Komunitas Punk)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Per syar atan Memper oleh Gelar Sar jana Pr ogram Studi Ilmu Komunikasi Pada FISIP U.P.N “Veteran” J awa Timur
oleh :
J UWINARDO OLII
NPM. 0843010141
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat
dan segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DENGAN KOMUNITAS
PUNK di KOTA CIREBON (Studi desk r iptif Pola Komunikasi Antar a Or ang
Tua dengan Anak yang Mengikuti Komunitas Punk)”.
Skripsi merupakan akademik yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa
sebagai pengantar membuat skripsi dan juga kelengkapan status kelulusan program
S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.
Keberhasilan dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari
bimbingan Bapak Drs. Kusnarto, M.Si selaku dosen pembimbing, Serta bantuan dari
berbagai pihak baik moril maupun materiil. Untuk itu penulis menyampaikan banyak
terimakasih kepada :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.
3. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan
pengetahuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. Kusnarto, M.Si, Membimbing Peneliti Sampai Selesainya Penelitian Ini.
5. Keluarga penulis, Papa, Mama, T.Neny, Nenek (Mimi), Um Yudi, Um
Nggun, Um Sien, adek Fika, Fernando dan Sandy,dan semua keluarga besar
penulis, terima kasih atas segala dorongan, bimbingan, nasehat-nasehat, serta
8. Della Nabilla JELEK ^_^ , terimakasih atas dukungan dan senyumannya,
serta yang selalu memberikan motivasi, baik motivasi dalam menyelesaikan
skripsi ini dan juga motivasi dalam hidupku ini.
9. Terimakasih juga buat Putri yang telah memberikan support dan 1 mangkok
mie cwimie.
10.Terimaksih juga buat Delisa dan Leily atas dukungannya.
11.Makasih banyak buat Pak. Hamim atas semua bantuannya selama ini.
Surabaya, Desember 2011
HALAMAN J UDUL ... i
HALAMAN PERSETUJ UAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... .v
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
ABSTRAKSI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Kegunaan Penelitian ... 8
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 8
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 8
BAB II KAJ IAN PUSTAKA ... 9
2.1 Landasan Teori ... .9
2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 9
2.1.2 Pengertian Komunikasi Budaya ... 11
2.1.3 Pola Komunikasi ... 14
2.1.7.1 Kualitas Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga ... 26
2.1.7.2 Aspek-aspek Kualitas Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga ... 28
2.1.8 Pengertian Orang Tua ... 32
2.1.9 Remaja ... 33
2.1.10 Faktor Pendorong Anak Turun ke Jalan ... 35
2.1.11 Punk di Indonesia ... 37
2.1.12 Pengertian Keluarga Broken Home ... 38
2.1.13 Kerangka Berpikir ... 44
BAB III METODE PENELITIAN ... 46
3.1 Metode Penelitian ... 46
3.2 Subyek danObyek Penelitian ... 49
3.3 Lokasi Penelitian ... 50
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 53
4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data ... 53
4.1.1Gambaran Umum dan Objek Penelitiaan ... 53
4.1.2Kategori Anak Punk ... 54
4.1.3Aktivitas Anak Punk... 56
5.1 Kesimpulan ... 78
5.2 Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
Childr en Which Following Punk Comunities In Cirebon City)
The study was based on the phenomenon of communication patterns between parents and children who followed the punk community. Punk in Cirebon still willing to do jobs to earn money such work as cane laborers, working odd jobs as a handyman, and employees of the workshop they were still willing to go home and help parents, in contrast again with the punk community in Surabaya. Surabaya punk in support himself by begging and blackmailing people passing in front of him and they did not come home.
The method used is depth interviews ( indepth interview ) are included in the qualitative research. Here the qualitative method using the theory of Joseph, there are three communication patterns of parents and child relationship, that is an Authoritarian, Permissive, Authoritatif that describe patterns of communication between parents and children.
Researchers took six informants, namely parents three children of and three Children's punk Punk it self. In this study researchers a technique indepth interviews to get the data obtained.
The results of this study based on analysis of data obtained from interviews, in outline is the first informant parents who have children who are members of the punk community embracing communication patterns authotarian ( authoritarian ) and informants two and three adopt permissive communication patterns ( liberating ).
Mengikuti Komunitas Punk)
Penelitian ini didasarkan pada fenomena Pola Komunikasi antara orang tua dengan anak yang mengikuti komunitas punk. Punk di cirebon masih mau melakukan pekerjaan untuk mendapatkan uang seperti bekerja sebagai buruh rotan, bekerja serabutan sebagai tukang,dan pegawai bengkel mereka pun masih mau pulang dan membantu orang tua, berbeda lagi dengan komunitas Punk yang ada di Surabaya, Punk yang ada di surabaya menghidupi dirinya dengan cara meminta-minta dan memalak orang yang lewat di depannya dan mereka pun tidak pulang ke rumah.
Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam ( Indepth interview ) yang termasuk dalam penelitiaan kualitatif. Disini metode kualitatif menggunakan teori Yusuf, terdapat tiga pola komunikasi hubungan orang tua dan anak, yaitu
Authoritarian, Permissive, Authoritatif yang menggambarkan pola komunikasi
antara orang tua dan anak.
Peneliti mengambil 6 orang informan, yaitu 3 Orang tua dari anak punk dan 3 Anak Punk itu sendiri. Dalam penelitiaan ini peneliti menggunakan teknik
Indepth interview untuk mendapatkan data yang diperoleh.
Hasil penelitian ini berdasarkan analisis data yang di dapat dari hasil wawancara, secara garis besar adalah pada informan 1 orang tua yang memiliki anak yang tergabung dalam komunitas punk menganut pola komunikasi authotarian (otoriter) dan informan 2 dan 3 menganut pola komunikasi permissive (membebaskan).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belaka ng Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu berkomunikasi untuk menjalin
sebuah hubungan. Karena dengan adanya komunikasi kita akan mengetahui
tentang sesuatu hal masing-masing antara satu dengan yang lainnya.
Komunikasi berasal dari kata Latin Communicare atau Communis yang
berarti sama atau menjadikan milik bersama, yaitu sama makna mengenai satu hal
(Effendy,2002:3). Banyak makna mengenai pengertian komunikasi yang
diungkapkan dari para ahli namun dari keseluruhan pengertian komunikasi yang
ada dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media)
(Effendy, 2002 : 5).
Pola komunikasi adalah gambaran yang sederhana dari proses komunikasi
yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen
lainnya (Tarmudji, 1998:27).
Sedang komunikasi adalah peristiwa sosial yaitu peristiwa yang terjadi
ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Ilmu komunikasi apabila
dipublikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik
antar pribadi , antar kelompok, antar suku, antar bangsa dan ras, membina
Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi mengaitkan dua
komponen yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada
suatu aktivitas, dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas
terjadinya hubungan antara organisasi, ataupun juga manusia.
