• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH RUMAHTANGGA PETANI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH RUMAHTANGGA PETANI."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA N AFKAH

RUMAHTANGGA PETANI.

(Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Oleh : Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(2)

RINGKASAN

AGUS SUBALI. PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH

RUMAHTANGGA PETANI. Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO)

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan melakukan analisa terhadap pengaruh konversi lahan terhadap pola nafkah rumahtangga petani. Dalam penelitian ini penulis berusaha meneliti penggunaan uang hasil dari penjualan lahan oleh rumahtangga petani dan untuk mengetahui juga perubahan struktur rumahtangga petani yang lahannya terkonversi. Aspek-aspek yang dikaji meliputi analisis ditingkat rumahtangga petani.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk (1) Mengetahui dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani (2) Mengetahui penggunaan uang hasil konversi.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi kasus. Data-data dan informasi yang didapatkan di lapangan disajikan secara deskriptif dan eksploratif dengan berdasarkan informasi atau keterangan dari objek penelitian. Data dan informasi dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan kombinasi strategi pendekatan yaitu wawancara, observasi dan analisa dokumen. Responden terdiri dari petani yang menjual lahan di desa Batujajar yang berjumlah 20 orang.

Konversi lahan yang dilakukan penduduk Batujajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendidikan, peluang kerja, dan pendapatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengaruh investor, pengaruh tetangga yang menjual lahan terlebih dahulu , aparat desa dan juga dari calo tanah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kerja rumahtangga, dan juga terjadi perbedaan pemanfaatan dalam alokasi dana hasil penjualan lahan antar petani. Ada perbedaan yang nyata antara petani lapisan atas, menengah, dan bawah dalam pengelolaan dana hasil penjualan lahan. Petani kaya atau petani lapisan atas cenderung ke arah penggunaan produktif, sedangkan petani miskin cenderung ke arah konsumtif.

Akibat tekanan ekonomi, dana yang didapat dari hasil penjualan lahan oleh petani lapisan bawah, lebih cenderung dialokasikan ke arah yang sifatnya konsumtif, seperti memperbaiki rumah, membeli peralatan rumahtangga dan juga untuk makan.

(3)

Sedangkan petani yang berada pada lapisan atas mengalokasikan uang hasil penjualan lahan untuk kegiatan yang sifatnya produktif, yakni untuk tambahan modal usaha. Kondisi kemiskinan juga lah yang mendor ong petani lapisan bawah untuk melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, salah satunya dengan menerapkan pola nafkah ganda dan juga memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri.

Pola nafkah ganda dilakukan melalui penganekaraga man bidang mata pencaharian sedangkan pemaksimalan tenaga kerja dilakukan dengan melibatkan anak-anak dan wanita (istri) untuk turut serta dalam usaha produktif. Selain itu sebenarnya rumahtangga petani di desa penelitian juga memanfaatkan jaringan sosial dalam bentuk kelembagaan yang sudah ada semisal arisan, pengajian untuk membantu ekonomi mereka, namun pembahasan secara detil tidak penulis lakukan karena kurangnya data yang berhasil dikumpulkan.

(4)

PENGARUH KONVERSI LAHAN TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor.

Oleh : Agus Subali

A14201061

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PEGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

(5)

Judul : KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

( Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor) Nama : Agus Subali

NRP : A14201061 Mengetahui Pembimbing Dr. Endriatmo Soetarto,MA NIP. 131 610 288 Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham,M.Agr NIP. 130 422 698

(6)

PERNYATAAN.

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ” KONVERSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Desember 2005

Agus Subali NRP.A14201061

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di kota Banyuwangi, Jawa timur pada tanggal 20 Agustus 1982 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Munawar dan Siti Fatimah. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SD 05 Wonosobo dan pada tahun yang sama pula penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Menengah Tingkat Pertama di SLTPN 01 Rogojampi. Kemudian pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Umum di SMUN 01 Rogojampi dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun tersebut pula penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN.

(8)

PRAKATA

Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini diberi judul Penga ruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga Petani (Studi Kasus Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor , Jawa Barat). Pilihan atas topik ini berawal dari minat penulis untuk lebih memahami konversi lahan dari pertanian ke non pertanian dan dampaknya bagi rumah tangga petani. Banyak kasus masalah agraria muncul, karena pihak pengambil keputusan dalam hal ini pemerintah “ mengubur” UUPA 1960, sehingga persoalan alih kepemilikan lahan menjadi masalah yang berlarut-larut antara pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pemerintah, swasta dan masyarakat.

