• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO

5.1. Struktur Industri Agro

Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand diawali dengan meneliti persentase kandungan bahan baku pertanian pada produk industri agro. Dalam studi ini ditelusuri perilaku sepuluh jenis industri pengolahan yang tercantum pada model I-O Intercountry Indothaicin (Indonesia, Thailand dan China) tahun 1995 dan 2000 dalam hal penggunaan input antara atau bahan baku yang berasal dari komoditi pertanian seperti padi, komoditi pertanian lainnya, peternakan, kehutanan dan perikanan.

Komposisi penggunaan input pertanian dari kesepuluh industri yang dimaksud dapat diperhatikan dalam Tabel 13 berikut, khususnya untuk negara Indonesia. Terlihat bahwa industri pengolahan yang paling banyak menggunakan bahan baku yang berasal dari komoditi pertanian adalah industri makanan, minuman dan tembakau (Kode 008) dengan komposisi bahan bakunya terdiri atas 31.14 persen berasal dari komoditi pertanian, dan 34.23 persen dari komoditi non pertanian.

Jenis industri berat seperti minyak bumi (Kode 013), mineral non logam (Kode 015), logam (Kode 016) dan mesin (Kode 017) dapat dipastikan paling sedikit atau bahkan sama sekali tidak menggunakan bahan baku komoditi pertanian. Tabel 13 menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku komoditi pertanian untuk jenis industri berat rata-rata di bawah 1 persen, kecuali industri kimia (Kode 012).

(2)

Terlihat bahwa pemakaian bahan baku komoditi pertanian di industri kimia mencapai 2.47 persen paling tinggi diantara semua industri berat. Ada kemungkinan fenomena ini muncul karena dalam kelompok industri kimia terdapat industri pengolahan pupuk, pakan ternak, obat-obatan, dan kosmetika yang cukup banyak menggunakan bahan baku dari komoditi pertanian. Sebagai contoh: ikan, bungkil jagung, dan dedak digunakan untuk memproduksi pakan ternak ayam maupun sapi; kencur, ginseng, dan temulawak digunakan untuk pembuatan obat-obatan.

Tabel 13. Struktur Input Sektor Industri Indonesia Tahun 2000

(%)

keterangan :

001 : Padi 012 : Produk kimia

002 : Produk pertanian lainnya 013 : Minyak dan produk ikutannya

003 : Peternakan 014 : Produk karet

004 : Kehutanan 015 : Produk mineral bukan logam

005 : Perikanan 016 : Produk logam

008 : Makanan, minuman, dan tembakau 017 : Mesin 009 : Tekstil, kulit, dan produk ikutannya

Pertania

n : Input antara komoditi pertanian

010 : Kayu dan olahannya NonPert

: Input antara komoditi non-pertanian

011 : Pulp, kertas, dan percetakan Primer : Input primer

Meskipun industri pulp, kertas dan percetakan (Kode 011) terkait langsung dengan sektor pertanian, namun dalam struktur I-O intercountry hanya tercatat menggunakan bahan baku komoditi pertanian sebanyak 1.48 persen, itupun lebih banyak menyerap komoditi kehutanan untuk menghasilkan pulp atau bubur kertas.

Kode Sektor 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 Pertanian 31.14 2.68 20.22 1.48 2.47 0.00 19.00 0.12 0.02 0.01 001 15.93 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 002 8.83 2.59 0.16 0.50 2.27 0.00 19.00 0.00 0.00 0.00 003 3.99 0.08 0.00 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 004 0.00 0.01 20.05 0.98 0.07 0.00 0.00 0.03 0.01 0.01 005 2.38 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 NonPert 34.23 62.54 44.25 63.48 64.27 58.09 46.23 57.14 69.56 68.41 Primer 34.63 34.78 35.54 35.03 33.27 41.91 34.77 42.74 30.43 31.58 Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

(3)

Deskripsi mengenai komposisi penggunaan input yang dipaparkan dalam Tabel 13 merupakan salah satu cara untuk mendeteksi awal bagaimana keterkaitan ke belakang suatu sektor industri dengan sektor pertanian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa satu-satunya sektor industri yang paling tinggi keterkaitannya dengan sektor pertanian adalah industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau. Indikatornya dapat diperhatikan pada penyebaran komposisi bahan baku komoditi pertanian yang digunakan, dimana dalam tabel terlihat jelas bahwa penggunaan bahan baku pertanian tersebar cukup merata ke komoditi pertanian primer seperti padi, pertanian lainnya, perikanan, dan peternakan kecuali dari sektor kehutanan (Kode 004) yang sama sekali produknya tidak digunakan sebagai bahan baku industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau.

Dalam Tabel 13 juga disajikan besaran persentase penggunaan input primer yang dapat menghasilkan nilai tambah dari masing-masing sektor industri. Terlihat bahwa sektor industri di Indonesia kurang mampu menghasilkan nilai tambah yang besar. Lebih dari 42.74 persen input produksi industri pengolahan berupa bahan baku atau input antara, yang berarti maksimal 42.74 persen diperuntukkan bagi input primer. Dengan kata lain sektor industri pengolahan hanya mampu menciptakan nilai tambah paling besar 42.74 persen, yakni berkisar diantara 30.43 persen sampai dengan 42.74 persen.

Bila ditelusuri lebih jauh, input antara yang digunakan oleh sektor industri agro cukup besar yang berasal dari pasokan impor. Seperti terlihat pada Tabel 14, sekitar 15.77 persen input antara yang digunakan oleh sektor industri agro Indonesia berasal dari impor.

(4)

Tabel 14. Komposisi Input Antara Asal Domestik dan Impor Sektor Industri Indonesia Tahun 2000

Kode Sektor

Domestik Impor Total

Thailand China Lainnya Jumlah Impor

US$ % US$ % US$ % US$ % US$ % US$ %

008 23,353,731 92.24 76,593 0.30 124,411 0.49 1,764,532 6.97 1,965,536 7.76 25,319,267 100.00 009 7,291,280 73.13 63,100 0.63 189,848 1.90 2,426,420 24.34 2,679,368 26.87 9,970,648 100.00 010 3,884,976 88.85 8,809 0.20 19,667 0.45 458,843 10.49 487,319 11.15 4,372,295 100.00 011 2,627,024 61.90 24,758 0.58 23,499 0.55 1,568,530 36.96 1,616,787 38.10 4,243,811 100.00 012 3,959,869 67.60 67,185 1.15 116,499 1.99 1,714,568 29.27 1,898,252 32.40 5,858,121 100.00 013 2,101,236 56.62 51,047 1.38 124,148 3.35 1,434,809 38.66 1,610,004 43.38 3,711,240 100.00 014 851,720 69.94 19,805 1.63 12,224 1.00 334,119 27.43 366,148 30.06 1,217,868 100.00 015 1,369,542 85.74 6,655 0.42 16,500 1.03 204,646 12.81 227,801 14.26 1,597,343 100.00 016 3,617,045 73.40 22,421 0.45 72,484 1.47 1,216,192 24.68 1,311,097 26.60 4,928,142 100.00 017 4,765,104 58.06 63,785 0.78 144,066 1.76 3,234,004 39.41 3,441,855 41.94 8,206,959 100.00 Total 53,821,527 77.52 404,158 0.58 843,346 1.21 14,356,663 20.68 15,604,167 22.48 69,425,694 100.00 keterangan :

008 : Makanan, minuman, dan tembakau 013 : Minyak dan produk turunannya 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 014 : Produk karet

010 : Kayu dan produk olahannya 015 : Produk mineral non-logam 011 : Pulp, kertas, dan percetakan 016 : Produk logam

012 : Produk kimia 017 : Mesin

US$ : dalam ribuan

Diantara seluruh sektor industri agro, pemakaian input antara asal impor yang paling tinggi adalah industri pulp, kertas dan percetakan, serta industri barang dari karet, masing-masing memiliki kandungan impor sebesar 38.10 persen dan 30.06 persen. Melihat muatan input impor yang cukup besar tersebut menandakan kemampuan sektor primer penyedia bahan baku di negara Indonesia masih belum optimal.

Kenyataan di atas sekaligus menggambarkan masih kurangnya keterkaitan ke belakang sektor industri agro terhadap basis sektor pertanian domestik. Dapat dimaklumi bila banyak pakar berpandangan bahwa terjadinya kemajuan sektor industri agro tidak serta merta akan diiringi oleh peningkatan pendapatan petani, karena rendahnya kemampuan sektor industri agro untuk mentransmisi sebagian

(5)

pendapatannya. Sebagai contoh, perkembangan industri mie instan yang begitu pesat dalam kurun waktu 10 tahun ini ternyata tidak dapat mengangkat secara maksimal pendapatan petani palawija cabe, bawang, tomat dan lain-lain.

Berdasarkan komposisi penggunaan bahan baku yang terkait dengan komoditi pertanian dari besaran persentase maupun penyebarannya maka dapat disampaikan bahwa klasifikasi sektor industri yang digolongkan sebagai industri agro dalam studi ini adalah : (1) industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau, (2) industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, (3) industri kayu dan olahan, (4) industri karet, dan (5) industri pulp, kertas dan percetakan.

5.2. Daya Saing Sektor Industri Agro

Dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan indikator daya saing IIC (index of international competitiveness), terjadi penurunan daya saing sektor industri agro Indonesia di pasar internasional pada periode 1995-2000 seperti terdapat pada Tabel 15 berikut. Pada Tabel 15 tersebut terlihat adanya penurunan nilai IIC sektor industri agro Indonesia sebesar -0.0850 pada tahun 2000 bila dibandingkan tahun 1995. Meskipun secara sektoral produk industri agro Indonesia pada tahun 2000 berada dalam kategori daya saing kuat karena semua produk mempunyai IIC > 0, namun bila dibandingkan pada tahun 1995 ternyata untuk sebagian besar produk mengalami penurunan angka IIC.

Perkembangan industri agro di Indonesia baik secara keseluruhan maupun sektoral jika mengacu kepada angka IIC dapat dikatakan berada dalam tahap pengembangan ekspor, oleh karena memiliki nilai IIC dalam interval 0 < IIC < 1, yang berarti sebagian besar produk industri agro Indonesia tergantung terhadap permintaan ekspor.

