• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian - Pengaruh Pupuk Anorganik dan Pupuk Organik Diperkaya Mikroorganisme Fungsional Terhadap Ketersediaan Hara Pada Tanah Sawah dan Serapan Hara Tanaman oleh Tanaman Padi - UNS Institutional Reposito

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian - Pengaruh Pupuk Anorganik dan Pupuk Organik Diperkaya Mikroorganisme Fungsional Terhadap Ketersediaan Hara Pada Tanah Sawah dan Serapan Hara Tanaman oleh Tanaman Padi - UNS Institutional Reposito"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada lahan sawah padi di Desa Demakan, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo dengan letak koordinat 07035’16” LS dan 110052’39” BT dan ketinggian 125 mdpl dengan rata-rata curah hujan 1500-2000 mm/tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo (2015) lahan sawah di kecamatan Mojolaban merupakan lahan sawah irigasi dengan produktivitas padi rata-rata per tahun sebesar 6,5 ton/ha. Hasil tersebut adalah hasil panen tertinggi dibandingan dengan produktivitas padi dari wilayah kecamatan lainnya.

Nilai produktivitas yang tinggi diperoleh dari jumlah lahan sawah yang cukup luas dan mayoritas petani di kecamatan Mojolaban menanam padi sawah. Lahan sawah yang digunakan untuk penelitian ini tergolong tanah yang kurang subur. Kurang subur yang dimaksud adalah hilangnya kemampuan tanah dalam menyediakan hara bagi tanaman. Hal ini dibuktikan dengan kebiasaan petani yang menggunakan pupuk anorganik dengan dosis yang melebihi anjuran untuk tanaman padi guna meningkatkan produksi padi. Menurut petani setempat penggunaan pupuk Urea untuk tanaman padi bisa mencapai 160 kg/ha padahal dosis yang dianjurankan oleh pemerintah adalah 100 kg/ha (Permentan No. 40 Th. 2007). Penggunaan pupuk anorganik secara berlebih dapat berdampak negatif pada tanah sawah dan lingkungannya, karena unsur N dan P yang tidak diserap oleh tanaman dari lahan sawah akan berpindah ke perairan yang memicu terjadinya eutrofikasi (Simpson et al. 2011).

Lahan sawah yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian merupakan lahan sawah irigasi teknis dengan memanfaatkan air sungai sebagai sumber pengairan. Kebiasaan pola tanam petani setempat menanam padi untuk setiap musim tanam tanpa adanya rotasi jenis tanaman. Artinya selama tiga kali masa tanam dalam setahun, lahan selalu dimanfaatkan untuk budidaya padi.

(2)

B. Analisis Tanah Awal

Mengetahui karakteristik fisika, kimia, dan biologi tanah pada awal penelitian penting untuk mengetahui kebutuhan pupuk bagi tanaman dan sebagai pembanding hasil akhir penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kesuburan tanah. Oleh karena itu dilakukan analisis tanah awal di laboratorium. Hasil analisis ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis Tanah Awal

No Sifat Tanah Satuan Hasil Pengharkatan*)

1 pH H2O - 7,3 Netral

2 pH KCl - 6,0 -

3 C-Organik % 2,28 Sedang

4 N-Total % 0,41 Sedang

5 P Tersedia mg.kg-1 3,49 Sangat rendah

6 K Tertukar cmol.kg-1 0,65 Tinggi

7 BV g.cm-3 1,25 -

8 BJ g.cm-3 1,12 -

9 Tekstur (%Pasir:%Debu:%Klei) 22:51:26 Lempung berdebu

10 KTK cmol.kg-1 27,32 Tinggi

11 Total Populasi Bakteri cfu.g-1 1x106 -

12 Total Populasi Fungi spora.g-1 9,5x104 -

Sumber: Data Primer

*) Pengharkatan menurut Balai Penelitian Tanah (Balittanah 2005). Berdasarkan Tabel 3. nilai pH aktual tanah netral yaitu 7,3. Tanah sawah merupakan jenis tanah sebagai akibat penggenangan untuk waktu yang lama. Hal ini menyebabkan terjadinya konversi pH tanah menjadi netral dan kondisi landscape tanah sawah memungkinkan hara yang tercuci lebih cenderung tertampung ke lahan di bawahnya daripada keluar dari sistem tanah sawah.

Kandungan C-organik dalam tanah tersebut tergolong sedang, yaitu 2,28%. Sementara ketersediaan hara makro tanah seperti N tergolong sedang dengan nilai 0,41%, P tersedia tanah 3,49 mg.kg-1 yang tergolong sangat rendah dan K tertukar 0,65 cmol/kg tergolong sangat tinggi. Nilai KTK tergolong tinggi yang diduga dikarenakan kandungan liat yang tinggi sehingga semakin banyak kation yang dapat ditukarkan.

(3)

C. Karakteristik Pupuk Organik Diperkaya Mikroorganisme Fungsional

Pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pupuk kompos yang diperkaya dengan konsorsium isolat mikroorganisme fungsional. Sebelum diaplikasikan, dilakukan analisis karakteristik kimia-biologi dari pupuk organik. Tabel 4. menunjukkan hasil analisa kualitas pupuk organik.

Tabel 4. Karakteristik Pupuk Organik

No. Variabel Satuan Hasil Standar *)

1 Kadar Lengas % 33,17 15-28

2 pH - 7,2 4-9

3 C-Organik % 17,65 15-25

4 C/N - 15,75 Min. 15

5 N Total % 1,12

Min. 4

6 P2O5 % 7,18

7 K2O % 4,14

8 Total Populasi BPN cfu.g-1 5,3x109 Min. 103 9 Total Populasi BPF cfu.g-1 7,1x109 Min. 103 10 Total Populasi Fungi spora.g-1 8,3x106

Sumber: Data Primer

*) Standar menurut Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011

Pada Tabel 4. dapat dilihat pH dari pupuk organik dalam penelian ini tergolong netral, sehingga baik bagi pertumbuhan mikroorganisme fungsional yang ditambahkan ke dalam pupuk organik. Sesuai dengan pernyataan Hasyimi (2010) pH optimum bagi pertumbuhan mikroorganisme berkisar antara 6,5-7,5.

Kadar C-organik merupakan hal yang penting bagi pupuk organik, karena berperan untuk menambah bahan organik tanah. Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar C-Organik pupuk sebesar 17,65% yang sesuai dengan standar syarat teknis minimal Pupuk Organik Padat Permentan Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimal 15-25%.

C/N rasio pupuk menggambarkan tingkat kematangan dari kompos tersebut, semakin tinggi C/N rasio berarti kompos belum terurai dengan sempurna atau belum matang. Kompos yang digunakan dalam penelitian sebesar 15,75, artinya kompos sudah matang dan siap diaplikasikan, sesuai dengan Permentan Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimal 15-25.

(4)

Tabel 4. menunjukkan bahwa pupuk kompos mengandung Bakteri Penambat Nitrogen (BPN) sebesar 5,3x109 cfu.g-1, Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) 7,1x109 cfu.g-1, dan fungi 8,3x106 spora.g-1. Populasi mikroorganisme fungsional dari pupuk organik telah memenuhi teknis minimal Pupuk Organik Padat Permentan Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimal 103 cfu.g-1 untuk BPN dan BPF. Populasi mikroorganisme yang tinggi menandakan bahwa kompos merupakan

carrier yang tepat bagi konsorsium pupuk hayati yang ditambahkan.

D. Pengaruh Perlakuan terhadap Karakteristik Kimia dan Biologi Tanah Sawah

1. pH Tanah

Derajat kemasaman tanah merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Pengaruh perlakuan terhadap pH tanah disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap pH Tanah Sawah Berdasarkan pengukuran hasil pH tanah dari setiap perlakuan termasuk pengharkatan tanah netral (Balittanah 2005). Nilai pH tanah pada saat sebelum dan sesudah perlakuan tidak memiliki perbedaan, yaitu masih tergolong netral. Kisaran pH tanah netral diduga akibat dari proses penggenangan lahan sawah. Karena menurut Prasetyo et al. (2004) penggenangan pada tanah mineral masam mengakibatkan nilai pH tanah akan meningkat dan pada tanah basa akan mengakibatkan nilai pH tanah menurun mendekati netral. Keuntungan lain dari penggenangan juga memungkinkan tersedianya hara secara optimum terutama P dan Fe, menguntungkan penambatan N2, menekan timbulnya penyakit terbawa tanah, memasok hara melalui air irigasi, menghambat pertumbuhan gulma tipe C4 dan mencegah erosi tanah.