Dalam lingkungan keluarga komunikasi merupakan suatu hal yang sangat
penting, karena dalam keluarga anak-anak mulai menerima pendidikan yang
pertama dan paling utama. Pendidikan yang diterima oleh anak mulai dari
pendidikan agama, cara bergaul, dan hubungan interaksi dengan lingkungan.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi anak. Dalam
lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan persepsi
Pada masa sekarang masalah perhatian orang tua dalam membina
anak-anak sering dianggap sebagai pemicu terjadinya masalah-masalah sosial dan
kenakalan pada diri anak, karena orang tua dinilai kurang mampu memberi
perhatian khusus kepada anak sehingga anak mencari mencari orang tua angkat
yang dianggap lebih memahami dia. Interaksi dan komunikasi dalam keluarga
(orang tua–anak) kurang tercipta secara dinamis. Dengan kehadiran seorang anak
dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga menjadi lebih penting dan
intensitasnya harus semakin meningkat, dalam artian dalam keluarga perlu ada
komunikasi yang baik dan sesering mungkin antara orang tua dengan anak. Cukup
banyak persoalan yang timbul di masyarakat karena atau tidak adanya komunikasi
yang baik dalam keluarga.
Dalam sosial perkembangan remaja dalam hal ini anak yang mendapatkan
kepuasan diluar rumah, misalnya dengan cara melibatkan diri dengan teman
sebayanya. Bergabungnya remaja merupakan bentuk kompensasi peredam konflik
yang banyak dilakukan oleh remaja.
Dalam sosial perkembangan remaja, dapat dilihat adanya dua macam
gerak perilaku yaitu gerak memisahkan diri dari orang tua dan gerak menuju
teman sebaya. Apabila gerak pertama tidak diikuti oleh gerak kedua maka akan
menimbulkan rasa kesepian. Oleh karena itu bergabungnya remaja dengan teman
sebaya sangat diperlukan untuk mempelajari pola-pola interaksi sosial yang
dibutuhkan pada masa dewasa nantinya (Monks dkk, 2001:63). Pada sisi lain
karena kelompok remaja biasanya memiliki aturan–aturan khusus yang tidak
jarang juga bertentangan dengan aturan masyarakat, maka disinilah letak
pengaruh negatif teman sebaya terhadap remaja. Tidak sedikit remaja berperilaku
menyimpang, hal ini terjadi dikarenakan pengaruh negatif teman sebaya ( Healy
dan Browner dalam Yusuf, 2001 : 61).
Selain dari faktor orang tua , remaja juga mempengaruhi hubungan
komunikasi antar orang tua dan anak. Remaja merupakan masa “storm and drag”
yaitu suatu periode yang ditandai dengan rasa pemberontakan otoritas orang tua
(Pikunas dalam Yusuf,2001:184). Pada fase pertumbuhan remaja sering
mengalami frustasi dan penderitaan, konflik dan perasaan teralineallisasi (yang
sangat mendalam) dalam kehidupan sosial budaya orang dewasa (Yusuf,
2001:184), sehingga mengakibatkan keadaan yang ekstrem dalam pola
hubungannya dengan orang tua dan pada akhirnya timbul konflik pada keluarga.
pragmatis (Yusuf, 2001:187). Kondisi ini cenderung remaja mengutarakan
masalahnya secara terbuka kepada teman sebayanya (Gunarsa, 200:77).
Kecenderungan remaja mengutarakan masalahnya kepada teman sebaya
ini menimbulkan efek negatif bagi remaja. Hal ini dikarenakan teman sebaya tidak
memberikan solusi dari masalah yang dihadapi (Sigelman dan Shaffer dalam
Yusuf, 2001:60). Dan solusi atas masalah yang terjadi pada remaja adalah
hubungan yang sehat antara orang tua dengan remaja itu sendiri akan melindungi
remaja dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat. Seperti contohnya adalah
bahwa keluarnya anak dalam keluarga dan menjadi komunitas anak “Punk”
adalah salah satu bukti buruknya kualitas komunikasi antar orang tua dan anak
dalam keluarga dan juga pengaruh negatif dari teman sebayanya.
Beberapa orang di Indonesia umumnya belum banyak yang mengetahui
tentang asal usul sejarah lahirnya komunitas Punk dikarenakan komunitas ini
tidak memiliki sejarah yang panjang seperti di negara asalnya (Inggris) sehingga
wajar kalau hanya fashion dan aliran musiknya saja yang diadaptasi oleh remaja
di Indonesia. Karena kelahiran Punk di Indonesia bukan sebagai tanggapan bentuk
perlawanan terhadap kondisi tertentu, tetapi lebih sebagai bentuk imitasi
(peniruan) (George Marshal 2005).
Kalau di Indonesia Punk muncul sebagai sebuah imitasi, di negara asalnya,
Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera
merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu
oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat
penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang
sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Banyak yang mempersepsikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh
karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk
mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk
karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai
tindak kriminal.
Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang
mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau
dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu
boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti
kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk
berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan
seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.
Dalam “philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebut ada tiga
definisi Punk. Pertama, punk sebagai remaja dalam fashion dan musik. Kedua,
punk sebagai keberanian memberontak dan melakukan perubahan. Terakhir, punk
sebagai bentuk perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik, gaya
hidup,komunitas, dan kebudayaan sendiri.
Dalam pandangan masyarakat awam, identitas “minoritas” ini kadang
disalahartikan melalui persepsi negatif, sehingga membuat seluruh golongan
masyarakat menjadi tidak peduli atas keberadaan mereka, bahkan untuk
ketika melihat anak punk dengan pakaian kebesarannya, tidak dapat dipungkiri
bahwa seolah – olah mahkluk luar angkasa dan terlihat aneh.
Komunitas punk di Indonesia sangat diwarnai oleh budaya dari barat atau
Amerika dan Eropa. Biasanya perilaku mereka terlihat dari gaya busana yang
mereka kenakan seperti sepatu boots, potongan rambut mohawk ala suku Indian,
atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, rantai
dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti
sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya
sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah
layak untuk disebut sebagai punker (Marshall, 2005, h. 28). Namun tidak
demikian dengan Punk yang ada di kota cirebon, Punk di cirebon berpenampilan
bersih dan tampak rapih mereka juga masih mau melakukan pekerjaan untuk
mendapatkan uang seperti bekerja sebagai buruh rotan, bekerja serabutan sebagai
tukang,dan pegawai bengkel mereka pun masih mau pulang dan membantu orang
tua, berbeda lagi dengan komunitas Punk yang ada di Surabaya, Punk yang ada di
surabaya menghidupi dirinya dengan cara meminta-minta dan memalak orang
yang lewat di depannya dan mereka pun tidak pulang ke rumah.
Pola hidup Punk menurut mereka adalah pola hidup yang kuat dan dapat
dinikmati dalam mengadapi kehidupan,tanpa ada tekanan dari keluarga (orang tua
) dan aturan dalam keseharian hidup.
Jalaludin Rakhmat, mengatakan dalam buku Psikologi komunikasinya
bahwa pembentukan konsep diri seseorang juga bergantung pada affective others
Dewey dan W.J Humber (1996:105). Dalam hal ini affective others mereka adalah
teman-teman dari komunitasnya dan orang lain yang dianggap sebagai orang tua
(oarangtua angkat) bagi mereka.
Menurut Effendy (2002:8), komunikasi yang efektif dapat menimbulkan
pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan
tindakan, sehingga setiap nasehat yang dilontarkan orang tua kepada anak tersebut
tidak dianggap angin lalu. Dalam hal ini peneliti mencoba ingin tahu pola
komunikasi apakah yang digunakan orang tua tersebut dalam mengutarakan
nasehatnya kepada anak punk.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang permasalahan diatas maka dapat dirumuskan
sebagai berikut. Bagaimanakah pola komunikasi antara orang tua dengan anaknya
yang tergabung dalam komunitas Punk di Cirebon.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi orang
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Teor itis
Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi berkaitan dengan pola komunikasi
interpersonal dalam keluarga.
