• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tabel 3.1. Daftar penggunaan laboratorium dan peralatan yang digunakan untuk penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tabel 3.1. Daftar penggunaan laboratorium dan peralatan yang digunakan untuk penelitian"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian “Pengembangan dan Karakterisasi Sifat listrik Film Kitosan sebagai Sensor Aseton dengan Penambahan CMC” ini mencakup kajian teori dan eksperimen yang mengambil tempat sebagai berikut:

Tabel 3.1. Daftar penggunaan laboratorium dan peralatan yang digunakan untuk penelitian

Laboratorium Tujuan Alat

Laboratorium Kimia Dasar LIDA-USU

Preparasi sampel larutan kitosan

-Gelas-gelas Kimia -Laminar Air Flow

Laboratorium Fisika Dasar LIDA-USU Fabrikasi film kitosan -Neraca Digital -Magnetic Stirrer -Power Suplay Laboratorium Terpadu USU Karakterisasi larutan kitosan -PSA -pH meter Laboratorium Mikroskop PTKI Karakterisasi film Kitosan -Mikroskop Optik -DTA Laboratorium Universitas Malaysia Perlis (UniMap)

Karakterisasi Film Kitosan

-FTIR

- UV-VIS Spectroscopy

Pembuatan film kitosan dan film kitosan dengan penambahan CMC hingga menjadi material sensitif sensor aseton berlangsung selama hampir sepuluh bulan sejak september 2013 s/d juni 2014.

(2)

32

3.2 Peralatan dan Bahan Penelitian 3.2.1 Peralatan

Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dirangkum ke dalam Tabel di bawah ini:

Tabel 3.2. Peralatan untuk pembuatan sampel larutan kitosan dan kitosan - CMC Peralatan Pembuatan Larutan Kitosan dan Kitosan - CMC

No Nama Alat Fungsi

1 Gelas - gelas kimia Seperangkat wadah untuk membuat larutan 2 Pipet Tetes Panjang Alat untuk memindahkan larutan

3 Neraca Digital Alat menimbang massa bahan

4 Spatula Alat untuk mengambil bahan

5 Magnetic Stirrer Pengaduk larutan

Tabel 3.3. Peralatan fabrikasi film kitosan dan kitosan - CMC Peralatan Fabrikasi Film Kitosan dan Kitosan - CMC

No Nama Alat Fungsi

1 Laminar Air Flow Meja kerja steril untuk preparasi bahan/sampel

2 Power Supplay Sumber tegangan input untuk deposisi larutan

3 Elektroda Penyangga PCB sensor saat proses deposisi

4 Pinset Alat untuk memindahkan sensor

5 Oven Pengering sensor

6 Kabel Penghubung Penghubung antara elektroda dengan PSA 7 Cawan Petri Wadah untuk mengeringkan sensor 8 Multimeter Digital Uji konektivitas elektroda pada sensor

Tabel 3.4. Peralatan uji sensor aseton

Peralatan Uji Sensor Aseton Berbasis Film Kitosan dan Kitosan - CMC

No Nama Alat Fungsi

1 Testing Chamber Tempat uji respon sensor pada gas uji

2 Pump Membantu untuk recovery sensor

3 Selang Penyalur udara dari pump ke chamber

4 Tabung Recovery Wadah Silica gel untuk recovery sensor 5 Kantong Udara Wadah menyimpan sampel nafas yang diuji

(3)

Tabel 3.5. Peralatan karakterisasi larutan/film kitosan dan kitosan - CMC Peralatan Karakterisasi Larutan/Film Kitosan dan Kitosan - CMC

No Nama Alat Fungsi

1 Particle Size Analizer (PSA)

dari Vascoɤ

Alat ukur atau analisa distribusi ukuran partikel dalam larutan kitosan dan kitosan - CMC

2 Mikroskop Optik

Alat untuk menampilkan image permukaan film kitosan dan kitosan - CMC diatas substrat logam Cu

3 Fourier Transform Infrared

(FTIR) dari Perkin Elmer

Identifikasi gugus-gugus fungsi yang tedapat dalam larutan kitosan dan kitosan - CMC

4 Differential Thermal Analysis

(DTA) dari Shimadzu

Analisa sifat termal film kitosan dan kitosan - CMC untuk menentukan kondisi eksperimental film

5 UV-VIS Spectroscopy dari Perkin Elmer

Analisa spektrum absorbansi sampel yang dinyatakan dengan panjang gelombang

3.2.2 Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

Tabel 3.6. Bahan - bahan pembuat film kitosan dan kitosan - CMC

Bahan Kemurnian Supplier Fungsi

Kitosan ≥ 75 % Sigma Aldrich Bahan Kerja

CMC Food Grade - Bahan Kerja

Asam Asetat 98 % Merck Bahan Kerja

Aquadess - - Bahan Kerja

Aseton 99 % - Bahan Uji

(4)

34

3.3 Diagram Alir Penelitian

Secara keseluruhan pelaksanaan penelitian didasarkan pada rancangan penelitian yang diuraikan pada skema berikut ini:

Serbuk Kitosan 0,5 g CMC 0 g CMC 0,05 g CMC 0,5 gr 40 ml Acetic Acid 2 % Larutan Kitosan – CMC Karakterisasi Larutan PSA Analisa Kualitas Fisik Larutan Tahap I

Proses Fabrikasi Film Kitosan Tahap II

Film Kitosan Film Kitosan – CMC 0,01 g Film Kitosan – CMC 0,05 g Film Kitosan – CMC 0,1 g

Uji aplikasi film kitosan- CMC sebagai sensor aseton Tahap III

Sensitivitas Selektivitas Respon Recovery Reproducibility Repeatability Stability

Sensor dengan kinerja paling optimum

Pengaruh penambahan CMC terhadap homogenitas larutan

kitosan

Pengaruh penambahan CMC terhadap sifat fisik dan termal film kitosan dan film kitosan -

CMC

Kajian sifat listrik film kitosan dan film

kitosan - CMC

CMC 0,01 g

CMC 0,1 g

Larutan Homogen Kitosan-CMC dengan variasi komposisi

0,5 : 0 0,5 : 0,01 0,5 : 0.05 0,5 : 0,1 0,5 : 0,5

Film Kitosan – CMC 0,5 g

Life Time

Dilarutkan ke dalam

Di Stir selama 24 jam dalam suhu kamar

Uji Karakteristik listrk film kitosan – CMC terhadap gas aseton dengan konsentrasi yang divariasikan

Normal Air 0,1 ppm 0,5 ppm 1 ppm 5 ppm 10 ppm

Hasilnya menetukan

Perancangan Layout Permukaan Sensor

Pemasangan Elektroda Pada sensor

Pengeringan Sensor Karakterisasi Film Kitosan-CMC

DTA Mikroskop Optik

Proses Deposisi Larutan Kitosan/ Kitosan-CMC pada permukaan

Substrat logam Sensor Aseton Pure Chit CS-CMC 0,01 w/v UV-VIS FTIR CS-CMC 0,05 w/v CS-CMC 0,1 w/v CS-CMC 0,5 w/v

(5)

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Pembuatan Larutan Homogen Kitosan dan Kitosan - CMC

Tahapan awal dalam proses pembuatan sensor aseton berbasis film kitosan dengan dan tanpa penambahan CMC (kitosan - CMC) adalah pembuatan larutan homogen kitosan dan kitosan dengan penambahan variasi massa CMC sebagai bahan dasar pembuatan material sensitif sensor yang mengacu pada penelitian Tulus et al., (2013).

Pembuatan film kitosan dan film kitosan dengan penambahan variasi massa CMC diawali dengan pemilihan komposisi campuran untuk larutan kitosan dan kitosan - CMC. Ini penting untuk menentukan karakteristik suatu film hasil preparasi. Pada penelitian ini sejumlah 0,5 g kitosan dilarutkan pada sejumlah tertentu asam asetat dengan konsentrasi 2% (Rohman dkk., 2009). Sedangkan untuk membuat film kitosan - CMC, ke dalam larutan kitosan ditambahkan CMC dengan variasi massa 0 g; 0,01 g; 0,05 g; 0,1 g; 0,5 g. Jumlah ini dipilih berdasarkan kajian/penelitian pendahuluan untuk menentukan jumlah CMC yang tepat dimana larutan kitosan - CMC masih dapat dibentuk menjadi film dengan teknik elektrodeposisi.

Asam asetat merupakan pelarut yang dipilih karena kemampuannya untuk dapat melarutkan kitosan sangat baik (Po-Hui et al., 2007), yang mana dalam pembentukan larutan tersebut akan terjadi ikatan antara monomer-monomer kitosan akibat adanya pengaruh asam, sehingga larutan dapat dibentuk menjadi film pada tahapan selanjutnya (Laxmi et al., 2013).

Dalam proses pelarutan, kitosan tidak sepenuhnya larut sempurna maka dari itu seluruh komponen pembuat larutan dicampur dengan metode blending

menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan konstan selama ± 24 jam pada suhu kamar. Hasilnya diperoleh 5 jenis larutan dengan komposisi yang berbeda dengan rasio campuran masing masing adalah pure chitosan, 1 : 50, 1 : 10, 1 : 5, dan 1 : 1. Selanjutnya, untuk mengetahui karakteristik larutan kitosan - CMC yang dibuat maka dilakukan pengamatan terhadap kualitas fisik dan pengukuran distribusi ukuran partikel dalam larutan menggunakan PSA.

