• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci 2.2 Cacing Fasciola gigantica

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci 2.2 Cacing Fasciola gigantica"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelinci

Kelinci merupakan hewan yang umum digunakan untuk penelitian dan produksi bahan biologis. Penggunaan kelinci sebagai hewan coba pada penelitian immunodiagnostik terhadap Fasciola sp. pernah dilakukan oleh Sewell (1964), Schalch et al. (1979), Moazeni et al. (2005), dan Mahmoud et al. (2008). Klasifikasi kelinci menurut Orr (1976) sebagai berikut:

Filum : Cordata Subfilum : Craniata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Lagomorpha Famili : Leporidae Subfamili : Leporinae Genus : Oryctolagus Spesies : Oryctolagus sp.

Penggunaan kelinci sebagai hewan coba sangat menguntungkan karena kelinci mudah dipelihara, relatif ekonomis, dan mudah diambil darahnya (Smith 1995). Secara anatomis, telinga kelinci yang panjang dan banyak mengandung pembuluh darah memudahkan dalam pengambilan sampel darah. Pemilihan kelinci sebagai hewan coba untuk produksi antibodi secara eksperimental di laboratorium karena ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan hewan coba laboratorium lain seperti tikus ataupun mencit, sehingga diperoleh darah lebih banyak (IACUC 2010).

2.2 Cacing Fasciola gigantica

Fasciola gigantica merupakan salah satu spesies cacing dari genus Fasciola yang termasuk ke dalam trematoda digenea. Habitat cacing ini ada di dalam pembuluh empedu. Fasciola gigantica memiliki siklus hidup yang mirip dengan Fasciola hepatica yang membutuhkan inang antara dan inang definitif. Siput dari genus Lymnaea merupakan inang antara Fasciola gigantica yang berkembang dengan baik di daerah tropis. Inang definitif cacing Fasciola

(2)

gigantica yaitu domba, sapi, dan kerbau serta mamalia lain seperti babi, kuda, dan manusia. Fasciola gigantica secara morfologi memilki ukuran yang lebih besar dibandingkan Fasciola hepatica. Panjang tubuhnya dapat mencapai 7,5 cm dengan lebar 1,2 cm dan tidak memiliki “bahu” yang menonjol seperti Fasciola hepatica. Ukuran telurnya mencapai 200x105 mikron, telurnya berkulit tipis dan memiliki operkulum (Levine 1990). Menurut Levine (1990), trematoda ini diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Platyhelminthes Kelas : Trematoda Subkelas : Digenea Ordo : Echinostomorida Subordo : Echinostomorina Famili : Fasciolidae Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola gigantica

Secara umum, morfologi klasik trematoda memiliki tubuh dorsoventral, dan tidak bersegmen seperti daun. Tubuh trematoda tidak memiliki rongga badan dan semua organ berada di jaringan parenkim (Levine 1990). Trematoda memiliki dua alat penghisap yang khas yaitu batil hisap mulut atau batil hisap anterior yang mengelilingi mulut dan batil hisap posterior atau asetabulum yang terletak di dekat pertengahan tubuh atau pada ujung posterior (Noble dan Noble 1989).

Trematoda secara seluler memiliki lapisan luar (epikutikula) yang tidak berinti dan bersinsitial. Epikutikula dihubungkan oleh tabung-tabung sitoplasmik sempit dengan bagian tegumen yang berinti melalui sitoplasma membrana basalis dan lapisan otot-otot tubuh. Terdapat mikrovili dan vesikula pinositik pada permukaan luar larva dan cacing dewasa. Struktur ini menimbulkan dugaan adanya fungsi ekskretori dan sekretori (Noble dan Noble 1989). Kutikula atau dinding luar (tegumen) trematoda kadang-kadang mengandung duri atau sisik (Levine 1990).