1.4.2 Pr aktis
a. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan kepada
orang tua tentang cara berkomunikasi terhadap anak, sehingga
komunikasi antara anak denghan orang tua berjalan dengan
efektif.
b. Untuk memahami dan mendeskripsikan identitas diri anggota
BAB II
KAJ IAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teor i
2.1.1. Penger tian Komunikasi Inter per sonal
Menurut muhamad (1995 : 158) , komunikasi interpersonal merupakan
komunikasi didalam diri. Di dalam diri manusia terdapat komponen-komponen
komunikasi seperti sumber, pesan, saluran penerima dan balikan. Dalam
komunikasi interpersonal hanya seseorang yang terlibat. Pesan mulai dan berakhir
dalam diri individu masing-masing. Komunikasi interpersonal mempengaruhi
komunikasi hubungan orang lain. Suatu pesan yang dikomunikasikan, bermula
dari diri orang.
Setelah melalui proses interpersonal tersebut, maka pesan-pesan
disampaikan kepada orang lain. Menurut Muhamad ( 1995 : 159 ), komunikasi
interpersonal merupakan proses pertukaran informasi antar individu dengan
individu lainnya, atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui
balikannya. Dengan bertambahnya orang-orang yang terlibat dalam komunikasi,
menjadi bertambah komplekslah komunikasi tersebut.
Komunikasi antarpribadi didefinisikan oleh Joshep A. DeVito dalam
bukunya “The Inter-Personal Comunication Book” ( DeVito 1989 : 4) sebagai
sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik
seketika”.
Berdasarkan definisi DeVito itu, komunikasi interpersonal dapat
berlangsung antara dua orang yang sedang berdua-duaan seperti suami istri yang
sedang bercakap-cakap, atau antara dua orang dalam suatu pertemuan, misalnya
antar penyaji makalah dengan salah seorang peserta seminar dan ketika seorang
ayah memberi nasehat kepada anaknya yang nakal, seorang instruktur yang
memberikan petunjuk tentang cara mengoperasikan sebuah mesin, dan
sebagainya.
Pentingnya situasi komunikasi interpersonal ialah karena prosesnya
memungkinkan beralangsung secara dialogis. Dialog adalah bentuk komunikasi
antar pribadi yang menunjukkan adanya interaksi. Mereka yangterlibat dalam
komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing-masing menjadi pembicara dan
pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis nampak adanya
upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pergantian bersama (mutual
understanding) dan empati. Disitu terjadi rasa saling menghormati bukan
disebabkan status sosial, melainkan didasarkan pada anggapan bahwa
masing-masing adalah manusia yang wajib, berhak, pantas dan wajar dihargai dan
dihormati sebagai manusia. Dibanding dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya
komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap,
kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya karena komunikasi ini
berlangsung tatap muka, oleh karena itulah terjadi kontak pribadi (personal
menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika (immediat feedback)
mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan yang dilontarkan,
pada ekspresi wajah, dan gaya bicara. Apabila umpan balik positf, artinya
tanggapan itu menyenangkan, kita akan terus mempertahankan gaya komunikasi,
sebaliknya jika tanggapan komunikasi negatif, maka harus mengubah gaya
komunikasi sampai komunikasi berhasil.
Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan
perilaku komunikan itulah, maka bentu8k komunikasi antarpribadi acapkali
dipergunakan untuk melontarkan komunikasi persuasif (persuasive
communication) yakni suatu teknik komunikasi secara psikologis manusiawi yang
sifatnya halus, luwes berupa ajakan, bujukan dan rayuan.
Dengan demikian maka setiap pelaku komunikasi akan melakukan empat
tindakan, yaitu membentuk, menyampaikan, menerima, dan mengolah pesan dan
keempat tindakan tersebut lazimnya berlangsung secara berurutan, oleh karena itu
membentuk pesan diartikan sebagai menciptakan ide atu gagasan dengan tujuan
tertentu.
2.1.2 Penger tian Komunikasi Budaya
Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan,
tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1981:1993). Kebudayaan
selanjutnya hal itu menuntun tingkah lakunya (Geertz, 1973).perubahan dan
perkembangan masyarakat.
Dari apa yang dikemukakan Koenjaraningrat dan Geertz, dapat terlihat
bahwa kebudayaan merupakan suatu system makna yang menuntun tindakan
manusia yang dijadikan milik diri manusia dan diperoleh melalui proses belajar.
Hal ini dapat dipahami dengan cara memahami pikiran atau gagasan dari individu
pelaku kebudayaan.
Seiring dengan berjalannya waktu, aturan atau norma yang berlaku
kemudian menjadi suatu pola kebudayaan yang bersifat umun dan membawa
dampak besar terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat. Kebudayaan
tentu saja tidak bersifat statis, tetapi kebudaayan itu selalu berubah mengikuti
perkembangan zaman seiring dengan adanya perubahan pola perilaku
masyarakatnya. Adanya perubahan dan perkembangan didalam masyarakat sangat
dipengaruhi pula oleh kebudayaan sebagai pembawa arus utama (mainstream)
yang menjadi sebuah kebudayaan dominan dalam masyarakatnya. Menurut
Benedict dalam Pattern of culture , mengungkapkan bahwa didalam setiap
kebudayaan ada beragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh factor
keturunan (Genetik) dan factor kebutuhan (konstitusi), yang timbul berulang-ilang
secara universal. Namun setiap kebudayaan hanya memperbolehkan sejumlah
terbatas dari setiap tipe untuk berkembang. Dan tipe-tipe tersebuta hanya cocok
dengan konfogurasi dominan. Hal ini disebabkan karena tipe tersebut cukup platis
untuk “menyesuaikan” dengan masyarakat pendukung budaya dominan itu sendiri
mainstream tersebut. Mainstream terdapata dalam mengembangkan pengetahuan,
dan bersikap terhadap kehidupan mereka. Symbol seperti nilai bermakna yang
dikatakan (Geertz 1973:89), adalah sebagai tempat yang memuat sesuatu nilai
bermakan (meaning). Simbol-simbol kebudayaan inilah yang kemudian
mempengaruhi cara berfikir seseorang ataupun masyarakat unutk bertindak dalam
perilakunya.
Kebudayaan pada dasarnya merupakan segala macam bentuk gejala
kemanusiaan, baik yang mengacu pada sikap, konsepsi, ideologi, perilaku,
kebiasaan, karya kreatif, dan sebagainya. Secara kongkrit kebudayaan bisa
mengacu pada adat istiadat, bentuk-bentuk tradisi lisan, karya seni bahasa, pola
interaksi, dan sebaginya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan fakta
kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu juga memiliki ciri
yang bersifat universal (Maryaeni, 2005 : 5)
Menurut Fitrah Hamdani dalam Zaelani Tammaka (2007:164) “Subkultur
adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk
berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk
penciptaan gaya (style) dan bukan hanya merupakan penentangan terhadap
hegemoni atau jalan keluar dari suatu masalah-masalah atau ketegangan dalam
kehidupansosial”(http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/05/26/subkultur/tan
ggal2 oktober 2011, pukul 17:19)
Dalam sub-kultur punk, Dick Hebdige istilah kultur mengacu pada cara
dalam seni dan pembelajaran tapi juga di dalam institusi dan perilaku sehari-hari.
