• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. sumbangan nyata akan adanya kepastian hukum bagi penyelesaian perkara tersebut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. sumbangan nyata akan adanya kepastian hukum bagi penyelesaian perkara tersebut."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah

Hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dapat timbul baik karena adanya pengaturan dalam undang-undang maupun suatu perjanjian. Bagi para pihak yang hendak melakukan suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian, maka keberadaan Akta otentik mempunyai peranan yang penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, dikarenakan akta otentik sebagai salah satu alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang dapat berdiri sendiri, tidak perlu ditambah alat bukti lain dan isinya dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya (vide pasal 165 HIR). Dalam berbagai macam transaksi bisnis, misalnya, transaksi jual-beli barang dan/atau jasa, transaksi di bidang perbankan, maupun transaksi di bidang pertanahan, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan adanya jaminan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban bagi para pihak, terlebih lagi jika terjadi suatu sengketa dikemudian hari.

Suatu perjanjian yang dituangkan dalam bentuk akta otentik, akan menentukan secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta menjamin akan kepastian hukum dan sekaligus dapat digunakan sebagai alat pembuktian, jika suatu hari terjadi sengketa diantara kedua belah pihak. Sehingga apabila terjadi sengketa dikemudian hari yang tidak dapat dihindari, maka dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik, yang merupakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, akan memberi sumbangan nyata akan adanya kepastian hukum bagi penyelesaian perkara tersebut.

(2)

Adanya keinginan dan keperluan masyarakat akan adanya suatu kepastian hukum seperti itu, maka diperlukan peranan notaris, sebagai pegawai umum yang berwenang membuat akta, dalam menentukan dan mengatur hubungan hukum diantara pihak-pihak secara tertulis dan otentik. Dewasa ini, masyarakat lebih suka membuat perjanjian, misalnya, perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kredit, yang dilakukan dengan pihak lain, dilakukan dihadapan notaris1. Hal tersebut dikarenakan para pihak menghendaki adanya alat bukti yang kuat, yang sempurna yang kesemuanya itu hanya dapat diperoleh dalam bentuk akta otentik. Hal yang demikian, berbeda dengan akta di bawah tangan, yang mempunyai kekuatan pembuktian hanya sebatas apabila pihak lawan mengakui kebenaran tanda-tangannya di dalam akta tersebut.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal, yang di dalamnya mempunyai kekuatan pembuktian formal, materiil dan keluar, sesuai dengan apa yang telah dinyatakan oleh para pihak kepada notaris. Dalam hal ini notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris. Demikian juga, suatu akta notaris hendaklah tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang terkait dengan jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak, maupun perundang-undangan yang terkait dengan jabatan notaris sebagai pegawai umum.

Aturan mengenai Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris). Pengertian Notaris yang diatur pada pasal 1 angka 1 UU Jabatan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk

1 Sebagai salah satu macam pejabat umum. Adapun pejabat umum yang berwenang membuat akta

otentik adalah : Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pegawai Kantor Catatan Sipil, Hakim dan Panitera.

(3)

membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagai dimaksud dalam undang-undang ini. Sedangkan kewenangan Notaris diatur dalam pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris bahwa notaris berwenang membuat akta outentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (1) jo. pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris tersebut, dapat dikatakan bahwa kewenangan utama notaris adalah membuat akta otentik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk membuat suatu akta seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum sebagaimana ditentukan dalam suatu undang-undang. Sehingga, seorang advokat meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, ia tidak berwenang untuk dapat membuat akta otentik karena advokat tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya, seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)2 mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik tentang jual-beli tanah. Demikian pula seorang pegawai catatan sipil meskipun bukan ahli hukum tetapi mempunyai wewenang membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu. Misalnya, dalam membuat akta kelahiran, akta kematian dan akta perkawinan.

Akta otentik menurut hukum sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh, mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan dibidang pertanahan dan lain-lain. Kebutuhan akan pembuktian

2Sejak diundangkannya UU no. 30 tahun 2004 maka jabatan Notaris sekaligus merangkap jabatan

(4)

tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan perkembangan akan tuntutan kepastian hukum dalam berbagai hubungan dan melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hak sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa.