7.3

7.1 7.3

7.0 7.0 6.9

7.1 7.2

7.0 7.0 7.0

6.5 6.7 6.9 7.1 7.3 7.5

Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

p

H T

anah

(5)

Gambar 1. menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P0K1 dengan nilai 7,3. Sementara nilai pH terendah adalah perlakuan P0K4 yaitu sebesar 6,9. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5.) dapat diketahui interaksi perlakuan pupuk anorganik dengan berbagai taraf dosis pupuk organik berpengaruh tidak nyata (P>0,05), akan tetapi perlakuan dosis pupuk organik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH tanah. Pengaruh perlakuan pupuk organik terhadap pH tanah dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh Perlakuan Berbagai Taraf Dosis Pupuk Organik terhadap pH Tanah Sawah

Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Berdasarkan Gambar 2. perlakuan K1 yaitu dosis pupuk organik 450 kg/ha memiliki rata-rata pH aktual tanah tertinggi sebesar 7,2. Menurut hasil analisis uji DMR 5% K1 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Karena K1 merupakan perlakuan dengan pemberian dosis pupuk hayati terendah, maka K1 memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dosis pupuk organik lain. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sudirja et al. (2007) bahwa pupuk hayati mempengaruhi secara bermakna terhadap pH tanah. Tanah dengan pemberian pupuk hayati menunjukkan kecenderungan pH menjadi lebih rendah karena tanah memiliki kapasitas sangga yang berupa campuran asam lemah dan garamnya, apabila dilakukan penambahan pupuk hayati maka hidrogen akan lebih banyak tersuspensi dalam larutan tanah sehingga pH menjadi rendah.

Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 6) pH tanah berkorelasi positif dengan populasi mikroba fungsional tanah. Hal ini berarti setiap peningkatan pH tanah akan diikuti peningkatan populasi mikroorganisme fungsional tanah. Akan

7.1 a

7.2 b

7.0 a 7.0 a

7.0 a

6.6 6.8 7.0 7.2 7.4

K0 K1 K2 K3 K4

pH

Tanah

(6)

tetapi, terdapat batasan sesuai dengan pernyataan Hasyimi (2010) pH optimum bagi pertumbuhan mikroba berkisar antara 6,5-7,5.

2. C-Organik Tanah

Kesuburan tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah. Komponen bahan organik yang penting adalah C dan N. kadar C sering digunakan untuk mengetahui kadar bahan organik dalam tanah. Gambar 3. menunjukkan pengaruh perlakuan terhadap kadar C-organik.

Gambar 3. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Kadar C-Organik Tanah Sawah

Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Kadar C-organik berdasarkan Gambar 3. diketahui termasuk dalam harkat sedang menurut pengharkatan Balittanah (2005). Nilai rata-rata C-organik tertinggi adalah perlakuan P0K1 2,98% dan rata-rata terendah adalah kontrol sebesar 2,15%. Apabila dibandingkan dengan tanah awal sebelum percobaan, tanah sawah dengan perlakuan mengalami peningkatan kadar C-organik. Hal ini terjadi karena adanya pemberian pupuk organik yang merupakan masukan bahan organik bagi tanah. Sesuai dengan pernyataan Hanafiah (2005), pemberian pupuk organik sebagai tambahan bahan organik akan meningkatkan C-organik tanah, karena bahan organik mengandung karbohidrat, protein, lignin, dan selulosa yang didominasi oleh C, H, dan O. Rata-rata kadar C dalam bahan organik kurang lebih 58%, sehingga pemberian bahan organik akan meningkatkan kadar C-organik dalam tanah.

2.28 2.15a 2.98

e 2.54c 2.95

e 2.95

e 2.66 cd

2.79 d

2.31 b

2.33 b

2.77 d

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

C

-O

rga

ni

k

Ta

na

h

(%

)

(7)

Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) terhadap C-organik tanah pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Hasil uji DMR pada taraf 5% dapat diketahui kombinasi perlakuan pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kontrol. Nilai rata-rata C-organik tertinggi adalah perlakuan P0K1 akan tetapi, tidak berbeda nyata dengan P0K3 dan P0K4. Perlakuan P0K3 dan P0K4 mendapatkan masukan bahan organik yang tinggi sehingga kadar C-organiknya juga lebih tinggi.

(8)

3. Kapasitas Tukar Kation Tanah

Besarnya Kapasitas Tukar Kation (KTK) dapat ditentukan dengan menjenuhkan kompleks jerapan atau misel dengan kation tertentu. Pengaruh perlakuan terhadap KTK tanah disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Kapasitas Tukar Kation Tanah Sawah

Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Berdasarkan Gambar 4. nilai KTK tergolong tinggi menurut pengharkatan Balittanah (2005). KTK tertinggi adalah perlakuan P0K3 sebesar 32,52 cmol/kg, sementara perlakuan kontrol memiliki nilai KTK terendah sebesar 21,55 cmol/kg. Apabila dibandingkan dengan tanah awal, terdapat perlakuan yang mengalami penurunan dan peningkatan KTK tanah, namun penurunan yang terjadi tidak lebih dari 25%. Penurunan terjadi diduga karena terdapat dimensi waktu antara pengambilan sampel tanah awal dan setelah perlakuan yang memungkinkan terjadinya pelapukan bahan organik tanah, sehingga koloid tanah berkurang dan KTK menurun.

Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap KTK tanah. Kemudian dari uji DMR pada taraf 5% perlakuan dengan nilai rata-rata tertinggi yaitu P0K3 berbeda nyata dengan perlakuan dengan KTK terendah yaitu kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P0K2. Perlakuan P0K2 dan P0K3 merupakan perlakuan dengan dosis pupuk organik yang cukup tinggi, artinya lahan pada perlakuan tersebut mendapatkan masukan bahan organik yang tinggi sehingga KTK tanah juga meningkat. Karena penambahan pupuk organik mampu meningkatkan KTK tanah. Sesuai dengan pernyataan

27.32

21.55a 25.12b

32.52c 35.27c

23.27ab25.12b22.65ab

22.80ab

24.53ab22.95ab

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

K

TK

Ta

n

a

h

(c

m

o

l/

k

g

)

(9)

Pramono (2004) yang menyatakan bahwa bahan organik mampu meningkatkan ketersediaan hara dan mampu memperbaiki KTK. Peningkatan KTK akibat penambahan bahan organik dikarenakan pelapukan bahan organik akan menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan yang luas yang mampu menahan unsur hara dan air. Permukaan koloid yang luas meningkatan kation dalam tanah yang dapat ditukarkan. Dibuktikan dengan hasil uji korelasi (Lampiran 6) KTK tanah juga berkorelasi positif dengan C-organik tanah. Artinya kenaikan C-C-organik tanah akan diikuti kenaikan KTK tanah, dan sebaliknya.

Shiddieq dan Partoyo (2000) juga menyatakan peningkatan KTK menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara. Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 6), KTK berkorelasi postif dengan P-tersedia tanah. Sesuai dengan pernyataan Hsieh (1990) bahan organik meningkatkan ketersediaan unsur hara P dan efisiensi penyerapannya.

