• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultivasi Mikroalga Laut Chlorella vulgaris sebagai Penghasil Biomassa Kaya EPA dan DHA untuk Fortifikasi Sosis (So-Fit)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kultivasi Mikroalga Laut Chlorella vulgaris sebagai Penghasil Biomassa Kaya EPA dan DHA untuk Fortifikasi Sosis (So-Fit)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

KULTIVASI MIKROALGA LAUT

Chlorella vulgaris SEBAGAI PENGHASIL BIOMASSA KAYA EPA DAN DHA UNTUK FORTIFIKASI SOSIS (SO-FIT)

Nuraini Aulia*, Indah Raya, Hasnah Natsir

aLaboratorium Kimia Anorganik Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin b

Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin, jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamanlanrea, Makassar, Indonesia 90245

*Email: aulia.1614317@gmail.com

Abstrak. Penelitian mengenai kultivasi dan efektifitas omega-3 dalam mikroalga laut Chlorella vulgaris hasil mikroenkapsulasi terhadap produk sosis telah dilakukan. Kultivasi dilakukan dalam medium conwy dengan salinitas 30 permil. Pelarut n-heksan digunakan dalam ekstraksi senyawa EPA dan DHA dengan kadar ekstrak beturut-turut 253,65 mg/g berat kering dan 50,7 mg/g berat kering. Mikroenkapsulasi kemudian dilakukan dengan menggunakan penyalut maltodekstrin 30%. Produk hasil mikroenkapsulasi dianalisis proksimat, analisis invivo dan uji oranoleptik. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa persentase kadar air, abu, protein, karbohidrat, lemak, dan serat berturut-turut 23%, 6,57%, 36,83%, 3,52%, 30,08%, dan 1,12% mg/g BK.

Kata Kunci: Chlorella vulgaris, Mikroenkapsulasi, DHA dan EPA, Omega-3

Abstract. Study of cultivation and effectiveness of omega-3 in marine microalgae Chlorella vulgaris microencapsulation product of the sausage had been done. Cultivation was carried out in a conwy medium with salinity of 30 permil. N-heksan used as a solvent in extraction of EPA and DHA compound with extract consentrate of 253,65 mg/g dry component and 50,7 mg/g dry component. Then, microencapsulation processed was then carried out with a coating used maltodextrin 30%. The product was then analyzed with proximate analysis, in-vivo analysis and organoleptic. Proximate analysis results showed that the percentage of the water counting of test, ashes, protein, carbohydrate, lipid, and fiber in a line 23%, 6,57%, 36,83%, 3,52%, 30,08%, and 1,12% mg/g dry component.

(2)

2 Pendahuluan

Kasus gizi buruk masih menjadi masalah di beberapa negara. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Data dari Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan, didukung pula oleh kekurangan gizi selama masih di dalam kandungan. Hal ini dapat berakibat kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada saat anak beranjak dewasa. Dr.Bruce Cogill, seorang ahli gizi dari badan PBB UNICEF mengatakan bahwa isu global tentang gizi buruk saat ini merupakan problem yang harus diatasi (Litbang, 2008).

Di Indonesia persoalan gizi merupakan salah satu persoalan utama dalam pembangunan manusia. Sebagai negara dengan kompleksitas kependudukan yang sangat beraneka ragam, Indonesia dihadapi oleh dinamika persoalan gizi buruk (Aries dan Martianto, 2006). Sektor penting dari upaya pembangunan tersebut adalah pembangunan bidang gizi. Persoalan gizi di Indonesia memiliki multidimensi faktor, salah satunya yaitu permasalahan pangan, walaupun tidak mutlak menjadi masalah pokok dalam permasalahan gizi buruk dan gizi kurang (Saputra dan Nurrizka, 2012).

Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan pada bayi dan anak, mengingat manfaat nutrisi dalam tubuh dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak (Almatsier, 2009). Salah satu nutrisi yang

berperan dalam tumbuh kembang anak adalah asam lemak esensial yang merupakan asam lemak yang penting bagi tubuh manusia dan tidak dapat dibuat dalam tubuh, contoh asam lemak esensial adalah omega-3 (Aprizayanti, 2011).