(6)

Tabel 15. Daya Saing Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of International Competitiveness Tahun 1995 dan 2000

Komoditi Industri agro 1995 2000 Perubahan

Indone

si

a

1. Makanan, minuman, dan tembakau -0.0278 0.0454 0.0732 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.2417 0.3142 0.0725 3. Kayu dan produk olahannya 0.7463 0.6249 -0.1214 4. Pulp, kertas, dan percetakan -0.0005 0.0951 0.0956

5. Produk karet 0.6185 0.0737 -0.5448 Rata-rata Indonesia -0.0850 T ha il a nd

1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.3630 0.2595 -0.1035 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.2316 0.2233 -0.0083 3. Kayu dan produk olahannya -0.6764 -0.1156 0.5608 4. Pulp, kertas, dan percetakan -0.3216 -0.2227 0.0989

5. Produk karet 0.3442 0.3056 -0.0386

Rata-rata Thailand 0.1019

Chi

na

1. Makanan, minuman, dan tembakau -0.2437 -0.0205 0.2232 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.0918 0.4128 0.3210 3. Kayu dan produk olahannya -0.3236 0.1750 0.4986 4. Pulp, kertas, dan percetakan -0.6811 -0.7074 -0.0263

5. Produk karet -0.3079 -0.1106 0.1973

Rata-rata China 0.2428

Salah satu produk industri yang dapat dijadikan dasar untuk memperkuat fondasi sektor industri agro di Indonesia adalah industri makanan, minuman dan tembakau. Keberhasilan industri tersebut menaikkan peringkat daya saingnya dari kategori sedang pada tahun 1995 (IIC = -0.0278) menjadi kategori kuat pada tahun 2000 (IIC = 0.0454) merupakan sebuah catatan tersendiri yang patut dijadikan tolok ukur untuk memperkuat fondasi industri agro. Industri pulp, kertas dan percetakan dapat juga menjadi salah satu fondasi agorindustri yang kuat di Indonesia, karena industri tersebut mampu menaikkan daya saingnya

(7)

dengan cukup tinggi, yang ditandai oleh peningkatan angka IIC dari -0.0005 pada tahun 1995 menjadi 0.0951 pada tahun 2000.

Berbeda dengan perkembangan sektor industri agro Indonesia, daya saing sektor industri agro Thailand meningkat cukup tinggi. Perubahan angka IIC yang bernilai positif 0.1019, yaitu dari -0.0118 pada tahun 1995 menjadi 0.0900 pada tahun 2000. Namun demikian, tidak seperti Indonesia, perkembangan daya saing industri makanan, minuman dan tembakau di Thailand justru sedang mengalami penurunan, yang ditandai dengan berubahnya angka IIC dari 0.3630 pada tahun 1995 menjadi 0.2595 pada tahun 2000, atau menurun sebesar -0.1035. Kondisi seperti ini juga terlihat dalam perkembangan industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, serta industri barang dari karet untuk kurun waktu yang sama.

Dapat dikatakan bahwa pada periode 1995-2000, sebagian besar produk industri agro Thailand sedang dalam tahap perluasan ekspor, kecuali untuk produk industri kayu dan kayu olahan serta industri pulp, kertas dan percetakan yang masih dalam tahap proses pengganti impor karena masing-masing memiliki IIC dalam interval -0.5 < IIC < 0 pada tahun 2000.

Jika diperhatikan dari kemampuan menaikkan daya saing, dari tiga negara yang diteliti, hanya China saja yang dapat dikatakan paling berhasil dalam mengembangkan sektor industri agro sepanjang tahun 1995 sampai dengan 2000. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilannya menaikkan nilai IIC pada tahun 2000 sebanyak 0.2428 poin bila dibandingkan dengan tahun 1995. Dan secara sektoral China juga menunjukkan mampu meningkatkan daya saing sebagian besar produk agorindustri, kecuali untuk industri pulp, kertas dan percetakan yang tampak menurun daya saingnya dari -0.6811 pada 1995 menjadi -0.7074 pada tahun 2000.

(8)

Tabel 16. Peringkat Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan IIC Tahun 1995 dan 2000

Komoditi Industri Agro Indonesia Thailand China

Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat 1 Makanan,

minuman, dan tembakau

0.0732 2 -0.1035 3 0.2232 1

2 Tekstil, kulit, dan

produk turunannya 0.0725 2 -0.0083 3 0.321 1

3 Kayu dan produk

olahannya -0.1214 3 0.5608 1 0.4986 2

4 Pulp, kertas, dan

percetakan 0.0956 2 0.0989 1 -0.0263 3

5 Produk karet -0.5448 3 -0.0386 2 0.1973 1

Rata-rata 3 2 1

Dari perbandingan perubahan daya saing pada Tabel 16 terlihat bahwa tidak ada satupun komoditi industri agro Indonesia yang dapat dibanggakan karena mendapat peringkat 1 bila dibandingkan Thailand dan China. Negara China mencatat kemajuan daya saing industri agro paling tinggi pada 3 komoditi, yaitu: (1) Industri makanan, minuman dan tembakau, (2) Industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, dan (3) Industri barang karet. Thailand meraih kemajuan daya saing industri agro paling tinggi pada dua komoditi, yaitu: (1) Industri kayu dan kayu olahan, dan (2) Industri pulp, kertas dan percetakan.

Keberhasilan China menaikkan daya saing produk industri agro juga terlihat pada market share atau pangsa pasar dunia. Pada Tabel 17 terlihat bahwa China mampu menaikkan pangsa pasar produk industri agronya di tahun 2000 dibanding 1995 pada hampir semua produk industri agro kecuali produk karet. Indonesia mengalami penurunan pangsa pasar pada 3 produk yaitu produk karet, tekstil, kulit dan produk turunannya serta kayu dan produk olahannya.

(9)

Tabel 17. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan Pangsa PasarTahun 1995 dan 2000

Komoditi Industri Agro

Pangsa Pasar (%) Perubahan Pangsa Pasar (%) 1995 2000 Indone si a

1. Makanan, minuman, dan tembakau 3.44 6.34 2.90 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 6.37 6.25 -0.12 3. Kayu dan produk olahannya 20.77 18.16 -2.61 4. Pulp, kertas, dan percetakan 4.03 9.60 5.57

5. Produk karet 7.56 1.28 -6.28

T

ha

il

and

1. Makanan, minuman, dan tembakau 10.92 12.59 1.67 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 10.48 5.31 -5.17 3. Kayu dan produk olahannya 2.72 3.69 0.97 4. Pulp, kertas, dan percetakan 3.43 3.45 0.02

5. Produk karet 8.80 2.36 -6.44

C

hi

na

1. Makanan, minuman, dan tembakau 11.63 12.93 1.30 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 29.84 42.48 12.64 3. Kayu dan produk olahannya 8.39 14.97 6.58 4. Pulp, kertas, dan percetakan 3.45 5.40 1.95

5. Produk karet 4.83 4.36 -0.47

Kenaikan pangsa pasar Indonesia diraih pada produk makanan, minuman, dan tembakau serta pulp, kertas, dan percetakan. Thailand mengalami penurunan pada 2 produk, sementara 3 produk lain mengalami peningkatan. Sehingga dari sisi perubahan pangsa pasar industri agro bisa disimpulkan bahwa China mengalami kemajuan paling tinggi diikuti oleh Thailand dan Indonesia di peringkat ketiga. Meskipun mengalami penurunan pangsa pasar, sesungguhnya

(10)

sampai dengan tahun 2000 pangsa pasar produk industri agro Indonesia relatif lebih baik dari Thailand seperti terdapat pada Tabel 18.

Tabel 18. Peringkat Produk Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Pangsa Pasar Tahun 2000

(%)

Produk Industri agro Indonesia Thailand China

Pangsa Peringkat Pangsa Peringkat Pangsa Peringkat 1. Makanan,

minuman, dan tembakau

6.34 3 12.59 2 12.93 1

2. Tekstil, kulit, dan

produk turunannya 6.25 2 5.31 3 42.48 1

3. Kayu dan produk

olahannya 18.16 1 3.69 3 14.97 2

4. Pulp, kertas, dan

percetakan 9.60 1 3.45 3 5.402 2

5. Produk karet 1.28 3 2.36 2 4.36 1

Peringkat 2 3 1

Indonesia mempunyai pangsa pasar tertinggi untuk kelompok produk: (1) industri kayu dan kayu olahan, dan (2) industri pulp, kertas dan percetakan. China menguasai pangsa pasar terbesar untuk produk: (1) Industri makanan, minuman dan tembakau, (2) Industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, dan (3) Industri barang dari karet. Hanya saja kalau data tersebut dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pangsa pasar yang terdapat pada Tabel 17, maka posisi pangsa pasar Indonesia relatif mengkuatirkan karena pertumbuhan pngsa pasar Thailand lebih cepat dibandingkan Indonesia. Kalau Indonesia tidak melakukan upaya peningkatan pangsa pasar, bisa jadi di kemudian hari pangsa pasar produk industri agro Indonesia kalah dari Thailand.

Berdasarkan data pada Tabel 18 tumpuan harapan pada pangsa pasar produk industri agro China menyebar relatif pada semua produk sementara Thailand bertumpu kepada produk industri makanan, minuman dan tembakau

(11)

sedangkan Indonesia bertumpu pada produk kayu dan kayu olahan yang pada tahun 2000 menguasai 18.16 persen pangsa pasar dunia. Hanya saja produk kayu dan kayu olahan Indonesia tidak bisa diandalkan di masa mendatang karena selain sudah mengalami penurunan pada periode 1995 hingga 2000 dari pangsa pasar 20.77 persen menjadi 18.16 persen, juga karena menurunnya pasokan kayu sebagai bahan baku industri tersebut terkait dengan sudah gundulnya hutan-hutan Indonesia.

Industri makanan, minuman dan tembakau yang diharapkan dapat memperkuat fondasi industri agro Indonesia karena daya saingnya berkembang cukup baik, ternyata hanya mampu memberi andil sebesar 6.34 persen terhadap pangsa pasar dunia di tahun 2000.