Analisis kultur, dengan definisi semacam ini, adalah penjelasan tentang makna
dan nilai yang tersirat dan tersurat dalam cara hidup tertentu, kultur tertentu
(William,1965)
Dalam subculture. The meaning of style (1979) karya Dick Hebdige, gejala
budaya punk dan subkultur anak-anak muda pada umumnya tidak diperlakukan
sebagai budaya orang-orang menyebalkan saja, sebaliknya Hebdige melihat
kompleksitas hubungan antara anak-anak muda dengan masyarakatnya, dengan
kelompok-kelompok budaya lainnya, dan dengan budaya orang tua mereka
(Sunardi : 2002)
2.1.3 Penger tian Pola Komunikasi
Pola komunikasi adalah gambaran yang sederhana dari proses komunikasi
yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen
lainnya. (Tarmuji, 1998 : 27)
Sedangkan komunikasi adalah peristiwa sosial yaitu peristiwa yang terjadi
ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Ilmu komunikasi apabila
dipublikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik
antar pribadi, antar kelompok, antar suku, antar bangsa dan ras, membina
Dari pengertian-pengertian di atas maka komunikasi mengkaitkan dua
komponen yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada
suatu aktifits, dengan komponen-komponen yng merupakan bagian penting atas
terjadiny hubungana antar organisasi, ataupun juga manusia.
Menurut Yusuf (2001 : 51-52) terdapat tiga pola komunikasi hubungan
orangta dan anak, yaitu :
a. Authoritarian (cenderung bersikap bermusuhan)
Dalam pola hubungan ini sikap acceptance orang tua rendah,
namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik, bersikap
mengkomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan
sesuati tanpa kompromi), bersikap kaku (keras), cenderung emosional
dan bersikap menolak.
Sedang dipihak anak mudah tersinggung, penakut, pemurung dan merasa
tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stres, tidak mempunyai arah masa
depan yang jelas serta tidak bersahabat.
a. Permissive (cenderung berperilaku bebas)
Dalam hal ini sikap acceptance orang tua tinggi, namun kontrolnya
rendah, memberi kebebasan kepada anak untk menyatakan dorongan atau
keinginannya.
Sedang anak bersikap impulsif serta agresif, kurang memiliki rasa percaya
b. Authoritatif (cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan)
Dalam hal ini sikap acceptance orang tua dan anak kontrolnya
tinggi, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang
dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.
Sedangkan anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu
mengendalikan diri (self control), bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas, dan
berorientasi terhadap prestasi.
Menurut Hardy (1998 : 132) terdapat empat pola komunikasi, yaitu pola
komunikasi otoriter, demokratis, permisif, laissez faire. Bila pembinaan anak
dilakukan dengan menggunakan pola komunikasi otoriter, maka anak akan
berubah menjadi agresif terhadap sesamanya, atau bahkan bersikap tak acuh
kepada yang dihadapinya. Dalam hal ini terdapat kepura-puraan, anak merasa
jengkel, terhadap suatu masalah, saling menyalahkan dan bukannya bekerja sama
memecahkan masalah.
Sedangkan pola komunikasi demokratis menciptakan hubungan antar anak
lebih baik daripada otoriter. Dalam hal ini sikap agresif anak jauh lebih sedikit
dan anak tersebut saling menyenangi teman, dan anak tersebut akan saling
melakukan kerja sama untuk memecahkan permasalahan.
Pada pola komunikasi permisif orang tua memberikan kebebasan penuh
kepada anak untuk berbuat dan keleluasaan mengambil keputusan. Pola
agresif sehingga sangat sedikit pekerjaan yang dapat dilaksanakan. Dalam pola
komunikasi jenis ini hampir tidak terdapat pekerjaan yang dapat dikerjakan.
Effendy (1993 : 27) menyatakan bahwa komunikasi adalah pernyataan
manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikirana dan perasaan seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyatunya.
Komunikasi pada dasarnya dapat terjadi pada berbagai konteks kehidupan.
Kejadian-kejadian komunikasi yang diamati dalam ilmu komunikasi sangat luas
dan kompleks karena menyangkut berbagai aspek sosial budaya, ekoniomi dan
politik dari kehidupan manusia.
Menurut Bandura (Rakhmat, 1988 : 25) dalam Teori Belajar secara Sosial
(social learning) yang mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukum dalam
proses belajar. Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan
perasaannya, ia akan menahan diri untuk berbicara walaupun ia memiliki
kemampuan untuk melakukannya. Melakukan satu perilaku ditentukan oleh
peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh
peniruan (imitation).
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi
terjadi antara satu orang dengan lainnya, mempunyai tujuan untuk mengubah atau
membentuk perilaku orang yang menjadi sasaran komunikasi. Disamping itu
komunikasi merupakan proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian,
sedang car penyampaiannya menggunakan simbol-simbol dalam kata-kata,
Pengertian komunikasi secara etimologis berasal dari perkataan latin
“communicatio” yang bersumber dari perkataan “communis” yang berarti sama
makna atau arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna
mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa komunikasi memiliki pengertian
yang luas dan beragam walaupun secara singkat komunikasi merupakan suatu
proses pembentkan, penyampaian, penerimaan, dan pengolahan pesan yang terjadi
dalam diri seseorang dan atau diantara dua orang atau lebih dengn tujuan tertentu.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa komunikasilah yang
berhubungan dengan manusia itu yang tidak mungkin bisa hidup tanpa
berkomunikasi. Semakin manusia berada di suatu tempat, maka semakin banyak
jaringan dan jalur komunikasi ditempat itu.
2.1.4 Teor i Atr ibusi
Teori ini diperkenalkan oleh Heider pada tahun 1958 melalui bukunya
yang berjudul The Psychology Interpersonal Relation. Heider mengemukakan,
jika anda melihat perilaku orang lain, maka anda juga harus melihat sebab
tindakan orang lain. Dengan demikian anda sebagai pihak yang memulai
komunikasi harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi perilaku yang
tampak didepan anda. Heider seperti yang dikutip Rahmat (1998) mengungkapkan
ada dua jenis atribusi, yaitu atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran (Liliweri
Contoh, jika anda mengamati perilaku seseorang pertama anda harus bisa
menentukan dahulu apa yang menyebabkan perilaku itu terjadi, apakah faktor
situasional atau faktor personal. Dalam teori atribusi lazim disebut kualitas
eksternal dan kualitas internal. Intinya hanya mempertanyakan perilaku orang lain
tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal atau faktor personal. Itulah “atribusi
kausalitas”
Kedua yaitu atribusi kejujuran, Robert A. Baron dan Don Byrne yang
dikutip rahmat (1988) mengemukakan, ketika seseorang memperlihatkan atribusi
kejujuran maka ada dua hal yang harus diamati : (1) sejauh mana pernyataan
orang itu menyimpang dari pendapat umum dan (2) sejauh mana orang itu
memperoleh keuntungan dari anda akibat pernyataan anda. Makin besar jarak
antara pendapat pribadi dengan pendapat umum maka kita maikn percaya bahwa
dia jujur.
2.1.5 Penger tian Pola Asuh
Para ahli selama ini (Gunarsa dan Gunarsa, 1995 : 124, Papalia. Olds dan
Feldmen, 1998) mengemukakan bahwa pola asuh dari orang tua sangat
mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Baumrind, ahli psikologi
perkembangan membagi pola asuh orang tua menjadi tiga, yakni : otoriter,
permisif, dan demokratis.
