• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Fusarium oxysporum f. sp. cubense (FOC) Deskripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Fusarium oxysporum f. sp. cubense (FOC) Deskripsi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Fusarium oxysporum f. sp. cubense (FOC) Deskripsi

Fusarium oxysporum f. sp. cubense (E. F. Smith) Wollenw merupakan cendawan patogenik tumbuhan dari spesies Fusarium oxysporum Schl., genus Fusarium (Link ex Fr.) (Booth 1985) yang merupakan anamorphig stage dan Gibberella sebagai teleomorphic group. Fusarium oxysporum termasuk ke dalam subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes, ordo Hyphales (Moniliales), genus Fusarium (Agrios 1996).

F. oxysporum mempunyai koloni pada media OA atau PDA (250 C) mencapai diameter 3,5-5,0 cm. Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat permukaan medium. Sporodokhia terbentuk hanya pada beberapa strain. Konidiofor dapat bercabang atau tidak, dan membawa monofialid. Mikrokonidia bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat banyak, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk avoid-elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok, dan berukuran (5,0-12,0)x(2,2-3,5) µm. Makrokonidia hanya terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3, dan berukuran (27-46)x3,0-4,5µm. Khlamidospora terdapat dalam hifa atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus hingga agak kasar, berbentuk semi bulat dengan diameter 5,0x15 µm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal. Spesies ini kosmopolit dan termasuk saprofit tanah tetapi dapat bersifat patogen pada banyak tumbuhan, mempunyai arti ekonomi penting dan dapat tumbuh dalam lingkungan anaerob (Gandjar 1999).

(2)

Gejala Penyakit

Layu pada tanaman pisang dapat disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense dan bakteri Ralstonia solanacearum f. sp. selebensis. Kedua patogen ini dapat dijumpai pada batang tanaman sakit secara bersamaan atau tunggal. Patogen F. oxysporum umumnya menyerang tanaman sejak umur tanaman masih muda sedangkan R. solanacearum gejala penyakit yang jelas nampak pada stadia generatif. Jika bonggol batang dipotong akan mengeluarkan cairan seperti lendir yang berwarna kemerah-merahan yang merupakan oose bakteri (Suastika 2005).

Fusarium oxysporum (Fo) memiliki lebih dari 120 forma spesialis (f. sp.) (Agrios 2005). Fo. cubense (FOC) merupakan strain yang menyebabkan penyakit Panama (layu vaskular) pada pisang dan abaca (Booth 1985). Beberapa forma spesialis, asosiasi paling utama yaitu dengan penyakit akar atau umbi dari pada penyakit layu pembuluh. Fusarium termasuk ke dalam patogen tanaman yang dapat menular melalui tanah (soil borne). Cedawan ini dapat bertahan dalam tanah sebagai miselium atau spora tanpa adanya inang. Jika terdapat inang maka akan menginfeksi akar, masuk ke jaringan vaskular (xylem) akan menyebar dan memperbanyak diri, dan akan menyebabkan inang mengalami kelayuan (Agrios 2005) karena sistem pembuluh tersumbat (Anonim 2008).

Cendawan mengadakan infeksi melalui akar. Menurut Hwang (1980) cendawan tidak dapat menginfeksi batang atau akar-rimpang meskipun bagian ini dilukai. Nematoda (Radopholus similis) membantu dalam infeksi Fusarium. Gejala layu Fusarium yaitu pada daun-daun bagian bawah berwarna kuning orange lalu menjadi cokelat dan mengering, tangkai daun patah di sekeliling batang palsu. Gejala lain pada organ daun yaitu perubahan bentuk dan ukuran ruas daun yang baru muncul lebih pendek. Kadang-kadang lapisan luar batang terbelah dari permukaan tanah. Gejala yang paling khas adalah gejala pada bagian dalam. Jika pengkal batang dibelah membujur, terlihat garis-garis cokelat kehitaman menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah warnanya, namun seringkali akar tanaman sakit berwarna hitam dan membusuk. Tergantung dari keadaan tanaman dan lingkungannya. Gejala penyakit layu

(3)

Fusarium dapat sangat bervariasi dan dapat mulai tampak pada tanaman pisang yang berumur 5-10 bulan (Semangun; AOI 2007). Pada bibit tanaman pisang dalam invitro, gejala layu Fusarium dapat menyebabkan tunas mati yang pada awalnya menunjukkan gejala busuk pada pangkal batang kemudian menjalar ke bagian atas dan berwarna coklat kehitaman (Sukmadjadja et al. 2002).