Dengan mengadopsi konsep IIC sebagai metoda pengukur daya saing, dirumuskan IDC atau index of domestic competitivenes sebagai indikator daya saing di pasar domestik, yang hasil pengolahan data dan perbandingannya antara Indonesia, Thailand dan China disajikan di Tabel 19.

Semua produk agorindustri Indonesia mengalami penurunan IDC, atau bisa dikatakan semua produk industri agro Indonesia relatif tidak mampu bersaing di negerinya sendiri. Peringkat perubahan IDC yang ditampilkan di Tabel 20 memperjelas lemahnya daya saing industri agro Indonesia di pasarnya sendiri.

Tidak seperti Indonesia dan Thailand yang sedang mengalami penurunan daya saing domestik produk industri agronya, secara umum produk industri agro China justru mengalami peningkatan, yang diindikasikan dengan naiknya nilai IDC pada tahun 2000.

(12)

Tabel 19. Daya Saing Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000

Komoditi Industri Agro 1995 2000 Perubahan

Indone

si

a

1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.9451 0.899 -0.0461 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.6471 0.5988 -0.0483 3. Kayu dan produk olahannya 0.9174 0.8213 -0.0961 4. Pulp, kertas, dan percetakan 0.7585 0.5395 -0.2190

5. Produk karet 0.9138 0.6096 -0.3042 Rata-rata Indonesia -0.1427 T ha il and

1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.8502 0.8067 -0.0435 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.6796 0.7149 0.0353 3. Kayu dan produk olahannya 0.5952 0.598 0.0028 4. Pulp, kertas, dan percetakan 0.4715 0.5275 0.0560

5. Produk karet 0.8334 0.7343 -0.0991

Rata-rata Thailand -0.0097

C

hi

na

1. Makanan, minuman, dan tembakau 0.8768 0.9494 0.0726 2. Tekstil, kulit, dan produk turunannya 0.7844 0.8464 0.0620 3. Kayu dan produk olahannya 0.8890 0.8716 -0.0174 4. Pulp, kertas, dan percetakan 0.7893 0.7548 -0.0345

5. Produk karet 0.8690 0.8416 -0.0274

Rata-rata China 0.011

Tabel 20. Peringkat Daya Saing Domestik Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan Perubahan Angka Index of Domestic Competitiveness Tahun 1995 dan 2000

(%)

Komoditi Industri Agro Indonesia Thailand China

Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat Perubahan Peringkat

1 Makanan, minuman, dan tembakau -0.0461 3 -0.0435 2 0.0726 1

2 Tekstil, kulit, dan produk turunannya -0.0483 3 0.0353 2 0.0620 1

3 Kayu dan produk olahannya -0.0961 3 0.0028 1 -0.0174 2

4 Pulp, kertas, dan percetakan -0.2190 3 0.0560 1 -0.0345 2

5 Produk karet -0.3042 3 -0.0991 2 -0.0274 1

(13)

Ada dua sektor industri agro yang menjadi penopang meningkatnya daya saing domestik China yakni industri makanan, minuman dan tembakau, serta industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, masing-masing mengalami kenaikan IDC sebesar 0.0726 dan 0.0620.

Dari peringkat perubahan IDC pada Tabel 20 di atas, terdapat tiga produk industri agro China yang mengalami perubahan IDC lebih positif dibanding Thailand dan Indonesia. Thailand menjadi peringkat 1 perubahan IDC untuk dua produk, sementara Indonesia untuk semua produk industri agro menjadi juru kunci karena berada di peringkat ketiga dari tiga negara.

Dari analisis perubahan IDC tersebut di atas, Indonesia bisa belajar dari pengalaman Thailand dan China untuk membangun sektor industri agronya melalui pengembangan daya saing domestik. Indonesia perlu melakukan upaya terpadu untuk meningkatkan daya saing domestiknya. Program terpadu yang melibatkan pemerintah dan sektor bisnis seperti Gerakan Nasional Gemar Produk Indonesia yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Agustus 2006 sebagai kerjasama Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Kementerian KUKM dan KADIN Indonesia menjadi contoh yang dapat dioptimalkan.

Peningkatan daya saing sektor industri agro di pasar internasional memang tidak bisa dipisahkan dari peningkatan daya saing di pasar domestik. Penelitian yang dilakukan Reinhardt (2005) di China menunjukkan bahwa faktor keseimbangan termasuk keseimbangan pasar menjadi pertimbangan penting dalam pembangunan industri dan perekonomian di China. China terus menerus

(14)

mengembangkan kemampuan penetrasi pasar ekspor, dan pada saat bersamaan juga meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri.

Dalam upaya meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja, FDI diarahkan untuk menggerakkan alih teknologi, peningkatkan keterkaitan industri dan menstimulasi keseluruhan industri sehingga menyediakan kesempatan kerja sesuai dengan penelitian Reinhardt (2005). Kebijakan industri di seluruh dunia yang semakin sering menggunakan teknologi perlu mendapat perhatian.

5.3. Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia, China dan Thailand

Perbandingan kinerja sektor industri agro Indonesia, China dan Thailand dihitung dengan menggunakan indikator: Efisiensi dan Marjin Bruto. Kinerja industri agro Indonesia dapat dilihat pada Tabel 21. Peningkatan teknologi seperti dianjurkan oleh Reinhardt (2005) juga menghasilkan nilai tambah lebih tinggi.

Jika diperhatikan pada Tabel 21 tersebut, sektor industri agro Indonesia tahun 2000 mengalami penurunan efisiensi. Nilai tambah yang diciptakan untuk setiap satu dolar input yang dikeluarkan hanya mencapai rata-rata 0.37 dolar di tahun 1995, dan 0.35 dolar di tahun 2000.

Tabel 21. Kinerja Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000 Indikator Kinerja Efisiensi (dolar) Marjin Bruto (%) 1995 2000 1995 2000 008 0.35 0.35 26.11 25.34 009 0.35 0.35 23.44 22.50 010 0.34 0.36 24.50 25.46 011 0.40 0.35 29.21 24.73 014 0.39 0.35 20.23 17.44

(15)

keterangan :

008 : Makanan, minuman, dan tembakau 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 010 : Kayu dan produk olahannya

011 : Pulp, kertas, dan percetakan 014 : Produk karet

Dari Tabel 21 uga terlihat perbandingan tingkat efisiensi antara sektor industri agro itu sendiri. Industri pulp, kertas dan percetakan, serta industri barang dari karet mengalami penurunan tingkat efisiensi pada tahun 2000. Beda halnya dengan industri kayu dan olahan kayu, tingkat efisiensinya mampu naik dari 0.34 dolar pada tahun 1995 menjadi 0.36 dolar pada tahun 2000, sementara industri makanan, minuman dan tembakau serta industri tekstil, kulit dan produk turunannya tidak mengalami perubahan tingkat efisiensi.

Secara rata-rata, sektor agrindustri Indonesia mengalami penurunan tingkat marjin bruto pada tahun 2000 dibandingkan 1995. Hanya industri kayu dan produk olahannya yang mampu menaikkan marjin bruto pada periode tersebut.

Menggunakan indikator yang sama, pengukuran kinerja juga dilakukan pada sektor industri agro Thailand sebagai pembanding kinerja industri agro Indonesia, perhatikan Tabel 22.

Tabel 22. Kinerja Sektor Industri Agro Thailand Tahun 1995 dan 2000 Indikator Kinerja Efisiensi (dolar) Marjin Bruto (%) 1995 2000 1995 2000 008 0.17 0.22 13.83 16.25 009 0.52 0.44 33.67 29.07 010 0.18 0.16 11.95 11.09 011 0.29 0.22 15.29 18.27 014 0.49 0.52 30.17 34.23

(16)

keterangan:

008 : Makanan, minuman, dan tembakau 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 010 : Kayu dan produk olahannya

011 : Pulp, kertas, dan percetakan 014 : Produk karet

Sama halnya dengan kondisi sektor industri agro di negara Indonesia, di Thailand seluruh sektor industri agronya juga mengalami inefisiensi didalam menciptakan nilai tambah. Sektor industri agro di negara Thailand yang dapat meningkatkan efisiensinya di tahun 2000 adalah industri makanan, minuman dan tembakau; sementar sektor lain mengalami penurunan efisiensi.

Kinerja industri agro di Thailand dapat juga diperhatikan pada penerimaan marjin bruto yang menggambarkan seberapa besar suatu sektor memperoleh surplus usaha jika dibandingkan dengan total input primer yang digunakan. Semakin besar marjin bruto, maka semakin besar surplus usaha yang diperoleh, begitu sebaliknya. Dari lima sektor industri agro yang diamati, hanya ada dua sektor yang menurun marjin brutonya, yakni industri tekstil, kulit dan produk turunannya, serta industri kayu dan produk olahan.

Berdasarkan empat indikator yang telah disajikan dalam Tabel 31, dapat dikatakan bahwa kinerja sektor industri agro di Thailand tidaklah lebih baik dibandingkan dengan Indonesia. Namun demikian, bila diperhatikan dari besarnya perubahan untuk setiap indikator, negara Thailand tampak lebih berhasil meningkatkan kinerja industri agronya dibandingkan Indonesia. Sebagai contoh untuk marjin bruto. Sektor industri agro di Thailand rata-rata mampu meningkatkan keuntungan marjinnya di tahun 2000 sebesar 0.80 persen, sedangkan di Indonesia terlihat menurun sebesar -1.60 persen.

(17)

Berikut ini disajikan pengukuran kinerja pada sektor industri agro China, yang dapat dilihat pada Tabel 23. Sangat berbeda dengan profil kinerja industri agro di Indonesia dan Thailand, sektor industri agro di China jika diperhatikan dari tingkat efisiensinya mutlak lebih tinggi dibandingkan kedua negara tersebut. Tabel 23. Kinerja Sektor Industri Agro China Tahun 1995 dan 2000

Indikator Kinerja Efisiensi (dolar) Marjin Bruto (%) 1995 2000 1995 2000 008 0.63 1.48 19.50 19.06 009 2.22 3.56 15.25 14.33 010 0.81 0.74 17.58 14.36 011 1.28 2.06 18.93 14.24 014 0.99 2.62 22.35 11.85 keterangan:

008 : Makanan, minuman, dan tembakau

009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 010 : Kayu dan produk olahannya

011 : Pulp, kertas, dan percetakan 014 : Produk karet

Bahkan ketika sektor industri agro di Indonesia dan Thailand sedang mengalami penurunan efisiensi antara tahun 1995 dan 2000, China mampu meningkatkan efisiensi sektor industri agronya lebih tinggi. Secara merata kenaikannya bisa mencapai 0.90 persen, sementara untuk Indonesia dan Thailand masing-masing mengalami penurunan sebesar -0.01 dan -0.02 persen seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 21 dan Tabel 22.

