• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK KOMUNITAS PUNK di KOTA CIREBON (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Antara Orang Tua Dengan Anak Yang Mengikuti Komunitas Punk).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK KOMUNITAS PUNK di KOTA CIREBON (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Antara Orang Tua Dengan Anak Yang Mengikuti Komunitas Punk)."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Komunitas Punk)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Per syar atan Memper oleh Gelar Sar jana Pr ogram Studi Ilmu Komunikasi Pada FISIP U.P.N “Veteran” J awa Timur

oleh :

J UWINARDO OLII

NPM. 0843010141

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)
(3)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat

dan segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DENGAN KOMUNITAS

PUNK di KOTA CIREBON (Studi desk r iptif Pola Komunikasi Antar a Or ang

Tua dengan Anak yang Mengikuti Komunitas Punk)”.

Skripsi merupakan akademik yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa

sebagai pengantar membuat skripsi dan juga kelengkapan status kelulusan program

S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas

Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur.

Keberhasilan dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari

bimbingan Bapak Drs. Kusnarto, M.Si selaku dosen pembimbing, Serta bantuan dari

berbagai pihak baik moril maupun materiil. Untuk itu penulis menyampaikan banyak

terimakasih kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan

pengetahuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Kusnarto, M.Si, Membimbing Peneliti Sampai Selesainya Penelitian Ini.

5. Keluarga penulis, Papa, Mama, T.Neny, Nenek (Mimi), Um Yudi, Um

Nggun, Um Sien, adek Fika, Fernando dan Sandy,dan semua keluarga besar

penulis, terima kasih atas segala dorongan, bimbingan, nasehat-nasehat, serta

(4)

8. Della Nabilla JELEK ^_^ , terimakasih atas dukungan dan senyumannya,

serta yang selalu memberikan motivasi, baik motivasi dalam menyelesaikan

skripsi ini dan juga motivasi dalam hidupku ini.

9. Terimakasih juga buat Putri yang telah memberikan support dan 1 mangkok

mie cwimie.

10.Terimaksih juga buat Delisa dan Leily atas dukungannya.

11.Makasih banyak buat Pak. Hamim atas semua bantuannya selama ini.

Surabaya, Desember 2011

(5)

HALAMAN J UDUL ... i

HALAMAN PERSETUJ UAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... .v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAKSI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 8

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 8

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 8

BAB II KAJ IAN PUSTAKA ... 9

2.1 Landasan Teori ... .9

2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 9

2.1.2 Pengertian Komunikasi Budaya ... 11

2.1.3 Pola Komunikasi ... 14

(6)

2.1.7.1 Kualitas Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga ... 26

2.1.7.2 Aspek-aspek Kualitas Komunikasi Interpersonal Dalam Keluarga ... 28

2.1.8 Pengertian Orang Tua ... 32

2.1.9 Remaja ... 33

2.1.10 Faktor Pendorong Anak Turun ke Jalan ... 35

2.1.11 Punk di Indonesia ... 37

2.1.12 Pengertian Keluarga Broken Home ... 38

2.1.13 Kerangka Berpikir ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

3.1 Metode Penelitian ... 46

3.2 Subyek danObyek Penelitian ... 49

3.3 Lokasi Penelitian ... 50

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 53

4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data ... 53

4.1.1Gambaran Umum dan Objek Penelitiaan ... 53

4.1.2Kategori Anak Punk ... 54

4.1.3Aktivitas Anak Punk... 56

(7)

5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(8)

Childr en Which Following Punk Comunities In Cirebon City)

The study was based on the phenomenon of communication patterns between parents and children who followed the punk community. Punk in Cirebon still willing to do jobs to earn money such work as cane laborers, working odd jobs as a handyman, and employees of the workshop they were still willing to go home and help parents, in contrast again with the punk community in Surabaya. Surabaya punk in support himself by begging and blackmailing people passing in front of him and they did not come home.

The method used is depth interviews ( indepth interview ) are included in the qualitative research. Here the qualitative method using the theory of Joseph, there are three communication patterns of parents and child relationship, that is an Authoritarian, Permissive, Authoritatif that describe patterns of communication between parents and children.

Researchers took six informants, namely parents three children of and three Children's punk Punk it self. In this study researchers a technique indepth interviews to get the data obtained.

The results of this study based on analysis of data obtained from interviews, in outline is the first informant parents who have children who are members of the punk community embracing communication patterns authotarian ( authoritarian ) and informants two and three adopt permissive communication patterns ( liberating ).

(9)

Mengikuti Komunitas Punk)

Penelitian ini didasarkan pada fenomena Pola Komunikasi antara orang tua dengan anak yang mengikuti komunitas punk. Punk di cirebon masih mau melakukan pekerjaan untuk mendapatkan uang seperti bekerja sebagai buruh rotan, bekerja serabutan sebagai tukang,dan pegawai bengkel mereka pun masih mau pulang dan membantu orang tua, berbeda lagi dengan komunitas Punk yang ada di Surabaya, Punk yang ada di surabaya menghidupi dirinya dengan cara meminta-minta dan memalak orang yang lewat di depannya dan mereka pun tidak pulang ke rumah.

Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam ( Indepth interview ) yang termasuk dalam penelitiaan kualitatif. Disini metode kualitatif menggunakan teori Yusuf, terdapat tiga pola komunikasi hubungan orang tua dan anak, yaitu

Authoritarian, Permissive, Authoritatif yang menggambarkan pola komunikasi

antara orang tua dan anak.

Peneliti mengambil 6 orang informan, yaitu 3 Orang tua dari anak punk dan 3 Anak Punk itu sendiri. Dalam penelitiaan ini peneliti menggunakan teknik

Indepth interview untuk mendapatkan data yang diperoleh.

Hasil penelitian ini berdasarkan analisis data yang di dapat dari hasil wawancara, secara garis besar adalah pada informan 1 orang tua yang memiliki anak yang tergabung dalam komunitas punk menganut pola komunikasi authotarian (otoriter) dan informan 2 dan 3 menganut pola komunikasi permissive (membebaskan).

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belaka ng Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu berkomunikasi untuk menjalin

sebuah hubungan. Karena dengan adanya komunikasi kita akan mengetahui

tentang sesuatu hal masing-masing antara satu dengan yang lainnya.

Komunikasi berasal dari kata Latin Communicare atau Communis yang

berarti sama atau menjadikan milik bersama, yaitu sama makna mengenai satu hal

(Effendy,2002:3). Banyak makna mengenai pengertian komunikasi yang

diungkapkan dari para ahli namun dari keseluruhan pengertian komunikasi yang

ada dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh

seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau

perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media)

(Effendy, 2002 : 5).

Pola komunikasi adalah gambaran yang sederhana dari proses komunikasi

yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen

lainnya (Tarmudji, 1998:27).

Sedang komunikasi adalah peristiwa sosial yaitu peristiwa yang terjadi

ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Ilmu komunikasi apabila

dipublikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik

antar pribadi , antar kelompok, antar suku, antar bangsa dan ras, membina

(11)

Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi mengaitkan dua

komponen yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada

suatu aktivitas, dengan komponen-komponen yang merupakan bagian penting atas

terjadinya hubungan antara organisasi, ataupun juga manusia.

Dalam lingkungan keluarga komunikasi merupakan suatu hal yang sangat

penting, karena dalam keluarga anak-anak mulai menerima pendidikan yang

pertama dan paling utama. Pendidikan yang diterima oleh anak mulai dari

pendidikan agama, cara bergaul, dan hubungan interaksi dengan lingkungan.

Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi anak. Dalam

lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan persepsi

Pada masa sekarang masalah perhatian orang tua dalam membina

anak-anak sering dianggap sebagai pemicu terjadinya masalah-masalah sosial dan

kenakalan pada diri anak, karena orang tua dinilai kurang mampu memberi

perhatian khusus kepada anak sehingga anak mencari mencari orang tua angkat

yang dianggap lebih memahami dia. Interaksi dan komunikasi dalam keluarga

(orang tua–anak) kurang tercipta secara dinamis. Dengan kehadiran seorang anak

dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga menjadi lebih penting dan

intensitasnya harus semakin meningkat, dalam artian dalam keluarga perlu ada

komunikasi yang baik dan sesering mungkin antara orang tua dengan anak. Cukup

banyak persoalan yang timbul di masyarakat karena atau tidak adanya komunikasi

yang baik dalam keluarga.

Dalam sosial perkembangan remaja dalam hal ini anak yang mendapatkan

(12)

kepuasan diluar rumah, misalnya dengan cara melibatkan diri dengan teman

sebayanya. Bergabungnya remaja merupakan bentuk kompensasi peredam konflik

yang banyak dilakukan oleh remaja.

Dalam sosial perkembangan remaja, dapat dilihat adanya dua macam

gerak perilaku yaitu gerak memisahkan diri dari orang tua dan gerak menuju

teman sebaya. Apabila gerak pertama tidak diikuti oleh gerak kedua maka akan

menimbulkan rasa kesepian. Oleh karena itu bergabungnya remaja dengan teman

sebaya sangat diperlukan untuk mempelajari pola-pola interaksi sosial yang

dibutuhkan pada masa dewasa nantinya (Monks dkk, 2001:63). Pada sisi lain

karena kelompok remaja biasanya memiliki aturan–aturan khusus yang tidak

jarang juga bertentangan dengan aturan masyarakat, maka disinilah letak

pengaruh negatif teman sebaya terhadap remaja. Tidak sedikit remaja berperilaku

menyimpang, hal ini terjadi dikarenakan pengaruh negatif teman sebaya ( Healy

dan Browner dalam Yusuf, 2001 : 61).

Selain dari faktor orang tua , remaja juga mempengaruhi hubungan

komunikasi antar orang tua dan anak. Remaja merupakan masa “storm and drag”

yaitu suatu periode yang ditandai dengan rasa pemberontakan otoritas orang tua

(Pikunas dalam Yusuf,2001:184). Pada fase pertumbuhan remaja sering

mengalami frustasi dan penderitaan, konflik dan perasaan teralineallisasi (yang

sangat mendalam) dalam kehidupan sosial budaya orang dewasa (Yusuf,

2001:184), sehingga mengakibatkan keadaan yang ekstrem dalam pola

hubungannya dengan orang tua dan pada akhirnya timbul konflik pada keluarga.

(13)

pragmatis (Yusuf, 2001:187). Kondisi ini cenderung remaja mengutarakan

masalahnya secara terbuka kepada teman sebayanya (Gunarsa, 200:77).

Kecenderungan remaja mengutarakan masalahnya kepada teman sebaya

ini menimbulkan efek negatif bagi remaja. Hal ini dikarenakan teman sebaya tidak

memberikan solusi dari masalah yang dihadapi (Sigelman dan Shaffer dalam

Yusuf, 2001:60). Dan solusi atas masalah yang terjadi pada remaja adalah

hubungan yang sehat antara orang tua dengan remaja itu sendiri akan melindungi

remaja dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat. Seperti contohnya adalah

bahwa keluarnya anak dalam keluarga dan menjadi komunitas anak “Punk”

adalah salah satu bukti buruknya kualitas komunikasi antar orang tua dan anak

dalam keluarga dan juga pengaruh negatif dari teman sebayanya.

Beberapa orang di Indonesia umumnya belum banyak yang mengetahui

tentang asal usul sejarah lahirnya komunitas Punk dikarenakan komunitas ini

tidak memiliki sejarah yang panjang seperti di negara asalnya (Inggris) sehingga

wajar kalau hanya fashion dan aliran musiknya saja yang diadaptasi oleh remaja

di Indonesia. Karena kelahiran Punk di Indonesia bukan sebagai tanggapan bentuk

perlawanan terhadap kondisi tertentu, tetapi lebih sebagai bentuk imitasi

(peniruan) (George Marshal 2005).

Kalau di Indonesia Punk muncul sebagai sebuah imitasi, di negara asalnya,

Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera

merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu

oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat

(14)

penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang

sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.

Banyak yang mempersepsikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh

karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk

mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk

karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai

tindak kriminal.

Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang

mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau

dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu

boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti

kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk

berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan

seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.

Dalam “philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebut ada tiga

definisi Punk. Pertama, punk sebagai remaja dalam fashion dan musik. Kedua,

punk sebagai keberanian memberontak dan melakukan perubahan. Terakhir, punk

sebagai bentuk perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik, gaya

hidup,komunitas, dan kebudayaan sendiri.

Dalam pandangan masyarakat awam, identitas “minoritas” ini kadang

disalahartikan melalui persepsi negatif, sehingga membuat seluruh golongan

masyarakat menjadi tidak peduli atas keberadaan mereka, bahkan untuk

(15)

ketika melihat anak punk dengan pakaian kebesarannya, tidak dapat dipungkiri

bahwa seolah – olah mahkluk luar angkasa dan terlihat aneh.

Komunitas punk di Indonesia sangat diwarnai oleh budaya dari barat atau

Amerika dan Eropa. Biasanya perilaku mereka terlihat dari gaya busana yang

mereka kenakan seperti sepatu boots, potongan rambut mohawk ala suku Indian,

atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, rantai

dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti

sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya

sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah

layak untuk disebut sebagai punker (Marshall, 2005, h. 28). Namun tidak

demikian dengan Punk yang ada di kota cirebon, Punk di cirebon berpenampilan

bersih dan tampak rapih mereka juga masih mau melakukan pekerjaan untuk

mendapatkan uang seperti bekerja sebagai buruh rotan, bekerja serabutan sebagai

tukang,dan pegawai bengkel mereka pun masih mau pulang dan membantu orang

tua, berbeda lagi dengan komunitas Punk yang ada di Surabaya, Punk yang ada di

surabaya menghidupi dirinya dengan cara meminta-minta dan memalak orang

yang lewat di depannya dan mereka pun tidak pulang ke rumah.

Pola hidup Punk menurut mereka adalah pola hidup yang kuat dan dapat

dinikmati dalam mengadapi kehidupan,tanpa ada tekanan dari keluarga (orang tua

) dan aturan dalam keseharian hidup.

Jalaludin Rakhmat, mengatakan dalam buku Psikologi komunikasinya

bahwa pembentukan konsep diri seseorang juga bergantung pada affective others

(16)

Dewey dan W.J Humber (1996:105). Dalam hal ini affective others mereka adalah

teman-teman dari komunitasnya dan orang lain yang dianggap sebagai orang tua

(oarangtua angkat) bagi mereka.

Menurut Effendy (2002:8), komunikasi yang efektif dapat menimbulkan

pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan

tindakan, sehingga setiap nasehat yang dilontarkan orang tua kepada anak tersebut

tidak dianggap angin lalu. Dalam hal ini peneliti mencoba ingin tahu pola

komunikasi apakah yang digunakan orang tua tersebut dalam mengutarakan

nasehatnya kepada anak punk.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang permasalahan diatas maka dapat dirumuskan

sebagai berikut. Bagaimanakah pola komunikasi antara orang tua dengan anaknya

yang tergabung dalam komunitas Punk di Cirebon.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi orang

(17)

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Teor itis

Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu

memberikan kontribusi berkaitan dengan pola komunikasi

interpersonal dalam keluarga.

