• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Hak cipta pertama kali mendapat perlindungan di tingkat Internasional pada tanggal 9 September 1886 melalui Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works1. Hak cipta terdiri dari hak ekonomi dan hak moral. Secara umum, hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait. Hak ekonomi meliputi hak untuk memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display) suatu karya cipta. Hak moral terdiri dari paternity right (hak untuk diidentifikasi sebagai pengarang atau direktur suatu karya), integrity right (hak untuk menolak perubahan atas suatu karya), dan privacy right (hak pemanfaatan foto dan film)2

Hak ekonomi dapat dipindahtangankan ke pihak lain yang dapat juga memindahkannya ke pihak yang lain lagi. Hak ekonomi ada masa berlakunya, yaitu sampai sekian tahun (misalnya 50 tahun) sesudah penciptanya meninggal

.

1

Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law Dosen Hukum Telekomunikasi dan Cyber Law pada Fakultas Hukum dan Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Peneliti Utama pada Pusat Studi Cyberlaw Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis juga anggota Tim Penyusun RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Tersedi dalam

2 Anwar, C. (1999). Hak cipta: Pelanggaran Hak Cipta dan Perundang-undangan Terbaru

Hak Cipta Indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri sebagaimana dikutip oleh Diao Ai Lien, Hak Cipta dan Penyebaran Pengetahuan merupakan staf pengajar FH Unika Atma Jaya, Jakarta

(2)

dunia. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya dan ahli warisnya dan hal ini berlaku selamanya.

Dasar utama dari hak cipta sebagai konsep kepemilikan, yaitu memungkinkan adanya perlindungan bagi hasil karyanya. Hal ini merupakan dasar ketentuan, di mana karya-karya tersebut merupakan ekspresi dari gagasan yang diperkenalkan kepada publik. Para pemilik tersebut menjadi bagian dari hadirnya berbagai informasi di mana arus informasi yang tanpa hambatan akan dapat menjadi sesuatu yang penting bagi masyarakat secara umum. Oleh karena itu, hak cipta memberikan jaminan bahwa para pencipta tidak hanya menjaga hasil karyanya di bawah pengawasan, dengan jalan mencegah terjadinya penyalinan ulang tanpa izin, akan tetapi juga memberikan jaminan bahwa para pencipta dapat memperoleh hasil manfaat dari hasil pekerjaan intelektualnya tersebut. Hal ini dapat dianggap sebagai sebuah insentif untuk mempublikasikan karyanya. Hak cipta juga bekerja sebagai sebuah kompensasi atas risiko keuangan dari penerimaan sang pemilik dengan jalan mempublikasikan hasik karyanya. Tanpa adanya perlindungan hak cipta, seorang pencipta mungkin saja akan menolak untuk mempublikasikan hasil karyanya, yang pada akhirnya publik juga tidak dapat menikmati karya tersebut.

Keuntungan yang dinikmati oleh pencipta melalui perlindungan hak cipta merupakan hal yang problematik. Hak penuh yang berada pada pemilik terhadap siapapun yang ingin menyalin hasil karyanya terkadang sangat berlawanan dengan kepentingan publik, seperti misalnya pada peran dan

(3)

kepentingan di bidang sosial, politik, pendidikan dan kebudayan. Sebagian mengatakan bahwa informasi dan hasil karya seharusnya dipertimbangkan sebagai benda umum, oleh karenanya tidak perlu dilindungi lagi oleh UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC). Hak untuk mengontrol akses bagi hasil karya seseorang sebelum dipublikasikan tidak akan menimbulkan permasalahan dalam kebebasan berbicara, akan tetapi penerbit dapat mengontrol akses tersebut setelah terjadinya publikasi. Hal ini menjelaskan bahwa secara historis hak cipta dianggap sebagai suatu bentuk monopoli yang seharusnya secara tegas ditafsirkan untuk melayani kepentingan publik di atas pemegang hak cipta.