Kinerja perekonomian China yang berkembang pesat sejak kebijakan pasar terbuka dijalankan secara tidak langsung sangat mempengaruhi perkembangan sektor industri agronya. Negara China saat ini sangat terkenal dengan komoditas-komoditas ekspor industri agro yang berkualitas tinggi namun harganya relatif murah.

(18)

Tidak semua indikator kinerja industri agro di China tampak lebih baik dibandingkan Indonesia dan Thailand. Khususnya untuk marjin bruto, seluruh sektor industri agro China tampak masih kalah jauh di bandingkan industri agro Indonesia dan Thailand. Misalkan dengan Indonesia, marjin bruto untuk sektor industri agro rata-rata sebesar 23.09 persen, sementara di China hanya sebanyak 14.7 persen. Sedangkan bila dibandingkan dengan Thailand, upaya untuk meningkatkan marjin bruto sektor industri agro terlihat lebih baik di negara tersebut dibandingkan negara China. Ketika sektor industri agro Thailand dapat meningkatkan marjin bruto di tahun 2000, di China marjin brutonya malah mengalami penurunan yang cukup besar yakni -3.95 persen. Penurunan tingkat marjin bruto di China sekaligus menggambarkan penurunan harga jual rata-rata yang merupakan strategi penetrasi pasar ekspor China dengan menjual produk berharga relatif murah.

5.4. Keterkaitan Antar Sektor Industri Agro Dalam Satu Negara dan Antar Negara

5.4.1. Dampak Keterkaitan Ke Belakang Sektor Industri Agro

Keterkaitan antarsektor dikelompokkan dalam empat bagian, yakni: (1) keterkaitan langsung kebelakang, (2) keterkaitan langsung kedepan, (3) daya

sebar kedepan, dan (4) daya sebar kebelakang. Dampak ke belakang sektor industri agro untuk Indonesia, Thailand dan China terdapat pada Tabel 24 dan 26. Di negara Indonesia sepertinya sektor industri agro yang paling tinggi memberi efek sebar terhadap perekonomian domestik pada tahun 1995 adalah industri barang dari karet yang memiliki multiplier terbesar, yakni 2.1427.

(19)

Angka ini dapat diartikan jika ada injeksi sebesar satu dolar pada komponen permintaan akhir di sektor industri barang dari karet maka total penerimaan dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan akan meningkat sebesar 2.1427 dolar. Selain industri barang dari karet, sektor lainnya yang cukup besar memberi efek sebar terhadap perekonomian domestik adalah industri kayu dan kayu olahan yang memiliki multiplier sebesar 1.9523. Setelah itu industri makanan, minuman dan tembakau, serta industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, masing-masing dengan nilai multiplier sebesar 1.8796 dan 1.8763 untuk kurun waktu yang sama. Adapun yang paling rendah efek sebarnya adalah industri pulp, kertas dan percetakan yang memiliki nilai multiplier sebesar 1.7816.

Pada tahun 2000, terjadi perubahan yang cukup mendasar pada efek ke belakang sektor industri agro terhadap perekonomian Indonesia. Di tahun ini, bukan lagi sektor industri barang dari karet yang memiliki pengaruh ke belakang terbesar, tetapi sektor makanan, minuman dan tembakau, dengan nilai multiplier sebesar 1.9178. Setelah itu industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, serta industri kayu dan kayu olahan merupakan sektor industri agro yang dapat memberi efek sebar ke belakang cukup besar terhadap perekonomian, masing-masing memiliki multiplier sebesar 1.8422 dan 1.8914 untuk waktu yang sama

Dari penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (2005) ditemukan bahwa terdapat kemajuan industrialisasi di Indonesia pada tahun 1985–2000. Sebaliknya, terlihat dengan jelas bahwa industrialisasi di Indonesia telah dikembangkan dengan kelemahan struktural seperti tertundanya penguatan keterkaitan antar industri. Hampir sama dengan di Indonesia, sektor industri agro di Thailand yang paling dominan pengaruhnya ke belakang terhadap

(20)

perekonomian adalah industri makanan, minuman dan tembakau baik itu pada tahun 1995 maupun tahun 2000. Untuk tahun 1995, industri tersebut mempunyai angka multiplier paling besar yakni 1.9415, dan di tahun 2000 meningkat menjadi 1.9466. Setelah itu industri tekstil, kulit dan produk ikutannya juga terlihat paling besar memberi efeknya ke belakang, yaitu pada tahun 1995 mempunyai multiplier sebesar 1.9015 dan tahun 2000 sebesar 1.9909.

Lain halnya dengan negara China, sebagian besar sektor industri agronya kelihatan memberi efek sebar yang relatif sama besar di tahun 1995 dan 2000. Di antara dua tahun tersebut juga tidak terlihat perubahan efek sebar yang menyolok. Dalam kurun waktu itu, industri kayu dan kayu olahan tetap menjadi sektor industri agro yang menyumbang efek sebar paling tinggi dalam perekonomian, yakni 2.3713 untuk tahun 1995 dan 2.5659 tahun 2000.

Selain memberi dampak terhadap perekonomian domestik Indonesia, adanya injeksi pada sektor industri agro dapat juga mempengaruhi ke belakang perekonomian suatu negara lain. Pada tahun 2000 misalkan, sektor industri agro di Indonesia yang paling besar pengaruhnya terhadap perekonomian Thailand dan China adalah industri tekstil, kulit dan produk ikutannya dengan nilai multiplier

sebesar 0.0047 untuk Thailand, dan 0.0131 untuk China. Angka multiplier sebesar 0.0047 dan 0.0131 mengandung makna bila ada injeksi sebanyak satu dolar dalam komponen permintaan akhir industri tekstil, kulit dan produk ikutannya di negara Indonesia, maka total penerimaan dalam perekonomian Thailand akan meningkat sebesar 0.0047 dolar.

Dengan injeksi yang sama sebanyak satu dolar dalam komponen permintaan akhir industri tekstil, kulit dan produk ikutannya di negara Indonesia

(21)

Tabel 24. Koefisien Backward Linkage Effect Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000

Sektor 1995 2000

Indonesia Thailand China Total Indonesia Thailand China Total

Ind

one

si

a

Makanan, minuman, dan tembakau 1.8796 0.0015 0.0035 1.8846 1.9012 0.0052 0.0113 1.9178 Tekstil, kulit, dan produk

turunannya 1.8763 0.0047 0.0131 1.8941 1.7922 0.0104 0.0395 1.8422

Kayu dan produk olahannya 1.9523 0.0011 0.0041 1.9575 1.876 0.0037 0.0117 1.8914

Pulp, kertas, dan percetakan 1.7816 0.0027 0.006 1.7904 1.6275 0.0081 0.0132 1.6488

Produk karet 2.1427 0.0031 0.0092 2.155 1.6468 0.0183 0.0222 1.6873

T

ha

il

and

Makanan, minuman, dan tembakau 0.0048 1.9286 0.0081 1.9415 0.011 1.9163 0.0192 1.9466 Tekstil, kulit, dan produk

turunannya 0.0085 1.8572 0.0358 1.9015 0.0144 1.9078 0.0687 1.9909

Kayu dan produk olahannya 0.0024 1.5392 0.0065 1.5481 0.0214 1.479 0.017 1.5174

Pulp, kertas, dan percetakan 0.0206 1.4581 0.0175 1.4962 0.0226 1.5146 0.0169 1.5541

Produk karet 0.005 1.7909 0.0197 1.8155 0.013 1.8665 0.038 1.9175

C

hi

na

Makanan, minuman, dan tembakau 0.0025 0.0069 2.2453 2.2548 0.0036 0.0018 2.2102 2.2156 Tekstil, kulit, dan produk

turunannya 0.0021 0.0031 2.3578 2.363 0.0038 0.003 2.4886 2.4953

Kayu dan produk olahannya 0.0264 0.0017 2.3432 2.3713 0.0156 0.0032 2.5471 2.5659

Pulp, kertas, dan percetakan 0.015 0.002 2.3326 2.3496 0.0296 0.0068 2.2151 2.2515

(22)

Tabel 25. Disagregasi Koefisien Backward Linkage Effect Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000 Sektor 1995 2000 008 009 010 011 014 Rata-rata 008 009 010 011 014 Rata-rata Indone si a 1. Pertanian 0.4565 0.0193 0.3218 0.0243 0.0084 0.1661 0.3930 0.0549 0.2473 0.0273 0.2237 0.1893 2. Pertambangan 0.0096 0.0170 0.0160 0.0245 0.0149 0.0164 0.0139 0.0447 0.0308 0.0356 0.0475 0.0345 3. Perindustrian 1.2077 1.5911 1.2789 1.4400 1.8801 1.4795 1.2204 1.4752 1.2606 1.3054 1.1966 1.2917 4. Jasa 0.2108 0.2668 0.3408 0.3017 0.2516 0.2743 0.2904 0.2673 0.3527 0.2804 0.2195 0.2821 T ha il and 1. Pertanian 0.4220 0.0204 0.0268 0.0169 0.0129 0.0998 0.3638 0.0214 0.0476 0.0171 0.3382 0.1576 2. Pertambangan 0.0063 0.0103 0.0074 0.0148 0.0056 0.0089 0.1391 0.0225 0.0106 0.0138 0.0149 0.0402 3. Perindustrian 1.2437 1.5718 1.2470 1.2211 1.5397 1.3647 1.1763 1.5973 1.2082 1.2618 1.2519 1.2991 4. Jasa 0.2695 0.2991 0.2669 0.2434 0.2573 0.2672 0.2673 0.3498 0.2510 0.2614 0.3125 0.2884 C hi na 1. Pertanian 0.5094 0.2773 0.1299 0.1216 0.0816 0.2240 0.4902 0.1632 0.1116 0.0862 0.1852 0.2073 2. Pertambangan 0.0267 0.026 0.0621 0.0501 0.0277 0.0385 0.0325 0.0372 0.0575 0.0527 0.0600 0.0480 3. Perindustrian 1.4287 1.7621 1.8162 1.8101 1.7433 1.7121 1.4058 1.9560 1.8738 1.6671 1.8788 1.7563 4. Jasa 0.2900 0.2975 0.3631 0.3677 0.2692 0.3175 0.2870 0.3389 0.5230 0.4455 0.4152 0.4019 keterangan :

008 : makanan, minuman, dan tembakau 011 : pulp, kertas, dan percetakan 009 : tekstil, kulit, dan produk ikutannya 014 : barang dari karet

010 : kayu dan kayu olahan

(23)

akan membuat penerimaan China naik sebanyak 0.0131 dolar. Karena multiplier

efek sebar dihitung dari penggunaan input antara, maka dapat dikatakan bahwa semakin besar angka multiplier antar negara, semakin besar industri mengimpor input antara dari negara yang menerima hal itu.

