• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah tenaga kerja, dengan mengolah barang mentah menjadi barang jadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah tenaga kerja, dengan mengolah barang mentah menjadi barang jadi"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Upah

2.1.1 Pengertian Upah

Salah satu faktor produksi yang berpengaruh dalam kegiatan memproduksi adalah tenaga kerja, dengan mengolah barang mentah menjadi barang jadi maupun barang setengah jadi menjadi barang jadi atau dikenal dengan proses produksi sehingga menghasilkan output yang yang diinginkan perusahaan. Adanya pengorbanan yang dikeluarkan tenaga kerja untuk perusahaan maka tenaga kerja berhak atas balas jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja tersebut berupa upah. Sadono Sukirno (2005), membuat perbedaan diantara dua pengertian upah :

1. Upah Nominal (upah uang) adalah jumlah uang yang diterima para pekerja dari para pengusaha sebagai pembayaran atas tenaga mental dan fisik para pekerja yang digunakan dalam proses produksi.

2. Upah Riil adalah tingkat upah pekerja yang diukur dari sudut kemampuan upah tersebut membeli barang-barang dan jasa-jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan para pekerja.

Beberapa pendapat ahli tentang pengertian upah dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. Hasibuan (1997), upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada para pekerja

(2)

2. Moekijat (1992), menyatakan bahwa upah adalah pembayaran yang diberikan kepada karyawan produksi dengan dasar lamanya jam kerja.

3. Edwin B. Flippo (dalam As’ad, 2004: 92), “a wage a price for the service

human being”, yang mana artinya adalah upah merupakan harga yang

diberikan oleh pemilik perusahaan kepada para karyawan atas dasar jasa yang telah diberikan oleh karyawan.

Pendapat lain dikemukakan oleh Simanjuntak (1996), menyatakan bahwa upah merupakan imbalan yang diterima seseorang atas jasa yang diberikannya bagi pihak lain, diberikan seluruhnya dalam bentuk uang atau sebagian dalam bentuk uang dan sebagian dalam bentuk natural.

Upah merupakan faktor yang penting bagi pekerja, karena bagaimanapun juga upah bagi pekerja merupakan tempat bergantung bagi kelangsungan hidup pekerja beserta keluarganya. Adapun yang dimaksud dengan upah menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja / buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh, yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan jasa yang telah atau akan dilakukan.

Upah sering diidentikkan dengan gaji. Anggapan ini terjadi mungkin disebabkan karena gaji dan upah sama-sama merupakan imbalan jasa yang diberikan oleh pengusaha kepada karyawannya. Pada kenyataannya, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan. Menurut Sadono Sukirno (2005), gaji adalah

(3)

pembayaran kepada pekerja tetap dan tenaga kerja professional seperti pegawai pemerintah, dosen, guru, manajer, dan akuntan. Sedangkan upah adalah pembayaran kepada pekerja-pekerja kasar seperti buruh, petani, tukang batu.

Sementara menurut Hadi Purwono (2003), membedakan pengertian gaji dan upah sebagai berikut: Gaji (salary) biasanya dikatakan upah (wages) yang

dibayarkan kepada pimpinan, pengawas, dan tata usaha pegawai kantor atau manajer lainnya. Gaji umumnya tingkatnya lebih tinggi dari pada pembayaran kepada pekerja upahan. Sedangkan upah adalah pembayaran kepada karyawan atau pekerja yang dibayar menurut lamanya jam kerja dan diberikan kepada mereka yang biasanya tidak mempunyai jaminan untuk dipekerjakan secara terus-menerus. Defenisi lain diungkapkan oleh Winarni dan Sugiyarso (2006), yang menyatakan bahwa istilah gaji biasa digunakan pada instansi – instansi pemerintah dan pembayarannya ditetapkan secara bulanan, sedangkan upah biasa digunakan pada perusahaan-perusahaan swasta dan diberikan pada pekerja yang lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik, serta pembayaran yang ditetapkan secara harian atau berdasar unit pekerjaan yang diselesaikan.

Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara gaji dan upah terletak pada kuatnya ikatan kontrak kerja dan jangka waktu penerimaannya. Seseorang menerima gaji apabila ikatan kontrak kerjanya kuat dan memiliki jabatan yang bersifat administratif. Sedangkan orang yang menerima upah, ikatan kontrak kerjanya kurang kuat dan biasanya diberikan kepada pekerja pelaksana (buruh). Untuk jangka waktu penerimaan, gaji pada

(4)

umumnya diberikan secara periodik biasanya setiap akhir bulan, sedangkan upah diberikan pada setiap hari atau mingguan.

2.1.2 Macam-Macam Upah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Menurut Rivai (2004), upah dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Upah menurut waktu, yaitu upah yang diberikan kepada para pekerja menurut waktu kapasitas kerjanya. Pembayaran upah tersebut bisa dilakukan secara harian, mingguan, dan bulanan. Besarnya upah yang dibayarkan didasarkan kepada lamanya bekerja bukan dikaitkan dengan prestasi kerjanya.

Kebaikan upah menurut waktu adalah :

a) Tata usaha yang mengurus soal pembayaran upah dapat menyelenggarakan dengan mudah.

b) Perhitungan tidak menyukarkan.

Keburukan upah menurut waktu adalah :

a) Upah pekerja yang rajin dan yang malas disamakan.

b) Pimpinan perusahaan tidak mempunyai kepastian tentang kecakapan dan kemauan bekerja dari pekerja.

c) Buruh tidak mempunyai dorongan untuk bekerja keras demi perusahaan.

2. Upah menurut satuan hasil, yaitu upah yang diberikan kepada para pekerja menurut prestasi yang dihasilkan oleh para pekerja tersebut. Artinya, besarnya upah ditetapkan atas kesatuan unit yang dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter, dan kilogram. Besarnya upah

(5)

yang diberikan selalu didasarkan kepada banyaknya hasil yang dikerjakan bukan kepada lamanya waktu untuk mengerjakannya.

Kebaikan upah menurut satuan hasil :

a) Pekerja yang rajin akan mendapatkan upah yang tinggi daripada pekerja yang malas.

b) Pekerja berusaha mendapatkan prestasi kerja, sehingga menguntungkan perusahaan karena hasil produksi meningkat.

Keburukan upah menurut satuan hasil :

a) Kualitas barang yang dihasilkan turun karena pegawai bekerja dengan tergesa-gesa.

b) Keinginan pegawai untuk mendapatkan upah yang besar menyebabkan ia bekerja terus – menerus yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan bagi pekerja.

3. Upah menurut borongan, yaitu suatu cara pengupahan yang penetapan besarnya jasa didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya. Penetapan besarnya balas jasa berdasarkan system borongan cukup rumit, lama mengerjakannya serta banyak alat yang diperlukan untuk menyelesaikannya.

Buruh, pengusaha, Pemerintah, dan masyarakat pada umumnya sama-sama mempunyai kepentingan atas sistem dan kebijaksanaan pengupahan. Buruh dan keluarganya sangat tergantung pada upah yang mereka terima untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, perumahan, dan kebutuhan lainnya. Sehingga upah menjadi masalah krusial, karena selalu menjadi selisih pendapat

(6)

antara pengusaha dengan buruh dalam menetapkan pengupahan. Para buruh dan serikat buruh selalu mengharapkan upah yang lebih besar untuk meningkatkan taraf hidupnya. Di lain pihak, para pengusaha sering melihat upah sebagai bagian dari biaya pengeluaran semata, sehingga banyak pengusaha yang sangat hati-hati untuk meningkatkan upah.

Di kebanyakan perusahaan keputusan menentukan tingkat besar kecilnya upah dipengaruhi oleh banyak hal. Winarni dan Sugiyarso (2006), menyatakan bahwa faktor – faktor penting yang dapat mempengaruhi tingkat upah antara lain :

1. Ketetapan Pemerintah

Dalam penentuan gaji dan upah yang perlu diingat adalah bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja.

Kebijaksanaan pengupahan yang melindungi pekerja meliputi : a. Upah minimum;

b. Upah kerja lembur;

c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. Bentuk dan cara pembayaran upah;

(7)

h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. Upah untuk pembayaran pesangon;

k. Upah untuk perlindungan pajak penghasilan.