(6)

36

3.4.2 Fabrikasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

Larutan homogen kitosan - CMC diaplikasikan sebagai material sensitif sensor untuk gas aseton. Proses pembuatannya dilakukan dengan pelapisan larutan diatas suatu permukaan substrat dengan pola khusus dari logam (Gambar 3.2). Pemilihan substrat logam ini didasarkan karena properti listriknya sehingga memudahkan dalam proses pelapisan larutan kitosan.

0,5 cm

0,5 cm

Substrat dari logam Cu

Bagian permukaan sensor yang akan dilapisi larutan kitosan - CMC

PCB Fiber

Gambar 3.2. Bentuk sensor yang akan difabrikasi

Proses pembuatan film kitosan ini dilakukan dengan metode elektrodeposisi. Bagian penting dalam proses ini adalah bagian elektrolit

(electrodeposition unit) yang ditempatkan dalam wadah berisi larutan elektrolit

yang dalam penelitian ini adalah larutan kitosan - CMC. Proses pelapisannya memerlukan sumber tegangan untuk mengalirkan listrik melalui anoda dan katoda dalam larutan elektrolitnya. Pada sistem demikian, ion-ion yang bersumber dari larutan akan bergerak menuju elektroda. Dimana kation larutan bergerak menuju katoda sedangkan anion larutan menuju anoda. Hasilnya, larutan kitosan - CMC akan terdeposisi ke atas permukaan substrat (Basmal, 2011).

Dari proses fabrikasi sensor berbasis film kitosan - CMC diperoleh lima buah sampel sensor dengan berbagai komposisi. Yakni, sensor berbasis film kitosan murni tanpa penambahan CMC (Pure Chitosan), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,01 g CMC (CS - CMC 0,01 w/v), sensor 3 untuk sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,05 g CMC (CS - CMC 0,05 w/v), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,1 g CMC (CS - CMC 0,1 w/v) dan sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,5 g CMC (CS - CMC 0,5 w/v).

(7)

Pada tahap berikutnya masing - masing sampel sensor hasil fabrikasi akan dikarakterisasi untuk mengetahui karakteristik film kitosan - CMC yang terbentuk pada permukaan sensor. Karakterisasi dilakukan meliputi Mikroskop optik untuk mengamati bentuk fisik permukaan sensor, DTA untuk mengetahui sifat termal film, FTIR untuk mengetahui komposisi/kandungan material sensor dan UV-VIS

spectroscopy untuk mengetahui sifat absorbansi material.

3.4.3 Pengujian Aplikasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

Sensor aseton berbasis film kitosan dan film kitosan dengan penambahan CMC hasil fabrikasi diuji menggunakan sistem sensor berbasis microcontroller

ATMega 8535 dengan Testing Chamber sebagai tempat sensor diuji dan keluaran berupa besaran fisis yakni tegangan. Testing chamber yang digunakan dilengkapi dengan humiditymeter sekaligus termometer digital untuk mempermudah pengamatan terhadap stabilitas sensor berbasis film kitosan dan kitosan - CMC selama pengujian berlangsung.

Humidity meter

Silica Gel

Aseton 0.1 ppm Aseton 0.5 ppm Aseton 1 ppm Aseton 5 ppm Aseton 10 ppm Normal Air

Komputer

Alat Uji

Sensor Testing Chamber

(8)

38

Uji dilakukan terkait sifat listriknya yang ditinjau berdasarkan karakteristik umum sensor yang meliputi linieritas, selektifitas, respon, recovery,

reproducibility, repeatability, stability dan life timenya. Pengujian dilakukan

terhadap sensor berbasis film kitosan dan film kitosan dengan variasi penambahan massa CMC.

Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan jangkauan pengukuran dari sensor dalam mendeteksi gas aseton sebagai zat yang dideteksi. Dalam fabrikasi sensor, jangkauan pengukuran diharapkan bersesuaian dengan pengukuran konsentrasi aseton aktual dalam nafas seorang diabetisi, yakni diantara 1,7 ppm s/d 3,7 ppm dan dibandingkan dengan nafas orang dengan kondisi aseton normal, yakni 0,8 ppm (Kun-Wei et al., 2012).

Gas aseton yang digunakan dalam pengujian berasal dari aseton cair yang diuapkan ke dalam kantong berisi udara 1 L (size bag) maka konsentrasi gas aseton yang diuji dinyatakan dalam ppm. Karenanya, konsentrasi gas aseton yang dideteksi dikonversi dari volume (acetone liquid) ke ppm (acetone gas)

menggunakan persamaan berikut (Lampiran):

ppm =

massa zat terlarut (g) volume zat pelarut (m3)

=

g

m3 (3.1)

dan massa zat terlarut (aseton) dihitung dengan:

massa zat terlarut = densitas zat terlarut x volume zat terlarut (3.2)

Pada akhirnya didapat konsentrasi gas aseton untuk pengujian yang divariasikan mulai dari 0,1 ppm; 0,5 ppm, 1 ppm; 5 ppm, 10 ppm, 50 ppm serta udara normal. Nilai - nilai tersebut diperoleh dari menguapkan aseton cair dengan volume masing - masing sebesar 0,06 ml, 0,3 ml, 0,6 ml, 3 ml dan 6 ml.

3.5 Karakterisasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

Karakterisasi material dilakukan untuk mengetahui sifat - sifat yang dimiliki oleh material yang dibuat. Dalam penelian ini karakterisasi dilakukan meliputi karakterisasi terhadap larutan sebagai bahan dasar pembuatan film kitosan - CMC dan karakterisasi terhadap film kitosan - CMC itu sendiri.

(9)

3.5.1 Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel Larutan Kitosan dan Larutan Kitosan - CMC dengan Particle Size Analyzer (PSA)

Particle Size Analyzer atau disingkat dengan PSA merupakan salah satu

alat karakterisasi material guna mengetahui ukuran partikel - partikel pembentuk larutan/senyawa disamping metode dan perlatan lainnya, seperti metode ayakan

(sieve analyses), Dynamic Light Scattering (DLS) metode sedimentasi, analisa

gambar (mikrografi) dan metode kromatografi. Diantara metode - metode tersebut metode LAS adalah yang paling banyak digunakan belakangan ini. Ada dua metode yang terdapat dalam metode DLS ini, yaitu:

1. Metode basah: metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji.

2. Metode kering: metode ini memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone.

Gambar 3.4. PSA dengan metode DLS

Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat dan dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling beraglomerasi. Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle.

(10)

40

Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel.

Dalam penelitian ini karakterisasi dilakukan menggunakan PSA digunakan untuk menentukan ukuran rata-rata partikel kitosan dalam larutan. PSA menggunakan metode Dinamyc Light Scattering (DLS) dengan memanfaatkan hamburan inframerah yang ditembakkan ke sampel sehingga sampel akan bereaksi menghasilkan gerak Brown (gerak acak dari partikel yang sangat kecil dalam cairan akibat dari benturan dengan molekul-molekul yang ada dalam zat cair). Gerak inilah yang kemudian di analisis oleh alat, semakin kecil ukuran molekul maka akan semakin cepat gerakannya.

Sampel yang digunakan dalam karakterisasi dengan PSA ini ditunjukkan pada Gambar 4.1. Selanjutnya, analisa distribusi ukuran pada partikel berdasarkan pada ukuran maksimum yang dihasilkan dalam persentase volume sampel tertentu (Gambar 3.5).

Gambar 3.5. Contoh persentase distribusi ukuran partikel

Sebagai contoh, Dv50 digunakan untuk melihat diameter maksimum yang terdapat dalam 50% volume sampel. Gambar 3.5 sebelumnya menjelaskan distribusi ukuran partikel Dv10, Dv50 dan Dv90 yang menunjukkan ukuran maksimum pada sampel dalam persentase volume 10%, 50% dan 90%.

(11)

3.5.2 Pengamatan Permukaan Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan Mikroskop Optik

Struktur mikro merupakan butiran - butiran suatu material yang sangat kecil dan tidak dapat dilihat dengan mata, sehingga perlu menggunakan mikroskop optik atau mikroskop elektron untuk pemeriksaan butiran-butiran tersebut. Struktur material berkaitan dengan komposisi, sifat, sejarah dan kinerja pengolahan, sehingga dengan mempelajari struktur mikro akan memberikan informasi yang menghubungkan komposisi dan pengolahan sifat serta kinerjanya (Hera, 2013).

Gambar 3.6. (a). Mikroskop optik metalurgi, (b). Skema kerja mikroskop optik

Mikroskop metalurgi merupakan mikroskop optik yang berbeda dari yang lain dengan menggunakan metode iluminasi pada specimen mikroskop. Metode ini menyebabkan material uji harus diterangi oleh pencahayaan frontal, sehingga cahaya berada di dalam tabung mikroskop. Skema mikroskop metalurgi optik diperlihatkan pada Gambar 3.6b.

(12)

42

3.5.3 Analisa Sifat Termal Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan

Differential Thermal Analysis (DTA)

Analisa termal secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan teknik yang mengukur sifat fisis suatu bahan dan atau hasil - hasil reaksi yang diukur sebagai fungsi temperatur. Analisa termal memegang peranan penting terhadap sifat suatu bahan karena berkaitan erat dengan struktur dalam bahan itu sendiri. Suatu bahan bila dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan adanya perubahan dalam kapasitas panas atau energi termal bahan tersebut. Teknik analisa termal digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan) atau kimia (dekomposisi) suatu bahan salah satunya adalah menggunakan metode differential thermal analysis (DTA) (Yudi, 2012).