Singkatnya, industri yang mempunyai multiplier antar negara paling besar menandakan industri tersebut sangat tergantung kepada kebutuhan impor input antara. Dapat juga disebut industri bersangkutan merupakan industri yang berbasis impor, sedangkan kebalikannya adalah industri berbasis domestik. Dengan demikian, industri makanan, minuman dan tembakau di Indonesia adalah industri yang berbasis domestik oleh karena mempunyai multiplier antar negara paling rendah pada tahun 1995, yakni sebesar 0.0050 yang terdistribusi sebesar 0.0015 untuk Thailand dan 0.0035 untuk China. Sedangkan industri tekstil, kulit dan produk ikutannya lebih mengarah kepada basis impor karena mempunyai angka multiplier antar negara paling tinggi dalam tahun yang sama, yaitu sebesar 0.0178 yang tersebar pada perekonomian Thailand 0.0047 dan China 0.0131.

Fenomena yang menarik untuk diamati dari efek sebar antar negara adalah mengenai hubungan simetris keterkaitan ke belakang antar negara pada setiap sektor industri agro. Seperti disajikan dalam Tabel 26 berikut, tampak sektor industri agro Indonesia bila dihadapkan dengan sektor industri agro China, ternyata memberi efek sebar lebih banyak terhadap negara China ketimbang menerima efek sebar dari China.

Sebagai contoh untuk industri makanan, minuman dan tembakau Indonesia dapat memberi efek sebar sebanyak 0.0113 kepada perekonomian China. Namun industri makanan, minuman dan tembakau China hanya memberi

(24)

efek sebar terhadap perekonomian Indonesia sebesar 0.0036. Terlebih lagi untuk industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, dampak ke belakang lebih banyak diberikan oleh negara Indonesia kepada China, yaitu sebesar 0.0395, ketimbang China memberi Indonesia, yakni hanya sebesar 0.0038.

Tabel 26. Hubungan Simetris dalam Efek Sebar Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Tahun 2000

Industri Negara Indonesia Thailand China Total Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Indonesia 1.9012 0.0052 0.0113 1.9178 Thailand 0.0110 1.9163 0.0192 1.9466 China 0.0036 0.0018 2.2102 2.2156 Total 1.9158 1.9233 2.2407 6.0800 Industri Tekstil,

Kulit dan Produk Ikutannya

Indonesia 1.7922 0.0104 0.0395 1.8422 Thailand 0.0144 1.9078 0.0687 1.9909 China 0.0038 0.003 2.4886 2.4953 Total 1.8104 1.9212 2.5968 6.3284 Industri Kayu dan

Kayu Olahan Indonesia 1.8760 0.0037 0.0117 1.8914 Thailand 0.0214 1.4790 0.017 1.5174 China 0.0156 0.0032 2.5471 2.5659 Total 1.913 1.4859 2.5758 5.9747 Industri Pulp, Kertas dan Percetakan Indonesia 1.6275 0.0081 0.0132 1.6488 Thailand 0.0226 1.5146 0.0169 1.5541 China 0.0296 0.0068 2.2151 2.2515 Total 1.6797 1.5295 2.2452 5.4544 Industri Barang dari Karet Indonesia 1.6468 0.0183 0.0222 1.6873 Thailand 0.0130 1.8665 0.0380 1.9175 China 0.0060 0.0031 2.5301 2.5393 Total 1.6658 1.8879 2.5903 6.1441

Namun berbeda dengan Thailand, sepertinya Indonesia lebih diuntungkan karena dampak keterkaitan ke belakang yang lebih besar dari Thailand ke Indonesia dibandingkan Indonesia ke Thailand untuk sebagian besar komoditi industri agro, khususnya dari industri makanan, minuman dan tembakau, industri kayu dan kayu olahan, serta industri barang dari karet. Untuk industri kayu dan

(25)

kayu olahan, dampak ke belakang dari Thailand ke Indonesia adalah sebesar 0.0124, sedangkan dari Indonesia ke Thailand sebesar 0.0037.

Berdasarkan hubungan simetris dari dampak ke belakang antar negara tersebut dapat dikatakan bahwa perkembangan sektor industri agro di negara Indonesia lebih banyak memberi pengaruh terhadap perekonomian China, dibandingkan Thailand. Sebaliknya, perekonomian Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan industri agro di Thailand dibandingkan di China. 5.4.2 Sektor-Sektor Kunci Industri Agro

Dalam studi ini, sektor kunci ditetapkan berdasarkan indeks Rasmussen (1957) yang disebut Power of Dispersion (Daya Penyebaran), dan Sensitivity of

Dispersion (Derajat Kepekaan). Daya penyebaran dan derajat kepekaan

merupakan perbandingan dampak, baik ke belakang maupun ke depan, terhadap rata-rata seluruh dampak sektor, sehingga nilai ini masing-masing sering disebut sebagai backward linkage effect ratio dan forward linkage effect ratio.

Dalam Tabel 27 disajikan besaran indeks Rasmussen untuk sektor industri agro pada negara Indonesia, Thailand dan China di antara tahun 1995 dan tahun 2000. Dimana berdasarkan indeks Rasmussen tersebut, satu-satunya sektor industri agro yang dapat ditempatkan sebagai sektor kunci dalam perekonomian Indonesia pada tahun 1995 adalah industri barang dari karet yang memiliki nilai DP sebesar 1.0505 dan DK sebesar 1.2129. Namun, di tahun 2000 sepertinya telah terjadi transformasi struktur di sektor industri agro, yakni dari industri barang dari karet beralih ke industri makanan, minuman dan tembakau. Karena pada tahun 2000, nilai DP dan DK industri barang dari karet menurun keduanya dan lebih kecil dari satu, sedangkan untuk industri minuman, makanan dan

(26)

tembakau terlihat nilai DP dan DK mengalami peningkatan hingga mencapai lebih besar dari satu, masing-masing sebesar 1.0776 dan 1.0618.

Tabel 27. Indeks Derajat Penyebaran dan Kepekaan Sektor Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Tahun 1995 dan 2000

Negara Sektor Industri Agro

1995 2000 DP DK DP DK Ind one si a

Makanan, minuman, tembakau 0.9212 1.0607 1.0776 1.0618 Tekstil, kulit, produk ikutannya 0.8914 1.066 0.7973 1.0199 Kayu dan kayu olahan 0.7297 1.1017 0.6838 1.0472 Pulp, kertas, dan percetakan 0.9018 1.0077 0.8012 0.9128

Barang dari karet 1.0505 1.2129 0.6161 0.9342

T

ha

il

and

Makanan, minuman, tembakau 1.1654 1.0927 0.9995 1.0777 Tekstil, kulit, produk ikutannya 0.9445 1.0702 0.8451 1.1023 Kayu dan kayu olahan 0.6896 0.8713 0.6404 0.8401 Pulp, kertas, dan percetakan 0.7533 0.8421 0.7716 0.8604

Barang dari karet 0.8827 1.0218 0.6787 1.0616

C

hi

na

Makanan, minuman, tembakau 1.1662 1.269 0.8839 1.2266 Tekstil, kulit, produk ikutannya 1.8857 1.3299 1.6147 1.3815 Kayu dan kayu olahan 0.8567 1.3346 0.7264 1.4206 Pulp, kertas, dan percetakan 1.0669 1.3224 1.0059 1.2465

Barang dari karet 0.8023 1.1942 0.7445 1.4059

keterangan:

008 : Makanan, minuman, dan tembakau DP : Derajat Penyebaran 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya DK : Derajat Kepekaan 010 : Kayu dan produk olahannya

011 : Pulp, kertas, dan percetakan 014 : Produk karet

Adapun untuk sektor industri agro yang lain seperti industri kayu dan barang dari kayu, industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, serta industri pulp, kertas dan percetakan, ketiganya hanya dapat memberi dampak multiplier dari sisi

(27)

akhir. Sedangkan dari sisi supply, pengaruhnya kecil untuk mendorong kenaikan produksi di sektor-sektor lain dalam perekonomian secara menyeluruh. Semua kondisi ini telah digambarkan dengan nilai DP yang rendah dan lebih kecil dari satu, serta nilai DK yang lebih besar dari satu. Contohnya untuk industri tekstil, kulit dan produk ikutannya mempunyai nilai DP sebesar 0.8914 dan DK sebesar 1.0670 pada tahun 1995. Begitu juga pada tahun 2000, keadaanya tidak berubah. Untuk sektor-sektor yang mempunyai ciri seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai sektor kunci, karena tidak mampu memberi multiplier terhadap perekonomian.

Perkembangan industri agro di Thailand tidak lebih baik dibandingkan Indonesia. Bahkan negara tersebut tidak dapat mempertahankan keberadaan sektor kunci dari industri agro di tahun 2000. Seperti yang disajikan dalam Tabel 29, pada tahun 1995 sebenarnya ada sektor industri agro yang masuk dalam kelompok sektor kunci yakni industri makanan, minuman dan tembakau karena memiliki nilai DP dan DK yang lebih besar dari satu, masing-masing sebesar 1.1654 dan 1.0927. Pada tahun 2000, sudah tidak ada lagi sektor industri agro yang menjadi sektor kunci bagi perekonomian negara Thailand, karena seluruh sektor industri agro mempunyai nilai DP dan DK yang lebih kecil dari satu. Sama seperti di Indonesia, semua sektor industri agro di Thailand sepertinya memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap sisi demand saja, yang diindikasikan dengan nilai DP yang lebih kecil dari satu, dan nilai DK lebih besar dari satu.