Di dalam UUHC dikenal doktrin kewajaran penggunaan (fair use) sebagaimana termuat dalam Pasal 15 UUHC antara lain disebutkan bahwa tidak merupakan pelanggaran hak cipta apabila penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Atau jika pengambilan ciptaan pihak lain itu guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan.

Diperlukan regulasi untuk melengkapi UUHC yang belum mengantisipasi perkembangan teknologi informasi. Sebab selain hak cipta intelektual, seluruh karya cipta perlu mendapat perlindungan hukum. Misalnya ketika mendengarkan musik, menonton video atau film di televisi kabel yang disediakan sebuah hotel, segala pajak dan royalti dibayar hotel bersangkutan. Namun jika hal yang sama dinikmati melalui internet, seperti buku-buku best

(4)

seller yang seringkali mahal harganya, karya-karya cipta prestisius lain yang dihasilkan para pencipta, dengan mudah dapat diakses (ditransfer file melalui FTP, file transfer protocol) melalui internet tanpa harus dibeli. Apakah provider (penyedia jasa koneksi internet) telah membayar royalti atau membeli hak cipta (siar) atas karya-karya tersebut bagi pelanggannya. Hal itu menjadi masalah pelik jika tidak terlindungi secara hukum. Sebab selain merugikan hak-hak penulisnya, juga sangat merugikan produsen karya bersangkutan yang telah memegang hak ekonomi atas karya-karya tersebut.

Sampai saat ini belum ada negara yang mengatur internet dalam bentuk undang-undang karena unsur kebaruan dan kemutakhirannya. Karena itu, di Indonesia tentu tidak berkhayal terlalu tinggi untuk segera mampu menghadirkan regulasi soal itu. Sebab Amerika Serikat sendiri yang sudah mutakhir teknologinya, masih kalang-kabut menghadapi problematika yang ditimbulkan internet dalam pergaulan nasionalnya. Buktinya, Undang-undang Reformasi Teknologi yang disahkan pemerintah federal Amerika Serikat pada awal Februari 1996 lalu dan merekomendasikan ilegalitas bagi karya cipta yang sudah dipublikasikan secara konvensional, mendapat tantangan dan protes luar biasa. Namun begitu, haruskah para ahli, penegak dan praktisi hukum berpangku tangan menghadapi problema yang jelas-jelas sudah tampak di depan mata3

Secara normatif tetap perlu dipahamai bahwa UUHC sejatinya melindungi hampir seluruh karya cipta yang dimungkinkan diciptakan oleh

.

3 Pan Mohamad Faiz dalam artikelnya yang berjudul Konsep Hukum Fair Dealing di

Berbagai Negara Pilihan : Studi Perbandingan Berdasarkan UU Hak Cipta India, Inggris,

(5)

manusia. Namun, yang terjadi adalah isu perbedaan pendekatan yang dilakukan terhadap alih wujud dari karya cipta. Karya cipta berupa program komputer, sinematografi, fotografi, database dan karya hasil pengalihwujudan yang perlindungannya berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Selain itu, karya cipta di Indonesia akan dilindungi selama masa hidup Penciptanya ditambah 50 tahun lagi setelah pencipta dimaksud meninggal dunia. Permasalahan yang muncul pada saat ini adalah bagaimana alih bentuk karya cipta ke bentuk (format) “digital”. Terkadang hal ini menimbulkan interpertasi berbeda-beda termasuk pelanggaran hak ciptanya. Ketika lagu atau musik yang sebelumnya didapatkan dalam bentuk kaset atau keping cakram (CD), maka bagaimana statusnya jika telah menjadi format MP3 atau MP5. Apakah tetap dapat dikategorikan karya cipta lagu atau program komputer4

Perbanyakan suatu ciptaan secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non-komersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya tidak pula dikategorikan pelanggaraan hak cipta. Namun memperbanyak untuk suatu program komputer merupakan suatu pelanggaran hak cipta. Pembuatan salinan cadangan (back-up copy) suatu program komputer oleh pemiliknya hanya dapat dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

.