1.4.2 Pr aktis

a. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan kepada

orang tua tentang cara berkomunikasi terhadap anak, sehingga

komunikasi antara anak denghan orang tua berjalan dengan

efektif.

b. Untuk memahami dan mendeskripsikan identitas diri anggota

(18)

BAB II

KAJ IAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teor i

2.1.1. Penger tian Komunikasi Inter per sonal

Menurut muhamad (1995 : 158) , komunikasi interpersonal merupakan

komunikasi didalam diri. Di dalam diri manusia terdapat komponen-komponen

komunikasi seperti sumber, pesan, saluran penerima dan balikan. Dalam

komunikasi interpersonal hanya seseorang yang terlibat. Pesan mulai dan berakhir

dalam diri individu masing-masing. Komunikasi interpersonal mempengaruhi

komunikasi hubungan orang lain. Suatu pesan yang dikomunikasikan, bermula

dari diri orang.

Setelah melalui proses interpersonal tersebut, maka pesan-pesan

disampaikan kepada orang lain. Menurut Muhamad ( 1995 : 159 ), komunikasi

interpersonal merupakan proses pertukaran informasi antar individu dengan

individu lainnya, atau biasanya diantara dua orang yang dapat langsung diketahui

balikannya. Dengan bertambahnya orang-orang yang terlibat dalam komunikasi,

menjadi bertambah komplekslah komunikasi tersebut.

Komunikasi antarpribadi didefinisikan oleh Joshep A. DeVito dalam

bukunya “The Inter-Personal Comunication Book” ( DeVito 1989 : 4) sebagai

(19)

sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik

seketika”.

Berdasarkan definisi DeVito itu, komunikasi interpersonal dapat

berlangsung antara dua orang yang sedang berdua-duaan seperti suami istri yang

sedang bercakap-cakap, atau antara dua orang dalam suatu pertemuan, misalnya

antar penyaji makalah dengan salah seorang peserta seminar dan ketika seorang

ayah memberi nasehat kepada anaknya yang nakal, seorang instruktur yang

memberikan petunjuk tentang cara mengoperasikan sebuah mesin, dan

sebagainya.

Pentingnya situasi komunikasi interpersonal ialah karena prosesnya

memungkinkan beralangsung secara dialogis. Dialog adalah bentuk komunikasi

antar pribadi yang menunjukkan adanya interaksi. Mereka yangterlibat dalam

komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing-masing menjadi pembicara dan

pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis nampak adanya

upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya pergantian bersama (mutual

understanding) dan empati. Disitu terjadi rasa saling menghormati bukan

disebabkan status sosial, melainkan didasarkan pada anggapan bahwa

masing-masing adalah manusia yang wajib, berhak, pantas dan wajar dihargai dan

dihormati sebagai manusia. Dibanding dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya

komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap,

kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya karena komunikasi ini

berlangsung tatap muka, oleh karena itulah terjadi kontak pribadi (personal

(20)

menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika (immediat feedback)

mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan yang dilontarkan,

pada ekspresi wajah, dan gaya bicara. Apabila umpan balik positf, artinya

tanggapan itu menyenangkan, kita akan terus mempertahankan gaya komunikasi,

sebaliknya jika tanggapan komunikasi negatif, maka harus mengubah gaya

komunikasi sampai komunikasi berhasil.

Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan

perilaku komunikan itulah, maka bentu8k komunikasi antarpribadi acapkali

dipergunakan untuk melontarkan komunikasi persuasif (persuasive

communication) yakni suatu teknik komunikasi secara psikologis manusiawi yang

sifatnya halus, luwes berupa ajakan, bujukan dan rayuan.

Dengan demikian maka setiap pelaku komunikasi akan melakukan empat

tindakan, yaitu membentuk, menyampaikan, menerima, dan mengolah pesan dan

keempat tindakan tersebut lazimnya berlangsung secara berurutan, oleh karena itu

membentuk pesan diartikan sebagai menciptakan ide atu gagasan dengan tujuan

tertentu.

2.1.2 Penger tian Komunikasi Budaya

Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan,

tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan

milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1981:1993). Kebudayaan

(21)

selanjutnya hal itu menuntun tingkah lakunya (Geertz, 1973).perubahan dan

perkembangan masyarakat.

Dari apa yang dikemukakan Koenjaraningrat dan Geertz, dapat terlihat

bahwa kebudayaan merupakan suatu system makna yang menuntun tindakan

manusia yang dijadikan milik diri manusia dan diperoleh melalui proses belajar.

Hal ini dapat dipahami dengan cara memahami pikiran atau gagasan dari individu

pelaku kebudayaan.

Seiring dengan berjalannya waktu, aturan atau norma yang berlaku

kemudian menjadi suatu pola kebudayaan yang bersifat umun dan membawa

dampak besar terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat. Kebudayaan

tentu saja tidak bersifat statis, tetapi kebudaayan itu selalu berubah mengikuti

perkembangan zaman seiring dengan adanya perubahan pola perilaku

masyarakatnya. Adanya perubahan dan perkembangan didalam masyarakat sangat

dipengaruhi pula oleh kebudayaan sebagai pembawa arus utama (mainstream)

yang menjadi sebuah kebudayaan dominan dalam masyarakatnya. Menurut

Benedict dalam Pattern of culture , mengungkapkan bahwa didalam setiap

kebudayaan ada beragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh factor

keturunan (Genetik) dan factor kebutuhan (konstitusi), yang timbul berulang-ilang

secara universal. Namun setiap kebudayaan hanya memperbolehkan sejumlah

terbatas dari setiap tipe untuk berkembang. Dan tipe-tipe tersebuta hanya cocok

dengan konfogurasi dominan. Hal ini disebabkan karena tipe tersebut cukup platis

untuk “menyesuaikan” dengan masyarakat pendukung budaya dominan itu sendiri

(22)

mainstream tersebut. Mainstream terdapata dalam mengembangkan pengetahuan,

dan bersikap terhadap kehidupan mereka. Symbol seperti nilai bermakna yang

dikatakan (Geertz 1973:89), adalah sebagai tempat yang memuat sesuatu nilai

bermakan (meaning). Simbol-simbol kebudayaan inilah yang kemudian

mempengaruhi cara berfikir seseorang ataupun masyarakat unutk bertindak dalam

perilakunya.

Kebudayaan pada dasarnya merupakan segala macam bentuk gejala

kemanusiaan, baik yang mengacu pada sikap, konsepsi, ideologi, perilaku,

kebiasaan, karya kreatif, dan sebagainya. Secara kongkrit kebudayaan bisa

mengacu pada adat istiadat, bentuk-bentuk tradisi lisan, karya seni bahasa, pola

interaksi, dan sebaginya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan fakta

kompleks yang selain memiliki kekhasan pada batas tertentu juga memiliki ciri

yang bersifat universal (Maryaeni, 2005 : 5)

Menurut Fitrah Hamdani dalam Zaelani Tammaka (2007:164) “Subkultur

adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk

berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk

penciptaan gaya (style) dan bukan hanya merupakan penentangan terhadap

hegemoni atau jalan keluar dari suatu masalah-masalah atau ketegangan dalam

kehidupansosial”(http://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/05/26/subkultur/tan

ggal2 oktober 2011, pukul 17:19)

Dalam sub-kultur punk, Dick Hebdige istilah kultur mengacu pada cara

(23)

dalam seni dan pembelajaran tapi juga di dalam institusi dan perilaku sehari-hari.