Tidak seperti Indonesia dan Thailand, terlihat China selalu berhasil menempatkan sektor industri agro lebih banyak sebagai sektor kunci dalam perekonomiannya. Misalkan pada tahun 1995, ada tiga sektor industri agro yang telah menjadi sektor kunci, yakni: (1) Industri makanan, minuman dan tembakau

(28)

dengan nilai DP sebesar 1.1662 dan DK sebesar 1.2690, (2) Industri tekstil, kulit dan produk ikutannya dengan nilai DP sebesar 1.8857 dan DK sebesar 1.3299, dan terakhir (3) Industri pulp, kertas, dan percetakan dengan nilai DP sebesar 1.0669 dan DK sebesar 1.3224. Meski pada tahun 2000 terjadi pengurangan sektor industri agro yang menjadi sektor kunci, namun China masih dapat mempertahankan dua sektor industri agronya tetap menjadi sektor kunci, yakni industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, serta industri pulp, kertas dan percetakan.

Sepertinya sudah merupakan suatu karakteristik tersendiri bahwa sektor industri agro itu mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap sisi demand. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia dan Thailand, sektor industri agro di China pada umumnya juga memberi dampak paling besar dari sisi demand, situasi ini ditunjukkan dengan lebih tingginya nilai DK dari angka satu untuk seluruh sektor industri agro. Sementara untuk sebagian besar sektor industri agro mempunyai nilai DP yang kurang dari satu.

5.5. Struktur Permintaan Sektor Industri Agro

Aktifitas permintaan dalam kerangka dasar I-O antar negara dapat dipilah menjadi dua bagian besar yakni permintaan input antara dan permintaan akhir, dimana masing-masing permintaan dapat dilihat lebih jauh berdasarkan asal negara tujuan dan sektoral. Permintaan akhir dapat dipecah menjadi empat kelompok sumber permintaan yang meliputi konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah, investasi (kapital dan perubahan stok kapital) dan ekspor.

Pada pembahasan ini, analisis struktur permintaan antara atau intermediate input sektor industri agro Indonesia ditelusuri dari tiga negara yang menjadi

(29)

negara pembandingan dalam penelitian ini yakni Indonesia, Thailand dan China, sedangkan untuk struktur permintaan akhir, sumbernya hanya dilihat secara agregat tanpa membaginya kepada masing-masing negara. Meskipun sumber-sumber permintaan akhir sebenarnya dapat diamati berdasarkan negara tujuan, namun hal itu tidak dilakukan karena pendalaman struktur permintaan lebih mengutamakan bagaimana peranan sektor industri agro Indonesia dalam menunjang kelangsungan produksi negara lain, khususnya negara Thailand dan China, sehingga pembagian sumber permintaan akhir menurut masing-masing negara tidak perlu dilakukan. Selengkapnya struktur permintaan input antara sektor industri agro di Indonesia pada tahun 1995 dan 2000 dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Permintaan Input Antara Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan Tahun 2000

Tahun Kode

Sektor

Domestik Thailand China Total Input

US$ % US$ % US$ % US$ %

1995 008 12 560 144 99.46 27 801 0.22 40 242 0.32 12 628 187 100.00 009 7 116 899 98.46 58 285 0.81 53 387 0.74 7 228 571 100.00 010 4 534 859 93.02 1 091 0.02 338 970 6.95 4 874 920 100.00 011 4 737 678 96.21 38 493 0.78 148 385 3.01 4 924 556 100.00 014 3 998 971 98.75 948 0.02 49 481 1.22 4 049 400 100.00 Total 32 948 551 97.75 126 618 0.38 630 465 1.87 33 705 634 100.00 2000 008 10 616 763 98.36 70 805 0.66 105 898 0.98 10 793 466 100.00 009 4 370 405 95.45 71 942 1.57 136 210 2.97 4 578 557 100.00 010 1 862 210 88.34 10 023 0.48 235 820 11.2 2 108 053 100.00 011 3 175 342 81.66 38 870 1.00 674 427 17.3 3 888 639 100.00 014 1 013 049 99.32 2 879 0.28 4 051 0.4 1 019 979 100.00 Total 21 037 769 93.97 194 519 0.87 1 156 406 5.17 22 388 694 100.00 keterangan:

008 : Makanan, minuman, dan tembakau 011 : Pulp, kertas, percetakan 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 014 : Produk karet

(30)

010 : Kayu dan produk olahannya US$ : dalam ribuan

Tabel 28 tersebut dapat dibaca dengan dua cara, yakni: (1) dari sisi lajur baris yang menggambarkan penyebaran output suatu produk industri agro untuk memenuhi permintaan antara yang berasal dari negara Indonesia sendiri, Thailand dan China, dan (2) dari sisi lajur kolom yang menunjukkan komposisi permintaan antara berdasarkan output industri agro yang dihasilkan negara Indonesia untuk masing-masing negara tujuan. Jika kita perhatikan pada lajur baris, terlihat bahwa dari rata-rata total output sektor industri agro Indonesia pada tahun 1995 sebesar US$ 33 705.63 juta lebih banyak didistribusikan untuk memenuhi permintaan antara Indonesia sendiri, yakni sekitar 97.7 persen. Sedangkan sisanya sebesar 2.25 persen dipasarkan ke luar negeri untuk memenuhi permintaan antara negara-negara lain, yaitu di Thailand sebesar 0.38 persen dan China sebesar 1.87 persen. Pada tahun 2000, proporsinya berubah menjadi 93.97 persen atau US$ 21 037.77 juta untuk memenuhi permintaan antara negara Indonesia sendiri, 0.87 persen untuk permintaan antara negara Thailand dan 5.17 persen untuk China.

Masih dalam lajur baris, jika diperhatikan pada tahun 1995 dan 2000 tampaknya tidak ada perubahan intensitas perdagangan output industri agro negara Indonesia ke Thailand dan China. Pada tahun 1995, distribusi output sektor industri agro Indonesia untuk memenuhi kebutuhan input antara di negara China lebih besar dibandingkan negara Thailand, yakni 1.87 persen berbanding 0.38 persen. Selanjutnya pada tahun 2000, posisinya tetap tidak berubah, negara China masih pengimpor output industri agro Indonesia lebih besar dibandingkan Thailand, yakni 5.17 persen berbanding 0.87 persen. Dalam dua periode tersebut terlihat juga ada peningkatan persentase jumlah komoditi industri agro Indonesia

(31)

yang dipasarkan ke Thailand dan China. Berdasarkan kondisi arus perdagangan seperti ini maka dapat dikatakan bahwa perdagangan bilateral komoditi industri agro Indonesia lebih kuat ke China dibanding ke Thailand.

Terjadi peningkatan persentase permintaan antara di Thailand dan China tahun 2000 pada produk agribisnis Indonesia. Demikian juga nilai impor Thailand dan China pada produk industri agro Indonesia terus meningkat dari US$ 126 618 juta dan US$ 630 465 juta di tahun 1995 menjadi US$ 194 519 juta dan US$ 1,156 406 juta di tahun 2000.

Sektor industri di China tampak lebih banyak menggunakan output industri kayu dan olahan kayu, serta industri pulp, kertas dan percetakan dari Indonesia dibandingkan output sektor industri agro yang lain, baik itu pada tahun 1995 maupun tahun 2000. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 28 dengan cara membaca lajur kolom. Pada tahun 1995, dari total output antara komoditi industri agro yang diminta China dari negara Indonesia sebesar US$ 630.47 juta, sekitar 53.77 persen merupakan produk industri kayu dan olahan kayu. Kemudian di tahun 2000 terjadi perubahan struktur permintaan antara di China atas komoditi industri agro Indonesia, yakni dari komoditi industri kayu dan olahan kayu beralih ke komoditi industri pulp, kertas dan percetakan. Pada Tabel 28 terlihat jelas komposisi ekspor industri agro Indonesia ke China pada tahun 2000 didominasi oleh produk industri pulp, kertas dan percetakan, yakni sekitar 58.32 persen.

Untuk Thailand sepertinya permintaan antara dari komoditi industri agro Indonesia yang berupa tekstil, kulit dan produk ikutannya selalu mendominasi preferensi permintaan input antara negara tersebut. Pada tahun 1995, kontribusi output industri tekstil, kulit dan produk ikutannya mencapai 46.03 persen dari

(32)

seluruh output industri agro Indonesia yang diminta oleh Thailand. Kemudian di tahun 2000, meskipun mengalami penurunan persentase menjadi 36.98 persen, akan tetapi proporsinya masih tetap lebih tinggi dibandingkan produk industri agro lain.

Konsep teoritis Keynes mengenai agregate expenditure menjadi salah satu komponen paling penting dalam struktur I-O, termasuk I-O antar negara yang digunakan dalam studi ini. Agregate expenditure yang terdiri atas konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor dalam struktur I-O dikenal dengan nama final demand atau permintaan akhir yang biasa digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mengetahui dampak pengembangan suatu sektor ekonomi terhadap sektor lainnya dan perekonomian secara menyeluruh. Tabel 29. Struktur Permintaan Akhir Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan

Tahun 2000

Tahun Sektor Kode

Konsumsi Rumah

Tangga Domestik Investasi Ekspor

Total Output per Kode

US$ % US$ % US$ % US$ %

1995 008 41 871 451 93.49 1 527 519 3.41 1 388 887 3.10 44 787 857 100 009 7 994 113 64.13 148 745 1.19 4 323 355 34.68 12 466 213 100 010 3 998 010 72.79 75 975 1.38 1 418 335 25.82 5 492 320 100 011 1 043 998 63.82 17 721 1.08 574 016 35.09 1 635 735 100 014 1 905 541 71.05 (25 499) -0.95 801 909 29.90 2 681 951 100 Total 56 813 113 84.71 1 744 461 2.60 8 506 502 12.68 67 064 076 100 2000 008 26 166 184 92.97 4 183 0.01 1 975 769 7.02 28 146 136 100 009 6 015 332 54.56 83 348 0.76 4 926 566 44.68 11 025 246 100 010 2 777 038 58.79 81 340 1.72 1 865 176 39.49 4 723 554 100 011 1 482 523 53.72 33 747 1.22 1 243 254 45.05 2,759,524 100 014 493 055 54.35 (3 390) -0.37 417 450 46.02 907 115 100 Total 36 934 132 77.66 199 228 0.42 10 428 215 21.93 47 561 575 100 keterangan:

008 : Makanan, minuman, dan tembakau 011 : Pulp, kertas, dan percetakan 009 : Tekstil, kulit, dan produk turunannya 014 : Produk karet

(33)

Dari struktur permintaan akhir sektor industri agro di Indonesia pada tahun 1995 dan 2000 sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 29, tampak jelas bahwa keberlangsungan produk industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau sangat bergantung kepada permintaan konsumsi rumahtangga domestik yakni sekitar 93 persen dari seluruh output yang disediakan untuk memenuhi permintaan akhir pada tahun 1995 dan 2000, yang berarti sisanya sekitar 7 persen disebar untuk memenuhi permintaan akhir investasi dan ekspor.

