• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN HUKUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN ANTARA SUAMI ISTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEDUDUKAN HUKUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM HAL TERJADINYA PERCERAIAN ANTARA SUAMI ISTRI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DALAM HAL

TERJADINYA PERCERAIAN ANTARA SUAMI ISTRI

A. Ruang Lingkup Harta Bersama Dalam Perkawinan 1. Pengertian Harta Bersama

Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dengan istilah “harta bersama”, yaitu kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar harta bawaan, hadiah dan warisan. Maksudnya, harta yang di dapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Karena itu, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan, yakni harta (baik bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh sejak terjalinnya hubungan suami istri yang sah melalui akad nikah, yang dapat dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai keperluan hidup mereka beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam rumah tangga.

Menurut M. Yahya Harahap49 menyatakan :

“Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan dimana suami istri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan kebutuhan kehidupan keluarga. Luas-luas harta bersama disamping penting untuk kedua belah pihak suami istri maka hal ini relevant untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, yakni :50

1. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang terdaftar diatas namakan salah seorang suami istri, maka harta yang atas nama suami atau istri dianggap sebagai harta bersama;

49 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 , (Medan : Penerbit CV. Zahir Trading Co,1975), hal. 117.

50

(2)

2. Jika harta itu dipelihara atau diusahai dan telah dialihnamakan ke atas nama adik suami jika harta yang demikian dapat dibuktikkan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami istri; 3. Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah bahwa adanya

harta bersama suami istri tidak memerlukan pembuktian bahwa istri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama perkawinan;

4. Harta yang dibeli baik oleh suami maupun istri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami istri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan;

5. Barang termasuk harta bersama suami istri yaitu :

a. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri;

b. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai

6. Mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami baik dua atau tiga istri maka penentuan harta bersama dapat diambil garis pemisah yaitu :

a. Segala harta yang telah ada antara suami dengan istri pertama sebelum perkawinannya dengan istri kedua maka istri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut;

b. Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan istri kedua ialah harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan. Jadi harta yang telah ada diantara istri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara istri pertama dengan suami dimana istri kedua terpisah dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Istri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak istri kedua itu resmi sebagai istri. c. Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti istri pertama dengan

suaminya hidup dalam satu rumah kediaman yang berdiri sendiri demikian juga istri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta istri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara istri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta kekayaan dalam rumah tangga istri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Perkawinan telah diatur pada Pasal 65 ayat (1) huruf b51 dan huruf c52 serta ayat (2), yang

51 Pasal 65 ayat (1) huruf b UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa

istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya.

(3)

memberi kemungkinan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri kemungkinan menyimpang dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini seperti membuat perjanjian yang diatur dalam Pasal 29.

Menurut Sayuti Thalib, berpendapat bahwa macam-macam harta suami istri dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu :53

1. Dilihat dari sudut asal-usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga golongan :

a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut sebagai harta bawaan;

b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersama-sama tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing;

c. Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka disebut harta pencaharian. 2. Dilihat dari sudut penggunaannya maka harta ini dipergunakan untuk :

a. Pembiayaan untuk rumah tangga, keluarga dan belanja sekolah anak-anak; b. Harta kekayaan yang lain.

3. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat harta itu akan berupa :

a. Harta milik bersama;

b. Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga;

c. Harta milik seseorang dan pemilikan dengan tegas oleh yang bersangkutan. Pada awalnya, masalah harta bersama ini muncul karena adanya prinsip masing-masing suami dan istri masih berhak menguasai harta bendanya sendiri sebagai halnya sebelum mereka menjadi suami istri, kecuali harta bersama yang tentunya dikuasai bersama. Oleh karena itu, harta keluarga (gezinsgoed) dapat disimpulkan dalam empat sumber yaitu :

52 Pasal 65 ayat (1) huruf c UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa

semua istri mempunyai hak bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

53

(4)

1. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri; 2. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka nikah;

3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan;

4. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami istri dan selain dari harta warisan.

Menurut Ismail Muhammad Syah, menyatakan bahwa, keempat macam sumber harta ini dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu harta bersama yang dimiliki dan dikuasai bersama dan harta masing-masing yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing dari suami dan istri.54

Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat disebut harta kekayaan. Konsep harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum yang keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan sedangkan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.55

2. Pengertian Harta Bawaan

Harta jenis kedua yang terdapat dalam suatu ikatan perkawinan sebagaimana hal itu diatur dalam Pasal 35 ayat (2) jo Pasal 36 ayat (2) UUP. Pasal 35 ayat (2), harta bawaan dari masing suami dan istri dan harta yang diperoleh

54

Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Istri di Aceh Ditinjau Dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam, Disertasi dalam Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 1984, hal. 148.

55 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya,

(5)

masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Mengenai harta warisan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) tersebut merupakan asas tiori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam, dimana istri tersebut tetap memegang kekayaan sebagai subjek hukum atas segala miliknya sendiri. Menguasai hasil pencarian yang diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya. Berhak menerima hibah dan warisan selama perkawinan masih berlangsung. Dan dengan sendirinya menjadi hak dan berada dibawah pengawasannya sendiri. Jadi baik barang sesudah perkawinan, hukum Islam menganggap kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah antara yang satu dengan yang lain dan tidak ada percampuran.56

Adapun kriteria harta bawaan menurut beberapa doktrin antara lain :

1. Menurut Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif57, harta pribadi adalah harta bawaan masing-masing suami istri yang merupakan harta tetap di bawah penguasaan suami istri yang merupakan harta yang bersangkutan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh suami istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Harta pribadi meliputi :

a. Harta yang dibawa masing-masing suami istri ke dalam perkawinan termasuk hutang yang belum dilunasi sebelum perkawinan dilangsungkan;

b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak lain kecuali ditentukan lain;

c. Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan kecuali ditentukan lain;

56

M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Op.Cit, hal. 128.

57 Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

(6)

d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami istri sepanjang perkawinan berlangsung termasuk hutang yang timbul akibat pengurusan harta milik pribadi tersebut.

2. Menurut J. Satrio58, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 di dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta, salah satunya yakni harta pribadi.

Menurut Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan tidak termasuk ke dalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi tersebut dapat dibedakan lagi meliputi harta bawaan suami atau istri yang bersangkutan, harta yang diperoleh suami atau istri sebagai hadiah, hibah atau warisan.