4. Populasi Mikroorganisme Fungsional Tanah

Aktivitas mikroorganisme fungsional tanah memberikan banyak dampak positif bagi kesuburan tanah, sehingga perlu diketahui populasi dari mikroorganisme fungsional dalam tanah. Pengaruh perlakuan terhadap populasi mikroorganisme fungsional dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Mikroorganisme Fungsional Tanah Sawah

Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Gambar 5. menunjukkan total populasi mikroorganisme fungsional merupakan jumlah dari populasi Bakteri Penambat Nitrogen (BPN), Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) dan Fungi. Dibandingkan pada tanah awal sebelum

6.04 6.64 a 7.24 de 7.38

f 7.21de 7.32

ef 6.87 ab

7.50

g 7.11cd 7.21de 7.05bc

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

(10)

dengan sesudah percobaan terjadi peningkatan populasi mikroba fungsional. Perlakuan yang tidak mendapatkan masukan pupuk organik, yaitu P0K0 dan P1K0 populasi mikrobanya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang mendapatkan masukan pupuk organik. Hal ini terjadi karena pupuk organik mengandung mikroba fungsional sehingga ketika diaplikasikan ke tanah mampu meningkatkan populasi mikroba tanah. Sejalan dengan pernyataan dari Sutanto

(2000) dengan ditambahkannya kompos didalam tanah, tidak hanya jutaan

mikroorganisme yang ditambahkan kedalam tanah, akan tetapi mikroorganisme yang ada didalam tanah (indigenous) juga terpacu untuk berkembang biak.

Perlakuan dengan rata-rata logaritma total populasi mikroorganisme fungsional tertinggi adalah P1K1 sebesar 7,5 log 10 cfu/g, dan rata-rata terendah adalah perlakuan kontrol dengan jumlah koloni 6,64 log 10 cfu/g. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) dosis pupuk organik dan interaksinya dengam pupuk anorganik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap populasi mikroba fungsional tanah, namun pupuk anorganik secara mandiri berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap populasi mikroba fungsional tanah. Berdasarkan uji DMR pada taraf 5% perlakuan P1K1 memiliki populasi mikroba yang berbeda nyata dengan perlakuan lain. Hal ini menunjukkan walaupun dikombinasikan dengan pupuk anorganik, mikroba tetap dapat tumbuh dengan baik dalam tanah. Waktu aplikasi pupuk juga mempengaruhi viabilitas mikroba dari pupuk organik. Pada saat tanah diaplikasikan pupuk anorganik maka hara tersedia melimpah bagi tanaman, ini merupakan keadaan yang kurang menguntungkan bagi mikroba. Oleh karena itu antara aplikasi pupuk anorganik dan pupuk organik harus diberikan jeda, sehingga mikroba dari pupuk organik tetap mampu hidup di dalam tanah. Menurut Setyorini et al. (2010) pemberian pupuk organik terus menerus setiap musim tanam dapat mengefisiensikan pupuk anorganik sehingga dosisnya dapat berkurang. Selain itu, dosis pupuk organik juga mampu meningkatkan populasi, aktivitas dan keragaman mikroba dalam tanah.

(11)

mikroba secara cepat sehingga dapat memperbaiki aerasi tanah, menyediakan

energi bagi kehidupan mikroba tanah, meningkatkan aktivitas jasad renik (mikroba

tanah), dan meningkatkan kesehatan biologis tanah. Shiddieq dan Partoyo (2000)

juga menyatakan bahwa dalam aktivitasnya mikroorganisme di dalam tanah juga

menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan seperti auksin, giberellin dan sitokinin yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencarian unsur-unsur hara semakin luas.

E. Pengaruh Perlakuan terhadap Ketersediaan Hara dalam Tanah

1. N-Total Tanah

Nitrogen dalam tanah dibagi dalam dua bentuk, yaitu organik dan anorganik. Bentuk organik merupakan bagian terbesar, sementara bentuk anorganik dapat berupa NH4+, NO3-, NO2-, N2O dan NO. Pengaruh perlakuan terhadap N-total tanah dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap N Total Tanah Sawah Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Menurut pengharkatan Balittanah (2005) nilai N total tanah pada Gambar 6. tergolong rendah hingga sedang. Dibandingkan dengan tanah awal sebelum dengan sesudah percobaan terjadi penurunan N total tanah pada beberapa perlakuan seperti P0K0, P0K1, P0K2, P1K0 dan P1K1. Hal ini dimungkinkan karena N total dalam tanah telah diserap oleh tanaman.

Nilai rata-rata tertinggi dari N total tanah adalah perlakuan P1K2 sebesar 0,44%, sementara rata-rata terendah adalah perlakuan P0K1 sebesar 0,23%. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap N total dalam tanah. Hasil uji DMR perlakuan pupuk anorganik yang

0.42 0.36

bc 0.23

a 0.24

a 0.43

d 0.37

c 0.32 b

0.35 bc

0.44 d 0.42

d 0.43

d

0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0.50

Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

N To

ta

l

Ta

na

h

(%

)

(12)

dikombinasikan dengan berbagai dosis pupuk organik (P1K2, P1K3 dan P1K4) mampu menyediakan N lebih tinggi dibandingkan perlakuan pupuk anorganik saja (P1K0). Sejalan dengan pernayataan Roesmarkam dan Yuwono (2002), pupuk anorganik mengandung hara (termasuk N) dalam jumlah yang cukup banyak dan sifatnya cepat tersedia bagi tanaman, sedangkan pupuk organik akan melepaskan hara secara lengkap (makro dan mikro) dalam jumlah yang lebih kecil namun berlangsung lama, sehingga dengan menambah pupuk organik tersebut mampu mendukung pupuk anorganik dalam menyediakan hara bagi tanaman.

Lebih lengkapnya disampaikan oleh Chaves et al. (2007) ketika bahan organik terdekomposisi, nitrogen biasanya mengalami dua tahap yang berbeda yaitu, mineralisasi dan imobilisasi. Mineralisasi nitrogen berarti nitrogen terdekomposisi menjadi bentuk yang dapat diakses tanaman seperti NH4+ (melalui ammonifikasi) dan NO3- (melalui nitrifikasi). Imobilisasi nitrogen terjadi ketika N bebas diambil oleh mikroorganisme sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Imobilisasi ini tidak merugikan karena ketika mikroorganisme penambat nitogen mati maka nitrogen akan menjadi tersedia bagi tanaman, dan umur mikroorganisme kurang lebih 48 jam.

(13)

ketersediaan hara N, P, dan K dalam tanah secara bersamaan. Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 6), N-total tanah berkorelasi positif terhadap serapan N, tinggi, dan berat kering brangkasan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan De Datta (1981) bahwa nitrogen berperan penting dalam pertumbuhan tanaman salah satunya yaitu bertambahnya tinggi tinggi tanaman.

2. P-Tersedia Tanah

P-tersedia adalah P tanah yang dapat larut dalam air dan asam sitrat. P yang dapat larut dalam air adalah bentuk P yang mampu diserap bagi tanaman. Pengaruh perlakuan terhadap P-tersedia tanah dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap P-Tersedia Tanah Sawah Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Berdasarkan pengukuran hasil P-tersedia tanah tergolong sangat rendah hingga ke rendah menurut pengharkatan Balittanah (2005). Dibandingkan dengan tanah awal sebelum dengan sesudah percobaan terjadi penurunan P-tersedia tanah pada beberapa perlakuan yaitu P1K0. Hal ini dimungkinkan karena terjadinya penurunan pH tanah pada perlakuan tersebut sehingga mempengaruhi kadar P-tersedia dalam tanah. Karena menurut Subba Rao (1994) dalam pH rendah P akan cenderung terikat oleh Al dan Fe.