Ras dan Persebaran

Penyakit layu Fusarium pertama kali ditemukan menjadi endemik di daerah Panama pada tahun 1890 yang kemudian menghancurkan pertanaman pisang varietas Gros Michel (AAA) di Amerika Tengah dan Caribbean pada tahun 1950 dan 1960 sekarang penyakit ini sudah banyak ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. Patogen Panama mempunyai 4 ras yaitu ras 1 menyebabkan epidemi pada kultivar Gros Michel dan juga menyebabkan penyakit pada Maqueno (genom AAB), Silk (AAB), Pome (AAB), Pisang Awak (ABB), dan hasil hibrida “I.C.2” (AAAA). Ras 2 menyebabkan penyakit pada jenis pisang masak seperti kultivar Bluggoe (ABB), dan keturunan tetraploid. Ras 3 menyerang pada Heliconia spp. Di daerah tropis ras 4 paling virulen yang menyerang pisang jenis Cavendish. Ras 4 umumnya menyerang pada tanaman di daerah dengan suhu dingin, stress air dan pada tanah yang miskin unsur hara (Daly, Walduck & Darwin 2006). Ras 4 akan merugikan pada kultivar Cavendish dan pisang kultivar yang lain yang sebelumnya resisten terhadap ras 1 dan 2. Di Indonesia ras 4 dilaporkan di daerah Halmahera, Irian Jaya, Jawa, dan Sumatera. Kecepatan penyebaran penyakit (epidemi) layu Fusarium dapat mencapai 100 km per tahun (Dir PTH 2007).

FOC didalam tanah di sebarkan oleh aliran air, dan alat-alat serta mesin pertanian. Klon tanaman yang rentan tidak dapat ditanam kembali hingga 30 tahun pada tanah yang sudah terinfeksi FOC. Di dalam tanah FOC bertahan sebagai parasit pada tanaman gulma yang bukan inangnya. Ujung akar atau bagian permukaan rizoma yang luka merupakan daerah awal utama dari infeksi (Ploetz 2003).

(4)

Pengendalian Layu Fusarium

Beberapa pengendalian yang dapat dilakukan untuk mencegah perkembangan cendawan Fusarium oxysporum yaitu tidak menanam varietas pisang yang rentan, menanam bibit tanaman yang sehat (bebas patogen), tanaman yang sakit beserta dengan tanah di sekelilingnya dibongkar dan dikeluarkan dari kebun, menyiram tanah bekas tanaman pisang yang terserang dengan fungisida, menghindari luka pada akar, penggenangan dan pergiliran tanaman serta penggunaan agens biokontrol (Semangun; AOI 2007).

Pengendalian Hayati

Definisi pengendalian hayati menurut Soesanto (2008) adalah semua kondisi atau praktik yang berpengaruh terhadap penurunan daya tahan atau kegiatan patogen tanaman melalui interaksi dengan agensia organisme hidup lainnya (selain manusia), yang menghasilkan penurunan keberadaan penyakit yang disebabkan oleh patogen. Menurut Agrios (2005) pengendalian hayati merupakan perlindungan pada tanaman dari patogen tanaman termasuk penyebaran mikroorganisme antagonis pada saat setelah atau sebelum terjadinya infeksi patogen. Mekanisme dari biokontrol organisme yaitu dalam melemahkan atau membunuh patogen tanaman dengan perlawanan yaitu memparasit patogen secara langsung, memproduksi antibiotik (toksin), dan kemampuannnya dalam kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim untuk melawan komponen sel patogen, menginduksi respon ketahanan tanaman, dan produksi metabolisme tanaman dalam mensetimulasi perkecambahan spora patogen.

Cook dan Baker (1983) mengemukakan bahwa pengendalian hayati dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan: (a) manipulasi lingkungan; (b) introduksi agens antagonis; (c) introduksi patogen avirulen dan hipo-virulen alami serta mikroorganisme endofit untuk menginduksi sistem ketahanan tanaman inang. Pemanfaatan mikroorganisme seperti plant growth promoting rhizobacteria (PGPR), Gliocladium fimbriatum dan fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agens biokontrol dalam pengendalian patogen tanaman.

(5)

Gliocladium fimbriatum

G. fimbriatum termasuk golongan cendawan yang berasal dari filum Ascomycota, kelas Ascomycetes, ordo Hypocreales, dan genus Gliocladium (Agrios 2005). Gliocladium spp. merupakan cendawan mikoparasit sebagai salah satu cendawan antagonis bagi cendawan patogen yang mempunyai beberapa mekanisme antagonisme antara lain: penyerangan terhadap patogen diantaranya dapat mematikan atau menghancurkan hifa inangnya dengan mengeluarkan satu macam atau lebih antibiotik atau enzim, dan mekanisme hiperparasit dengan melilit hifa patogen sebagai inang, kemudian hidup dan berkembang pada isi sel inang yang telah mati (Sinaga 1992).