Akan tetapi jika diteliti dalam kalimat Pasal 36 ayat (2) UUP, seolah-olah Undang-Undang ini membuat perbedaan antara barang-barang milik masing-masing pribadi dalam pengertian59 :

1. a. Harta bawaan dari masing-masing suami istri;

b.dan Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan sesudah perkawinan;

Barang-barang ini dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain;

2. Pasal 36 ayat (2) membuat pengkhususan, yaitu mengenai harta “bawaan” masing-masing suami dan istri mempunyai hak “sepenuhnya” untuk melakukan pembuatan hukum mengenai harta bendanya.

Jika dipertegas, mengenai harta bawaan masing-masing mempunyai :

58

J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,1991), hal. 66.

59 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan

(7)

a. Hak sepenuhnya;

b. Hak melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan tersebut.

Ini suatu pertanyaan, karena pada Pasal 35 ayat (2) UUP sudah jelas apa yang disebut harta benda kekayaan masing-masing suami dan istri, yakni :

1. Harta bawaan masing-masing suami dan istri;

2. Harta yang diperoleh sesudah perkawinan termasuk penghibahan, hadiah dan mendapat warisan.

Dari semua harta ini, baik harta bawaan, hibah, hadiah dan perolehan karena warisan berada dibawah “penguasaan masing-masing”. Tetapi Pasal 36 ayat (2) lain lagi bunyinya, yang hanya menyebut harta bawaan saja, masing-masing suami dan istri yang mempunyai hak sepenuhnya dan untuk melakukan segala perbuatan hukum atas harta bendanya.

Maka atas dasar ketentuan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan yang kurang jelas mengenai hubungan kedua ketentuan diatas. Ketidak jelasan itu menyangkut harta benda yang diperoleh secara pribadi didalam perkawinan, seperti mendapat hibah, hadiah dan warisan. Sebab jika mengenai harta bawaan sudah tidak keraguan lagi, yaitu masing-masing mempunyai hak mutlak yang penuh dan bebas bertindak berbuat apa sajapun terhadap harta bawaan itu, sepanjang perbuatan yang dibenarkan hukum. Tetapi bagaimana nasib harta milik pribadi yang lain tersebut (hadiah, hibah dan warisan). Karena ketentuan dalam Pasal 35 ayat (2) semua harta benda milik bawaan dan yang diperoleh masing-masing (hibah, hadiah dan warisan) berada dibawah penguasaan masing-masing.

(8)

Akan tetapi dalam Pasal 36 ayat (2) hanya harta bawaan saja yang dikuasai dan dimiliki sepenuhnya. Ini menjadi teka teki yang sulit dipecahkan. Sebab jika disebutkan hibah, hadiah dan warisan itu termasuk harta benda bersama juga tidak dapat karena sudah diatur secara terpisah pada Pasal 35 ayat (1) sedangkan hibah, hadiah dan warisan yang dikategorikan sebagai milik masing-masing yang berada dibawah penguasaan masing-masing seperti yang ditentukan pada ayat (2).

Untuk itu pemecahan yang paling tepat sesuai latar belakang kesadaran berdasar hukum adat ketentuan tersebut harus ditafsirkan seperti :

1. Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam perkawinan, terhadap kedua harta inilah yang dimaksudkan oleh Pasal 36 ayat (2), masing-masing berhak dan berkuasa penuh menurut hukum atas harta-harta tersebut; 2. Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau atas hasil jerih payah masing-masing

termasuk pada kategori Pasal 35 ayat (2), yaitu berada dibawah pengawasannya masing-masing, tetapi penguasannya tidak mutlak sepenuhnya seperti berlaku terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi pengawasan ada ditangan pihak-pihak tapi bagaimana dan kemanfaatan tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemiliknya.

3. Prinsip Perjanjian Perkawinan Tentang Harta Bersama

Perjanjian perkawinan atau istilah lainnya adalah pre-nuptial agreement adalah perjanjian yang dilaksanakan sebelum terjadinya perkawinan. UU Perkawinan mengatur hal tersebut dalam Pasal 29. Dalam membuat perjanjian perkawinan, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, hukum dan agama.

(9)

Perjanjian sebagaimana tersebut diatas harus dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta otentik di muka notaris dan harus disahkan oleh pejabat pencatat nikah. Akta otentik ini sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan Pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing suami istri. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka terjadi pembauran semua harta suami dan istri dan harta suami dan istri dianggap harta bersama.

Dalam KUHPerdata ditentukan, bahwa perkawinan suami istri yang tidak didahului dengan perjanjian kawin mengakibatkan terjadinya persatuan bulat harta kekayaan perkawinan (algehele gemeenschup van goederen). Persatuan bulat ini meliputi harta yang mereka bawa dalam perkawinan, barang bawaan maupun harta yang mereka peroleh selama perkawinan (harta pencarian) demikian ditentukan Pasal 190 KUHPerdata. Dalam hal terjadinya persatuan bulat harta kekayaan perkawinan, maka dalam perkawinan tersebut pada prinsipnya hanya ada satu jenis harta kekayaan yaitu harta bersama suami istri.60

KUHPerdata mengatur pengecualian terhadap ketentuan tentang persatuan bulat harta kekayaan perkawinan, yaitu bilamana terdapat hubungan sangat pribadi antara harta dengan pemiliknya dan bilamana suami atau istri menerima harta secara cuma-cuma dimana si pewaris, pemberi testamen maupun penghibah menyatakan dengan tegas, bahwa harta yang diwariskan atau dihibahkan menjadi milik pribadi suami atau istri yang menerimanya (Pasal 120 juncto Pasal 176 KUHPerdata).

60

(10)

Dalam hal demikian, maka walaupun suami istri tersebut melangsungkan perkawinan tanpa membuat perjanjian kawin, namun dalam perkawinan tersebut terdapat dua bahkan tiga macam harta kekayaan perkawinan, yaitu harta persatuan, harta pribadi suami dan/atau harta pribadi istri. Jika dalam perkawinan baik suami maupun istri masing-masing menerima secara cuma-cuma harta menurut Pasal 120 juncto Pasal 176 KUHPerdata, maka dalam perkawinan itu terdapat tiga jenis harta yaitu harta persatuan, harta pribadi suami dan harta pribadi istri. Namun jika hanya salah seorang dari suami istri tersebut yang memperoleh harta secara cuma-cuma berdasar Pasal 120 juncto Pasal 176 KUHPerdata, maka dalam perkawinan itu hanya terdapat dua macam harta, yaitu harta pribadi suami dengan harta persatuan atau harta pribadi istri dengan harta persatuan.