1. Pola asuh otoriter (Parent oriented). Ciri-ciri dari pola asuh ini,
menekankan segala aturan orang tua harus dipatuhi oleh anak. Orang
harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang
diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, anak seolah-olah menjadi
“robot”, sehingga kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri,
pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan, tapi di sisi lain anak
bisa memberontak, nakal atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya
dengan menggunakan narkoba (alcohol or drug abuse). Dari segi
positifnya, anak yang didik dengan pola asuh ini, cendrung akan
menjadi displin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi, bisa jadi ia
hanya mau menunjukkan kedisplinannya di depan orang tua, padahal
dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua
anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya
untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki
kedisplinan dan kepatuhan yang semu.
2. Pola asuh permisif. Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala
aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak.apa yang dilakukan oleh
anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan
anak. Anak cenderung semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia
bebas melakukan apa saja yang dia inginkan. Dari sisi negative, anak
kurang displin dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak
mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggungjawab,
maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif, dan
3. Pola asuh demokratis. Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar.
Keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah
pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggungjawab, artinya apa
yang dilakukan anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan
dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak-anak
dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih
untuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya. Akibat positif
dari tindakan pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang
mempercayai oranglain, bertanggungjawab atas tindakannya, tidak
munafik, jujur. Namun akibat negatifnya, anak cenderung merongrong
kewibawaan otoritas orang tua. Kalau segala sesuatu harus
dipertimbangkan antara orang tua dan anak.
4. Pola asuh situasional. Dalam kenyataan, sering kali pola asuh ini tidak
ditetapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah satu
tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan
secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang berlangsung saat itu. Sehingga sering kali muncullah tipe pola
asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak
berdasarkan pada pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut
diterapkan secara luwes.
Dari model pola asuh di atas, mana yang dianggap efektif dan efesien ntuk
menghadapi kehidupan dalam keluarga? Pertanyaan ini sulit dijawab secara pasti,
tidak sama. Oleh karena itu, tergantung orang tua yang menghadapi masalah
dalam keluarganya sendiri. Adakalanya orang tua menggunakan pola otoriter,
tetapi adakalanya orang tua menerapkan pola permisif atau demokratif. Dengan
demikian, secara tidak langsung tidak ada jenis pola asuh yang murni diterapkan
dalam keluarga yang bersangkutan. Inilah yang akan mengarah pada pola asuh
situasional.
2.1.6 Penger tian Keluar ga
Menurut Sigelman dan Shaffer (Yusuf, 2001 : 36), bahwa keluarga
merupakan unit terkecil yang bersifat universal, artinya tedapat pada setiap
masyarakat di dunia atau suatu system sosial yang terbentuk dalam system sosial
yang lebih besar. Ada dua macam keluarga, yaitu keluarga inti (muclear family)
dan keluarga besar (extenden family). Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri
dari ayah,ibu dan anak- anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan
keluarga besar adalah satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan
satu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada ayah, ibu dan anak-anak.
2.1.7 Komunikasi Keluar ga
Menurut Hurloch (1988 : 198) komunikasi keluarga adalah pembentukan
pola kehidupan keluarga dimana di dalamnya terdapat unsure pendidikan,
pembentukan sikap dan perilaku anak yang berpengaryh terhadap perkembangan
Dalam dunia modern ini menyebabkan perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan keluarga, akibatnya pola keluarga telah berubah secara radikal (dratis).
Dan sekian banyak perubahan yang terjadi pada keluarga tersebut dampaknya
dapat terjadi pada seluruh komponen keluarga yang ada, yaitu dipihak ayah, ibu,
anak maupun keluarga yang ikut di dalamnya seperti nenek atau anggota lainnya.
Dilihat pada uraian diatas, maka anak pun memikul dampak dari perubahan yang
terjadi pada keluarga.
Menurut Hurloch (1988 : 109), ikatan dengan keluarga yang renggang dan
kontak keluarga yang berkurang, maka pekerjaan yang dilakukan di rumah, anak
lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dari pada di dalam rumah.
Perceraian atau pernikahan kedua dan selanjutnya. Membuat peran penting
terhadap ayah untuk membesarkan anak-anaknya dalam pengasuhan. Orang tua
mempunyai ambisi lebih besar bagi anak dan bersedia mengorbankan kepentingan
pribadi mereka demi pendidikan anak dalam mempersiapkan mereka di masa
depan dan adanya lebih banyak interaksi dengan orang luar dari pada anggota
keluarga.
Disamping itu terjadi perubahan pendidikan anak yang otoriter ke yang
lebih permisif dan pengendoran control orang dewasa terhadap perilaku anak
dimana tanggung jawab untuk control lebih banyak dibebankan pada anak itu
sendiri.
Selanjutnya Hurloch (1988 : 188) menyatakan bahwa peranan keadaan
sosial ekonominya atau keutuhan struktur dan interaksinya saja hal ini mudah
diterima apabila kelompok sosial dengan tujuan-tujuan, norma-norma, dinamika
kelompok termasuk kepimpinananya yang sangat mempengaruhi kehidupan
individu yang menjadi kelompok tersebut diantaranya anak.
Clemens (1995 : 5) menyatakan bahwa anak itu selalu berubah dan
semakin lama semakin nakal. Peneliti sudah mendengar banyak tentang perilaku
anak yang ekstrim. Bahasan tentang nilai rendah dalam menempuh ujian masuk
universitas, perdebatan tentang ketidakmampuan siswa di bidang ketrampilan
dasar, meningkatnya kenakalan remaja, cerita mengerikan tentang munculnya
industry ponografi anak.
Yusuf (2000 : 37) menyatakan bahwa keluarga memiliki peranan yang
sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua
yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik
agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif
untuk mempersiapakan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Selanjutnya Yusuf (2000 : 38) menyatakan bahwa keluarga bahagia
merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi anggota
keluarganya terutama anak. Hubungan antar anggota keluarga juga meliputi
pemeliharaan rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman respek dan keinginan
untuk menumbuh kembangkan anak yang merupakan bagian dari anggota
konflik atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah bagi
anak.
Fungsi keluarga menurut Shneiders (1960 : 405), mengemukakan bahwa
keluarga bahagia ditandai oleh ciri-ciri :
1. Minimnya perselihan antar orang tua atau orang tua dengan anak
2.Adanya kesempatan untuk menyatakan keinginan
3.Penuh kasih sayang
4.Penerapan displin yang tidak keras
5.Adanya kesempatan untuk bersikap mandiri dalam berfikir merasa
dalam berprilaku
6.Saling menghormati, menghargai (mutual respect) diantara orang tua
dan anak
7.Ada konferensi (musyawarah) keluarga dalam memecahkan masalah
8.Menjalin kebersamaan orang tua dan anak
Seseorang anak harus menyadari tentang bagaimana orang lain
memandang sesuatu dari sudut penglihatannya sehingga pilihan yang dibuatnya
dipengaruhi kebutuhan, hak serta tanggung jawab orang lain. Karena anak
memperoleh umpan balik dari orang lain, terutama dari orang tuanya, ia dapat
mengasah pemahamannya tentang cara orang lain memandang sesuatu. Hal ini
akan meningkatkan kemampuan anak untuk bersikap fleksibel dan
2.1.7.1Kualitas Komunikasi Inter per sonal dalam Keluar ga
Dalam keluarga perlu sekali dibina dan dikembangkan komunikasi
antara orang tua dan remaja, karena keluarga merupakan faktor utama yang
mendasari perkembangan dari remaja (Fuhrman).