Analisis kultur, dengan definisi semacam ini, adalah penjelasan tentang makna

dan nilai yang tersirat dan tersurat dalam cara hidup tertentu, kultur tertentu

(William,1965)

Dalam subculture. The meaning of style (1979) karya Dick Hebdige, gejala

budaya punk dan subkultur anak-anak muda pada umumnya tidak diperlakukan

sebagai budaya orang-orang menyebalkan saja, sebaliknya Hebdige melihat

kompleksitas hubungan antara anak-anak muda dengan masyarakatnya, dengan

kelompok-kelompok budaya lainnya, dan dengan budaya orang tua mereka

(Sunardi : 2002)

2.1.3 Penger tian Pola Komunikasi

Pola komunikasi adalah gambaran yang sederhana dari proses komunikasi

yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen

lainnya. (Tarmuji, 1998 : 27)

Sedangkan komunikasi adalah peristiwa sosial yaitu peristiwa yang terjadi

ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Ilmu komunikasi apabila

dipublikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik

antar pribadi, antar kelompok, antar suku, antar bangsa dan ras, membina

(24)

Dari pengertian-pengertian di atas maka komunikasi mengkaitkan dua

komponen yaitu gambaran atau rencana yang meliputi langkah-langkah pada

suatu aktifits, dengan komponen-komponen yng merupakan bagian penting atas

terjadiny hubungana antar organisasi, ataupun juga manusia.

Menurut Yusuf (2001 : 51-52) terdapat tiga pola komunikasi hubungan

orangta dan anak, yaitu :

a. Authoritarian (cenderung bersikap bermusuhan)

Dalam pola hubungan ini sikap acceptance orang tua rendah,

namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik, bersikap

mengkomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan

sesuati tanpa kompromi), bersikap kaku (keras), cenderung emosional

dan bersikap menolak.

Sedang dipihak anak mudah tersinggung, penakut, pemurung dan merasa

tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stres, tidak mempunyai arah masa

depan yang jelas serta tidak bersahabat.

a. Permissive (cenderung berperilaku bebas)

Dalam hal ini sikap acceptance orang tua tinggi, namun kontrolnya

rendah, memberi kebebasan kepada anak untk menyatakan dorongan atau

keinginannya.

Sedang anak bersikap impulsif serta agresif, kurang memiliki rasa percaya

(25)

b. Authoritatif (cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan)

Dalam hal ini sikap acceptance orang tua dan anak kontrolnya

tinggi, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk

menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang

dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.

Sedangkan anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu

mengendalikan diri (self control), bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki

rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas, dan

berorientasi terhadap prestasi.

Menurut Hardy (1998 : 132) terdapat empat pola komunikasi, yaitu pola

komunikasi otoriter, demokratis, permisif, laissez faire. Bila pembinaan anak

dilakukan dengan menggunakan pola komunikasi otoriter, maka anak akan

berubah menjadi agresif terhadap sesamanya, atau bahkan bersikap tak acuh

kepada yang dihadapinya. Dalam hal ini terdapat kepura-puraan, anak merasa

jengkel, terhadap suatu masalah, saling menyalahkan dan bukannya bekerja sama

memecahkan masalah.

Sedangkan pola komunikasi demokratis menciptakan hubungan antar anak

lebih baik daripada otoriter. Dalam hal ini sikap agresif anak jauh lebih sedikit

dan anak tersebut saling menyenangi teman, dan anak tersebut akan saling

melakukan kerja sama untuk memecahkan permasalahan.

Pada pola komunikasi permisif orang tua memberikan kebebasan penuh

kepada anak untuk berbuat dan keleluasaan mengambil keputusan. Pola

(26)

agresif sehingga sangat sedikit pekerjaan yang dapat dilaksanakan. Dalam pola

komunikasi jenis ini hampir tidak terdapat pekerjaan yang dapat dikerjakan.

Effendy (1993 : 27) menyatakan bahwa komunikasi adalah pernyataan

manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikirana dan perasaan seseorang kepada

orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyatunya.

Komunikasi pada dasarnya dapat terjadi pada berbagai konteks kehidupan.

Kejadian-kejadian komunikasi yang diamati dalam ilmu komunikasi sangat luas

dan kompleks karena menyangkut berbagai aspek sosial budaya, ekoniomi dan

politik dari kehidupan manusia.

Menurut Bandura (Rakhmat, 1988 : 25) dalam Teori Belajar secara Sosial

(social learning) yang mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukum dalam

proses belajar. Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan

perasaannya, ia akan menahan diri untuk berbicara walaupun ia memiliki

kemampuan untuk melakukannya. Melakukan satu perilaku ditentukan oleh

peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh

peniruan (imitation).

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi

terjadi antara satu orang dengan lainnya, mempunyai tujuan untuk mengubah atau

membentuk perilaku orang yang menjadi sasaran komunikasi. Disamping itu

komunikasi merupakan proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian,

sedang car penyampaiannya menggunakan simbol-simbol dalam kata-kata,

(27)

Pengertian komunikasi secara etimologis berasal dari perkataan latin

“communicatio” yang bersumber dari perkataan “communis” yang berarti sama

makna atau arti. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna

mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa komunikasi memiliki pengertian

yang luas dan beragam walaupun secara singkat komunikasi merupakan suatu

proses pembentkan, penyampaian, penerimaan, dan pengolahan pesan yang terjadi

dalam diri seseorang dan atau diantara dua orang atau lebih dengn tujuan tertentu.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa komunikasilah yang

berhubungan dengan manusia itu yang tidak mungkin bisa hidup tanpa

berkomunikasi. Semakin manusia berada di suatu tempat, maka semakin banyak

jaringan dan jalur komunikasi ditempat itu.

2.1.4 Teor i Atr ibusi

Teori ini diperkenalkan oleh Heider pada tahun 1958 melalui bukunya

yang berjudul The Psychology Interpersonal Relation. Heider mengemukakan,

jika anda melihat perilaku orang lain, maka anda juga harus melihat sebab

tindakan orang lain. Dengan demikian anda sebagai pihak yang memulai

komunikasi harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi perilaku yang

tampak didepan anda. Heider seperti yang dikutip Rahmat (1998) mengungkapkan

ada dua jenis atribusi, yaitu atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran (Liliweri

(28)

Contoh, jika anda mengamati perilaku seseorang pertama anda harus bisa

menentukan dahulu apa yang menyebabkan perilaku itu terjadi, apakah faktor

situasional atau faktor personal. Dalam teori atribusi lazim disebut kualitas

eksternal dan kualitas internal. Intinya hanya mempertanyakan perilaku orang lain

tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal atau faktor personal. Itulah “atribusi

kausalitas”

Kedua yaitu atribusi kejujuran, Robert A. Baron dan Don Byrne yang

dikutip rahmat (1988) mengemukakan, ketika seseorang memperlihatkan atribusi

kejujuran maka ada dua hal yang harus diamati : (1) sejauh mana pernyataan

orang itu menyimpang dari pendapat umum dan (2) sejauh mana orang itu

memperoleh keuntungan dari anda akibat pernyataan anda. Makin besar jarak

antara pendapat pribadi dengan pendapat umum maka kita maikn percaya bahwa

dia jujur.

2.1.5 Penger tian Pola Asuh

Para ahli selama ini (Gunarsa dan Gunarsa, 1995 : 124, Papalia. Olds dan

Feldmen, 1998) mengemukakan bahwa pola asuh dari orang tua sangat

mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Baumrind, ahli psikologi

perkembangan membagi pola asuh orang tua menjadi tiga, yakni : otoriter,

permisif, dan demokratis.

1. Pola asuh otoriter (Parent oriented). Ciri-ciri dari pola asuh ini,

menekankan segala aturan orang tua harus dipatuhi oleh anak. Orang

(29)

harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang

diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, anak seolah-olah menjadi

“robot”, sehingga kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri,

pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan, tapi di sisi lain anak

bisa memberontak, nakal atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya

dengan menggunakan narkoba (alcohol or drug abuse). Dari segi

positifnya, anak yang didik dengan pola asuh ini, cendrung akan

menjadi displin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi, bisa jadi ia

hanya mau menunjukkan kedisplinannya di depan orang tua, padahal

dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua

anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya

untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki

kedisplinan dan kepatuhan yang semu.