Sinaga (2002) mengemukakan bahwa Gliocladium spp. mempunyai prospek yang tinggi sebagai agens biokontrol berbagai patogen yang merupakan penyebab penyakit pada berbagai jenis tanaman. hasil penelitiannya, baik pengujian secara invitro maupun invivo dalam rumah kaca maupun di lapangan menunjukkan bahwa G. fimbriatum memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan berbagai patogen terutama patogen tular tanah seperti F. oxysporum. Gliocladium spp. juga dapat meningkatkan vigor tanaman jauh lebih baik dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan Gliocladium spp. Menurut Agrios (2005) Gliocladium spp. dapat digunakan sebagai agens antagonis terhadap layu Fusarium melalui mekanisme antagonismenya.

Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan oleh Sinaga (2000), diketahui bahwa penggunaan Gliocladium spp. Sebagai agens biokontrol di lapangan akan lebih optimum bila dikombinasikan dengan komponen PHT yang lain. Yulianti (2001) melaporkan hasil pemanfaatan kombinasi cendawan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan G. fimbriatum dapat menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit (Ganoderma boninense) dan meningkatkan vigor tanaman.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Mikoriza adalah asosiasi atau simbiosis antara tanaman dengan cendawan yang mengkolonisasi jaringan korteks akar selama periode aktif pertumbuhan tanaman. Mikoriza dapat diklasifikasikan menjadi ektomikoriza dan

(6)

endomikoriza. Fungi mikoriza arbuskula merupakan mikoriza yang membentuk arbuskular, atau struktur bercabang banyak dalam sistem korteks (endomikoriza); misalnya ordo Glomales; dapat memproduksi hifa ekstramatik yang ekstensif (hifa di luar akar) (Handayanto & Hairiah 2007). Arbuskel pada fungi mikoriza arbuskula (FMA) membantu dalam mentransfer nutrea (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran dan hifa mikoriza di luar akar dapat memberikan keuntungan secara fisiologis yaitu adanya perlindungan terhadap patogen akar, seperti Fusarium spp. (Rao 2004).

Menurut Rainiyati (2007) menyatakan bahwa bibit pisang raja nangka yang bersimbiosis FMA menunjukkan pertumbuhan dan serapan fosfor lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa FMA. Setiap jenis FMA memiliki keefektifan yang berbeda dengan bibit pisang. FMA yang diberikan pada saat aklimatisasi lebih efektif menginfeksi akar bibit pisang 23,7-46,7 persen. Pemberian FMA pada umur 2 bulan menginfeksi 25,7-35,7 persen dan pemberian FMA pada umur 1 bulan menginfeksi 21-30 persen. Selain itu juga bibit pisang raja nangka yang bersimbiosis dengan FMA dapat tumbuh dan berproduksi lebih cepat dibandingkan dengan tanaman tanpa FMA.

Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)

Bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) adalah bakteri yang mengolonisasi perakaran tanaman (rhizosfer) yang memiliki kemampuan menekan pekembangan penyakit dan atau meningkatkan pertumbuhan tanaman (Nurhadiansyah 2008). Menurut Kloepper, dkk. 1978 mengatakan bahwa kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen dan PGPR dapat menyebabkan ketahanan sistemik tanaman dari serangan patogen. PGPR yang mampu berperan sebagai agens penyebab ketahanan sistemik tersebut adalah karena perlakuan akar, tanah, atau biji dengan rhizobakteri.

(7)

Berdasarkan pengujian antagonisme isolat PGPR secara invitro terhadap patogen F. oxysporum f.sp. cepae asal bawang merah oleh Nurhardiansyah (2008), menunjukkan bahwa isolat PGPR menunjukkan adanya mekanisme antibiosis terhadap patogen uji. Antibiosis merupakan mekanisme antagonis dimana terjadi kerusakan dan penghambatan bahkan kematian suatu organisme oleh senyawa metabolik toksik yang diproduksi oleh organisme lain (Sinaga 1992). Perlakuan PGPR pada tanaman dapat meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan panjang akar pada tanaman uji (Nurhardiansyah 2008). Menurut Hasanuddin (2003) juga menyatakan bahwa perlakuan PGPR pada tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan menekan penyakit yang disebabkan oleh F. oxysporum.