Posisi masyarakat (petani) tidak selalu menguntungkan, sebagai akibat tekanan dari pihak eksternal yakni pemilik modal (swasta) dan juga dari pemerintah sendiri, yang pada ujungnya kepemilikan lahan beralih hak dari petani pemilik ke pihak pengusaha. Keinginan rumahtangga petani menjual lahan juga dipengaruhi oleh faktor internal petani sendiri, yakni pendidikan, pengalaman kerja, pendapatan dan ketergantungan pada tanah, yang kalau boleh di ringkas penyebab utama dari persoalan penjualan lahan adalah masalah kemiskinan.

Demikian skripsi ini di buat setelah penulis berada di lapangan selama dua bulan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat di harapkan untuk penyempurnaan skripsi ini sebagaimana ungkapan orang bijak ” di atas langit masih ada langit”

(9)

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Kedua Orangtua, Bapak dan Ibu, Mbak Yuli dan adik-adik atas dukungan dan do’anya.

2. Bapak Dr. Endriatmo Soetarto,MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Ir. Saharudin, Msi dan Ibu Ir. Ninuk Purnaningsih,MSi selaku dosen penguji. Atas bimbingan dan ”coretannya” yang mendorong penulis untuk berfikir kembali atas sebuah kesalahan.

4. Ibu Dra. Winati Wigna,MDS, selaku pembimbing akademik yang dengan telaten menyempatkan waktu untuk mendengar keluh kesah penulis disaat penulis jenuh dengan rutinitas perkuliahan.

5. Bapak Drs. Satyawan Sunito, selaku pembimbing SP yang dengan tekunnya mengoreksi tulisan kata perkata. Terima kasih banyak atas ide -ide radikalnya tentang konsep berfikir.

6. Bapak Ivanovich Agusta, SP.Msi atas kritikannya yang menggelitik, tentang agama, budaya dan kebijakan pemerintah.

7. Ibu Dr.Ir Ekawati S.Wahyuni,MS. Dengan kedisiplinan dan ketegasannya sehingga memacu semangat untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.

8. Sobat-sobat terbaikku, Ema, Indra, Taufiq, Anto, Edi, Menot, Oshin, Anis, Yuni, Eni, Zedi, Zeplin, Ali, Ibnu, Bang Mugiono, jeng Shinta, Mpok Agni, Uni Wydia, Bang Heri, Bang David, Kang Ari, Neng Pretty, Kang Nanang, Kang Rizal, Teh Nonos, Ilham, Igbal, Teh Uji, Mpok Mega dan semua KPM’ers yang senasib sepenanggungan.

(10)

9. Teman-teman kost “Dolphin”: Subekh, Agung P, Agung R, Mas Insan, Dekri, Mulyadi, Syah, Heri, Iden, Jamal, Mada, Mas Lilik, Ikin, Sandi, Dukik, Adit, dan juga Yanuar. Makasih banyak atas semua tawa dan kebersamaannya selama ini.

10. Pemikir -pemikir dunia, Sidharta Gautama, Sartre, Hegel, Nietzsche, Soekarno, Mirza Ghulam Ahmad, Che Guevara, Nostradamus, Al_Hallaj, Hamzah Fansuri, Shekh Siti Jenar dan Sunan Kali Jogo, meskipun sudah tiada, pemikiran dan contoh hidupnya menjadi rujukan penulis untuk memahami realitras dunia dengan lebih bermakna.

11. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Kepada Allah SWT jualah penulis serahkan balasan kebaikan semua pihak yang telah membantu pembuatan tulisan ini. Harapan penulis tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca tulisan ini.

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I . PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penulisan ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Petani ... 5

2.2 Penguasaan Lahan ... 9

2.3 Pola Nafkah Ganda ... 12

2.4 Konversi Lahan ... 14

2.5 Pola Adaptasi ... 19

2.6 Kerangka Pemikiran ... 22

2.7 Definisi Konseptual ... 26

2.8 Definisi Operasional ... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 29

3.2 Pengambilan Sampel ... 29

3.3 Metode Penelitian ... 29

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 30

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Geografis Batujajar ... 31

4.1.1. Lingkungan Alam... 32 1. Topografi ... 32 2. Temperatur Udara ... 32 3. Tanah ... 33 4. Tata Air ... 33 4.1.2. Lingkungan Fisik ... 34

1. Tata Guna tanah ... 34

(12)

