• Tidak ada hasil yang ditemukan

REINTERPRETASI TEORI KATA SAPAAN DARI BROWN & GILMAN (1960): (ANALISIS PENGGUNAAN STRATIFIKASI TUTURAN BAHASA JAWA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REINTERPRETASI TEORI KATA SAPAAN DARI BROWN & GILMAN (1960): (ANALISIS PENGGUNAAN STRATIFIKASI TUTURAN BAHASA JAWA)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

REINTERPRETASI TEORI KATA SAPAAN DARI BROWN & GILMAN (1960): (ANALISIS PENGGUNAAN STRATIFIKASI TUTURAN BAHASA JAWA)

Majid Wajdi mawa2id@yahoo.com Politeknik Negeri Bali

Penelitian ini mengaplikasikan secara kritis teori terms of address (Brown & Gilman, 1960, dlm. Braun, 1988) untuk menganalisis pola, kesantunan, dan fungsi dan makna penggunaan stratifikasi tuturan BJ. Rekaman observasi ditranskripsi, diklasifikasi, dan diberi kode sesuai stratifikasi tuturan BJ. Analisis memakai teori faktor dan dimensi sosial pilihan kode (Holmes, 2001) dan teori kesantunan (Scollon & Scollon, 2001). Penggunaan stratifikasi tuturan BJ melahirkan komunikasi diadik simetris dan asimetris.

Pertama, komunikasi diadik simetris-intim: dua peserta tutur saling menggunakan kode rendah (ngoko)

mencerminkan kesantunan solidaritas dan difungsikan sebagai pemarkah keintiman serta bermakna kesetaraan, dalam kelompok, dan ke-kami-an serta berarti tidak ada kuasa (-P), tidak ada jarak (-D), tidak ada jenjang (-R) antara peserta tutur. Kedua, komunikasi diadik simetris-tak intim: dua penutur saling menggunakan kode tinggi (krama) mencerminkan kesantunan penghormatan dan difungsikan sebagai pemarkah ketidak-intiman serta berarti tidak ada kuasa (-P), tidak ada jenjang (-R), tetapi ada jarak (+D) antara partisipan. Ketiga, dalam komunikasi diadik asimetris: P1 menggunakan kode rendah (ngoko), sebaliknya P2 memakai kode tinggi (krama) mencerminkan kesantunan hierarkis dan difungsikan sebagai pemarkah hierarki serta bermakna ketidak-setaraan serta berarti ada kuasa (+P), ada/tak ada jenjang (+/-R), dan ada/tak ada jarak (+/-D) antara para penutur. Temuan penelitian memperlihatkan ketika dua peserta tutur tak-setara berkomunikasi: penutur perkasa (priyayi) memakai kode rendah (ngoko) dan penutur tak-perkasa (tiyang alit) memakai kode tinggi (krama) diinterpretasi sebagai komunikasi “silang

kode” (code-crossing).

Kata kunci: silang kode, sistem kesantunan, bahasa Jawa, stratifikasi tuturan. ABSTRACT

REINTERPRETING BROWN & GILMAN 1960’S TERMS OF ADDRESS (AN ANALYSIS OF SPEECH STRATIFICATION IN JAVANESE)

This research applies critically Brown & Gilman (1960)’s theory of terms of address (Braun, 1988) to analyze pattern, politeness, function and meaning of use of speech stratification in Javanese. Recorded observation was transcribed, classified dan codified according to the speech stratification. It is also analyzed by applying social factor and social dimension of code choice (Holmes, 2001) and politeness theory (Scollon & Scollon, 2001).The use of speech stratification shows symmetric and asymmetric dyadic communication. Firstly, in symmetric dyadic two speakers use low code (ngoko) presented solidarity politeness and is functioned as a marker of intimacy and the meaning is equality, and means there is no power (-P), no distance (-D), and no rank (-R) between the participants. Secondly, in non-intimate dyadic, two speakers use H code (krama) reflected deference politeness and it is functioned as a marker of deference and the meaning is equality in distance which means there is no power (-P), no rank (-R) but there is distance (+D) between the participants. Thirdly, in asymmetric dyadic communication: the first speaker uses low code (ngoko) but the second speaker employs high code (krama). It reflects hierarchical politeness and the function is a marker of hierarchy and the meaning is inequality which means there is power (+P), hierarchy or rank (+R), and with or without distance (+D/-D). The finding shows when two asymmetric speakers communicate, i.e. the powerful speaker (priyayi)

