• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: otonomi daerah, Orde Lama, Orde Baru, demokratis, otoriter.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: otonomi daerah, Orde Lama, Orde Baru, demokratis, otoriter."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Muyassarotussolichah

Abstrak

Otonomi daerah secara luas baru dikenal awal akhir dekade 1990-an, yang

nota bene bernuansa Orde Baru, sebagai salah satu counter terhadap banyaknya ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun, ketika dikaji secara seksama, ternyata upaya otonomi daerah ini juga sudah muncul pada masa Orde Lama. Bedanya, otonomi daerah pada masa Orde Lama lebih didasarkan pada prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya (sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 Tahun 1965) sedangkan otonomi daerah pada masa Orde Baru lebih didasarkan pada prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab (sebagaimana diatur dalam undang-undang Undang-undang No. 5 Tahun 1974).

Tentu, pilihan-pilihan kebijakan sebagaimana tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara pusat dan daerah yang melahirkan produk-produk hukum sesuai dengan periodesasinya. Artinya, kedua model pilihan kebijakan otonomi daerah ini selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik pada saat itu. Jika konfigurasi politiknya demokratis maka pola hubungan antara kekuasaan pusat dengan daerah lebih didasarkan pada prinsip otonomi luas dan desentralisasi. Sebaliknya, jika konfigurasi politiknya otoriter maka polanya lebih bernuansa sentralistik dan dekonsentrasi. Tulisan ini akan mengelaborasi masalah ini dengan lebih mengedepankan perspektif ilmu hukum.

Kata kunci: otonomi daerah, Orde Lama, Orde Baru, demokratis, otoriter. A. Pendahuluan

Semenjak Republik Indonesia lahir, masalah dan urusan pemerintah daerah berulangkali menjadi acara dan program pemerintah, di forum legislatif maupun eksekutif. Pada acara legislatif, masalah ini menjadi pokok pembicaraan yang kemudian tertuang dalam bentuk undang-undang.1 Dengan demikian otonomi daerah merupakan tema lama yang tampaknya selalu menemukan aktualitas dan relevansinya. Dikatakan tema lama, karena Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 telah memberikan

* Dosen Hukum pada Program Studi Keuangan Islam (KUI) Jurusan Muamalat

Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan kandidat doktor pada Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII Yogyakarta.

(2)

landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi daerah.

Sejak itu pengaturan tentang otonomi daerah (pemerintah daerah) dalam perundang-undangan sebagai penjabaran Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 tersebut, mulai ramai diperdebatkan. Otonomi daerah merupakan prioritas di antara upaya penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Dasar 1945. Hal ini tampak dari terwujudnya Undang-undang No. 1 Tahun 1945. 2

Hingga dewasa ini telah dilahirkan beberapa produk peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah, antara lain Undang-undang No. 5 Tahun 1974, Undang- Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan juga terakhir dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai perubahan dari undang-undang sebelumnya.

Semangat desentralisasi dan otonomi sebagaimana tergambarkan dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, terutama Pasal 18A dan Pasal 18B yang mengurangi kekuasaan pemerintah pusat dan memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, akan berpengaruh pada politik hukum. Apabila hal ini dikaitkan dengan teori hukum responsif3 yang dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, serta teori hukum sebagai sarana perubahan sosial, maka realita ini semakin mempertegas bahwa relasi hukum dan politik sedemikian erat sehingga saling pengaruh mempengaruhi telah menjadikan sifat open ended.

Perundangan melalui peraturan perundang-undangan, pada hakekatnya adalah perubahan yang terjadi pada peraturan-peraturan mengenai pemerintahan dan otonomi daerah itu, sebagai konsekuensi ataupun tindak lanjut dari perubahan garis kebijaksanaan politik. Pengalaman-pengalaman penataan pemerintahan dan otonomi daerah di masa-masa yang lalu dapat dimanfaatkan sebagai bahan perbandingan dalam rangka penataan kebijaksanaan di masa-masa yang akan datang.4

Tulisan ini lebih lanjut akan mengupas tentang perkembangan garis politik dan perundang-undangan otonomi daerah di Indonesia khususnya pada era Orde Lama dan era Orde Baru. Perkembangan politik yang

2 Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM

Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), p. 1.

3 A.A.G. Petres dan Kosriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial,

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), p. 158. Dalam buku ini diuraikan teori Nonet dan Selznick tentang hukum responsif: “suatu konsep hukum yang dapat memenuhi tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan terhadap masalah keadilan sosial dengan tetap mempertahankan hasil-hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasarkan hukum”.

4 M. Solly Lubis, “Otonomi Daerah”, dalam Padmo Wahjono (Penghimpun),

(3)

dimaksud ialah perubahan-perubahan garis kebijaksanaan mengenai penataan otonomi daerah dari masa ke masa khususnya pada masa Orde Lama hingga Orde Baru, menurut peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pada masa itu.

B. Batasan Konsep tentang Kebijakan Hukum dan Otonomi Daerah

Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi pada kebijakan pemerintah di bidang otonomi daerah pada era Orde Lama dan era Orde Baru.

Era Orde Lama dalam hal ini adalah sejak Indonesia merdeka (tahun 1945) sampai tahun 1966 dibawah kepemimpinan Presiden pertama RI yaitu Soekarno. Sedangkan era Orde Baru dalam hal ini adalah tahun 1966-1998, di bawah kepeminpinan Presiden RI kedua yaitu Soeharto.