Absorbsi glukosa berlangsung lewat tegumen yang membantu aktivasi nutrisi secara umum pada cacing. Tegumen juga berkaitan dengan fungsi respiratoris dan sensoris. Tegumen resisten terhadap aktifitas pepsin dan tripsin

(3)

karena asam-asam mukopolisakarida, polifenol, dan mucin (lendir). Resistensi yang dimiliki merupakan suatu faktor utama dalam melindungi cacing terhadap sistem pertahanan inang (Noble dan Noble 1989).

2.3 Antigen Ekskretori/Sekretori (E/S)

Antigen (antibody generations) adalah suatu senyawa atau substansi yang dapat menggertak sistem imunitas dapatan pada inang atau individu. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein (Guyton dan Hall 2007). Ciri pokok antigenisitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard 2004). Limitasi fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa agar dapat bersifat imunogenik yaitu ukuran molekul harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks. Ciri pokok yang kedua yaitu derajat keasingan atau frekuensi paparan suatu bahan atau senyawa di dalam tubuh. Antigenisitas suatu bahan atau senyawa juga ditentukan oleh derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby 2007).

Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua protein yang berat molekulnya lebih besar dari 8000 dalton bersifat antigenik. Pembentukan sifat antigenik tergantung kepada pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut epitop (antigenik determinan) pada permukaan molekul besar (Guyton dan Hall 2007).

Hewan, tumbuhan, serta parasit dapat menghasilkan substansi antigenik. Substansi tersebut tidak hanya terkandung dalam jaringan tubuh, namun juga terdapat dalam hasil metabolisme berupa Ekskretori/Sekretori (E/S) baik berasal dari hewan, tanaman, maupun cacing parasit (Balqis 2006). Substansi antigenik yang dihasilkan pada umumnya merupakan senyawa enzim. E/S Fasciola hepatica telah diketahui mengandung enzim enolase, leucine aminopeptidase (LAP), dan phosphoenolpyruvate carboxykinase (PEPCK) sebagai antigen yang bersifat imunodominan. Selain Fasciola hepatica, PEPCK merupakan imunogen utama yang diperoleh dari E/S telur Schistosoma mansoni (Marcilla et al. 2008). Enzim cathepsin L1 merupakan imunogen dominan pada E/S Fasciola gigantica yang telah dimanfaatkan sebagai kit diagnostik untuk mendeteksi antibodi (Ig G) akibat fasciolosis pada manusia (Wongkham et al. 2005). Glutathione S-

(4)

Transferase (GSTs) merupakan enzim yang terkandung baik dalam E/S maupun ekstrak somatik Fasciola spp yang berperan dalam detoksifikasi anthelmentik (Alirahmi et al. 2010). Sifat antigenik atau imunogenik E/S dari cacing golongan nematoda dan trematoda telah diketahui berasal dari kutikula dan tegumen. E/S yang dihasilkan oleh cacing parasitik berperan sebagai antigen yang memicu kehadiran antibodi dalam tubuh inang (Lightowlers dan Rickard 1988).

2.4 Imunitas (Respon Kekebalan)

Imunitas berasal dari bahasa latin immunis yang berarti bebas. Imunitas atau respon kekebalan merupakan kemampuan untuk mencegah terjadinya infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor virulen lainnya yang bersifat antigenik maupun imunogenik. Suatu bahan yang bersifat antigenik (antigen) artinya mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik terhadap suatu senyawa. Selain mampu merangsang pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif terhadap senyawa penginduksinya, antigen juga mampu meningkatkan respon kekebalan seluler (Wibawan et al. 2003).

Secara umum respon kekebalan tubuh terbagi dua yaitu kekebalan non-spesifik dan kekebalan non-spesifik. Respon kekebalan non-non-spesifik berupa kekebalan fisik-mekanik, kimiawi, serta seluler. Kekebalan fisik mekanik dilakukan oleh kulit dan selaput lendir. Kekebalan kimiawi dilakukan oleh cairan tubuh yang berupa keringat, air mata, cairan limfe, maupun lendir. Kekebalan seluler non-spesifik dilakukan oleh makrofag dan mikrofag atau sel polimorf nuclear (PMN) (Black 2005). Respon kekebalan spesifik berkaitan dengan sel limfosit B dan sel limfosit T. Respon kekebalan spesifik terdiri atas respon imun berperantara antibodi (respon humoral) dan respon imun berperantara sel (Wibawan et al. 2003).