Selama ini, omega-3 dan 6 diperoleh dari minyak ikan laut, akan tetapi masih memiliki kekurangan-kekurangan sebagai sumber utama. Ikan memiliki kapabilitas yang rendah untuk mensintesis omega-3 dan 6 dengan yield yang masih rendah, kekhawatiran akan persediaan ikan yang menipis dan kontaminasi logam berat, senyawa organik, dioxin yang dapat membahayakan kesehatan manusia, serta asam lemaknya yang tak stabil dan berbau (Guil-Guerrero, dkk., 2001).

Chlorella sp. adalah alga hijau uniselular yang tidak mempunyai kemampuan bergerak dengan bentuk mikroskopik dan tidak memiliki akar, batang dan daun sejati (thallus) (Kabinawa, 1994). Chlorella sp. menghasilkan senyawa bioaktif berupa zat pemacu pertumbuhan yang dinamakan CGF (Chlorella Growth Factor) (Borowitzka, 1988). Chlorella sp. termasuk cepat dalam berkembang biak, mengandung gizi yang cukup tinggi, yaitu protein 42,2%, lemak kasar 15,3%, nitrogen dalam bentuk ekstrak, kadar air 5,7%, dan serat 0,4%. Untuk setiap berat kering yang sama, Chlorella sp. mengandung vitamin A, B, D, E, dan K, yaitu 30 kali lebih banyak dari pada vitamin yang terdapat dalam hati anak sapi, serta empat kali vitamin yang terkandung dalam sayur bayam, kecuali vitamin C (Rostini, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

(3)

3 Chlorella sp. dapat digunakan sebagai makanan tambahan yakni ditambahkan ke dalam es cream, roti, ataupun air susu sapi. dengan penambahan tepung Chlorella sp., ternyata dapat meningkatkan kadar protein sebesar 20% dan lemak 75% di dalam roti dan mie, dan kira-kira 30% protein dan lemak 15% di dalam es krim (Venkataraman, 1981). Chlorella sp. juga menghasilkan suatu antibiotik yang disebut Chlorellin, yaitu suatu zat yang dapat melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Vashista, 1979).

Berlatar belakang dari kemampuan fitoplankton, khususnya Chlorella vulgaris sebagai penghasil DHA dan EPA pada biomassanya dalam jumlah besar, juga melirik pada program Pemerintah yakni peningkatan gizi masyarakat dan peningkatan ketahanan pangan, serta untuk lebih mendalami mengenai potensi mikroalga sebagai sumber pangan yang sifatnya mudah dibiakkan, maka penelitian mengenai “Kultivasi Mikroalga Laut Chlorella vulgaris sebagai Penghasil Biomassa Kaya EPA dan DHA untuk Fortifikasi Sosis (So-Fit)” ini perlu dilakukan.

Metode Penelitian Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fitoplankton jenis Chlorella vulgaris yang berasal dari BBPBAP Jepara, air laut yang berasal dari pantai sekitar Makassar, akuades, akuabides, FeCl3.6H20, MnCl2.4H2O, H3BO3, Na–EDTA, NaH2PO4.2H20, NaNO3, ZnCl2, CoCl2.6H2O, CuSO4.5H2O,(NH4)6Mo7O24.4H2O, vitamin B1, B12, Natrium boraks, KIO3, H2SO4, KI, CH3OH, KOH,

HCl, Na2S2O3.5H20, Na2SO4.H2O, H2C2O4, indikator fenolftalein, C2H5OH 96 %, I2, amilum, K3Fe(CN)6, kertas saring, aluminium foil, tissue, maltodekstrin, C6H14, 2-propanol, CHCl3, asam asetat glasial, tepung tapioka, daging, gula pasir, casing, garam, telur, es batu dan mencit.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat- alat gelas yang pada umumnya digunakan dalam laboratorium, toples yang terbuat dari bahan gelas, aerator, salinometer, centrifuge, set lampu neon Philips 40 watt, kompor gas, selang, batu aerator, pompa vakum, corong Buchner, neraca analitik, freeze dryer, Spektrometer UV-Vis 2600 Shimadzu, cawan aluminium, desikator, cawan porselin, labu Kjehdahl, alat soxhleth, pengukus, blender, mixer, panci, oven, baskom, botol vial, dan kompor gas.

1.Pembuatan Medium Conwy (CCAP, 2002)

Stok A yang telah dilarutkan kedalam 1 L akuades dan didihkan, kemudian ditambahkan stok B (lampiran 1) sebanyak 2 mL. Larutan ini selanjutnya menjadi larutan medium. Kemudian wadah fitoplankton yang telah disterilkan diisi akuades sebanyak 1 L, 1 tetes stok C (lampiran 1), dan dipipet 1 mL larutan medium, kemudian dilakukan aerasi.