Penyimpangan terhadap ketentuan tentang persatuan bulat harta kekayaan dalam perkawinan dapat dilakukan oleh suami dan istri dengan cara membuat perjanjian kawin yang dituangkan dalam bentuk akta notaris dan dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 130 juncto Pasal 147 KUHPerdata). Isi perjanjian kawin dalam hal ini dapat berupa persatuan terbatas harta kekayaan perkawinan

(beperkte gemeenschap van goederen), pemisahan mutlak harta kekayaan perkawinan (uitsluiting van alle gemeenschap van goederen) dan penyimpangan terhadap

pengelolaan harta kekayaan perkawinan.

Dalam hal perjanjian kawin berisi persatuan terbatas harta kekayaan perkawinan, maka dalam ikatan perkawinan itu terdapat tiga jenis harta, yaitu harta

(11)

kekayaan persatuan (harta kekayaan bersama suami dan istri), harta pribadi suami dan harta pribadi istri.

KUHPerdata mengatur dua jenis persatuan terbatas harta kekayaan perkawinan, yaitu:

1. Persatuan untung dan rugi (gemeenschap van winst en verlies, Pasal 155 KUHPerdata dan seterusnya).61

Untuk mengadakan perjanjian kawin yang mengatur persatuan untung dan rugi, calon suami istri harus menentukan dalam perjanjian adalah sebagai berikut : a. dengan tegas bahwa mereka menghendaki persatuan untung dan rugi (Pasal

155 KUHPerdata) atau

b. bahwa mereka meniadakan persatuan harta kekayaan (Pasal 144 KUHPerdata).

Dengan demikian, ada dua cara untuk menentukan persatuan untung dan rugi dalam perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon suami istri.

Pada perjanjian persatuan untung dan rugi, yang menjadi milik dan beban bersama adalah untung yang diperoleh sepanjang perkawinan dan rugi yang diderita sepanjang perkawinan. Harta kekayaan (segala keuntungan dan kerugian) suami istri yang dibawa kedalam perkawinan dan harta kekayaan yang diperoleh masing-masing secara cuma-cuma (hibah, warisan, wasiat) sepanjang

61 Ko Tjai Sing, Hukum Perdata, Hukum Peorangan, Hukum Keluarga, (Semarang : Penerbit

(12)

perkawinan, tetap menjadi milik pribadi suami istri atau istri dan tidak masuk dalam persatuan. Dengan demikian terdapat 3 (tiga) harta kekayaan yaitu62 : 1). Milik pribadi suami;

2). Milik pribadi istri;

3). Untung dan rugi yang masuk dalam persatuan.

Berdasarkan Pasal 156 KUHPerdata, suami istri masing-masing akan mendapat dan menanggung setengah bagian dari keuntungan dan kerugian. Namun, hal tersebut dapat dilakukan penyimpangan, maksudnya adalah bahwa bagian masing-masing suami istri baik keuntungan maupun kerugian bisa berbeda, tergantung dari apa yang diatur dalam perjanjian kawin. Perlu diperhatikan bahwa segala ketentuan dalam persatuan bulat, selama dalam perjanjian kawin tidak menentukan lain maka berlaku juga bagi persatuan untung rugi.

2. Persatuan hasil dan pendapatan (gemeenschap van vruchten en inkomsten, Pasal 164 KUHPerdata dan seterusnya).

Mengenai persatuan hasil dan pendapatan, diatur dalam Pasal 164 KUHPerdata. Dalam perjanjian kawin, persatuan hasil dan pendapatan, maksudnya adalah bahwa antara suami dan istri hanya akan ada persatuan hasil dan pendapatan yang berarti tidak ada persatuan bulat menurut Undang-Undang dan tidak ada persatuan hasil dan pendapatan. Persatuan hasil dan pendapatan pada dasarnya sama dengan persatuan untung dan rugi, yang membedakan adalah bahwa apabila dalam persatuan tersebut menunjukkan kerugian, maka hanya suami yang

62

(13)

menanggung. Sedangkan apabila terjadi keuntungan, maka ditanggung bersama dengan istri, sehingga dengan demikian istri tidak mungkin atau diwajibkan menanggung kerugian.63 Pengaturan bentuk perjanjian kawin sebagaimana dituangkan dalam KUHPerdata dimaksudkan agar calon suami istri pada saat membuat perjanjian kawin dapat memilih bentuk perjanjian yang disepakati cukup dengan merujuk pada salah satu dari ketiga macam bentuk perjanjian kawin tersebut.64

Dalam hal perjanjian kawin berisi pemisahan mutlak harta kekayaan perkawinan, maka dalam ikatan perkawinan suami istri terdapat dua jenis harta, yaitu harta pribadi suami dan harta pribadi istri.65

Jika ketentuan KUHPerdata tentang harta kekayaan perkawinan dibandingkan dengan ketentuan UU Perkawinan, maka diantara keduanya terdapat perbedaan yang besar sekali. Menurut UU Perkawinan, perkawinan yang dilangsungkan dengan tanpa perjanjian kawin, dalam perkawinan tersebut terdapat tiga jenis harta, yaitu harta persatuan, harta pribadi suami dan harta pribadi istri. Sedangkan menurut KUHPerdata dalam keadaan demkian hanya terdapat satu jenis harta yaitu harta persatuan.

Calon suami istri juga dapat membuat perjanjian kawin tentang pengelolaan harta kekayaan perkawinan yang menyimpang dari ketentuan KUHPerdata. Menurut

63

Ibid, hal. 268-269.

64 H.M. Ridhan Indra, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Penerbit CV. Haji

Masagung, 1994), hal. 101.

65 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

(14)

KUHPerdata, pengelolaan terhadap harta kekayaan perkawinan sepenuhnya berada di tangan suami. Ia dapat menjual, memindahtangankan dan membebani harta kekayaan perkawinan tanpa campur tangan istri (Pasal 124 KUHPerdata). Untuk membatasi kekuasaan suami tersebut, maka calon suami istri dapat membuat perjanjian kawin yang isinya istri mengelola sendiri harta pribadinya atau tanpa campur tangan istri, suami tidak boleh memindahtangankan harta persatuan yang berasal dari si istri atau yang diperoleh si istri selama perkawinan berlangsung (Pasal 140 ayat (2) dan ayat (3) KUHPerdata).66 Hal ini sebagaimana diatur dalam Putusan MA Nomor 2691 K/Pdt/1996, tanggal 18 September 1998, kaidah hukum “perjanjian lisan, baru merupakan perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti dan belum dibuat di depan Notaris, belum mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum”, “tindakan terhadap harta bersama oleh suami dan istri harus mendapat persetujuan suami istri”, “perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri maka perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum”.

B. Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Terjadinya Perceraian Antara Suami Istri

1. Asas Hukum Harta Bersama Dalam Undang-Undang

Suatu asas telah terpancang, yakni semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Asas ini telah dikembangkan

66

(15)

secara enumeratif dalam praktek peradilan seperti yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, sehingga daya jangkaunya menjadi demikian luas. Berdasarkan pengembangan tersebut, maka harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah :67

a. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung

Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar, dan dimana letaknya, tidak menjadi persoalan. Ini sudah merupakan yurisprudensi tetap, yang salah satu di antaranya adalah putusan M.A Nomor 803K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1971, yang menegaskan bahwa harta yang dibeli oleh suami atau istri di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama suami istri jika pembeliannya dilakukan selama perkawinan. 68

Tetapi, jika uang pembelian barang itu berasal dari harta pribadi suami atau istri, maka barang tersebut tidak masuk dalam yurisdiksi harta bersama, melainkan menjadi milik pribadi suami atau istri yang bersangkutan. Hal ini tertuang dalam Putusan M.A No. 151K/Sip/1974, tanggal 16 Desember 1975, yang menegaskan bahwa barang-barang yang dituntut bukanlah barang gono gini antara Abdullah dan Fatimah karena barang tersebut dibeli dari harta bawaan

67 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

(Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989), (Jakarta : Penerbit Pustaka Kartini,1990), hal. 303-306.

68

(16)

milik pribadi Fatimah.69 Demikian juga halnya jika biaya perwujudan barang tersebut berasal dari harta bawaan, maka barang itu bukan yurisdiksi harta bersama, melainkan sebagai harta bawaan. Hal ini ditegaskan dalam Putusan M.A Nomor 237K/AG/1977, tanggal 12 Maret 1977 jo Putusan PTA No. 69/Pdt.G/1996/PTA.Mdn., tanggal 14 April 1997, jo. Putusan PA No. 38/Pdt.G/1996/PA.Bji., tanggal 10 Oktober 1996, yang salah satu pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan bahwa rumah yang dibangun dari harta bawaan, bukan harta bersama tetapi harta bawaan.70

b. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta bersama Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian. Misalnya, suami istri selama perkawinan mempunyai deposito. Kemudian terjadi perceraian. Deposito tersebut dikuasai oleh suami dan belum dilakukan pembagian. Dari deposito tersebut suami membangun rumah. Di sini, rumah tersebut termasuk dalam yurisdiksi harta bersama. Penerapan yang demikian ini sejalan dengan jiwa Putusan M.A No. 803/K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1970, yang

69

Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata dan Acara Perdata, (Jakarta : Mahkamah Agung Republik Indonesia,1997), hal. 80.

70 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Yurisprudensi Peradilan Agama,

(17)

pada intinya antara lain menyatakan bahwa apa saja yang dibeli, jika yang pembeliannya itu berasal dari harta bersama, menjadi yurisdiksi harta bersama.71

M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penerapan seperti ini harus dipegang secara teguh guna menghindari manipulasi dan itikad buruk ex suami atau istri. Sebab, dengan penerapan demikian, hukum tetap dapat menjangkau harta bersama sekalipun harta itu telah berubah menjadi barang lain. Misalnya, harta bersama yang mulanya berupa tanah kebun yang telah berubah menjadi gedung, maka gedung tersebut tetap menjadi yurisdiksi harta bersama. Jika hukum tidak mampu menjangkau hal yang demikian, tentu akan banyak terjadi manipulasi harta bersama pasca terjadinya perceraian oleh ex suami atau istri, dengan tujuan agar semua harta bersama dapat dikuasainya. Tindakan dan itikad yang seperti itu bertentangan dengan nilai-nilai hukum, keadilan dan kepatutan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya perlu ditetapkan suatu kemutlakan harta bersama yang tetap melekat pada setiap barang dalam jenis dan bentuk apapun, sepanjang barang itu berasal dari harta bersama, walau itu diperoleh dan dibeli pasca terjadinya perceraian.72

c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan

Ini sangat relevan dengan kaidah hukum mengenai harta bersama, yakni semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun dalam banyak kasus, sengketa harta bersama

71 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

(Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989), Op.Cit, hal. 304.

72

(18)

berjalan tidak semulus dan sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Pada umumnya, dalam setiap sengketa harta bersama, pihak Tergugat menyangkal bahwa objek gugatan bukan sebagai harta bersama, melainkan milik pribadi Tergugat. Jika demikian dalil jawaban yang dikemukakan Tergugat, maka patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak, sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan Penggugat membuktikan dalil gugatannya bahwa objek sengketa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari harta pribadi.

Penerapan ini tertuang dalam Putusan PT Medan, tanggal 26 November 1975 yang pada intinya antara lain menyatakan bahwa pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinan dengan suaminya dan malah terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin mendirikan bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinan dengan suaminya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara suami atau istri, sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama istri. Dalam tingkat kasasi, M.A dengan Putusan No. 808K/Sip/1974, tanggal 30 Juli 1974, tanggal 30 Juli 1974, menguatkan Putusan PT Medan tersebut. M.A menentukan bahwa masalah atas nama siapa harta itu terdaftar, bukanlah faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta masuk yurisdiksi harta bersama, sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan pembiayaannya berasal dari harta bersama. Bahkan bukan hanya

(19)

harta yang terdaftar atas nama suami atau istri yang menjadi yurisdiksi harta bersama, melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/istri pun, tetap menjadi yurisdiksi harta bersama, asal dapat membuktikan bahwa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan M.A No. 103/K/Sip/1972, tanggal 23 Mei 1973, yang antara lain pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sekali pun toko dan barang yang ada didalamnya telah diusahai dan dialihnamakan atas nama adik suami, akan tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu masih terikat dalam perkawinan dengan istrinya, maka harta tersebut harus dinyatakan sebagai harta bersama, yang dapat diperhitungkan pembagiannya di antara suami istri.73

d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tapi bukan hanya barang yang berasal dari harta bersama saja yang menjadi yurisdiksi harta bersama, melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau istri. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tapi hasil dari barang tersebut menjadi yurisdiksi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.74

73 Ibid., hal. 305.

74

(20)

Di sini harus dibedakan antara harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, secara mutlak menjadi yurisdiksi harta pribadi. Begitu pula milik pribadi yang ditukar dengan barang lain, mutlak menjadi milik pribadi, tetapi hasil yang timbul dari harta pribadi itu jatuh menjadi harta bersama.75

e. Segala penghasilan pribadi suami atau istri

Patokan ini sesuai dengan Putusan M.A No. 454/K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 yang pada intinya menyatakan bahwa segala penghasilan suami/istri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri.76 Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami/istri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan sebagai harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi suami/istri ini terjadi demi hukum, sepanjang suami atau istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

2. Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

UU Perkawinan, merupakan unifikasi hukum dalam bidang perkawinan bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Sebagaimana diketahui sebelumnya di Indonesia

75 Ibid.

76

(21)

terdapat pluralisme hukum perkawinan. Dalam Pasal 67 UU Perkawinan disebutkan bahwa:

Ayat (1) : Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah; Ayat (2) : Hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

Dalam Pasal 67 ayat (1) UU Perkawinan digunakan istilah “berlaku secara efektif” dalam UU Perkawinan mengandung makna ketentuan-ketentuan UU Perkawinan yang memerlukan peraturan pelaksanaan dan sudah ada peraturan pelaksanaanya, maka ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dalam keadaan mulai berlaku (dalam arti mulai dijalankan) dan menimbulkan akibat (hukum).77

Ketentuan UU Perkawinan yang menyangkut Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, termasuk dalam ketentuan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan. Oleh karena sampai saat sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan UU Perkawinan tentang harta kekayaan perkawinan belum berlaku secara efektif.78

Namun demikian beberapa sarjana hukum memberikan pandangan yang berbeda. Pendapat Mahadi yang menyatakan bahwa, Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan merupakan bahan jadi dan siap untuk dipakai.79 Masih berkaitan

77 Mochammad Djai’is, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, (Semarang : Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,2006), hal. 33.

78 Ibid. 79

(22)

dengan hal di atas, Retno Wulan Sutantio mengatakan bahwa, hukum yang mengatur harta benda dalam perkawinan, tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan dapat diterapkan, kemudian dikembangkan melalui yurisprudensi.80

Mengenai pembagian harta bersama pasca perceraian, UU Perkawinan tidak mengatur secara tegas merumuskan hukum yang berlaku dalam pembagiannya karena diserahkan pembagian tersebut kepada hukum masing-masing. Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud hukum masing-masing ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Pembagian menurut hukum masing-masing ini yang akan menjadi benturan dalam penggunaan hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict of law karena pengaturan harta benda perkawinan dan pembagian harta bersama pasca perceraian menurut hukum agama dan hukum adat berbeda yang memiliki aturan masing-masing.81

Mengenai hal ini M.Yahya Harahap82 berkomentar, Barang kali sekurang-kurangnya pembuat Undang-Undang masih ragu-ragu tentang apa yang benar-benar hidup dalam soal perceraian dan pembagian harta kekayaan. Sebenarnya kalau terjadi keraguan dalam soal ini dirasa keraguan itu kurang tegas sebab kalau terdapat

80 Retno Wulan Sutantio, Masalah-Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, makalah

diajukan pada Simposium Hukum Waris Tentang Perkembangan Hukum Waris Dalam Era Pembangunan, BPHN, Jakarta, Tanggal 1-2 Nopember 1989, hal. 6.

81 Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia, (Jakarta : Badan Penerbit Hukum Universitas Indonesia,2004), hal. 123.

82 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan

(23)

keraguan dalam cara pemecahannya tentu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam meletakkan lembaga harta bersama itupun pembuat Undang-Undang kalau begitu masih ragu-ragu.

Keraguan dalam menetapkan aturan hukum yang berlaku dalam bidang harta bersama ini tentu akan menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, apabila perkawinan itu putus baik karena perceraian maupun karena kematian.

Untuk mengatasi kesulitan itu, Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 1975, mengeluarkan Surat Nomor M.A/Pemb/0807/1975 tentang Petunjuk-Petunjuk M.A. mengenai Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, di mana pada sub 4 dikatakan bahwa tentang harta benda dalam perkawinan ternyata tidak diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama.83

Sekalipun Surat Mahkamah Agung bukan merupakan ketentuan umum, paling tidak bukan dimaksudkan untuk mengikat umum, tetapi mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan Tinggi, yang tidak lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan secara damai antara para pihak, dengan demikian secara tidak langsung Surat Mahkamah Agung

83 Runtung, Menuju Unifikasi Hukum Harta Perkawinan di Indonesia (Toward a Legal

(24)

tersebut mempunyai daya mengikat umum dan karenanya patut untuk kita perhatikan.84

Pada masyarakat yang tunduk kepada hukum adat, kedudukan harta bersama pada masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental, pengaturannya masing-masing berbeda.

Pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan parental pandangan mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama dari suami istri sudah dianut sejak lama. Harta gono gini dalam perkawinan cukup dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dari hasil pencaharian suami dan/atau istri selama perkawinan, walaupun harta pencaharian itu hasil kegiatan suami saja atau istri saja. 85 Hal yang sama juga dinyatakan dalam kasus Suwarni binti Parto melawan Saikun bin Wongso, di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, putusan Mahkamah Agung RI Nomor 120 K/Sip/1960 tanggal 9 April 1960, bahwa sudah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung RI bahwa harta pencaharian harus dibagi sama rata antara suami istri jika terjadi perceraian.86

Kemajuan yang telah terjadi dalam masyarakat sebagai dampak positif dari proses pembangunan berkelanjutan, terutama di bidang pendidikan, teknologi transportasi dan komunikasi, ternyata juga mempengaruhi cara berpikir dan kesadaran hukum masyarakat. Termasuk kesadaran hukum tentang pengertian dan

84 J.Satrio, Op. Cit, hal. 10. 85 Runtung, Op.Cit, hal. 70-81.

86 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Penerbit CV.

(25)

kedudukan harta kekayaan keluarga yang diperoleh selama perkawinan kearah pengakuan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri, seperti terjadi pada masyarakat Batak (patrilineal) di Sumatera Utara, perjuangan istri kearah pengakuan adanya harta bersama dalam keluarga sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan berhasil.87 Keberhasilan perjuangan istri mendapatkan statusnya sebagai pemilik bersama atas semua harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan ditandai dengan keluarnya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 100 K/Sip/1967, tanggal 4 Januari 1968 jo putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 83/1965 tanggal 2 Nopember 1966 dalam kasus Tangsi Bukit lawan Pengidahen boru Meliala dan Mull boru Bukit.88 Dalam kasus ini MARI menentukan dalam hal suaminya meninggal dunia, janda berhak mendapatkan separuh dari harta bersama, dan sisanya diwariskan kepada janda dan anak-anak pewaris dengan bagian yang sama besarnya.

Pada masyarakat Minangkabau perkembangan ke arah pengakuan adanya harta bersama dalam perkawinan terjadi sejak tahun 1934, melalui putusan Raad van

Justitie Padang tanggal 20 September 1934 (T.142-205) yang menyatakan sebagai

harta bersama suami istri, hanya dianggap sebagai harta yang diperoleh dengan usaha bersama yang nyata dari suami istri. Putusan ini menolak sesuatu yang khayal (fictie) yang menyatakan mengurus rumah tangga sebagaimana dilakukan istri dapat

87 Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Hukum Kekeluargaan,

Perkawinan, Pewarisan, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,1993), hal. 151-153.