Pembatasan pada dua periode tersebut dimaksudkan agar pembahasan mengenai kebijakan di bidang otonomi daerah lebih mendalam. Selain itu juga pembahasan mengenai otonomi daerah di awal terbentuknya suatu negara merupakan hal yang menarik. Mengingat kebijakan otonomi daerah dari suatu negara yang baru terbentuk akan berbeda dengan yang sudah beberapa tahun berdiri. Oleh karena itu pembahasan dalam tulisan ini sebagaimana telah disebutkan di atas lebih ditekankan pada kebijakan otonomi daerah di awal terbentuknya Negara Republik Indonesia (tahun 1945-1966) atau disebut dengan Orde Lama, dan periode 20 tahun berikutnya (tahun 1967-1998) atau disebut dengan Orde Baru.

Istilah kebijakan digunakan untuk menunjukkan arah dan tujuan sesuatu terbentuk. Istilah ini banyak dipakai dalam peraturan perundang-undangan dan biasanya berdampingan dengan istilah arah, sehingga menjadi arah kebijakan. Arah kebijakan yang dimaksud dalam hal ini adalah kebijakan hukum atau disebut dengan politik hukum yang terdiri dari berbagai bidang di antaranya bidang otonomi daerah.

Oleh karena istilah kebijakan hukum dalam tulisan ini sama pengertiannya dengan politik hukum, maka konsepsi kebijakan hukum selanjutnya diambilkan dari beberapa pengertian tentang politik hukum.

Para ilmuan hukum memberikan pengertian yang berbeda terhadap konsepsi tentang politik hukum. LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.5 Pengertian yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik dengan undang-undang, hukum

5 LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, alih bahasa Seopomo, cet. 18,

(4)

kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh undang-undang.6 Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.7

Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan.8 Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik pembangunan hukum.9 Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh Moh. Mahfud MD menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.10 Berdasar pengertian tersebut menurut Moh. Mahfud MD terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum dibangun dan ditegakkan. 11

Pengertian lain tentang politik hukum yang aplikatif juga disampaikan oleh Hikmahanto. Menurut Hikmahanto, peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Oleh karena itu pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki tujuan dan alasan tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut dengan politik hukum.12

Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Pertama

6 A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis

Publishers, 2002), p. 9.

7 David Kairsy (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, (New York: Pantheon

Books, 1990), p. xi.

8 Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, No. 6 tahun ke I-II,

Desember 1973, p. 4.

9 A.S.S. Tambunan, Ibid. Lihat referensi aslinya dalam Abdul Hakim Garuda

Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1988).

10 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. 2, (Jakarta: LP3ES, 2001).

Lihat referensi aslinya dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.

11Ibid.

12 Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang Ekonomi di

(5)

adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya peraturan perundang-undangan. Dimensi yang pertama disebut dengan “kebijakan dasar” atau basic policy. Dimensi yang kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Dimensi yang kedua ini disebut dengan kebijakan pemberlakuan atau enactment policy.13

Berdasarkan pengertian tentang konsepsi politik hukum di atas, dalam penulisan paper ini politik hukum dimaksudkan sebagai kebijakan yang menjadi dasar terbentuknya peraturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah.

Istilah otonomi daerah dalam konteks bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk

(interchangeably) dengan istilah desentralisasi. Kedua istilah tersebut secara akademis bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu bahasan mengenai otonomi daerah tidak mungkin tanpa mempersandingkan dengan konsep desentralisasi. Bahkan menurut beberapa kalangan bahwa otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. 14

Otonomi dalam arti sempit diartikan dengan mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandiriaan suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pemgambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar (external intervention).15

Otonomi adalah bebas bertindak dan bukan diperintah dari atas, melainkan semata-mata atas kehendak dan inisiatif sendiri, guna kepentingan rumah tangga daerah itu sendiri.16

Otonomi daerah adalah kebebasan dan kemandiriain (vrijheid en

selftandigheid) satuan pemerintah lebih rendah untuk mengatur dan

mengurus sebagian urusan pemerintahan.17

Dua unsur utama sebagai unsur kunci dari pengertian otonomi

13Ibid.

14 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani,

(Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2003), p. 149.

15Ibid., p. 150.

16 Jimmie Mohammad Ibrahim, Prospek Otonomi Daerah dalam Rangka Memberikan

Peranan yang Besar kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, (Pontianak: Dahara Prize, 1990), p. 61.

17 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan

(6)

adalah kebebasan dan kemandirian, kedua adalah sebagai urusan pemerintahan. Kebebasan dan kemandirian berbeda dengan kemerdekaan. Konsep yuridis kemandirian atas namanya sendiri dan atas tanggungjawab sendiri. Dalam kaitan dengan kedua unsur ini, dalam teori negara, otonomi merupakan sub sistem dari negara kesatuan. Unsur kedua yaitu sebagian urusan pemerintahan jelaslah tidak sama semua urusan pemerintahan akan menjadi urusan otonomi. 18

Sedangkan desentralisasi menurut Rondinelli, didefinisikan sebagai transfer tanggungjawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non-pemerintah dan organisasi nirlaba. 19 Dengan demikian desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dan tanggungjawab dari pemerintah pusat kepada daerah.

Menurut Moh. Mahfud MD, prinsip otonomi daerah dan desentralisasi dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) antara pusat dan daerah merupakan salah satu cara untuk mengimplikasikan prinsip demokrasi. Artinya prinsip demokrasi itu harus diimplementasikan melalui pemecahan kekuasaan baik secara horizontal maupun secara vertikal. Suatu kekuasaan yang tidak dipencar bukanlah kekuasaan yang dapat diterima di negara demokrasi, melainkan merupakan model kekuasaan yang terjadi di negara-negara dengan sistem absolut atau otoriter.20

Bagir Manan menyebutkan adanya tiga faktor yang memperlihatkan hubungan yang erat antara demokrasi dan otonomi serta desentralisasi, yaitu pertama, untuk mewujudkan kebebasan (liberty), kedua, untuk menumbuhkan kebiasaan di kalangan rakyat agar mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan mereka,

ketiga, untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap

masyarakat yang mempunyai tuntutan yang berbeda-beda.21

18 Catur Wido Haruni, “Otonomi daerah Dalam Era Reformasi (Tinjauan

Terhadap Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah)”, dalam

Legality Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 10/VII/September 1999 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, p. 9-10.