4.1.3 Demografi Desa Batujajar... 36

1. Penduduk ... 36

2. Ketenagakerjaan... 38

3. Pendidikan ... 39

4.2 Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya ... 40

1. Kehidupan Ekonomi ... 40

2. Kehidupan Sosial Budaya ... 43

3. Teknologi Bercocok Tanam... 43

BAB V. STRUKTUR AGRARIA DI DESA BATUJAJAR 5.1 Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan... 47

5.2 Kelembagaan Agraria ... 49

5.2.1 Ceblokan ... 49

5.2.2 Maro ... 49

5.2.3 Aturan Sewa Menyewa ... 50

5.3 Sejarah Agraria Loka l ... 50

5.4 Tanah Absentia ... 52

BAB VI. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI 6.1 Faktor Internal ... 54

6.2 Faktor Eksternal ... 59

6.3 Mekanisme Konversi ... 59

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN DI DESA BATUJAJAR 7.1 Penguasaan Lahan ... 63

7.2 Adaptasi Rumahtangga Petani yang Terkonversi Lahannya ... 64

7.2.1. Pola Nafkah Ganda ... 64

7.2.2. Optimalisasi Penggunaan Tenaga Kerja ... 67

7.3 Pola Pengggunaan Uang Hasil Penjualan Lahan... 70

7.4 Pengaruh terhadap Kesempatan Kerja ... 72

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 75

Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh PT di Desa Batujajar Tahun 2005 ... 32

Tabel 2. Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar ... 34

Tabel 3. Bentuk Penggunaan Lahan di Desa Batujajar 2005 ... 35

Tabel 4. Jumlah dan persentase Pria dan Wanita menurut umur ... 37

Tabel 5. Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat Batujajar Menurut Umur Tahun 2005 ... 38

Tabel 6. Jumlah Penduduk Usia Kerja Desa Batujajar Menurut Mata Pancaharian 39 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Tingkat Pendidikan Desa Batujajar Tahun 1994 dan 2005... 39

Tabel 8. Jumlah dan Persentase Pendapatan Responden... 41

Tabel 9. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Dusun di Desa Batujajar 42 Tabel 10. Luas Kepemilikan Lahan Sawah Responden... 47

Tabel 11. Jenis Pembagian Pemanfaatan Lahan di Desa Batujajar Tahun 2003... 48

Tabel 12. Penjualan Lahan Bukit oleh Warga Batujajar menurut Tahun dan Harga 52 Tabel 13. Alasan Responden Melakukan Konversi ... 55

Tabel 14. Jawaban Responden Terhadap Hasil Usaha Tani ... 56

Tabel 15. Karakteristik Sumberda ya Manusia Responden ... 58

Tabel 16. Tahun Pembelian dan Luas Lahan Yang di Kuasai PT di Desa Batujajar tahun 2004 ... 60

Tabel 17. Proses Pendekatan dalam Pembebasan Lahan... 61

Tabel 18. Besarnya Ganti Rugi Lahan Responden di Lihat Dari Tahun Penjualan 62

Tabel 19. Rata-rata Perkembangan Penguasaan Lahan Responden Sebelum dan Sesudah Konversi... 63

Tabel 20. Penggunaan Uang Ganti Rugi 20 Responden Berdasarkan Aset Tetap dan Aset Lancar... 70

Tabel 21. Jumlah Uang Ganti Rugi Lahan Yang Terkonversi ... 71

Tabel 22. Penggunaan Uang Ganti Rugi Lahan 20 Responden Berdsarkan Produktif konsumtif ... 72

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya terhadap

Pola Nafkah Rumahtangga Petani ... 25 2. Mekanisme Pelaksanaan Konversi Lahan... 60

LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Aktivitas Perempuan dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumahtangga

(Kerja Reproduksi) yang Memanfaatkan Air Sungai... 83 2. Aktivitas Petani dalam Memanfaatkan Ternak untuk Bekerja di Pertanian .. 83 3. Aktivitas Perempuan dalam Upaya Membantu Ekonomi R umahtangga

dengan Membuka Warung ... 84 4. Aktivitas Warga Mencari Ikan di Sungai Sebagai Tambahan Penghasilan... 84

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Batujajar merupakan satu komunitas pertanian yang terbentuk sejak masa pemerintahan kolonial. Pola kehidupan masayarakatnya adalah bercocok tanam terutama padi, selain itu mereka juga berdagang, menjadi buruh di pertambangan maupun buruh tani. Banyaknya masyarakat yang bekerja disektor pertanian, yang mencapai 87 persen menunjukkan ba hwa kehidupan mereka sangat tergantung pada sumberdaya lahan.