Respon imun berperantara antibodi (respon humoral) melibatkan sel limfosit B. Sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi untuk menetralkan antigen interseluler. Selain sel plasma, sel limfosit B juga berdiferensiasi menjadi sel memori. Respon imun berperantara sel melibatkan sel limfosit T yang terdiri dari sel limfosit T sitotoksik dan sel limfosit T helper. Sel limfosit T sitotoksik berperan dalam menghancurkan antigen

(5)

intraseluler sedangkan sel limfosit T helper berperan untuk membantu sel limfosit B (Black 2005). Penyingkiran cacing dalam sistem pencernaan memerlukan proses rumit yang melibatkan respon kekebalan humoral dan seluler (Patterson 1995).

2.5 Antibodi Poliklonal

Antibodi hasil hiperimunisasi disebut antibodi poliklonal. Hiperimunisasi merupakan imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu imunogen spesifik. Antibodi poliklonal memiliki campuran kompleks antibodi dengan spesifitas, afinitas, dan isotipe yang berbeda. Antibodi poliklonal memiliki reaktivitas multipel yaitu bereaksi dengan sejumlah epitop (antigen determinan) yang berbeda pada antigen. Reaktivitas multipel ini dapat mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang besar dalam bentuk presipitasi. Selain itu, reaktivitas multipel antibodi poliklonal dapat menimbulkan reaksi silang. Reaksi silang yang terjadi umumnya akibat adanya antibodi terhadap antigen lain yang tidak berkaitan dan tidak relevan. Reaksi silang juga dapat terjadi karena kesamaan epitop dari antigen yang berbeda atau karena kemiripan struktur epitop antigen lain dengan epitop pembuat peka (priming epitop) yang dikenali oleh antibodi (Smith 1995).

Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut imunoglobulin (Ig). Imunoglobulin merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin secara kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan memiliki reaksi yang spesifik (Barriga 1981).

Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan sifat-sifat dasarnya (Guyton dan Hall 2007). Sifat dasar tersebut berupa derajat kelarutan dalam larutan garam, muatan elektrostatik, berat molekul dan struktur antigeniknya (Tizard 2004). Terdapat lima golongan immunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig E dan Ig D. Diantara lima golongan imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan imunoglobulin yang umum digunakan dalam produksi bahan biologis untuk immunodiagnostik. Hal tersebut dikarenakan Ig G memiliki prosentase jumlah

(6)

paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan Ig M (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer), Ig A, Ig E dan Ig D. Ig G memiliki struktur monomer dengan berat molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder (De Buysscher dan Patterson 1995).

Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas dua rantai berat identik serta dua rantai ringan (Gambar 1). Rantai berat dan rantai ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel (hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel (Guyton dan Hall 2007).

Variabel (v) atau bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki fungsi khusus untuk melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan menentukan sifat biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G dalam jaringan, pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada kompleks komplemen, serta kemudahan Ig G dalam melewati membran dan beberapa sifat biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007).

 

Gambar 1 Struktur Ig G pada mamalia (Mader 1997) Bagian Konstan Bagian Variabel Rantai Berat Rantai Ringan Tempat Pelekatan Antigen  

(7)

2.6 Adjuvant

Adjuvant merupakan senyawa yang berfungsi memperlambat pengeluaran antigen didalam tubuh. Adjuvant dapat memodifikasi imunogen atau berkerja pada tingkat sel dari respon kekebalan inang. Penambahan adjuvant dapat meningkatkan imunogenisitas melalui perubahan struktural atau elektrostatik antigen, meningkatkan agregasi molekul antigen, serta memodifikasi presentasi antigen. Adjuvant mempengaruhi sistem kekebalan inang dengan membentuk depot imunogen, menarik sel-sel mononuklear ke lokasi penyuntikan, meningkatkan sirkulasi limfosit, memodifikasi membran sel (agen aktif-dipermukaan), merangsang aktivitas sel yang terlibat dalam respon kekebalan, dan menginduksi atau menghambat pembebasan molekul-molekul kecil yang mengatur fungsi sel dalam system kekebalan (Smith 1995).