Menurut Pasal 1866 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) Jo. pasal 164 Het Herziene Inlandisch Reglement (HIR) atau pasal 284 Recht Buitengewesten (RBg) bahwa alat-alat bukti dalam hukum perdata terdiri atas :

1. alat bukti tulisan,

2. alat bukti saksi,

3. alat bukti persangkaan,

4. alat bukti pengakuan, dan

5. alat bukti sumpah.

Selanjutnya, alat bukti tulisan dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu:

1. tulisan biasa, dan

2. akta, sedangkan akta dibedakan lagi ada 2 macam, yaitu :

a. akta dibawah tangan, dan

(5)

Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berwenang, dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang di tempat dimana akta dibuatnya.3

Makna terpenting dan kegunaan yang paling pokok dari adanya akta otentik adalah bertujuan memberikan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum, karena akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban para pihak, sehingga diharapkan akan meminimalkan terjadinya suatu sengketa diantara para pihak. Kalaupun sengketa tidak dapat dihindari, akta otentik tersebut merupakan alat bukti tertulis, terkuat dan terpenuh memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Peran dan fungsi notaris dalam gerak langkah pembangunan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini yang semakin kompleks, tentunya semakin dibutuhkan guna menunjang kelancaran dan kepastian hukum segenap bidang usaha yang dijalankan oleh anggota masyarakat, terutama dalam bidang bisnis, melalui pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh notaris. Dengan demikian seorang notaris harus mengikuti perkembangan hukum nasional, sehingga pada akhirnya notaris mampu melaksanakan profesinya secara baik dan benar.

Pada prinsipnya setiap tugas atau kawajiban yang didasarkan atas kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang, akan dapat menimbulkan konsekuensi hukum berupa tanggung-jawab, yaitu tanggung-jawab berdasarkan hukum, baik dari aspek hukum perdata maupun hukum pidana. Disamping itu juga menimbulkan tanggung-jawab berdasarkan moral dan etika. Adapun tanggung-jawab hukum notaris dalam menjalankan tugas profesinya terikat oleh aturan hukum yang mengaturnya dan notaris dituntut harus mampu mengetahui dan menguasai banyak aturan hukum yang berlaku. Apabila aturan hukum dipatuhi, maka

3

Subekti & Tjiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta 1996 h.475

(6)

risiko bagi notaris untuk menghadapi gugatan keperdataan maupun tuntutan pidana menjadi sangat kecil.

Disamping tanggung-jawab baik dari aspek hukum keperdataan dan hukum pidana, sebenarnya notaris juga mempunyai tanggung-jawab moral, yang berkaitan dengan norma moral, yang dipergunakan sebagai ukuran bagi notaris untuk menentukan benar salahnya atau baik buruknya tindakan yang dilakukan dalam menjalankan profesinya, dan juga tanggung-jawab etika berhubungan dengan profesi notaris yang menitikberatkan pada pekerjaan yang dilakukan, dan untuk itu dalam menjalankan tugas dan kewenangannya notaris membutuhkan keterampilan teknik dan keahlian khusus di bidang pembuatan akta otentik secara profesional yaitu memiliki kualitas ilmu yang tidak diragukan dalam melayani klien serta mampu bekerja secara mandiri dan harus netral, dalam arti, tidak memihak kepada salah satu pihak.

Di dalam kehidupan masyarakat seringkali ditemui adanya akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, yang dalam pembuatannya tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang, yang mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan seperti akta di bawah tangan. Seandainya hal tersebut diakibatkan karena kesalahan dari notaris, maka secara hukum notaris harus bertanggung gugat. Oleh karena itu, seorang notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus benar-benar menguasai hukum dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan keseluruhan aturan yang ada, terkhusus yang ada di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.