88

(26)

dianggap sebagai kerja sama dengan suami.89 Putusan ini menggambarkan bahwa untuk adanya suatu harta bersama dalam suatu perkawinan itu harus ada usaha bersama yang nyata antara suami dan istri dalam memperoleh harta tersebut. Jika tidak ada kerjasama yang nyata, maka harta pencaharian masing-masing suami dan istri selama ikatan perkawinan merupakan milik masing-masing yang memperolehnya.

Pada periode berikutnya melalui putusan Raad van Justitie tanggal 23 Desember 1937 (T.149-302) dinyatakan bahwa syarat adanya kerja sama suami dan istri itu adalah mutlak untuk daerah di luar kota besar dan dilingkungan para petani. Tetapi bagi mereka yang ambil bagian dalam perdagangan umum, seperti di kota-kota besar, di daerah pesisir dan para saudagar, maka adat yang berlaku ialah terhadap harta yang diperoleh semasa perkawinan, ketika perkawinan itu berakhir dibagi diantara suami dan istri dalam bagian yang sama, yang dikatakan harta pasuarangan itu tidak disyaratkan diperolehnya atas usaha bersama suami istri.90

Seminar Hukum Adat Minangkabau di Padang dari tanggal 21 sampai dengan 25 Juni 1968 yang dihadiri oleh cendikiawan yang mewakili seluruh lapisan masyarakat Minangkabau pada bagian F.II dari keputusannya, antara lain menetapkan:

1. Harta pencaharian diwarisi oleh ahli waris menurut hukum Faraid;

89 Ibid, hal. 161.

90

(27)

2. Yang dimaksud dengan harta pencaharian ialah seperdua dari harta yang didapat oleh seseorang selama perkawinannya ditambah dengan harta bawaannya sendiri; 3. Seseorang dibenarkan berwasiat, baik kepada kemanakan maupun kepada yang

lainnya, hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencahariannya. Yang selanjutnya pada keputusan C.II.e.2 ditetapkan “Berhubung I.K.A.H.I Sumatera Barat ikut serta mengambil keputusan dalam seminar ini, maka seminar menyerukan kepada seluruh Hakim-hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan ketetapan seminar ini.91

Keputusan Seminar Hukum Adat Minangkabau ini telah memperjelas lagi bagaimana pergeseran kesadaran hukum, masyarakat Minangkabau kearah pengakuan bahwa harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama. Hak masing-masing suami istri atas harta bersama itu masing-masing setengah bagian.

Hukum Islam tidak mengenal adanya harta bersama, dalam perkawinan sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surat al Nisa 4: 32 yang artinya “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan …”.92

Terkecuali ada kerjasama yang nyata, antara suami dan

91 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Op.Cit, hal. 289-290. 92 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada,

(28)

istri dalam memperoleh harta tersebut, yang dalam istilah muamalat dapat dikatagorikan sebagai syirkah atau join antara suami dan istri.93

Ahmad Rofiq membagi syirkah ini dalam dua macam, yaitu syirkah al-abdan dan syirkah inan. Dalam syirkah al-abdan adanya kerjasama antara suami dan istri itu dilihat pada pembagian tugas antara keduanya dalam mengatur manajemen rumah tangga, di mana suami bertindak mencari nafkah untuk modal mengelola rumah tangga dan istri andil jasa dan tenaganya untuk mengatur manajemen ekonomi rumah tangga. Sedangkan pada syirkah inan, masing-masing suami dan istri mendatangkan modal dan di kelola bersama.94 Dengan demikian untuk adanya harta bersama harus ada kerjasama yang nyata antara suami dan istri dalam memperoleh harta tersebut. Namun keadaan ini telah mengalami pergeseran, seiring dengan terjadinya perkembangan kesadaran hukum dalam masyarakat itu sendiri. Yakni salah satu pasal dalam Pasal 85 KHI yang mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan menyatakan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Berdasarkan pasal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat penggabungan hak milik menjadi harta bersama didalam perkawinan. Dan prinsip cara pembagian harta bersama diatur dalam Pasal 97 KHI yang berbunyi janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

93 Ibid, hal. 200-201. 94

(29)

Pembagian harta bersama menurut KUHPerdata, apabila perkawinannya dengan persatuan harta benda, maka menurut Pasal 232 pembagiannya harus dilakukan menurut cara-cara seperti tersebut dalam Bab Keenam. Pasal 128 KUHPerdata menentukan, bahwa harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, dengan tidak memperdulikan dari pihak mana asalnya barang-barang tersebut. Keadaan ini akan memungkinkan orang yang tadinya miskin, mungkin akan mendadak jadi kaya raya setelah ia menikah dengan orang yang hartawan dan kemudian cerai dengannya.

Akan tetapi Pasal 232 ayat (1) KUHPerdata menentukan, bahwa apabila kemudian terjadi kawin ulang antara keduanya, maka segala perhubungan antara mereka dikembalikan kepada keadaan sebelum ada perceraian perkawinan, dan dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka. Karena itu harta kekayaan yang diperoleh oleh pihak yang mendadak kaya karena perceraian tadi, tidak boleh diselewengkan dan harus dikembalikan pada harta perkawinan mereka kembali.95

C. Kedudukan Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istri Terhadap Pihak Ketiga

Dengan keputusan Pengadilan tentang pemecahan harta persatuan maka harta tersebut siap untuk dibagi antara suami dan istri. Antara waktu sesudah keputusan Pengadilan mengenai perpecahan dan pelaksanaan pembagian, persatuan harta

95 H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Ghalia

(30)

tersebut menjadi persatuan yang “mati”.96

Dengan akibat bahwa karena persatuan tersebut sudah mati, maka suami istri sebagai yang berhak atas persatuan tersebut, tidak dapat lagi mengikatkan persatuan tersebut kepada pihak ketiga. Jika suami melakukan tindakan-tindakan atas nama persatuan tersebut, maka tindakannya tidak sah lagi dan karenanya hanya mengikat dirinya secara pribadi. Sesudah persatuan itu “mati”, sesudah ada pemecahan harta persatuan, istri memperoleh kembali hak

beheernya.

Pembagian harta persatuan dilakukan dengan membagi harta tersebut menjadi dua bagian yang sama, suami mendapat satu bagian (1/2 harta persatuan) dan satu bagian yang lain untuk istri.