Untuk menentukan tingkat upah di beberapa perusahaan digunakan ketentuan pemerintah tentang Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Sektoral Regional (UMSR). Namun ketentuan ini kebanyakan berlaku untuk jabatan tingkat pelaksana saja.

2. Tingkat Upah di Pasaran

Besarnya upah yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan lain yang sejenis, yang beroperasi pada sektor yang sama, digunakan sebagai acuan untuk menentukan besarnya upah pada perusahaan tersebut. Tingkat upah yang berlaku di pasaran dapat diperoleh melalui survey. Perusahaan dapat memutuskan untuk memberikan besarnya upah pada karyawannya dengan cara menyamakan atau melebihkan sedikit dari harga pasar yang berlaku, tergantung pada strategi dan kemampuan perusahaan tersebut.

3. Kemampuan Perusahaan

Kemampuan perusahaan untuk membayar upah tergantung daripada kemampuan finansial perusahaan. Untuk mempertahankan karyawan, perusahaan akan mungkin membayar upah yang sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain, akan tetapi hal itu akan tergantung daripada kondisi finansial perusahaan.

(8)

4. Kualifikasi SDM yang Digunakan

Saat ini tingkat teknologi yang dipergunakan oleh perusahaan menentukan tingkat kualifikasi sumber daya manusianya. Semakin canggih teknologinya, akan semakin dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Di samping itu segmen pasar dimana perusahaan itu bersaing juga menentukan tingkat kualifikasi sumber daya manusianya.

5. Kemauan Perusahaan

Perusahaan kadang tidak ingin repot dengan faktor-faktor seperti harga pasar dan lain-lain, perusahaan hanya akan berpegang pada apa yang menurutnya wajar.

6. Tuntutan Pekerja

Tuntutan para pekerja dan kemauan perusahaan biasanya dipertemukan dalam meja perundingan dengan cara musyawarah atau tawar-menawar. Organisasi pekerja dan pengusaha secara sendiri-sendiri atau gabungan organisasi pekerja dan gabungan perusahaan dapat melakukan hal ini.

2.1.3 Prinsip, Tujuan Upah dan Gaji

Masalah upah dan gaji bukanlah masalah yang sederhana, tetapi cukup kompleks sehingga perusahaan hendaknya mempunyai suatu prinsip bagaimana menetapkan upah atau gaji yang tetap. Gaji yang diberikan kepada karyawan pada dasarnya harus memenuhi beberapa kriteria. Hal ini dimaksudkan agar gaji atau

(9)

upah yang diberikan sesuai dengan tanggung jawab karyawan terhadap beban pekerjaannya.

Menurut Moekijat (1992), menyebutkan beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian gaji dan upah yaitu sebagai berikut :

1. Upah itu harus adil

Besarnya upah yang diberikan kepada karyawan harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, resiko pekerjaan, tanggung jawab, jabatan pekerjaan dan memenuhi persyaratan internal konsistensi.

2. Upah yang diberikan harus layak dan wajar

Upah yang diberikan harus sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya, maksudnya jika biaya hidup minimal karyawan secara umum perhari Rp.1500,- maka upah yang diberikan harus sama/ lebih dari biaya hidup perharinya.

3. Upah harus dapat memenuhi kebutuhan yang minimal

Artinya upah yang diberikan harus dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup karyawan beserta keluarganya, minimal kebutuhan-kebutuhan pokok karyawan harus terpenuhi untuk kelangsungan hidupnya.

4. Upah harus dapat mengikat

Besarnya upah harus disediakan sedemikian rupa, hal ini penting untuk menghindari pindahnya karyawan ke perusahaan lain, karena perusahaan itu memberikan upahnya lebih tinggi, terutama kepada karyawan penting dan berprestasi. Tetapi tidak berarti upah yang

(10)

perusahaan berikan harus lebih tinggi atau sama dengan perusahaan lain sebab keterikatan karyawan tidak semata-mata ditentukan oleh upah, meskipun harus diakui bahwa upah sangat besar pengaruhnya. 5. Upah tidak boleh bersifat statis

Maksudnya bahwa upah yang diberikan oleh perusahaan harus ditinjau kembali secara bertahap. Hal ini penting karena adanya beberapa faktor yang terjadi pada upah yang diberikan, yaitu :

a) Perubahan tingkat penduduk.

b) Perubahan Undang-Undang/ Peraturan tentang besarnya gaji dan upah.

c) Perubahan tingkat gaji dan upah yang diberikan perusahaan lain.

Adapun tujuan diberikannya upah atau gaji adalah sebagai berikut :

1. Mampu menarik tenaga kerja yang berkualitas baik dan mempertahankan mereka

Perusahaan bukan hanya perlu memenuhi kewajiban normatifnya, tetapi sekaligus ingin agar tenaga profesional yang baik yang mereka butuhkan untuk menjalankan perusahaan tertarik untuk melamar dan setelah masuk tidak akan tertarik untuk pergi ke perusahaan lain.

2. Memotivasi tenaga kerja yang baik untuk berprestasi tinggi

Tenaga kerja yang telah masuk harus memberikan kontribusi yang diharapkan perusahaan setinggi-tingginya sesuai kemampuan mereka.

(11)

Untuk itu, kebijakan dan system imbalan harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu merangsang gairah kerja.

3. Mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia

Salah satu misi yang harus dilakukan perusahaan adalah secara bertahap melakukan kegiatan pergantian teknologi dengan yang lebih canggih dan memodernkan proses dan sistem operasinya, dan karena itu kualitas sumber daya manusianya harus ditingkatkan pada standar tertentu. Misi tersebut mengisyaratkan bahwa perusahaan akan menerepkan konsep organisasi belajar yang akan lebih cepat dicapai bila kebijakan dan sistem pengupahan yang digunakan juga dirancang sedemikian rupa sehingga mampu merangsang orang untuk berminta belajar terus menerus.

4. Membantu mengendalikan biaya imbalan tenaga kerja

Dengan sistem yang baik pimpinan perusahaan akan mampu memantau perkembangan peningkatan biaya tenaga kerja, menilai efektivitasnya berdasarkan tujuan-tujuan yang telah disebut terdahulu dan mengevaluasi apakah perkembangan biaya tersebut seimbang dengan peningkatan produktivitas yang diharapkan.

5. Disiplin

Dengan pemberian balas jasa yang lebih besar maka disiplin karyawan semakin baik. Mereka akan menyadari serta mentaati peraturan-peraturan yang berlaku.

(12)

2.1.4. Teori dan Sistem Pengupahan

Sistem pengupahan di suatu negara biasanya didasarkan kepada falsafah atau teori yang dianut oleh negara itu. Teori yang mendasari sistem pengupahan pada dasarnya dapat dibedakan menurut dua ekstrim. Ekstrim yang pertama didasarkan pada ajaran Karl Marx mengenai teori nilai dan pertentangan kelas. Ekstrim yang kedua didasarkan pada teori pertambahan produk marjinal berlandaskan asumsi perekonomian bebas. Sistem pengupahan pada ekstrim yang pertama umumnya dilaksanakan di negara-negara penganut paham komunis, sedangkan sistem pengupahan ekstrim kedua umumnya dipergunakan di Negara-negara yang digolongkan sebagai kapitalis.

Sistem pengupahan di berbagai negara termasuk di Indonesia, pada umumnya berada diantara dua ekstrik tersebut. Landasan sistem pengupahan di Indonesia adalah UUD 1945, Pasal 27, ayat (2) dan penjabarannya dalam Hubungan Industrial Pancasila. Hubungan tersebut didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

2.1.4.1 Upah Menurut Kebutuhan

Ajaran Karl Marx pada dasarnya berpusat pada tiga hal, yaitu : 1. Teori Nilai

Marx berpendapat bahwa hanya buruh yang merupakan sumber nilai ekonomi. Jadi nilai sesuatu barang adalah nilai dari jasa buruh atau dari jumlah waktu kerja yang dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut. Implikasi pandangan yang demikian adalah :

(13)

a. Harga barang berbeda menurut jumlah jasa buruh yang dialokasikan untuk seluruh proses produksi barang tersebut;

b. Jumlah jasa kerja yang dikorbankan untuk memproduksi sesuatu jenis barang adalah kira-kira sama. Oleh sebab itu, harganya pun di beberapa tempat menjadi kira-kira sama;

c. Seluruh pendapatan nasional diciptakan oleh buruh, jadi dengan demikian hanya buruh / pekerja yang berhak memperoleh seluruh pendapatan nasional tersebut.