Gambar 7. menunjukkan nilai rerata tertinggi adalah perlakuan P0K4 sebesar 7,4 mg/kg, dan nilai terendah adalah perlakuan P1K0 sebesar 2,5 mg/kg. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) dapat diketahui pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap P-tersedia tanah. Hasil dari uji DMR 5% perlakuan dengan kadar P tertinggi P0K4 sangat berbeda nyata dengan perlakuan yang memiliki kadar P terendah P1K0. Perbedaan yang signifikan ini diduga karena

3.4 3.9

bc 4.4

bc 3.4 ab

5.4 c

7.4 d

2.5 a

4.1 bc 3.6

ab 4.8

bc 3.9 bc

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0

Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

P

-Te

rse

di

a

Ta

na

h

(m

g/

k

g)

(14)

penambahan pupuk organik, karena P diikat dalam bentuk organik atau dalam tubuh mikroorganisme, sehingga terhindar dari pencucian, kemudian tersedia kembali. Berbeda dengan perlakuan pupuk anorganik P1K0, karena sifatnya yang sangat larut air sehingga pada periode hujan terjadi kehilangan yang sangat tinggi. Sementara P yang tersimpan dalam residu organik tidak larut dalam air sehingga dilepaskan oleh proses mikrobiologis. Kehilangan karena pencucian pada perlakuan pupuk organik tidak akan seserius seperti yang terjadi pada perlakuan pupuk anorganik. Sebagai hasilnya kandungan P tersedia stabil pada level intermediet dan mengurangi bahaya kekurangan dan kelebihan.

Peningkatan ketersediaan P juga dimungkinkan karena pupuk organik yang diberikan mengandung konsorsium mikroba pelarut P yaitu Pseudomonas sp.,

Bacillus sp., dan Aspergillus nigger. Fosfor relatif tidak mudah tercuci, tetapi

karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia menjadi tidak tersedia dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P atau

Occluded-P. Dalam aktivitasnya, mikroba pelarut P akan menghasilkan

asam-asam organik diantara adalah asam-asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan α-ketobutirat (Alexander 1978; Subba Rao 1994; Illmer et al. 1995; Beaucamp dan Hume 1997). Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang terikat oleh Ca. Asam organik juga mampu meningkatkan ketersedian P dengan cara menutupi daerah absorpsi P pada partikel tanah atau dengan cara membentuk kompleks dengan kation pada permukaan mineral tanah (Alexander 1978).

(15)

mendukung ketersediaan P paling tinggi, yaitu 6,5-7,0 (Olsen et al. 1962), 6,0-6,5 (Lindsay 1979) dan 5,5-7,0 (Halvin et al. 1999).

3. K-Tertukar Tanah

Unsur hara K tidak menjadi komponen struktur dalam senyawa organik, tetapi dalam bentuk ion. Pengaruh perlakuan terhadap K-tertukar tanah dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap K-Tertukar Tanah Sawah Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Berdasarkan Gambar 8. pengharkatan nilai K tertukar semua perlakuan termasuk kategori sangat rendah hingga sangat tinggi menurut Balittanah (2005). Apabila dibandingkan dengan tanah awal, nilai K-tertukar pada sebagian besar mengalami penurunan. Hal ini dimungkinkan karena waktu pengambilan sampel tanah sawah dalam keadaan bebas dari tanaman, sementara sampel tanah setelah percobaan diambil saat tanaman belum dipanen, sehingga K-tertukar dalam tanah diserap oleh tanaman. Nilai K K-tertukar dalam tanah tertinggi adalah P1K4 sebesar 1,22 cmol/kg dan terendah adalah perlakuan kontrol, P0K1, P0K4 dan P1K0 senilai 0,04 cmol/kg.

Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kandungan K-tertukar dalam tanah. Hasil uji DMR 5% menunjukkan perlakuan P1K4 yang memiliki nilai K-tertukar tertinggi berbeda sangat nyata dengan perlakuan terendah yaitu kontrol. Rendahnya nilai K-tertukar pada perlakuan tanpa pupuk anorganik diduga karena sedikitnya K-tertukar yang dihasilkan oleh pupuk organik. Sementara perlakuan pupuk anorganik saja (P1K0) ternyata juga memiliki nilai K-tertukar yang sangat rendah, tidak berbeda nyata dengan

0.65 0.04 a 0.04 a 0.05 a 0.05 a 0.04 a 0.04 a 0.19 b 0.23 c 0.84 d 1.22 e 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40

Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

(16)

kontrol berdasarkan uji DMR 5%. Sedangkan perlakuan pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan pupuk organik dosis tinggi yaitu P1K3 dan P1K4 memiliki nilai K-tertukar yang tinggi. Hal ini diduga karena bahan organik mengandung koloid humus yang bermuatan negatif sehingga mampu mengikat K yang bersumber dari pupuk KCl agar tidak terbawa pencucian. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Goeswono (1983), bahwa humus merupakan koloid organik bermuatan negatif sehingga daya jerap kation humus jauh melebihi liat.

Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 6), K-tertukar berkorelasi postif serapan K oleh tanaman. Apabila nilai K-tertukar tinggi maka nilai serapan K tanaman juga akan tinggi. Kalium mempunyai peranan penting terhadap enzim baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada saat tanaman kekurangan K, maka banyak proses yang tidak berjalan dengan baik, misalnya terjadinya akumulasi karbohidrat, menurunnya kadar pati, dan akumulasi senyawa nitrogen dalam tanaman. Kebanyakan tanaman yang kekurangan kalium memperlihatkan gejala lemahnya batang tanaman sehingga tanaman mudah roboh (Roesmarkam Yuwono 2002).

F. Pengaruh Perlakuan terhadap Serapan Hara oleh Tanaman

1. Serapan N Tanaman

Tanaman menyerap nitrogen dalam bentuk NH4+ dan NO3-. Pengaruh perlakuan terhadap serapan N tanaman dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Serapan N Tanaman Padi Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%. 0.32 a 0.37 ab 0.42 b 0.43 b 0.45 b 0.60 c 0.57ab

0.81 d 0.60 b 0.43 ab 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90

P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

(17)

Berdasarkan Gambar 9. dapat diketahui pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik dapat meningkatkan serapan N pada tanaman padi, terlihat nilai rerata tertinggi serapan N tanaman terdapat pada perlakuan P1K2 sebesar 0,81 g/tanaman dan terendah adalah kontrol sebesar 0,32 g/tanaman. Hasil ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap serapan N oleh tanaman padi.

Berdasarkan uji DMR 5% serapan N perlakuan tertinggi P1K2 berbeda sangat nyata dengan serapan N terendah (kontrol), karena serapan N lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Hal ini membuktikan bahwa penambahan kedua jenis pupuk mampu meningkatkan serapan N bagi tanaman padi. N yang diserap tanaman dimungkinkan berasal dari pemberian pupuk anorganik dan organik, ketika dilakukan penambahan pupuk maka ketersedian hara dalam tanah akan meningkat. Pupuk organik mengandung konsorsium bakteri penambat nitrogen yang membantu penyediaan hara N bagi tanaman apabila N dari pupuk urea mengalami leaching, sehingga kebutuhan N bagi tanaman tetap terpenuhi. Menurut Sutanto (2006) semakin tinggi kandungan bahan organik maka akan mempengaruhi kandungan N total tanah menjadi meningkat.

Serapan N tanaman berkorelasi positif (Lampiran 6) terhadap N total tanah, populasi mikrob, berat kering brangkasan (r= 0,903), dan tinggi tanaman. Serapan N oleh tanaman tinggi apabila kadar N total tanah juga tinggi, dan didukung pemberian pupuk organik yang mengandung mikroorganisme penambat nitrogen, sehingga penyerapan hara N menjadi lebih efisien bagi tanaman. Menurut Tisdale (1965), N merupakan unsur penting dalam pertumbuhan tanaman. Peningkatan ketersediaan unsur N dengan meningkatnya dosis pupuk N berpengaruh baik terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada fase pertumbuhan vegetatif, tanaman membutuhkan banyak N terutama untuk pembentukan batang dan daun, yang akan mempengaruhi berat kering brangkasan.