19 Dennis A. Rondinelli dan Cheema G. Shabir, Decentralization and Development,

Policy Implementation in developing Countries, (California: SAGE Publication Inc. Beverly Hills, 1988), p. 152.

20 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama

Media, 1999), p. 185-186.

21 Ibid., 187. Rujukan aslinya, Bagir Manan, Hubungan antara Pusat dan Daerah

(7)

Henry Maddick, sebagaimana dikutip oleh Juanda, membedakan desentralisasi dengan dekonsentrasi.22 Desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun risudal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sedangkan dekonsentrasi merupakan “the delegasion of authority adequate for the discharge of specified functions to staff of a central departement who are situated oudside the headquaters” (pendelegasian kewenangan sebagai fungsi-fungsi khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada di bawahnya).23 C. Perkembangan Konfigurasi Politik dan Hukum Otonomi

Daerah

Menurut Juanda, perubahan kebijaksanaan daerah sangat ditentukan oleh konfigurasi politik nasional yang berkembang dari waktu ke waktu. Jika politik di tingkat nasional mengalami perkembangan yang dinamis dan menunjukkan ke arah demokrasi, kemudian pemerintah cenderung mengeluarkan kebijaksanaan pemerintahan daerah yang memberikan dasar bagi pengembangan demokrasi di daerah dan memberikan keleluasan yang cukup bagi masyarakat di daerah dengan lembaga politiknya untuk berkembang. Namun demikian kecenderungan ke arah otorianisme mengakibatan pula munculnya sebuah pemerintahan sentralistik, yang berimplikasi tidak menguntungkan bagi perkembangan atau pembangunan daerah secara keseluruhan. Gambaran di atas dapat diperlihatkan dalam bentuk tabel sebagai berikut di bawah ini.24

22 Menurut UU No. 5 Tahun 1974, desentralisasi ialah penyerahan urusan

pemerintah dari daerah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan dekonsentrasi ialah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah.

23 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara

DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2004), p. 117 dikutip dari Henry Maddick,

Democracy, Decentralization and Development, (London: Asia Publishing House, 1966), p. 23.

24 Syaukani (dkk.), Afan Gafar dan M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara

(8)

Hubungan Antara Kekuasaan dengan Produk Hukum Berdasarkan Konfigurasi Politik

Periodisasi Konfigurasi Politik UU Otonomi Hakekat Otonomi Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949)-Orde Lama

Demokrasi - UU No. 1 Tahun 1945 - UU No. 22 Tahun 1948 Otonomi Luas Pasca Kemerdekaan (1950-1959)- Orde Lama

Demokrasi UU No. 1 Tahun 1967 Otonomi Luas

Demokrasi

Terpimpin (1959-1965)-Orde Lama

Otoritarian - Penpres No. 6 Tahun 1959 - UU No. 18 Tahun 1965 Otonomi Terbatas Orde Baru (1965-1998)

Otoritarian UU No. 5 Tahun 1974 Sentralisasi

Sedangkan menurut Moh. Mahfud MD, konfigurasi politik dan hukum pemerintahan daerah digambarkan lebih terinci sebagaimana dalam bagan berikut ini.25

Hubungan Kekuasaan antara Pusat dan Daerah dan Produk Hukum Bersarkan Konfigurasi Politik

Periode Konfigurasi Politik Pola Hubungan Kekuasaan Produk Hukum 1945-1959 Orde Lama

Demokratis Otonomi Luas, Desentralisasi UU No. 1 Tahun 1945 UU No. 22 tahun 1948 UU No. 1 Tahun 1957 1959-1966 Orde Lama

Otoriter Sentralistik, Dekonsentrasi Penpres No. 6 Tahun 1959 UU No. 18 Tahun 1965 1966-1969/1971 Orde Baru

Demokratis Otonomi Luas, Desentralisasi Tap MPR No. XXI/1966 1971-1998

Orde Baru

Otoritariter Sentralistik, Dekonsentrasi Tap MPR No. IV/1973

(9)

UU No. 5 Tahun 1974

UU No. 5 tahun 1976

Berdasar bagan di atas dapat disebutkan bahwa lahirnya peraturan perundang-undangan tentang otonomi daerah dari waktu ke waktu (dari Orde Lama ke Orde Baru) dipengaruhi oleh konfigurasi politik pada saat itu.

Jika konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka pola hubungan antara kekuasaan pusat dengan daerah, baik dalam rumusan hukum maupun dalam prakteknya terjalin dalam mekanisme desentralisasi dan otonomi luas, tetapi jika konfigurasi politik yang tampil menjadi otoriter, maka pola hubungan antara pusat dengan daerah juga bergeser menjadi sentralistik dan dekonsentratif (administratif).26

Dengan demikian dapat disebutkan secara umum pola hubungan antara pusat dan daerah memiliki kecenderungan yaitu: pertama, hubungan yang sentralistik. Hubungan model ini seringkali didasarkan kepada pemikiran dan kebutuhan bahwa gerak kemajuan di tingkat nasional, hanya akan terjadi jika pemerintah pusat memegang kendali penuh, dan segala sesuatunya diatur secara terpusat. Pemusatan ini dimaksudkan selain untuk meraih efisiensi, juga efektivitas.27

Kedua, hubungan yang desentralistik. Pemikiran dan kebijakan ini didasarkan pada kritik atas kenyataan bahwa pemusatan, lebih memberikan keuntungan kepada pusat dan tidak secara otomatis membawa kemanfaatan bagi daerah. Bahkan daerah justru merasa bahwa dengan adanya otoritas yang tinggi pada pemerintah pusat, telah memberikan jalan bagi kekuasaan pusat untuk mengeksploitasi daerah dengan dasar kepentingan nasional.28

D. Pilihan Kebijakan Otonomi Daerah pada Era Orde Lama 1. Berdasar Undang-undang No. 1 Tahun 1945 tentang

Kedudu-kan Komite Nasional

Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 1 tahun 1945 disebutkan bahwa: “Komite nasional daerah menjadi badan perwakilan rakyat daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh kepala daerah menjalankan

26Ibid., p. 194.

