• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT DAYAK: FILOSOFI DAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL. Oleh: A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MASYARAKAT DAYAK: FILOSOFI DAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL. Oleh: A."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

MASYARAKAT DAYAK: FILOSOFI DAN

KEARIFAN LOKAL DALAM

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL

Oleh: A. Teras Narang, SH

Disampaikan pada Seminar Pengetahuan dan Kearifan Lokal Masyarakat Dayak dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kewiraausahaan Sosial, Yogyakarta, 10 Oktober 2012

(2)

2

MASYARAKAT DAYAK: FILOSOFI DAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN KEWIRAUSAHAAN SOSIAL1

Oleh

A. Teras Narang, SH2 A. Pendahuluan

Leluhur bangsa ini telah mewariskan kearifan hidup untuk berbagi kepada sesama, melayani tanpa pamrih. Bukan hanya manusia, alam pun dijaga dengan penuh kasih. Setiap apa yang diberikan Tuhan melalui alam yang subur makmur ini, selalu disyukuri dalam berbagi bentuk ritual penuh makna yang kini telah menjadi budaya. Seperti mata air yang jernih, nilai hidup melayani menjadikan bahagia sebagai napas kehidupan tak terhenti. Hidup menjadi mudah, jiwa pun penuh kasih dan tindakan dalam keseharian selalu bermanfaat dan berkah. Begitulah orang tua dulu memberikan kita warisan kearifan. Namun harus diakui dengan jujur, kini spirit berbagi dan melayani sesama sudah banyak dilupakan bahkan ditinggalkan. Alih-alih mengembangkan, menjaganya saja sudah payah. Padahal, peduli dan bertindak nyata untuk sesama adalah nilai hidup yang menjadi harta karun dengan nilai yang tak terhingga (Uno, 2012). Para orang tua itu lebih cerdas dan menyatu dengan alam yang telah memberikan keberkahan bagi hidup mereka di masanya. Hanya saja, kita yang hidup di jaman yang serba modern ini telah melupakan kecerdasan lokal yang sesungguhnya hasil refleksi filosofis mendalam dan pengalaman hidup para orang tua dulu yang bijak.

Alam adalah ruang hidup bagi masyarakat Dayak dan hutan adalah napas. Begitu lekatnya hubungan manusia Dayak dengan alamnya, sehingga alam juga dipandang layaknya seorang ibu yang harus dihormati, dimuliakan, dan dirawat dengan penuh kasih. Perspektif masyarakat Dayak dalam memperlakukan alam sungguh sangat kontrastif dengan perspektif ekonomis. Masyarakat Dayak berpandangan bahwa alam beserta isinya bukanlah sebuah benda mati semata. Di dalam perspektif etnoreligi Kaharingan, semua benda alam memiliki semacam roh, yang disebut „gana’. „Gana’ ini tidak terbatas pada sesuatu yang bergerak atau bernapas.

Semua yang diciptakan oleh Tuhan, baik berupa benda hidup maupun maupun benda mati, menjadi keharusan untuk diperlakukan secara baik. Flora dan fauna yang ada di alam dianggap memiliki hak yang sama untuk memperoleh perlakuan yang baik. Seluruh flora dan fauna yang memberikan kemaslahatan (beneficiary) bagi masyarakat Dayak mendapatkan perlakuan yang baik. Padi, misalnya bukan semata tumbuhan yang hanya menghasilkan beras saja. Padi, sama seperti sejarah tentang padi di berbagai masyarakat Timur, memiliki roh yang menempati tempat yang khusus. Jadi, ketika masyarakat berladang padi, bukan soal pemenuhan kebutuhan hidup saja, tetapi meneruskan amanat Pencipta untuk melestarikan dan menyediakan makanan bagi bumi. Padi, menurut mitos mulanya adalah makanan para penghuni Alam Atas (Upperworld) yang disebut Pantai Danum Sangiang demi kelangsungan hidup manusia di bumi. Maka tidak lah mengherankan bahwa di dalam masyarakat Dayak, khususnya Kaharingan, dilingkupi dengan beraneka ritus dalam rangka memperlakukan alam. Pohon kayu, sebagai contoh, ketika menimpa salah seorang warga