4

Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law Dosen Hukum Telekomunikasi dan Cyber Law pada Fakultas Hukum dan Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Peneliti Utama pada Pusat Studi Cyberlaw Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis juga anggota Tim Penyusun RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Tersedi dalam

(6)

Bertolak belakang dengan hal tersebut internet timbulkan masalah bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Hak Cipta. Maraknya penggunaan media internet, menimbulkan masalah baru di bidang HKI umumnya dan hak cipta pada khususnya sebab, internet memiliki karateristik teknis yang membuat masalah-masalah HKI menjadi kompleks5

Di dunia maya (cyberspace) seolah-olah tak mengenal adanya pelanggaran hukum karena dianggap belum diatur secara rinci apa dan bagaimana dunia maya sebenarnya. Masyarakat masih banyak yang belum tahu apakah boleh dengan bebas melanggar hak cipta walaupun merugikan banyak pihak. Baik itu individu maupun masyarakat cyber sendiri

.

6

Secara yuridis, pelanggaran HKI pada media internet yang menjadi fokus utama adalah pelanggaran hak cipta, merk paten, desain industri, rahasia dagang, serta desain tata letak sirkuit terpadu, sedangkan pembuktian, yurisdiksi dari suatu negara, dan keprofesionalan para penegak hukum dinilai

. Dalam sistem hukum hak cipta Indonesia, ada beberapa pengecualian bahwa pengambilan karya cipta orang lain tidak dianggap sebuah pelanggaran. Misalnya, untuk kepentingan pendidikan, penelitian, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan, dan lainnya atau biasa disebut doktrin fair use. Namun praktiknya, siapa yang dapat mengawasi dan menjamin kalau pengambilan hak cipta tersebut tidak dikomersialkan. Oleh karena itu, pelanggaran HKI di dunia maya belum diatur secara rinci.

5

Diungkapkan oleh Ketua Ketua Sentra Pendidikan dan Manajemen Hak Kekayaan Intelektual Undip, Dr Etty Susilowati Suhardo SH MS, yang mengemukakan hal itu dalam orasi ilmiah Eksistensi Hak Kekayaan Intelektual pada Realitas Dunia Maya dalam rangka Dies Natalis Ke-50 Fakultas Hukum Undip, di Gedung Notariat FH Undip Semarang.

(7)

sebagai kendala dalam rangka memberantas pelanggaran HKI di dunia maya. Karena itu, langkah awal yang dapat diambil adalah penyusunan UU yang mencakup permasalahan berkaitan HKI untuk digunakan sebagai payung hukum HKI pada dunia maya.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada 29 Juli 2003 (UUHC) ternyata menyisakan keresahan bagi komunitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), termasuk industri terkait seperti telekomunikasi, penyiaran dan content provider. Interpretasi yang kadang berbeda dari pihak penegak hukum menjadikan pentingnya pemahaman Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam kegiatan konvergensi TIK (kadang disebut juga Information Communication Technology atau ICT).

Tujuan secara umum dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI), khususnya pada perlindungan atas Hak Cipta, adalah untuk memberikan dorongan bagi para pencipta untuk terus membuat hasil karya dengan menyediakan jalan dengan memperoleh hasil materi. Meskipun tujuan utama dari UU Hak Cipta adalah untuk mempromosikan, memajukan dan menyebarkan budaya dan ilmu pengetahuan, pangsa pasar hak cipta telah membenarkan adanya sifat dasar dari harta benda umum yang berasal dari hak cipta itu sendiri dengan menyediakan kompensasi kepada sang pencipta, namun tidak termasuk bagi selain para pembeli maupun bagi mereka yang mengembangkan pertukaran secara sukarela antara pencipta dan pengguna7

7

.