Analisa termal dengan DTA merupakan metode dimana suhu dari sampel dibandingkan dengan material referensi selama perubahan suhu terprogram. Suhu sampel dan referensi akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat terjadinya beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur sampel, suhu dari sampel dapat berada di bawah (apabila perubahannya bersifat endotermik) ataupun di atas (apabila perubahan bersifat eksotermik) suhu referen (Yudi, 2012).

(13)

Sample holder terdiri dari termokopel yang masing-masing terdapat pada material sampel dan reference. Termokopel ini dikelilingi oleh sebuah blok untuk memastikan tidak ada kebocoran panas. Sampel ditaruh di kubikel kecil dimana bagian bawahnya dipasangkan termokopel diletakkan sedemikian rupa agar bersentuhan dengan sampel dan material referensi. Gambar 3.8 menunjukkan skematis dari alat DTA untuk mengkarakterisasi sampel (Klanak et al., 2009).

Gambar 3.8. (a). Skema alat DTA untuk tempat sampel, (b). Plot grafik hasil DTA

Tahapan kerja DTA diawali dengan memanaskan heating block dan dipastikan bahwa ukuran sampel dengan ukuran material referensi sedapat mungkin identik dan dipasangkan pada sample holder. Selanjutnya termokopel ditempatkan bersentuhan secara langsung dengan sampel dan material referensi. Temperatur di heating block akan meningkat, diikuti dengan peningkatan temperatur sampel dan material referensi. Apabila pada termokopel tidak terdeteksi perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi, maka tidak terjadi perubahan fisika dan kimia pada sampel. Apabila ada perubahan fisika dan kimia, maka akan terdeteksi adanya ΔT (Klanak et al., 2009).

Pada Gambar 3.8a diperlihatkan pengaturan yang digunakan pada DTA. Sampel dan referen ditempatkan bersebelahan dalam heating block yang dipanaskan ataupun didinginkan pada laju konstan. Termokopel identik ditempatkan pada keduanya dan dikoneksikan. Ketika sampel dan referen berada pada suhu yang sama, output bersih dari pasangan termokopel ini akan sama dengan nol.

(14)

44

Pada saat suatu peristiwa termal berlangsung pada sampel, perbedaan suhu (ΔT) timbul antara keduanya yang kemudian terdeteksi dari selisih tegangan dari kedua termokopel. Baseline horizontal, menunjukkan ΔT=0, sedangkan

penyimpangan dari baseline akan berupa puncak yang tajam sebagai akibat dari berlangsungnya peristiwa termal pada sampel (Gambar 3.8b).

Instrumen DTA komersial dapat digunakan pada range suhu - 190oC sampai 1600oC. Ukuran sampel biasanya kecil, beberapa miligram, sehingga mengurangi pemunculan masalah akibat gradien termal dalam sampel yang dapat mengurangi sensitivitas dan akurasi. Laju pemanasan dan pendinginan biasanya berada pada range 1 sampai 50oC/menit. Pada penggunaan laju yang lebih lambat, sensitivitas akan berkurang karena ΔT bagi peristiwa termal tertentu akan menurun dengan menurunnya laju pemanasan (Yudi, 2012).

Untuk analisa termal film kitosan - CMC, sampel yang digunakan untuk karakterisasi ditampilkan pada gambar di bawah ini:

(15)

3.5.4 Analisa Gugus Fungsional Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC Spekroskopi inframerah adalah sebuah metode analisis instrumentasi pada senyawa kimia yang menggunakan radiasi sinar infra merah. Bila suatu senyawa diradiasi menggunakan sinar infra merah (IR), maka sebagian sinar akan diserap oleh senyawa, sedangkan yang lainnya akan diteruskan. Serapan ini diakibatkan karena molekul senyawa organik mempunyai ikatan yang dapat bervibrasi. Dan masing-masing ikatan akan mempunyai sifat yang khas (Budi dkk., 2012).

Gambar 3.10. FTIR untuk analisa gugus fungsi suatu senyawa

Prinsip kerja spektroskopi FTIR berupa interaksi energi dengan materi. Sampel dilewati oleh sinar IR monokromatis dan jumlah energi yang diserap oleh material sampel akan dicatat. Dengan mengulang prosedur pada range 4000 - 500 cm-1 akan didapat spektra antara panjang gelombang (λ) versus persen transmitansi (%T) (Dewi, 2007). Interaksi antara material sampel dengan sinar IR mengakibatkan molekul-molekul bervibrasi dimana besarnya energi vibrasi tiap komponen molekul berbeda-beda tergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya sehingga akan dihasilkan frekuensi yang berbeda yang mewakili ikatan kimia (gugus fungsional) senyawa tertentu (Budi dkk., 2012).

(16)

46

Identifikasi dengan FTIR dalam penelitian ini dilakukan terhadap film kitosan - CMC (sampel Gambar 4.9) maka analisa spektrum difokuskan pada sejumlah gugus fungsional tertentu yang biasanya bersesuaian dengan bahan dasar film. Berikut adalah daftar pengecekan utama terhadap gugus-gugus fungsional tersebut (Dewi, 2007).

Tabel 3.7. Daftar gugus fungsional utama untuk kitosan

No Jenis Gugus Analisa

1 Karbonil

Gugus C=O memberikan serapan yang kuat dalam daerah 1820 - 1660 cm-1 (5,50 - 6,1 m). Puncak tersebut sering merupakan puncak yang paling kuat dalam spektrum.

2

C=O (Amida) ada, maka harus diperhatikan tipe senyawa (jika tidak ada maka langsung pada no.3)

Serapan dengan kenampakan medium dekat 3500 cm-1 kadang-kadang muncul sebagai puncak rangkap.

3 Hidroksi Serapan sedang dekat 3500 cm

-1

dan 3200 cm-1

4

Amin, perhatikan terhadap NH Amina primer

Serapan medium dekat 3500 cm-1 Serapan medium dekat 1640 cm-1 - 1550 cm-1

3.5.5 Analisa Sifat Absorbansi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

Spektrofotometri ini merupakan gabungan antara spektrofotometri UV dan

Visible (Vis). Menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda, yakni: sumber

cahaya UV (190 nm - 380 nm) dan sumber cahaya visible (380 nm / 780 nm). Untuk sistem spektrofotometri, UV-Vis paling banyak tersedia dan paling populer digunakan. Kemudahan metode ini adalah dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga untuk sampel tak berwarna (Gambar 3.9) (Iis dkk., 2012).

(17)

Cahaya yang berasal dari lampu (deuterium maupun wolfram) yang bersifat polikromatis di teruskan melalui lensa menuju ke monokromator pada spektrofotometer dan filter cahaya pada fotometer. Monokromator kemudian akan mengubah cahaya polikromatis menjadi cahaya monokromatis (tunggal). Berkas-berkas cahaya dengan panjang tertentu kemudian akan dilewatkan pada sampel yang mengandung suatu zat dalam konsentrasi tertentu. Oleh karena itu, terdapat cahaya yang diserap (diabsorbsi) dan ada pula yang dilewatkan. Cahaya yang dilewatkan ini kemudian di terima oleh detektor. Detektor kemudian akan menghitung cahaya yang diterima dan mengetahui cahaya yang diserap oleh sampel. Cahaya yang diserap sebanding dengan konsentrasi zat yang terkandung dalam sampel sehingga akan diketahui konsentrasi zat dalam sampel secara kuantitatif (Wocono, 2013).

Gambar 3.11. Skema bagian dari alat spektroskopi UV-Vis

Interaksi antara energi cahaya dan molekul dalam serapan cahaya molekul dalam spektrum UV-VIS dapat juga dinyatakan sebagai energi gap yang ditentukan berdasarkan panjang gelombang maksimum yang dihasilkan puncak absorbsi dari hasil uji UV-VIS spectroscopy tersebut yang secara matematis dituliskan dengan:

E

g

= hv = h

c

(18)

48

Dengan Eg adalah energi gap (eV), h adalah tetapan planck sebesar 6,64 x 10-34 J

dan v sebagai frekuensi gelombang (Hz) (Husni, 2012).

Absorbansi terjadi pada saat foton bertumbukan langsung dengan atom-atom pada suatu material. Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh suatu lapisan tipis dari total cahaya yang dilewatkan pada lapisan tipis tersebut. Absorbansi (A) suatu larutan dinyatakan sebagai persamaan,

A = − log T = − logI1

Io

(3.4)

dengan A adalah absorbansi, T adalah transmitansi, Ioadalah berkas cahaya datang

(W/m2), dan I1 adalah berkas cahaya keluar dari suatu medium (W/m2).

Absorbansi lapisan tipis bertambah dengan penguatan energi cahaya. Bila ketebalan benda atau konsentrasi materi yang melewati cahaya bertambah, maka cahaya akan lebih banyak diserap. Jadi absorbansi berbanding lurus dengan ketebalan d. Koefisien absorbansi (α) merupakan rasio antara absorbansi (A), dengan ketebalan bahan d yang dilintasi cahaya. Sehingga dapat ditulis dalam bentuk persamaan 3.5 dan 3.6 di bawah ini (Micheal, 2008).