Sebagian besar penduduk memanfaatkan lahan sawah dan ladang dengan menanami padi dan kacang tanah, satu sampai dua kali musim tanam. Padi biasanya ditanam di sawah sedangkan ladang di perbukita n ditanami ketela pohon, pisang maupun durian. Banyaknya bukit yang mengandung batu yang sangat potensial untuk pertambangan, mendorong pihak luar desa (investor) untuk mengincar lahan masyarakat di perbukitan untuk dijadikan pertambangan. Proses pembebasan lahan sudah dimulai sejak tahun 1978 sampai saat ini tahun 2005. Sehingga hampir 272,5 ha lahan di perbukitan kepemilikannya sudah dikuasai oleh pihak luar desa.

Berdasarkan luas kepemilikan lahan masyarakat petani desa Batujajar dapat dibedakan menjadi 4 lapisan: petani lapisan atas, menengah, bawah dan tunakisma. Bagi masyarakat agraris tanah tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting lainnya, baik menyangkut aspek sosial maupun politik. Oleh karena itu, masalah tanah tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antar manusia dan tanah lebih dari itu secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia. Tanah dalam sistem sosial ekonomi apapun, dianggap sebagai faktor produksi

(16)

utama. Hal yang membedakan hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan dan cara pandang terhadap tanah itu sendiri (Suhendar dan Winarni,1998)

Berkembangnya kepentingan atas tanah pada akhirnya menyebabkan kebutuhan atas tanah pun menjadi semakin bertambah. Sementara jumlah tanah yang tersedia tidak bertambah. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya proses alih fungsi lahan pertanian kepenggunaan non pertanian. Fenomena konversi atau alih fungsi lahan pertanian kepenggunaan non pertanian dibeberapa wilayah Indonesia terjadi dengan pesat terutama di pulau Jawa. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian mendapat perhatian dari banyak pihak karena berkaitan dengan dimensi persoalan yang luas, baik dalam skala makro maupun mikro (Kustiawan, 1997)

Dalam banyak hal pembangunan memang sulit menghindari resiko, baik lingkungan fisik maupun pada lingkungan komunitas sosial. Pertumbuhan penduduk yang pesat berakibat pada upaya penyediaan lahan, baik untuk pemukiman, perkantoran, maupun untuk infrastruktur pendukung. Dalam konteks makro, sesungguhnya fenomena ini merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian keindustri) dan demografis (dari perdesaan ke perkotaan). Namun yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa konversi lahan tersebut dalam prosesnya tidak selalu menguntungkan petani sebagai pemilik lahan1.

Sebagai gambaran konversi lahan yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat bahwa pada tahun 1997 luas lahan sawah kurang lebih 8,5 juta hektar sedangkan tahun 2000 luasnya menurun me njadi 7.8 juta hektar, sehingga dapat dihitung bahwa dalam waktu tiga tahun telah terjadi penyusutan 0.7 juta hektar atau rata-rata 230 ribu hektar pertahun2. Sedangkan sensus pertanian tahun 1983 menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan lahan pertanian untuk seluruh Indonesia adalah 0,98 hektar perkeluarga

1

Sebagai contoh kasus kedung Ombo, waduk nipah,dan jenggawah di Jember, dimana untuk kasus yang terakhir tidak ada proses ganti rugi .Pemerintah menetapkan tanah sengketa sebagai HGU PTP XXVII yang akibatnya memicu perlawanan Petani.

2

(17)

petani. Rata– rata penguasaan lahan tersebut menunjukan kecenderungan yang terus mengecil. Pada tahun 1993 rata-rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah 0,83 hektar, dimana rata-rata di Jawa 0,47 hektar dan di luar Jawa 1,27 hektar perkeluarga petani.

Perubahan peruntukan lahan masyarakat petani desa Batujajar terjadi ketika ada investor yang masuk untuk melakukan kegiatan penambangan di bukit sebagai hasil pembelian lahan dari masyarakat. Proses alih fungsi lahan yang terjadi tidak selamanya berjalan dengan baik, masyarakat lebih banyak dirugikan dengan adanya proses konversi, pencemaran (udara, suara, dan air) akibat proses pertambangan, serta ganti rugi lahan yang tidak memadai merupakan faktor -faktor yang mendorong masyarakat menilai bahwa adanya pertambangan batu di Batujajar tidak menguntungkan masyarakat setempat.

