDU, dan F-Refonnasi.
7. F-PDIP
a. mempertanyakan mengenai pidana minimum khusus yang dianut oleh Undang-Widang Nomor 31 Tahun 1999, Pemerintah telah kemukakanjawaban tersebut sebagaimana dipertanyakan oleh F- PKB, F-KKI, dan F-TNI/Polri.
b. Mengenai pemyataan bahwa di dalam RUU terdapat ketidakkonsistenan mengenai stelsel pemidanaan yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal I I yang menganut a]tematif dan kumulatif pemidanaan, dan Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
I 0, dan Pasal 12 yang menganut kwnulatif saja yang dapat mengakibatkan disparitas dalam penjatuhan pidana, Pemerintah.
dapat menjelaskan bahwa stelsel tersebut telah · disepakati bersama pada waktu membahas RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam doktrin hukum pidana yang berkembang sampai saat ini, sistem pemidanaan memang ada yang kwnulatif ( umwnnya untuk tind~ pidana yang berat ), dan yang altematif (umwnnya untuk tindak pidana ringan) dan ada juga yang kwnulatif alternatif, untuk yang terakhir ini peneraparmya diserahkan kepada hal :im sesuai dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
c. Terhadap saran untuk menyempumakan alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 26 A agar dimuat di dalamnya alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa dengan sendirinya alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP tetap berlaku sebagai alat bukti yang dianut oleh RUU
ARSIP DPR RI
ini karena Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 masih memberlakukan KUHAP.
cl. Mengenai usulan agar cliterapkan asas retroaktif, Pemerintah telah menjelaskan terhadap usulan yang sama yang disampaikan oleh F-PDKB dan F-PKB.
e. Terhadap saran agar Pasal 44 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dicabut, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 44 tersebut mutlak diperlukan agar tercipta kepastian hukwn. Hal ini dikaitkan dengan usu] perubahan untuk ditambahkan oleh Pemerintah mengenai Bab Ketentuan Peralihan yang mengatur peralihan akibat dicabutnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dengan demikian, Undang-Wldang Nomor 3 Tahun 1971 tetap dicabut sesuai dengan keberlakuan undang-undang baru, yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun .1999.
8. F-PBB
a. Menyarankan agar dalam menerapkan pembuktian terbalik perlu dipikirkan dengan jemih dan hati-hati mengenai akibat dan konsekuensinya, Pemerintah mengucapkan terima kasih dan saran tersebut pada clasamya juga telah clisampaikan beberapa fraksi clan Pemerintah telah mengemukakan pendapatnya atas usul-usul tersebut.
b. Terhaclap pertanyaan mengenai bagaimana bentuk penujukan KPTPK untuk mewakili negara dalam mengajukan gugatan perdata, siapa yang menwij uknya, dan apakah tidak memungkinkan negara menunjuk pihak lain ? Mengenai pertanyaan tersebut, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa di dalam Penjelasan Pasal 38 B telah ditentukan bahwa penunjukan KPTPK dilakukan oleh negara dan penunjukan tersebut tidak hanya terhadap KPTPK, melainkan juga dapat ditunjuk jaksa, instansi yang dirugikan, atau k uasanya.
c. Terhadap usulan agar dicantwnkannya pidana minimwn khusus dengan syarat perlu dibatasi jumlah minimal kerugian negara sehingga dapat menghindarkan hakim membebaskan terdakwa, Pemerintah mengucapkan terima kasih atas saran tersebut clan
ARSIP DPR RI
d. Terhadap . usulan agar diatur ketentuan barn mengenai
"perlindWJgan saksi" dalam R UU, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan mengenai "perlindungan saksi"
telah dipersiapkan oleh Pemerintah yang dituangkan dalam RUU secara komprehensif yang insyaallah tahun m1 dapat disampaikan kepada Dewan yang terhonnat.
9. F-PG
a. berpendapat bahwa penghapu~clll pidana minimwn khusus adalah · kurang tepat karena pidana minimwn khusus dapat dijadikan kontrol terhadap aparat penegak hukwn yang menangani kasus korupsi, mengenai pendapat ini sebagaimana juga dipertanyakan oleh Fraksi-fraksi sebelumnya, dan Pemerintah bersedia mendiskusikan lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya.
b. Terhadap usulan agar disusWJ ulang rwnusan tersendiri yang merujuk pasal-pasal dalam KUHP, Pemerintah berpendapat bahwa rujukan tersebut pada dasarnya mengacu pada Undang- undang yang sekarang berlaku (hukum positif).
Mengenai asas pembuktian terbalik, sekali lagi Pemerintah menjelaskan bahwa pembuktian terbalik ini hanya terhadap.
tindak pidana korupsi yang ditentukan dalam Pasal · 2 s. d. 16 sebagai tindak pidana pokok dan basil korupsi tersebut harus dibuktikan oleh terdakwa bahwa harta yang dimilikinya tersebut bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Men~enai
penerapannya dalam hukum acara dan juga jenis kasus tertentu, pemerintah bersedia unµ.ik membahas lebih lanjut dalam tingkat pembahasan berikutnya.