α =

A

d (3.5)

d =

λ1λ2

2n λ1 − λ2 (3.6)

3.6 Analisa Statistik Data Listrik Sensor Aseton 3.6.1 Analisa Regresi Linier

Regresi linier adalah metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan antara variabel terikat (dependen, respon, x) dengan satu atau lebih variabel bebas (independen, prediktor, y). Apabila banyaknya variabel bebas hanya ada satu, disebut sebagai regresi linier sederhana, sedangkan apabila terdapat lebih dari 1 variabel bebas, disebut sebagai regresi linier berganda.

Analisis regresi setidak-tidaknya memiliki 3 kegunaan, yaitu untuk tujuan deskripsi dari fenomena data atau kasus yang sedang diteliti, untuk tujuan kontrol, serta untuk tujuan prediksi. Regresi mampu mendeskripsikan fenomena data

(19)

melalui terbentuknya suatu model hubungan yang bersifatnya numerik. Regresi juga dapat digunakan untuk melakukan pengendalian (kontrol) terhadap suatu kasus atau hal-hal yang sedang diamati melalui penggunaan model regresi yang diperoleh (Deny, 2008).

Data untuk variabel independen x pada regresi linier bisa merupakan data pengamatan yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh peneliti (obsevational data) maupun data yang telah ditetapkan (dikontrol) oleh peneliti sebelumnya experimental or fixed data). Di dalam suatu model regresi kita akan menemukan koefisien-koefisien. Koefisien pada model regresi sebenarnya adalah nilai duga parameter di dalam model regresi untuk kondisi yang sebenarnya (true condition), sama halnya dengan statistik mean (rata-rata) pada konsep statistika dasar. Hanya saja, koefisien-koefisien untuk model regresi merupakan suatu nilai rata-rata yang berpeluang terjadi pada variabel y (variabel terikat) bila suatu nilai x (variabel bebas) diberikan. Koefisien regresi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

1. Intersep (intercept)

Intersep, definisi secara metematis adalah suatu titik perpotongan antara suatu garis dengan sumbu x pada diagram/sumbu kartesius saat nilai x = 0. Sedangkan definisi secara statistika adalah nilai rata-rata pada variabel y apabila nilai pada variabel x bernilai 0. Intersep tidak selalu dapat atau perlu untuk diinterpretasikan. Apabila data pengamatan pada variabel x tidak mencakup nilai 0 atau mendekati 0, maka intersep tidak memiliki makna yang berarti, sehingga tidak perlu diinterpretasikan.

2. Slope

Secara matematis, slope merupakan ukuran kemiringan dari suatu garis.

Slope adalah koefisien regresi untuk variabel x (variabel bebas). Dalam konsep

statistika, slope merupakan suatu nilai yang menunjukkan seberapa besar kontribusi yang diberikan suatu variabel x terhadap variabel y. Nilai slope dapat pula diartikan sebagai rata - rata pertambahan (atau pengurangan) yang terjadi pada variabel y untuk setiap peningkatan satu satuan variabel x (Deny, 2008).

(20)

50

Secara umum, bentuk persamaan untuk regresi linier dinyatakan berikut,

y = a + bx (3.6) dimana:

b =

n xy + x y n x2− x 2 (3.7)

a =

y−b x n (3.8)

Tanda positif pada nilai b atau koefisien regresi menunjukkan bahwa antara variabel bebas dengan variabel terikat berjalan satu arah, dimana setiap penurunan atau peningkatan variabel teikatnya. Sementara tanda negatif pada b menunjukkan bahwa antara variabel bebas dan terikatnya berjalan dua arah, dimana setiap peningkatan variabel bebas akan diikuti dengan penurunan variabel terikatnya, dan sebaliknya (Abdurrahman dkk., 2012).

Gambar 3.12. Contoh garis regresi dalam sebuah grafik

Grafik dalam Gambar 3.12 merupakan hasil plot data berdasarkan persamaan 3.6 di atas. Dimana a menyatakan nilai intersep pada grafik dan b merupakan slope. Biasanya persamaan tersebut disertai denga nilai error (y = a + bx + ε) yang menyatakan semua hal yang mungkin yang mempengaruhi variabel terikat y yang tidak dapat diamati.

(21)

3.6.2. Analisa Standar Deviasi (STDEV)

Untuk dapat menentukan standar deviasi, kita perlu himpunan data. Seorang ahli statistik biasanya hanya mengambil sampel dari sebuah populasi. Keuntungan dari statistik ini adalah hanya dengan melakukan perhitungan pada sampel dari populasi, sudah cukup baik menggambarkan perhitungan data yang sebenarnya.

STDEV dari himpunan data adalah ukuran seberapa tersebar nilai data - data tersebut yang ditunjukkan oleh rumusan STDEV berikut ini:

𝑆 =

𝑛𝑖=1(𝑥𝑖− 𝑥 )2

𝑛−1 (3.9)

dimana s adalah standar deviasi, x adalah himpunan data dan 𝑥 adalah nilai rata - rata x dengan 𝑥 dihitung berdasarkan persamaan

𝑥 =

𝑛𝑖=1𝑥𝑖

𝑛 (3.10)

Nilai STDEV yang besar menunjukkan bahwa data dalam himpunan tersebar jauh dari rata - rata nilai himpunan sedang nilai STDEV yang kecil menunjukkan bahwa data berkumpul disekitar nilai rata - rata himpunan tersebut (Daniel, 2007).

(22)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Penambahan CMC pada Larutan Kitosan

Pembuatan larutan kitosan dan larutan kitosan dengan penambahan variasi massa CMC dalam penelitian ini yaitu dengan metode blending. Hasil pembuatan larutan dengan bahan dasar 0,5 g serbuk kitosan (Tulus et al., 2010, 2013) dan penambahan CMC dengan variasi massa 0, 0,01 g, 0,05 g, 0,1 g dan 0,5 g diperoleh lima sampel berupa larutan homogen kitosan murni dan larutan homogen kitosan dengan penambahan variasi massa CMC.

Untuk melihat bagaimana penambahan CMC memberi pengaruh pada larutan kitosan maka dilakukan pengamatan terhadap larutan homogen kitosan yang telah dibuat. Pengamatan dilakukan terkait tingkat kekeruhan dan tingkat keasaman larutan. Kedua hal tersebut merupakan dua hal yang saling terkait yang dapat diamati untuk menjelaskan kualitas larutan berdasarkan pada kondisi fisik larutan kitosan dengan penambahan variasi massa CMC yang akan dibandingkan dengan larutan kitosan tanpa penambahan CMC.

4.1.1 Tingkat Kekeruhan Larutan (Warna Larutan)

Warna merupakan salah satu prolfil visual yang menjadi kesan pertama yang dapat diamati untuk menentukan tingkat kekeruhan larutan yang dibuat (Taufiqur dkk., 2009). Hal ini sering juga digunakan untuk menilai tingkat kekentalan larutan tersebut. Gambar 4.1 di bawah menunjukkan tampilan fisik larutan kitosan dengan dan tanpa penambahan CMC.

Secara visual, larutan kitosan tanpa penambahan CMC cenderung tidak berwarna atau bening. Perubahan warna terjadi pada penambahan CMC pada larutan kitosan. Larutan kitosan dengan penambahan CMC menunjukkan perubahan warna dari bening menjadi berwarna putih dan keruh. Semakin besar jumlah CMC yang ditambahkan, tingkat kekeruhan larutan semakin meningkat.

(23)

Pure Chitosan Chit – CMC 0,01 w/v Chit – CMC 0,05 w/v Chit – CMC 0,1 w/v Chit – CMC 0,5 w/v

Gambar 4.1. Tampilan fisik larutan kitosan dan larutan kitosan - CMC

Lebih lanjut dijelaskan, perubahan warna ini terjadi disebabkan oleh karena terdispersinya kitosan dan CMC dengan baik di dalam pelarutnya, yakni asam asetat 2%. Terdispersinya kitosan - CMC menunjukkan semakin stabilnya larutan yang terbentuk sebagaimana digambarkan pada Gambar 4.2 (Anggi et al., 2010).

Tabel 4.1. Tingkat kekeruhan larutan kitosan - CMC Campuran Warna Larutan Kitosan CMC

0,5 g

- Tidak berwarna 0,01 g Agak keruh 0,05 g Keruh 0,1 g Amat keruh

0,5 g Amat sangat keruh

Terdispersinya kitosan dan CMC dalam proses pembuatan larutan digambarkan pada mekanisme di atas, dimana pasangan elektron dari atom oksigen dari molekul - molekul air bergerak menuju ion H+ yang terletak diantara -COO- dan -NH3+. Dan stabilitas larutan kitosan - CMC tercapai melalui peristiwa

(24)

54

Gambar 4.2. Mekanisme transfer proton pada larutan kitosan – CMC

4.1.2 Tingkat Keasaman

Tingkat keasamaan atau pH larutan berkaitan erat dengan konsentrasi ion hidrogen yang terkandung dalam satu larutan yang diukur. Analisa yang dilakukan terhadap pengaruh penambahan CMC pada kitosan dengan variasi massa yang berbeda - beda berpengaruh nyata terhadap tingkat keasaman larutan yang diukur menggunakan pHmeter. Terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai pH dengan semakin besarnya jumlah CMC yang ditambahkan ke dalam larutan kitosan (Tabel 4.1).