(2)

2

uses low code (ngoko) and the less powerful one (tiyang alit) employs high code (krama) is interpreted as

‘code-crossing’. .

Key words: code-crossing, politeness, Javanese, speech stratification. 1. Latar Belakang

Masyarakat tutur Jawa dikenal dengan stratifikasi sosialnya yaitu dikotomi priyayi – tiyang alit ‘kelas atas’ dan ‘kelas bawah’ (cf. Purwoko, 2008a/b). Bahasa Jawa (BJ) juga tidak bisa dipisahkan dari adanya stratifikasi tuturan krama ‘tingkat tutur tinggi’ dan ngoko ‘tingkat tutur rendah’ (cf. Harjawiyana & Supriya, 2009). Stratifikasi tuturan tinggi (krama) dan rendah (ngoko) dapat digunakan sebagai media untuk memperlihatkan penghormatan dan keintiman dengan sesama anggota masyarakat tutur lainnya. Geertz (1960/1981; cf. Fasold, 1990; cf. Hudson, 1982) mengakui cara masyarakat tutur Jawa menunjukkan penghormatan dan keakraban melalui media BJ jauh lebih terperinci dibandingkan contoh yang manapun pada bahasa-bahasa Eropa. Pada bahasa-bahasa Eropa (cf. Brown & Gilman, 1960, dlm. Braun 1988; Fasold, 1990; Wardhaugh, 2004; Spolsky, 2004), untuk mengekspresikan penghormatan dan keakraban hanya sebatas menggunakan bentuk sapaan Tu/Vos (T/V). Tu adalah bentuk sapaan akrab, sedangkan Vos adalah bentuk sapaan hormat.

T/V dalam BJ adalah bagian integral dari sistem stratifikasi tuturan tinggi (krama) dan rendah (ngoko). Bagaimana penutur priyayi ‘kelas atas’ dan tiyang alit ‘kelas bawah’ menggunakan stratifikasi tuturan BJ merupakan kajian yang menarik. Definisi priyayi bukan terbatas pada garis keturunan bangsawan Jawa, tetapi dalam arti yang lebih luas (cf. Sudaryanto & Pranowo (Ed.), 2001; Harjawiyana & Supriya, 2009). Kesuksesan pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial merupakan perluasan definisi

priyayi. Variabel usia (tua vs. muda), atasan vs. bawahan, superior vs. inferior, superordinat vs.

subordinat, powerful vs. less powerful, guru vs. murid, kyai vs. santri, orangtua vs. anak-anak juga merupakan bagian dari definisi dikotomi priyayi dan tiyang alit yang diperluas.

Rubin (1972, dlm. Schiffman, 1997: 214) memperluas konsep T/V untuk mengnalisis penggunaan variasi H(igh) ‘tinggi’ dan L(ow) ‘rendah’di Paraguay, di situ dua bahasa (Spanyol dan Guarani), memiliki kaitan diglosia yang diperluas. Dalam BJ, dengan mengikuti pola Rubin di atas, T/V juga bisa diperluas dan diaplikasikan dengan kritis untuk menganalisis penggunaan tingkat tutur ngoko (L) dan krama (H) dalam BJ.