1

Disampaikan pada Seminar Pengetahuan dan Kearifan Lokal Masyarakat Dayak dalam Pengelolaan Sumber

Daya Alam dan Kewiraausahaan Sosial, Yogyakarta, 10 Oktober 2012

2

(3)

3

kampung yang mengakibatkan meninggal dunia, akan dilakukan ritual yang disebut “mangayau kayu”. Ritual ini bertujuan untuk menyelaraskan kembali hubungan yang tercederai antara manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya.

Perspektif demikian menggiring masyarakat Dayak untuk bijak dalam memanfaatkan alam beserta isinya. Pemanfaatan alam, khususnya hutan tidak dilakukan secara sembarangan dan serakah. Pemanfaatan hutan dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan hidup (life and need fulfilment) dan pencadangan bagi generasi selanjutnya, menjadi mutlak dilakukan.

Menurut Schärer (1963), masyarakat Dayak mengenal adanya dualitas kekuasaan (bukan dualisme) yang dimanifestasikan ke dalam tiga „wilayah‟ kekuasaan: Pantai Danum Sangiang (Dunia Atas) yang dikuasai oleh Allah Tertinggi (Ranying Mahatala Langit), Pantai Danum Kalunen (Dunia Manusia) dan Pantai Danum Basuhun Bulau Saramai Rabia (Dunia Bawah) yang dikuasai oleh Jatha Balawang Bulau. Dunia Atas dan Dunia Bawah merupakan dualitas yang menyatu, yakni dua aspek: maskulin dan feminin.

Sebagai manusia yang menjalani dan menaati “hadat”, masyarakat Dayak sangat menjaga harmonisasi hubungan ketiga dunia tersebut. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hadat yang mengatur hubungan triarkis antara manusia dengan Tuhan dan alam, maka kewajiban manusia adalah melakukan restorasi dari sistem kosmis yang dirusak dan melakukan pemulihan (recovery) sehingga keseimbangan kosmis dapat terpelihara dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia di muka bumi. Masyarakat Dayak Kaharingan percaya bahwa bumi yang ditempati sebagai “pinjaman” atau “dunia yang ditopang oleh kekuasaan dualitas Dunia Bawah (Jatha Balawang Bulau)” bersama-sama dan satu dengan Dunia Atas (Ranying Mahatala Langit). Oleh karenanya, masyarakat Dayak diwajibkan menjaga keselarasan hubungan antarsesama manusia, alam dan hubungan dengan Tuhan.

Dengan demikian, mereka dapat memperoleh kemaslahatan dari apa yang diperlakukannya kepada sesama dan alam dalam rangka menuju keselarasan hubungan dengan Tuhan. Di dalam mencapai misi menuju kematian sempurna setelah dilakukan upacara tiwah (good dead, Scharer 1963), mereka terlebih dulu menaati “hadat” melalui perbuatan baik (kepada sesama manusia, Tuhan, dan alam).

B. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal

Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusahai alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, sebab alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit). Karena alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka manusia hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan mempertahankan hidup. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta.

Jauh sebelum adanya pemikiran tentang konservasi dan hutan lindung, masyarakat Dayak sudah mencadangkan kawasan hutan. Mereka memiliki hutan cadangan yang disebut pukung pahewan (hutan adat; hutan cadangan). Hal ini dimaksudkan sebagai penyangga keanekaragaman hayati dan cadangan bagi generasi mendatang. Kearifan lain adalah apabila salah satu warga meninggal dunia akibat tertimpa kayu, maka tetua adat akan melakukan

(4)

4

serangkaian upacara ritual mangayau kayu dengan maksud agar setelahnya hubungan manusia dengan alam kembali dipulihkan. Kayu dianggap secara filosofis memiliki 'roh', karena daripadanya masyarakat Dayak memperoleh manfaat bagi kehidupan. Penyucian hubungan tersebut dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan kosmis secara menyeluruh.