10. F-PPP
a. berkaitan dengan pennintaan klarifikasi mengenai penerapan sistem pembuktian terbalik sebagaimana pemah dijelaskan dalam Keterangan Pemerintah sehubt;mgan dengan penyampaian RUU tentang Perubahan Atas U~dang-undang Nomor 31 Tahun 1999 kepada Pimpinan DPR-RI dapat dijelaskan bahwa atas
ARSIP DPR RI
pennintaan klarifikasi tersebut, Pemerintah bersedia untuk mendiskusikan dalam pembahasan berikutnya kalau masih dianggap perlu adanya fonnulasi atau kriteria yang lebih tepat.
b. Mengenai saran Pasal 38 A untuk dikaji agar tidak mengaburkan sistem pembuktian, Pemerintah bersedia WJtuk membahas bersama dalam tingkat pembahasan berikutnya.
Mengenai Pasal 28 Undang-undang Nomor 31Tahun1999 perlu dijabarkan sebagai penerapan sistem pembuktian terbalik yang dimulai sejak tahap penyidikan terhadap tersangka, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 28 tersebut bukan diartikan sebagai sistem pembuktian terbalik, melainkan hanya terbatas pada pemberian keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
c. Terhadap pertanyaan apakah Pasal 43 A RUU tidak · menimbulkan kevakuman hukum, Pemerintah telah mengemukakan pendapatnya sehubWJgan dengan pertanyaan yang sama yang diajukan oleh F-TNI/Polri.
Kaitannya dengan Pasal 43 A RUU, kata "pengecualian" yang dihubungkan dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP, apakah Pemerintah meragukan berlakunya, Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut ? Pemerintah berpendapat bahwa justru pengecualian tersebut sesuai dengan asas wnum yang dianut dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Di dalam Penjdasan Umum RUU dikemukakan bahwa
"ketentuan peralihan" pada dasamya sesuai dengan asas wnwn hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP".
d. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana Pemerintah menyikapi ketentuan Pasal 23 Undang-W1dang Nomor 31 Tahw1 1999 yang terkait langsung dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang ancamannya lebih berat daripada ancaman pidana minimal dan denda dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut dan mengapa Pasal 32 tersebut tidak dimasukkan dalam "kekecualian" ?
ARSIP DPR RI
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa dengan diatumya Ketentuan Peralihan dalw'!J R UU ini, dimaksudkan agar tidak terdapat keragu-raguan lagi hukum mana yang harus diterapkan , dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 oleh Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
e. Pertanyaan selanjutnya adalah apa maksud Pemerintah mencantumkan frasa "maksimum. pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa", dan dari sisi mana Pemerintah melihat untung rugi tersebut ?
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa bila terjadi perubahan dalam suatu undang-undang maka Ketentuan Pidana yang diterapkan kepada terdakwa ada1ah ketentuan yang menguntungkan baginya. Pemerintah menegaskan hal tersebut sesuai dengan asas hukwn pidana.
f Terhadap perubahan penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang, Nomor 31 TahWl 1999 yakni dengan menambah kata "dana- dana", disarankan agar rwnusannya diperbaiki karena terhadap pengulangan tindak pidana korupsi bukanlah hal menyangkut dana.
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa perubahan penjdasan tersebut adalah untuk menjelaskan frasa "keadaan tertentu"yang semula dijelaskan sebagai "kapan korupsi terjadi" tetapi seharusnya "apa yang dikorupsi" yakni "dana-dana" tersebut.
Mengenai pertanyaan mengapa pidana minimum dihapus, Pemerintah telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang sama yang dikemukakan oleh F-PKB, F-KKI, F-TNI/Polri, dan F-PBB.
g. Terhadap Pasal 12 A RUU perlu dicermati agar tidak menimbulkan kekaburan pada pengertian yang ditentukan dalam Pasal I angka 2 dan bercampumya ketentuan pidana dan hukum acara pidana dalam satu pasal.
Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pengacuan kepada Pasal 1 angka 2, justru dimaksudkan untuk memperjelas pengertian
"pegawai negeri" yang diatur dalam Pasal 12A agar pengertian
ARSIP DPR RI
pegawai negeri tidak : ditafsirkan berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 tersebut.
h. Terhadap Pasal 26 A RUU, F-PPP berpendapat bahwa pengobrak-abrikan sistematika dalam pefWldang-undangan kita dan bukan membuat lebih jelas, akan tetapi sebaliknya semakin mengaburkan ketentuan hukwn yang telah ada. Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 26 A hanyalah perluasan alat bukti yang sah berupa petunjuk yang belum tercantwn dalam KUHAP.
Pimpinan dan Para Anggota Dewan yang terhomat,
Demikianlah Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umwn Fraksi-fraksi dalam Dewan yang terhonnat ini. Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa jawaban yang disampaikan oleh Pemerintah ini mungkin belum sepenuhnya memenuhi apa yang diharapkan oleh Fraksi-fraksi. Dalam rangka penyempurnaan RUU tersebut Pemerintah selalu siap untuk membahas bersama-sama Dewan, sehingga dapat menghasilkan produk legislatif yang memberikan landasan hukum yang bennanfaat bagi penegakan hukum dan hak asasi. manusia.
Akhirul kalam Pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih atas kesempatan ini serta kesabaran para anggota Dewan yang terhonnat dal~
mengikuti acara penyampaian Jawaban Pemerintah ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan pllla kepada para wartawan media massa baik cetak maupun elektronik yang telah meliput pembahasan Rancangan Undang-undang ini.
Tak lupa ucapan terima kasih 'kami sampaikan juga kepada Sekretariat Jenderal DPR-RI yang telah membantu kelancaran acara penyelenggaraan Jawaban Pemerintah ini.
ARSIP DPR RI
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dapat menyelesaikan tugas yang mulia ini.
Semoga amal ibadah kita sekalian mendapat rid.ho dari Tuhan Yang Maha Esa.