Di lain pihak output sektor industri agro selain makanan, minuman dan tembakau di tahun 1995, lebih banyak disalurkan untuk memenuhi permintaan akhir konsumsi domestik dan ekspor. Sebagai contoh industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, dari jumlah output yang disediakan untuk memenuhi permintaan akhir sebesar US$12 466.21 juta pada tahun 1995 sekitar 64.13 persen adalah untuk konsumsi domestik, dan 34.68 persen untuk kebutuhan ekspor. Kemudian industri kayu dan olahan kayu sekitar 72.79 persen outputnya disalurkan kepada konsumsi domestik, dan 25.82 persen untuk kebutuhan ekspor.

Jika diperhatikan pada lajur kolom, untuk komponen konsumsi rumahtangga domestik tahun 1995 dan tahun 2000 terlihat yang paling besar memberi kontribusinya adalah industri makanan, minuman dan tembakau, yakni lebih dari 70 persen output industri agro yang disalurkan kepada pemenuhan kebutuhan konsumsi domestik. Menyusul kemudian industri tekstil, kulit dan produk ikutannya sebesar lebih dari 14 persen. Lain halnya dengan komponen ekspor, sepertinya yang memegang kontribusi terbesar adalah industri tekstil, kulit dan produk ikutannya dengan lebih dari 47 persen. Struktur investasi industri agro

(34)

di Indonesia pada tahun 1995 berada pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau.

5.6. Struktur Penggunaan Input Antara dan Input Primer

Dalam melakukan aktivitas produksi sangat dibutuhkan input yang akan diproses untuk menghasilkan output. Input produksi terdiri atas bahan baku, modal, tenaga kerja, lahan, dan kewiraswastaan atau enterpreneurship. Kelima input ini jika dituangkan ke dalam struktur I-O standar menjadi pengeluaran untuk pembiayaan input antara, upah, penyusutan (depresiasi), surplus usaha (keuntungan perusahaan), dan ditambah satu komponen pengeluaran input lainnya yakni pajak tidak langsung. Empat input yang disebutkan terakhir di kelompokkan menjadi input primer yang merupakan nilai tambah yang diterima oleh masyarakat, dan secara teoritis penjumlahan keempat input tersebut adalah merupakan salah satu metode penghitungan nilai tambah (pendapatan nasional) berdasarkan pendekatan pendapatan (income approach).

Pada I-O antar negara Indonesia, Thailand dan China pengeluaran input dari suatu sektor industri agro di Indonesia dapat didisagregasi menjadi empat komponen yang meliputi, input antara (intermediate input), biaya angkutan dan asuransi (international freight insurance), pajak impor (duties and import sale tax), dan input primer (primary input). Kemudian input antara itu sendiri dapat dibagi menurut asalnya, yakni input antara yang berasal dari domestik (negara Indonesia), Thailand, China dan negara lainnya. Sedangkan input primer atau nilai tambah dapat dipilah menjadi upah dan gaji (wages and salary), surplus operasi (operating surplus) atau keuntungan perusahaan, penyusutan modal

(35)

(depreciation of fixed capital), dan pajak tidak langsung (indirect taxes). Selengkapnya seluruh jenis input ini dapat dilihat pada Tabel 30 dan Tabel 31.

Apabila dilihat lajur baris, jenis input yang paling banyak digunakan oleh sektor industri agro di Indonesia adalah input antara atau bahan baku. Pada Tabel 30 terlihat bahwa ada dua sektor industri agro yang paling banyak menggunakan input antara yang berasal dari produksi domestik dibandingkan produk antara yang diimpor adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, serta industri kayu dan olahan kayu. Input antara yang digunakan oleh kedua industri ini sekitar 88.85 persen hingga 96.26 persen merupakan input yang berasal dari produksi domestik, dan sisanya antara 3.74 persen hingga 11.15 persen diimpor dari Thailand, China, dan negara-negara lainnya. Pada sektor industri agro lainnya, penggunaan persentase input antara domestik tampak lebih rendah, yaitu kurang lebih sekitar 61.90 hingga 95.11 persen, dimana yang paling rendah menggunakan input antara domestik adalah industri pulp, kertas dan percetakan yakni hanya 80.41 persen di tahun 1995, dan 61.90 persen di tahun 2000.

Melihat komposisi asal input antara yang digunakan selama ini, dapat disampaikan kesimpulan bahwa sektor industri agro yang paling tinggi kadar local content atau muatan lokalnya adalah industri makanan, minuman, dan tembakau, serta industri kayu dan kayu olahan. Sementara yang paling rendah adalah industri pulp, kertas dan percetakan. Selanjutnya, bila asal input antara yang digunakan hanya difokuskan pada negara Thailand dan China, ada indikasi kuat saat ini bahwa sektor industri agro Indonesia lebih mengutamakan impor input antara dari China ketimbang Thailand. Dalam tahun 1995 dan 2000, rata-rata input antara yang di impor dari China untuk memenuhi kebutuhan produksi industri agro

(36)

Tabel 30. Penggunaan Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000

(US$ 1,000) Input

Makanan, minuman, dan tembakau

Teksti, kulit, dan turunannya

Kayu dan produk olahannya

Pulp, kertas,dan

percetakan Produk Karet Total Input Industri agro

1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 A. Input Antara 37 423 120 25 319 267 12 574 798 9 970 648 6 832 919 4 372 295 3 888 406 4 243 811 4 112 865 1,=217,868 64,832,108 45,123,889 a. Domestik 35 882 785 23 353 731 9 866 066 7 291 280 6 577 477 3 884 976 3 126 706 2 627 024 3 911 948 851,720 59,364,982 38,008,731 % a terhadap A 95.88% 92.24% 78.46% 73.13% 96.26% 88.85% 80.41% 61.90% 95.11% 69.94% 91.57% 84.23% b. Thailand 31 483 76 593 33 960 63 100 3 699 8 809 7 796 24,758 5 586 19,805 82,524 193,065 c. China 32 006 124 411 62 892 189 848 5 985 19 667 8 128 23,499 8 928 12,224 117,939 369,649 d. Negara Lainnya 1 476 846 1 764 532 2 611 880 2 426 420 245 758 458 843 745 776 1 568 530 186 403 334,119 5,266,663 6,552,444 % (b+c+d) terhadap A 4.12% 7.76% 21.54% 26.87% 3.74% 11.15% 19.59% 38.10% 4.89% 30.06% 8.43% 15.77%

B. Biaya Asuransi &

Pengapalan 55 589 63 927 129 897 112 405 11 267 15 448 20 318 48 935 10 551 17,598 227,622 258,313

C. Pajak Impor & Pabean 60 089 71 579 134 048 93 161 23 206 16 224 49 399 26,364 13 773 21,562 280,515 228,890

D.Input Primer 19 877 246 13 484 829 6 856 041 5 427 589 3 499 848 2 427 640 2 602 168 2 329 053 2 594 162 670,066 35,429,465 24,339,177

a. Gaji dan Upah 4 884 052 3 616 031 2 239 598 1 916 831 959 638 688 400 685 928 685 108 1 232 700 334,069 10,001,916 7,240,439

b. Profit 10 751 630 6 553 317 3 373 019 2 617 985 1 915 732 1 371 836 1 670 471 1 379 692 1 051 214 272,942 18,762,066 12,195,772

c. Penyusutan 1 493 623 974 586 894 237 642 961 535 403 316 374 150 892 165 120 203 280 41,639 3,277,435 2,140,680

d. Pajak Tak Langsung 2 747 941 2 340 895 349 187 249 812 89 075 51 030 94 877 99 133 106 968 21,416 3,388,048 2,762,286

Total Input per Sektor 57 416 044 38 939 602 19 694 784 15 603 803 10 367 240 6 831 607 6 560 291 6 648 163 6 731 351 1 927 094 100 769 710 69 950 269

(37)

Tabel 31. Komposisi Input Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000 ( %) Input Makanan, minuman, dan tembakau

Teksti, kulit, dan turunannya

Kayu dan produk olahannya

Pulp, kertas,dan

percetakan Produk Karet

Total Input Industri agro 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 1995 2000 A. Input Antara 65.18 65.02 63.85 63.9 65.91 64.00 59.27 63.83 61.1 63.2 64.34 65.18 a. Domestik 62.50 59.97 50.09 46.73 63.44 56.87 47.66 39.52 58.12 44.20 58.91 62.50 b. Thailand 0.05 0.20 0.17 0.40 0.04 0.13 0.12 0.37 0.08 1.03 0.08 0.05 c. China 0.06 0.32 0.32 1.22 0.06 0.29 0.12 0.35 0.13 0.63 0.12 0.06 d. Negara Lainnya 2.57 4.53 13.26 15.55 2.37 6.72 11.37 23.59 2.77 17.34 5.23 2.57

B.Asuransi & angkutan 0.10 0.16 0.66 0.72 0.11 0.23 0.31 0.74 0.16 0.91 0.23 0.10