Jika suami melakukan tindakan-tindakan atas nama persatuan tersebut, maka tindakannya tidak sah lagi, dan karenanya hanya mengikat dirinya secara pribadi. Karenanya pembagian juga tidak dilakukan dengan membagi tiap-tiap satuan (harta) menjadi 2 (dua) bagian. Yang benar adalah masing-masing suami istri, dalam hal harta persatuan dibagi jadi tidak atau bukan sepanjang masih berlangsung mempunyai hak atas ½ (setengah) nilai harta tersebut, tanpa memandang dari siapa harta tersebut berasal97. Perkecualiannya atas asas tersebut diatur dalam Pasal 129 KUHPerdata98.

96

J.G. Klaassen, J. Eggens, J.M. Polak, Huwelijkgoederen en Erfrecht, Handleiding bij de Studie en Praktijk, (Tjeenk Willink, Zwolle, Cetakan kedelapan, 1956), hal. 44.

97 Pasal 128 KUHPerdata menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Setelah bubarnya persatuan maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri atau antara para ahli waris mereka masing-masing dengan tak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya.

Ayat (2) : Ketentuan-ketentuan tertera dalam bab tujuh belas buku ke dua mengenai pemisahan harta peninggalan berlaku terhadap pembagian harta benda persatuan menurut Undang-Undang. (R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1986), hal. 31)

(31)

Kesemuanya dengan memperhitungkan harga atau niat barang-barang tersebut atas dasar perhitungan antara mereka sendiri atau dengan melalui taksiran ahli.99

Karenanya pemecahan tersebut tidak menghilangkan kewajiban suami untuk bersama-sama istri memikul pengeluaran-pengeluaran rumah tangga dan pendidikan anak. Jika semua pengeluaran-pengeluaran sehari-hari (bersama) semula merupakan pengeluaran harta persatuan, jadi secara tidak langsung dipikul sama berat antara suami istri.100 Maka sesudah dibaginya harta persatuan jadi sudah tak ada persatuan harta lagi, suami dan istri memikul pengeluaran tersebut menurut imbangan kekayaan mereka.101 Pemecahan dan pembagian harta persatuan tidak menghapuskan kewajiban suami istri, agar mereka saling setia dan saling bantu membantu.102

Kedudukan hukum harta bersama dalam suatu perkawinan yang diakhiri dengan perceraian suami istri mempunyai akibat hukum terhadap pemecahan harta persatuan dalam perkawinan tersebut. Akibat hukumnya meliputi :

98 Pasal 129 KUHPerdata menyatakan bahwa Pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan dan

perkakas termasuk dalam mata pencaharian salah satu dari suami istri, seperti pun perpustakaan dan himpunan-himpunan barang-barang kesenian dan keilmuan dan akhirnya pun surat-surat atau tanda-tanda peringatan keturunan salah satu dari suami istri boleh diminta kembali oleh pihak asalnya semula dengan pembayaran akan harganya yang harus ditaksir secara damai atau oleh ahli-ahli. Ibid, hal. 31-32)

99

J.G. Klaassen, J. Eggens, J.M. Polak, Op.Cit, hal. 45.

100 Dikatakan secara tidak langsung, karena selama harta persatuan masih utuh, kita belum

dapat mengatakan berapa besar hak bagian masing-masing atas harta tersebut. Baru sesudah ada pemecahan dan pembagian harta, kita dapat menyatakan bahwa sesuai dengan hak bagiannya separuh mereka sebenarnya masing-masing memikul ½ pengeluaran persatuan (rumah tangga).

101 Pasal 193 KUHPerdata menyatakan bahwa :

Ayat (1) : Kendati adanya pemisahan harta kekayaan, si istri adalah berwajib, dalam keseimbangan kekayaannya dengan kekayaan si suami, memberikan sumbangan guna membiayai rumah tangga dan pendidikan anak-anak yang dilahirkan olehnya karena si suami.

Ayat (2) : Dalam hal ketakmampuan si suami biaya-biaya itu harus dipikul oleh istri sendiri. (R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 45)

102 Pasal 103 KUHPerdata menyatakan bahwa Suami dan istri, mereka harus setia mensetiai,

(32)

a. Hutang Persatuan103

Pihak ketiga, yang mempunyai kepentingan terhadap perubahan-perubahan atas harta suami istri adalah kreditur. Prinsipnya adalah suami istri masing-masing tetap bertanggung jawab atas hutang-hutang persatuan yang dibuat olehnya.

Ketentuan ini sebenarnya logis sekali, karena kreditur dahulu pada waktu mengadakan perjanjian berhadapan dengan suami atau istri. Pada waktu ia akan meminta pelunasannya tentunya ia datang pada orang yang dahulu membuat perjanjian dengannya. Apalagi antara suami dan istri sekarang tidak ada persatuan harta lagi. Suami atau istri menanggung hutang tersebut dengan harta pribadinya, harta persatuan telah pecah dan dibagi yang sekarang terdiri dari harta pribadi aslinya ditambah setengah hak bagiannya dalam harta persatuan.

Terhadap suami, pihak ketiga dapat menagih untuk seluruh hutang persatuan walaupun suami nantinya dari pembagian harta persatuan hanya menerima setengah dari harta tersebut termasuk jika hutang tersebut dahulu dibuat oleh istri. Sedangkan istri hanya dapat ditagih oleh pihak ketiga untuk setengah hutang persatuan yang dibuat oleh suaminya (Pasal 130 BW). Sebagai dasarnya ditunjukkan pada Pasal 130 BW. Disana ditetapkan bahwa istri memikul setengah hutang persatuan, karenanya sesudah pecahnya atau putusnya persatuan harta adalah pantas jika ia pun (si istri) bertanggung jawab untuk setengah hutang

103

(33)

persatuan yang dibuat oleh suami, sedang untuk hutang-hutang yang dibuat olehnya sendiri, ia bertanggung jawab untuk 100%.

Atas hutang-hutang yang dibuat oleh istri, ia tetap dapat diminta pertanggungjawabkan penuh. Jika suami membayar seluruh hutang persatuan ia dapat melakukan perhitungan intern (contribution) dengan istrinya, dimana si istri wajib menanggung setengahnya.

Prinsipnya tetap hutang persatuan ditanggung bersama dan sama berat. Jika istri telah membayar seluruh hutang persatuan yang dibuat olehnya maka ia dapat menagih setengahnya dari suami. Seandainya jumlah pasiva harta persatuan lebih besar dari aktivanya maka kekurangan harus diambil dari harta pribadi.