Uang ganti rugi lahan antara petani juga berbeda karena perbedaan luasan lahan yang dijual. Begitu juga dengan alokasi penggunaan uang hasil konversi, antara lapisan atas, menengah, dan bawah cenderung terjadi perbedaan alokasi. Lapisan atas lebih mengarah ke penggunaan produktif sedangkan pada lapisan tengah dan bawah lebih cenderung ke arah penggunaan konsumtif.

Berkurangnya lahan yang dimiliki atau bahkan habisnya lahan garapan, ditambah lagi terbatasnya akses rumahtangga karena tingkat pendidikan yang rendah (dalam hal ini petani lapisan bawah) terhadap sumberdaya ekonomi (modal) maka banyak diantara mereka memanfaatkan lahan-lahan milik perusahaan untuk ditanami tanaman musiman, selain itu mereka juga melakukan pola nafkah ganda. Hal itu mendorong rumahtangga untuk mengkonsolidasikan seluruh sumberdaya keluarga untuk bekerja guna mencukupi kebutuhan rumahtangganya.

(18)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka persoalan dapat diringkas sebagai berikut.

1. Apa dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani?

2. Bagaimana penggunaan uang hasil konversi oleh petani lapisan atas menengah, dan bawah?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengacu kepada ruang lingkup permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut :

1. Mempelajari dampak konversi lahan terhadap struktur rumahtangga petani. 2. Mempelajari penggunaan uang hasil konversi oleh petani berbagai lapisan,

yaitu petani lapisan atas, menengah dan bawah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Rumusan yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis. Secara akademis penulisan ini akan memiliki arti penting dalam melengkapi literatur bagi kalangan akademik serta menambah khazanah pengetahuan untuk memahami konsep-konsep pola adaptasi masyarakat petani terhadap perubahan lingkungannya, dan secara praktis dapat memberikan infor masi penting kepada masyarakat, swasta dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dibidang pertanian bahwa proses pembangunan, langsung atau tidak langsung menjadi ancaman perubahan terhadap kekuatan-kekuatan fungsional yang lama berakar pada tradisi masyarakat dan melahirkan gejala -gejala marginalisasi dikalangan masyarakat asli terutama kaum tani.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Petani

Dalam perspektif sejarah, masyarakat petani lahir sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Pada saat itu ditandai dengan munculnya kemampuan domistikasi tanaman dan hewan. Sebelumnya manusia hidup dari berburu dan meramu, mereka hanya bisa berburu binatang liar dan mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di alam bebas. Kemampuan bertani dapat dipandang sebagai suatu revolusi besar dalam kehidupan umat manusia, karena ia dapat berkembang di permukaan bumi ini dalam waktu yang relatif singkat.

Wolf (1985) memberikan gambaran tiga tingkatan perkembangan kehidupan masyarakat, yaitu bercocok tanam primitif, petani peasant dan farmer. Dia menyatakan secara tegas bahwa petani peasant bukan pencocok tanam primitif dan bukan pula pencocok tanam untuk tujuan komersial (farmer). Menurutnya perbedaan utama antara petani (peasant) dengan pencocok tanam primitif terletak pa da orientasi dan distribusi hasil, dimana pada pencocok tanam primitif sebagian besar dari hasil produksi dipergunakan untuk penghasilnya sendiri atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kekerabatan, bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan memperoleh barang-barang lain yang tidak dihasilkannya sendiri.

Sistem pertukaran di pasar belum dikenal pada kebudayaan mereka, sehingga orientasi produksinya dikenal dengan istilah production for use atau cenderung membatasi produksi pada barang-barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh produsen-produsennya. Sebaliknya perbedaan yang utama dengan farmer terletak pada tujuan produksinya, di mana farmer berorientasi bisnis, pasar dan mencari laba dalam mengelola usaha taninya. Penulisan ini membatasi arti petani pada petani “peasant”

(20)

Petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam pengelolaan tanah dan membuat keputusan otonomi mengenai proses pengelolaan tanah. Kategori ini dengan demikian meliputi para penyewa dan pemanen bagi hasil seba gaimana kategori untuk pemilik – pengelola sepanjang mereka dalam suatu posisi membuat keputusan yang relevan mengenai bagaimana tanaman mereka dibudidayakan3. Petani

(peasant), tidaklah melakukan usaha tani dalam arti ekonomi, sebab yang mereka

kelola adalah sebuah rumahtangga, bukan sebuah perusahaan bisnis. Tujuan kegiatan produksi hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga (subsisten), sedangkan surplus produksi dipergunakan untuk kepentingan dana pengganti (replacement fund), untuk dana seremonial (ceremonial fund) dan dana untuk sewa tanah (membayar pajak dan sejenisnya). Dalam kehidupan masyarakat petani, pasar dan struktur atas desa secara relatif telah menjadi bagian yang mempengaruhi tingkah laku sosial dan ekonomi mereka.4