Wewenang notaris dalam membuat akta otentik meliputi semua perbuatan hukum, perjanjian dan ketetapan. Hal ini berarti bahwa notaris dapat membuat berbagai macam dan jenis akta sebagaimana dikehendaki oleh para pihak, terkhusus dalam lapangan hukum keperdataan saja. Di dalam akta yang dibuat oleh notaris, berisikan hal-hal sebagai berikut :4

(7)

1) tanggal dari akta itu;

2) tandatangan-tandatangan yang ada dalam akta itu; 3) identitas dari orang-orang yang hadir;

4) bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah sesuai dengan apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada notaris untuk dicantumkan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.

Dengan dicantumkannya tanggal, identitas, kehendak pihak-pihak penghadap serta tanda tangan, dimaksudkan agar dapat menjamin kepastian tanggal ditandatangani dan tanggal diberlakukannya akta notaris tersebut.

Adanya kewajiban pencantuman tanda-tangan di dalam akta Notaris ditentukan di dalam pasal 44 ayat (1) UU Jabatan Notaris bahwa pihak yang mempunyai kewajiban untuk menandatangani akta adalah : setiap penghadap, saksi dan Notaris. Berkenaan dengan penandatanganan oleh saksi, didalam praktek seringkali dilakukan oleh para pegawai dari kantor Notaris, dimana akta itu dibuat, dengan pertimbangan demi efisiensi pembuatan akta Notaris. Sehingga jarang sekali setiap penghadap, apalagi yang tidak memahami akan pembuatan suatu perjanjian, mengikutsertakan saksi untuk menyaksikan sekaligus menandatangani akta Notaris yang mereka buat. Adanya kebiasaan penandatanganan saksi instrumentaris yang bersangkutan tersebut, perlu dilakukan suatu penelaahan norma hukum akan akibat hukumnya terhadap sifat otentitasnya suatu akta Notaris.

Berdasarkan keseluruhan uraian sebagaimana terurai diatas, maka permasalahan hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

a. Syarat-syarat formal apa sajakah yang harus dipenuhi dalam penandatanganan saksi instumentaris guna menjamin otentisitas akta notaris ?

b. Apakah akibat hukumnya jika syarat-syarat formal penandatanganan saksi instrumentaris tersebut tidak dipenuhi ?

(8)

2. Tujuan penelitian

a. Guna menelaah dan menganalisis mengenai syarat-syarat formal yang harus dipenuhi dalam penandatanganan saksi instrumentaris.

b. Guna menelaah dan menganalisis mengenai akibat hukum jika syarat-syarat formal dalam penandatanganan saksi instrumentaris tersebut tidak dipenuhi.

3. Manfaat Penelitian

a. Memahami syarat-syarat formal penandatanganan saksi instrumentaris dalam suatu akta Notaris.

b. Memahami akibat hukum jika syarat-syarat formal dalam penandatanganan saksi instrumentaris tidak dipenuhi.

4. Kajian Pustaka

Akta adalah ―surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.5 Dengan demikian akta merupakan surat, yang ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa sebagai perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian. Oleh karena itu jika tulisan dibubuhi tanda tangan namun bukan dimaksudkan untuk suatu perbuatan hukum, maka akta tersebut tidak mempunyai fungsi sebagai suatu akta pada umumnya.

Akta dibedakan antara akta di bawah tangan dengan akta otentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh dan dihadapan pejabat yang untuk itu, melainkan akta yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1869 BW yang

5

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Edisi V, Cet I, Liberty, Yogyakarta, 1998, h. 106

(9)

menentukan bahwa : Suatu akta yang karena tidak berkuasanya atau tidak cakapnya pegawai yang dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, bentuknya ditentukan undang-undang dan dibuat ditempat obyek perjanjian itu berada, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1868 B.W.

Akta autentik merupakan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana ditentukan dalam pasal 1870 B.W., sedangkan untuk akta dibawah tangan, apabila akan dijadikan sebagai alat bukti, pada umumnya diusahakan agar supaya mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat. Hal ini dapat dilakukan antara lain apabila tanda tangan para pihak di dalam akta di bawah tangan diakui sebagai tanda tangan yang bersangkutan. Selain pengakuan tanda tangan yang bersangkutan, dapat diupayakan penguatan pembuktiannya yaitu dengan cara melegalisasi akta di bawah tangan tersebut dihadapan/dilakukan oleh pejabat yang berwenang.