(18)

kering brangkasan yang merupakan indikator hasil produksi tanaman. Sesuai dengan pernyataan Mengel dan Kirby (1987) bahwa tingkat produksi tanaman ditentukan oleh salah satu faktor yang tersedia dalam jumlah paling minimum yang disebut sebagai faktor pembatas oleh hukum minimum Liebig (1855). 2. Serapan P Tanaman

Unsur hara P diserap oleh tanaman dalam bentuk ion anorganik orthofosfat HPO42- atau H2PO4-. Pengaruh perlakuan terhadap serapan P tanaman dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Serapan P Tanaman Padi Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik mampu meningkatkan serapan P pada tanaman padi. Dapat dilihat dari Gambar 10. serapan P pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kontrol yang senilai 0,07 g/tanaman, sementara hasil tertinggi terdapat pada perlakuan P0K3 dengan nilai rerata sebesar 0,39 g/tanaman. Hasil ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan dosis pupuk organik dan interaksinya dengan pupuk anorganik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap serapan P tanaman. Berdasarkan uji DMR 5% perlakuan dengan rerata tertinggi yaitu P0K3 memeiliki nilai serapan P yang sangat berbeda nyata apabila dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi P0K3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P0K4 dan P1K2.

Fosfor merupakan salah satu unsur hara yang paling penting untuk konversi, penyimpanan, transportasi dan penggunaan energi di dalam tanaman. P yang cukup dalam tanah akan membantu penyerapan unsur hara lain yang sangat penting bagi proses metabolisme tanaman (Nartea 1990). Kekurangan

0.07 a 0.09 ab 0.12 ab 0.39 d 0.38d

0.22 c 0.11 ab 0.38 d 0.14 b 0.09 ab 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45

P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

(19)

P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya proses sintesis protein, yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen (Elfiati 2005).

Hasil uji korelasi variabel serapan P tanaman berkorelasi positif (Lampiran 6) dengan beberapa variabel lain seperti, KTK, C-Organik tanah, P-tersedia tanah, tinggi tanaman maupun berat kering brangksan. Artinya peningkatan serapan P dimungkinkan karena adanya peningkatan KTK, C-organik dan P-tersedia tanah. Dapat juga diartikan bahwa peningkatan serapan P mampu meningkatkan tinggi dan berat kering brangkasan tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sutanto (2005) bahwa bahan organik disamping dapat menyumbangkan fosfor juga menghasilkan bahan-bahan terhumifikasi yang berperan untuk memperbesar ketersediaan fosfor dari mineral karena membentuk P humat yang lebih mudah diserap tanaman.

3. Serapan K Tanaman

Unsur hara K diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Pengaruh perlakuan terhadap serapan K tanaman dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Serapan K Tanaman Padi

Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Hasil analisis serapan K oleh tanaman padi berdasarkan Gambar 11. perlakuan pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik mampu meningkatkan serapan hara K karena semua perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol, dan nilai serapan K tertinggi adalah perlakuan P1K2 sebesar 1,37 g/tanaman. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) dapat diketahui pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap serapan K tanaman padi.

0.58 a 0.66 ab 0.84 cd 0.74 bc 0.79 bcd 1.13 f 1.12 f 1.37 g 1.01 ef 0.93 de 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60

P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

(20)

Gambar 12. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman Padi Berdasarkan uji DMR 5% perlakuan dengan nilai rerata tertinggi P1K2 berbeda sangat nyata dengan kontrol.

P1K2 mampu menyerap K lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain, karena hasil tanaman padinya lebih tinggi yang dapat dilihat dari biomasa segar dan kering tanaman. Dibuktikan dengan hasil uji korelasi (Lampiran 6), serapan K berkorelasi positif dengan dan berat kering brangksan (r= 0,953) tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rachman et al. (2008), bahwa serapan hara tanaman dipengaruhi oleh produksi dari tanaman. Serapan K tanaman juga berkorelasi positif terhadap beberapa variabel lainnya seperti tertukar tanah, populasi mikroba tanah, dan tinggi tanaman. Pada saat K-tertukar dalam tanah tinggi, tanaman akan lebih mudah menyerap K. Didukung dengan pemberian pupuk organik juga mampu meningkatkan populasi mikroorganisme fungsional dalam tanah, terutama mikroorganisme pelarut kalium.

Kalium termasuk unsur hara makro yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, berperan dalam mengaktifkan enzim, memelihara turgor sel, membantu dalam transportasi gula dan pati. Selain untuk metabolisme tanaman, kalium juga berperan dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit, serta membantu tanaman pada kondisi cekaman (Archana 2007).

G. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi

1. Tinggi Tanaman

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu hingga masa vegetatif maksimum. Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada Gambar 12.

0 20 40 60 80

M i n g g u K e - 3 M i n g g u K e - 4 M i n g g u K e - 5 M i n g g u K e - 6 M i n g g u K e - 7

T

in

g

g

i

T

a

n

a

m

a

n

(Cm

)

Umur Tanaman

P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4

(21)

Perlakuan dengan nilai tinggi tanaman terbesar pada 7 MST adalah perlakuan P0K3 dan P1K0 sebesar 74 cm. Sementara perlakuan dengan nilai tinggi tanaman terendah pada 7 MST adalah perlakuan P0K1 dan P1K4 sebesar 66 cm. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pemberian pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman padi. Akan tetapi dapat dilihat dari Gambar 12. pertumbuhan tanaman secara signifikan terjadi pada minggu ke-4 menuju minggu ke-5 hampir pada seluruh perlakuan.

Perlakuan dengan tinggi tanaman tertinggi dimungkinkan mampu menyerap N dengan baik dari pemberian dosis pupuk organik yang tepat dan pemberian pupuk anorganik, karena kedua pupuk mengandung unsur N yang berperan dalam penyusunan protein sebagai bahan pembentukan sel tanaman. Semakin cepatnya laju pembelahan sel, pemanjangan sel, dan pembentukan sel baru maka pertumbuhan tanaman juga akan berjalan cepat (Sutardi 2004). Peran pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme penambat nitrogen diduga membantu mensubstitusi dan menyediakan unsur hara N untuk pertumbuhan tinggi tanaman dalam fase vegetatif (Gentili dan Jumpponen 2005).

Respon tanaman padi terhadap N dipengaruhi oleh kandungan C-organik tanah, KTK tanah dan N-total (Arafah dan Sirappa 2003). Berdasarkan uji korelasi, tinggi tanaman berkorelasi positif dengan KTK, N-total tanah, Serapan N tanaman, dan berat kering brangkasan tanaman.

2. Berat Kering Brangkasan Tanaman

(22)

Gambar 13. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Berat Kering Brangkasan Tanaman Padi

Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.

Bedasarkan Gambar 13. berat kering tanaman terendah adalah kontrol sebesar 26,3 g dan tertinggi adalah perlakuan P1K2 sebesar 45,5 g. Hasil ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat kering brangkasan. Perlakuan P1K2 memiliki berat yang lebih tinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan pupuk anorganik saja. Hal tersebut dimungkinkan karena penyerapan unsur hara seperti nitrogen, fosfor dan kalium berlangsung dengan baik. Unsur-unsur tersebut diserap tanaman sebagai nutrisi dan digunakan untuk menyusun jaringan tanaman. Sejalan dengan pernyataan Rosmarkam dan Yuwono (2002) unsur nitrogen akan memacu pertumbuhan vegetatif dan unsur kalium akan menyusun jaringan yang dapat menguatkan batang tanaman. Serapan P yang tinggi akan meningkatkan berat brangkasan karena fungsi P untuk membentuk jaringan tanaman seperti asam nukkleat, fosfolipida dan fitin.

Unsur hara yang berpengaruh terhadap berat kering brangkasan adalah N. Dibuktikan dengan hasil uji korelasi, Serapan N berkorelasi postif (r = 0,903) dengan berat kering brangkasan. Peningkatan penyerapan N akan meningkatkan penyerapan unsur hara lain. Semakin tinggi serapan unsur hara tanaman maka akan meningkatkan berat kering brangkasan tanaman (Winarso 2005).