Menurut Ganz (1997) CMC merupakan hidrokoloid yang mengandung gugus karboksil (-COOH) dan mudah terhidrolisis. Gugus (-COOH) memberikan sifat asam pada campurannya. Sehingga semakin banyak jumlah CMC yang ditambahkan memungkinkan pH larutan semakin asam. Dengan demikian, penambahan CMC meningkatkan kelarutan kitosan dengan meningkatnya nilai pH larutan kitosan - CMC.

Tabel 4.2. Tingkat keasaman larutan kitosan - CMC Campuran pH Larutan Kitosan CMC

0,5 g

- 4,02 0,01 g 3,91 0,05 g 3,62 0,1 g 3,28 0,5 g 3,10

(25)

4.1.3 Distribusi Ukuran Partikel Larutan

Larutan kitosan - CMC dalam penelitian ini dibuat dengan metode blending menggunakan magnetic stir selama 24 jam pada suhu kamar. Larutan kitosan - CMC yang telah dibuat selanjutnya diukur distribusi ukuran partikel larutan dengan PSA dan diperoleh ukuran partikel dalam larutan tersebut masing - masing 7081,33 nm, 6458,25 nm, 5890,74 nm, 5371,74 nm dan 4678,59 nm.

Gambar 4.3. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan tanpa CMC

Gambar 4.4. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,01 g

(26)

56

Gambar 4.6. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,1 g

Gambar 4.7. Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,5 g

Pengukuran distribusi partikel larutan dilakukan setelah larutan didiamkan selama ± 24 jam untuk menghilangkan gelembung yang timbul pada larutan setelah distir. Pada gambar 4.3 s/d 4.7 menunjukkan hasil pengukuran distribusi partikel larutan. Dari gambar tampak penambahan CMC ke dalam larutan tidak hanya menurunkan ukuran partikel larutan kitosan tapi juga menjaga agar larutan kitosan tidak terpisah dari pelarutnya meski didiamkan dalam waktu lama.

Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan larutan kitosan tanpa CMC yang cenderung tidak stabil (Gambar 4.3) dimana terdapat ukuran partikel yang berbeda yang dihasilkan pada pengukuran. Perbedaan ukuran partikel ini menyatakan ketidakhomogenan larutan yang dimungkinkan oleh banyak faktor dan salah satunya karena terjadinya pemisahan antara pelarut dan kitosan sebagai yang terlarut selama didiamkan. Dengan munculnya ukuran partikel kitosan yang berbeda dalam larutan akan berpengaruh terhadap kualitas permukaan film kitosan yang tidak homogen (tidak merata).

(27)

4.2 Hasil Fabrikasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan Metode Elektrodeposisi

Tahap berikutnya dalam penelitian ini adalah proses fabrikasi film kitosan dari larutan kitosan - CMC yang telah dibuat sebelumnya dengan berbagai variasi komposisi dengan metode elektrodeposisi. Pada penelitian ini, proses elektrodeposisi yang dilakukan terhadap larutan kitosan - CMC dengan mengoptimasi paramater - parameter dalam metode tersebut yang diharapkan diperoleh endapan (deposit) dengan kualitas yang lebih baik.

Pada prinsipnya, proses elektodeposisi merupakan rangkaian yang terdiri atas sumber tegangan, larutan elektrolit, anoda dan katoda yang nantinya akan membentuk suatu sistem pelapisan listrik. Anoda dihubungkan dengan kutub positif sedangkan katoda (benda kerja) dihubungkan dengan kutub negatif dari sumber tegangan (Basmal, 2011).

Kedua elektroda (anoda dan katoda) dalam prosesnya akan dicelupkan ke dalam larutan elektrolit. Bila tegangan listrik dialirkan diantara elektroda di dalam larutan elektrolit maka akan terjadi reaksi kimia yang berkaitan dengan gerak partikel bermuatan (ion) dari larutan tersebut. Pada saat berlangsungnya elektrodeposisi, ion positif akan di tarik oleh katoda sedang ion negatif akan berpindah ke arah elektroda yang bermuatan negatif (anoda). Ion - ion tersebut kemudian akan dinetralisir oleh kedua elektroda dengan larutan elektrolit yang dihasilkan diendapkan pada katoda sebagai benda kerja dalam penelitian ini. Lapisan yang terbentuk hasil elektrodeposisi tersebut merupakan lapisan film kitosan dan lapisan film kitosan - CMC.

S U B S T R A T + + + + + + + + + pH Gradient Electrodepotion process Chitosan H2 2H+ S U B S T R A T K

Bagian substrat yang akan dilapisi a

K

Tampilan lapisan kitosan di atas substrat tembaga

(28)

58 S U B S T R A T + + + + + + + + + pH Gradient Electrodepotion process Chitosan H2 2H+ S U B S T R A T K

Bagian substrat yang akan dilapisi b

K

Tampilan lapisan kitosan di atas substrat tembaga

Gambar 4.8. Pembentukan (a). Film kitosan, (b). Film Kitosan - CMC dengan metode elektrodeposisi

Berdasarkan proses di atas setidaknya ada beberapa faktor yang terlibat dalam proses pelapisan larutan kitosan dan larutan kitosan - CMC, di antaranya:

4.2.1 Konsentrasi Larutan Elektrolit

Konsentrasi larutan elektrolit ini berkaitan dengan nilai pH dari larutan. Ada batas - batas pH yang diharuskan untuk berlangsungnya proses elektrodeposisi pada larutan elektrolit tersebut, yaitu berkisar antara 3 - 5. Jika nilai pH melebihi batas yang diizinkan maka akan terjadi pengendapan pada larutan yang menghalangi dalam proses dan pada lapisan film akan muncul sumuran atau permukaan lapisan menjadi kasar (Basmal, 2011).

Terkait dengan larutan kitosan - CMC sebagai prekursor film kitosan - CMC yang difabrikasi, pH larutan masih memenuhi batasan standar larutan elektrolit pada metode elektrodeposisi (Tabel 4.3). Karenanya larutan elektrolit kitosan - CMC dapat didepositkan dengan baik di atas permukaan substrat (permukaan yang dilapisi) dengan membentuk film.

4.2.2 Elektroda (Anoda dan Katoda)

Elektroda dalam proses elektrodeposisi terdiri atas anoda dan katoda yang dilapisi logam yang telah dibersihkan dengan aseton untuk menghindari munculnya pengotor sebelum deposisi. Penggunaan logam sebagai substrat karena sifat konduktivitasnya yang tinggi dibanding material lainnya yang diharapkan juga membantu memudahkan proses pelapisan larutan kitosan dan kitosan - CMC.

(29)

Pure Chitosan CS - CMC 0,01 w/v CS – CMC 0,1 w/v CS - CMC 0,05 w/v CS – CMC 0,5 w/v

Gambar 4.9. Sampel sensor berbasis film kitosan dan film kitosan - CMC

Hasil fabrikasi film dari larutan kitosan dan larutan kitosan- CMC yang telah dideposit diatas substrat sensor diperoleh 5 sampel sensor, yakni sensor berbasis film kitosan tanpa penambahan CMC (Pure Chitosan), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,01 g CMC (CS - CMC 0,01 w/v), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,05 g CMC (CS - CMC 0,05 w/v), sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,1 g CMC (CS - CMC 0,1 w/v) dan sensor berbasis film kitosan dengan 0,5 g CMC (CS - CMC 0,5 w/v).

4.3 Karakterisasi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

Film kitosan - CMC hasil fabrikasi dikarakterisasi untuk mengetahui karakteristik film yang dihasilkan yang meliputi, pengamatan kondisi fisik permukaan film dengan mikroskop optik, analisa termal bahan film menggunakan

Differential Thermal Analysis (DTA), analisa komposisi kimia film dengan

Fourier Transform Infrared (FTIR) dan dengan UV - VIS Spectroscopy.

4.3.1 Hasil Pengamatan Permukaan Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan Mikroskop Optik

Hasil Karakterisasi kualitas fisik permukaan film kitosan dan film kitosan - CMC dengan variasi penambahan CMC hasil deposisi diamati menggunakan mikroskop optik dengan perbesaran 500x disajikan sebagai berikut:

(30)

60

Gambar 4.10. Tampilan permukaan film kitosan tanpa penambahan CMC

(31)

Gambar 4.12. Tampilan permukaan film kitosan dengan 0,05 g CMC

(32)

62

Gambar 4.14. Tampilan fisik permukaan film kitosan dengan 0,5 g CMC

Berdasar pada gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa larutan kitosan - CMC telah berhasil dideposisikan diatas permukaan substrat tembaga menghasilkan film kitosan - CMC. Lapisan film yang terbentuk secara keseluruhan ditampilkan tidak berwarna atau bening dengan tekstur yang beragam mulai dari yang merata tanpa sumuran atau pengotor hingga permukaan yang kasar atau tidak merata. Perbedaan yang dihasilkan oleh masing - masing film yang difabrikasi pada kondisi dan metode yang sama dikarenakan kondisi serta komposisi larutan yang berbeda sehingga dihasilkan karakteristik larutan yang berbeda - beda sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Tabel 4.1 s/d 4.2). Hal inilah yang kemudian mempengaruhi kualitas fisik film kitosan - CMC.