Shanin (1971), mencirikan empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga (family farm). Kedua, selaku usaha tani mereka menggantungkan hidupnya kepada tanah. Bagi petani lahan pertanian adalah sega lanya yakni sebagai sumber yang yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas, solidaritas sosial mereka kental dan bersifat meanistik. Keempat, cenderung sebagai pihak yang selalu kalah (tertindas) namun tak gampang ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

3 Wolf, Perang Petani (yogyakarta : Insist Press,2004) Hal.8 4

(21)

Dari rumusan kedua ahli tersebut (Shanin dan Wolf) di atas maka secara umum petani (peasant) mempunyai ciri yang membedakan dengan komunitas lainnya yakni (i) Petani tidak dapat dilihat sebagai pengusaha pertanian atau pebisnis dibidang pertanian (ii) Usaha yang dilakukan petani adalah usaha keluarga atau usaha rumahtangga yang menghasilkan produk subsisten, serta menghasilkan kewajiban yang dibayarkan pada kekuatan politik yang mengklaim sebagian dari hasil petani (iii) Rumahtangga petani berfungsi sebagai unit ekonomi, sosial serta religius yang utama. Hal ini berpengaruh pada keputusan untuk produksi dan juga investasi yang dilakukan dengan keputusan dari anggota keluarga (iv) Fungsi produksi dan konsumsi tidak dapat dipisah, dalam artian bahwa kebanyakan peta ni berproduksi sekaligus untuk kebutuhannya sendiri maupun untuk pasar (v) Petani dalam berproduksi tidak selalu didasari oleh prinsip mencari keuntungan namun lebih mengarah pada keinginan untuk mengurangi resiko (vi) Adanya dominasi oleh kekuatan dari luar dalam bentuk ekonomi, politik maupun sosial budaya. Dengan kata lain petani selalu berada dalam hubungan yang asimetris.5

Kalau melihat kondisi petani di Indonesia maka pola hidup petani cenderung subsisten. Namun subsisten dalam pengertian ini buka n berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan harus pula melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Suhendar dan Yohana (1998) merumuskan tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani :

1. Adalah sikap atau cara petani memperlakukan faktor -faktor produksi yakni tanah dan sumber agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah dan sumberdaya agraria, mengangap peningkatan produksi tidak perlu da n hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya

5 Satyawan Sunito –{ Dinamika Pembangunan Desa } Rangkuman dari Theodore Shanin,Eric R Wolf,Hayami dan

(22)

(sekalipun dengan penguasaan lahan luas), petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial.

2. Besar kecilnya skala usaha petani. Sekalipun hanya menguasai lahan dalam skala usaha kecil, jika didasari pemikiran yang cenderung berorientasi pasar (mengejar surplus) petani itu dapat disebut sebagai petani komersial. Sebaliknya petani yang berlahan sempit dengan skala usaha terbatas termasuk berpola hidup subsisten apabila dalam usahanya itu tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk memaksimalkan produksi karena keterbatasan skala usaha dan kemampuan berproduksi.

3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas keperluannya, seorang petani disebut petani subsisten. Apabila mengusahakan tanaman komersial dengan tujuan memperoleh surplus, walaupun tanah yang dikuasainya sangat terbatas, petani itu bukanlah seorang petani subsisten, melainkan petani komersial.

Jika pola subsistensi petani tersebut diterapkan dengan kondisi petani di Indonesia saat ini, maka dapatlah dikatakan bahwa petani Indonesia dapat dikatakan hampir tid ak ada petani dengan pola subsisten mutlak. Akan tetapi apabila digunakan indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam pola subsisten.

Penelitian Husken (1974) di desa Gondongsari, Pati, Jawa Tengah bisa dijadikan rujukan tentang ciri-ciri petani Indonesia saat ini, yaitu (i) Petani bermata pencaharian ganda. Selain bertani masyarakat juga bekerja “sampingan” semisal sebagai sopir, membuka warung/toko, tukang batu dan seba gainya. Melihat kenyataan,

(23)

pekerjaan yang dikatakan sampingan tersebut dalam arti di luar usaha tani ternyata merupakan pekerjaan pokoknya.