27 Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara: Kajian Kritis atas Kebijakan Otonomi Daerah,

(Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001), p. 41.

(10)

pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan daearah yang lebih luas dari padanya”.

Dalam penjelasan undang-undang tersebut ditegaskan bahwa KND berubah sifatnya menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) yang diketuai oleh kepala daerah. Kepala daerah tidak merupakan anggota dari badan tersebut, karena itu tidak mempunyai hak suara.

Adapun wewenang DPRD sebagai badan legeslatif meliputi tiga bidang:29

a. Kemerdekaan mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi);

b. Perbantuan kepada pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu (medebewind dan

zelfgovernment );

c. Membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disahkan lebih dahulu oleh pemerintah atasan wewenang antara otonomi dan selfgovernment).

Ditinjau dari sudut pandang politik dan perjuangan nasional, program penyusunan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang demokratis di bawah rangka Undang-undang No. 1 Tahun 1945 yang memberi KND (Komite Nasional Daerah) kedudukan sebagai Badan Perwakilan, merupakan tindakan politis bertendensi menciptakan sistem ekonomi yang sifatnya lebih luas daripada otonomi di zaman Belanda. Namun dari sudut konstitusionalitas dapat dicatat, bahwa secara keseluruhan kehidupan ketatanegaraaan pada waktu itu pada hakekatnya telah menyimpang dari sistem presidensial dan bergeser kepada sistem ministerial.30

2. Berdasar Undang-undang No. 22 Tahun 1948

Undang-undang No. 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam Pasal 1 undang-undang ini ditetapkan 2 (dua) jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa. Tiap jenis daerah tersebut dapat dibedakan dalam tiga tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.

Adapun kekuasaan pemerintah daerah menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1948 mempunyai dua macam kekuasaan, yaitu:

29 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1984), p. 251.

30 M. Solly Lubis, “Otonomi Daerah”, dalam Padmo Wahjono, Masalah

(11)

a. Otonomi, ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya;

b. Medebewind, ialah hak menjalankan peraturan-peraturan dari

pemerintah pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan.

Menurut Pasal 2 Undang-undang No. 22 Tahun 1948, Pemerintah daerah terdiri dari: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Adapun wewenang DPRD menurut undang-undang ini antara lain sebagai berikut:

a. mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya (otonom);

b. menjalankan peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh pihak atasan (medebewind);

c. membuat peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi dan

medebewind;

d. menetapkan anggaran belanja dan pendapatan daerah; e. memilih anggota-anggota DPD;

f. mencalonkan kepala daerah.

Prinsip pokok dalam undang-undang ini adalah cita-cita mengahapuskan perbedaan antara cara pemerintahan di kepulauan Jawa dan Madura dengan daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Hal ini berarti bertujuan mengadakan uniformitas dalam pemerintahan daerah dan memberi hak otonomi dan medebewind seluas-luasnya pada badan-badan pemerintahan daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar permusyawaratan.31

Akan tetapi dalam pelaksanaannya tersendat-sendat melalui lika-liku peristiwa kenegaraan melalui masa UUD 1945, UUD RIS 1949, dan UUDS 1950. Selain itu juga dapat dicatat bahwa asas yang dikembangkanm melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1945 adalah asas demokrasi liberal, yang berpangkal pada ministerialisasi dalam pemerintahan ministerial yang dianut oleh UUD-UUD berikutnya terutama UUDS 1950, yang secara terang-terangan menganut asas liberal parlementer.32

3. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

Pada masa berlakunya Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI) 1950, Undang-undang No. 22 Tahun 1948 diganti

31Ibid., 307. 32Ibid., hlm 307.

(12)

dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Menurut UUDS 1950 bentuk Negara RI adalah negara kesatuan (Pasal 1 ayat 1) dengan sistem desentralisasi (Pasal 131).

Pasal 131 ayat (1) UUDS RI 1950 menyebutkan bahwa:

“Pembagian daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaran dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan Negara”.

Dalam rangka menjalankan Pasal 131 UUDS RI inilah, maka pada tanggal 17 Januari 1957 Perintah RI telah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang mencabut Undang-undang No. 22 Tahun 1948 yang diberlakukan pada masa UUD RIS. Dengan demikian untuk seluruh Indonesia hanya berlaku satu undang-undang yang mengatur tentang daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1957, pemerintah daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Daerah. Kepala daerah karena jabatannya berkedudukan sebagai ketua sekaligus sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh dan dari anggota Dewan Pemerintah Daerah.

Undang-undang No. 1 Tahun 1957 sebagai produk legislatif diwarnai adanya keinginan untuk lebih demokratis dari sebelumnya, akan tetapi realitasnya justru menghasilkan asas-asas yang ultra demokratis, yang mengandung bahaya perpecahan dalam golongan-golongan masyarakat dan lemahnya hubungan hirarki antara pusat dan daerah.33 4. Berdasar Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan

Undang-undang No. 18 Tahun 1965

Penpres No. 6 Tahun 1959 dikeluarkan dalam suasana kembali ke UUD 1945, dengan suatu kebijaksanaan politik yang ingin mengembalikan dan memperkuat kewibawaan kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat, dengan memberi fungsi rangkap sebagai alat dekonsentrasi dan desentralisasi.