Permukaan yang kurang rata pada sampel film kitosan tanpa penambahan CMC ditandai dengan adanya noda partikel akibat distribusi partikel yang nonhomogen. Sementara pada sampel film kitosan dengan penambahan CMC masing - masing 0,01 g dan 0,05 g mulai menunjukkan tampilan fisik film yang homogen/merata. Meningkatnya kestabilan larutan sampel dengan penambahan CMC menjadi dasar terbentuknya permukaan yang merata tersebut.

(33)

Sedangkan sampel film kitosan dengan penambahan 0,1 g dan 0,5 g CMC dihasilkan film dengan kualitas fisik yang kurang baik dimana permukaan film terbentuk tidak merata. Ini dikarenakan meningkatnya kekentalan larutan kitosan oleh semakin banyaknya CMC yang ditambahkan juga meningkatkan besar suplai tegangan yang diperlukan pada proses elektrodeposisi. Sejalan dengan kondisi tersebut dihasilkan permukaan film yang cenderung kurang baik.

4.3.2 Analisa Sifat Termal Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan Differential Thermal Analysis (DTA)

Sifat termal film ditentukan dengan metode Differential Thermal Analysis

(DTA) dimana sampel uji akan dipanaskan mulai dari suhu ruang sampai 600oC dengan kecepatan pemanasan 20oC/menit. Hasil analisa ini ditampilkan pada Gambar 4.16 s/d 4.20.

Hasil pengujian dengan DTA pada tiap sampel film kitosan secara keseluruhan menunjukkan perubahan kondisi termalnya melalui tiga tahapan yang sama yang ditunjukkan oleh puncak - puncak yang dihasilkan oleh alat DTA. Perubahan puncak - puncak pada DTA ini terjadi akibat perubahan dan reaksi kimia yang diikuti oleh perubahan suhu pada tiap sampel film (Edi dkk., 2012).

Gambar 4.15. Analisa DTA untuk film kitosan tanpa penambahan CMC

(34)

64

Gambar 4.16. Analisa DTA untuk film kitosan dengan 0,01 g CMC

Gambar 4.17. Analisa DTA untuk film kitosan dengan 0,05 g CMC

105 285

550

540 270

(35)

Gambar 4.18. Analisa DTA untuk film kitosan dengan 0,1 g CMC

Gambar 4.19. Analisa DTA untuk film kitosan dengan 0,5 g CMC

110 280 510 120 275 590

(36)

66

Dari grafik hasil pengujian DTA diketahui tahapan pertama, diberikan oleh puncak maksimum pertama untuk proses perubahan termal film yang di awali pada suhu 105oC - 120oC yang menunjukkan proses endoterm dimana film mulai menyerap panas. Puncak kedua maksimum pada 270 - 285oC merupakan tahapan kedua perubahan termal yang ditandai adanya reaksi eksoterm dimana rantai molekul penyusun film mulai putus. Tahapan terakhir proses ini merupakan proses eksoterm yang terjadi pada kisaran suhu 510oC - 590oC, dimana serapan panas oleh film menyebabkan putusnya rantai molekul film.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa tahapan termal film kitosan - CMC pada dasarnya sama namun adanya penambahan variasi massa CMC pada bahan dasar pembuatan film mempengaruhi kondisi termal film yang dihasilkan namun tidak terlalu signifikan. Tingginya kelarutan kitosan dengan bertambahnya CMC berarti bahwa ikatan molekul kitosan dalam pelarutnya semakin kuat sehingga dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memutus rantai ikatan tersebut.

4.3.3 Analisa Gugus Fungsional Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Karakterisasi kandungan kimia pada film kitosan - CMC menggunakan metode FTIR menunjukkan puncak - puncak vibrasi tertentu dari bahan yang digunakan untuk pembuatan film berdasarkan khas gugus fungsionalnya.

Gambar 4.20. Analisa FTIR film kitosan tanpa penambahan CMC

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 650.0 60.9 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102.3 cm-1 %T chitosan 3275 1636 1556 1408 1152 1067 1025 2881 1322 1261 895 1375

(37)

Gambar 4.21. Analisa FTIR film kitosan dengan 0,01 g CMC

Gambar 4.22. Analisa FTIR film kitosan dengan 0,05 g CMC

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 650.0 74.1 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102 103.5 cm-1 %T chitosan CMC 0.01 % 3274 1558 1408 1153 1021 2886 1641 1375 1069 900 761713 4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 650.0 65.9 68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102.9 cm-1 %T CMC 0.05 % 3273 1645 1550 1408 1151 1022 2901 1373 1069 943 897 761698 657 1325 1256

(38)

68

Gambar 4.23. Analisa FTIR film kitosan dengan 0,1 g CMC

Gambar 4.24. Analisa FTIR film kitosan dengan 0,5 g CMC

4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 650.0 70.0 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102 103.4 cm-1 %T CMC 0.1% 3280 2929 1551 1407 1152 1020 2349 1638 1322 1072 950 897 756 708 4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 650.0 77.378 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102 103.3 cm-1 %T 3274 1559 1407 1152 1019 662 761 1259 1370 1635 1974 2926 1327 1072

(39)

Pada spektra IR film kitosan murni yang dikarakterisasi muncul pita serapan pada bilangan gelombang 3273 cm-1 yang tumpang tindih antara vibrasi rentang gugus -OH dan -NH. Pita serapan pada bilangan gelombang 2881 cm-1 menunjukkan vibrasi rentangan C-H dari alkana yang diperkuat dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 1408 cm-1. Spektra IR kitosan juga memunculkan vibrasi C=O dari amida sekunder pada bilangan gelombang 1636 cm-1 dan vibrasi -NH amida sekunder pada bilangan gelombang 1556 cm-1. Pita serapan dari rentangan C-H asimetris dari CH3 muncul pada bilangan gelombang

1375 cm-1 dengan intensitas yang lebih rendah dan vibrasi rentangan C-N amina teridentifikasi pada bilangan gelombang 1322 cm-1 dan 1261 cm-1 pada intensitas yang lebih rendah juga. Pita serapan tajam C-O asimetris teridentifikasi dibilangan 1152 cm-1. Pita serapan tajam pada bilangan gelombang 1069 cm-1 dan 1021 cm-1 merupakan vibrasi C-O alkohol primer. Vibrasi sedang dari CH3

muncul pada gelombang 895 cm-1. Hasil ini bersesuaian dengan yang pernah dilakukan oleh Reem et al., (2013), Asep (2011), Mourya et al., (2010) dan Taufiqur dkk., (2009) yang juga melakukan karakterisasi membran kitosan.

Hasil ini dibandingkan dengan film kitosan dengan penambahan variasi massa CMC. Pada dasarnya spektra IR-nya menunjukkan gugus fungsional yang relatif sama. Ini dikarenakan penambahan CMC dalam hal ini sebagai zat tambahan yang berarti bahwa keberadaan CMC tidak serta merta merubah struktur kimia larutan kitosan ataupun film kitosannya. Ini bersesuaian dengan hasil karakterisasi FTIR yang ditampilkan pada Gambar 4.21 - 4.25.

Perubahan spektra IR film kitosan ditunjukkan pada penambahan 0,1 dan 0,5 g CMC. Penambahan CMC pada kitosan seiring dengan bertambahnya jumlah pita serapan baru yang muncul yang merupakan perpanjangan dari pita serapan kitosan murni sebagai bahan utama pembuatan film. Seperti munculnya rentangan NH dari amida pada bilangan gelombang 2349 cm-1 dan 1974 cm-1, vibrasi pembentukan NH2 dari amida primer yang muncul pada bilangan gelombang 713

cm-1 pada sensor dengan pure chitosan dan 708 cm-1 pada sensor dengan CS - CMC 0,01 w/v dan bergeser ke bilangan gelombang 696 cm-1 pada sensor CS - CMC 0,05 w/v, 657 cm-1 pada sensor dengan CS - CMC 0,1 w/v dan 662 cm-1 pada sensor CS - CMC 0,5 w/v (Tabel 4.4).

(40)

70

Hasil - hasil ini menunjukkan bahwa penambahan CMC hingga 0,05 g pada kitosan belum memberikan perubahan struktur yang berarti pada film kitosan, artinya CMC yang ditambahkan masih berfungsi sebagai zat aditif untuk tujuan perbaikan. Sedangkan penambahan 0,1 g dan 0,5 g CMC mulai menunjukkan perubahan pada struktur film kitosan yang terbentuk. Ini ditandai dengan munculnya pita serapan baru yang menyatakan gugus fungsional bawaan CMC. Yang berarti bahwa CMC sudah tidak berfungsi sebagai zat tambahan seperti tujuan awal penggunaan CMC tersebut.

4.3.4 Analisa Hasil Pengukuran Absorbansi Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC dengan UV-Vis Spectroscopy

Spektrum UV-VIS merupakan metode pengukuran jumlah radiasi UV dan

Visible yang diserap oleh senyawa sebagai fungsi panjang gelombang radiasi.

Panjang gelombang maksimum yang diperoleh digunakan untuk analisa kuantitatif. Pemilihan panjang gelombang maksimum didasarkan pada panjang gelombang ini terdapat kepekaan sampel uji yang juga maksimum karena absorbansi yang dihasilkan adalah yang paling besar (Husni, 2012).

