• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Responden

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Responden"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik Individu

Karakteristik individu sebagai kelompok variabel independen dalam penelitian ini terdiri dari: (1) pengetahuan tentang HLGN, (2) luas lahan dusung garapan, (3) status pemilikan lahan dusung, (4) pendapatan per tahun responden, (5) umur responden, (6) lama keterlibatan dalam organisasi masyarakat, (7) pendidikan Responden, (8) nilai aset/kekayaan, (9) jumlah tanggungan keluarga dan (10) identitas asal responden. Keragaman setiap variabel tersebut secara deskriptif dipaparkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Keragaman karakteristik individu masyarakat pengelola dusung

Uraian karakteristik individu Desa Amahusu Desa Urimesing Total Jumlah (Orang) Presentase (%) Pengetahuan tentang HLGN

Sangat kurang memahami 5 8 13 21.67

Kurang memahami 6 5 11 18.33

Cukup baik memahami 5 7 12 20.00

Sangat baik memahami 14 10 24 40.00

Luas Penguasaan dusung a. Penggolongan berdasarkan

standar luas dusung

Dusung luas (2,5-5 ha) 5 7 12 20

Dusung sedang (1-2,5 ha) 12 5 17 28.33

Dusung sempit (<1 ha) 13 18 31 51.67

b. Penggolongan berdasarkan kelompok responden

Dusung sempit (<1 ha) 13 18 31 51.67

Dusung Luas (1 – 5 ha) 17 12 29 48.33

Status Pemilikan lahan dusung

Dusung adat 11 9 20 33.33

Dusung milik sendiri dengan

sertifikat 2 5 7 11.67

Dusung disewa. 0 0 0 0.00

Tanpa status 16 16 32 53.33

Pendapatan dari dusung

rendah (1 - 5 juta) 12 14 26 43.33

tinggi (5- 10 juta) 18 16 34 56.67

Umur

Muda (30-45) 3 5 8 13.33

(2)

Uraian karakteristik individu Desa Amahusu Desa Urimesing Total Jumlah (Orang) Presentase (%) Keterlibatan dalam organisasi

Keanggotaan baru (1-4 thn) 3 2 5 8.33 Keanggotaan lama (4-6 thn) 27 28 55 91.67 Tingkat pendidikan SD 4 4 8 13.33 SMP 8 9 17 28.33 SMU 18 16 34 56.67 Univ/akademi 0 1 1 1.67 Nilai asset 5 - 10 jt 13 11 24 40.00 10 - 20 jt 10 15 25 41.67 > 20 jt 7 4 11 18.33 Jumlah tanggungan 1 - 4 org 8 5 13 21.67 5 - 8 org 22 23 45 75.00 > 8 org 0 2 2 3.33 Identitas asal Masyarakat Asli 28 28 56 93.33

Pendatang (telah menetap lama) 1 2 3 5.00

Pengungsi (menetap karena

konflik) 1 0 1 1.67

Pengetahuan Masyarakat tentang HLGN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang HLGN ternyata 21.63 persen sangat kurang memahami dan 40 persen sangat memahami tentang HLGN tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat telah memahami, bagaimana fungsi dan tujuan dari hutan lindung tersebut dan mengakibatkan timbulnya aktivitas yang sesuai dengan perilakunya dalam berbagai aktivitas pengelolaan hutan terutama aktivitasnya mengelola dusung.

Walaupun faktor yang mempengaruhi tidak hanya pengetahuan tentang HLGN, tetapi melalui pengetahuan dan pemahamannya tentang HLGN yang telah dimiliki, masyarakat pengelola dusung akan dapat memberikan respon yang sesuai bagi kondisi HLGN dalam bentuk perilakunya yang sekaligus menggambarkan partisipasinya dalam kegiatan pengelolaan hutan tersebut sesuai aturan yang berlaku. Hal ini nampak dengan difungsikan lagi kewang (polisi hutan) pada masing-masing desa. Fungsi kewang dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan hutan antaralain : 1). Mengawasi batas-batas negeri, 2). Memeriksa jenis-jenis tanaman yang sudah atau belum dipanen serta

(3)

menentukan kapan pemberlakuan sasi 3). Menindak para pelanggar sasi, 4) menentukan area yang boleh ditebang dan tidak boleh ditebang, 5) melakukan penghijuan pada Daerah aliran Sungai, serta 6) pengawasan galian C (batu dan pasir) ini merupakan tugas baru dari kewang.

Sasi adalah larangan untuk mengambil (mengelola dan mamanfaatkan) hasil sumberdaya alam tertentu, selama periode tertentu (biasanya tiga bulan, enam bulan, bahkan lebih dari satu tahun) tergantung jenis dan perkembangan populasinya sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Jenis sasi antaralain

sasi laut, sasi kali, sasi hutan, sasi dalam negeri/desa.

Saat ini pada masing-masing desa ditugaskan 2 – 3 orang kewang dimana penunjukan perwakilan kewang ditentukan oleh kepala dusun dengan persetujuan masyarakat. Pada tahun 2009, petugas kewang diangkat dan telah digaji oleh Pemerintah kota Ambon, khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Ambon atas persetujuan masyarakat setempat. Masyarakat sangat menghargai fungsi kewang ini dan sangat terbantu oleh tugasnya karena secara tidak langsung, kewang setiap hari bertugas di hutan dan mengawasi dusung-dusung yang ada dan segera bertindak serta melakukan kerjasama dengan pihak kepolisian bila terjadi persoalan tindak pidana (Illegal logging dan lain-lain).

Masyarakat memahami hak individu yang dimilikinya atas pengelolaan dusung yaitu memelihara, memungut, memanfaatkan, mentransfer atau memindahtangankan hak ke pihak lain atas dusungnya. Hak-hak tersebut dipegang oleh individu pengelola dan diakui oleh anggota masyarakat. Meskipun individu mempunyai hak penguasaan secara penuh atas dusung dan hasil yang diperolehnya, namun secara satuan kolektif masih mempunyai kewenangan-kewenangan untuk mengatur penggunaan dan alokasi kembali lahan tersebut dalam batas teritorial tertentu yang diakui sebagai haknya berdasarkan ketentuan adat. Sebagai contoh untuk memanen hasil hutan dalam jumlah besar terutama hasil kayu dan pemanfaatan kawasan di sekitar dusung dati, diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada kewang dan memperoleh ijin dari kepala desa setempat. Masyarakatpun memahami fungsi HLGN ini, sehingga pengetahuan lokal yang dimiliki berorientasi pada pengaturan dan pembatasan

(4)

pengambilan dan pemanfaatan sumberdaya baik dusung maupun hutannya. Dalam kondisi demikian, maka pola pengelolaan dusung diharapkan membantu mempertahankan fungsi kawasan HLGN agar tetap lestari.

Luas Penguasaan Dusung

Luas penguasaan lahan dusung oleh masyarakat adalah luas lahan hutan yang digarapnya tanpa memandang tingkatan haknya atas hutan yang digarap. Luas lahan dusung berkisar antara 1 – 2,5 hektar. Berdasarkan luas dusung yang digarap, penguasaan dusung dapat dibedakan atas dua katagori yaitu (1) pengelola dusung sempit dengan penguasaan < 1 hektar dan (2) pengelola dusung luas dengan penguasaan 1 - 5 hektar. Para pemilik dusung didominasi oleh pemilik dusung dengan lahan sempit (51,67 %) dan hanya 48,33 persen saja yang mengarap dusung dengan luas antara 1 – 5 hektar.

Luas Penguasaan dusung ini telah ada secara turun temurun dan di usahakan oleh keluarga-keluarga yang memiliki hak tersebut khususnya dusung dati dan hal ini diakui oleh pemerintahan desa setempat, pemerintah kota Ambon serta pemerintah provinsi. Namun untuk pemerintah pusat belum ada pengakuan resmi tentang status dusung ini.

Status Pemilikan lahan dusung

Status pemilikan lahan dusung merupakan tingkatan hak masyarakat atas dusung yang digarapnya. Berdasarkan pemilikan dusung yang diusahakan, status pemilikan dusung dibedakan atas dusung adat (33,33%), dusung milik sendiri dengan sertifikat (11,67%), dusung disewakan (0%) dan tanpa status (53,33%). Terlihat bahwa sebagian besar lahan dusung yang digarap (53,33%) adalah dusung yang tanpa status. Oleh pemiliknya diklaim sebagai haknya (menurut warisan orangtunya) namun secara tertulis tidak dapat dibuktikan. Hal inilah yang sering menimbulkan masalah di masyarakat karena sering terjadi upaya saling mengklaim dari masing-masing keluarga terhadap dusung tersebut. Status pemilikan inipun berimplikasi dengan pendapatan mereka karena harus membagi hasilnya dengan keseluruhan keluarganya yang merasa juga memiliki hak atas dusung tersebut. Status penguasaan inipun berkaitan erat dengan pola pengelolaan dusung yang dijalani artinya tidak ada jaminan bahwa pengelola dusung tersebut

(5)

akan secara leluasa merencanakan pengembangan usahanya dalam jangka panjang karena sewaktu-waktu dapat diklaim oleh keluarga yang lain.