2. Masalah

Penggunaan BJ dengan stratifikasi tuturannya menjadi masalah utama penelitian ini. (1) Bagaimanakah pola penggunaan tingkat tutur BJ oleh para anggota masyarakat tutur Jawa dalam komunikasi sehari-hari?, (2) Kesantunan apakah yang diperlihatkan dalam penggunaan tingkat tutur BJ oleh para anggota masyarakat tutur Jawa dalam komunikasi sehari-hari?, (4) Apakah fungsi dan makna penggunaan tingkat tutur BJ oleh para anggota masyarakat tutur Jawa dalam komunikasi sehari-hari? 3. Tujuan, Manfaat, dan Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasikan: (1) pola, (2) kesantunan, dan (4) fungsi dan makna penggunaan tingkat tutur BJ oleh masyarakat tutur Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu sosiolinguistik atau sosio-pragmatik, khususnya manfaat teoretis, yakni: (1) Pemahaman baru teori, (2) Reinterpretasi teori terms of address, dan (4) Menggali, memodifikasi, dan mengembangkan teori: sehingga tergali teori baru, terutama intepretasi komunikasi diadik asimetris. Penelitian ini difokuskan pada: (1) Pola Komunikasi Diadik-Intim: pemakaian kode rendah (ngoko) vs kode rendah (ngoko), termasuk kata sapaan rendah kowe ‘kamu’, (2) Pola Komunikasi Diadik-Tak Intim: penggunaan kode tinggi (krama/madya) vs kode tinggi (krama/madya), termasuk kata sapaan tinggi sampeyan/panjenengan

(3)

3

‘Anda’, (4) Pola Komunikasi Diadik Asimetris: penggunaan kode rendah (ngoko) vs kode tinggi (krama), termasuk kata sapaan rendah kowe ‘kamu’ dan kata sapaan tinggi sampeyan/panjenengan ‘Anda’.

4 Landasan Teori

4.1 Teori Sapaan (T/V)

Bentuk sapaan adalah kata-kata yang penutur gunakan untuk menandakan atau menunjuk orang yang diajak bicara ketika mereka bicara dengannnya (Fasold, 1990: 1—2). Dalam banyak bahasa, ada dua jenis bentuk sapaan yang utama, yaitu nama dan kata sapaan. Bentuk sapaan adalah bagian dari sistem makna yang lengkap yang diperlakukan berkenaan dengan hubungan sosial. Bentuk sapaan digunakan ketika seorang penutur sudah mendapat perhatian pendengar; panggilan adalah untuk menarik perhatian. Brown dan Gilman (1960/1972, dlm. Fasold, 1990: 4; cf. Braun 1988; Wardhaugh, 2004: 259—265; Fishman, 1968: 24—28; Spolsky, 2004: 20—24; Bonvillain, 2004; Trudgill, 1996) menginvestigasi penggunaan kata sapaan dalam bahasa Perancis, Jerman, Itali, dan Spanyol. Mereka mengatakan bahwa penggunaan kata sapaan didorong oleh dua arti/makna (semantik), yang disebut kuasa (power) dan solidaritas (solidarity). Makna kata sapaan kuasa (power pronoun semantic) seperti hubungan kuasa, bersifat nonresiprokal. Seseorang memiliki kuasa (power) atas orang lain pada tingkat ia bisa mengontrol perilaku orang lain. Hubungan ini bersifat nonresiprokal karena kedua orang itu tidak bisa saling memiliki kuasa atas yang lain pada wilayah yang sama.

Dalam cara yang sama, makna kuasa membawa penggunaan dua kata sapaan nonresiprokal. Orang yang kuasannya lebih rendah mengatakan V (vous) – dalam BJ panjenengan ‘Anda’ – kepada orang yang memiliki kuasa dan ia menerima sapaan T (tu) – dalam BJ: kowe ‘kamu’. Orang tua dianggap memiliki kuasa atas orang yang lebih muda, orangtua memiliki kuasa atas anak-anaknya, bos memiliki kuasa atas karyawannya, priyayi (elit Jawa) memiliki kuasa atas non-priyayi yakni wong cilik (rakyat kebanyakan). Makna kuasa hanya berlaku jika suatu masyarakat benar-benar distratifikasi sehingga setiap individu memiliki hubungan asimetris dengan kata lain, tidak ada kesejajaran kuasa.