Fair Dealing di Berbagai Negara Pilihan : Studi Perbandingan Berdasarkan UU Hak Cipta India, Inggris, Amerika Serikat, Australia dan German

(8)

Untuk mengatasi permasalah tersebut, negara-negara seperti Inggris, Amerika Serikat ataupun negara lainnya, dimana pemilik sangat menikmati perlindungan hak cipta, telah mencoba untuk menciptakan keseimbangan antara hak penuh sang pemilik, di satu sisi, bagi siapapun yang ingin menyalin ulang hasil karyanya, dan kepentingan publik dalam menggunakan hasil karya pemilik tersebut di sisi lainnya. Walaupun ketika sang pemilik menikmati hak cipta, perlindungan tersebut mempunyai banyak batasan. Sebagai contoh dari pembatasan tersebut yaitu adanya durasi secara berturut-turut dari hak cipta hasil pekerjaannya tersebut.

Berbagai negara telah mengembangkan bermacam cara pembatasan. Di India dan Inggris, salah satu pembatasan dari perlindungan hak cipta dinamakan dengan Fair Dealing Defence. Sementara itu di Amerika Serikat, pembatasan tersebut dinamakan dengan Fair Use Doctrine. Fair Dealing pada dasarnya memberikan kesempatan kepada publik untuk menyalin suatu karya dari pemegang hak cipta dengan tujuan kritisasi, parodi ataupun kegunaan lainnya di bidang pendidikan tanpa harus meminta izin dari sang pemilik. Fair Dealing seringkali didefiniskan sebagai “keistimewaan yang dimiliki oleh orang lain dibandingkan dengan pemegang hak cipta untuk menggunakan benda atau karya yang telah memiliki hak cipta dalam lingkup tindakan yang layak tanpa harus adanya persetujuan sang pemilik, meskipun hak monopoli diberikan pada pemegang hak cipta tersebut”8

8 Ibid.

(9)

Hak cipta, yang merupakan bagian penting dalam HKI, perlu dipahami lebih baik sebagai upaya perlindungan HKI. Dalam Konstitusi Amerika Serikat tahun 1776, hak cipta telah mendapatkan perlindungan yang mendasar. Disebutkan dalam dokumen itu ”…to promote the progress of science and useful arts, by securing for limited times to authors and inventors the exclusive right to their respective writings and discoveries“9

Berbeda dengan negara-negara Eropa yang menganut hak cipta sebagai suatu hak moral atau moral right, AS memahami hak cipta sebagai suatu economic right. Hak cipta dengan corak moral right memberikan suatu pengakuan yang luhur bagi karya-karya ciptaan. Hak cipta diartikan sebagai invention right atau authors’ right bukan sebagai copyright

.

10

. Lebih lanjut dikemukakan bahwa perlindungan hak cipta di AS lebih mengarah kepada perlindungan ekonomi bagi para pencipta. Istilah copyright yang dipergunakan dapat dipahami secara sederhana sebagai the right to copy atau hak untuk memperbanyak atau menggandakan sehingga kompensasi materi bagi para pencipta berupa royalti merupakan hal yang signifikan. Hal dimaksud dapat dipahami sebagai langkah kompromistis dalam upaya mendorong ide dan kreativitas sekaligus pula memberikan kesempatan yang wajar untuk dapat digunakannya hasil-hasil karya cipta11

9 Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law Dosen Hukum Telekomunikasi dan

Cyber Law pada Fakultas Hukum dan Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Peneliti Utama pada Pusat Studi Cyberlaw Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis juga anggota Tim Penyusun RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Tersedi dalam

. Dalam UUHC, tampaknya Indonesia menganut pemahaman campuran. Secara peristilahan dipergunakan terminologi hak cipta atau invention right, sehingga dapat dikategorikan

10 Ibid. 11 Ibid.

(10)

sebagai moral right. Namun secara substansi, UUHC memuat pula dalam hal perlindungan economic right12

B. Rumusan Masalah

.