Berdasar penpres inilah struktur pemerintahan digeser ke sisi yang sangat sentralistik atau mekanisme pengendalian pusat terhadap daerah

(13)

secara ketat. Istilah otonomi seluas-luasnya secara format tetap disebutkan, tetapi asas ini tidak dijabarkan.34

Dengan kata lain, diberlakukannya Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, dua masalah penting yang harus diperhatikan pada saat itu, yaitu pertama bahwa politik dekonsentrasi dan desentralisasi berjalan terus dengan menjunjung paham desentralisasi territorial; kedua, bahwa untuk kepentingan rakyat, keutuhan pemerintah daerah dan untuk kelancaran administrasi, dualisme dalam pemerintahan daerah harus dihapuskan.35

Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No. 18 Tahun 1965, tetapi perubahan tersebut lebih merupakan penggantian secara formal saja, sebab materinya hampir seluruhnya mengambil dari Penpres No. 6 Tahun 1959. Dengan demikian karakter produk hukum tentang pemda pada periode ini adalah konservatif.36

Dikeluarkannya produk hukum berupa Undang-undang No. 18 Tahun 1965 oleh DPRGR merupakan produk dari kehidupan politik pada saat itu, di mana jargon-jargon revolusioner dan Manipol/Usdek ikut mewarnai persyaratan rekruitmen pada tingkat lokal. Ide otonomi luas sudah merupakan bagian dari sejarah dan sentralisasi sedikit demi sedikit mulai diwujudkan.37

E. Pilihan Kebijakan Otonomi Daerah Era Orde Baru

Pada era Orde Baru dapat dijelaskan bahwa bersamaan dengan gelora menghancurkan Orde Lama dan membersihkan PKI, pada awal perjalanannya Orde Baru memulainya dengan langgam demokratis. Pilihan ini tak dapat dihindari karena Orde Baru mendapat dukungan atas gagasannya untuk membangun kehidupan yang demokratis berdasar Pancasila dan UUD 1945 sebagai upaya pembalikan total atas sistem Orde Lama yang otoriter. Akan tetapi langgam demokratis ini hanya berlangsung kira-kira tiga tahun sampai berhasilnya pemerintah membuat format politik baru yang memungkinkan pemerintah melakukan program pembangunan tanpa interupsi-interupsi dari keributan politik. Format baru ini ditandai dengan lahirnya Undang-undang No. 15 dan 16 Tahun 1969 masing-masing tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan

34 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media,

1999), p. 279.

35 Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1990), p. 19.

36 Moh. Mahfud MD, Hukum dan..., p. 281.

37 Syaukani (dkk.), Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka

(14)

MPR/DPR dan DPRD yang kemudian diimplementasikan dengan pelaksanaan Pemilu tahun 1971.38

Kebijakan atau produk hukum tentang otonomi daerah dan desentralisasi yang dikeluarkan pada era Orde Baru inipun mengikuti sistem politik yang juga didahului dengan masa transisi yang demokratis. Ketika langgamnya masih demokratis (1966-1969) maka dapat dilihat adanya semangat demokratisasi dalam hukum otonomi daerah ketika MPRS mengeluarkan Ketetapan No. XXI/MPRS/1966 yang memerintahkan agar UU No. 18 Tahun 1965 yang sangat konservatif segera diubah dengan UU yang baru yang memuat asas otonomi yang seluas-luasnya. Sebelum itu MPRS juga mengeluarkan Ketetapan No. XIX/MPRS/1966 yang berisi perintah peninjauan produk legislasi peninggalan Orde Lama yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Tetapi ketika langgam demokratis itu bergeser (sejak 1969/1971), maka sebelum Tap MPRS itu direalisasikan MPR hasil Pemilu 1971 pada sidang Umum 1973 mengganti asas otonomi yang seluas-luasnya dengan asas otonomi

nyata dan bertanggungjawab seperti yang dimuat dalam Ketetapan MPRS No.

IV/MPR/1973 tentang GBHN. Berdasarkan arahan GBHN itulah, maka dibuat UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang wataknya cenderung konservatif. 39

Watak konservatif UU No. 5 Tahun 1974 ini menjadi niscaya karena lahir dari konfigurasi politik yang berlanggam otoritarian dengan format memberikan posisi politik yang sangat dominan kepada pemerintah. Format ini dipilih secara sadar oleh para pemimpin politik ketika itu untuk memberi jalan bagi program pembangunan yang didukung oleh integrasi yang mantap. Keyakinan yang mendasari pembuatan format ini adalah bahwa pembangunan harus diberi jalan melalui penciptaan stabilitas. Stabilitas akan tercipta melalui penciptaan integrasi yang mantap. Format seperti ini tidaklah memberi ruang yang cukup bagi kegiatan-kegiatan yang liberal demokratis.40

Dengan demikian dapat disebutkan secara detail bahwa produk-produk hukum otonomi daerah yang dikeluarkan pada era Orde Baru adalah sebagaimana tersebut di bawah ini.

38 Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Globalisasi”,

makalah dalam Seminar Sehari Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Otonomi dengan Titik Berat Tingkat II, Ikatan Program Magister (S2) Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, Sabtu 27 September 1997, p. 6. Dikutip dari rujukan aslinya, Alfian, “Format Baru Politik Indonesia”, dalam Indonesia Magazine, No. 24, Yayasan Harapan Kita, Jakarta.

39Ibid. 40Ibid.