Menurut Irwanto (dalam Yatim dan Irwanto, 1991 : 79), keluarga yang
sehat dapat dibentuk melalui komunikasi. Melalui komunikasi, orang tua
memberikan dan mengajarkan tentang nilai, norma, pengetahuan, sikap dan
harapan terhadap anak-anak. Dengan komunkasi yang efektif, maka beberapa hal
tersebut dapat diterima dan dipahami oleh remaja. Hal tersebut senada dengan
pernyataan Tubbs Moss (dalam Rakhmat, 2002 : 13), yaitu komunikasi yang
efektif akan menimbulkan hubungan dan pengertian yang makin baik antara
kedua belah pihak.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dilihat komunikasi
bersifat dialog, dan bukan monolog. Menurut Hasturi (dalam Kartono, 1994 : 153)
komunikasi yang monolog tidak menimbulkan tantangan dalam diri anak untuk
mengembangkan pikiran, kemampuan bertanggungjawab dan anak tidak dimintai
pendapat atas usul bila ada masalah dalam keluarga. Jika komunikasi bersifat
dialog, orang tua mendapat kesempatan mengenal anaknya atau dapat
berkomunikasi secara langsung sehingga dapat memberikan pengaruh langsung
pada anak. Orang tua dapat belajar dari anaknya waktu mendengarkan dan
Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Gordon dan Glasser
(dalam Fuhrman, 1990 : 217) bahwa hubungan antara orang tua dan remaja yang
harmonis didukung oleh adanya komunikasi yang terbuka, jujur, dan demokratis.
Menurut Fuhrman (1990 : 218), komunikasi yang efektif juga
dibutuhkan untuk membentuk keluarga yang harmonis, selain factor keterbukaan,
otoritas, kemampuan bernogosiasi, menghargai kebebasan dan privasi antar
anggota keluarga. Dengan adanya komunikasi yang efektif diharapkan dapat
mengarahkan remaja untuk mampu mengambil keputusan, mendukung
perkembangan otonomi dan kemandiran dan lain-lain.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan faktor
yang penting bagi perkembangan diri remaja, karena ketiadaan komunikasi dalam
suatu keluarga akan berakibat fatal seperti timbulnya perilaku menyimpang pada
remaja (Irwanto dalam Yatim dan Irwanto, 1991 : 83).
Menurut Rahkmat (2002 : 129), tidak benar anggapan orang bahwa
semakin sering seseorang melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain,
maka makin baik hubungan mereka. Persoalanya adalah bukan berapa kali
komunikasi dilakukan, tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Hal ini berarti
bahwa dalam komunikasi yang diutamakan adalah bukan kuantitas dari
2.1.7.2Aspek -aspek Kualitas Komunikasi Inter per sonal dalam Keluar ga
Komunikasi yang efektif perlu dibangun dan dikembangkan dalam
keluarga. Beberapa faktor penting untuk menentukan jelas tidaknya informasi
yang dikomunikasikan di dalam keluarga sehingga dapat mengarahkan pada
komuniksi yang efektif, yaitu :
1. Konsistensi
Informasi yang disampakan secara kosisten akan dapat dipercaya dan
relatif lebih jelas dibandingkan dengan informasi yang selalu berubah.
Ketidak konsistensian yang membuat remaja bingung dalam menafsikan
informasi tersebut, (1991 : 85).
2. Ketegasan (assertiveness)
Ketegasan tidak berarti otoriter. Ketegasan membantu meyakinkan
remaja atau anggota keluarga yang lain bahwa komunikator benar-benar
meyakini nilai atau sikapnya. Bila prilaku orang tua ingin ditiru oleh anak,
maka ketegasan akan memberi jaminan bahwa mengharapkan anak-anak
berprilaku yang sesuai dan diharapkan (Irwanto dalam Yatim dan Irwanto,
1991 : 85-86).
3. Percaya (Thrust)
Faktor percaya adalah dalam hal ini yang penting karena percaya
menentukan efektifitas komunikasi, meningkatkan komunikasi
interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas
komunikan untuk mencapai maksudnya, hilangnya kepercayaan pada
orang lain akan menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang
akrab (Rakhmat,2002 : 130).
Ada tiga faktor yang berhubungan dengan sikap percaya (Rakhmat, 2002 :
131), yaitu :
a. Menerima
Menerima adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa
menilai dan tanpa berusaha mengendalikan, sikap yang melihat orang lain
sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai, tetapi tidak berarti
menyetujui semua prilaku orang lain atau rela menanggung akibat-akibat
prilakunya.
b. Empati
Empati dianggap sebagai memahami orang lain dan mengembangkan
diri pada kejadian yang menimpa orang lain, melihat seperti orang lain
melihat, merasakan seperti orang lain rasakan.
c. Kejujuran
Manusia tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur
atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kejujuran dapat
mengakibatkan prilaku seseorang dapat diduga. Ini mendorong untuk percaya
4. Sikap sportif
Sikap sportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam
komunikasi. Sikap defensive akan menyebabkan komunikasi interpersonal
akan gagal, karena lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang
ditanggapinya dalam situasi komunikasi daripada pesan dari orang lain.
Beberapa perilaku yang menimbulkan iklim sifat defensif dan sportif antar
lain sebagai berikut :
a. Deskriptif
Artinya penyampainan perasaan atau persepsi tanpa menilai.
Hubungan antara orang tua dengan anak bersifat horisontal dan sama.
b. Orientasi Masalah
Artinya adalah mengkomunikasikan untuk bekerjasama mencai
pemecahan masalah dengan tidak mendikte pemecahan, melainkan
mengajak orang lain bersama-sama untuk mendapatkan tujuan dan
memutuskan cara untuk menetapkan tujuan dan memutuskan cara untuk
mencapainya.
c. Spontanitas
Artinya sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang
d. Persamaan
Suatu sikap memperlakukan orang lain secara horisontal dan
demokratis. Artinya tidak mempertegas perbedaan tidak, tidak menggurui,
tapi berbincang pada tingkat yang sama dan mengkomunikasikan
penghargaan serta rasa hormat pada perbedaan dan keyakinan.
e. Provosionalisme
Provosionalisme adalah Suatu kesediaan untuk meninjau kembali
pendapat seseorang.
5. Sikap terbuka
Sikap terbuka mendorong terbukanya saling pengertian, saling
menghargai, saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal.
6. Bersikap positif
Bersikap secara positif mencakup adanya perhatian atau pandangan
positif terhadap diri seseorang, perasaan positif untuk berkomunikasi dan
“menyerang” seseorang yang diajak berinteraksi. Perilaku “menyerang” dapat
dilakukan secara verbal seperti kata-kata “aku suka kamu” atau “kamu nakal”
sedangkan perilaku “menyerang” yeng bersifat non verbal berupa senyuman,
pelukan bahkan pukulan. Perilaku “menyerang” dapat bersifat positif yang
merupakn bentuk penghormatan atau pujian dan mengandung perilaku yang
diharapkan dan dihargai. “Menyerang” yang negatif bersifat menentang atau
sesorang baik secara fisik maupun psikologis (DeVito, 1989). Pentingnya
“menyerang” yang dinyatakan oleh Kristina (dalam Kartono, 1994 : 153)
bahwa “menyerang” positif perlu diberikan kepada anak jika memang pantas
menerimanya. “menyerang” secara negatif juga diperlukan asal dalam batas
yang wajar seperti menegur atau memarahi anak bila memang perlu dan orang
tua tetap memberikan penjelasan alasan demikian.