Pendapatan dari dusung

Pendapatan pengelola dusung yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pendapatan bersih yang diperoleh dari usaha pengelolaan dusung selama 1 (satu) bulan. Pendapatan usaha dusung masyarakat kedua desa berkisar antara Rp 1.000.000,- sampai dengan Rp 7.000.000,- per bulan. Penggolongan pemilik dusun berdasarkan pendapatan, ternyata 34% mempunyai pendapatan yang tinggi. Pendapatan usaha dusung yang tinggi ini berkaitan erat dengan luas lahan yang digarap, status pemilikan dan tentunya manajemen usahanya. Saat ini banyak kawasan dusun dimanfaatkan sebagai usaha peternakan dan tanaman sayur-sayuran yang cukup produktif sehingga berimplikasi terhadap pendapatan yang diperoleh walau luas lahan sempit dan tanpa status yang jelas.

Umur responden

Mendiskripsikan tingkatan umur pengelola dusun pada prinsipnya untuk mengetahui tingkatan usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran umur tua (47 - 72 tahun) dan umur muda (30-45) adalah 86,67% berada pada umur tua. Hal ini menunjukan bahwa gambaran responden kebanyakan tergolong usia tua dalam mengupayakan lahan hutan lindung sebagai mata pencaharian mereka karena yang usia muda tidak lagi beraktivitas sebagai pengelola dusung, mereka telah memiliki pekerjaan tetap dimana sebagian besar sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mempekerjakan orang lain dalam pengelolaan dusungnya. Walau dikelola oleh para orangtua namun generasi penerus tetap menghargai keberadaan dusungnya sebagai warisan yang perlu senantiasa dijaga kelestarianya.

Lama keterlibatan dalam organisasi

Adapun organisasi yang dimaksudkan dalam riset ini adalah organisasi yang dibentuk oleh gereja (unit) dimana pada kedua desa masyarakat terlibat aktif didalamnya dan memiliki peran dalam pengelolaan dusung terutama sebagai media komunikasi dan informasi masyarakat.

Lama keterlibatan menjadi anggota organisasi di masyarakat berimplikasi luas, terutama dari segi pengalaman pengelola dusung dalam berorganisasi secara

(6)

partisipasif dengan suatu asumsi bahwa praktek organisasi masyarakat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang benar, artinya dalam menyelenggarakan tatahubungan kerja dalam organisasi benar-benar mencerminkan ciri-ciri kerjasama yang terbangun dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian pada kedua desa, keterlibatan masyarakat pengelola dusung berkisar 1-6 tahun. Sebagian besar (91,1-67%) termasuk dalam keanggotaan lama dan 8,33 % keanggotaan baru.

Masyarakat memiliki kesadaran tinggi pentingnya berorganisasi. Mereka menyadari dengan berorganisasi senantiasa dapat membangun pola kerjasama untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang dialami dan terbangunnya komunikasi yang baik terutama dalam menunjang aktivitas pengelolaan dusungnya.

Tingkat pendidikan

Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden. Pentingnya pendidikan formal bagi responden, agar dapat mengukur pengetahuan dalam memahami aspek pengelolaan hutan lindung di wilayahnya.

Dari tabel 15 menunjukkan bahwa responden 56,67 % memiliki strata pendidikan SMU. Tingkat pendidikan ini tergolong cukup tinggi dari kedua masyarakat desa tersebut, sehingga Pemerintah sangat terbantu dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat kedua desa karena pemahaman yang tinggi dan mudah membangun komunikasi.

Nilai aset/kekayaan

Sejumlah aset yang dimiliki oleh responden dan diukur dalam satuan rupiah berdasarkan total nilai aset tetap yang dimiliki. Aset yang dimiliki responden berdasarkan penelitian 41,67% berkisar Rp 10.000.000,- – Rp 20.000.000,- . Nilai aset atau kekayaan ini sangat mempengaruhi strata sosial di dalam masyarakat dan pada kedua desa ini, masyarakat yang memiliki aset terutama luas dusung yang cukup besar sangat berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat lainnya.

(7)

Jumlah Tanggungan Keluarga

Yang dimaksudkan dengan jumlah tanggungan keluarga adalah istri,anak dan semua orang yang tinggal serumah. Jumlah tanggungan keluarga responden berkisar antara 1 sampai 8 orang, dengan rata-rata jumlah tanggungan keluarga responden 3 sampai 8 orang.

Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga responden yang paling banyak berjumlah 5 sampai 8 orang yaitu sebesar 45 orang atau 75 %. Jumlah tanggungan ini mencerminkan akan jumlah kebutuhan sandang, perumahan dan makan bagi seluruh anggota keluarganya. Pada kedua desa, sebagian besar masyarakatnya memanfaat hasil dusung yang berupa sayur-sayuran sebagai makanannya sehari-hari sedangkan hasil buah-buahannya yang dipasarkan.

Identitas Asal Responden

Merupakan identitas asal daerah dari responden ini. Berdasarkan hasil penelitian, 93.33% adalah penduduk asli dari kedua desa tersebut dimana secara turun temurun telah menetap pada masing-masing desa. Namun demikian nampak juga 5 % pendatang dan 1,67% pengungsi karena konflik yang juga telah menetap.

Saat ini, pada ± 8% arael di sekitar kawasan HLGN telah dibangun pemukiman baru masyarakat yang terkena imbas konflik dan dibangun atas persetujuan pemilik tanah masyarakat kedua desa dan Pemerintah setempat. Keberadaan mereka sangat mempengaruhi keberadaan kawasan karena selain ditempati sebagai tempat tinggal, ada sebagian arealpun dimanfaatkan mereka sebagai lahan bercocok tanam sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan aktivitas penambangan pasir dan batukarang yang diperjualbelikan. Sistem bagi hasilpun diberlakukan oleh pemilik dusung dengan masyarakat pekerja penambangan pasir dan batu yang berada di sekitar dusung miliknya. Hal ini semakin memperparah keberadaan kawasan HLGN. Pemerintahpun hingga saat ini, tidak bertindak untuk aktivitas penambangan ini dan terkesan membiarkan.

(8)

Interaksi masyarakat asli dan pendatang ini cukup baik dan terjalin lebih baik karena keterlibatan bersama dalam berorganisasi terutama organisasi keagamaan.

Karakteristik Organisasi

Variabel yang dikelompokkan ke dalam kelompok variabel karakteristik organisasi terdiri dari : (1) presepsi tentang organisasi yang meliputi komunikasi dan informasi, pemahaman aturan organisasi, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, (2) hubungan pengurus dengan anggota. Keragaan setiap variabel tersebut tertera pada Tabel 16.

Tabel 16. Keragaman karakteristik organisasi masyarakat pengelola dusung

Uraian karakteristik Organisasi Desa Amahusu Desa Urimesing Total Jumlah (Orang) Presentase (%)

Presepsi tentang organisasi

a.Komunikasi & informasi

kurang baik 0 0 0 0.00

cukup baik 0 8 8 13.33

Baik 24 22 46 76.67

sangat baik 0 0 0 0.00

b.Pemahaman aturan organisasi

tidak paham 0 2 2 3.33 sedikit paham 1 7 8 13.33 cukup paham 10 11 21 35.00 sangat paham 11 10 21 35.00 c. Pengambilan keputusan kurang baik 0 2 2 3.33 cukup baik 0 1 1 1.67 Baik 20 26 46 76.67 sangat baik 4 1 5 8.33 d.Penyelesaian masalah kurang baik 0 0 0 0.00 cukup baik 16 9 25 41.67 Baik 2 21 23 38.33

Hubungan pengurus dengan

anggota

kurang baik 0 7 7 11.67

cukup baik 11 4 15 25.00

Baik 12 14 26 43.33

Presepsi responden terhadap organisasi

(9)