26.30 a

26.73 ab

31.20 bc 27.00

ab 28.47 ab 38.60

d

38.30 d

45.50 e

33.10 c 28.67

abc

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00

P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4

Bera

t Ke

ring

Br

a

ng

k

a

s

a

n

(g)

(23)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik diperkaya mikroorganisme fungsional dalam berbagai taraf dosis mampu meningkatkan ketersediaan hara N, P, dan K di lahan sawah, serapan N, P dan K oleh tanaman padi, dan berat kering brangkasan tanaman padi

2. Perlakuan terbaik adalah kombinasi pupuk anorganik (NPK: 100;100;50) dan pupuk organik dosis 900 kg.ha-1 (P1K2), dengan peningkatan N-Total tanah sebesar 22%, serapan N sebesar 153%, serapan P sebesar 442%, serapan K sebesar 136%, dan berat kering brangkasan sebesar 73% dibandingkan dengan kontrol.

B. SARAN

Pemanfaatan pupuk organik yang diperkaya konsorsium mikroorganisme merupakan salah satu teknologi terapan pertanian yang disarankan untuk menekan penggunaan pupuk anorganik secara berlebih yang dapat berdampak menurunnya kualitas lahan tanam. Tidak dianjurkan menggunakan pupuk organik saja tanpa menggunakan pupuk anorganik. Dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai efektivitas dosis pupuk hayati yang selain dapat menekan penggunaan pupuk anorganik, tetapi juga dapat menekan biaya pengeluaran untuk pupuk organik.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, S. J., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A. M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah. p. 63-89.

Agus, D. dan Setyorini. 2007. Pelestarian lahan sawah. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Alexander M. 1978. Introduction to soil microbiology. 2nd ed. Willey Eastern Limited. New

Delhi.

Anas, I., E. Premono, dan R. Widyastuti. 1993. Peningkatan efisiensi pemupukan P dengan menggunakan mikroorganisme pelarut P. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Andoko, A. 2006. Budidaya padi secara organik. penebar swadaya. Jakarta.

Apricio, V., J. L. Costa, and M. Zamora. 2008. Nitrate Leaching Assessment in a Long-term Experiment under Supplemantary Irrigation in Humid Argentina.Agricultural Water Management Vol. 95, pp. 361-1372

Arafah dan M. P. Sirappa. 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P, dan K Pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 4 (1):15- 24. Archana, D. S. 2007. Studied on potassium solubilizing bacteria [thesis]. Dharwad (IN):

University of Agricultural Sciences.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian [BPPP], Departemen Pertanian. 2006. Policy brief: Pemulihan kesuburan tanah pada lahan sawah berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Badan Pusat Statiskik [BPS] Kabupaten Sukaharjo. 2015. Sukaharjo dalam angka. Katalog BPS: 1102001.3311

Baharyjah, S. 1990. Penghapusan subsidi pupuk suatu tinjauan ekonomi. p. 1-7. Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13 Nopember 1990. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Balai Penelitian Tanah [Balittanah]. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian

Barber, S. A. 1984. Soil nutrient bioavailability. John Wiley & Son, Inc. United States of America. Hlm. 162.

Beauchamp, E. G. and D. J. Hume. 1997. Agricultural soil manipulation: the use of bacteria, manuring, and powling. In J.D. van Elsas, J T Trevos and E M H Welington (eds). Modern soil microbiology. Marcel Dekker, New York. p 643-664. Benito, H., Purwanto dan R. Sutanto. 1997. Gugus fungsional bahan organik berperan

aktif di dalam penekanan Al3+ dan peningkatan ketersediaan P didalam tanah. Prosiding Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian. Jakarta.

Bhattacharjee, R. and U. Dey. 2014. Biofertilizer, a way towards organic agriculture: a review. Afr J Microbiol Res 8:2232e342.

Buckman, H. dan N. C. Brady. 1982. Ilmu tanah. Terjamahan Soegiman. Bharata Karya Aksara. Jakarta.

(25)

Buntan, A. 1992. Efektivitas bakteri pelarut fosfat dalam kompos terhadap peningkatan serapan P dan efisiensi pemupukan P pada tanaman jagung. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Cai, F., W. Chen, Z. Wei, G. Pang, R. Li, W. Ran, and Q. Shen. 2015. Colonization of

Trichoderma harzianum strain SQR-T037 on tomato roots and its relationship to

growth, nutrient availability and soil microflora. Plant and Soil, 388, 337–350. Cerezine, P. C., E. Nahas, and D. A. Banzatto. 1988. Phosphate accumulation by

Aspergillus niger from fluorapatite. Appl. Microbiol. Biotechnol. 29(5): 501–505. doi:

10.1007/BF00269076.

Chaerun, S. K., dan C. Anwar. 2008. Dampak lingkungan penggunaan pupuk urea pada pembebanan n dan hilangnya kandungan n di sawah. Jurnal Pendidikan IPA 4: 1-8.

Chairani. 2003. Pengaruh organisme pelarut P, VAM, dan beberapa sumber P terhadap ketersediaan P tanah, serapan P tanaman, dan pertumbuhan tanaman lamtoro

(Leucaena diversifolia) pada tanah Typie Paleudult. Kongres Nasional HITI VIII.

Padang.

Chaves, B., S. De Neve, P. Boeckx, O. Van Cleemput and G. Hofman. 2007. Manipulating nitrogen release from nitrogen-rich crop residues using organic wastesunder field conditions. Soil Science Society of America Journal, 71(4), 1240. Chonkar, P. K. and N. S. R. Subba. 1967. Phosphate solubilizing by fungi associated

with legume root nodules. Canadian J. Microbiol. 13: 749-752.

Damanik, M. M. B., B. E. Hasibuan, Fauzi, Sarifuddin, dan H. Hanum. 2010. Kesuburan tanah dan pemupukkan. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Danapriatna, N., R. Hindersah, dan Y. Sastro. 2010. Pengembangan pupuk hayati

Azotobacter dan Azospirillum untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi

penggunaan pupuk N di atas 15 % pada tanaman padi. (Laporan penelitian KKP3T Deptan TA 2010, Nomor : 1148/LB.602/I.1/4/2010). Universitas Islam “45” Bekasi Kerjasama dengan Badan litbang Departemen pertanian. Bekasi.

Das, A. C. 1963. Ultilization of insoluble phosphate by soil fungi. J. Indian Soc. Soil Sci. 11: 203-207.

De data, S. K. 1981. Principle and practices rice production. John Wiley and Sons, Inc USA. 618 hal.

Departemen Pertanian, 2007. Rekomendasi Pemupukan N, P dan K pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/OT. 140/04/2007. Departemen Pertanian, Jakarta.

Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and IRRI. p. 2- 37.

Elfiati, D. 2005. Peranan mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman. Jurusan Kehutanan. Univeristas Sumatera Utara.

(26)

Fagi, A. M. 2005. Menyikapi gagasan dan pengembangan pertanian organik di Indonesia. Seri AKTP No. 1/2005. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Fitriatin, N. B., M. R. Setiawati, dan R. Hindersah. 2008. Kolonisasi mikoriza, serapan P, pertumbuhan, dan hasil tanaman jagung yang dipengaruhi oleh inokulasi ganda mikroorganisme pelarut fosfat dan mikoriza pada ultisol asal jatinangor. J. Agrikultura. 19 (2). 1-12.

Gardner, F. P., Pearce RB, dan Mitchell RL. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. UI Press, Jakarta.

Gentili, F. and A. Jumpponen. 2005. Handbook of microbial frtilizers. Rai MK, editor. New York (US): The Hawort Press, Inc.

Geretsen, F. C. 1948. The influence of microorganism on the phosphorus uptake by the plant. Plant Soil 1:51-81.

Goeswono, S. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Hal. 591.

Grist, D. H. 1959. Rice, formerly agricultural economist, longsmans, green and co. Ltd, London.

Halvin, J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale and W. L. Nelson. 1999. Soil fertility and fertilizers. An introduction to nutrient management. Sixth ed. Prentice Hall, New Jersey.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar ilmu tanah. Raja Granfindo Persada. Jakarta. Haque, M. M., M. A. Haque, G. N. M. Ilias, and A. H. Molla. 2010. Trichoderma-enriched

biofertilizer: A prospective substitute of inorganic fertilizer for mustard (Brassica campestris) production. The Agriculturists, 8: 66–73.