Kegunaan akta, baik itu akta autentik maupun akta di bawah tangan tersebut, kesemuanya dalam rangka penggunaannya sebagai alat bukti yaitu sebagai alat bukti tertulis. Akta dapat berfungsi formal (formalitas causa), yang berarti bahwa untuk untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu : perjanjian formil, yang mensyaratkan keabsahannya dalam bentuk tertulis (akta). Adapun sebagai contoh dari suatu perjanjian yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil ialah : pasal 1610 BW tentang perjanjian pemborongan, pasal 1767 BW tentang perjanjian hutang piutang dengan bunga dan pasal 1851 BW tentang perdamaian. Sehingga untuk pembuatan perjanjian-perjanjian tersebut semuanya disyaratkan adanya akta sekurang-kurangnya akta di bawah tangan. Sedangkan untuk pembuatan perjanjian-perjanjian yang disyaratkan dengan akta otentik, antara lain ialah : pasal 1171 BW tentang pembebanan

(10)

hipotik, pasal 1682 BW tentang schenking dan pasal 1945 BW tentang melakukan sumpah oleh orang lain.

Di samping itu, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa), disini sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari.6 Fungsi akta sebagai alat bukti inilah sebagai fungsi terpenting dari sebuah akta. Adapun mengenai kekuatan pembuktian akta dapat dibedakan antara lain : 7

1. Kekuatan pembuktian lahir.

Maksud kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya, yaitu surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil.

Maksud kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda-tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktikan formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

3. Kekuatan pembuktian materiil

Maksud kekuatan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.

6 Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, (selanjutnya disebut

Riduan Syahrani 1), Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, h. 60.

7

Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 121.

(11)

Berkenaan dengan hal tersebut, maka yang dimaksud dengan akta adalah : 8

1) perbuatan handeling/perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan

2) suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian sesuatu. Dengan demikian fungsi akta bagi para pihak adalah :

1) syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, 2) alat pembuktian, dan

3) alat pembuktian satu-satunya.

Akta termasuk sebagai salah satu bukti tertulis, yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

1. surat yang berbentuk akta;

2. surat-surat lain, yang bukan berbentuk akta.9

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya surat dapat disebut sebagai akta, adalah sebagai berikut :

1) surat itu harus ditandatangani;

2) surat itu harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan, dan

3) surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.10

Menurut Pasal 1867 B.W., menentukan bahwa ―pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan‖. Jadi akta

8 Victor M. Sitomurang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi,

Rineka Cipta, Jakarta 1993, h. 26

9 Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat

Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989, h. 271

(12)

sebagai bukti terdiri dari akta di bawah tangan dan akta otentik. Di dalam pemeriksaan di persidangan terutama perkara perdata, para pihak yang berperkara bebas mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan perkaranya. Majelis hakim memperhatikan dan mengamati semua peristiwa yang dikemukakan oleh pihak-pihak dalam persidangan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa atau hubungan hukum sungguh-sungguh telah terjadi. Hakim dalam hal ini memerlukan pembuktian yang meyakinkannya guna dapat menerapkan norma hukum secara tepat, benar dan adil, untuk itulah para pihak yang berperkara wajib memberikan keterangan disertai bukti-bukti mengenai peristiwa atau hubungan hukum yang telah terjadi. Dengan demikian dalam proses persidangan diperlukan pembuktian secara yuridis, yaitu menyajikan fakta-fakta yang cukup menurut hukum untuk memberikan kepastian kepada majelis hakim mengenai terjadinya peristiwa atau hubungan hukumnya.

Adapun alat bukti dalam perkara perdata, diatur dalam Pasal 1866 B.W., terdiri dari :

1. alat bukti tertulis;

2. pembuktian dengan sanksi; 3. persangkaan-persangkaan; 4. pengakuan;

5. sumpah.

Adapun urutan-urutan alat-alat bukti di atas menunjukkan bahwa dalam hukum perdata bukti tulisan kedudukannya lebih diutamakan atau lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, hal itu dikarenakan karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan, dan bukti yang disediakan lazimnya berupa tulisan.11 Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama Terhadap bukti tulisan

11Ibid., h. 25.