(1) Komunikasi dan informasi dimana melalui penelitian ini tergambar bahwa 46 orang atau 76,67 % responden menyatakan bahwa jalinan komunikasi dan informasi mereka dalam berorganisasi dikatagorikan baik. Hal inipun tercermin pada pola komunikasi yang dibangun didalam masyarakat dimana hingga saat ini pada desa Urimesing masih memanfaatkan fungsi Marinyo (salah satu perangkat desa adat) yaitu pesuruh desa/negeri yang bertugas menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pemerintah kepada masyarakat Urimesing dengan istilah ”bataria tita” atau tabaos (membacakan pengumuman di hadapan masyarakat). Kata marinyo berasal dari bahasa Portugis merincho artinya pesuruh. Selain itu pada berbagai organisasi terutama organisasi keagamaan dijadikan sarana komunikasi dan informasi diantara masyarakat sehingga di dalam mengorganisasikan aktivitas partisipasi masyarakat untuk partisipasi tidaklah sulit dilakukan. Di sini tergambar bahwa adanya sistim informasi yang terbuka yang akan menjadi kontrol masyarakat terhadap penyimpangan-penyimpangan kebijakan maupun pengelolaan hutan di lapangan yang senantiasa dapat terjadi. (2) Pemahaman aturan organisasi, melalui penelitian ini tergambar 35% responden sangat dan cukup paham memahami aturan organisasi yang ia jalani. Pemahaman ini sangat membantu masyarakat melakukan peranannya sesuai dengan tujuan organisasi dan tentunya sangat membantu mengarahkan aktivitas partisipasi yang dilakukan di dalam masyarakat. Saat ini, dalam penerapan salah satu kebijakan Pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan, telah dimulai pemberlakuan sistem insentif bagi masyarakat yang terlibat dalam kelompok pemeliharaan tanaman reboisasi pada lokasi HLGN. Kelompok ini telah menjalankan fungsi selama setahun dan senantiasa di evaluasi peranannya oleh Pemerintah.

(3) Pengambilan keputusan, melalui penelitian ini tergambar 76,67% responden memberikan penilaian ”baik” tiap proses dan keputusan yang diambil dalam aktivitas berorganisasi selama ini. Saat ini bagi masyarakat kedua desa, pengambilan keputusan diambil melalui pertemuan bersama yang melibatkan semua pihak terkait. Sebagai contoh keterlibatan masyarakat dalam aktivitas reboisasi HLGN dimana keikutsertaan masyarakat secara berkelompok dan

(10)

penentuan lokasi pemeliharaan tanaman reboisasi ditentukan berdasarkan pertemuan bersama semua pihak.

(4) Penyelesaian masalah, melalui penelitian ini tergambar 41,67% responden memberikan penilaian cukup baik terhadap upaya penyelesaian berbagai masalah di dalam berorganisasi di masyarakat. Upaya penyelesaian masalah selama ini diberlakukan secara bertahap dimana dimulai dengan pelaporan dan penyelesaian yang diupayakan oleh kepala dusun atau ketua RT, apabila tidak terselesaikan di lanjutkan ke tingkat desa/negeri dan lebih lanjut diupayakan ke tingkat pengadilan. Untuk persoalan dusung, upaya penyelesaian diupayakan terlebih dahulu oleh kedua pihak yang bertikai dan difasilitasi oleh kewang.

Hubungan Pengurus dan Anggota

Dari hasil penelitian ini menilai bahwa hubungan pengurus dan anggota di dalam berorganisasi selama ini dikatagorikan baik (43,33%) dan kurang baik (11,67%). Hal ini menggambarkan bahwa telah terjadi kesesuaian hubungan sebagaimana yang diharapkan oleh anggota masyarakat.

Kawasan HLGN adalah sumberdaya yang dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu yaitu sumberdaya yang dikuasai dan dikelola berdasarkan tata aturan kelompok masyarakat tersebut. Hal ini nampak pada sistem pengelolaan dusung yang berlaku dimana akses tiap individu anggota kelompok terhadap sumberdaya yang dikuasai bersama menghasilkan pendapatan yang cukup nyata. Seringkali tambahan manfaat ini tidak menguntungkan apabila harus disediakan oleh individu pengelola dusung secara sendiri-sendiri (Kartodihardjo, 2006) untuk itulah diperlukan partisipasi yang dikoordinasi oleh pengurus organisasi di masyarakat, misalnya untuk memanen hasil cengkeh dari pemilik dusung yang memiliki luas dusung yang besar, ia membutuhkan partisipasi masyarakat yang lain untuk membantunya. Begitupun Dinas Kehutanan kota Ambon sangat membutuhkan peran serta masyarakat untuk memelihara tanaman-tanaman reboisasi pada kawasan HLGN yang telah ditanam.

Partisipasi Responden

Variabel dependen penelitian ini adalah partisipasi mas yarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Partisipasi mas yarakat dalam kegiatan

(11)

kawasan hutan dimaksudkan sebagai manifestasi perilaku masyarakat kawasan hutan dalam bentuk peran serta mereka dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta evaluasi dan monitoring terhadap kawasan HLGN. Adapun hasilnya tercantum pada tabel 17 berikut ini :

Tabel 17. Partisipasi responden dalam pengelolaan Hutan Lindung

N o

Indikator Penilaian

Desa Amahusu Desa Urimesing Total Presentase

T S R T S R T S R T S R

Perencanaan

Kegiatan survey 3 12 15 4 12 14 7 24 29 11.67 40.00 48.33

2 Pemberian

informasi 1 8 21 1 8 21 2 16 42 3.33 26.67 70.00

3 Pengajuan usul &

Saran 3 13 14 4 10 16 7 23 30 11.67 38.33 50.00 Pelaksanaan 1 Pemberian sumbangan pikiran 1 17 12 1 11 18 2 28 30 3.33 46.67 50.00 2 Pemberian sumbangan tenaga 6 16 8 2 11 17 8 27 25 13.33 45.00 41.67 3 Pemberian sumbangan materi 0 4 26 2 2 26 2 6 52 3.33 10.00 86.67 Penerimaan Manfaat 1 Peningkatan pendapatan 10 18 2 12 13 5 22 31 7 36.67 51.67 11.67 2 Manfaat hutan 1 18 11 0 30 0 1 48 11 1.67 80.00 18.33 3 Ketergantungan terhadap hutan 0 28 2 1 27 2 1 55 4 1.67 91.67 6.67 Monitoring dan Evaluasi 1 Monitoring Hutan lindung 3 8 19 2 6 22 5 14 41 8.33 23.33 68.33 2 Mengawasi hutan lindung 2 10 18 1 3 26 3 13 44 5.00 21.67 73.33 3 Mengevaluasi hutan lindung 1 4 25 1 4 25 2 8 50 3.33 13.33 83.33

(12)

Partisipasi masyarakat ini di nilai melalui 4 (empat) indikator yaitu : 1). Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan

Dalam kegiatan perencanaan pengelolaan HLGN, partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti keterlibatan dalam kegiatan survei lapangan, pemberian informasi, dan mengajukan usul/saran. Lebih jelas tertera pada tabel 17.

Dari tabel tersebut menunjukan bahwa masyarakat sekitarnya belum dilibatkan untuk melakukan kegiatan perencanaan terhadap pelestarian hutan lindung. Untuk kegiatan survei, hanya 7 responden atau 11,67% yang pernah melakukan bersama dengan petugas dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Ambon. Masyarakat yang aktif memberikan informasi kepada petugas untuk pengelolaan kawasan hanya 2 responden atau 3,33% dan yang pernah mengajukan usul, saran atau pendapat hanya sebesar 7 responden atau 11,67%.

2). Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan

Dalam kegiatan perencanaan pengelolaan HLGN, partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti pemberian sumbangan pikiran, tenaga dan materi. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas.

Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat setempat dalam memberikan sumbangan saran masih rendah dan hanya beberapa anggota masyarakat yang memberikan sumbangan pikiran,tenaga maupun materi untuk pengelolaan HLGN yaitu sebesar 3,33% untuk sumbangan pikiran, untuk sumbangan tenaga 13,33% dan sumbangan materi sebesar 3,33%. 3). Partisipasi Masyarakat dalam Penerimaan Manfaat

Dalam kegiatan penerimaan manfaat dari pengelolaan HLGN, partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti peningkatan pendapatan, pengertian manfaat hutan terhadap lingkungannya dan ketergantungan terhadap hutan. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas.

(13)

Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat berpartisipasi tinggi tethadap pengelolaan kawasan HLGN apabila ada motivasi untuk keuntungan mereka yaitu peningkatan pendapatannya yaitu sebesar 36,67 %. Tetapi mereka mengabaikan manfaat hutan terhadap kelestarian lingkungan terutama dapat mencegah erosi dan tanah longsor serta sumber air bersih. Ketergantungan hidup terhadap hutan rendah sebesar 1,67 %, hal ini karena mereka juga mengusahakan dusung di dalam kawasan hutan.