Karena tidak semua perbedaan di antara orang-orang dihubungkan dengan kuasa, makna yang kedua, yakni makna solidaritas, dikembangkan. Dua orang bisa sama-sama memiliki kuasa dalam tatanan sosial, tetapi dari keluarga berbeda, yang berasal dari bagian daerah yang berbeda, dan bisa berbeda jika sama-sama dihormati, yakni karena profesi atau jabatan. Dengan kata lain, kebutuhan yang dikembangkan untuk membedakan derajat latar umum antara orang yang secara sederhana memiliki kuasa yang sama. Di sinilah kuasa bisa masuk. Solidaritas mengimplikasikan berbagi antara orang-orang, derajat kedekatan dan keintiman. Hubungan ini adalah hubungan resiprokal yang sudah melekat; jika, sebagai contoh, anda dekat dengan orang lain dalam hubungan yang paling alami, orang itu dekat dengan anda. Kapan saja makna solidaritas diterapkan, dengan demikian, kataganti yang sama digunakan oleh keduanya. Sama dengan kuasa dan solider keduanya menyebut T kepada bawahan (inferior) dan sapaan solidaritas.

4.2 Faktor Sosial dan Dimensi Sosial Pilihan Kode

Holmes (2001: 8—15) mengidentifikasi bahwa pilihan bentuk linguistik atau kode tertentu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan dimensi sosial. Faktor-faktor sosial berhubungan dan berkaitan dengan para pengguna bahasa: partisipan; faktor yang lain berkaitan dengan penggunaan bahasa: seting sosial dan fungsi interaksi. Holmes (2001: 8) juga menempatkan ’WHO is talking to WHOM’, Siapa berbicara kepada siapa (misal atasan-bawahan, majikan-pembantu, pelanggan-pelayan) sebagai faktor sosial yang penting dalam menentukan pilihan bahasa (kode). Holmes (2001) merumuskan empat faktor sosial yang mempengaruhi pilihan bahasa (kode) yaitu: (1) partisipan, (2) seting / konteks sosial, (4) topik, dan (4) fungsi. Sedangkan Dimensi sosial, yaitu (1) skala jarak sosial (social distance scale), (2) skala status (status scale), (4) skala formalitas (formality scale), dan (4) skala

(4)

4

5. Metode Penelitian

Data dikumpulkan melalui observasi berpartisipasi dan observasi non-partisipasi. Peneliti terjun langsung ke dalam masyarakat tutur yang diamati dengan diikuti teknik rekam dan catatan lapangan (field

note). Hasil observasi berupa rekaman kemudian ditranskripsi, diklasifikasi dan dikodifikasi sesuai

tingkat tutur BJ, dan dianalisis dengan berpedoman pada “who speaks what language to whom” atau faktor sosial dan dimensi-sosial pilihan kode (Holmes, 2001), teori terms of address (Brown dan Gilman, 1960, dlm. Braun, 1988), teori kesantunan (Scollon & Scollon, 2001).

6. Pembahasan

Untuk membimbing pembahasan, analisis, dan interpretasi serta reinterpretasi penggunaan kata sapaan T/V dari Brown & Gilman (1960, dlm. Braun, 1988) maka disajikan dalam bentuk bagan di bawah ini.