Pandangan ini tidak cocok dengan kenyataan. Pertama, walaupun manusia merupakan faktor yang paling utama dalam proses produksi, namun peranan faktor modal seperti mesin-mesin ternyata sangat besar. Kedua, peranan selera dan pola konsumsi masyarakat ternyata sangat berpengaruh dalam penentuan harga.

2. Pertentangan Kelas

Marx berpendapat bahwa kapitalis selalu berusaha menciptakan barang-barang modal untuk mengurangi penggunaan buruh. Dengan demikian akan timbul pengangguran besar-besaran. Dengan adanya pengangguran yang sangat besar ini, maka pengusaha dapat menekan upah. Konsekuensi dari pada sistem yang demikian ini, maka tiada jalan lain bagi buruh kecuali untuk bersatu merebut kapital dari pengusaha menjadi milik bersama.

Pandangan ini dapat dibantah dengan berbagai kenyataan yang disaksikan, misalnya :

(14)

a. Sejak awal 20, telah berkembang aliran pendekatan manusiawi (human

approach) dalam manajemen perusahaan. Pendekatan ini menekankan

untuk dilakukan perbaikan, pemberian insentif, lingkungan kerja, dan lain-lain dalam rangka meningkatkan produktivitas karyawan;

b. Adanya campur tangan pemerintah dalam penentuan sistem upah dan secara langsung mengatasi pengangguran melalui proyek-proyek pemerintah;

c. Hadirnya serikat pekerja dan ikut berperan mendampingi pengusaha dalam menentukan sistem upah.

3. Terbentuknya masyarakat komunis

Masyarakat komunis terbentuk sebagai konsekuensi dari dua ajaran Marx di atas, yaitu teori nilai dan pertentangan kelas. Dalam masyarakat ini seseorang tidak menjualkan tenaganya kepada yang lain, akan tetapi masyarakat itu melalui partai buruh akan mengatur apa dan berapa jumlah produksi. Dalam masyarakat impian Marx tersebut, “tiap orang harus bekerja menurut kemampuannya, dan tiap orang memperoleh menurut kebutuhannya” (from each according to his ability, to each according to his needs). (Karl Marx, dalam Simanjuntak, 1985).

Implikasi pandangan Marx tersebut dalam sistem pengupahan dan pelaksanaanya adalah :

a) Bahwa kebutuhan konsumsi tiap-tiap orang macamnya dan jumlahnya kira-kira sama. Nilai setiap barang yang sama (walaupun terdapat di tempat yang berbeda) adalah juga sama. Oleh sebab itu, upah tiap-tiap

(15)

orang juga kira-kira sama. Dalam hal ini sistem upah hanya sekedar menjalankan fungsi sosial, yaitu memenuhi kebutuhan konsumtif dari buruh.

b) Sistem pengupahan disini tidak mempunyai fungsi pemberian insentif yang sangat perlu untuk menjamin peningkatan produktivitas kerja dan pendapatan nasional.

c) Sistem kontrol yang sangat ketat diperlukan untuk menjamin setiap orang betul-betul mau bekerja menurut kemampuannya. Ini memerlukan sentralisasi kekuasaan dan sistem paksaan, yang dipandang bertentangan dengan azas-azas kemanusiaan.

2.1.4.2 Upah Sebagai Imbalan

Teori Neo Klasik mengemukakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang dipergunakan menerima atau diberi imbalan seberapa nilai pertambahan hasil marjinal dari faktor produksi tersebut. Ini berarti bahwa pengusaha mempekerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marjinal seseorang sama dengan upah yang diterima orang tersebut. Dengan kata lain tingkat upah yang dibayarkan pengusaha adalah :

W = WMPP = MPP x P . . . (7.1.) W = tingkat upah (dalam arti labour cost) yang dibayarkan pengusaha

kepada karyawan;

P = harga jual barang (hasil produksi) dalam rupiah per unit barang; MPP = marginal physical product of labor atau pertambahan hasil

(16)

VMPP = value of marginal physical product of labor atau nilai pertambahan

hasil marjinal pekerja atau karyawan.

Nilai pertambahan hasil marjinal karyawan VMPP , merupakan nilai jasa yang diberikan oleh karyawan kepada pengusaha. Sebaliknya upah, W, dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan sebagai imbalan terhadap jasa karyawan yang diberikan kepada pengusaha. Selama nilai pertambahan hasil marjinal karyawan lebih besar dari upah yang dibayarkan oleh pengusaha (VMPP > W), pengusaha dapat menambah keuntungan dengan menambah pekerja. Di lain pihak, pengusaha tentu tidak bersedia membayar upah yang lebih besar dari nilai usaha kerja yang diberikan karyawan kepada pengusaha. Dilihat dari segi pekerja, karyawan tersebut tidak bersedia menerima upah yang lebih rendah dari nilai usaha kerjanya. Bila pengusaha tertentu membayar upah yang lebih rendah dari nilai usaha kerja karyawan, maka karyawan itu akan mencari pekerjaan di tempat lain yang mampu membayar sama dengan usaha kerjanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut teori Neo Klasik, karyawan memperoleh upah senilai dengan pertambahan hasil marjinalnya. Dengan kata lain, upah dalam hal ini berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seseorang tersebut kepada pengusaha.

2.1.4.3 Perbedaan Tingkat Upah

Dengan asumsi mobilitas sempurna dari faktor-faktor produksi seperti dikemukakan di atas, maka setiap faktor produksi menerima imbalan senilai tambahan hasil marjinalnya, dan imbalan itu sama untuk berbagai alternatif penggunaan atau proses produksi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa setiap pengusaha adalah price taker, artinya tidak dapat mempengaruhi harga pasar.

(17)

Pengusaha menjual hasil produksinya menurut harga pasar dan membeli faktor produksi dengan harga pasar juga. Ini berarti bahwa tingkat upah di mana saja harus sama juga.

Kenyataan yang dapat disaksikan bahwa terdapat perbedaan tingkat upah. Perbedaan tingkat upah tersebut terjadi disebabkan oleh sepuluh (10) hal berikut, yaitu :

1. Perbedaan tingkat pendidikan, latihan, atau pengalaman kerja. Dimana setiap pasar kerja, setiap pekerjaan berbeda dalam kebutuhan akan tingkat pendidikan dan ketrampilan. Oleh karena itu, pekerja yang dibutuhkan juga pasti berbeda-beda pendidikan dan skillnya.

2. Tingkat upah di tiap perusahaan berbeda menurut persentasi biaya karyawan terhadap seluruh biaya produksi. Semakin kecil proporsi biaya karyawan dibandingkan dengan biaya keseluruhan, upah dan kenaikan upah bukan persoalan yang besar bagi manusia. Dengan kata lain, semakin kecil proporsi biaya karyawan terhadap biaya keseluruhan, maka akan semakin tinggi tingkat upah.

3. Perbedaan tingkat upah antara beberapa perusahaan dapat terjadi menurut perbedaan proporsi keuntungan perusahaan terhadap penjualannya. Semakin besar proporsi keuntungan terhadap penjualan dan semakin besar jumlah absolut keuntungan, maka akan semakin tinggi tingkat upah. 4. Perbedaan tingkat upah terjadi karena perbedaan peranan pengusaha yang

(18)

perusahaan-perusahaan monopoli dan oligopoli cenderung untuk lebih tinggi dan tingkat upah di perusahaan yang sifatnya lebih bebas.