C. Pajak Impor & Pabean 0.10 0.18 0.68 0.60 0.22 0.24 0.75 0.40 0.20 1.12 0.28 0.10

D.Input Primer 34.62 34.63 34.81 34.78 33.76 35.54 39.67 35.03 38.54 34.77 35.16 34.62

a. Gaji dan Upah 8.51 9.29 11.37 12.28 9.26 10.08 10.46 10.31 18.31 17.34 9.93 8.51

b. Profit 18.73 16.83 17.13 16.78 18.48 20.08 25.46 20.75 15.62 14.16 18.62 18.73

c. Penyusutan 2.60 2.50 4.54 4.12 5.16 4.63 2.30 2.48 3.02 2.16 3.25 2.60

d. Pajak Tak Langsung 4.79 6.01 1.77 1.60 0.86 0.75 1.45 1.49 1.59 1.11 3.36 4.79

Total Input per Sektor 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber : Asian International Input-Output Table 1995 dan 2000 (diolah)

(38)

Indonesia sekitar 0.50 persen, sementara dari Thailand kurang lebih 0.28 persen. Dari Tabel 31 tampak bahwa pembiayaan impor yang berupa CIF (Cost Insurance and Freight) lebih banyak keluar dari industri tekstil, kulit dan produk ikutannya, yakni rata-rata 0.69 persen pada tahun 1995 dan 2000 dari total biaya input pada industri tersebut. Akan tetapi untuk pengeluaran pajak impor, ternyata industri barang dari karet adalah yang terbesar dalam kelompok industri agro Indonesia, yaitu rata-rata 0.66 persen untuk tahun 1995 dan 2000.

Sebagian besar sektor industri agro negara Indonesia memberi nilai tambah (input primer) yang sama besar proporsinya dalam struktur input yang digunakan, rata-rata mencapai 34.89 persen pada tahun 1995 dan 2000. Paling besar proporsinya adalah industri pulp, kertas dan percetakan di tahun 1995, yaitu sebesar 39.67 persen, serta industri kayu dan produk olahannya di tahun 2000 yaitu sebesar 35.54 persen.

Pemberian nilai tambah dari sektor industri agro ini ternyata lebih banyak tercurah pada surplus operasi yang menjadi keuntungan dari para pemilik modal, sedangkan tenaga kerja menerima nilai tambah lebih sedikit. Sebagai misal pada tahun 2000, andil industri pulp, kertas dan percetakan dalam menciptakan nilai tambah tenaga kerja hanya sekitar 10.31 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan seluruh input, sedangkan pemilik modal yang mendapat surplus operasi kebagian 20.75 persen. Kondisi yang berbeda jika diperhatikan pada industri barang dari karet, yang mampu memberi nilai tambah tenaga kerja paling besar diantara semua sektor industri agro yaitu sebesar 17.34 persen dari total biaya input di tahun 2000.

(39)

Masih dari Tabel 31 terlihat bahwa dari seluruh komponen pembiayaan input sektor industri agro di Indonesia lebih banyak disumbangkan oleh industri makanan, minuman dan tembakau, baik itu berupa pengeluaran untuk input antara, pembiayaan impor, maupun input primer. Misalkan untuk input antara, kontribusi industri ini pada total biaya input antara sektor industri agro adalah sebesar 65.18 persen untuk tahun 1995, dan sebesar 65.02 persen untuk tahun 2000. Kemudian pada pengeluaran input primer, industri pulp, kertas, dan percetakan menjadi yang terbesar di sektor industri agro dengan kontribusinya sebesar 39.67 persen di tahun 1995, dan 35.03 persen di tahun 2000.

5.7. Dekomposisi Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro

Dalam pembahasan ini, hanya sektor-sektor industri yang berbasis pertanian saja yang ditelusuri perubahan strukturnya menggunakan analisis dekomposisi. Meskipun dalam perhitungan sebenarnya telah didekomposisi semua pertumbuhan sektor ekonomi yang tercantum dalam I-O antar negara.

Trend waktu yang digunakan untuk mengamati perubahan struktur adalah tahun 1995 dan tahun 2000. Tahun 1995 merupakan initial year, sedangkan tahun 2000 merupakan current year. Selisih nilai output diantara kedua waktu tersebut didekomposisi ke dalam empat faktor penyebab perubahan, yakni: (1) expansion of domestic final demands, (2) expansion of international exports, (3) changes in international import proportions, and (4) changes in input-output coefficients. Dengan mengadopsi teknik perhitungan dekomposisi untuk model I-O bilateral yang telah diterangkan di atas, pada Tabel 32 disajikan dekomposisi struktural sektor industri agro untuk Indonesia, Thailand dan China.

(40)

Tabel 32. Sumber-Sumber Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Agro Berdasarkan Persentase Terhadap Total Pertumbuhan Sektor Industri Agro Tahun 1995-2000 ( %) Sektor DD EE IS IO Total Indone si a

Makanan, minuman, dan tembakau 83.14 -13.25 8.17 -10.64 67.42 Tekstil, kulit, dan produk ikutannya 8.89 -19.89 9.91 5.94 4.85

Kayu dan kayu olahan 2.96 -1.35 2.67 8.72 13.00

Pulp, kertas, dan percetakan 3.44 -13.32 5.86 0.41 -3.61

Barang dari karet -0.67 3.58 33.73 -18.30 18.34

Total Indonesia 97.77 -44.22 60.33 -13.88 100.00 T ha il a nd

Makanan, minuman, dan tembakau 21.44 -75.71 17.04 47.51 10.29 Tekstil, kulit, dan produk ikutannya 34.25 3.82 -13.47 42.34 66.94

Kayu dan kayu olahan 11.07 -9.86 4.75 7.91 13.86

Pulp, kertas, dan percetakan 0.73 -20.46 -1.46 2.84 -18.35

Barang dari karet 3.14 -0.34 20.47 3.99 27.25

Total Thailand 70.64 -102.56 27.33 104.59 100.00

Chi

na

Makanan, minuman, dan tembakau 23.69 25.32 3.13 -11.68 40.46 Tekstil, kulit, dan produk ikutannya -3.57 61.15 2.64 -17.43 42.79

Kayu dan kayu olahan 3.50 3.06 0.06 -9.06 -2.43

Pulp, kertas, dan percetakan 5.69 12.95 -3.43 -1.40 13.81

Barang dari karet 2.41 5.37 -0.99 -1.41 5.38

Total China 31.72 107.84 1.42 -40.98 100.00 keterangan :

DD : Expansion of domestic final demands

EE : Expansion of international exports

IS : Changes in international import proportions

IO : Changes in input-output coefficients

Terlihat dengan jelas pada Tabel 32 dan Gambar 6 bahwa sumber pertumbuhan sektor industri agro Indonesia dalam kurun waktu 1995 dan 2000 tidak mempunyai pola yang jelas kecuali industri makanan, minuman dan tembakau yang pertumbuhannya terutama karena adanya dorongan domestic demand akibat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tinggi.

(41)

Gambar 6. Radar Chart Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Agro Indonesia Tahun 1995 dan 2000

Andil domestic demand terhadap perubahan struktur industri agro Indonesia diperkirakan sebesar 97.77 persen, yang paling banyak disumbangkan oleh industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 83.14 persen. Industri makanan, minuman dan tembakau menjadi andalan bagi perubahan domestic demand di sektor industri agro Indonesia. Setelah domestic demand, faktor pendorong pertumbuhan sektor industri agro lainnya di Indonesia adalah perubahan dalam subtitusi impor atau changes in international import proportions

yang memberi kontribusi terhadap penciptaan perubahan nilai output industri agro sebesar 60.33 persen, terutama diperoleh dari sektor industri barang dari karet sebesar 33.37 persen.

Sumber pertumbuhan industri agro Indonesia khususnya industri makanan, minuman dan tembakau yang berasal dari domestic demand yang disertai perubahan proporsi substitusi impor menjadi bukti pengaruh produk impor dalam konsumsi masyarakat Indonesia yang terus meningkat.

Dua faktor perubahan lainnya, yaitu promosi ekspor (expansion of

international exports) dan kemajuan teknologi (changes in input-output

DD EE IS IO AG008 AG'009 AG010 AG011 AG014

Gambar

Tabel 14. Komposisi Input  Antara Asal Domestik dan Impor Sektor Industri       Indonesia Tahun 2000
Tabel 15. Daya Saing Industri Agro di Indonesia, Thailand dan China Berdasarkan     Index of International Competitiveness Tahun 1995 dan 2000
Tabel 16.  Peringkat Daya Saing  Sektor  Industri  Agro  di Indonesia, Thailand dan   China Berdasarkan Perubahan IIC Tahun 1995 dan 2000
Tabel 17.  Peringkat  Produk  Sektor  Industri Agro  di  Indonesia,    Thailand dan  China Berdasarkan Perubahan Pangsa Pasar Tahun 1995 dan 2000
+7

Referensi

Dokumen terkait

banyak berdiri bangunan kolonial baik dalam kategori kawasan utama yang paling prioritas maupun kawasan lain baik kota maupun pedesaan yang dapat menjadi bahan pertimbangan

Bertujuan untuk mengetahui proses dan type difusi yang terjadi pada industri batik di kecamatan Laweyan, mengetahui pola keterkaitan dalam usaha industri batik dan

Rendahnya nilai pengembangan tebal dikarenakan selama proses hot-press, menyebabkan contoh uji mengalami pengurangan serapan serat lignoselulosa terhadap kelembaban

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perbedaan metode ekstraksi mempengaruhi perolehan kadar fenolat dan aktivitas antioksidan daun

Jadi perubahan yang terjadi pada daya lenting kawat ortodontik stainless steel finger spring disebabkan oleh korosi yang diakibatkan oleh naiknya temperatur bukan dari sifat

Berdasarkan pengujian yang dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur modal memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan karena t hitung

Hal ini menggambarkan bahwa Gaya Kepemimpinan pada Setda Kabupaten Sumba Tengah dengan orientasi Hubungan Manusia dalam hal menciptakan suasana kerja yang sama,

Jika ditambah dengan pengolahan kayu (4 hari) dan penyaradan kayu ke luar kawasan (6 hari) maka hanya dalam waktu 14 hari, 10 orang pekerja kayu dapat menghabiskan 1 hektar