2. Pola asuh permisif. Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala

aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak.apa yang dilakukan oleh

anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan

anak. Anak cenderung semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia

bebas melakukan apa saja yang dia inginkan. Dari sisi negative, anak

kurang displin dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak

mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggungjawab,

maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif, dan

(30)

3. Pola asuh demokratis. Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar.

Keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah

pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggungjawab, artinya apa

yang dilakukan anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan

dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak-anak

dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih

untuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya. Akibat positif

dari tindakan pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang

mempercayai oranglain, bertanggungjawab atas tindakannya, tidak

munafik, jujur. Namun akibat negatifnya, anak cenderung merongrong

kewibawaan otoritas orang tua. Kalau segala sesuatu harus

dipertimbangkan antara orang tua dan anak.

4. Pola asuh situasional. Dalam kenyataan, sering kali pola asuh ini tidak

ditetapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah satu

tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan

secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi

yang berlangsung saat itu. Sehingga sering kali muncullah tipe pola

asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak

berdasarkan pada pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut

diterapkan secara luwes.

Dari model pola asuh di atas, mana yang dianggap efektif dan efesien ntuk

menghadapi kehidupan dalam keluarga? Pertanyaan ini sulit dijawab secara pasti,

(31)

tidak sama. Oleh karena itu, tergantung orang tua yang menghadapi masalah

dalam keluarganya sendiri. Adakalanya orang tua menggunakan pola otoriter,

tetapi adakalanya orang tua menerapkan pola permisif atau demokratif. Dengan

demikian, secara tidak langsung tidak ada jenis pola asuh yang murni diterapkan

dalam keluarga yang bersangkutan. Inilah yang akan mengarah pada pola asuh

situasional.

2.1.6 Penger tian Keluar ga

Menurut Sigelman dan Shaffer (Yusuf, 2001 : 36), bahwa keluarga

merupakan unit terkecil yang bersifat universal, artinya tedapat pada setiap

masyarakat di dunia atau suatu system sosial yang terbentuk dalam system sosial

yang lebih besar. Ada dua macam keluarga, yaitu keluarga inti (muclear family)

dan keluarga besar (extenden family). Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri

dari ayah,ibu dan anak- anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan

keluarga besar adalah satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan

satu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada ayah, ibu dan anak-anak.

2.1.7 Komunikasi Keluar ga

Menurut Hurloch (1988 : 198) komunikasi keluarga adalah pembentukan

pola kehidupan keluarga dimana di dalamnya terdapat unsure pendidikan,

pembentukan sikap dan perilaku anak yang berpengaryh terhadap perkembangan

(32)

Dalam dunia modern ini menyebabkan perubahan dalam berbagai aspek

kehidupan keluarga, akibatnya pola keluarga telah berubah secara radikal (dratis).

Dan sekian banyak perubahan yang terjadi pada keluarga tersebut dampaknya

dapat terjadi pada seluruh komponen keluarga yang ada, yaitu dipihak ayah, ibu,

anak maupun keluarga yang ikut di dalamnya seperti nenek atau anggota lainnya.

Dilihat pada uraian diatas, maka anak pun memikul dampak dari perubahan yang

terjadi pada keluarga.

Menurut Hurloch (1988 : 109), ikatan dengan keluarga yang renggang dan

kontak keluarga yang berkurang, maka pekerjaan yang dilakukan di rumah, anak

lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dari pada di dalam rumah.

Perceraian atau pernikahan kedua dan selanjutnya. Membuat peran penting

terhadap ayah untuk membesarkan anak-anaknya dalam pengasuhan. Orang tua

mempunyai ambisi lebih besar bagi anak dan bersedia mengorbankan kepentingan

pribadi mereka demi pendidikan anak dalam mempersiapkan mereka di masa

depan dan adanya lebih banyak interaksi dengan orang luar dari pada anggota

keluarga.

Disamping itu terjadi perubahan pendidikan anak yang otoriter ke yang

lebih permisif dan pengendoran control orang dewasa terhadap perilaku anak

dimana tanggung jawab untuk control lebih banyak dibebankan pada anak itu

sendiri.

Selanjutnya Hurloch (1988 : 188) menyatakan bahwa peranan keadaan

(33)

sosial ekonominya atau keutuhan struktur dan interaksinya saja hal ini mudah

diterima apabila kelompok sosial dengan tujuan-tujuan, norma-norma, dinamika

kelompok termasuk kepimpinananya yang sangat mempengaruhi kehidupan

individu yang menjadi kelompok tersebut diantaranya anak.

Clemens (1995 : 5) menyatakan bahwa anak itu selalu berubah dan

semakin lama semakin nakal. Peneliti sudah mendengar banyak tentang perilaku

anak yang ekstrim. Bahasan tentang nilai rendah dalam menempuh ujian masuk

universitas, perdebatan tentang ketidakmampuan siswa di bidang ketrampilan

dasar, meningkatnya kenakalan remaja, cerita mengerikan tentang munculnya

industry ponografi anak.

Yusuf (2000 : 37) menyatakan bahwa keluarga memiliki peranan yang

sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua

yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik

agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif

untuk mempersiapakan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.

Selanjutnya Yusuf (2000 : 38) menyatakan bahwa keluarga bahagia

merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi anggota

keluarganya terutama anak. Hubungan antar anggota keluarga juga meliputi

pemeliharaan rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman respek dan keinginan

untuk menumbuh kembangkan anak yang merupakan bagian dari anggota

(34)

konflik atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah bagi

anak.

Fungsi keluarga menurut Shneiders (1960 : 405), mengemukakan bahwa

keluarga bahagia ditandai oleh ciri-ciri :

1. Minimnya perselihan antar orang tua atau orang tua dengan anak

2.Adanya kesempatan untuk menyatakan keinginan

3.Penuh kasih sayang

4.Penerapan displin yang tidak keras

5.Adanya kesempatan untuk bersikap mandiri dalam berfikir merasa

dalam berprilaku

6.Saling menghormati, menghargai (mutual respect) diantara orang tua

dan anak

7.Ada konferensi (musyawarah) keluarga dalam memecahkan masalah

8.Menjalin kebersamaan orang tua dan anak

Seseorang anak harus menyadari tentang bagaimana orang lain

memandang sesuatu dari sudut penglihatannya sehingga pilihan yang dibuatnya

dipengaruhi kebutuhan, hak serta tanggung jawab orang lain. Karena anak

memperoleh umpan balik dari orang lain, terutama dari orang tuanya, ia dapat

mengasah pemahamannya tentang cara orang lain memandang sesuatu. Hal ini

akan meningkatkan kemampuan anak untuk bersikap fleksibel dan

(35)

2.1.7.1Kualitas Komunikasi Inter per sonal dalam Keluar ga

Dalam keluarga perlu sekali dibina dan dikembangkan komunikasi

antara orang tua dan remaja, karena keluarga merupakan faktor utama yang

mendasari perkembangan dari remaja (Fuhrman).