Bagan 6.1 Reinterpretasi Pilihan Kata Sapaan T-V

Bagan di atas menggambarkan komunikasi diadik simetris dan asimetris memakai kata sapaan T-T, V-V, dan T/V. Pertama, dalam komunikasi diadik simetris intim para partisipan (P1 dan P2) saling memakai T. Penggunaan T mencerminkan kesantunan solidaritas. Fungsi T di sini sebagai pemarkah keintiman dan maknanya kesetaraan. Komunikasi diadik simetris intim memakai T berarti tak ada kuasa (-P), tanpa jarak (-D), dan tanpa jenjang (-R). Kedua, dalam komunikasi diadik tak-intim para partisipan saling memakai V. Penggunaan V mencerminkan kesantunan penghormatan dan berfungsi sebagai pemarkah kehormatan, serta bermakna kesetaraan berjarak. Komunikasi diadik simetris tak-intim memakai V berarti ada jarak (+D), tanpa kuasa (-P), dan tanpa jenjang (-R) antara partisipan. Ketiga, dalam komunikasi diadik asimetris para partisipan saling memakai kata sapaan berbeda: partisipan pertama (P1) memakai T, sebaliknya partisipan kedua (P2) memakai V. Penggunaan T/V non-resiprokal memperlihatkan kesantunan hierarkis dan berfungsi sebagai pemarkah hierarki dan bermakna ketidak-setaraan. Bicara dg intim Bicara tak intim Bicara kpd bawahan Bicara kpd atasan tdk tdk tdk ya Tu Vous Tu Vous ya ya ya P1: Tu P2: Tu P1: Vous P2: Vous P1: Tu P2: Vous

(5)

5

Temuan penelitian memperlihatkan bahwa dalam komunikasi diadik asimetris dan hierarkis memakai T vs. V diinterpretasi sebagai komunikasi “silang kode”. Dalam komunikasi silang kode memakai kata sapaan T/V menunjukkan kesantunan hierarkis.

Teori T/V dalam penelitian ini diperluas untuk menganalisis fenomena stratifikasi tuturan BJ,

ngoko (kode rendah) dan krama (kode tinggi). Dengan demikian pada bagan di atas T diganti dengan

kode tingkat tutur rendah (Ng(oko) dan V diperluas menjadi tingkat tutur tinggi (K(rama). Para penutur BJ setara dan intim akan saling memilih memakai kode ngoko. Penggunaan kode ngoko memperlihatkan kesantunan solidaritas dan berfungsi sebagai pemarkah keintiman, serta bermakna kesetaraan. Komunikasi diadik simetris intim memakai kode ngoko berarti tidak ada kuasa (-P), tanpa jarak (-D), dan tanpa jenjang (-R) antara para partisipan. Penutur BJ juga dapat saling menggunakan kode krama dalam komunikasi diadik simteris tak-intim. Kode krama difungsikan sebagai pemarkah ketidak-intiman dan bermakna kesetaraan berjarak. Penggunaan kode krama secara resiprokal berarti ada jarak (+D), tanpa ada kuasa (-P), dan tanpa jenjang (-R).

Dalam komunikasi diadik asimetris, para partisipan saling memakai kode yang berbeda, penutur pertama (P1) memakai ngoko, tetapi sebaliknya P2 memakai kode krama. Pemakaian kode ngoko vs

krama non-resiprokal memperlihatkan kesantunan hierarkis dan difungsikan sebagai pemarkah hierarki,

serta bermakna ketidak-setaraan. Komunikasi asimetris/non-resiprokal berarti ada kuasa (+P), ada/tanpa jarak (+D/-D), dan ada/tanpa jenjang (+R/-R). Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam komunikasi diadik asimetris yakni partisipan pertama (P1) memakai kode ngoko secara vertikal “menurun” kepada P2 dan sebaliknya partisipan kedua (P2) memakai kode krama secara vertikal “ke atas” kepada P1 diinterpretasi sebagai komnikasi “silang kode” (code-crossing) (cf. Wajdi, 2009; 2010a/b; 2011a/b). Dalam komunikasi silang kode tercermin kesantunan hierarkis.