4). Partisipasi Masyarakat dalam Monitoring Dan Evaluasi

Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dari pengelolaan HLGN, partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti memonitor hutan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pada hutan lindung. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas.

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih rendah tingkat partisipasinya terhadap kegiatan monitoring, mengawasi dan mengevaluasi hutan lindung yaitu sebesar 8,33%, 5% dan 3,33%.

Hubungan antara Karakteristik Responden

dengan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengelolaan HLGN

Hubungan karakteristik responden dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN dikaji berdasarkan analisis Chi Square (X2) dan digunakan uji Koefisien Kontigensi (C). Nilai X2 dan koefisien keeratan hubungan dari masing-masing variabel heterogenitas dari kedua desa dapat dilihat pada tabel 18.

(14)

Tabel 18 Hubungan berbagai karakteristik responden dengan partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Amahusu

No Hubungan partisipasi dengan karakteristik...

Nilai X2 Nilai C Hubungan

1 Umur 3,600 0,327 Tidak ada

2 Pendidikan 0,764 0,158 Tidak ada

3 Jumlah tanggungan keluarga 1,765 0,236 Tidak ada

4 Pengetahuan 25,378 0,677 Ada hubungan/kuat

5 Luas dusun 12,573 0,543 Ada hubungan/sedang

6 Status pemilikan 16,223 0,592 Ada hubungan/sedang

7 Pendapatan 1,536 0,221 Tidak ada

8 Nilai aset 9,143 0,483 Tidak ada

9 Lama keterlibatan dalam organisasi 17,400 0,648 Ada hubungan/kuat 10 Hubungan didalam organisasi 13,010 0,593 Ada hubungan/sedang

11 Komunikasi dan Informasi 0 0 Responden menilai baik

12 13

Pemahaman aturan organisasi Pangambilan keputusan 3,152 3,000 0,341 0,333 Tidak ada Tidak ada

14 Penyelesaian masalah 9,611 0,535 Ada hubungan/sedang

Tabel 19. Hubungan berbagai karakteristik dengan partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Urimesing

No Hubungan partisipasi dengan karakteristik...

Nilai X2 Nilai C Hubungan dan tingkat hubungan

1 Umur 5,250 0,386 Tidak ada

2 Pendidikan 8,125 0,462 Tidak ada

3 Jumlah tanggungan keluarga 2,689 0,287 Tidak ada

4 Pengetahuan 15,910 0,589 Ada hubungan/sedang

5 Luas dusun 14,820 0,575 Ada hubungan/sedang

6 Status pemilikan 16,207 0,592 Ada hubungan/sedang

7 Pendapatan 8,693 0,474 Ada hubungan/sedang

8 Nilai aset 22,033 0,651 Ada hubungan/kuat

9 Lama Keterlibatan dalam organisasi 6,562 0,424 Ada hubungan/sedang 10 Hubungan didalam organisasi 19,890 0,631 Ada hubungan/kuat

11 Komunikasi dan Informasi 1,643 0,228 Tidak ada

12 Pemahaman aturan organisasi 7,710 0,452 Tidak ada

13 Pengambilan keputusan 4,038 0,344 Tidak ada

(15)

Hubungan Luas Dusun dengan Partisipasi Masyarakat

Khusus untuk data luas dusung ini, memiliki penjelasan tambahan melalui tabel 20 sebagai berikut :

Tabel 20. Hubungan partisipasi dengan luas dusung pada kedua desa

Partisipasi Luas dusung Total 2,5-5 ha 1-2,5 ha < 1 ha Tinggi 4 2 0 6 Sedang 14 8 10 32 Rendah 0 2 20 22 Total 18 12 30 60

Dari tabel diatas tergambar bahwa pada luas dusung 2,5-5 ha, 14 responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan 20 responden pada luas dusung < 1 ha memiliki tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa semakin luas penguasaan lahan maka semakin tinggi tingkat partisipasi. Pada masyarakat, pemilik dusung dengan luas penguasaan lahan yang besar memiliki pengaruh kekuasaan yang cukup tinggi di dalam masyarakat dan dihormati serta cenderung berperan lebih aktif dalam suatu partisipasi. Selain itu tingkat partisipasi sedang hingga rendah menggambarkan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan berpartisipasi hanya pada upayanya memelihara dusung yang berada di dalam kawasan hutan lindung dan belum dapat berpartisipasi lebih tinggi bagi kelestarian hutan secara menyeluruh.

Hubungan Status Pemilikan dengan Partisipasi Masyarakat

Khusus untuk data status pemilikan dusung ini, memiliki penjelasan tambahan melalui tabel 21 sebagai berikut :

(16)

Tabel 21. Hubungan partisipasi dengan status pemilikan dusung pada kedua desa

Partisipasi

Status pemilikan dusung

Total Dusung adat Dusung milik sendiri Tanpa status Tinggi 5 1 0 6 Sedang 15 6 11 32 Rendah 0 0 22 22 Total 20 7 33 60

Dari tabel diatas tergambar bahwa pada status pemilikan dusung adat, 15 responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan pada dusung tanpa status 22 responden berada pada tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa status pemilikan yang dikelompokkan menjadi dusung adat, dusung milik sendiri dengan sertifikat, dusung disewakan dan dusung tanpa status, dapat dikatakan memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN dapat dikatakan ditentukan oleh status pemilikan atas lahan dusung yang diusahakannya. Masyarakat dengan dusung yang telah disertifikasi lebih aktif dan berwenang menjalankan peran partisipasi dibandingkan masyarakat yang memiliki dusung tanpa status. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kekuasaan dan kewenangan (hak yang disepakati bersama untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut keberadaan hutan dan dusungnya) lebih tinggi dimiliki oleh pemilik dusung yang telah disertifikasi tersebut (Kepala desa Urimesing, 2009).

Hubungan umur dengan partisipasi masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa umur masyarakat pada kedua desa tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal ini menggambarkan tidak terdapat hubungan antara umur dan partisipasi dimana aktivitas pengelolaan suatu kawasan hutan tidak memberikan batasan umur bagi tiap masyarakat. Tiap masyarakat baik berumur muda dan berumur tua diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya yang ada.

(17)

Hubungan Pendidikan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendidikan masyarakat pada desa Amahusu dan desa Urimesing tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal ini menjelaskan pada kasus penelitian ini bahwa tidak benar apabila pendidikan yang tinggi akan berimplikasi pada tingginya tingkat partisipasi tersebut. Baik masyarakat berpendidikan tinggi ataupun rendah dapat ikut serta berpartisipasi aktif dalam berbagai aktivitas pengelolaan kawasan hutan lindung dan faktor motivasilah yang berperan utama bagi upaya partisipasi yang dijalankan.

Hubungan Jumlah tanggungan keluarga dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga responden pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya jumlah tanggungan keluarga tidak berhubungan dengan aktivitas partisipasi yang dilakukan. Masyarakat tanpa melihat jumlah tanggungan keluarganya dapat selalu berpartisipasi aktif.

Hubungan Pengetahuan dengan Partisipasi Masyarakat

Pengetahuan masyarakat pengelola dusun merupakan pencerminan kemampuan kognitif tentang berbagai aspek pengelolaan hutan, khususnya dusun. Hasil analisis hubungan antara pengetahuan tentang hutan lindung dan partisipasinya menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan erat dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga kuat. Desa Amahusu sebesar 0,677 dan untuk desa Urimesing sebesar 0,589. Hal ini menunjukan bahwa dalam berpartisipasi, pengetahuan masyarakat menjadi syarat mutlak keberhasilan aktivitasnya dimana pengetahuan sangat menunjang terhadap kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan oleh masyarakat dalam aktivitasnya sebagai masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung. Perilaku partisipatifnya akan terlihat lebih baik apabila masyarakat memiliki pemahaman tentang hutan lindung, fungsi dan manfaatnya. Pengetahuan tentang hutan lindung akan mempengaruhi dan menentukan perilaku individu dalam pengelolaan kawasan HLGN artinya apa yang harus dilakukan oleh pengelola dusung akan sangat ditunjang oleh pengetahuannya tentang berbagai aspek hutan lindung tersebut dan bentuk peran sertanya dalam

(18)

suatu partisipasi. Dengan demikian maka terbukti hipotesis ini bahwa semakin tinggi pengetahuan semakin baik tingkat partisipasi yang dilakukan.

Selain itu, pada suatu masyarakat ketika pengetahuannya dipandang memberi sumbangan yang bernilai dan bermanfaat, maka kepercayaan diri mereka akan semakin kuat, hal ini tentunya akan mendorong partisipasi yang lebih efektif, khususnya ketika penduduk desa harus berurusan dengan orang-orang luar (Carol J.P Colfer, 1999).

Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan dengan partisipasi.

Tujuan utama pengelolaan dusung adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan usahanya agar pendapatan meningkat. Keeratan hubungan yang tergambar menunjukan tidak terdapat suatu kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan dusung maka semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam pengelolaan kawasan. Namun demikian hubungan yang tergambar tersebut mengemukan bahwa semakin besar tingkat pendapatan semakin besar kesempatan ataupun peluang untuk berpartisipasi. Hal ini sejalan dengan temuan Agrawal,(2000) bahwa salah satu kriteria penting yang dijadikan patokan keberhasilan performance institusi masyarakat untuk pengelolaan lingkungan adalah keadilan pada distribusi biaya dan manfaat yang diperoleh. Masyarakat mengelola dusung karena meyakini manfaat dan konsekuensi biaya yang ia peroleh dan hal ini berimplikasi pada bentuk partisipasi yang ia lakukan. Hubungan Nilai Aset/kekayaan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa nilai aset masyarakat pada kedua desa berbeda. Untuk desa Amahusu nilai aset tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah sebesar 0,483, sedangkan untuk desa Urimesing memiliki hubungan dengan tingkat hubungan kuat sebesar 0,651. Hal ini menggambarkan bahwa nilai aset tidak dapat dijadikan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat namun hubungan rendah dan kuat tersebut menjelaskan nilai aset ini menciptakan gambaran pengaruh individu masyarakat tersebut yang dipandang lebih berkuasa dan dihormati di masyarakat kedua desa tersebut. Pemilik dusung

(19)

dengan nilai aset yang besar lebih berpengaruh memainkan perannya pada partisipasi di dalam masyarakat.

Hubungan Lama Keterlibatan dalam Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa lama keterlibatan masyarakat dalam berorganisasi pada kedua desa memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,648 dan desa Urimesing sebesar 0,424. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara lamanya keterlibatan pemilik dusung dalam berorganisasi dengan partisipasi yang dijalankannya. Melalui aktivitas berorganisasi masyarakat dapat mengelola kapasitas peran yang dilakukan dan menunjukan ketertarikannya dalam partisipasi pada pengelolaan sumberdaya hutan tersebut. Aktivitas berorganisasipun membantu mereka menemukan dan mengembangkan institusi yang mereka miliki yaitu rasa saling percaya, jalinan informasi dan komunikasi serta persahabatan yang terbina. Lama keterlibatan berorganisasi yang dimiliki menjadi salah satu faktor keberhasilan partisipasi yang mereka lakukan.

Hubungan antara Anggota dan Pengurus Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara pengurus dan anggota pada organisasi masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,593 dan desa Urimesing sebesar 0,631. Hal ini menggambarkan bahwa semakin baik hubungan pengurus dan anggota maka makin tinggi partisipasinya. Selain itu hubungan ini menjelaskan kesesuaian hubungan kerja yang dilakukan dimana kedua belah pihak harus berupaya menempatkan dirinya sesuai peranan yang harus dilakukan. Keberhasilan kerjasama yang baik antar pengurus dan anggota akan sangat membantu mengelola partisipasi yang dijalankan.

Hubungan Komunikasi dan Informasi dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dan informasi masyarakat pada desa Urimesing tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah yaitu sebesar 0,228 dan untuk desa Amahusu nilai X2 dan C tidak dapat dianalisis karena 76%

(20)

mengkatagorikan baik. Hal ini menggambarkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa semakin baik komunikasi dan informasi maka semakin tinggi tingkat partisipasinya tidak terbukti. Namun tidak demikian pada situasi dan kondisi masyarakat tertentu sebagai contoh desa Amahusu, masyarakat memberikan penilaian bahwa aspek komunikasi dan informasi merupakan hal penting dalam tiap interaksi mereka.

Komunikasi merupakan proses yang merekatkan semua interaksi sosial. Semua proses sosial, struktur sosial dan jaringan sosial diwujudkan dalam proses komunikasi. Kekuasaan dijalankan dan diekspresikan melalui proses komunikasi. Semua komunikasi adalah proses transfer informasi. Pada proses komunikasi, informasi dipertukarkan dalam bentuk simbol. Pada kedua desa ini, salah satu simbol yaitu suara tifa masih dipakai sebagai media penyebaran informasi dan pengumpulan masyarakat yang dilakukan oleh marinyo atas perintah Kepala Dusun atau Kepala Desa. Masyarakat kedua desa melakukan banyak aktivitas bersama yang membutuhkan informasi dan komunikasi yang baik misalnya aktivitas Pameri hutan (kegiatan penjarangan tegakan pada lahan dusun tertentu), olahraga bersama, serta ibadah bersama. Hal ini secara tidak langsung mengurangi konflik dibandingkan desa lain yang kurang memiliki wadah tersebut. Melalui jalinan komunikasi dan informasi yang baik, partisipasi dapat dikelola dengan lebih baik bagi keberhasilan partisipasi tersebut.

Hubungan Pemahaman Aturan organisasi dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pemahaman aturan organisasi di masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap pernyataan hipotesis bahwa semakin paham aturan berorganisasi maka semakin tinggi partisipasinya. Masyarakat memahami aktivitas berorganisasi adalah sebagai wujud motivasi pribadi, keterpanggilan bagi kepentingan bersama serta motivasi altruistik (semangat pengabdian bagi sesama) (Chitambar, 1973). Kurangnya pemahaman terhadap performance organisasi yang ia jalani masih dapat teratasi melalui peningkatan jalinan komunikasi dan informasi serta peran aktif melalui partisipasi yang dikelola oleh organisasi tersebut.

(21)

Hubungan Pengambilan Keputusan dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di dalam masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa semakin baik upaya pengambilan keputusan yang dilakukan maka semakin tinggi tingkat partisipasinya.

Upaya pengambilan keputusan senantiasa membutuhkan kepemimpinan. Partisipasipun memerlukan kepemimpinan. Kepemimpinan formal selalu mempunyai peran dalam partisipasi, tetapi pemimpin informal seringkali lebih penting. Hal ini nampak pada masyarakat dimana peran tokoh masyarakat yang lebih tua masih mendominasi proses ini.

Pada kedua desa, pertemuan bersama selalu berlangsung seminggu sekali melalui wadah organisasi keagamaan dan sebulan sekali bagi aktivitas kewang. Pengambilan keputusan difasilitasi melalui Lembaga Pemerintah Desa yang dimulai secara bertahap dari tingkatan dusun hingga tingkat desa. Hingga saat ini, jabatan Kepala Desa untuk desa Amahusu di tetapkan kriteria penduduk asli yang memiliki marga tertentu (marga Silooy dan da Costa) sedangkan untuk desa Urimesing lebih fleksibel dimana memberikan kesempatan siapa saja asalkan memenuhi kriteria yang mendasar sebagai Kepala Desa.

Hingga saat ini tiap kebijakan Pemerintah Kota Ambon yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan HLGN senantiasa membutuhkan persetujuan bersama dari masyarakat pada kedua desa. Sebagai contoh penempatan sebagian kawasan untuk areal pemukiman pengungsi membutuhkan persetujuan bersama dengan pemilik lahan pada kawasan tersebut.

Hubungan Penyelesaian masalah dengan Partisipasi Masyarakat

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian masalah pada desa Amahusu memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang sebesar 0,535 dan tidak memiliki hubungan untuk desa Urimesing dengan tingkat hubungannya rendah sebesar 0,047. Hal ini menggambarkan adanya penerimaan dan penolakan terhadap hipotesis tersebut bahwa semakin baik upaya penyelesaian masalah maka semakin tinggi tingkat partisipasinya.

(22)

Namun berdasarkan hubungan keeratannya, faktor ini lebih berpengaruh pada bentuk partisipasinya, seperti yang diungkapkan oleh Etzioni (1982). Menurutnya berdasarkan upaya pengendalian organisasi maka ada tiga macam bentuk partisipasi yaitu (1) partisipasi dengan ciri kepatuhan (keterlibatan terpaksa), (2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (keterlibatan dengan pertimbangan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang disediakan oleh organisasi), (3) Partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan dasar mengemban dan menghargai atau rela membantu organisasi). Pada masyarakat kedua desa, bentuk partisipasi yang nampak adalah pada partisipasi kalkulatif dan partisipasi dengan ciri kepatuhan moral. Sebagai contoh : Aktivitas penghijauan kawasan HLGN masyarakat menampakkan partisipasi kalkulatif dimana mereka terlibat aktif bila diberikan insentif yang sesuai namun dalam peran mereka sebagai pengelola dusung dimana kelestarian kawasan hutan dijunjung tinggi, masyarakat menampakkan partisipasi dengan ciri kepatuhan. Gambaran bentuk partisipasi ini sangat membantu menentukan bagaimana mengarahkan efektivitas partisipasi yang diterapkan.