Menurut Irwanto (dalam Yatim dan Irwanto, 1991 : 79), keluarga yang

sehat dapat dibentuk melalui komunikasi. Melalui komunikasi, orang tua

memberikan dan mengajarkan tentang nilai, norma, pengetahuan, sikap dan

harapan terhadap anak-anak. Dengan komunkasi yang efektif, maka beberapa hal

tersebut dapat diterima dan dipahami oleh remaja. Hal tersebut senada dengan

pernyataan Tubbs Moss (dalam Rakhmat, 2002 : 13), yaitu komunikasi yang

efektif akan menimbulkan hubungan dan pengertian yang makin baik antara

kedua belah pihak.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dilihat komunikasi

bersifat dialog, dan bukan monolog. Menurut Hasturi (dalam Kartono, 1994 : 153)

komunikasi yang monolog tidak menimbulkan tantangan dalam diri anak untuk

mengembangkan pikiran, kemampuan bertanggungjawab dan anak tidak dimintai

pendapat atas usul bila ada masalah dalam keluarga. Jika komunikasi bersifat

dialog, orang tua mendapat kesempatan mengenal anaknya atau dapat

berkomunikasi secara langsung sehingga dapat memberikan pengaruh langsung

pada anak. Orang tua dapat belajar dari anaknya waktu mendengarkan dan

(36)

Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Gordon dan Glasser

(dalam Fuhrman, 1990 : 217) bahwa hubungan antara orang tua dan remaja yang

harmonis didukung oleh adanya komunikasi yang terbuka, jujur, dan demokratis.

Menurut Fuhrman (1990 : 218), komunikasi yang efektif juga

dibutuhkan untuk membentuk keluarga yang harmonis, selain factor keterbukaan,

otoritas, kemampuan bernogosiasi, menghargai kebebasan dan privasi antar

anggota keluarga. Dengan adanya komunikasi yang efektif diharapkan dapat

mengarahkan remaja untuk mampu mengambil keputusan, mendukung

perkembangan otonomi dan kemandiran dan lain-lain.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan faktor

yang penting bagi perkembangan diri remaja, karena ketiadaan komunikasi dalam

suatu keluarga akan berakibat fatal seperti timbulnya perilaku menyimpang pada

remaja (Irwanto dalam Yatim dan Irwanto, 1991 : 83).

Menurut Rahkmat (2002 : 129), tidak benar anggapan orang bahwa

semakin sering seseorang melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain,

maka makin baik hubungan mereka. Persoalanya adalah bukan berapa kali

komunikasi dilakukan, tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Hal ini berarti

bahwa dalam komunikasi yang diutamakan adalah bukan kuantitas dari

(37)

2.1.7.2Aspek -aspek Kualitas Komunikasi Inter per sonal dalam Keluar ga

Komunikasi yang efektif perlu dibangun dan dikembangkan dalam

keluarga. Beberapa faktor penting untuk menentukan jelas tidaknya informasi

yang dikomunikasikan di dalam keluarga sehingga dapat mengarahkan pada

komuniksi yang efektif, yaitu :

1. Konsistensi

Informasi yang disampakan secara kosisten akan dapat dipercaya dan

relatif lebih jelas dibandingkan dengan informasi yang selalu berubah.

Ketidak konsistensian yang membuat remaja bingung dalam menafsikan

informasi tersebut, (1991 : 85).

2. Ketegasan (assertiveness)

Ketegasan tidak berarti otoriter. Ketegasan membantu meyakinkan

remaja atau anggota keluarga yang lain bahwa komunikator benar-benar

meyakini nilai atau sikapnya. Bila prilaku orang tua ingin ditiru oleh anak,

maka ketegasan akan memberi jaminan bahwa mengharapkan anak-anak

berprilaku yang sesuai dan diharapkan (Irwanto dalam Yatim dan Irwanto,

1991 : 85-86).

3. Percaya (Thrust)

Faktor percaya adalah dalam hal ini yang penting karena percaya

menentukan efektifitas komunikasi, meningkatkan komunikasi

interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas

(38)

komunikan untuk mencapai maksudnya, hilangnya kepercayaan pada

orang lain akan menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang

akrab (Rakhmat,2002 : 130).

Ada tiga faktor yang berhubungan dengan sikap percaya (Rakhmat, 2002 :

131), yaitu :

a. Menerima

Menerima adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa

menilai dan tanpa berusaha mengendalikan, sikap yang melihat orang lain

sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai, tetapi tidak berarti

menyetujui semua prilaku orang lain atau rela menanggung akibat-akibat

prilakunya.

b. Empati

Empati dianggap sebagai memahami orang lain dan mengembangkan

diri pada kejadian yang menimpa orang lain, melihat seperti orang lain

melihat, merasakan seperti orang lain rasakan.

c. Kejujuran

Manusia tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur

atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kejujuran dapat

mengakibatkan prilaku seseorang dapat diduga. Ini mendorong untuk percaya

(39)

4. Sikap sportif

Sikap sportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam

komunikasi. Sikap defensive akan menyebabkan komunikasi interpersonal

akan gagal, karena lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang

ditanggapinya dalam situasi komunikasi daripada pesan dari orang lain.

Beberapa perilaku yang menimbulkan iklim sifat defensif dan sportif antar

lain sebagai berikut :

a. Deskriptif

Artinya penyampainan perasaan atau persepsi tanpa menilai.

Hubungan antara orang tua dengan anak bersifat horisontal dan sama.

b. Orientasi Masalah

Artinya adalah mengkomunikasikan untuk bekerjasama mencai

pemecahan masalah dengan tidak mendikte pemecahan, melainkan

mengajak orang lain bersama-sama untuk mendapatkan tujuan dan

memutuskan cara untuk menetapkan tujuan dan memutuskan cara untuk

mencapainya.

c. Spontanitas

Artinya sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang

(40)

d. Persamaan

Suatu sikap memperlakukan orang lain secara horisontal dan

demokratis. Artinya tidak mempertegas perbedaan tidak, tidak menggurui,

tapi berbincang pada tingkat yang sama dan mengkomunikasikan

penghargaan serta rasa hormat pada perbedaan dan keyakinan.

e. Provosionalisme

Provosionalisme adalah Suatu kesediaan untuk meninjau kembali

pendapat seseorang.

5. Sikap terbuka

Sikap terbuka mendorong terbukanya saling pengertian, saling

menghargai, saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal.

6. Bersikap positif

Bersikap secara positif mencakup adanya perhatian atau pandangan

positif terhadap diri seseorang, perasaan positif untuk berkomunikasi dan

“menyerang” seseorang yang diajak berinteraksi. Perilaku “menyerang” dapat

dilakukan secara verbal seperti kata-kata “aku suka kamu” atau “kamu nakal”

sedangkan perilaku “menyerang” yeng bersifat non verbal berupa senyuman,

pelukan bahkan pukulan. Perilaku “menyerang” dapat bersifat positif yang

merupakn bentuk penghormatan atau pujian dan mengandung perilaku yang

diharapkan dan dihargai. “Menyerang” yang negatif bersifat menentang atau

(41)

sesorang baik secara fisik maupun psikologis (DeVito, 1989). Pentingnya

“menyerang” yang dinyatakan oleh Kristina (dalam Kartono, 1994 : 153)

bahwa “menyerang” positif perlu diberikan kepada anak jika memang pantas

menerimanya. “menyerang” secara negatif juga diperlukan asal dalam batas

yang wajar seperti menegur atau memarahi anak bila memang perlu dan orang

tua tetap memberikan penjelasan alasan demikian.

2.1.8 Penger tian Orang Tua

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Orang tua dalah Ayah dan Ibu

kandung. Sedangkan menurut Wright (1991:12), Orang tua dibagi menjadi tiga

macam yaitu :

a. Orang tua kandung

Orang tua kandung adalah Ayah dan Ibu yang mempunyai hubungan

darah secara biologis (yang melahirkan).

b. Orang tua angkat

Pria dan wanita yang bukan kandung tapi dianggap sebagai orang tua

sendiri berdasarkan ketentuan hukum atau adat yang berlaku.

c. Orang tua asuh

Orang yang membiayai hidup seseorang yang buka anak kandungnya

(42)

Dari pengertian diatas maka arti orang tua adalah seorang pria dan wanita

yang dianggap mempunyai ikatan darah maupun sosial yang mampu mendidik,

merawat dan membiayai serta membimbing hidup orang lain yangg dianggap

anak secara berkesinambungan (berkelanjutan).