(ii) Tanaman yang diproduksi adalah tanaman yang tidak beresiko tinggi artinya teknologinya dapat dikuasai serta secara ekonomi menguntungkan. Serta yang menjadi pertimbangan lain adalah, petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan (iii) Motif berusaha adalah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai (iv) Petani adalah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa (v) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ciri petani Indonesia saat ini berbeda dengan ciri-ciri petani menurut Shanin ataupun Wolf. Yang membedakan antara lain: (i) Mengusahakan lahan yang sempit (ii) Produk yang dihasilkan cenderung untuk kebutuhan pasar, dengan tujuan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. (iii) Penerapan teknologi modern sudah dilakukan didalam usaha taninya (panca usaha tani) (iv) Berpenghasilan ganda (tidak selalu menggantungkan sumber nafkahnya disektor ekonomi saja. (v) Fungsi lahan pertanian lebih sebagai penenang ekonomi6 mereka dan bukan sebagai sumber ekonomi satu-satunya sebagaimana yang dicirikan Shanin (1971)

2.2 Penguasaan lahan.

Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena ia menyangkut berbagai aspek seperti: ekonomi, demografi, hukum politik dan sosial. Pandangan ekonomi melihat tanah sebagai faktor produksi. Tetapi karena faktor

6

(24)

produksi yang berupa tanah itu makin lama makin merupakan barang yang langka, maka perbandingan jumlah manusia dengan luas lahan pertanian menjadi semakin timpang. Disitulah masuk sudut pandang demografi. Sedangkan pandangan hukum lebih melihat pola hak dan kewajiban para pemakai tanah dalam kerangka (formal dan nonformal) yang mengatur segala aktivitas ekonomi yang ada hubungannnya dengan tanah. Untuk memungkinkan agar segala peraturan ditaati oleh semua warga masyarakat, diperlukan adanya aparatur organisasi yang dapat memaksakan peraturan itu. artinya diperlukan adanya penguasa. Maka disinilah terkait sudut pandang politik. Ke empat sudut pandang ini merupakan simpul-simpul yang penting dalam melihat penguasaan lahan dan melalui simpul-simpul itulah masyarakat dapat dipetakan bagaimana susunan lapisannya. Maka terkaitlah sudut pandang sosiologis. Hubungan penguasaan lahan bukan saja menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam kaitannya hubungan antara manusia dengan tanah sebagai benda, hanya mempunyai arti jika hubungan itu merupakan hubungan aktivitas. Dalam hal ini aktivitas itu adalah penggarapan dan pengusahaannya. Misalnya jika seseorang memiliki sebidang tanah tertentu, ini mengandung implikasi bahwa orang lain tidak boleh memilikinya, atau boleh menggarapnya dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi selanjutnya ialah bahwa hal itu mencakup hubungan antara pemilik dan buruhnya, antara sesama buruh tani dan antara orang-orang yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses produksi di mana tanah merupakan salah satu faktornya (Wiradi,1984). Selanjutnya Wiradi juga menegaskan bahwa, masalah tanah pa da hakekatnya adalah menyangkut masalah pembagiannya, penyebarannya atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi.

(25)

Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam undang-undang pokok agraria (UUPA 1960) diatur juga dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan bahwa : adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang la in serta badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960).

Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960, dijelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi : (a) Hak milik; (b) Hak guna usaha ; (c) Hak guna ba ngunan; (d) Hak pakai; (e) Hak sewa; (f) Hak membuka tanah; (g) Hak memungut hasil hutan serta hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara , diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapus dalam waktu singkat (UUPA dalam subekti,1990)

Hak milik menurut pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihka n kepada pihak lain. Hak pakai menurut pasal 41 UUPA 1960 adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang

(26)

berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa -menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UU No.2 tahun 1960, tentang perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa : Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang disebut penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

2.3 Pola Nafkah Ganda

Petani di Indonesia rata-rata penguasaan lahan sekitar 0.83.ha7. Secara ekonomi pemanfaatan lahan yang sempit tidak akan mampu memenuhi kebutuhan petani. Dengan kondisi yang serba kekurangan, rumahtangga petani menerapkan strategi nafkah ganda. Artinya rumah tangga petani tidak hanya mengandalkan hidup pada satu pekerjaan saja. Untuk itu terutama bagi rumahtangga yang mempunyai jumlah anak dalam kategori banyak, mereka mencari sumber pendapatan lain yang dapat menambah penghas ilan rumahtangga mereka. Dalam beberapa penelitian,8 menunjukkan adanya usaha memaksimalkan sumberdaya keluarga, yakni dengan melibatkan peran wanita dan anak-anak sebagai tenaga kerja produktif untuk turut serta menyokong keuangan rumahtangga.