(13)

dalam hukum perdata ada beberapa bentuk, diantaranya yang paling kuat dan sangat berharga untuk pembuktian adalah ―akta‖.12

Hal yang terpenting dari suatu akte adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, sehingga unsur-unsur yang penting untuk suatu akta adalah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Adapun syarat penandatanganan suatu akta dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1874 BW atau Pasal 1 dari Ordonansi tahun 1867 No. 29

Sedangkan makna Akta Autentik menurut UU Jabatan Notaris sebagaimana dimaksudkan dalam makna Akta Notaris, sebagaimana secara eksplisit diatur dalam pasal 1 angka 7 UU Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa Akta Notaris adalah Akta Autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pada dasarnya akta notaris yang di dalamnya berisikan tentang perbuatan-perbuatan dan hal-hal lain yang dikonstatir oleh Notaris, umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengenai hal ini antara lain B.W. dan Peraturan Jabatan Notaris. Akta yang dibuat Notaris adalah akta otentik dan otentisitasnya bertahan terus, bahkan sampai sesudah Notaris itu meninggal dunia. Pada dasarnya akta yang dibuat baik oleh maupun di hadapan Notaris adalah selain atas dasar permintaan undang-undang, juga demi kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan jasa Notaris tersebut.

5. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang dipilih adalah penelitian hukum. Pemilihan metode ini karena ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif, berbeda dengan metode dalam ilmu

12Ibid., h. 25.

(14)

sosial. 13. Penelitian hukum (legal research) ini dilakukan dengan metode sesuai dengan karakter yang khas dari ilmu hukum (jurisprudence) yang berbeda dengan ilmu sosial (social science) atau ilmu alam (natural science)14.

2. Pendekatan Masalah

Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif.15 Sedangkan pendekatan terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian hukum ini dengan secara statute approach, dan conceptual approach.16 Dengan pendekatan secara statute approach (pendekatan undang-undang) dalam menghadapi suatu fakta hukum, ditelusuri ketentuan hukum yang relevan, ketentuan hukum itu berada dalam pasal yang berisi norma, yang dalam logika hokum merupakan suatu proposisi (normatif). Sehingga guna memahami suatu Norma sebagai suatu bentuk proposisi yang tersusun atas rangkaian konsep (hukum), maka diperlukan suatu pendekatan konseptual (conceptual approach).17 Di samping dua pendekatan di atas, untuk mempertajam analisis dalam tesis tersebut perlu diketengahkan beberapa kasus terkait dengan pokok bahasan dimaksud ( case approach).

13 Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, cet.kedua, Gajah Mada

University Press, Yogajakarta, 2005, h.1-2.

14

J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties, Dalam Arief Sidharta, Op.cit., h.213-218. Lihat juga Philipus Mandiri Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogjakarta, 2005, h.1-5.

15

Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, cet. 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1-3

16 Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Ibid., hlm. 42-43. Lihat pula Peter Mahmud Marzuki,

Penelitian Hukum, cet. I, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 96-126

17

Ibid., h. 38-39. Lihat pula Peter Mahmud Marzuki, Ibid., h. 96-102, dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hirarki, dan asas-asas dalam perundang-undangan. Lain itu pula, dalam pendekatan undangan peneliti bukan saja melihat kepada bentuk peraturan perundang-undangan saja melainkan juga menelaah materi muatannya, yakni mempelajari dasar ontologisnya, lahirnya undang-undang, landasan filosofi undang-undang, dan ratio legisnya (berkaitan dengan a jaran interpretasi atau penafsiran).