2.1.9 Remaja

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat

penting, diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu

bereproduksi. Selain itu, remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung

(dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat

seksual, perenungan diri dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu

moral (Yusuf, 2001:184).

Hurlock dalam ( Yusuf, 2001:21) menyatakan bahwa usia yang dapat

dikatakan sebagai remaja yaitu diantara usia 11 sampai 21 tahun. Periode remaja

ini dipandang sebagai masa “storm and stress”, frustasi dan penderitaan, konflik

dan penyesuaian, mimpi dan melamun cinta, dan perasaan teralinealisasi

(tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Yusuf, 2001 : 184)

Beberapa tokoh psikologi remaja memberikan beberapa definisi tentang

remaja, antara lain (Yusuf, 2001 : 184) :

1. Hall mengatakan remaja sebagai masa yang berada dalam dua situsai antar

(43)

dewasa. Selain itu pengalaman sosial selama remaja dapat mengarhkan untuk

menginternalisasi sifat-sifat yang diwariskan oleh generasi sebelumnya.

2. Barker memberikan penekanan orientasi remaja kepada maslaha

sosiopsikologis. Hal ini dikarenakan bahwa remaja merupakan periode

pertumbuhan fisik yang sangat cepat dan peningkatan dalam koordinasi, maka

remaja merupakan masa transisi anata anak dan masa dewasa. Oleh karena

pertumbuhan fisik berkaitan denga sifat-sifat yang diterima anak, maka

pertumbuhan fisik seseorang menentukan pengalaman sosialnya.

3. Levinger berpendapat bahwa remaja mulai mengenal minat terhadap lawan

jenisnya, yang biasnya terjadi saat kontak dengan kelompok. Dalam interaksi

dengan kelompok remaja mulai tertarik dengan kelompoknya. Persaan tertarik

atau sifat positif terhadap teman dalam kelompoknya merupakan dasar bagi

perkembangan pribadi yang akrab diantara akrab, maka ada tiga fase antara

lain :

a. Kesadaran untuk berhubungan (unilaterally aware)

Kesadaran ini hanya terbatas pada informasi dan impresi (kesan umum)

tentang yang lain berdasarkan penampilan fisik, seperti : wajah, postur

tubuh, dan cara berpakaian.

b. Kontak permulaan (surface contact)

Pada tahap ini hubungan diantara anggota kelompok frekuensinya sudah

begitu sering dan diantara mereka sudah terjalin komunikasi meskipun

(44)

c. Saling berhubungan

Pada tahap ini terjadi tahap interdependensi diantara dua orang yang

berlain jenis. Hubungan diantar mereka menjadi akrab melalui saling tukar

pengetahuan, pengalaman, perasaan, dan membantu satu sama lain.

2.1.10 Fak tor Pendor ong Anak Tur un ke J alan

Menurut penelitian Sukiadi (dalam Sanituti dan Bagong, 1999 : 22) alasan

utama anak turun ke jalan dipengaruhi oleh beberapa faktor penunjang antar lain

yaitu :

1. Lingkungan

Secara garis besar ada empat kondisi yang mendorong kecenderungan

anak memilih hidup dijalanan, yaitu :

a) Lingkungan keluarga

Apabila anak dilahirkan dan dibesarkan dalam komunitas jalanan,

besar kemungkinan anak akan mengikuti jejak orang tuanya ke jalanan. Dalam

komunitas ini, anak menjalani kehidupan di jalanan dan dapat menghasilkan

uang yang tidak sedikit, meskipun tanpa modal. Faktor kemudahan ini

menarik beberapa anak untuk turun ke jalanan dan tetap berada di jalan dalam

waktu yang lama.

b) Konflik keluarga

Adanya ketidak cocokan antara anak dan orang tua sehingga

(45)

di jalanan. Anak tidak dapat mengutarakan pendapatnya kepada orang tua atau

keluarga, sehingga membuatnya tertekan. Ketika dia berada di jalanan dia

dapat dengan bebas melakukan kehendak hatinya sebagai pelampiasan rasa

ketidak adilan yang ia alami.

c) Tinggal dengan pusat keramaian atau fasilitas umum

Pada pusat keramaian seperti terminal angkutan kota, stasiun kereta

api, tempat pembelajaran, dan persimpangan jalan, memungkinkan mereka

berada disana untuk sekedar tempat nongkrong dengan teman maupun

mencari uang.

d) Dekat dengan komunitas jalanan

Apabila anak dekat dengan anak yang hidup di jalan, baik sebagai

teman bermain maupun dekat dengan tempat komunitas anak jalanan, ada

kemungkinan anak akan terpengaruh ikut turun ke jalanan. Ditambah lagi

dengan anak yang tanpa pengawasan yang baik dari orang tua, akan lebih

mudah terpengaruh dengan tawaran anak yang hidup di jalanan yang berada

disekitarnya.

2. Pengetahuan

Ada tiga persepsi yang biasanya diyakini atau di nilai benar oleh anak

yang hidup di jalanan, yaitu :

a) Anak jalanan tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai

(46)

sehingga ketika ditawarkan oleh anak jalanan lainnya, anak langsung

menerima.

b) Munculnya tanggapan dari dalam diri anak maupun keluarga bahwa

menjadi anak jalanan bukanlah pekerjaan yang memalukan melainkan

biasa dan wajar. Mereka tidak berpikir bahwa akan menjadi efek yang

negatif bagi orang lain.

c) Adanya suatu budaya dalam masyarakat agraris dimana seorang anak atau

remaja dalam keluarga mempunyai peranan membantu pekerjaan orang

tua (anak dianggap sebagai tenaga kerja). Dalam pandangannya, Orang tua

yang bertanggung jawab akan mempekerjakan anak mereka tanpa

memikirkan dampak dari pekerjaan tersebut.

2.1.11 Punk di Indonesia

Pengertian punk seringkali diartikan berbeda-beda lebih jauh punk juga

diartikan sebagai orang yang ceroboh, sembrono, dan ugal-ugalan hingga

sekelompok pemuda bergerak menentang masyarakat mapan dengan

menyatakannya lewat musik, gaya berpakaian, dan gaya rambut yang khas

(George Marshal 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, punk diartikan

sebagai anak muda yang masih “hijau”, tidak berpengalaman, atau tidak berarti.

Bahkan diartikan sebagai orang yang ceroboh, sembrono, dan ugal-ugalan. Istilah

tersebut sebetulnya kurang menggambarkan makna punk secara keseluruhan.

(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/belia/230304/10selancar.htm tanggal 2

(47)

Berbekal etika DIY, beberapa komunitas punk di kota-kota besar di

Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang merintis

usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri

untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran.

Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut

distro.

CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka

juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah,

poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan

dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah

implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's,

Adidas, Nike, Calvin Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Punk tanggal 2 oktober 2011, pukul 18 : 19).

2.1.12 Penger tiaan Keluarga Broken Home

Kondisi keluarga yang berantakan (Broken Home) merupakan cerminan

adanya ketidak harmonisan antar individu (suami-istri, atau orang tua dan anak)

dalam lembaga rumah tangga . hubungan suami istri yang tidak sejalan yakni

ditandai dengan pertengkaran, percekcokan maupun konflik terus menerus

sehingga menyebabkan ketidak bahagiaan dalam sebuah perkawinan. Tidak

terselesaikan masalah ini, akan berdampak buruk seperti perceraian suami istri

(48)

Kebanyakan orang menganggap bahwa perkawinan itu merupakan hal

yang sakral dan diberkati oleh kaum ulama, biasanya perkawinan ini hanya dapat

berakhir karena kematiaan.