5. Tingkat upah dapat berbeda menurut besar kecilnya perusahaan. Perusahaan yang besar dapat memperoleh kemanfaatan “economic of scale” dan oleh sebab itu dapat menurunkan harga, sehingga mendominasi

pasar. Dengan demikian perusahaan besar cenderung lebih mampu memberikan tingkat upah yang lebih tinggi dari perusahaan kecil.

6. Tingkat upah dapat berbeda menurut tingkat efisiensi dan manajemen perusahaan. Semakin efektif manajemen perusahaan, semakin efisien cara-cara penggunaan faktor produksi, dan semakin besar upah yang dapat dibayarkan kepada karyawannya.

7. Perbedaan kemampuan atau kekuatan serikat pekerja juga dapat mengakibatkan perbedaan tingkat upah. Serikat pekerja yang kuat dalam arti mengemukakan alasan-alasan yang wajar biasanya cukup berhasil mengusahakan kenaikan upah. Dengan kata lain, tingkat upah di perusahaan-perusahaan yang serikat pekerjanya kuat, biasanya lebih tinggi dari tingkat upah di perusahaan-perusahaan yang serikat pekerjanya lemah. 8. Tingkat upah dapat pula berbeda karena faktor kelangkaan. Semakin

langka tenaga kerja dengan keterampilan tertentu, semakin tinggi tingkat upah yang ditawarkan pengusaha.

9. Tingkat upah dapat berbeda sehubungan dengan besar kecilnya resiko atau kemungkinan mendapat kecelakaan di lingkungan pekerjaan. Semakin

(19)

tinggi kemungkinan mendapat resiko, maka akan semakin tinggi tingkat upah.

10.Akhirnya perbedaan tingkat upah terjadi karena pemerintah campur tangan seperti dalam menentukan upah minimum yang berbeda.

2.1.4.4 Sistem dan Komponen Upah

Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Sistem pengupahan di Indonesia umumnya didasarkan kepada tiga fungsi upah, yaitu :

1. Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya; 2. Mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang;

3. Menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.

Penghasilan atau imbalan yang diterima seseorang karyawan atau pekerja sehubungan dengan pekerjaannya dapat digolongkan ke dalam empat bentuk, yaitu :

a. Upah dan Gaji

Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya mempergunakan gaji pokok didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja. Selain gaji pokok, biasanya karyawan juga menerima berbagai macam tunjangan, masing-masing sebagai persentasi dari gaji pokok atau dalam jumlah tertentu seperti tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, dan lain-lain. Jumlah gaji dan tunjangan-tunjangan tersebut dinamakan gaji kotor. Dari gaji kotor tersebut, karyawan dikenakan beberapa macam

(20)

potongan, seperti potongan untuk dana pensiun, asuransi kesehatan, sumbangan wajib, dan lain sebagainya.

Gaji bersih yang diterima adalah gaji kotor dikurangi potongan-potongan tersebut. Jumlah gaji bersih ini sering dikenal dengan sebutan take home pay.

b. Tunjangan dalam bentuk Natura

Tunjangan dalam bentuk natura maksudnya ialah tunjangan dalam bentuk pemberian barang-barang kebutuhan pokok, seperti bahan makanan, pakaian, dan lain sebagainya. Tujuan pemberian tunjangan dalam bentuk ini adalah untuk menjamin pengadaan kebutuhan yang paling primer dari karyawan dan keluarganya. Biasanya jumlah tunjangan dalam bentuk natura ini diberikan sekitar 25% dari gaji kotor karyawan.

c. Fringe Benefits

Fringe benefits adalah berbagai jenis benefit di luar gaji yang diperoleh seseorang sehubungan dengan jabatan dan pekerjaannya. Fringe benefits ini dapat berbentuk dana yang disisihkan pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, upah yang dibayarkan pada hari libur, sakit, cuti, kendaraan dinas, makan siang, bensin, fasilitas rekreasi, dan sebagainya. Nilai tiap jenis benefits yang diterima oleh setiap orang sukar untuk dihitung.

d. Kondisi Lingkungan Kerja

Kondisi lingkungan kerja yang berbeda di setiap perusahaan dapat memberikan tingkat utility yang berbeda juga bagi setiap karyawan.

(21)

Kondisi lingkungan kerja dalam hal ini mencakup lokasi perusahaan dan jaraknya dari tempat tinggal, kebersihan, kualitas supervisi, teman-teman sekerja, reputasi perusahaan, dan sebagainya. Sama halnya dengan fringe benefits, aspek ini sukar untuk dihitung.

Nilai yang diterima dalam bentuk fringe benefits dan kondisi lingkungan kerja jarang dianggap sebagai bagian dari upah atau penghasilan. Sementara, bagi pengusaha semua biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan mempekerjakan seseorang karyawan, termasuk fringe benefits dan kondisi lingkungan kerja, dipandang sebagai bagian dari upah.

2.1.5 Masalah Pengupahan

Masalah pertama yang timbul dalam bidang pengupahan adalah bahwa pengusaha dan karyawan pada umumnya mempunyai pengertian dan kepentingan yang berbeda mengenai upah. Bagi pengusaha, upah dapat dipandang sebagai beban, karena semakin besar tingkat upah yang dibayarkan kepada karyawan, semakin kecil proporsi keuntungan bagi pengusaha. Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pengusaha sehubungan dengan mempekerjakan seseorang dipandang sebagai komponen upah : uang tunai (gaji), tunjangan beras, pengangkutan, kesehatan, konsumsi yang disediakan dalam menjalankan tugas, pembayaran upah waktu libur, cuti dan sakit, fasilitas rekreasi, dan lain-lain. (Simanjuntak, 1985). Di pihak lain, karyawan dan keluarganya biasanya menganggap upah hanya sebagai apa yang diterimanya dalam bentuk uang ( take-home pay).

(22)

Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sedikit pengusaha yang secara sadar dan sukarela terus menerus meningkatkan penghidupan karyawannya, terutama golongan pekerja paling rendah. Di pihak lain, karyawan melalui Serikat Pekerja atau Serikat Buruh dengan mengundang campur tangan dari Pemerintah selalu menuntut kenaikan upah dan perbaikan tunjangan-tunjangan lainnya (fringe

benefits). Tuntutan seperti itu yang tidak disertai dengan peningkatan

produktivitas kerja akan mendorong pengusaha untuk :

1. Mengurangi penggunaan tenaga kerja dengan menurunkan produksi; 2. Menggunakan teknologi yang lebih padat modal; dan

3. Menaikkan harga jual barang yang kemudian mendorong inflasi.

Masalah kedua di bidang pengupahan berhubungan dengan keanekaragaman sistem pengupahan sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu proporsi bagian upah dalam bentuk natura dan fringe benefits cukup besar, dan besarnya tidak seragam antara perusahaan-perusahaan. Sehingga kesulitan sering ditemukan dalam perumusan kebijaksanaan nasional, misalnya dalam hal menentukan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur, dan lain-lain.

Masalah ketiga yang dihadapi dalam bidang pengupahan dewasa ini adalah rendahnya tingkat upah atau pendapatan masyarakat. Banyak karyawan yang berpenghasilan rendah, bahkan lebih rendah dari kebutuhan fisik minimumnya. Yang menyebabkan rendahnya tingkat upah itu pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Sebab pertama adalah rendahnya tingkat kemampuan manajemen pengusaha yang dapat menimbulkan keborosan. Akibatnya karyawan tidak dapat bekerja dengan efisien dan biaya produksi per

(23)

unit menjadi besar. Dengan demikian, pengusaha tidak mampu membayar upah yang tinggi. Sebab kedua adalah rendahnya produktivitas kerja. Produktivitas kerja karyawan rendah, sehingga pengusaha memberikan dalam bentuk upah yang rendah juga.

2.2 Upah Minimum

2.2.1 Kebijakan Penetapan Upah Minimum

Sebenarnya pemahaman terhadap penetapan upah minimum yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai keharusan perusahaan adalah untuk membayar upah sekurang-kurangnya sama dengan ketetapan upah minimum kepada buruh yang paling rendah tingkatnya. Penetapan upah minimum dipandang sebagai sarana atau instrumen kebijaksanaan untuk menjamin kebutuhan hidup paling minimum karyawan beserta keluarganya, juga sebagai jaring pengaman (safety net) agar upah pekerja/karyawan tidak terus turun

semakin rendah sebagai akibat tidak seimbangnya pasar kerja.