Pembahasan Umum

Pada tabel 18 dan 19 terlihat bahwa karakteristik individu dan organisasi yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah Pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi. Seperti halnya institusi lokal, seperti harta karun yang potensinya belum termanfaatkan, demikian juga pengetahuan masyarakat. Masyarakat setempat seringkali punya pengetahuan yang luas tentang hutan itu sendiri (terutama dusung dengan kawasan hutan disekitarnya) karena pengalaman pribadi dan pengamatan jangka panjang dan juga pelajaran-pelajaran nyata dari orangtua dan nenek moyang mereka. Pengetahuannya itu tidak selalu nyata dan merata diantara kelompok masyarakat yang hidup pada hutan lindung itu. Memahami potensi pengetahuan setempat; pemahaman mereka tentang hutan; dari siapa diperolehnya dan mengetahui cara untuk mengaksesnya

(23)

merupakan tugas penting untuk mengkatalisator partisipasi. Penyatuan pengetahuan setempat dan luar penting dilakukan. Pertukaran berbagai jenis pengetahuan sangat produktif bagi berbagai pihak yang berkepentingan bagi kawasan HLGN tersebut.

Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer (2002) adalah areal kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan ternak. Status pemilikannya adalah perorangan dan memiliki fungsi produksi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat telah mempertahankan fungsi dusung ini dari generasi ke generasi.

Status pemilikannya perorangan dan keluarga, dimana ada yang telah disertifikasi dan ada yang tanpa status. Tidak mudah mengatasi persoalan ini, upaya penyelesaian yang diusahakan oleh masyarakat adalah dengan mengeratkan hubungan kekerabatan (antar marga yang diberi hak penguasaan dusun) sehingga dengan demikian ada institusi (hubungan kekerabatan itu) yang mengatur hak-hak individu, hak-hak bersama dan mengatur fungsinya. Sistem pengelolaan hutan seperti ini bukan hanya mewujudkan orientasi keuntungan individu pengelola, melainkan juga memperhatikan kepentingan bersama dan fungsi kawasan hutan itu sendiri. Luas penguasaan dusung dan status pemilikannya tidak akan menjadi hambatan bagi upaya membangun partisipasi yang ada, justru, Partisipasi akan membantu mengatur mekanisme institusi lokal tersebut. Institusi lokal membantu mewujudkan keadilan dimana disamping memegang hak, individu memegang tanggungjawab. Hak individu diperoleh dan diakui oleh anggota masyarakat sehingga dipegang secara aman, karena individu juga diberi tanggung jawab untuk kepentingan bersama (menjaga kondisi hutan sekitarnya). Mekanisme keadilan mendorong masyarakat membantu mengamankan dan menuntut keberadaan sumberdaya hutan lindung tersebut tetap terjaga.

Aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan (free riding, rent seeking dan asimetrik informasi) selalu berusaha diatasi antar pemilik dusung. Salah satu

(24)

cara mengatasinya adalah membangun keterlibatan tiap individu dalam berorganisasi dan menciptakan hubungan kerja yang sesuai kepentingan bersama sehingga upaya untuk memaksimumkan kesejahteraan individu lebih dapat diprediksikan. Melalui berorganisasi, upaya membangun koordinasi termasuk pertukaran informasi dan berbagai hal serta efisiensi biaya dapat diatasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Agrawal dan Gibson, 1999 bahwa lebih seringnya interaksi-interaksi dapat menurunkan biaya-biaya untuk bagaimana membuat keputusan-keputusan yang kolektif tersebut. Untuk itulah maka partisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan sangat mempengaruhi kebijakan yang dibuat.

Analisis Stakeholder

Kemampuan bekerja secara kolektif menjadi aspek yang penting bagi manusia. Masyarakat sudah melakukan partisipasi untuk mencapai tujuan bersama. Saat ini, semakin penting artinya masyarakat setempat punya hubungan dengan dunia luar. Hampir semua masyarakat terkait dengan dunia luar, terlepas dari mereka menghargai keterkaitan tersebut atau tidak. Adanya sumberdaya didunia luar yang cukup berguna bagi masyarakat setempat tentunya dapat diproses untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya tersebut dan dapat dikelola oleh masyarakat untuk kepentingan bersama. Salah satu proses mengkatalisasi partisipasi adalah dengan memulai proses pembuatan mata rantai semua stakeholder yang berkepentingan terhadap kawasan tersebut.

Upaya untuk mengidentifikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai stakeholder akan membantu masyarakat setempat untuk mengembangkan kepercayaan diri dan meningkatkan keahliaan bernegosiasi dengan berbagai pihak.

Untuk itulah penelitian ini mencoba menganalisis sejumlah stakeholder yang terkait dengan pengelolaan kawasan HLGN seperti yang diuraikan pada tabel 22. sebagai berikut :

(25)

Tabel 22. Matriks identifikasi Stakeholder dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Ambon

Daftar Pihak terkait Peran yang diharapkan Dampak

Hipotetik

Kekuatan Pengaruh

Prioritas Keterlibatan

Pihak Terkait utama (+) (-) (+/-) 1 sd 5 1 sd 5

1. Dinas Kehutanan dan Pertanian kota Ambon

Mengelola kawasan dgn bijak

+,- 1 1

2. Dinas Kehutanan Provinsi Maluku

Mengelola kawasan dgn bijak

+ 1 3

3.BP DAS

Waihapu Batu merah

Perencanaan Kawasan bagi ketersediaan debit air yang terjamin

+,- 2 2

4. BPTH Penyediaan bibit

reboisasi

+, - 2 2

5. BAPEDA Kota Ambon Perencanaan Kawasan ini dengan bijak

+ 1 1

6. Masyarakat Desa Urimesing dan Urimesing

Perlindungan kawasan ini +, - 1 1 7. Petugas Kewang desa/dusun Perlindungan kawasan ini + 2 1 8. Para penambang Batukarang & Pasir

Pemanfaatan SDA dgn lebih bijak

- 1 1

Pihak terkait Pemungkin

1. Kelompok tani binaan Dinas kehutanan

Memelihara tanaman reboisasi dgn baik

+ 3 3

2. Bank mandiri dan Bank BNI, Dinas Beacukai

Sponsor dana reboisasi dan pemberdayaan masyrakat sekitar kawasan

+ 3 3

3. UNDP/PTD (Peace Throug for Development)

Mengaktifkan kewang + 3 3

4. HMI, Universitas Kristen Maluku, Unpatti, Organisasi pemuda gereja, Yayasan Arman

Pelaksana reboisasi + 3 3

Ket : Kekuatan Pengaruh ; 1. Sangat berpengaruh, 2. berpengaruh, 3. cukup berpengaruh, 4. kurang berpengaruh, 5. tidak berpengaruh. Prioritas Keterlibatan : 1. sangat aktif, 2. aktif, 3. cukup aktif, 4. kurang aktif 5. tidak aktif

Dari tabel diatas terurai berbagai pihak dan untuk memudahkan analisis

(26)

dimana peran stakeholder dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok peran yang tergambar sebagai berikut :

a. Sponsor : Pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan, menjamin komitmen public dan politik serta memecahkan masalah dan yang termasuk pada peran ini adalah Dinas kehutanan Provinsi Maluku, Dinas Kehutanan & Pertanian kota ambon, BAPEDA (Badan Perencanaan Daerah) Kota Ambon, BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Waihapu Batu merah, dan BPTH (Balai Pembibitan Tanaman Hutan).

Stakeholder yang termasuk pada peran sponsor ini, diharapkan menggunakan peran dan tanggungjawabnya terhadap pengelolaan kawasan hutan secara bijak. Namun peran tersebut belum dilaksanakan dengan baik dan memiliki kelemahan. Contohnya Dinas Partanian dan Kehutanan untuk program Gerhan (Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan) sering melakukan penetapan areal yang tumpang tindih dan terkesan tanpa perencanaan yang baik. Pemilihan lahan yang tidak sesuai dengan tujuan reboisasi sebagai tujuan utama yaitu untuk peresapan sumber air bagi kawasan HLGN tetapi menggunakan jenis-jenis tanaman yang tidak sesuai dengan criteria tersebut. Untuk BAPEDA, Perencanaan pemetaan lahan yang tidak parsipatif dan Button Up tetapi topdown. BPTH dimana institusi ini bertugas untuk menyediakan bibit tanaman Reboisasi, namun terkadang masih dipengaruhi oleh kegiatan dunia usaha (pihak ketiga) sehingga bibit yang disediakan kurang berkualitas dan hanya sekedar label sertifikat bibit unggul.

b. Change participant : setiap orang yang dipengaruhi oleh perubahan dengan tingkat keterlibatan yang sangat bervariasi dan yang termasuk dalam peran ini adalah masyarakat Desa Amahusu dan Urimesing, Petugas Kewang tiap desa serta Kelompok tani binaan dinas Kehutanan dan Pertanian Kota Ambon.