Emulsi air-dalam-minyak merupakan bentuk adjuvant paling awal. Terdapat dua tipe adjuvant emulsi air-dalam-minyak. Tipe pertama yaitu adjuvant tak lengkap Freund (Freund’s incomplete adjuvant) merupakan adjuvant tanpa campuran mikobakteri. Tipe kedua yaitu adjuvant lengkap Freund (Freund’s complete adjuvant) merupakan campuran minyak mineral dan pengemulsi dengan mikobakteri (Smith 1995).

Adjuvant lengkap Freund merupakan adjuvant yang sangat kuat. Aktivitasnya diperkuat oleh bagian aktif mikobakteri yaitu muramil dipeptida (n-acetyl-muramyl-L-alanyl-D-isoglutamin). Muramil dipeptida merangsang fungsi makrofag dan merangsang respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Rute penyuntikkan terbaik yaitu subkutan atau intradermal. Adjuvant bertindak khusus untuk merangsang fungsi sel T dan hanya meningkatkan reaksi antigen-tergantung timus. Adjuvant meningkatkan produksi Ig G melebihi Ig M (Tizard 2004).

2.7 Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

Uji presipitasi antigen-antibodi yang terlarut atau Agar gel precipitation test (AGPT) merupakan salah satu teknik imunodiagnostik yang termasuk kedalam jenis uji pengikatan sekunder yaitu mengukur hasil interaksi antigen-antibodi (kompleks antigen-antigen-antibodi) secara in vitro (Tizard 2004). Uji presipitasi ini digunakan untuk mengukur titer antibodi dalam serum secara kualitatif dan

(8)

digunakan untuk mendiagnosa fasciolosis pada kelompok ternak sapi ataupun kerbau pada penelitian Linh et al. (2003). Jumlah antibodi minimal yang dapat dideteksi pada uji AGPT yaitu 30 µg/ml antibodi. AGPT dapat digunakan untuk mendeteksi antigen yang berbeda dengan satu jenis antibodi ataupun antibodi yang berbeda dengan satu jenis antigen yang terdapat pada sampel serum (Black 2005).

Reaksi AGPT melibatkan keberadaan ion antigen divalent atau multivalent dan sangat tergantung pada proporsi antigen terhadap antibodi (Barriga 1981). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh pH, temperatur, aviditas atau kestabilan kompleks antigen-antibodi dan afinitas atau kekuatan ikatan kompleks antibodi-antigen (Tizard 2004). Pembentukan presipitasi diinisiasi oleh pembentukkan kompleks molekul antigen-antibodi yang saling bereaksi diikuti dengan proses agregasi serta sedimentasi kompleks tersebut (Barriga 1981). Presipitasi yang terbentuk mulai hitungan menit hingga jam terlihat sebagai suatu garis opaq dalam suatu media agar semisolid. Garis opaque yang terbentuk disebut sebagai garis presipitasi (Black 2005).

Gambar

Gambar  1 Struktur Ig G pada mamalia  (Mader 1997)  Bagian Konstan  Bagian Variabel Rantai Berat Rantai RinganTempat Pelekatan Antigen  

Referensi

Dokumen terkait

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran yang terjadi di

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan

Upacara Uleak dalam bahasa Suku Bangsa Rejang disebut juga dengan alek atau umbung (yang berarti pekerjaan atau kegiatan yang diaturr selama pesta

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)

Langkah atau tugas tidak dikerjakan secara benar, atau dalam urutan yang salah (bila diperlukan) atau diabaikan.. 2 Cukup Langkah atau tugas dikerjakan secara benar,

Pada TB kongenital dapat terlihat segera setelah bayi kepustakaan lain dilaporkan sampai tahun 1989 lahir, tetapi biasanya muncul pada usia minggu terdapat 300