2.Mengkultur Fitoplankton laut (SRAC, 2004)

Wadah yang berisi air laut steril kemudian diukur salinitasnya dengan menggunakan salinometer. Setelah itu, dimasukkan medium Conwy dan bibit fitoplankton dengan

(4)

4 pengkondisian gas CO2 melalui proses aerasi.

3. Pemanenan Biomassa (Grima, 2004)

Pertumbuhan mikroalga yang telah mencapai fase stationer selanjutnya siap untuk dipanen dengan proses sentrifugasi untuk memperoleh biomassa basah fitoplankton. Pencucian biomassa basah dilakukan sebanyak dua kali pengulangan menggunakan akuades dan dua kali menggunakan akuabides, lalu dikeringkan dengan alat freeze dryer selama 20 jam hingga diperoleh biomassa kering dari biomassa basah fitoplankton tersebut. Biomassa yang diperoleh kemudian dibagi dua, bagian pertama untuk keperluan analisis dan bagian lainnya untuk pembuatan mikroenkapsul.

Hasil dan Pembahasan

1.Kultivasi Mikroalga C.vulgaris Kultivasi mikroalga pada penelitian ini dilakukan selama beberapa minggu dengan tujuan untuk menghasilkan sejumlah biomassa basah fitoplankton. Kultur Chlorella vulgaris menggunakan intensitas cahaya 2000-3000 lux, dengan suhu ruangan 250C, Richmond (1986) menyatakan bahwa organisme mesofilik memiliki suhu kisaran 20-400C, dengan suhu optimum Chlorella vulgaris 250C. air laut yang digunakan pada proses kultivasi memiliki salinitas 30 permil.

Media kultivasi yang digunakan untuk kultur pada penelitian ini adalah medium Conwy. Digunakan pula CO2 sebagai sumber karbon dalam proses aerasi. Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988), pertumbuhan fitoplankton menjadi

lebih cepat pada kultur yang diberi cahaya dan aerasi dengan udara yang mengandung CO2.

Pertumbuhan mikroalga ditandai dengan bertambah banyaknya ukuran sel dan jumlah sel dalam kultur. Penentuan waktu panen mikroalga dilakukan berdasarkan kurva pertumbuhan fitoplankton saat proses kultivasi. Pada kultur Chlorella vulgaris dengan menggunakan medium Conwy, fase lag atau adaptasi hanya membutuhkan waktu selama satu hari, hal ini dikarenakan inokulum atau stok fitoplankton yang digunakan telah memasuki fase eksponensial pada saat penambahan stok, dengan fokus bahwa fitoplankton yang telah memasuki masa eksponenesial akan lebih cepat beradaptasi terhadap media kultur sehingga perbanyakan sel akan lebih cepat. Hasanah (2011) juga mengemukakan bahwa inokulum dapat tumbuh serta membelah dengan cepat karena menggunakan media yang sama, yaitu medium Conwy.

Setelah melalui fase log atau adaptasi, fitoplankton kemudian fase eksponensial atau logaritmik, fase ini terjadi hingga hari ke-12. Pada fase ini, jumlah sel Chlorella vulgaris meningkat drastis karena telah mampu beradaptasi dengan media baru sehingga kultur memiliki metabolisme yang baik. Fogg (1975) menyatakan bahwa fase logaritmik atau eksponensial adalah fase dimana sel mikroalga sudah beradaptasi pada kondisi lingkungannya sehingga biomassa mikroalga meningkat menjadi dua kali lipat dari sebelumnya.

(5)

5 Fase stasioner merupakan fase dengan jumlah sel yang cenderung konstan dan tidak terlihat peningkatan ukuran populasi, terjadi penurunan nutrient dan intensitas cahaya pada kultur. Hal ini terjadi karena menurut Fogg (1975), terjadinya pembentukan bayangan dari sel itu sendiri (self-shading) dan terjadinya auto-inhibition pada fitolpankton yaitu kemampuan menghasikan senyawa penghambat pertumbuhan oleh sel itu sendiri. Fitoplankton kemudian memasuki fase kematian, ini terjadi karena kebutuhan nutrient yang tidak sebanding dengan populasi sel karena tidak adanya penambahan nutrien, sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan nutrien tersebut. Fogg (1975) juga menjelaskan bahwa kontaminasi organisme lain juga menjadi salah satu faktor pada fase kematian ini. Intensitas cahaya yang diterima oleh sel juga menjadi salah satu faktor fase ini.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapatdisimpulkan bahwa kultivasi Chlorella vulgaris menggunakan intensitas cahaya 2000-3000 lux, dengan suhu ruangan 250C, dengan suhu optimum Chlorella vulgaris 250C. Air laut yang digunakan pada proses kultivasi memiliki salinitas 30 permil.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S., 2009, Prinsip Dasar Ilmu