Di dalam praktek perhitungan intern jarang sekali, karena pada umumnya sebelum pembagian, hutang-hutang diberesi lebih dahulu dan kalau ada hutang yang belum dibayar maka pada waktu pembagian, hutang tersebut dikompensir dengan pembagiannya dalam aktiva.104

Ketentuan-ketentuan tersebut diatas ternyata mengandung unsur perlindungan terhadap pihak ketiga, karena jika diperhatikan prinsip tanggung jawab suami istri terhadap pihak ketiga-kreditur ternyata posisi kreditur sesudah pembagian harta tidak selalu lebih jelek dari semula.

b. Kedudukan kreditur sebelum dan sesudah pemecahan harta persatuan105

104 A. Pitlo, Het Zakenrecht Naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, (HD Tjeenk Willink

& Zoon, Haarlem, 1949), hal. 187.

105

(34)

Sebelum diadakan pemecahan harta persatuan, atas hutang-hutang yang dibuat suami, para kreditur dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :

1) Kreditur persatuan, yakni piutangnya dijamin pelunasanya dengan harta persatuan dan harta pribadi suami;

2) Kreditur pribadi suami, yakni piutang dapat mengambil pelunasan dari harta pribadi suami dan harta persatuan.

Sesudah pemecahan harta persatuan, para krediturnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :

1. Kreditur persatuan

Kreditur persatuan mempunyai hak pelunasan atas harta pribadi suami, di dalam harta mana sekarang terdiri dari setengah harta persatuan yang menjadi hak bagian suami ditambah (jika ada) harta pribadi asal milik suami, sedangkan yang setengahnya lagi (setengah hutang) dapat ditagih dari harta (sekarang) pribadi istri (yang juga terdiri dari ½ harta persatuan ditambah harta pribadi asal istri).

Di sini kedudukan istri menjadi lebih jelek dari semula, karena sebelum pemecahan, harta pribadi istri tidak dipertanggung jawabkan terhadap hutang persatuan yang dibuat suami.

Apakah dengan bertambah jeleknya kedudukan istri seperti tersebut diatas, kreditur menjadi lebih terjamin? Belum tentu. Dalam hal harta persatuan sudah terkuras habis, maka kedudukan kreditur menjadi lebih baik, karena kalau semula ia hanya dapat mengambil pelunasan dari harta persatuan yang

(35)

keadaannya sudah terkuras habis dan dari harta pribadi suami atau dengan perkataan lain kalau semula rielnya hanya ditanggung dengan harta pribadi suami (harta persatuan sudah habis) maka sekarang sesudah harta persatuan yang isinya sebenarnya sudah nihil, dipecah ia masih dapat tambahan jaminan untuk setengah piutangnya yaitu dari harta pribadi istri.

Kedudukan istri qua tanggung jawab memang lebih jelek, tetapi qua

financieel belum tentu. Kalau harta persatuan isinya masih banyak, sehingga

setengah daripadanya masih lebih besar daripada hutang tersebut, maka lebih besar daripada hutang tersebut, maka perubahan prinsip tanggung jawab hutang-hutang persatuan sesudah harta persatuan dipecah, tidak merugikan istri.

Namun seperti dikatakan di depan, biasanya harta persatuan baru berhasil dipecah, kalau keadaannya sudah “berbahaya”. Hendaknya diingat bahwa adanya istri diwajibkan untuk menanggung setengah dari hutang persatuan adalah merupakan konsekuensi daripada dibaginya harta persatuan. Istri dengan pembagian tersebut tidak hanya menerima setengah aktivanya saja, tetapi harus memikul setengah dari pasivanya.Bukankah harta persatuan meliputi baik aktiva maupun pasiva suami istri, baik yang didapat sebelum maupun sepanjang perkawinan?

2. Kreditur prive

Kreditur prive mendapat jaminan pelunasannya dari harta pribadi suami yang sekarang terdiri dari harta pribadi aslinya (asal) ditambah setengah harta

(36)

persatuan yang jatuh pada suami (yang kedua kelompok harta tersebut sekarang disebut harta pribadi).106

Di sini kedudukan kreditur bisa menjadi lebih jelek, karena kalau semula kreditur ditanggung oleh harta pribadi suami dan harta persatuan, jika hutang tersebut berupa hutang pribadi suami, maka sekarang kreditur tersebut hanya dijamin dengan harta pribadi suami, yang terdiri dari harta pribadinya ditambah setengah haknya dalam harta persatuan.107

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kreditur suami sebelum pemecahan harta persatuan tidak berkepentingan untuk mengetahui apakah piutangnya merupakan hutang pribadi atau hutang persatuan bagi si suami, karena kedua jenis hutang tersebut sama-sama dijamin dengan harta persatuan dan harta pribadinya.

Sesudah pemecahan harta persatuan, para kreditur memang berkepentingan untuk tahu, apakah kreditur prive atau kreditur persatuan, sebab jaminan pelunasannya berlainan. Dalam hal ia kreditur suami, selain kreditur dapat mengambil pelunasan dari harta pribadi suami, di dalam mana sekarang ada setengah harta persatuan yang menjadi hak bagian suami, kreditur masih mendapat jaminan hutangnya dari sekarang telah menjadi dan disebut harta pribadi si istri (untuk setengah hutang persatuan).108

106 A. Pitlo, Op.Cit, hal. 186. 107 J. Satrio, Op.Cit, hal. 122-123. 108

Referensi

Dokumen terkait

Model pengambilan keputusan untuk pemilihan presiden-wakil presiden merupakan model keputusan banyak kriteria dimana setiap kriteria yang digunakan kabur atau tidak

Berdasarkan uji efek mediasi ke-1 bahwa hubungan antara kompensasi terhadap komitmen organisasional dan implikasinya bagi kinerja karyawan dapat disimpulkan bahwa kompensasi

“ Pelayanan publik adalah pemberian pelayanan ( melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok

dibanding varietas hibrida BISI-2 dan dari hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa genotipe Antasena (2.47 tongkol) dan Kiran (3.67 tongkol) nyata memiliki

[r]

Terjemahan: Iaitu, sesungguhnya Dia Yang Maha Tinggi mencipta tempat, maka [ini bermakna] Dia telah wujud sebelum tempat itu, berdasarkan kepada [analogi:] sesungguhnya

Karya Mandiri tahun berjalan (2015) direncanakan pemenuhan kayu bulat besar hutan alam yang berasal dari hutan hak/hutan rakyat, sehingga tidak menerima bahan

Dengan ADC pada mikrokontroller ATmega16, dilakukan pengukuran pada rangkaian pengkondisian sinyal yang telah mengkonversi sinyal sinus menjadi sinyal DC yang