2.1.8 Penger tian Orang Tua
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Orang tua dalah Ayah dan Ibu
kandung. Sedangkan menurut Wright (1991:12), Orang tua dibagi menjadi tiga
macam yaitu :
a. Orang tua kandung
Orang tua kandung adalah Ayah dan Ibu yang mempunyai hubungan
darah secara biologis (yang melahirkan).
b. Orang tua angkat
Pria dan wanita yang bukan kandung tapi dianggap sebagai orang tua
sendiri berdasarkan ketentuan hukum atau adat yang berlaku.
c. Orang tua asuh
Orang yang membiayai hidup seseorang yang buka anak kandungnya
Dari pengertian diatas maka arti orang tua adalah seorang pria dan wanita
yang dianggap mempunyai ikatan darah maupun sosial yang mampu mendidik,
merawat dan membiayai serta membimbing hidup orang lain yangg dianggap
anak secara berkesinambungan (berkelanjutan).
2.1.9 Remaja
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat
penting, diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu
bereproduksi. Selain itu, remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung
(dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat
seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu
moral (Yusuf, 2001:184).
Hurlock dalam ( Yusuf, 2001:21) menyatakan bahwa usia yang dapat
dikatakan sebagai remaja yaitu diantara usia 11 sampai 21 tahun. Periode remaja
ini dipandang sebagai masa “storm and stress”, frustasi dan penderitaan, konflik
dan penyesuaian, mimpi dan melamun cinta, dan perasaan teralinealisasi
(tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Yusuf, 2001 : 184)
Beberapa tokoh psikologi remaja memberikan beberapa definisi tentang
remaja, antara lain (Yusuf, 2001 : 184) :
1. Hall mengatakan remaja sebagai masa yang berada dalam dua situsai antar
dewasa. Selain itu pengalaman sosial selama remaja dapat mengarhkan untuk
menginternalisasi sifat-sifat yang diwariskan oleh generasi sebelumnya.
2. Barker memberikan penekanan orientasi remaja kepada maslaha
sosiopsikologis. Hal ini dikarenakan bahwa remaja merupakan periode
pertumbuhan fisik yang sangat cepat dan peningkatan dalam koordinasi, maka
remaja merupakan masa transisi anata anak dan masa dewasa. Oleh karena
pertumbuhan fisik berkaitan denga sifat-sifat yang diterima anak, maka
pertumbuhan fisik seseorang menentukan pengalaman sosialnya.
3. Levinger berpendapat bahwa remaja mulai mengenal minat terhadap lawan
jenisnya, yang biasnya terjadi saat kontak dengan kelompok. Dalam interaksi
dengan kelompok remaja mulai tertarik dengan kelompoknya. Persaan tertarik
atau sifat positif terhadap teman dalam kelompoknya merupakan dasar bagi
perkembangan pribadi yang akrab diantara akrab, maka ada tiga fase antara
lain :
a. Kesadaran untuk berhubungan (unilaterally aware)
Kesadaran ini hanya terbatas pada informasi dan impresi (kesan umum)
tentang yang lain berdasarkan penampilan fisik, seperti : wajah, postur
tubuh, dan cara berpakaian.
b. Kontak permulaan (surface contact)
Pada tahap ini hubungan diantara anggota kelompok frekuensinya sudah
begitu sering dan diantara mereka sudah terjalin komunikasi meskipun
c. Saling berhubungan
Pada tahap ini terjadi tahap interdependensi diantara dua orang yang
berlain jenis. Hubungan diantar mereka menjadi akrab melalui saling tukar
pengetahuan, pengalaman, perasaan, dan membantu satu sama lain.
2.1.10 Fak tor Pendor ong Anak Tur un ke J alan
Menurut penelitian Sukiadi (dalam Sanituti dan Bagong, 1999 : 22) alasan
utama anak turun ke jalan dipengaruhi oleh beberapa faktor penunjang antar lain
yaitu :
1. Lingkungan
Secara garis besar ada empat kondisi yang mendorong kecenderungan
anak memilih hidup dijalanan, yaitu :
a) Lingkungan keluarga
Apabila anak dilahirkan dan dibesarkan dalam komunitas jalanan,
besar kemungkinan anak akan mengikuti jejak orang tuanya ke jalanan. Dalam
komunitas ini, anak menjalani kehidupan di jalanan dan dapat menghasilkan
uang yang tidak sedikit, meskipun tanpa modal. Faktor kemudahan ini
menarik beberapa anak untuk turun ke jalanan dan tetap berada di jalan dalam
waktu yang lama.
b) Konflik keluarga
Adanya ketidak cocokan antara anak dan orang tua sehingga
di jalanan. Anak tidak dapat mengutarakan pendapatnya kepada orang tua atau
keluarga, sehingga membuatnya tertekan. Ketika dia berada di jalanan dia
dapat dengan bebas melakukan kehendak hatinya sebagai pelampiasan rasa
ketidak adilan yang ia alami.
c) Tinggal dengan pusat keramaian atau fasilitas umum
Pada pusat keramaian seperti terminal angkutan kota, stasiun kereta
api, tempat pembelajaran, dan persimpangan jalan, memungkinkan mereka
berada disana untuk sekedar tempat nongkrong dengan teman maupun
mencari uang.
d) Dekat dengan komunitas jalanan
Apabila anak dekat dengan anak yang hidup di jalan, baik sebagai
teman bermain maupun dekat dengan tempat komunitas anak jalanan, ada
kemungkinan anak akan terpengaruh ikut turun ke jalanan. Ditambah lagi
dengan anak yang tanpa pengawasan yang baik dari orang tua, akan lebih
mudah terpengaruh dengan tawaran anak yang hidup di jalanan yang berada
disekitarnya.
2. Pengetahuan
Ada tiga persepsi yang biasanya diyakini atau di nilai benar oleh anak
yang hidup di jalanan, yaitu :
a) Anak jalanan tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai
sehingga ketika ditawarkan oleh anak jalanan lainnya, anak langsung
menerima.
b) Munculnya tanggapan dari dalam diri anak maupun keluarga bahwa
menjadi anak jalanan bukanlah pekerjaan yang memalukan melainkan
biasa dan wajar. Mereka tidak berpikir bahwa akan menjadi efek yang
negatif bagi orang lain.
c) Adanya suatu budaya dalam masyarakat agraris dimana seorang anak atau
remaja dalam keluarga mempunyai peranan membantu pekerjaan orang
tua (anak dianggap sebagai tenaga kerja). Dalam pandangannya, Orang tua
yang bertanggung jawab akan mempekerjakan anak mereka tanpa
memikirkan dampak dari pekerjaan tersebut.
2.1.11 Punk di Indonesia
Pengertian punk seringkali diartikan berbeda-beda lebih jauh punk juga
diartikan sebagai orang yang ceroboh, sembrono, dan ugal-ugalan hingga
sekelompok pemuda bergerak menentang masyarakat mapan dengan
menyatakannya lewat musik, gaya berpakaian, dan gaya rambut yang khas
(George Marshal 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, punk diartikan
sebagai anak muda yang masih “hijau”, tidak berpengalaman, atau tidak berarti.