(15)

3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian penelitian ini meliputi : bahan huku primer, meliputi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum pembuktian, hukum acara perdata, hukum perikatan, hukum kontrak (perjanjian), hukum pertanahan, hukum kenotarisan, dan putusan-putusan hukum (pengadilan) yang telah berkekuatan hukum tetap.18 Bahan hukum sekunder, meliputi buku literatur, textbook, doktrin, jurnal, majalah, maupun media surat kabar yang memuat materi yang relevan dengan bidang kajian ini.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum baik primer maupun sekunder diperoleh akan diinventarisasi dan diidentifikasi untuk selanjutnya dipergunakan dalam menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan kajian penelitian ini. Dalam melakukan inventarisasi serta identifikasi bahan hukum digunakan sistem kartu (card system) yaitu dengan mengurutkan bahan-bahan hukum sebagai sumbernya, sehingga penatalaksanaan secara kritis, logis dan sistematis yang kemudian dilakukan analisis secara mendalam (in depth) atas fakta-fakta hukum hukum yang ditemukan. Dengan langkah-langkah demikian diharapkan akan lebih mempermudah alur penyesuaian penelitian ini.

5. Pengolahan Bahan Bukum

Setelah melalui tahapan-tahapan inventarisasi dan identifikasi terhadap sumber bahan hukum yang relevan (primer dan sekunder), langkah berikutnya melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum yang ada baik yang menyangkut hukum pembuktian, hukum acara perdata, hukum perikatan, hukum kontrak (perjanjian), hukum

18

Putusan-putusan hukum ini adalah putusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dijadikan sebagai stare decisis.

(16)

pertanahan, hukum kenotarisan. Proses sistematisasi ini juga diberlakukan terhadap teori-teori, konsep-konsep, doktrin serta bahan rujukan lainnya. Rangkaian tahapan inventarisasi, identifikasi dan sistematisasi tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengkajian dari permasalahan penelitian. Rangkaian tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis dengan menggunakan penalaran deduktif disertai uraian deskriptif yang bersifat analitis, sehingga mempermudah mengkaji permasalahan dalam penelitian ini.

6. Pertanggung jawaban sistematika

Pendahuluan saya letakkan dalam bab I, karena dalam pendahuluan akan diketahui secara garis besar masalah yang dibicarakan dalam disertasi ini, sebagaimana gambaran umum agar dapat digunakan untuk pedoman dalam membahas bab-bab berikutnya.

Bab II membahas mengenai syarat-syarat formal dalam penandatanganan saksi pegawai guna menjamin otentitas akta Notaris. Dengan dibahasnya bab permasalahan ini maka akan tergambarkan secara mendalam mengenai makna dan arti pentingnya otentitas akta Notaris, serta syarat-syarat formal dalam penandatanganan saksi instrumentaris.

Bab III membahas mengenai akibat hukum tidak dipenuhi syarat-syarat formal penandatanganan saksi instrumentaris. Dengan dibahasnya bab permasalahan ini maka akan tergambarkan secara mendalam mengenai akta Notaris yang batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan, serta akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Bab V membahas kesimpulan dan saran dari permasalahan yang dibahas dalam thesis ini.

Referensi

Dokumen terkait

Meta: ndra, kita udah setuju mau baca puisi yang ini, jadi nanti sistemnya kita baca bareng-bareng, sambil di alunin musik dari elu.. terus nanti di bait ini ( sambil

Ini terlihat dengan adanya predikat menggunakan kata kerja aktif berupa kata menyampaikan yang memiliki arti perbuatan yang memberikan paparan atau penjelasan

Tujuan penelitian ini adalah ini adalah memanfaatkan enzim dari bekicot dan konsentrasi yang optimum untuk memecahkan dinding sel khamir (isolasi protoplas) serta

Dari Gambar 4.5., kadar glukosa darah selama uji toleransi glukosa pada subkelompok kontrol yang mendapatkan perlakuan di atas matras dengan pembangkit medan

Meskipun beberapa kajian memberikan bukti bahwasanya variabel kerja seperti kepuasan kerja, komitmen, stres kerja dan persepsi politik

Dapatan kajian ini selari dengan dapatan kajian yang dilakukan oleh Alkusairy (1998) yang bertajuk Pendekatan komunikatif bagi Pengajaran Bahasa Arab sebagai Bahasa Asing

Tati dkk., Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga (TKW-PRT) Indonesia: Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif Baru untuk Perlindungan Hak Asasi TKW-PRT, Kuala Lumpur:

Hasil analisis varian dari penelitian ini diketahui bahwa tidak ada interaksi antara va- rietas dan lokasi, oleh karena itu tidak dilan- jutkan dengan analisis