Solarisasi Tanah

Solarisasi tanah merupakan salah satu metode kultur teknis dalam pengendalian patogen akar (Agrios 2005). Solarisasi tanah merupakan suatu metode untuk menaikkan suhu tanah dengan cara menutup permukaan tanah menggunakan plastik mulsa transparan dalam hal pengendalian patogen tular tanah seperti Fusarium spp. Metode tersebut bekerja sesuai dengan efek green house, temperatur tanah mencapai suhu 50-600C pada kedalaman 10 cm. Hal tersebut sudah cukup besar dalam mengendalikan patogen tular tanah (soil borne) (Horiuchi 2000). Penutupan plastik transparan (polyethylene) pada tanah yang lembab pada musim panas, temperatur tanah pada kedalaman 5 cm akan mencapai suhu 520C dan jika solarisasi dengan menggunakan mulsa selain plastik suhu maksimum hanya sekitar 370C. Solarisasi tanah dapat menurunkan inokulum patogen sehingga akan mengurangi potensi terjadinya panyakit (Agrios 2005).

Menurut Lisnawita (2003) pengusahaan pengolahan tanah sehat bertujuan untuk memperkecil kondisi yang dapat menyebabkan tanaman stres dan mengurangi organisme tanah yang merugikan serta meningkatkan organisme tanah yang menguntungkan salah satunya dengan metode solarisasi tanah. Solarisasi tanah dilakukan dengan menutup tanah dengan plasik transparan selama 6-8 minggu, sehingga panas matahari terperangkap dan akan menaikkan suhu tanah. Saylendra (2007) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa sorasisasi tanah dapat menghambat perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora

(8)

dari FOC. Suhu tanah harian selama solarisasi tanah pada kedalaman 0.5 cm menunjukkan adanya peningkatan di setiap waktunya. Suhu tanah tertinggi dicapai pada solarisasi 4 minggu yaitu 44.50C. Pada kisaran tersebut struktur pertahanan patogen seperti badan sklerotium sudah mengalami kerusakan/ kematian (Kartini dan Widodo 2000).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode penanaman protoplas, sel, jaringan, dan organ pada media buatan dalam kondisi aseptik sehingga dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Salah satu aplikasi kultur jaringan yang telah dikenal secara meluas dan telah banyak diusahakan untuk tujuan komersial adalah perbanyakan tanaman (Mariska & Sukmadjadja 2003). Hampir semua teknik kultur jaringan yang digunakan oleh ahli tumbuhan penting bagi ilmu penyakit tumbuhan yang digunakan untuk menghasilkan tumbuhan bebas patogen (Agrios 1996). Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang.

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan terutama pada tanaman-tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif, selain itu perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan memeiliki beberapa keuntungan, yaitu diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar dan bebas penyakit sehingga meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke sentra-sentra produksi baru dibanding dengan penggunaan bibit asal konvensional (anakan) [Biogen 2008]. Menurut Murashige (1974 dalam Mattjik 2005), mengemukakan bahwa salah satu dari kegunaan teknik kultur jaringan yaitu untuk memperoleh klon yang bebas dari penyakit sistemik. Menurut lembaga laboratotium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP (2007) menyatakan bahwa keunggulan bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan dengan bibit dari anakan adalah bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti bakteri layu Moko (Pseudomonas solanacearum) dan layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp cubense). Tingkat kecermatan dalam pemilihan bibit pisang sangat berperan/ menentukan munculnya penyakit layu pisang. Penyakit layu pisang dapat ditekan dengan menggunakan bibit hasil kultur jaringan [Dir. PTH 2008].

Referensi

Dokumen terkait

Pada sistem yang dikembangkan, terdapat empat pengguna yang akan mengakses, yaitu Administrator, Kepala Kantor, Kepala Seksi pemeriksaan, Supervisor (Tim Fungsional

Data yang diterima selama satu hari bukan merupakan data untuk lokasi yang sama, namun untuk lokasi yang berbeda dan bergantung pada satelit dan

Ketiga, Implikasi yuridis dan peluang implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Dengan demikian seseorang yang wanprestasi memberikan hak kepada pihak lain yang dirugikannya untuk menggugat ganti kerugian. Mengenai bentuk ganti kerugian dapat

Pjesët kryesore të shtëpisë të formësuara nga përdorimi i drurit janë dyshemetë, ballkoni i hapur ose i mbyllur, i cili është i mbështetur nga shtyllat e drurit, erkerët

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara hubungan tingkat depresi dengan tingkat kemandirian dalam aktivitas

Faktor perendaman ZPT alami serta interaksi antara faktor peramatah dormansi dan perendaman ZPT alami yang diperoleh bahwa perlakuan perendaman air kelapa muda

Berdasarkan hasil dari uji homogenitas ragam, diketahui bahwa data hasil penelitian pematahan dormansi melalui perendaman air dengan stratifikasi suhu dan