Gizi, PT.Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Amini, S., 2005, Skrining Mikroalga Penghasil Kandungan Asam

Lemak Omega-3, Seminar

Nasional Perikanan Indonesia, Bogor.

Aprizayanti, 2011, Hubungan Konsumsi Omega 3 Terhadap Tumbuh Kembang Anak Usia 2 – 3 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Sebarang Padang Kota Padang Tahun 2011, Universitas Andalas, Padang. Aries, M. dan Martianto, D., 2006,

Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk dan Biaya Penanggulangannya pada Balita di Berbagai Provinsi di Indonesia, Jurnal Gizi dan Pangan, 1 (2): 26-33, Bogor. Borowitzka, M., 1988, Vitamine and

Fine Chemical from Microalga, Cambridge University Press, Australia.

CCAP (Culture Collection of Algae and Protozoa), 2002, Medium for

Algae Cultures, United

Kingdom, Dunstaffnage Marine Laboratory.

Grima, E.M., dkk, 2004, Downstream Processing of Cell-Mass and

Products, Handbook of

Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology, Blackwell Publishing Ltd, UK.

Guil-Guerrero, J.L., dkk, 2001,

Eicosapentanoic and

Arachinodic Acids Purification

from the Red Microalga

Porphyridium cruentum,

Bioseparation, (9): 299-306. Kabinawa, I.N.K., 1994, Kultur

Mikroalga: Aspek dan Prospek, Seminar Nasional Bioteknologi Mikroalga, Pusat Penelitian dan Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Litbang Depkes, Gizi Buruk Sebabkan

3,5 juta Kematian Anak per Tahun, Departemen Kesehatan RI.

(6)

6 Rostini, I., 2007, Karya Ilmiah: Kultur

Fitoplankton (Chlorella sp. dan

Tetraselmis sp.) pada Skala

Laboratorium di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Bojonegara, Fakultas

Perikanan dan Ilmu

Kelautan.Universitas Padjajaran, Bandung.

Saputra, W dan Nurrizka, H.R., 2012, Faktor Demografi dan Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang, Makara Kesehatan, 16 (2): 95-101.

SRAC ( Southern Regional Aquaculture Center), 2010, Phytoplankton Culture for Aquaculture Feed, United State, SRAC Publication. Vashiista, R.R., 1979, Botany for Degree Student, S,Chan and Company Ltd. Ram Nagar, New Delhi.

Venkataraman, G.S., 1981, Bluegreen algae for rice production, Soil Bull. FAO.

Referensi

Dokumen terkait

Pada teori lama menyatakan sel adalah suatu kesatuan struktural saja dan makhluk hidup tersusun atas sel sedangkan teori yang baru menyatakan sel adalah

Hasil penelitian pada hipotesis 4 menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh positif antara Kegunaan terhadap Kepuasan Konsumen dalam menggunakan aplikasi

Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotannya yang memiliki interval antara

Jerami padi yang telah diperlakukan dengan NaOH dan rumput gajah diberikan pada masing- masing kelompok secara ad libitum, konsentrat diberikan sebanyak 5,16 kg

Yang nantinya sebagai acuan untuk memperoleh analisis yang objektif terhadap data-data dan informasi yang didapat seputar Peraturan Walikota Medan Nomor 34 Tahun 2010

 Penyajian data, informasi, tabel, gambar dan foto dokumentasi.  Penyediaan bukti-bukti pendukung setiap pernyataan dan kegiatan. Untuk menghasilkan Portofolio KP-KAS

Penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai rujukan adalah milik Rostini Anwar dengan judu penelitian “Rintangan Komunikasi Antar Budaya Dalam Perkawinan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi Streptococcus beta-hemolyticus Group A pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Kristen Maranatha angkatan