Kebijakan upah minimum di Indonesia sendiri pertama kali diterapkan pada awal tahun 1970an. Meskipun demikian, pelaksanaannya tidak efektif pada tahun-tahun tersebut. Pemerintah Indonesia baru mulai memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan kebijakan upah minimum pada akhir tahun 1980an. Hal ini terutama disebabkan adanya tekanan dari dunia internasional sehubungan dengan isu-isu tentang pelanggaran standar ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia. Di masa tersebut, sebuah organisasi perdagangan Amerika Serikat (AFL-CIO) dan beberapa aktivis hak asasi manusia mengajukan keberatan terhadap sebuah perusahaan multinasional Amerika Serikat beroperasi di

(24)

Indonesia yang diduga memberikan upah yang sangat rendah dan kondisi lingkungan pekerjaan yang berada di bawah standar (Suryahadi dkk., 2003). Sebagai hasilnya, kondisi ini memaksa pemerintah Indonesia pada waktu itu untuk memberikan perhatian lebih terhadap kebijakan upah minimumnya dengan menaikkan upah minimum sampai dengan tiga kali lipat dalam nilai nominalnya (dua kali lipat dalam nilai riil).

Penetapan upah minimum dipandang sebagai sarana atau instrument kebijaksanaan sesuai untuk mencapai kepantasan dalam hubungan kerja. Menurut Shamad (1992), tujuan ditetapkannya upah minimum adalah untuk :

1. Mengurangi persaingan yang tidak sehat antara buruh dalam pasar kerja disebabkan karena tidak sempurnanya pasar kerja.

2. Melindungi daya beli buruh yang berpenghasilan rendah karena tingkat inflasi yang tinggi menurunkan daya beli buruh.

3. Mengurangi kemiskinan, karena adanya kenaikan upah minimum setahap demi setahap kaum buruh yang miskin akan berkurang.

4. Meningkatkan produktivitas kerja, karena dengan adanya upah minimum maka pengusaha yang membayar upah rendah akan didorong menaikkan upah buruhnya.

5. Lebih menjamin upah yang sama bagi pekerjaan yang sama, dengan adanya upah minimum maka perbedaan upah antara perusahaan yang satu dengan yang lain untuk pekerjaan yang sama akan berkurang karena perusahaan yang membayar rendah terpaksa meningkatkan upah buruhnya.

(25)

6. Mencegah terjadinya perselisihan, dengan ketetapan upah minimum akan mempengaruhi perubahan struktur/tingkat upah di perusahaan, karena itu perselisihan mengenai upah yang biasa terjadi dapat dihindari, karena meningkatnya daya beli masyarakat yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum.

7. Mencegah melorotnya upah ke bawah bagi buruh lapisan bawah karena tidak seimbangnya pasar kerja, disebabkan penawaran yang melebihi dari permintaan tenaga buruh.

Dalam menetapkan dan menerapkan upah minimum tersebut, negara berkembang termasuk Indonesia pada umumnya menghadapi dua masalah yaitu; terdapat kesenjangan pendapatan yang sangat menyolok baik antara buruh bawahan dengan pimpinan di satu perusahaan, maupun antara buruh di sektor berbeda (misalnya buruh harian lepas di perusahaan tekstil dengan buruh serupa di bank atau tambang), serta antara daerah yang berbeda, terutama bila terdapat surplus penyediaan dalam pasar kerja, sehingga dengan demikian sulit menyeragamkan ketentuan upah minimum. Juga pendapatan per kapita di negara berkembang cukup rendah serta tingkat pengangguran dan setengah pengangguran cukup tinggi, sehingga pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja sering menjadi prioritas utama di atas perbaikan upah.

Pada awalnya kebijakan upah minimum ditetapkan berdasarkan biaya Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) pada tahun 1985. Dalam perkembangannya kemudian, dalam era otonomi daerah, dalam menentukan besaran tingkat upah minimum beberapa pertimbangannya adalah :

(26)

1. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM)

Dalam usulan penetapan upah minimum, nilai KHM merupakan salah satu pertimbangan utama. Setiap pengusulan harus menggambarkan adanya penambahan pendapatan buruh secara riil bukan kenaikan nominal. Penetapan KHM diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.81/Men/1995.

2. Indeks Harga Konsumen (IHK)

Pada prinsipnya perkembangan IHK mempengaruhi perkembangan KHM, sebab komponen-komponen yang tercantum dalam KHM sudah termasuk dalam komponen IHK dan harus selalu dibandingkan dengan perkembangan IHK.

3. Perluasan kesempatan kerja.

Kebijaksanaan penetapan upah minimum diharapkan dapat memberikan tingkatan upah yang layak dan wajar, sehingga akan mendorong produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan perluasan/perkembangan usaha (multiplier effect), yang berarti

memperluas kesempatan kerja. 4. Tingkat upah minimum antar daerah.

Untuk hal ini setiap daerah perlu mengadakan komunikasi dengan daerah lain yang berdekatan atau perbatasan untuk memperoleh informasi tingkat upah terendah yang berlaku di daerah tersebut.

(27)

5. Kemampuan, perkembangan, dan kelangsungan perusahaan.

Dalam upaya penetapan usulan upah minimum, perlu mempertimbangkan kemampuan, perkembangan, dan kelangsungan perusahaan. Hal ini penting agar upah yang ditetapkan dapat terlaksana dengan baik tanpa menimbulkan gejolak dalam pelaksanaannya.

6. Tingkat perkembangan perekonomian.

Untuk penetapan besaran upah minimum yang baru, nilai tambah yang dihasilkan oleh buruh dapat dilihat dari adanya perkembangan PDRB dalam tahun yang bersangkutan.

Peningkatan upah perlu dilakukan untuk menjaga kesinambungan bekerja dari buruh dengan tetap memperhatikan kelangsungan usaha. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan upah minimum adalah perkembangan harga pasar serta kinerja perusahaan. Penyesuaian terhadap upah tersebut harus dilakukan setidak-tidaknya setiap tahun. (Sasono dkk., 1994).

2.2.2 Dasar Hukum Upah Minimum

Dengan berbagai kondisi empiris dan penjelasan tentang implementasi dari kebijakan upah minimum di atas, sebenarnya segala produk hukum termasuk kebijakannya tidak boleh melenceng dari prinsip dasar hukum yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Demikian pula dengan kebijakan upah minimum harus mengacu pada UUD 1945 tersebut yang secara jelas tercantum dalam pasal 27 ayat 2 dikatakan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Pekerjaan dan penghidupan layak tersebutlah yang seharusnya dijadikan standar baku bagi

(28)

penetapan upah minimum. Meskipun demikian, disamping penghidupan yang layak bagi pekerja beberapa perhitungan perlu dilakukan dalam menentukan tingkat upah minimum, seperti misalnya menjaga produktivitas usaha dan keberlanjutan kondisi ekonomi nasional.

Penetapan Undang-Undang yang mengatur tentang upah minimum tenaga kerja di Indonesia sudah melewati berbagai fase dan perubahan. Pada awalnya penetapan upah minimum diatur dan ditetapkan seiring dengan disahkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan. Setelah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan (RUUK), yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No.25 Tahun 1997. Namun sewaktu proses RUUK itu (yang kemudian menjadi UU No.25 Tahun 1997) tidak melibatkan buruh. Dengan kata lain bahwa, peraturan perundang-undangan tersebut bukan lahir atas keinginan dan kesepakatan antara buruh dan pengusaha, tetapi lahir atas kemauan pengusaha yang diproses antara Menteri Tenaga Kerja dengan DPR. Oleh karena itu, perundang-undangan perburuhan tersebut ditentang oleh para buruh. Sekian lama menunggu adanya peraturan perundang-undangan perburuhan sebagai pengganti UU No.25 Tahun 1997, akhirnya terwujud setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada tanggal 25 Maret 2003.