Hardjowigeno, S., H. Subagyo, dan R. M. Lutfi. 2004. Morfologi dan klasifikasi tanah dalam tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Harman, G. E. 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma sp. Phytopathology, 96: 190–194.

Hasyimi, H. M. 2010. Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Hedley, M. J, A. Hussin, and N. S. Bolan. 1990. New approaches to phospho-rus fertilization. Phosphorus require-ments for sustainable agriculture in Asia and Oceania. pp. 125-142.

Hermosa, R., A. Viterbo, I. Chet, and E. Monte. 2012. Plant-beneficial effects of

Trichoderma and of its genes. Microbiology, 158: 17–25.

Hindersah, R., D. H. Arief, L. S. Soemitro, and Gunarto. 2006. Exopolysaccharide Extraction from Rhizobacteria Azotobacter sp. Proc. International Seminar IMTGT. Medan, 22-23 Juni 2006. Hal 50-55

Hsieh, S. C. and C. F. Hsieh. 1990. The use of organic matter in crop production. Paper presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers in Crop Production Suweon, South Korea, 18-24 June 1990.

(27)

Ilmer, P., A. Barbato, and F. Schinner. 1995. Solubilizing of hardly soluble AlPO4 with P-solubilizing microorganism. Soil Biol. Biochem 27: 265-270.

Jones, U. S., J. C. Cattail, C. P. Mamaril, and C. S. Park. 1982. Woodland rice-nutrient deficiencies other than nitrogen. p: 327-378. In: Rice Research Strategies for the Future. Inter. Rice Res. Inst. Los Banos, Philippines.

Kandeel, A. M., S. A. T. Naglaa, and A. A. Sadek. 2002. Effect of biofertilizers on the growth, volatile oil yield and chemical composition of Ocimum basilicum L. plant. Annals Agric. Sci., Ain Shams Univ., Cairo, 47(1), 351–371.

Karaffa, L. and C. P. Kubicek. 2003. Aspergillus niger citric acid accumulation: Appl. Microbiol. Biotechnol. 61(3): 189–196. PMID: 12698275.

Karama, A. S., J. S. Adiningsih, M. Supartini, M. Sediarso, A. Kasno, dan T. Prihatini. 1992. Peranan pupuk kalium dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian di Indonesia. p. 9-48. dalam Peranan kalium dalam pemupukan berimbang untuk mempercepat swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992.

Kaveh, H., S. Vatandoost, H. Aroiee, and M. Mazhabi. 2011. Would Trichoderma affect seed germination and seedling quality of two muskmelon cultivars, Khatooni and Qasri and increase their transplanting success? Journal of Biology and Environmental Science, 5, 169–175.

Kementeri Pertanian [Kementan]. 2006. Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 02/pert/hk.060/2/2006. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SUP4-3.pdf. [Diakses tanggal 26 April 2017].

Kementerian Pertanian [Kementan]. 2006. Pupuk organik dan pembenah tanah. Permentan No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Pupuk organik dan pembenah tanah. 17 hal.

Kementrian Pertanian [Kementan]. 2011. Peraturan menteri pertanian nomor 70/PERMENTAN/SR.140/10/2011 tentang pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah. Sekretariat Negara. Jakarta.

Khan, Md. Y., Md. H. Manjurul, H. M. Abdul, Md. R. Mizanur, and Z. A. Mohammad. 2017. Antioxidant compounds and minerals in tomatoes by Trichoderma-enriched biofertilizer and their relationship with soil environments. Intergrativer Agriculture. 16(3): 691-703.

Kyuma, K. 2004. Paddy soil science. Kyoto University Press and Trans Pacific Press. 280 p.

Lindsay, W. L. 1979. Chemical equilibria in soils. Wiley Interscience. New York.

Maningsih, G. dan I. Anas. 1996. Peranan Aspergillus niger dan bahan organik dalam transfprmasi P anorganik tanah. Dalam pemberitaan penelitian tanah dan pupuk. Badan Litbang Pertanian Puslittanak. 14: 31-36.

Meena, V. S., B. R. Maurya, and I. Bahrudur. 2014. Potassium solubilization by bacterial strain in waste mica. Bangladesh J. Bot, 43 (2) : 235-237

Mengel, K., and E. A. Kirby. 1987. Principles of Plant Nutrition. Inter. Potash Ins. Bern. Switzerland. 687p.

(28)

Nartea, R. N. 1990. Basic soil fertility. Printed by Up Printery Diliman, Quezon City. P. 72-96.

Novizan. 2003. Petunjuk pemupukan yang efektif. Agro Media Pustaka. Tangerang. Odjak, M. 1992. Effect of potassium fertilizer in increasing quality and quantity of crop

yield. p. 94-104. dalam Peranan kalium dalam pemupukan berimbang untuk mempercepat swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992.

Oliveira, C. N. D., P. M. O. J. Neves, and L. S. Kawazoe. 2003. Compatibility between the entomopathogenic fungus beauveria bassiana and insecticides used in coffee plantations Scientia Agricola 60:663-667.

Olsen, S. R., W. D. Kemper and R. D. Jackson. 1962. Phosphate diffusion to plant growth. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 26:222-227.

Park, K. H., C. Y. Lee, and H. J. Son. 2009. Mechanism of insoluble phosphate solubilization by Pseudomonas fluorescens RAF15 isolated from ginseng rhizosphere and its plant growth-promoting activities. Applied Microbiology 49:222–228

Parmar, P. and S. S. Sindhu. 2013. Potassium solubilization by rhizosphere bacteria: influence of nutritional and environmental conditions. Microbiology Research 3 (1): 25-31.

Peraturan Pemerintah. 2001. Pupuk budidaya tanaman. PP. No. 8/Pupukbudidayatanaman/15 Hal/2001.

Pramono, J. 2004. Kajian penggunaan bahan organik pada padi sawah. Jurnal agrosains 6 (1) 11-14.

Prasetyo, B. H. S., K. Adiningsih, Subagtono, dan Simanungkalit. 2004. Mineralogi, kimia, fisika dan biologi tanah sawah. Buku : Tanah Sawah. 35-100.

Premono, E. M. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Purwono dam H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 jenis tanaman pangan unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat [Puslittanak]. 2000. Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. hlm 169-172.

Rachman, I. A., D. Sri, and I. Komarudin. 2008. The effects of organic matter and N, P, K fertilizer on nutrient uptake an yield of corn in inceptisols ternate. J. Tanah dan lingkungan, 10; 7-13.

Republika. 2017. Pemerintah Tegaskan tak Impor Beras Medium. www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 23 Mei 2017

Ristiati, N. P., S. Muliadihardja, dan F. Nurlita. 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri penambat nitrogen non simbiosis dari dalam tanah. J. Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora. 2:68-80.

Roesmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius. Yogyakarta. Ruijter, G. J. G., P. J. van de Vondervoort, and J. Visser. 1999. Oxalic acid production

(29)

and in the presence of manganese. Microbiology, 145(Pt 9): 2569–2576. PMID: 10517610.

Saraswati, R., T. Prihatini, dan R. D. Hastuti. 2004. Teknologi pupuk mikroba untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan keberlanjutan sistem produksi padi sawah. P. 169-189.

Setyorini, D. dan Abdulrachman. 2004. Pengelolaan hara mineral tanaman padi. Hlm. 110-136 dalam Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Ed.: F. Agus, A. Adimihardja., S. Hardjowigeno, a.M. Fagi, W. Hartatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian, Depertemen Pertanian.

Setyorini, D., S. Rochayati, dan I. Las. 2010. Pertanian pada ekosistem lahan sawah. Hlm. 27-45 dalam Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber daya Lahan dan Air. Balitbang Pertanian. Kementerian Pertanian. IPB PRESS.

Setyorini, D., L. R. Widowati, dan Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara tanah sawah intensifikasi. Hlm. 137-168 dalam Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Ed.: F. Agus, A. Adimihardja., S. Hardjowigeno, a.M. Fagi, W. Hartatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian, Depertemen Pertanian.