Sumber-sumber yang dianggap relevan untuk memahami religi masyarakat Dayak terhadap keseimbangan kosmis adalah melalui mite-mite (Ukur dalam Florus,dkk. , 1994). Termasuk di dalamnya mitos-mitos tentang hutan adat dan satwa tertentu. Perlakuan masyarakat Dayak terhadap aneka satwa, misalnya menyiratkan kearifan mereka di dalam pemenuhan kebutuhan hidup (need for life fulfillment). Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi, di antaranya burung tingang atau enggang dan elang, misalnya. Burung enggang merupakan simbol penguasa Alam Atas, sedangkan burung elang dianggap sebagai burung “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang) (bdk.Riwut, 2003). Harmonisasi hubungan manusia dengan alam merupakan manifestasi dari bakti manusia Dayak kepada Tuhan melalui benda-benda ciptaan-Nya. Masyarakat Dayak percaya bahwa “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Oleh karenanya, mereka menganggap pelestarian alam adalah tanggung jawab yang harus diemban manusia.

Perlakuan terhadap alam seperti halnya perlakuan kepada sesama manusia. Apa yang diberikan oleh alam merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga keberlangsungannya. Oleh karena itu, perlakuan yang baik dalam mengusahakan alam bagi kepentingan hidup manusia akan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan manusia. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat berjalan seiring dengan kemajuan pembangunan dengan berbasis pengetahuan lokal tentang pertanian, peternakan, dan perkebunan, serta pengelolaan hutan konservasi. Penggalakan usaha mikro, seperti pemeliharaan ikan dalam kolam yang disebut beje, pengelolaan danau adat bagi nelayan tradisional, dan lain-lain, merupakan kearifan dan pengetahuan lokal yang akan terus dikembangkan. Budidaya padi dan palawija serta sayur-mayur hutan, buah-buahan hutan, dan lain-lain, termasuk tanaman hutan bagi pengobatan dan kesehatan. Pada bidang perikanan, misalnya terdapat berbagai teknologi lokal yang ramah lingkungan, seperti alat tangkapan ikan tradisional, kegiatan manuwe (menuba) ikan dari getah pohon alami dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Beberapa alat tangkapan tradisional lainnya, seperti jerat, dondang (sejenis tombak pelontar), rangkep (perangkap), dan lain-lain, tidak bertujuan untuk mengakibatkan terjadinya kepunahan. Semua aktivitas pengusahaan alam dan hutan didasarkan pada pemahaman pemikiran yang telah dibuktikan berabad lamanya demi kepentingan generasi setelahnya, serta dalam rangka upaya pemenuhan amanat sebagai bakti bumi manusia Dayak terhadap Sang Pencipta. Pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pengetahuan dan kearifan lokal demikian niscaya akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, baik generasi kini maupun mendatang.

Dalam kaitannya dengan upaya menumbuhkembangkan kewirausahaan sosial, konteks kearifan lokan dan pengetahuan lokal menjadi sangat relevan. Adanya multiplier effects yang dapat kita rasakan manfaatnya. Masyarakat tetap mengusahakan alam dengan arif dan bijak, sementara di sisi lain mereka mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Jiwa kewirausahaan sosial akan berkembang seiring dengan kearifan lokal masyarakat demi upaya sebagai bakti bumi dan kelangsungan hidup generasi mendatang. Oleh karenanya, teknologi modern perlu adanya penyelarasan dengan kearifan dan pengetahuan lokal, sehingga tidak akan memberikan dampak negatif bagi kelestarian alam. Pula, diharapakan hal ini menjadi sebuah refleksi bagi kalangan peminat kewirausahaan, setidaknya sebagai pengetahuan awal

(5)

5

bagi para generasi kini yang akan membaktikan ilmunya. Demi kejayaan dan kemakmuran Bangsa yang kita cita-citakan bersama.