Bahkan diartikan sebagai orang yang ceroboh, sembrono, dan ugal-ugalan. Istilah
tersebut sebetulnya kurang menggambarkan makna punk secara keseluruhan.
(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/belia/230304/10selancar.htm tanggal 2
Berbekal etika DIY, beberapa komunitas punk di kota-kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang merintis
usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri
untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran.
Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut
distro.
CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka
juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah,
poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan
dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah
implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's,
Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Punk tanggal 2 oktober 2011, pukul 18 : 19).
2.1.12 Penger tiaan Keluarga Broken Home
Kondisi keluarga yang berantakan (Broken Home) merupakan cerminan
adanya ketidak harmonisan antar individu (suami-istri, atau orang tua dan anak)
dalam lembaga rumah tangga . hubungan suami istri yang tidak sejalan yakni
ditandai dengan pertengkaran, percekcokan maupun konflik terus menerus
sehingga menyebabkan ketidak bahagiaan dalam sebuah perkawinan. Tidak
terselesaikan masalah ini, akan berdampak buruk seperti perceraian suami istri
Kebanyakan orang menganggap bahwa perkawinan itu merupakan hal
yang sakral dan diberkati oleh kaum ulama, biasanya perkawinan ini hanya dapat
berakhir karena kematiaan.
Berdasarkan anggapan inilah maka setiap keluarga berusaha untuk
menjaga keutuhan keluarganya, karena salah satu faktor yang mempengaruhi
jalannya fungsi – fungsi keluarga adalah kebutuhan keluarga. Jika keluarga tidak
dapat menjaga keutuhannya, maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami
apa yang dianamakan Broken Home.
Yang dimaksud dengan keutuhan keluarga, yaitu keutuhan struktur dalam
keluarga dimana dalam keluarga, disamping adanya seorang ayah, juga adanya
seorang ibu beserta anak – anaknya. Selain itu juga adanya keharmonisan dalam
keluarga di aman diantara anggota keluarga saling bertemu dan bertatap muka dan
juga berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Dalam keluarga Broken Home . dimana sering terjadi percekcokan di
antara orang tua dan sikap saling bermusuhan disertai tindakan-tindakan yang
agresif, maka dengan sendirinya keluarga yang bersangkutan akan mengalami
kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga sebenarnya.
Kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga dapat
disebabkan karena beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang menyebabkannya
1. Faktor pribadi, dimana suami-istri kurang menyadari akan arti dan fungsi
perkawinan yang sebenarnya. Misalnya egoism, kurang adanya toleransi dan
kepercayaan satu sama lain.
2. Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa di antaranya adalah :
a. Kehadiran terus-menerus dari salah satu orang tua baik dari pihak
suami atau istri mereka.
b. Karena istri bekerja dan mendambakan kedudukan yuang lebih tinggi
dari suaminya.
c. Tinggal dalam keluarga lain dalam satu rumah.
d. Suami-istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar
(Suyanti, Narwoko, 2006 : 237-238)
Penyebab timbulnya keluarga Broken Home salah satunya yaitu Orang tua
yang bercerai. Perceraian menunjukan suatu kenyataan dari kehidupan suami-istri
yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar- dasar perkawinan yang telah
terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan
keluarga yang harmonis, Dengan demikian hubungan suami isti tersbut akan
renggang, masing – masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa
sehingga komunikasi terputus.
Hubungan itu menunjukan situasi ketersaingan dan keterpisahan yang
makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri.
(www.library.usu.ac.id/download/fkm-asfriyati diakses 10 november 2011 : 08.30
Perceraian dianggap sebagaian orang ialah jalan terakhir yang harus
ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Perceraian merupakan titik kulminasi dari akumulasi berbagai pemasalahan yang
menumpuk beberapa waktu sebelumnya (Dariyo, 2003 : 160).
Pasangan suami istri yang melakukan perceraian tentu didasari sebab –
sebab yang tidak dapat diselesaikan bersama. Mungkin mereka berusaha
menyelesaikan masalah tersebut namun akhirnya tidak kunjung selesai sehingga
harus ditempuh jalan terbaik bagi mereka, yakni perceraian.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian suami istri di
antaranya sebagai berikut :
1. Masalah Keperawanan (virginity)
Istri yang dinikahi seorang suami ternyata sebelumnya sudah tidak
perawan lagi. Kemungkinan bagi seorang individu (laki-laki) yang
menganggap keperawanan akan mengganggu proses perjalanan kehidupan
perkawinan. Karena faktor keperawanan dianggap sebagai sesuatu yang suci
bagi wanita yang akan memasuki pernikahan. Itulah sebabnya keperawanan
menjadi faktor yang mempengaruhi perkawinan seseorang.
2. Ketidak setiaan salah satu pasangan hidup
Salah satu pasangan (suami atau istri) ternyata menyeleweng atau
selingkuh dengan pasangan lain. Keberadaan orangh ketiga (WIL atau PIL)
Munandar 2001). Bila diantara keduanya tidak ditemukan kata sepakat
untuk menyelesaikan san saling memaafkan, akhirnya perceraianlah jalan
terbaik untuk mengakhiri hubungan pernikahan itu.
3. Tekanan kebutuhan ekonomi keluarga
Dengan adanya factor krisis ekonomi (krismon) Negara yang belum
berakhir sementara suami tetap memiliki gaji penghasilan pas-pasan sehingga
hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka untuk
menyelesaikan masalah ini kemungkinan sorang istri menuntut cerai dari
suaminya.
4. Tidak mempunyai keturunan
Tidak adanya keturunan mungkin disebabkan kemandulan yang
dialami salah satu atau keduanya. Guna menyelasikan masalaha ini maka
mereka sepakat mengakhiri pernikahan dengan bercerai dan masing-masing
menentukan nasib sendiri.
5. Salah satu dari pasangan hidup meninggal dunia
Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara
otomatis keduanya bercerai.
6. Perbedaan prinsip, ideology atau agama
Semula ketika dalam pacaran belum memikirkan secara mendalam
mencintai antara satu dan yang lain akan dapat mengatasi masalah dalam
perkawinan sehingga perbedaan itu diabaikan begitu saja. Namun setelah
memasuki jenjang pernikahan dan kemudiaan memiliki keturunan. Akhirnya
mereka baru sadar adanya perbedaan itu. Lalu masalah mulai timbul dan
diselesaikan dengan baik yaitu dengan perceraian (Dariyo, 2003 : 165-168).
Individu yang telah melakukan perceraian, baik disadari maupun tidak
disadari akan membawa dampak negatif. Hal- hal yang dirasakan akibat
perceraian, diantaranya sebagai berikut :
1. Pengalaman traumatis pada salah satu pasngan hidup (laki-laki ataupun
perempuan)
Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam
menjalankan kehidupan pernikahan dan ternyata harus berakhir dalam
perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak nyaman,
tidak tenteram, tidak bahagia, stress, depresi, takut khawatir dalam diri
individu, Akibatnya individu akan memiliki sikap benci, dendam, marah,
dan sebagainya.
2. Pengalaman traumatis anak
Anak-anak yang ditinggalkan orang tua yang bercerai juga
merasakan dampak negatif. Mereka kebingungan harus ikut siapa, yakini
apakah harus ikut ayah atau ibu.mereka tidak dapat melakukan proses
identifikasi pada orang tua. Akibatnya tidak ada contoh positif yang harus
ditiru. Secara tidak langsung mereka mempunyai pandangan yang negatif