Shiddieq, J. dan Partoyo. 2000. Suatu pemikiran mencari pradigma baru dalam pengelolaan tanah yang ramah lingkungan. Prosiding. Kongres Nasional VII. HITI. Bandung.

Silva, F. G. N., C. Narloch, and R. Scharf. 2002. Solubilizac¸a˜o de fosfatos naturais por microrganismos isolados de cultivos de Pinus e Eucalyptus de Santa Catarina. Pesq. Agropec. Brasil. 37(6): 847–854. [In Portuguese.]

Simarmata, T., B. Joy, E. T. Sofyan, A. Citraresmini, T. Turmuktini, and B. Sudjana. 2015. Innovation of biofertilisers-organic based nutrients management and water saving technology to secure rice productivity. In: Proceeding of Tropentag 2015. Berlin. Germany.

Simpson, R. J., A. Oberson, M. H. Ryan, E. J. Veneklaas, H. Lambers, J. P. Lynch, P. R. Ryan, E. Delhaize, F. A. Smith, S. E. Smith, P. R. Harvey, and A. E. Richardson. 2011. Strategies and agronomic interventions to improve the phosphorus-use efficiency of farming systems. Plant and Soil, 349: 89–120.

Singh, S. M., S. Y. Lal, K. S. Sanjay, S. Purnima, N. S. Paras, and R. Rasik. 2011. Phosphate solubilizing ability of two Arctic Aspergillus niger strains. Polar 30: 72-83

Singh, T. and S. S. Purohit. 2011. Biofertilizers Technology. India: Agrobios.

Siswono, W.H. 2006. Swasembada pangan dan pertanian berkelanjutan tantangan abad dua satu: Pendekatan ilmu tanah, tanaman dan pemanfaatan iptek nuklir. Dalam A. Hanafiah WS, Mugiono, dan E.L. Sisworo. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta. 207 hlm

Sitompul, S.M. dan S. Setijono. 1990. Bahan organik dan efisiensi pemupukan nitrogen. Lokakarya Nasional, Efisiensi Pemupukan V. Cisarua 12-13 Nopember 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. jurusan tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Sperber, J.I. 1958. The incidence of apatite-solubilizing organisms in the rhizosphere

(30)

Subba Rao, N. S. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Edisi kedua. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press.

Sudirja, R. 2007. Standar mutu pupuk organik dan pembenah tanah. Modul Pelatihan Pembuatan Kompos. Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi RI. Balai Besar Pengembangan dan Perluasan Kerja. Lembang.

Supyandi, D., Y. Sukayat, dan M. A. Heryanto. 2014. Beras organik: upaya meningkatkan daya saing produk pertanian (studi kasus di Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat). Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Padjadjaran

Suriadikarta, D. A., dan R. D. M. Simanungkalit. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati. Balai besar litbang sumberdaya lahan pertanian badan penelitian dan pengembangan pertanian.

Sutanto, R. 2006. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta.

Sutardi. 2004. Kombinasi takaran pupuk organik-anorganik terhadap sistem perakaran, pertumbuhan dan hasil tanaman padi organik. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi sumber daya tanah dan ilkim 14-15 September 2004. Bogor.

Swastika, D. K. S., J. Wargiono, dan A. Hasanuddin. 2007. Analisis kebijakan peningkatan produksi padi melalui efisiensi pemanfaatan lahan sawah di Indonesia. J. Analisis Kebijakan Pertanian 5:36-52.

Syekhfani. 1997. Hara air tanah dan tanaman. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brahwijaya. Malang.

Tisdale, S. L., W. L. Nelson, J. D. Beaton, and J. L. Halvlin. 1993. Soil fertility and fertilizers. Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney. p. 462-607.

Triyono A., Purwanto, dan Budiyono. 2013. Efisiensi penggunaan pupuk-N untuk pengurangan kehilangan nitrat pada lahan pertanian. Prosiding seminar nasional pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. ISBN 978-602-17001-1-2.

Utami, D. P. 2011. Analisis pilihan konsumen dalam mengkonsumsi beras organik di Kabupaten Sragen. J Ilmu Pertanian. Vol. 7. No. 1, 2011:41-58

Vassilev, N., M. T. Baca, M. Vassileva, I. Franco, and R. Azcon. 1995. Rock phosphate solubilization by Aspergillus niger grown on sugar-beet waste medium. Appl. Microbiol. Biotechnol. 44(3-4): 546–549. doi: 10.1007/BF00169958.

Waksman, S. A. and R. C. Starkey.1931. The soil and the microbe. Jhon Wiley & Sons. Inc. New York.

Whitelaw, M. A. 2000. Growth promotion of plants inoculated with phosphate-solubilizing fungi. Adv. Agron. 69: 99–151. doi:10.1016/S0065-2113(08)60948-7.

Widawati, S. dan A. Muharam. 2012. Uji laboratorium Azospirillum sp. yang diisolasi dari beberapa ekosistem. Journal Hortikultura 22 (3): 258-267.

Widawati, S., Suliasih, H. J. D. Latupuapua, and A. Sugiharto. 2005. Biodiversity of soil microbes from rhizospore at Wamena Biological Garden (WBiG), Jayawijaya, Papua. Biodiversitas 6 (1): 6-11.

Winarso. 2005. Kesuburan tanah. Gava Media, Yogyakarta.

(31)

and lactonase in Aspergillus niger. Curr. Genet. 24(5): 408–416. doi:10.1007/BF00351849. PMID: 8299156.

Wu, S. C., Z. H. Cao, Z. G. Li, K. C. Cheung, and W. H. Wong. 2005. Effects of biofertilizer containing N-fixer, P and K solubilizers and AM fungi on maize growth: a greenhouse trial. Geoderma 125:155–166

Yedidia, I., A. K. Srivastva, Y. Kapulnik, and I. Chet. 2001. Effects of Trichoderma

harzianum on microelement concentrations and increased growth of cucumber

plants. Plant and Soil, 235, 235–242.

Yuliana. 2010. Bioteknologi Mikroba. http://yuliana.student.umm.ac.id /2010/01/22/bioteknologi-mikroba/difiksasi/. Diakses pada April 2017.

Gambar

Tabel 3. Hasil Analisis Tanah Awal
Tabel 4. Karakteristik Pupuk Organik
Gambar 1. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap pH Tanah Sawah
Gambar 2. Pengaruh Perlakuan Berbagai Taraf Dosis Pupuk Organik terhadap pH Tanah Sawah  Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tampilan halaman order admin adalah halaman untuk menampilkan data pengiriman, adapaun tampilan pada website adalah terlihat seperti gambar dibawah ini.. Aliy Hafiz II Implementasi

Tahapan yang dilakukan penulis untuk membuat situs web ini ada 4 tahap, yaitu pengumpulan materi yang berhubungan dengan tes IQ dan cara pembuatan web dengan PHP &amp;

Sebelum ada pengaruh mediasi dari stress kerja, koefisien pengaruh gaya hidup sehat ke turnover intentions adalah sebesar 0,340 dengan sig 0,024 yang menunjukkan bahwa gaya

Dan malam yang paling diharapkan adalah malam ke 27-nya, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim, dari Ubai bin Ka'ab Radhiyallahu 'Anhu, &#34;Demi Allah, sungguh

Kegiatan Pendampingan Kegiatan DAK Infrastruktur Irigasi Pekerjaan Paket 8 Rehabilitasi Sarana Irigasi DI Kaligawe Ds Munggung Kec Pedan, Karangdowo.

“Perempuan lebih banyak dan lebih cepat menampung aspirasi, dan mereka bertujuh disini sudah terlatih, mereka sangat memperhatikan isu dan sensitif melihat aspirasi diluar yang

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014, hlm.. yang tepat untuk perkembangan perbankan syariah adalah dengan

dipandang perlu diterapkannya salah satu model pembelajaran yang baru, dan model tersebut dipandang mampu menanamkan nilai-nilai islami sehingga akhlak peserta