Perlindungan kawasan ini menjadi tekad utama masyarakat Desa Urimesing dan Amahusu, namun karena kebutuhan sehari-hari dan lebih mudah itu diperoleh dari kawasan hutan, maka seringkali fungsi ekologis kawasan ini diabaikan demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tersebut. Upaya memfungsikan kembali salah satu struktur Pemerintahan Desa/Negeri yaitu kewang/jagawana sangat membantu masyarakat untuk mengatasi

(27)

kerusakan oleh orang-orang/masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar kawasan hutan di kedua desa.

Kewang belum dapat berfungsi dengan baik karena jumlah Kewang/Jagawana tidak sebanding dengan luas wilayah dan masih ada dusun yang belum memiliki kewang. Upaya memberikan insentif bulanan oleh Pemerintah diharapkan meningkatkan fungsi dan peranannya terutama mengawasi dan mencegah kegiatan-kegiatan yang merusak hutan dengan lebih baik dan pemberian sanksi bagi pelakunya.

Kelompok Tani Binaan Dinas Kehutanan dan Pertanian dibentuk dengan fungsi mengelola dan memelihara bibit reboisasi bagi kawasan HLGN. Kelompok ini sebagian besar adalah masyarakat sekitar kawasan dari kedua desa. Mereka diberikan insentif bulanan untuk menjalankan perannya namun belum terpikirkan oleh pemerintah bagaimana kelanjutan peran ini setelah pembiayaannya proyek ini selesai.

c. Change agent : Individu/kel/organisasi yang mengelola implementasi program-program perubahan dan yang termasuk dalam peran ini adalah Bank Mandiri, Bank BNI, Dinas Beacukai, HMI, Unpatti, UKIM, Yayasan Arman, UNDP/PTD (United Nation Development Program/Peace Thourgh development).

Peran yang dilakukan oleh kelompok ini adalah bentuk kepeduliaan untuk menjaga kelestarian kawasan dan pemberdayaan masyarakat setempat, dengan cara pemberian modal usaha kecil dan penanaman berbagai tanaman reboisasi. Namun Peran yang dijalankan belum terlaksana dengan baik : lemahnya koordinasi, belum terjalin kerjasama yang baik dengan stakeholder lain serta perencanaan, monitoring dan evaluasi yang terabaikan sehingga hasilnya tidak seperti yang diharapkan dan terkesan program dengan jangka pendek.

d. Oposisi : berperan diantara 3 peran tersebut.(sumber resiko kegagalan proyek yang harus ditangani) dan yang termasuk dalam peran ini adalah Masyarakat eks pengungsi dan Para pekerja penambang Pasir dan Batukarang disekitar kawasan HLGN.

Para penambang batu karang dan pasir, tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan dari aktifitas mereka. Sehingga kurang bijak dalam memanfaatkan

(28)

sumber daya alam yang tersedia dan terkesan merusak. Pemerintah perlu menindak tegas dan memberikan pemahaman tentang fungsi dan manfaat hutan lindung dan bagaimana dampak dari aktivitas mereka itu. Begitupun masyarakat eks-pengungsi, Mereka ini terkesan sangat eksploitatif terhadap kondisi sumberdaya hutan yang ada sehingga menyebabkan kerusakan sumberdaya alam sekitarnya, Namun disisi lain, ini merupakan bentuk upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Pemerintah dan berbagai stakeholder yang ada diharapkan memberi pemahaman bagi mereka fungsi hutan lindung tersebut dan menentukan kebijakan yang tepat bagi keberadaan mereka terhadap fungsi kawasan serta lebih aktif melibatkan mereka dalam pengelolaan kawasan.

Kelemahan utama dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah ketidaksempurnaan dalam penguasaan informasi dan belum terbangun kerjasama yang baik dari tiap stakeholder yang berkepentingan terhadap kawasan ini. Kelemahan informasi tentang kepastiaan hak dan batas-batas hutan lindung serta isi yang terkandung didalamnya. Tanpa adanya kesempurnaan dalam penguasaan informasi tersebut, kewenangan dapat berjalan namun tanpa objek yang jelas sehingga penyelenggaraan kewenangan dari tiap stakeholder tidak efektif (Kartodihardjo,1998).

Stakeholder secara keseluruhan telah kehilangan respect satu terhadap yang lain, tidak terjadi dialog meskipun ada pertemuan. Peran sebagai sponsor ataupun change participant tidak optimal sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah dan masyarakat dalam arti luas, seperti kehilangan common interest untuk mempertahankan fungsi HLGN ini, meski semua tahu dan mulai timbul kesadaran akan kepentingannya.

Melalui partisipasi upaya untuk mengenali kebutuhan koordinasi diantara stakeholder dan pengaturan perilaku tiap individunya yaitu menghindari terjadinya free riders (penunggang gratis) dapat dilakukan dan ada upaya untuk menyepakati aturan main serta monitoring terhadap perilaku menyimpang serta pengenaan sangsi yang telah ditetapkan dalam aturan main. Untuk itulah maka perlu diciptakan mata rantai partisipasi berbagai stakeholder dimana kelemahan dari tiap peran yang dimainkan oleh tiap stakeholder dapat

(29)

saling melengkapi dan teratasi demi kelestarian HLGN dan kesejahteraan bersama.

Untuk mendukung tujuan jangka panjang dari sistem sumberdaya terbaharui seperti hutan, partisipasi diperlukan untuk membatasi penggunaan sumber daya itu dan untuk melakukan berbagai wujud dari aktivitas manajemen. Aktivitas partisipasi memerlukan visi yang jelas karena aksi ini memiliki konsekuensi terhadap berbagai pihak yang terlibat dan dapat berubah karena pengaruh kepemimpinan yang mengelola aksi tersebut. Partisipasi tidak selalu mengharuskan adanya partisipasi namun akan lebih efektif bila ditunjang oleh partisipasi tersebut karena dengan adanya partisipasi, partisipasi akan lebih terarah dengan baik karena tersedianya koordinasi, pengaturan perilaku berbagai pihak yang terkait serta adanya kesepakatan aturan main yang di tetapkan secara bersama sehingga masalah distribusi biayapun dapat dibagikan dengan adil diantara berbagai pihak. Hal ini tergambar pada pengelolaan kawasan HLGN.

Arnstein (1995) menyatakan bahwa tingkat partisipasi sangat bervariasi mulai tahap manipulasi, terapi, menginformasikan, konsultasi, menentramkan (placation), kemitraan, delegasi kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan tersebut dikenal dengan istilah tangga partisipasi. Tangga partisipasi ini akan sangat membantu mempelajari sejauhmana tingkat peran partisipasi yang dimainkan oleh masyarakat dan bagaimana membuatnya lebih baik. Untuk tangga partisipasi yang terlihat pada bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN telah berada pada tangga menginformasikan dan tangga kemitraan dimana masyarakat disosialisasikan dan diinformasikan tentang fungsi dan manfaat kawasan HLGN dengan harapan mereka memahami dan berpartisipasi menjaga kelestarian kawasan dan sebagai mitra kerja dalam pengelolaan kawasan ini. Tingkatan Partisipasi ini belumlah optimal seperti yang diharapkan karena upaya menginformasikan lebih dikhususkan pada pemimpin mereka begitupun keikutsertaan sebagai mitra kerja relative hanya pada proyek penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi.

(30)

Kinerja pengelolaan kawasan masih terlihat beberapa kelemahan sehingga performancenyapun terganggu dan saat ini beberapa bagian hutan telah mengalami kerusakan. Adapun beberapa kelemahan kinerja antaralain :

1. Kelemahan aspek koordinasi, dimana belum terjalin kerjasama yang baik antar pengelola dengan berbagai pihak lain terutama pada aspek perencanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan.

2. Masyarakat memiliki kemudahan akses pemanfaatan kawasan (karena hak kepemilikan dusung) sehingga penambangan batu karang dan pasir semakin meningkat dan mengakibatkan terjadinya degradasi tanah.

3. Terjadinya degradasi karena seringnya terjadi kebakaran hutan (baik sengaja maupun tidak sengaja) dan penebangan liar yang mengakibatkan berkurangnya debit mata air hingga hilangnya beberapa sumber mata air.