(15)

1. Tap MPR No. XXI Tahun 1966, Tap MPR No. IV Tahun 1973 dan No. IV Tahun 1978.

Dalam Tap MPR No. XXI Tahun 1966 disebutkan bahwa asas desentralisasi harus dilaksanakan secara konsekuen dengan meletakkan tanggungjawab otonomi riil yang seluas-luasnya di tangan Pemerintah Daerah di samping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai komplemen yang vital.

Ketetapan MPRS No. XXI Tahun 1966 ini berisi 7 pasal sebagai berikut.41

a. Menugaskan kepada Pemerintah bersama-sama DPR-GR untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah-daerah, sesuai dengan jiwa dan isi UUD 1945, tanpa mengurangi tanggungjawab Pemerintah Pusat di bidang perencanaan, koordinasi dan pengawasan terhadap daerah-daerah. b. Untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya, semua urusan

diserahkan kepada daerah, berikut semua aparatur dan keuangannya, kecuali hal-hal yang bersifat nasional yang akan diatur dan ditentukan dengan undang-undang.

c. Daerah diberi tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya untuk mengatur segala sesuatu di bidang kepegawaian dalam lingkungan Pemerintah Daerah.

d. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah diatur kembali sedemikian rupa sehingga pelaksanaan otonomi seluas-luasnya dapat terselenggara secara sehat.

e. Pemerintah bersama DPR-GR segera meninjau kembali Undang-undang No. 18 Tahun 1965, Undang-Undang-undang No. 19 Tahun 1965 dan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1960 paragraf 392 No. 1 angka 4 dan menyesuaikannya dengan perkembangan baru dalam rangka kembali kepada UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

f. Kedudukan khusus daerah Irian Barat ditiadakan dan selanjutnya disesuaikan dengan kedudukan daerah-daerah otonomi lainnya. g. Selambat-lambatnya dalam tempo tiga tahun setelah dikeluarkannya

ketetapan ini, tugas tersebut pada Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan 6 sudah dapat diselesaikan.

Tap MPR No. IV Tahun 1973 menghendaki bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara, dan dalam membina kesetabilan politik serta kesatuan bangsa,

41 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah

Kostitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia), 2004, p. 206-207.

(16)

maka hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi yang dapat menjamin perkembangan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.

2. Undang-undang No. 5 Tahun 1974

Sebagaimana diketahui, dasar hukum kebijaksanaan otonomi daerah ialah Undang Undang Dasar 1945 yang tercantum dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dan diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya.

Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaran dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak usul-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Adapun penjelasan Pasal 18 menyebutkan: “Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.”42

Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negara di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.

Atas dasar Pasal 18 UUD 1945 dikeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada waktu rancangan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah sedang dibahas dalam Dewan Perwakilan Rakyat, timbul dua pandangan tentang kepada daerah mana otonomi itu akan diletakkan. Pandangan pertama berpendapat agar otonomi diberikan kepada propinsi sebagai daerah otonom, sedang kabupaten dan kotamadya merupakan wilayah administrasi. Pandangan kedua berpendapat sebaliknya, yaitu

42 Penjelasan otentik (resmi) UUD 1945 diambil dari buku C.S.T. Kansil, Hukum

(17)

bahwa otonomi harus diberikan kepada kabupaten dan kotamadya sebagai daerah otonom, sedangkan propinsi hanya sebagai wilayah administrasi saja. Oleh karena kedua pandangan tersebut mempunyai argumentasi yang kuat, akhirnya melalui berbagai macam upaya, munculah rumusan baru yang kemudian tercantum dalam Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1974 yang berbunyi:43

(1) Titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II

(2) Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan peraturan pemerintah.

Titik berat otonomi diletakkan pada daerah tingkat II dimaksudkan karena daerah tingkat II lebih mengetahui perasaan, aspirasi, potensi dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.44

Dengan demikian, prinsip yang dipakai sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah, tidak lagi otonomi yang riil dan seluas-luasnya tetapi otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.

Nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah otonomi haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan serta tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah otonom yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri.45

Bertanggungjawab dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi antara

43 Sri Soemantri, “Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Otonom

Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II”, makalah dalam Seminar Sehari

Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Otonomi dengan Titik Berat Tingkat II, Ikatan Mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 27 September 1997, p. 4.

44 Ibid. Dikutip dari Sumitro Maskun, “Otonomi Daerah, Peluang dan

Tantangan”, makalah diskusi dalam acara Memperingati Sewindu Suara Pembaharuan dan HUT ke 50 Republik Indonesia, p. 224.

45 Soehino, “Pelaksanaan Proyek Percontohan Otonomi Daerah sebagai

Pemantapan dan Pengembangan Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab”, Media Hukum Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Edisi 4/Tahun V/Mei 1998, p. 25. Secara lebih mendalam kutipan ini dapat dilihat dalam buku Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah,

(Yogyakarta: BPFEE, 1991) dan Soehino, Hukum Tata Negara-Sebagai Pemantapan dan Pengembangan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Nyata dan Bertanggungjawab dan Mempercepat Perwujudan Peletakan Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II, (Yogyakarta: Liberty, 1998).

(18)

pemerintah pusat dan daerah otonom, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah otonom.46

Dalam Penjelasan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “istilah seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara.” Sementara itu dalam GBHN dinyatakan bahwa otonomi daerah:

a. harus sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa.

b. harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan.

c. harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Beberapa karakteristik yang sangat menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1974, antara lain:47

Pertama, wilayah negara dibagi ke dalam daerah besar dan kecil yang

bersifat otonom atau administratif saja. Sekalipun tidak ada perbedaan yang tegas antara daerah otonom dengan daerah administratif, tetapi kenyatannya sebuah wilayah pemerintahan mempunyai dua kedudukan sekaligus, yaitu daerah otonom yang berpemerintahan sendiri dan sebagai wilayah administratif yang merupakan representasi dari kepentingan pemerintah pusat yang ada di daerah. Prinsip ini diwujudkan sebagai refleksi dari prinsip dekonsentrasi yang diselenggarakan sekaligus dengan desentralisasi.

Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu

daerah tingkat i, daerah tingkat ii sebagai daerah otonom, dan wilayah administratif berupa propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan.

Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) baik tingkat I maupun tingkat II dan kotamadya merupakan bagian dari pemerintah daerah. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 67 UU No. 4 Tahun 1974

46Ibid.

(19)

yaitu:”Menteri Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mencapai hasilguna yang sebesar-besarnya, baik mengenai urusan rumah tangga daerah maupun mengenai urusan tugas pembantuan”.

Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan kuat

kepada Kepala Wilayah dibanding Kepala Daerah. Dalam Pasal 80 UU No. 4 Tahun 1974 disebutkan bahwa:”Kepala Wilayah sebagai Kepala Pemerintahan adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masayarakat di segala bidang”.

Keenam, keuangan daerah sebagaimana umumnya dengan

undang-undang terdahulu, diatur secara umum saja. Keuangan daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah.

Lahirnya UU No. 5 Tahun 1974, dapat dikatakan sebagai proses awal (yuridis formal) kembalinya semangat sentralisasi, yang pada dasarnya telah ditolak pada periode awal kelahiran Orde Baru. Prinsip sentralisasi tidak saja berwujud dalam mekanisme politik, melainkan juga membawa implikasi yang sangat luas pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang diterapkan di daerah-daerah. Kekuasaan Presiden menjadi sangat besar, dan di sisi lain kontrol semakin dipersempit ruangnya. Implikasi penting dari proses tersebut adalah:48

Pertama, lambatnya perkembangan daerah, khususnya di luar pulau Jawa, terutama dari sudut SDM (Sumber Daya Manusia). Kedua,

sentralisasi telah memungkinkan digantikannya instrumen-instrumen asli, dengan instrument yang dibawa dari pusat kekuasaan.49 Ketiga,

ketidakadilan ekonomi dimana pusat (Jakarta, Jawa) dengan klaim kepentingan umum.50 Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah tuntutan daerah agar perimbangan dikedepankan selalu mendapat reaksi ekstrim yakni dituding sebagai potensi separatis.

Namun demikian, jika dilihat dari perkembangan pemerintahan di daerah, berdasar era berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 sebagai undang-undang organik adalah undang-undang-undang-undang yang paling konsekuen

48 Tim Lapera, “Otonomi Pemberian Negara…”, p. 43-44.

49 Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan

contoh lain dari upaya penyeragaman yang dilakukan oleh pusat kekuasaan.

50 Daerah-daerah kaya seperti Irian, Riau, Aceh dan Kalimantan, pada

kenyataannya sangat lambat berkembang, dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang padat penduduknya, namun miskin sumber daya alam, seperti propinsi-propinsi di Jawa.

(20)

melaksanakan ketentuan pokoknya, ialah Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu:51

a. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 menganut serta melaksanakan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

b. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 sesuai pengarahan mengenai kebijkasanaan yang akan ditempuh tentang pemerintahan di daerah oleh Tap MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, menganut dan melaksanakan prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.

c. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena kedua asas tersebut sama pentingnya, di samping itu juga melaksanakan asas tugas pembantuan.

3. Undang-undang No. 5 Tahun 1979

Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dikeluarkan antara lain dengan pertimbangan bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan pemerintah desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa. Hal ini dimaksudkan agar pemerintahan desa mampu menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif.52

Berhubung dengan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu segera mengatur bentuk dan susunan pemerintahan desa dalam suatu undang-undang yang dapat memberikan arah pembangunan dan kemajuan masyarakat yang berasaskan demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang dasar 1945.53

Wujud dari pengaturan tentang pemerintahan desa ini adalah berupa Undang-undang No. 5 Tahun 1979 yang diundangkan pada tanggal 1 Desember 1979 menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja.

Undang-undang tentang pemerintahan di desa ini menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur desa di zaman kolonial yang tidak mengatur desa secara seragam dan

51 Soehino, Ibid., p. 21.

52 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan…, p. 281. 53Ibid.

(21)

kurang memberikan dorongan kepada masyarakat desa untuk tumbuh kearah kemajuan yang dinamis, maka undang-undang No. 5 Tahun 1979 ini mengarah kepada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional dan memberi perwujudan demokrasi melalui Lembaga Musyawarah Desa (LMD).

b. Dari segi kultural, undang-undang ini mengakui adanya kesatuan masyarakat, termasuk kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan dan ketahanan nasional. Pembentukan LMD dan keanggotaannya dimusyawarahkan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat desa yang bersangkutan, antara lain tokoh-tokoh adat, agama, kekuatan sosial politik dan golongan profesi yang bertempat tinggal di desanya.

c. Dalam perspektif urgensi kepemimpinan, undang-undang ini menunjukkan adanya kepala desa/lurah sebagai penanggungjawab pertama mengemban tugas dan kewajiban yang berat tangguh dan mampu melaksanakan tugas-tugas pembangunan dan pemerintahan, kemasyarakatan, ketentraman dan ketertiban bahkan penerus perwujudan kepemimpinan nasional di tingkat desa.

F. Kesimpulan

Pilihan-pilihan kebijakan otonomi daerah pada era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sesuai dengan langgam pemerintahan pada era tersebut. Beberapa peraturan yang dijadikan pijakan pada era Orde Lama adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1945, Undang-undang No. 22 Tahun 1948 dan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerin-tahan Daerah. Sedangkan peraturan yang dijadikan pijakan pada era Orde Baru adalah Tap MPR No. XXI Tahun 1966, Tap MPR No. IV Tahun 1973 dan No. IV Tahun 1978, Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-undang No. 5 Tahun 1979.