Berdasarkan anggapan inilah maka setiap keluarga berusaha untuk

menjaga keutuhan keluarganya, karena salah satu faktor yang mempengaruhi

jalannya fungsi – fungsi keluarga adalah kebutuhan keluarga. Jika keluarga tidak

dapat menjaga keutuhannya, maka keluarga yang bersangkutan akan mengalami

apa yang dianamakan Broken Home.

Yang dimaksud dengan keutuhan keluarga, yaitu keutuhan struktur dalam

keluarga dimana dalam keluarga, disamping adanya seorang ayah, juga adanya

seorang ibu beserta anak – anaknya. Selain itu juga adanya keharmonisan dalam

keluarga di aman diantara anggota keluarga saling bertemu dan bertatap muka dan

juga berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Dalam keluarga Broken Home . dimana sering terjadi percekcokan di

antara orang tua dan sikap saling bermusuhan disertai tindakan-tindakan yang

agresif, maka dengan sendirinya keluarga yang bersangkutan akan mengalami

kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga sebenarnya.

Kegagalan-kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga dapat

disebabkan karena beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang menyebabkannya

(49)

1. Faktor pribadi, dimana suami-istri kurang menyadari akan arti dan fungsi

perkawinan yang sebenarnya. Misalnya egoism, kurang adanya toleransi dan

kepercayaan satu sama lain.

2. Faktor situasi khusus dalam keluarga. Beberapa di antaranya adalah :

a. Kehadiran terus-menerus dari salah satu orang tua baik dari pihak

suami atau istri mereka.

b. Karena istri bekerja dan mendambakan kedudukan yuang lebih tinggi

dari suaminya.

c. Tinggal dalam keluarga lain dalam satu rumah.

d. Suami-istri sering meninggalkan rumah karena kesibukan di luar

(Suyanti, Narwoko, 2006 : 237-238)

Penyebab timbulnya keluarga Broken Home salah satunya yaitu Orang tua

yang bercerai. Perceraian menunjukan suatu kenyataan dari kehidupan suami-istri

yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar- dasar perkawinan yang telah

terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan

keluarga yang harmonis, Dengan demikian hubungan suami isti tersbut akan

renggang, masing – masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa

sehingga komunikasi terputus.

Hubungan itu menunjukan situasi ketersaingan dan keterpisahan yang

makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri.

(www.library.usu.ac.id/download/fkm-asfriyati diakses 10 november 2011 : 08.30

(50)

Perceraian dianggap sebagaian orang ialah jalan terakhir yang harus

ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Perceraian merupakan titik kulminasi dari akumulasi berbagai pemasalahan yang

menumpuk beberapa waktu sebelumnya (Dariyo, 2003 : 160).

Pasangan suami istri yang melakukan perceraian tentu didasari sebab –

sebab yang tidak dapat diselesaikan bersama. Mungkin mereka berusaha

menyelesaikan masalah tersebut namun akhirnya tidak kunjung selesai sehingga

harus ditempuh jalan terbaik bagi mereka, yakni perceraian.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian suami istri di

antaranya sebagai berikut :

1. Masalah Keperawanan (virginity)

Istri yang dinikahi seorang suami ternyata sebelumnya sudah tidak

perawan lagi. Kemungkinan bagi seorang individu (laki-laki) yang

menganggap keperawanan akan mengganggu proses perjalanan kehidupan

perkawinan. Karena faktor keperawanan dianggap sebagai sesuatu yang suci

bagi wanita yang akan memasuki pernikahan. Itulah sebabnya keperawanan

menjadi faktor yang mempengaruhi perkawinan seseorang.

2. Ketidak setiaan salah satu pasangan hidup

Salah satu pasangan (suami atau istri) ternyata menyeleweng atau

selingkuh dengan pasangan lain. Keberadaan orangh ketiga (WIL atau PIL)

(51)

Munandar 2001). Bila diantara keduanya tidak ditemukan kata sepakat

untuk menyelesaikan san saling memaafkan, akhirnya perceraianlah jalan

terbaik untuk mengakhiri hubungan pernikahan itu.

3. Tekanan kebutuhan ekonomi keluarga

Dengan adanya factor krisis ekonomi (krismon) Negara yang belum

berakhir sementara suami tetap memiliki gaji penghasilan pas-pasan sehingga

hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka untuk

menyelesaikan masalah ini kemungkinan sorang istri menuntut cerai dari

suaminya.

4. Tidak mempunyai keturunan

Tidak adanya keturunan mungkin disebabkan kemandulan yang

dialami salah satu atau keduanya. Guna menyelasikan masalaha ini maka

mereka sepakat mengakhiri pernikahan dengan bercerai dan masing-masing

menentukan nasib sendiri.

5. Salah satu dari pasangan hidup meninggal dunia

Setelah meninggal dunia dari salah satu pasangan hidup, secara

otomatis keduanya bercerai.

6. Perbedaan prinsip, ideology atau agama

Semula ketika dalam pacaran belum memikirkan secara mendalam

(52)

mencintai antara satu dan yang lain akan dapat mengatasi masalah dalam

perkawinan sehingga perbedaan itu diabaikan begitu saja. Namun setelah

memasuki jenjang pernikahan dan kemudiaan memiliki keturunan. Akhirnya

mereka baru sadar adanya perbedaan itu. Lalu masalah mulai timbul dan

diselesaikan dengan baik yaitu dengan perceraian (Dariyo, 2003 : 165-168).

Individu yang telah melakukan perceraian, baik disadari maupun tidak

disadari akan membawa dampak negatif. Hal- hal yang dirasakan akibat

perceraian, diantaranya sebagai berikut :

1. Pengalaman traumatis pada salah satu pasngan hidup (laki-laki ataupun

perempuan)

Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam

menjalankan kehidupan pernikahan dan ternyata harus berakhir dalam

perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak nyaman,

tidak tenteram, tidak bahagia, stress, depresi, takut khawatir dalam diri

individu, Akibatnya individu akan memiliki sikap benci, dendam, marah,

dan sebagainya.

2. Pengalaman traumatis anak

Anak-anak yang ditinggalkan orang tua yang bercerai juga

merasakan dampak negatif. Mereka kebingungan harus ikut siapa, yakini

apakah harus ikut ayah atau ibu.mereka tidak dapat melakukan proses

identifikasi pada orang tua. Akibatnya tidak ada contoh positif yang harus

ditiru. Secara tidak langsung mereka mempunyai pandangan yang negatif

Gambar

Gambar 2.1.13: Bagan Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Seperti diketahui, anak indigo memiliki dunia sendiri dan tidak memiliki inisiatif untuk bersosialisasi dengan orang lain, karena itu dibutuhkan kedekatan emosional antara orang

Dari hasil kutipan wawancara itu pula, penerimaan (acceptance) orang tua mengenai anaknya bermain game online, pengetahuan orang tua mengenai game online yang dimainkan oleh

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara orang tua dengan anaknya yang mempunyai profesi

Berdasarkan hasil wawancara di atas bahwa telah terjadi komunikasi yang aktif antara anak dengan orang tua, dimana orang tua tidak ingin mencampuri urusan

Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut

Kedua faktor tersebut merupakan tugas orang tua untuk melakukan pembinaan keluarganya dan menyikapi secara hati-hati masukan-masukan dari lingkungan masyarakat agar seorang anak

POLA KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN ANAK (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Orang Tua Yang Berprofesi sebagai Polisi dengan Anak Usia Remaja).. Disusun Oleh

Hal ini terjadi karena mereka terkadang jarang berada di rumah atau karena komunikasi antara anak dengan orang tua tidak terjalin dengan baik dan juga pola komunikasi yang