Gambar 4.25. Perbandingan spektrum absorbsi tiap sensor berbasis film kitosan dan film kitosan dengan penambahan variasi massa CMC

-0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 200 400 600 800 Ab so rb a n si Panjang Gelombang (nm) Pure Chit (S1) Chit + CMC 0,01 g (S2) Chit + CMC 0,05 g (S3) Chit + CMC 0,1 g (S4) Chit + CMC 0,5 g (S5) Pure Chitosan CS - CMC 0,01 w/v CS - CMC 0,05 w/v CS - CMC 0,1 w/v CS - CMC 0,5 w/v 317 nm

(41)

Gambar 4.25 menunjukkan perbandingan nilai absorbansi sampel film kitosan - CMC terhadap panjang gelombang UV-VIS yang dipilih. Absorbansi maksimum sampel ditunjukkan pada gambar berbeda untuk tiap sensor dengan komposisi pure chitosan, CS - CMC 0,01 w/v, CS - CMC 0,05 w/v, CS - CMC 0,1 w/v, CS - CMC 0,5 w/v dimana masing - masing diberikan oleh 0,240585 (306 nm); 0,466355 (270 nm); 0,690161 (317 nm); 0,332941 (324 nm) dan 0,499912 (334 nm). Ini berarti bahwa sensor berbasis film kitosan dengan penambahan 0,05 g CMC menghasilkan absorbansi maksimum dibandingkan sampel lainnya. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sensor aseton berbasis film kitosan dengan penambahan 0,05 g CMC memiliki kepekaan paling tinggi.

Hasil pengukuran UV-VIS spectroscopy juga dapat digunakan untuk menghitung ketebalan film yang dibuat. Sebagaimana disebutkan dalam Yap et al., (2011) bahwa absorbansi film bertambah dengan bertambahnya ketebalan film. Karenanya, ketebalan film dapat ditentukan secara matematis menggunakan persamaan 3.6. Dan diperoleh ketebalan tiap film sebesar 177 nm (Pure

Chitosan), 135 nm (CS - CMC 0,01 w/v), 189 nm (CS - CMC 0,05 w/v), 197 nm

(CS - CMC 0,1 w/v) dan 209 nm (CS - CMC 0,5 w/v) (Lampiran C.3).

4.4 Hasil Pengujian Sifat Listrik Sensor Aseton Berbasis Film Kitosan dan Film Kitosan - CMC

Sifat listrik yang dimaksud dalam penelitian ini menyatakan keluaran yang dihasilkan oleh film kitosan - CMC sebagai sensor dalam mendeteksi gas uji (dalam hal ini aseton) yakni berupa tegangan yang dinyatakan dalam millivolt. Aseton secara teori, terdeteksi melalui kadar di hati dan paru - paru dan dikeluarkan dari dalam tubuh dalam berbagai bentuk dan tempat, salah satunya melalui mulut berupa uap aseton. Karenanya aseton dapat dideteksi melalui pernapasan (Dirjen P3L, 2010). Sebagai dasar pengukuran konsentrasi aseton, pada seorang diabetisi aseton terdeteksi pada range antara 1,7 ppm - 3.7 ppm dan pada orang sehat konsentrasi asetonnya dilaporkan kurang dari 0,8 ppm (Kun-Wei

et al., 2012).

Untuk mengetahui keberhasilan fabrikasi film kitosan – CMC sebagai material sensitif sensor dengan aseton sebagai indikator pengujiannya, maka

(42)

72

dilakukan pengujian/karakteriasi yang meliputi linieritas, selektifitas, respon dan

recovery time, reproducibility, repeatability, stability serta life timenya.

Pengujian sifat litrik sensor dilakukan dengan mengekspos masing - masing sampel film kitosan - CMC dengan gas aseton yang divariasikan dalam berbagai konsentrasi dalam suatu ruang uji (testing chamber) yang terhubung dengan sistem sensor dan suatu personal computer untuk mengolah dan menampilkan hasil pengukuran baik dalam bentuk tabel data dan visualisasi grafik. Konsentrasi aseton dipilih mulai dari 0,1 ppm, 0,5 ppm, 1 ppm, 5 ppm dan 10 ppm serta udara normal sebagai pembanding (Gambar 3.12). Konsentrasi ini disesuaikan dengan konsentrasi aseton yang dimiliki oleh seorang diabetisi.

4.4.1 Uji Linieritas Sensor Aseton

Pada bagian ini dikaji tentang pengaruh penambahan CMC terhadap tegangan keluaran sensor aseton berbasis film kitosan. Dan untuk mengetahui daerah linier pengukuran keluaran sensor, gas aseton diekspos ke dalam testing

chamber yang berisi sensor berbasis film kitosan - CMC, sehingga gas aseton

tersebut akan tersebar dalam ruang uji dan mengenai permukaan film kitosan - CMC dan terjadi perubahan tegangan keluaran sensor (Gambar 3.3). Hasilnya dibandingkan dengan keluaran sensor berbasis film kitosan murni.

Pada Gambar 4.26 - 4.30 diperlihatkan hubungan tegangan terhadap waktu menghasilkan grafik yang cenderung linier. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada pemberian gas dalam konsentrasi rendah, perubahan tegangan film yang terjadi cukup kecil. Ini dikarenakan pada permukaan sensor masih banyak tempat adsorpsi yang kosong yang dapat ditempati oleh molekul - molekul gas. Dan saat konsentrasi gas ditingkatkan, semakin banyak interaksi yang terjadi pada permukaan sensor sehingga perubahan tegangan keluaran sensor akan ditampilkan semakin besar.

Dari gambar juga dapat diketahui bahwa penambahan CMC pada film kitosan memberi pengaruh terhadap keluaran masing - masing sensor. Hasil pengukuran tegangan sensor berubah semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah CMC yang ditambahkan kedalam larutan kitosan sebagai bahan dasar film kitosan tersebut (Gambar 4.27 - 4.30). Jika dibandingkan dengan sensor aseton

(43)

berbasis film kitosan murni tanpa penambahan CMC, hasil pengukurannya relatif lebih rendah dari film kitosan dengan penambahan CMC (Gambar 4.26).

Gambar 4.26. Grafik linieritas keluaran sensor berbasis film kitosan tanpa penambahan CMC pada variasi konsentrasi aseton

Gambar 4.27. Grafik linieritas keluaran sensor berbasis film kitosan dengan 0,01 g CMC pada variasi konsentrasi aseton

y = 0.014x + 0.214 R² = 0.914 0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 2 4 6 8 10 12 T eg a ng a n ( m V)

Konsentrasi Gas Aseton (ppm)

y = 0.013x + 0.245 R² = 0.924 0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 2 4 6 8 10 12 T eg a ng a n (m V)

(44)

74

Gambar 4.28. Grafik linieritas keluaran sensor berbasis film kitosan dengan 0,05 g CMC pada variasi konsentrasi aseton

Gambar 4.39. Grafik linieritas keluaran sensor berbasis film kitosan dengan 0,1 g CMC pada variasi konsentrasi aseton

Gambar 4.30. Grafik linieritas keluaran sensor berbasis film kitosan dengan 0,5 g CMC pada variasi konsentrasi aseton

y = 0.016x + 0.266 R² = 0.939 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 2 4 6 8 10 12 T eg a ng a n (m V)

Konsentrasi Gas Aseton (ppm)

y = 0.012x + 0.304 R² = 0.912 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0 2 4 6 8 10 12 T eg a ng a n (m V)

Konsentrasi Gas Aseton (ppm)

y = 0.014x + 0.306 R² = 0.907 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 2 4 6 8 10 12 T eg a ng a n (m V)

(45)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 2 4 6 8 10 12 Te g a n g a n (m V ) Konsentrasi Gas (ppm) Aseton Alkohol

Dari hasil pengukuran dan perhitungan dari grafik pada gambar di atas didapat bahwa linieritas yang diperoleh tidaklah konstan tetapi bergantung pada nilai inputnya (konsentrasi gas) karena tiap sensor tidak linier satu sama lain meskipun diuji pada sistem dan kondisi yang sama.

Dalam Sri dkk. (2012) disebutkan bahwa linieritas sensor mempengaruhi sensitivitas sensor. Karena sensitivitas, secara teori merupakan ukuran seberapa jauh kepekaan sensor terhadap kuantitas yang diukur dan dinyatakan dengan bilangan yang menunjukkan perubahan keluaran berbanding dengan masukannya. Dalam grafik diatas, sensitivitas dinyatakan sebagai slope grafik linier yang menyatakan rasio perubahan tegangan tiap unit perubahan konsentrasi aseton terhadap sensor. Harga slope tiap sensor dalam gambar adalah 0,0149; 0,0124; 0,0166; 0,012 dan 0,0142 mewakili besar sensitivitas tiap sensor. Tampak bahwa sensor dengan CS - CMC 0,05 w/v memiliki sensitivitas sensor paling baik.