Secara umum, penyelenggaraan otonomi daerah pada masa Orde Lama didasarkan pada prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya. Kebijakan ini diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 Tahun 1965, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah pada masa Orde Baru didasarkan pada prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Kebijakan ini diatur dalam undang-undang Undang-undang No. 5 Tahun 1974.

Pilihan-pilihan kebijakan sebagaimana tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara pusat dan daerah yang melahirkan produk-produk hukum sesuai dengan periodesasinya. Dengan kata lain

(22)

pilihan-pilihan kebijakan otonomi daerah, khususnya pada era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) dipengaruhi oleh konfigurasi politik pada saat itu yaitu jika konfigurasi politiknya demokratis, maka pola hubungan antara kekuasaan pusat dengan daerah adalah berdasarkan pada prinsip otonomi luas dan desentralisasi. Sebaliknya, jika konfigurasi politiknya otoriter, maka melahirkan pola hubungan antara pusat dengan daerah yang sentralistik dan dekonsentrasi.

(23)

Daftar Pustaka

Alfian, “Format Baru Politik Indonesia”, dalam Indonesia Magazine, No. 24, Yayasan Harapan Kita, Jakarta.

Appeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), Jakarta: Pradnya Paramitha, cet. Ke-18, 1981.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Kostitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Haruni, Catur Wido, “Otonomi daerah Dalam Era Reformasi (Tinjauan Terhadap Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah)”, dalam Legality Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 10/VII/September 1999 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.

Ibrahim, Jimmie Mohammad, Prospek Otonomi Daerah dalam Rangka Memberikan Peranan yang Besar kepada Pemerintah Daerah Tingkat II,

Pontianak: Dahara Prize, 1990.

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan

antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, 2004.

Juwono, Hikmahanto, Politik Hukum Undang-undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.

Kairsy, David, (ed). The Politics of Law, A Progressive Critique, New York: Pantheon Books, 1990.

Kansil, C.S.T., Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Lubis, M. Solly, “Otonomi Daerah”, dalam Padmo Wahjono (Penghim-pun), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonsia, 1984.

_____, Asas-asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1978.

Maddick, Henry, Democracy, Decentralization and Development, Reprinted London: Asia Publishing House, 1966.

Mahfud, Moh., MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Kedua, Jakarta: LP3ES, 2001.

(24)

_____, "Politik Hukum Otonomi Daerah di Era Globalisasi", Seminar Sehari: Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Otonomi dengan Titik Berat Tingkat II, Ikatan Program Magister (S2) Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, sabtu 27 September 1997.

_____, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999. _____, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media,

1999.

Manan, Bagir, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

_____, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 (Perumusan dan Undang-undang Pelaksanaanya), Kerawang: Uniska, 1993.

Maskun, Sumitro, “Otonomi Daerah, Peluang dan Tantangan”, Makalah Diskusi Memperingati Sewindu Suara Pembaharuan dan HUT ke 50 Republik Indonesia.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBHI, Jakarta, 1988.

Petres, A.A.G., dan Kosriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Radhie, Teuku Muhammad, dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973.

Rondinelli, Dennis A., dan Cheema G. Shabir, Decentralization and Development, Policy Implementation in developing Countries, California: SAGE Publication Inc. Beverly Hills, 1988.

Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta: BPFEE, 1991.

_____, Hukum Tata Negara-Sebagai Pemantapan dan Pengembangan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Nyata dan Bertanggungjawab dan Mempercepat Perwujudan Peletakan Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II, Yogyakarta: Liberty, 1998.

_____, Pelaksanaan Proyek percontohan Otonomi daerah Sebagai Pemantapan dan Pengembangan Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab, Media Hukum Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Edisi 4/tahun V/Mei 1998. Soejito, Irawan, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta:

(25)

Soemantri, Sri, “Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Otonom Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II”, makalah dalam Seminar Sehari Ikatan Mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 27 September 1997.

Syaukani (dkk.), Afan Gafar dan M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puporis Publishers, 2002,

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, 2003.

Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara (Kajian Kritis atas Kebijakan Otonomi

Daerah), Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001.

Wahjono, Padmo, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonsia, 1984.

Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengem-bangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan kajian ini adalah untuk menentukan beberapa parameter fiziko-kimia air larut resap dari tapak pelupusan sampah Sungai Sedu, Banting, Selangor dan menentukan isyarat

Perbedaan dalam lingkup sosial ekonomi antara lain kaya dan miskin, pekerja dan pengangguran, mereka yang mempunyai rumah dan mereka yang hanya tidur dijalanan

Berdasarkan hasil wawancara dengan Aiptu Yadi Rahayu yang menjabat sebagai Kepala Team III Unit Reskrim Polsek Cicendo Motif pelaku melakukan tindak pidana kejahatan

For making available to us materials under their care we thank the Armstrong Browning Library; the Balliol CoIIege Library, Oxford; the British Library; the.John

Sedangakan untuk hubungan alat pelindung diri dengan gangguan telinga kanan didapatkan hasil correlation coefficient sebesar 0,577*, sehingga diartikan ada

[r]

Pentingnya Antropologi dalam mempelajari Gizi Masyarakat, untuk mengatasi permasalahan Gizi Masyarakat pada saat ini seperti banyaknya anak-anak yang mengalami Gizi

Tanah tanpa kangkung menerima lebih banyak - siflutrin pada saat aplikasi, walaupun pada tanah yang ditanami kangkung masih mendapat tambahan dari tanaman di