C. Penutup

Suatu karunia Tuhan, bahwa Pulau Kalimantan sangat kaya akan sumber daya alam, baik hutan dan kekayaan perut buminya. Sebuah tanggung jawab besar berada di baliknya. Tanggung jawab seluruh masyarakat Dayak, bersama-sama dengan komponen lainnya. Demi mencapai tujuan pembangunan yang sejahtera dan bermartabat, Pemerintah Daerah telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah. Regulasi ini sebagai bukti keseriusan Pemerintah Daerah dalam memberikan ruang bagi hidup bagi kelangsungan kelestarian tanah dan hutan adat. Disadari pula, bahwa tanah dan hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelangsungan kehidupan bagi masyarakat Dayak itu sendiri.

Di pihak lain, dalam rangka penguatan kelembagaan adat Dayak, diterbitkan pula Peraturan Daerah Nomor 16/2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, dengan maksud dan tujuan agar lembaga-lembaga adat yang ada mampu melakukan aktualisasi dan bersinergi dengan Pemerintah. Lembaga-lembaga adat ini diharapkan akan terus mengawal tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan pembangunan integritas manusia Dayak yang semakin sejahtera dan bermartabat.

Penguatan ekonomi masyarakat berbasis pengetahuan lokal akan terus dikembangkan. Dampak dari pengetahuan dan kearifan lokal tersebut masih dapat kita rasakan hingga sekarang ini. Dengan demikian, keselarasan hubungan dan keseimbangan ekologis (ecological equilibrium) yang dijadikan pedoman masyarakat Dayak hingga kini akan tercipta. Manusia mendapatkan keuntungan dari mengusahakan alam untuk meningkatkan kualitas hidupnya, di pihak lain alam akan terjaga kelestariannya.

Referensi

Riwut, Tjilik. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang (Menelusuri Kekayaan Leluhur). Pusakalima: Palangka Raya.

Schärer, Hans. 1963. Ngaju Religion: The Conception of God Among A South Borneo People. Translated by Rodney Needham. The Hague: Martinus Nijhoff.

Ugang, Hermogenes. 1983. Menelusuri Jalur-Jalur Keluhuran. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ukur, Fridolin. 1971. Tantang Djawab Suku Dajak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ukur, Fridolin. 1994. “Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak” dalam Florus (Ed.). Kebudayaan Dayak: Aktualiasi dan Transformasi. Prosiding Seminar dan Ekspo Kebudayaan Dayak. Jakarta: Grasindo-LP3S-Institut Dayakologi.

Uno, Sandiaga. 2012 dalam http://www.aksi-indonesia.org/opinions/view/12, diakses 1 Oktober 2012

Referensi

Dokumen terkait

Ekstraksi minyak kelapa sawit dilakukan dengan beberapa tahap yaitu sebagai berikut: Labu alas bulat untuk sokletasi sebagai penampung minyak sawit hasil ekstrak

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 1 tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Misalnya, tetangga, kerabat ataupun orang yang dikenal pasti akan bertanya tentang bagaimana perkembangan anak mereka di PAUD tersebut dan akan menjadi acuan bagi orangtua lain

Dalam kehidupan modern manusia tidak dapat dipisahkan dari olahraga, baik sebagai arena adu prestasi maupun sebagai kebutuhan untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap

Di lain pihak, membersihkan wajah secara berlebihan dengan produk-produk seperti alkohol-based cleanser dan scrub dapat mengiritasi kulit lebih jauh dan memperparah

Hasil yang diharapkan Hasil yang diperoleh selesai kontrak kaveling muncul persetujuan selesai kontrak kaveling persetujuan selesai kontrak kaveling Pengujian persetujuan

Perdata Internasional (disingkat: HPI)—yaitu keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang dilakukan oleh subjek hukum, yang masing-masing

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan permainan Scrabble dalam pembelajaran Bahasa Inggris siswa kelas III Sekolah Dasar, serta untuk mengetahui peningkatan