4.4.2 Uji Selektivitas Sensor Aseton Berbasis Film Kitosan - CMC

Pada pengujian selektivitas sensor aseton bertujuan untuk mengamati dan menentukan kemampuan sensor dalam mengenali zat yang dideteksi diantara keberadaan gas - gas lainnya yang disajikan dalam konsentrasi yang berbeda - beda (Sayono dkk., 2006). Kemampuan selektivitas sensor aseton hasil fabrikasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengekspos sensor dengan gas yang berasal dari alkohol dan hasilnya dibandingkan dengan gas uji utama aseton.

y = 0.0149x + 0.214 R² = 0.914 y = 0,0138x + 0.167 R² = 0.904 0 100 200 300 400 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 T egan gan (m V) Konsentrasi Gas (ppm) a

(46)

76 0 50 100 150 200 250 300 350 400 0 2 4 6 8 10 12 Te g a n g a n (m V ) Konsentrasi Gas (ppm) Aseton Alkohol 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0 2 4 6 8 10 12 Te g a n g a n (m V ) Konsentrasi Gas (ppm) Aseton Alkohol 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 0 2 4 6 8 10 12 Te g a n g a n (m V ) Konsentrasi Gas (ppm) Aseton Alkohol y = 0.0134x + 0.245 R² = 0.924 y = 0.0129x + 0.176 R² = 0.902 0 100 200 300 400 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 T egan gan ( m V) Konsentrasi (ppm) b y = 0.0166x + 0.267 R² = 0.939 y = 0.0139x + 0.187 R² = 0.914 0 100 200 300 400 500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 T egan gan ( m V) Konsentrasi Gas (ppm) c y = 0.0120x + 0.305 R² = 0.912 y = 0.0096x + 0.232 R² = 0.905 0 100 200 300 400 500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 T egan gan ( m V) Konsentrasi Gas (ppm) d

(47)

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 2 4 6 8 10 12 Te g a n g a n (m V ) Konsentrasi Gas (ppm) Aseton Alkohol

Gambar 4.31. Selektivitas sensor terhadap perubahan konsentrasi aseton dengan komposisi, (a). Pure Chitosan, (b). CS - CMC 0,01 w/v, (c). CS - CMC 0,05 w/v, (d). CS - CMC 0,1 w/v dan (e). CS - CMC 0,5 w/v.

Dari Gambar 4.31 di atas, masing - masing sampel sensor menunjukkan kemampuannya dalam membedakan gas uji dengan gas lainnya. Baik untuk sensor berbasis film kitosan dengan atau tanpa penambahan CMC memberikan hasil berupa tegangan keluaran yang lebih besar untuk aseton daripada gas pembanding yang berasal dari alkohol.

Perbedaan dari kelima grafik selektifitas masing - masing sensor ditunjukkan pada tegangan keluarannya dan diperoleh bahwa sensor berbasis

pure chitosan < CS - CMC 0,01 w/v < CS - CMC 0,05 w/v < CS - CMC 0,1 w/v <

CS - CMC 0,5 w/v untuk tiap gas uji pada konsentrasi gas masing - masing 0,1 ppm, 0,5 ppm, 1 ppm, 5 ppm dan 10 ppm serta pada udara normal. Perbedaan selektifitas pada kedua gas, baik aseton dan alkohol dikarenakan aseton lebih oksidator dalam interaksinya dengan meterial sensitif sensor dimana elektron dilepas berpindah ke uap gas oksidator sehingga permukaan sensor kekurangan elektron yang berakibat naiknya tegangan keluaran sensor (Sayono dkk., 2006).

y = 0.0128x + 0.227 R² = 0.903 y = 0.0142x + 0.306 R² = 0.907 0 100 200 300 400 500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 T egan gan ( m V) Konsentrasi Gas (ppm) e

(48)

78

4.4.3 Uji Respon Sensor Aseton Berbasis Film Kitosan - CMC

Karakteristik respon sensor menyatakan seberapa cepat tanggapan sensor terhadap perubahan masukan (gas uji) yang diberikan. Pada Gambar 4.32 dapat diamati bahwa pada pemberian gas uji (aseton) dengan konsentrasi yang berbeda yakni, 0,1 ppm, 0.5 ppm, 1 ppm, 5 ppm, 10 ppm, dan 50 ppm memberikan perubahan tegangan listrik yang berbeda pula.

Semakin besar konsentrasi gas uji yang diberikan maka semakin besar pula perubahan nilai tegangan dari film kitosan - CMC. Hal ini dikarenakan semakin besar konsentrasi gas yang diberikan semakin banyak pula jumlah gas yang berinteraksi dengan material sensitif pada permukaan tiap sensor.

Normal

Air 0.1 ppm 0,5 ppm 1 ppm 5 ppm 10 ppm 50 ppm

Gambar 4.32. Respon dan Recovery Time sensor berbasis film kitosan - CMC

Pengaruh penambahan konsentrasi aseton terhadap respon sensor digambarkan pada Gambar 4.32 di atas. Terjadinya kenaikan tegangan keluaran sensor sejalan dengan jumlah konsentrasi aseton yang diberikan selama proses pengujian berlangsung dengan range pengukuran untuk masing - masing sensor pada tiap - tiap konsentrasi gas diuraikan pada tabel berikut ini.

Pure Chitosan CS - CMC 0,1 w/v CS - CMC 0,01 w/v CS - CMC 0,5 w/v CS - CMC 0,05 w/v Maximum Detection Limit Recovery time tiap sensor Min Limit Detecti on

(49)

Sensor

Tabel 4.3. Range pengukuran untuk tiap sensor

Pure Chitosan CS - CMC 0,01 w/v CS - CMC 0,05 w/v CS - CMC 0,1 w/v CS - CMC 0,5 w/v Normal Air 150 - 200 200 - 250 200 - 250 250 - 300 250 - 300 0,1 ppm 201 - 250 200 - 250 251 - 300 250 - 300 250 - 300 0,5 ppm 251 - 300 251 - 300 251 - 300 301 - 350 301 - 350 1 ppm 251 - 300 251 - 300 301 - 350 351 - 400 351 - 400 5 ppm 301 - 350 301 - 350 351 - 400 351 - 400 401 - 450 10 ppm 301 - 350 301 - 350 401 - 450 401 - 450 400 - 450 STDEV 0,060015 0,059953 0,0589870 0,060250 0,065264

Dari Tabel 4.3 dan grafik yang digambarkan di atas tampak bahwa seluruh sensor menunjukkan respon yang baik sebagaimana ditunjukkan bahwa sensor sudah mulai merespon gas sejak detik awal (0 detik) pengujian. Dalam hal ini gugus amina (-NH) dan gugus hidroksil (-OH) dari kitosan sebagai bahan utama pembuatan film berperan penting meningkatkan reaktifitas sensor untuk berinteraksi dengan gas uji sehingga sensor mampu merespon gas uji dengan baik. Dari kurva siklus respon pada Gambar 4.32 juga dapat ditentukan dan diperoleh

recovery time (waktu pemulihan) untuk tiap - tiap sensor. Recovery time ini

menyatakan kemampuan sensor dalam memulihkan kondisi sensor ke awal sebelum pengeksposan. Dalam pelaksanaan penelitian, tiap - tiap sampel sensor diekspos selama 5 menit dengan waktu pengeringan selama 3 menit.

Hasilnya menunjukkan bahwa sampel sensor dengan komposisi film kitosan murni, film kitosan dengan 0,01 g CMC dan film kitosan dengan 0,05 g CMC hanya membutuhkan waktu 3 menit sesuai yang diberikan untuk recovery

setelah diekspos. Sedangkan sampel sensor dengan komposisi film kitosan dengan 0,1 g dan 0,5 g CMC membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses recovery. Hal ini disebabkan kondisi permukaan film yang tidak merata/kasar memungkinkan tertahannya aseton yang diuapkan pada permukaan sensor.

Dari kelima sensor, sampel sensor dari film kitosan dengan penambahan 0,05 g CMC menunjukkan hasil paling baik dikarenakan sensor tersebut mampu memberikan tegangan keluaran yang signifikan untuk tiap konsentrasi aseton yang berbeda, diantaranya: pada kondisi normal air diberikan rentang tegangan

Gambar

Tabel 3.5. Peralatan karakterisasi larutan/film kitosan dan kitosan - CMC   Peralatan Karakterisasi Larutan/Film Kitosan dan  Kitosan - CMC
Gambar 3.8. (a). Skema alat DTA untuk tempat sampel, (b). Plot grafik hasil DTA
Gambar 4.4.  Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,01 g
Gambar 4.7.  Distribusi ukuran partikel larutan kitosan - CMC 0,5 g
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rencana pengembangan keorganisasian dilakukan dengan mengacu pada analisis dan evaluasi tugas dan fungsi satuan organisasi termasuk perumusan dan pengembangan jabatan

find the best model, first we evaluate the stationary of the data by using time series plot, Autocorrelation Function (ACF), and Unit root Test.. Then the Time Series model was

BIDANG CIPTA KARYA DPU KABUPATEN KLATEN. JL Sulaw

Untuk kegiatan pembuktian kualifikasi dimaksud, diminta kepada seluruh peserta pelelangan yang diundang agar mempersiapkan dokumen asli atau dokumen rekaman yang

Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Antara Pendekatan RME Dan Open Ended .... DAFTAR

1) KPI kepuasan dan kontribusi stakeholder menghasilkan performance yang sangat baik karena semua KPI melewati target yang diharapkan oleh PT Jaya Celcon Prima, dengan

Quraish Shihab, dalam menghadapi ayat-ayat yang dianggap kontradiksi, ia senantiasa berusaha mengkompromikan penafsiran antar kedua ayat dan memberikan penjelasan

Pcndapat ini mereka kemukakan dalam rangka menolak pandangan ulama lain yang menyatakan bahwa ada ayat al- Qur‟an yang dibatalkan ketentuan hukumnya dan digantikan oleh