Silang kode adalah fenomena komunikasi diadik asimetris yang memperlihatkan hubungan stratifikasi tuturan BJ dan stratifikasi sosial masyarakat tutur Jawa. Silang kode adalah kontrak sosial berupa pengakuan adanya kelas sosial atas (priyayi) dan kelas bawah (tiyang alit). Silang kode bukan semata-mata strategi kesantunan tetapi semacam kontrak sosial yang dibuat dan disepakati oleh priyayi ‘atasan’ dan tiyang alit ‘bawahan’. Dalam kontrak sosial ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh partisipan kuasa (priyayi) dan partisipan tak kuasa (tiyang alit). Bagi atasan (priyayi) memiliki hak untuk menggunakan kode ngoko, sedangkan tiyang alit memiliki kewajiban untuk memakai kode krama kepada atasan. Fenomena komuniasi diadik asimetris memakai kode rendah (ngoko) versus kode tinggi (krama) BJ yang melahirkan komunikasi ‘silang kode’ dapat disimpulkan bahwa kata sapaan BJ adalah “Genuine

Terms of Address” dan diglosia BJ adalah “diglossia par excellence”.

DAFTAR PUSTAKA

Bonvillain, Nancy. 2004. Language, Culture, and Communication: The Meaning of Messages. New Jersey: Pearson Education Inc. 4th edition.

Braun, Friederike. 1988. Term of Address: Problems of Patterns and Usage in Various Language and

Cultures. Amsterdam: Mouten de Gruyter.

Fasold, Ralph. 1990. Sociolinguistics of Language. USA: Basil Blackwell Inc.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka. Penterjemah: Aswab Mahasin.

Harjawiyana, Haryana dan Th. Supriya. 2009. Kamus Unggah-Ungguh Basa Jawa. Yogyakarta: Kanisius.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. England: Pearson Education Limited. Hudson, R.A. 1982. Sociolinguistics. New York: Cambridge University Press.

(6)

6

Purwoko, Herujati. 2008b. Wacana Komunikasi: Etiket dan Norma Wong-cilik Abangan di Jawa. Jakarta: Indeks.

Schiffman, Harold F. 1997. “Diglossia as a Sociolinguistics Situation”, Dalam Coulmas, Florian. (Ed.). 1997. The Handbook of Sociolinguistics. UK: Blackwell Publisher Ltd.

Scollon, Ron and Suzanne Wong Scollon. 2001. Intercultural Communication: A Discourse Approach. UK: Basil Blackwell Ltd.

Spolsky, Bernard. 2004. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press. Trudgill, Peter. 1986. Dialects in Contact. New York: Basil Blackwell Inc.

Wajdi, Majid. 2009. “Alih Kode dan Silang Kode: Strategi Komunikasi dalam Bahasa Jawa”, Dalam Sukyadi, Didi (Ed.). 2009. Proceeding of The 2nd International Conference on Applied Linguistics (CONAPLIN 2), UPI Bandung, 4—4 Augustus 2009. Bandung: CV Andira and UPI Press.

Wajdi, Majid. 2010a. “Politeness Systems in Javanese”, Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu III, Program S2/S4 Linguistik UNUD, Denpasar, 25—26 Februari 2010. Denpasar: Udayana University Press.

Wajdi, Majid. 2010b. “Code-crossing: Hierarchical Politeness in Javanese”, Proceeding of International Seminar on Austronesian Languages, held by PPs S2/S4 Linguistik UNUD, Denpasar, 19—20 Juli 2010. Denpasar: Udayana University Press.

Wajdi, Majid. 2011a. “Ketidak-setaraan dan Pola Komunikasi Masyarakat Tutur Jawa”, Makalah Seminar Nasional Bahasa Ibu IV, diselengarakan oleh Program Studi S2/S4 Linguistik UNUD, Denpasar, 25—26 Februari 2011.

Wajdi, Majid. 2001b. “Code-choice and Politeness in Javanese”, A paper presented at International Symposium on the Language of Java (ISLOJ 4), held by Mac Plank Institute, UNIKA Atmajaya and UIN Malang, Malang 24—24 June 2001.

Referensi

Dokumen terkait