UU No.13 Tahun 2003 yang mengatur tentang upah minimum terdapat pada Bab X, bagian kedua tentang Pengupahan Pasal 88 sampai pada Pasal 96. Pasal 88 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh

(29)

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilihat bahwa untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh, yaitu salah satunya adalah kebijakan upah minimum.

Pasal-pasal ini jelas memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh dalam hal penghasilan yang diperolehnya atas pekerjaan yang dilakukannya. Kaitannya dengan perlindungan bagi perusahaan, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa penetapan upah minimum dengan mempertimbangkan produktivitas dan tingkat pertumbuhan ekonomi sesuai Pasal 88 ayat (4). Untuk itu perlu pertimbangan dua sisi kepentingan dalam penetapan upah minimum yaitu sisi kepentingan pekerja/buruh dan sisi kepentingan pengusaha. Hal ini sangat penting karena antara pekerja/buruh dengan perusahaan-perusahaan sama-sama saling membutuhkan dan saling bergantung.

Terlepas dari itu, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/ 1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 226/MEN/2000, menegaskan bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan bagi kemanusiaan, dibutuhkan suatu upah yang layak. Upah yang layak bagi kemanusiaan tersebut lebih jauh ditetapkan dalam ketentuan penetapan upah minimum yang diarahkan pada pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

(30)

2.2.3 Pengusulan dan Penetapan Upah Minimum Kota (UMK)

Pada awalnya, Permenaker No. 01/MEN/1999 menyebut bahwa istilah Upah Minimum untuk kabupaten/kota adalah Upah Minimum Regional Tingkat II (UMR Tk.2). Namun setelah adanya Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000, istilah itu berganti nama menjadi Upah Minimum Kota (UMK). Upah Minimum Kota adalah upah minimum yang berlaku di daerah kabupaten/kota.

Landasan hukum dalam penetapan Upah Minimum Kota adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) : “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan”.

2. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Keppres RI. No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan.

4. Permenaker No. 01/MEN/1999 jo Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000

tentang Upah Minimum.

5. Kepmenakertrans No. 231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.

6. Kepmenakertrans No. 49/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.

7. Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

Dalam Keppres No.107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, kelembagaan Dewan Pengupahan terdiri dari Dewan Pengupahan Nasional (Depenas), Dewan Pengupahan Provinsi (Depeprov), dan Dewan Pengupahan

(31)

Kabupaten/Kota (Depekab/Depeko). Sedangkan, pembentukan Dewan Pengupahan Kota dilakukan oleh Walikota, sehingga Dewan Pengupahan Kota bertanggung jawab kepada Walikota.

Dewan Pengupahan Kota sendiri memiliki tugas sebagai berikut : 1. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Walikota dalam rangka :

a. Pengusulan upah minimum kota atau upah minimum sektoral kota. b. Penerapan sistem pengupahan di tingkat kota.

2. Menyiapkan bahan perumusan pengembangan sistem pengupahan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999 bahwa Upah Minimum ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja, namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pusat, bahwa dengan otonomi daerah hal itu membawa perubahan dalam penetapan upah minimum. Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226/MEN/2000 bahwa penetapan Upah Minimum Kota (UMK) ditetapkan oleh Gubernur.

Adapun ketentuan dalam penetapan Upah Minimum Kota (UMK) adalah sebagai berikut :

1. Upah Minimum Kota harus sama atau lebih besar dari Upah Minimum Provinsi.

2. Peninjauan Upah Minimum Kota dilakukan paling sedikit satu tahun sekali.

3. Upah Minimum Kota ditetapkan paling lambat 40 hari sebelum tanggal diberlakukannya upah minimum.

(32)

4. Usulan penetapan Upah Minimum Kota dirumuskan oleh Dewan Pengupahan Kota yang merupakan hasil pembahasan dengan pemerintah, serikat pekerja, dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia).

5. Usulan Upah Minimum Kota disampaikan kepada Walikota, yang selanjutnya Walikota menerbitkan Surat Rekomendasi Walikota perihal Upah Minimum Kota.

6. Rekomendasi Walikota merupakan dasar dari Gubernur untuk menetapkan Upah Minimum Kota dan sudah harus diterima oleh Dewan Pengupahan Provinsi untuk diberikan rekomendasi kepada Gubernur dalam penetapan Upah Minimum Kota.

7. Keterlambatan dalam penyerahan rekomendasi oleh Walikota, memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk menetapkan sendiri Upah Minimum Kota setelah mendapat rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi.

8. Pertimbangan yang dilakukan dalam penetapan upah minimum adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL), Indeks harga konsumen, kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan, tingkat upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah, kondisi pasar, tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita.

9. Dimungkinkan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSR) harus lebih besar 5% dari Upah Minimum Kota (UMK).

(33)

2.2.4 Nilai KHL sebagai Dasar Pertimbangan Penetapan Upah Minimum Survey harga komponen KHL dilakukan untuk mendapatkan besaran nilai KHL dalam rangka persiapan permusan usulan upah minimum, karena nilai KHL merupakan dasar pertimbangan utama dalam perumusan upah minimum. KHL bukan satu-satunya faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum, masih ada 4 (empat) faktor lain, yaitu; produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kemampuan usaha marginal dan kondisi pasar kerja sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permennakertrans) No.13 Tahun 2012, pasal (6) ayat (1) dan ayat (2). Namun keempat faktor tersebut masih bersifat kualitatif. KHL merupakan faktor yang bersifat kuantitatif, oleh karena itu dalam menetapkan nilai KHL yang akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan upah minimum haruslah tepat dan akurat.

Jika survey harga dilakukan mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan September tahun berjalan. Diantara 9 bulan tersebut kemungkinan ada 1 bulan tertentu tidak dilakukan survey karena menjelang bulan puasa, dengan demikian akan terdapat 8 data nilai KHL. Data tersebut digunakan sebagai bahan untuk merumuskan usulan penetapan upah minimum tahun berikutnya. Yang menjadi kendala adalah data yang mana yang akan dijadikan sebagai bahan rumusan tersebut, mengingat ;

1. Terdapat 8 (delapan) data nilai KHL

2. Terdapat beberapa data nilai KHL dari Kabupaten/Kota yang ada dalam satu Provinsi.

(34)

3. Upah Minimum yang ditetapkan berlaku mulai bulan Januari tahun berikutnya.

Sampai saat ini, setiap daerah punya persepsi masing-masing dalam mengaplikasikan nilai KHL yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP), sebagian daerah masih menggunakan angka KHL rata-rata dari Kabupaten/Kota yang ada. Dilihat dari segi waktu perolehan data (Januari s/d September), ada yang menggunakan rata-rata (dari akumulasi absolut), dan ada yang menggunakan data bulan September tahun berjalan.

Agar ada keseragaman dalam perumusan upah minimum, perlu adanya persamaan persepsi yang didasari dengan alasan-alasan yang logis.

Untuk itu dapat dijelaskan 2 (dua) hal sebagai berikut :

1. Data KHL yang dijadikan dasar pertimbangan dalam perumusan UMP/UMK.

Upah minimum yang ditetapkan pada tahun berjalan akan diberlakukan mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Oleh karena itu data nilai KHL yang digunakan paling tidak adalah data yang terdekat dengan bulan mulai berlakunya upah minimum, yaitu data bulan Desember. Mengingat upah minimum sudah harus ditetapkan paling lambat pada akhir bulan Oktober (untuk UMP) dan tanggal 20 November (untuk UMK), maka survey harga dilakukan sampai dengan bulan September.

Pelaksanaan survey harga komponen KHL mulai bulan Januari sampai dengan bulan September dimaksudkan untuk melihat trend

(35)

(kecenderungan) perkembangan harga-harga kebutuhan. Berdasarkan data tersebut, dapat dibuat prediksi nilai KHL bulan Desember. Prediksi dilakukan dengan menggunakan analisa regresi (analisa kecenderungan).