Berdasarkan permasalahan berkaitan dengan hak cipta di internet tersebut diperlukan jalan keluar dimana salah satunya adalah dengan cara penyempurnaan beberapa ketentuan di dalam UUHC. Pada akhir 1998, menyikapi permasalahan serupa maka AS memberlakukan rezim sui generis melalui Digital Millennium Copyright Act (DCMA) sebagai upaya perlindungan HKI khususnya hak cipta di Internet.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi doktrin fair use dalam kerangka perlindungan hak cipta di internet ?

2. Bagaimana permasalahan yang terjadi pada doktrin fair use dalam perlindungan hak cipta di internet ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dilakukannya penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui implementasi doktrin fair use dalam kerangka perlindungan hak cipta di internet

2. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada doktrin fair use dalam perlindungan hak cipta di Internet

(11)

D. Metode Penelitian

1. Fokus Penelitian

a. Implementasi doktrin fair use dalam kerangka perlindungan hak cipta di internet

b. Permasalahan yang terjadi pada doktrin fair use dalam perlindungan hak cipta di Internet

2. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer

Kitab Undang-undang Hukum Perdata UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

UU No. 19 Tahun 2003 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 19 tahun 2002

b. Bahan hukum sekunder

Literatur, jurnal publikasi, makalah seminar dan hasil penelitian terdahulu.

c. Bahan hukum tersier

Kamus hukum dan ensiklopedi 3. Pendekatan yang digunakan

Studi yuridis normatif, dengan mengumpulkan fakta di lapangan kemudian dikaitkan dengan dasar hukum yang berlaku.

4. Analisis Hukum

Analisis hukum dilakukan dengan menggolong-golongkan sesuai klasifikasi yang dibutuhkan, kemudian pemberian kode-kode tertentu

(12)

sesuai dengan yang diinginkan, selanjutnya melakukan analisis bahan-bahan hukum yang merupakan penguraian/narasi, pembahasan, menafsirkan temuan-temuan dengan pespektif atau sudut pandang tertentu.

E. Kerangka Skripsi

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Metode Penelitian F. Sistematika

BAB II Hak Cipta

A. Pengertian ciptaan, Pencipta dan Hak cipta B. Lingkup Perlindungan Hak Cipta

C. Perolehan Hak Cipta D. Pembatasan Hak Cipta

E. Pelanggarandan Penyelesaian Lingkup Hak Cipta

BAB III Doktrin Fair Use dalam Perlindungan Hak Cipta di Internet

A. Implementasi Doktrin Fair Use dalam Kerangka Perlindungan Hak Cipta di Internet

B. Permasalahan yang terjadi dalam Kerangka Perlindungan Hak Cipta di Internet

(13)

BAB IV Penutup A. Kesimpulan B. Saran

Referensi

Dokumen terkait

a) Dalam persoalan kajian yang pertama, kajian yang dijalankan adalah untuk mengkaji tahap kreativiti bakal guru. Hasil daripada dapatan kajian ini menunjukkan bakal guru yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memotivasi petani dalam melakukan usahatani semangka di Desa Sumber Sari Kecamatan Kota Bangun

Hasil dari perhitungan tersebut diatas, menunjukkan bahwa interpretasi dari korelasi mencapai (0,74%), berarti memasuki keadaan kategori baik maka membuktikan

Berdasarkan Gambar 4, hasil analisa data rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap sifat organoleptik warnaleathernanas antara 4.33-5.83 yaitu dari netral sampai

Marilah kita belajar untuk hidup dengan bijaksana, sebarkan metta ke semua makhluk. Akhir kata, Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Buku ini adalah kelanjutan dari buku Hijau, sebuah

Teknik pengumpulan data menggunakan metode metode observasi, metode wawancara, metode dokumentasi, metode analisis data yang digunakan dalam menganalisis data dalam

Penyidik Polri dengan teori pembuktian negatif ini hanya boleh menjerat atau menjatuhkan pidana apabila terdapat paling tidak 2 (dua) alat bukti yang secara eksplisit

Menurut pendapat peneliti kecemasan memang dipengaruhi oleh usia hal tersebut sesuai dengan penelitian Lutfa & Maliya (2008) yang mengatakan bahwa