4. Tidak termanfaatkan modal social dengan baik (kewang dan marinyo).

5. Belum terwujudnya partisipasi sebagai modal utama masyarakat membangun tujuan bersama bagi pengelolaan kawasan.

Kawasan HLGN yang sangat dekat dengan kota Ambon secara tidak langsung mengakibatkan kawasan ini mengalami tekanan sebagai implikasi dari tergangunya performance tersebut. Gambaran terjadinya degradasi terhadap sumberdaya yang ada tentunya mengakibatkan fungsi hidrologi HLGN tergangu. Upaya mengatasinya dilakukan oleh pemerintah kota Ambon khususnya dinas kehutanan dengan memfungsikan kembali kewang pada masing-masing dusung.

Masyarakat kedua desa memiliki homogenitas pada aspek budaya (adat Maluku) dan minat ekonomi (system pengelolaan dusungnya), hal ini memudahkan menjalankan partisipasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN.

Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan HLGN maka ada beberapa variabel yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan kawasan HLGN dan juga mengambarkan institusi dari kedua masyarakat ini antaralain :

1. Pengaturan kebijakan formal : Pentingnya interpendensi antara berbagai peraturan yang mengatur pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan lahan dusung oleh masyarakat. Pada HLGN kedua peraturan ini tidak dapat dilepas pisahkan dan sangat dibutuhkan untuk manajemen kawasan.

(31)

Adapun peraturan yang mengatur tentang pengelolaan hutan lindung tercantum jelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 dimana pada peraturan ini bahwa pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa; b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam, sehingga upaya pengelolaan perlu diatur oleh pengelola (Dinas kehutanan Provinsi dan kota setempat) dengan baik dan perlu bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan pemanfaatan kawasan ini. Melalui keputusan Menteri Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996, tercantum secara jelas pengaturan kawasan ini sebagai kawasan lindung sedangkan peraturan tentang lahan dusung masyarakat diatur melalui register 26 Mei 1814 warisan pemerintah Belanda dan dilakukan registrasi kembali di Pulau-pulau Lease dan Pulau-pulau Ambon pada tahun 1883. Penetapan lahan dusung ini telah berlaku secara turun temurun dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber ekonomi keluarga. Keberadaan dusung ini sangat menunjang keberadaan fungsi kawasan lindung karena lahan hutannya tetap terjaga dengan baik oleh pemiliknya, hal ini terlihat pada banyaknya tegakan yang besar. Kedua peraturan ini saling menunjang dalam pengelolaan kawasan HLGN. Hal ini menggambarkan bahwa secara de facto masyarakat memiliki hak dan secara de jure adalah kewenangan pemerintah, untuk itulah maka sangat dibutuhkan partisipasi dan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan kawasan ini.

2. Pemahaman karakteristik sumberdaya ; pengenalan akan ciri khusus dari sumberdaya hutan itu dan system pengelolaannya penting dipahami oleh pengelolaan kawasan.

Kawasan HLGN ini memiliki ciri khusus sebagai kawasan dengan tingkat kelerengan yang tinggi 50-80% dengan didominasi tegakan pinus, pala dan cengkih serta merupakan daerah tangkapan air yang sangat berguna untuk masyarakat kota Ambon dan tepat berada diantara kedua

(32)

desa yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu dimana masyarakat memiliki sejumlah dusung yang berada pada kawasan HLGN tersebut. Pengelolaan kawasan ini diatur secara khusus oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan kota Ambon dengan berkoordinasi dengan instansi terkait. Sedangkan pengelolaan dusung, penguasaan lahan dan hasil dusung dikuasaai secara individu (keluarga) dengan oreintasi subsisten dimana 50% hasilnya untuk konsumsi langsung kelaurga pengelola dan beroreintasi komersial dimana sebagian besar tegakan buahnya hasil produknya dipasarkan. Sedangkan struktur hutan dusungnya agroforest kompleks. Dusung telah diusahakan bertahun-tahun, melampaui beberapa generasi. Pada tingkat produktivitas yang ada, ia menjadi penopang utama pendapatan rumahtangga pemiliknya. Keberlanjutannya mengalami tantangan sehubungan dengan peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan kebutuhan hidup.

Pemahaman akan karakteristik kawasan HLGN dengan dusung-dusung yang ada mengharuskan pengelolaan kawasan ini memiliki kerjasama dan partisipasi aktif dari masyarakat setempat agar pengelolaannya dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan.

3. Pengaturan efektivitas kelembagaan : kejelasan property rights atas lahan, pengetahuan tentang lahan hutan, pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun serta mekanisme penyelesaian konflik.

Untuk variabel ini mencoba menjelaskan efisiensi dilakukan dengan pendekatan kelembagaan. Untuk hak-hak yang berkaitan dengan kepemilikan, penguasaan, pengelolaannya terdefenisi secara baik pada komponen property right ini. Pemerintah memiliki hak penuh terhadap pengelolaan kawasan HLGN dimana tujuan pengelolaan dan pemanfaatannya merupakan hak dari pemerintah namun yang menarik pada disisi lain masyarakat memiliki hak atas kepemilikan lahan dusung yang telah ada sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung. Kepemilikan pemerintah atas kawasan HLGN dan kepemilikan masyarakat atas lahan dusung tidak akan menjadi masalah apabila masing-masing pihak memahami dengan baik haknya tersebut dan mengatur mekanisme penggunaannya. Property right ini merupakan institusi

(33)

karena didalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatan atas lahan hutan ini dan merupakan alat yang mengatur hubungan antar individu (North, 1990).

Adanya pengetahuan yang tepat tentang fungsi dan manfaat kawasan HLGN oleh berbagai pihak yang berkepentingan atas kawasan ini haruslah menjadi pemahaman bersama dan penentuan aturan main yang disepakati bersama; terlebih khusus aturan main tentang interdependencies antar berbagai pihak tersebut dengan sumberdaya hutan itu.

Pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun antar berbagai pihak serta mekanisme penyelesaian konflik yang ada, akan membantu menentukan kesempatan-kesempatan ekonomi individu dan hasil akhir interaksi antar individu/organisasi terhadap kinerja ekonomi dan pengelolaan sumberdaya HLGN tersebut agar tidak saling merugikan melalui partisipasi. Pentingnya penegakan sanksi-sanksi (formal-informal) yang telah disepakati. 4. Pemahaman karakteristik kelompok actor : heterogenitas, tingkat kepercayaan,

hubungan social serta partisipasi dan partisipasi yang terbangun.

Pentingnya pemahaman karakteristik berbagai kelompok/individu yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya akan membantu mengidentifikasi peran yang tepat bagi individu/organisasi tersebut. Pada masyarakat jelas memiliki heterogenitas (individu dan organisasi sebagaimana diuraikan pada riset ini) yang sangat berpengaruh terhadap bentuk partisipasinya dalam pengelolaan kawasan HLGN.

Tingkat kepercayaan dan hubungan sosial merupakan modal sosial dimana untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah harus berbagi peran dengan masyarakat dalam arti harus bergeser dari yang semula sebagai pengontrol, regulator dan penyedia menjadi lebih sebagai katalisator, penyelenggara dan fasilitator (Rustiadi, 2007). Inilah bentuk peran yang diharapkan dalam pengelolaan kawasan HLGN.

Referensi

Dokumen terkait

Dinas Sosial Kabupaten kendal seharusnya melakukan pendampingan terhadap orang tua angkat yang sudah dinyatakan sah sesuai putusan Pengadilan dalam melaksanakan

(Contoh materi ajar terlampir). Metode pembelajaran tidak sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru, metode yang

Dari hasil pengujian terlihat bahwa sikap terbang quadrotor relatif stabil dengan simpangan terbesar untuk sudut roll sebesar 0,25°, sudut pitch sebesar 0,2°, dan sudut yaw

Oleh karena itu penulis ingin membuat penelitian yang lebih mendalam tentang keistimewaan zaitun menurut Alquran serta manfaatnya di dalam ilmu kesehatan.

Ketentuan ini merupakan serangkaian persyaratan yang terdiri dari prinsip dan kriteria, dan panduan yang dipersyaratkan untuk pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

Desain komunikasi visual adalah suatu disiplin ilmu yang bertujuan mempelajari konsep-konsep komunikasi serta ungkapan kreatif melalui berbagai media untuk menyampaikan pesan

• Gambar Ilustrasi realis atau Naturalis, yaitu gambar ilustrasi yang memiliki bentuk dan warna sama dengan kenyataan yang ada di dalam tanpa ada pengurangan atau penambahan.. •

Bagaimana problematika yang dihadapi guru lulusan SMA dalam mengajar Pendidikan Agama Islam dan Faktor yang menyebabkan timbulnya problematika dalam proses belajar