2. Nilai KHL Kabupaten/Kota yang dijadikan sebagai dasar penetapan UMP.

Dalam pasal (7) Permennakertrans No. 13 Tahun 2012 secara tegas dijelaskan nilai KHL yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan UMP adalah nilai KHL Kabupaten/Kota terendah di Provinsi tersebut. Filosofi dari pengaturan ini adalah karena UMP berlaku bagi semua Kabupaten/Kota yang ada dalam suatu Provinsi. Agar ketentuan UMP dapat dilaksanakan oleh semua Kabupaten/Kota, maka harus dapat mengakomodir kondisi Kabupaten/Kota yang memiliki nilai KHL paling rendah. Oleh karena itu tidak tepat kalau menggunakan Nilai KHL rata-rata dari semua Kabupaten/Kota. Jika menggunakan Nilai KHL rata-rata-rata-rata, maka sejumlah Kabupaten/Kota yang nilai KHL nya dibawah rata-rata tidak dapat terakomodir kondisinya dalam penetapan UMP.

2.3 Konsumsi

2.3.1 Pengertian Konsumsi

Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Barang-barang yang diproduksi digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dinamakan barang konsumsi. Besar kecilnya jumlah pengeluaran

(36)

untuk konsumsi individu ataupun rumah tangga merupakan faktor yang turut menentukan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Meningkatnya pengeluaran konsumsi suatu individu atau rumah tangga akan mendorong perkembangan produksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut.

Pengeluaran untuk konsumsi individu atau rumah tangga merupakan gambaran penggunaan pendapatan (income) individu atau rumah tangga. Konsumsi yang diinginkan dikaitkan dengan pendapatan yang siap dibelanjakan. Keynes menyatakan jika pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income)

meningkat, maka konsumsi juga akan meningkat (Raharja, 2004). Namun, rasio konsumsi terhadap pendapatan atau yang disebut dengan kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average propensity of consume) turun ketika pendapatan

naik, sedangkan proporsi tabungan meningkat.

Asumsi dasar tentang pola konsumsi suatu rumah tangga atau individu adalah bahwa rumah tangga atau individu tersebut akan memaksimumkan kepuasannya, kesejahteraannya, kemakmurannya, atau kegunaannya.

2.3.2 Model Teori Konsumsi

2.3.2.1 Teori Konsumsi Jhon Maynard Keynes

a. Hubungan Pendapatan Disposabel dan Konsumsi

Menurut Keynes, ada batas konsumsi minimal yang tidak tergantung dari tingkat pendapatan. Artinya, tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi, walaupun tingkat pendapatan sama dengan nol. Itulah yang disebut dengan konsumsi otonomous (autonomous consumption). Jika pendapatan

(37)

disposable meningkat, maka konsumsi juga akan meningkat. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposable. C = Co + b Yd . . . (1) Di mana : C = konsumsi Co = konsumsi Otonomous b = MPC Yd = pendapatan disposabel, 0 < b < 1

b. Kecenderungan Mengonsumsi Marjinal (Marginal Propensity to Consume)

∆ C

MPC = . . . (2) ∆ Yd

c. Kecenderungan Mengonsumsi Rata-rata (Average Propensity to Consume)

    C

APC = . . . (3)                    Yd

d. Hubungan Konsumsi dan Tabungan

Pendapatan disposabel yang diterima rumah tangga sebagian besar digunakan untuk konsumsi, sedangkan sisanya ditabung.

Yd = C + S . . . (4) Di mana : S = tabungan (saving)

(38)

e. MPC dan MPS

Jika setiap tambahan pendapatan disposabel dialokasikan sebagai tambahan konsumsi dan tabungan, maka :

∆ Yd = ∆ C + ∆ S . . . (5) Jika kedua sisi persamaan kita bagi dengan ∆ Yd, maka :

∆ Yd ∆ C ∆ S

= + . . . (6) ∆ Yd ∆Yd ∆Yd

1 = MPC + MPS . . . (7) atau, MPS = 1 – MPC

Nilai total APC ditambah dengan APS juga sama dengan satu. Pernyataan tersebut dengan mudah dibuktikan dengan menggunakan matematika sederhana di bawah ini.

Yd = C + S

Yd C S

= + . . . (8) Yd Yd Yd

1 = APC + APS . . . (9)

Keynes menyatakan teorinya bahwa konsumsi agregat berhubungan secara langsung tetapi tidak proporsional dengan disposable agregat sekarang dalam jangka pendek dan jangka panjang. Karena data-data setelah perang bertentangan dengan teori ini untuk jangka panjang, maka para pakar ekonomi mencoba menyusunnya kembali dengan memasukkan variable-variabel obyektif dan subyektif ke dalam fungsinya. Variabel bukan pendapatan diperkirakan menggeser fungsi konsumsi ini ke atas sepanjang waktu.

(39)

C C = Y CL Cs 45⁰ Yd Gambar 2.1 Kurva Konsumsi Jangka Pendek

Jadi suatu fungsi konsumsi jangka pendek seperti Cs pada gambar 2.1 bergeser ke atas menjadikan CL sebagai tempat kedudukan titik yang observasi dari sejumlah fungsi konsumsi jangka pendek yaitu CL, karena konsumsi agregat sama dengan jumlah-jumlah yang ditunjukkan oleh titik A,B,C, dan D pada skedul konsumsi C1, C2, C3 dan C4 pada berbagai tingkat pendapatan disposabel (gambar 2.2). Tetapi penyesuaian fungsi-fungsi konsumsi jangka pendek dan jangka panjang ini dinilai tidak memuaskan karena hubungan proporsional konsumsi jangka panjang dengan pendapatan disposabel tidak dijelaskan secara teoritis tetapi sebagian suatu gejala kebetulan.

(40)

C CL C4 D C3 C C2 C1 B A 45⁰ Yd

Gambar 2.2 Penyesuaian fungsi-fungsi konsumsi jangka pendek dan jangka panjang

2.3.2.2 Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Permanen

Teori dengan hipotesis pendapatan permanen pertama kali dikemukakan oleh Milton Friedman dengan melarutkan hubungan proporsional/tidak proporsional antara konsumsi dengan pendapatan disposabel dengan berteori bahwa konsumsi tidak didasarkan pada tingkat pendapatan disposabel sekarang.

Milton Friedman mengungkapkan hasil pemikirannya mengenai penggunaan hipotesa pendapatan permanen untuk menerangkan variable agregatif konsumsinya dalam bukunya yang berjudul “A Theory of Consumption Function”. Dengan menggunakan asumsi bahwa konsumen bersikap rasional dalam mengalokasikan pendapatan yang diperoleh selama hayatnya di antara

(41)

kurun-kurun waktu yang dihadapinya, serta menghendaki pola konsumsi yang kurang lebih merata dari waktu ke waktu.

Menurut Milton Friedman, pendapatan disposabel sekarang terdiri dari pendapatan permanen dan pendapatan sementara transitor. Pendapatan permanen adalah tingkat pendapatan rata-rata yang diekspektasi/diharapkan dalam jangka panjang. Sumber pendapatan itu berasal dari pendapatan upah/gaji (expected labour income) dan non upah/non gaji (expected income from assets). Sedangkan pendapatan transitor terdiri dari tambahan atau pengurangan yang tak terduga terhadap pendapatan permanen.

C = k Yp . . . (1) Yd = Yp + Yt . . . . . (2) Yp = Ypt-1 + j (Yd – Ypt-1), 0 < j <1 . . . .(3) Subsitusi persamaan (3) ke persamaan (1) :

Ct = k [Ypt-1 + j(Yd – Ypt-1)] = kYpt-1 + k j(Yd – Ypt-1)

= k(1- j) Ypt-1 + k jYd . . . (4) Di mana :

C = Konsumsi

Yd = Pendapatan disposabel saat ini Yp = Pendapatan permanen

Yt = Pendapatan Transitor

(42)

Dengan menggunakan data kurun waktu, Friedman berkesimpulan bahwa dalam jangka pendek fluktuasi dan konsumsi banyak disebabkan oleh pendapatan sementara (Yt), sedangkan dalam jangka panjang variasi konsumsi bersumber dari pendapatan permanen (Yp). (Herlambang. et.al., 2002).

2.3.2.3 Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif

Teori pendapatan relatif yang dikembangkan oleh James Dusenberry, dinilai lebih unggul dibandingkan teori pendapatan absolut Keynes dalam menyatukan hubungan proporsional dan tidak proposional antar konsumsi agregat dan pendapatan disposabel agregat. Dalam menyajikan teorinya, kita mula-mula berhipotesis tentang prilaku individu dan kemudian dengan menggunakan asumsi-asumsi umum mengenai konsumsi agregat.

Menurut pendapat Dusenberry, keputusan konsumsi dan tabungan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana seseorang hidup. Jadi seseorang dengan pendapatan tertentu berkonsumsi lebih banyak bila dia hidup di lingkungan yang lebih miskin, tambahan pula perilaku konsumsi di dalam suatu lingkungan relatif terhadap pola konsumsi para tetangganya (yaitu dia menggunakan uang agar dapat memelihara suatu status ekonomi tertentu di dalam lingkungannya). Berikut Model Konsumsi Pendapatan Relatif.

C CL e Cs1 f d Cs0 a c b

(43)

0 Y2 Y0 Y1 Y Gambar 2.3 Model Konsumsi Pendapatan Relatif 2.3.2.4 Teori Konsumsi Hipotesis Siklus Hidup

Teori konsumsi siklus hidup dikemukakan oleh Franco Modigliani. Franco Modigliani menerangkan bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat mendasarkan kepada kenyataan bahwa pola penerimaan dan pola pengeluaran konsumsi seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya. Sesorang cenderung menerima penghasilan/pendapatan yang rendah pada usia muda, pendapatan tinggi pada usia menengah, dan rendah pada usia tua. Selanjutnya, Modigliani menganggap penting peranan kekayaan (assets)

sebagai penentu tingkah laku konsumsi. Konsumsi akan meningkat apabila terjadi kenaikan nilai kekayaan seperti karena adanya inflasi maka nilai rumah dan tanah meningkat, karena adanya kenaikan harga surat-surat berharga, atau karena peningkatan dalam jumlah uang beredar. Akhirnya hipotesis siklus kehidupan ini akan berarti menekan hasrat konsumsi, menekan koefisien berganda, dan melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan, seperti perubahan dalam investasi, ekspor, maupun pengeluaran-pengeluaran lain.

Konsumen dalam menentukan konsumsinya memperhitungkan seluruh sumber daya yang dimilikinya, sehingga tingkat konsumsi agregatif bukan hanya ditentukan oleh jumlah pendapatan yang diterima pada suatu waktu, akan tetapi juga oleh nilai kekayaan yang dimilikinya.

Fungsi konsumsi dari Modigliani :

(44)

Di mana:

Ct = konsumsi pada periode t T = lamanya hidup seseorang Yt = pendapatan disposabel N-1 = lama bekerja seseorang

Yle = pendapatan dari kerja rata-rata yang diharapkan selama N-1 tahun At = nilai kekayaan likuid yang dimiliki

C,Y

C Yd

20-an 30-an 50-an 60-an Usia Gambar 2. 4 Model Konsumsi Siklus Hidup

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Seseorang (individu) dan rumah tangga biasanya melakukan konsumsi untuk memaksimumkan kepuasannya, memiliki, serta menggunakan barang dan jasa tersebut. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi adalah :

(45)

Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa pendapatan merupakan faktor penentu terpenting besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga baik perorangan maupun keseluruhan dalam suatu periode. Terdapat hubungan yang positif diantara konsumsi dan tingkat pendapatan, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan maka akan semakin banyak konsumsi yang dilakukan rumah tangga. Ciri ini sesuai dengan sifat manusia yang telah diobservasi dalam teori perilaku konsumen, yaitu di mana keinginan manusia yang tidak terbatas, tetapi kemampuan untuk memenuhi keinginannya tersebut dibatasi oleh perubahan faktor-faktor produksi atau pendapatan yang dimilikinya. Namun, konsumsi yang dimaksud di atas merupakan konsumsi untuk bukan makanan. Sementara, konsumsi untuk makanan justru persentasenya semakin kecil apabila pendapatannya naik. Hal ini diperkuat dengan Teori Engel’s yang menyatakan bahwa : “semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga maka akan semakin rendah persentase pengeluaran untuk bukan makanan” (Sumarwan, 1993).

2. Kekayaan Rumah Tangga

Kekayaan rumah tangga adalah jumlah seluruh harta berharga yang dimiliki oleh suatu rumah tangga. Termasuk antara lain mobil, rumah dan isinya, jumlah uang yang disimpan di Bank, dan sebagainya. Kekayaan secara eksplisit dan implisit, sering dimasukkan dalam fungsi konsumsi agregat sebagai faktor yang menentukan konsumsi.

(46)

3. Tingkat bunga

Konsumsi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tabungan. Tabungan merupakan bagian dari pendapatan yang tidak dikonsumsi. Oleh karena itu, suku bunga mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat melalui tabungan. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin besar pula jumlah uang yang ditabung sehingga semakin kecil uang yang dibelanjakan untuk konsumsi. Sebaliknya, semakin rendah tingkat bunga, maka jumlah uang yang ditabung semakin rendah yang berarti semakin besar uang digunakan untuk konsumsi. (Sukirno, 2005).

4. Ekspektasi

Ekspektasi mengenai keadaan di masa mendatang sangat mempengaruhi konsumsi pada saat ini. Keyakinan bahwa di masa mendatang akan memperoleh pendapatan lebih tinggi dari masa sekarang akan merangsang rumah tangga untuk meningkatkan konsumsinya pada saat ini. Juga perkiraan inflasi yang tinggi di masa mendatang akan mendorong kepada peningkatan konsumsi di masa kini.

5. Tingkat Harga

Naiknya pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan proporsi yang sama tidak akan mengubah konsumsi riil. Bila seseorang tidak mengubah konsumsi riilnya walaupun ada kenaikan pendapatan nominal dan tingkat harga secara proporsional,

(47)

maka ia dinamakan bebas dari ilusi uang (money illusion) seperti

pendapat ekonomi klasik. Sebaliknya, bila mereka mengubah konsumsi riilnya maka dikatakan mengalami “ilusi uang” seperti yang dikemukakan oleh Keynes.

6. Selera

Selera juga merupakan faktor untuk melakukan konsumsi. Dalam keterbatasan harga dan pendapatan, seleralah yang membentuk kurva permintaan. Adanya perbedaan sikap dalam masyarakat menimbulkan keanekaragaman permintaan individual hampir tidak terbatas.

7. Barang tahan lama

Barang tahan lama adalah barang yang dapat dinikmati sampai pada masa yang akan datang (biasanya lebih dari satu tahun). Seseorang yang memiliki banyak barang tahan lama seperti lemari es, perabotan, mobil, sepeda motor, maka tidak akan membelinya lagi dalam waktu dekat. Akibatnya, pengeluaran konsumsi untuk jenis barang seperti ini cenderung menurun pada masa (tahun) yang akan datang.

Gambar

Gambar 2.2 Penyesuaian fungsi-fungsi konsumsi jangka      pendek dan jangka panjang

Referensi

Dokumen terkait

Pengawasan merupakan hal yang penting dilakukan untuk memastikan pelayanan dan asuhan keperawatan berjalan sesuai standar mutu yang ditetapkan. Pelayanan tidak diartikan sebagai

Patra Raya Ruko Sbrg Bioskop Tobar No.. Free solar- guard,

Setelah mendapat arahan dari kepala seksi bantuan, Peneliti kembali melakukan wawancara kepada informan yang berbeda tentang strategi komunikasi Dinas Sosial,

Sebelumnya banyak penelitian yang membahas tentang kecanggihan teknologi informasi, perlindungan sistem informasi, partisipasi manajemen, pengetahuan manajer akuntansi,

Kurva kerapuhan seismik struktur Gedung V Fakultas Teknik UNS menunjukkan nilai probabilitas kegagalan struktur yang bervariasi pada berbagai spectra displacement

Langkah akhir adalah evaluasi dan revisi. Evaluasi dan revisi ini merupakan komponen yang sangat penting untuk mengembangkan kualitas pembelajaran. Melalui tanggapan

Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti dan Muslimin (2014) yang berjudul “Efektivitas Alat Permainan Edukatif (APE) Berbasis Media DALAM Meningkatkan