Diantaranya ada wanita yang berjualan makanan kecil-kecilan, beternak ayam ataupun bekerja sebagai buruh dibidang pertanian. Agusta dan Tetiani (2000) menunjukkan bahwa ada kecenderungan pola nafkah ganda di desa di Indonesia, yang

7 BPS.1994. Sensus Pertanian 1993 Seri :J.2 . Pada tahun 1993 rata -rata nasional penguasaan lahan perkeluarga petani adalah

0,83 ha;dimana rata-rata di Jawa 0,47 ha dan diluar Jawa 1,27 Ha.sebagai gambaran kasus Jawa dan Madura Lihat Tabel Lampiran 5

8 Penelitian Frans Husken didesa Gondosari,Pati , Jawa Tengah dalam Bukunya Masyarakat desa dan Perubahan Zaman.Hal.157

(27)

biasa dilakukan dengan memanfaatkan tempat tinggal (rumah) tidak hanya sekedar menjadi tempat tinggal tetapi seringkali juga menjadi lokasi berusaha. Contohnya untuk menjemur padi, membuka warung ataupun untuk industri rumahtangga.

Dalam kaitannya dengan pertanian, studi hubungan a ntara pola distribusi tanah dan distribusi pendapatan diantara petani menemukan perbedaan strategi pola nafkah. Rumahtangga dilapisan buruh (petani gurem) berpola ”dahulukan selamat”, dilapisan menengah berpola konsolidasi dimana pendapatan dari perta nian dengan luas lahan tani sedang, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistensi anggota rumahtangga, sehingga mereka tidak memiliki modal cadangan yang cukup untuk mengembangkan usaha. Oleh karena itu, anggota rumahtangga pencari nafkah bekerja pada usaha luar pertanian untuk berjaga -jaga kalau hasil usahatani tidak mencukupi karena gagal panen misalnya. Untuk petani di lapisan atas (tanah cukup, modal kuat) cenderung berpola akumulasi modal, yaitu mengembangkan usaha produktif, baik dari surplus usaha pertanian keusaha luar pertanian atau sebaliknya (Mawardi,2003). Penelitian yang dilakukan Sayogjo (1978) menunjukkan bahwa penduduk miskin hampir seluruhnya berpola nafkah ganda. Penyesuaian kondisi kemiskinan ini berguna untuk mengurangi resiko manakala salah satu pola nafkah tidak menghasilkan pendapatan. Jika dikaitkan dengan luas pemilikan atau penguasaan lahan dan tingkat kemiskinan tidak sepenuhnya langsung. Kaitan langsung keduanya (luas penguasaan lahan dan kemiskinan) hanya muncul pada usaha tani berbasis lahan.

Masyarakat tani yang berbasis lahan dapat kita lihat dari tulisan Gertz (1964) tentang involusi pertanian di pedesaan Jawa, di mana masyarakat dicirikan oleh suatu sistem usaha tani padi sawah. Gambaran yang diperoleh menunjukkan diantara petani kurang tampak differensiasinya. Walaupun produktivitas padi sawah meningkat dalam jangka lama, namun karena tekanan penduduk maka lahan tetap harus menerima

(28)

tambahan tenaga kerja. Terjadilah involusi yaitu suatu pe rkembangan di mana produktivitas meningkat tapi hasil per individu tidak naik maka yang terjadi adalah kemiskinan berbagi (Share Poverty ).

2.4 Konversi Lahan

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia , faktor produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya.

Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani yang diusahakan.

Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa dan kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu wilayah maka dengan perubahnya struktur ekonomi yang terjadi seperti yang terlihat terutama dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser peranan sektor pertanian kesektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk kegiatannya. Dalam keadaan demikina lahan-lahan pertanian akan mendapat tekanan permintaan untuk penggunaan lahan bagi kepentingan kegiatan di luar pertanian (Anwar 1993).

(29)

Sebelum masuknya perusahaan industri di suatu desa, lahan-lahan dikuasai oleh petani. Berkaitan dengan hak atas lahan, maka di situ (di desa) terdapat dua golongan petani yaitu petani pemilik dan petani bukan pemilik lahan. Di dalam penggarapan lahan tersebut, petani pemilik dapa t menggarap lahannya sendiri (pemilik penggarap), selain itu juga dapat menggarapkan lahannya kepada orang lain melalui sistem sakap, sewa atau dengan memanfaatkan sistem gadai. Di sisi lain, petani yang tidak memilik lahan dapat menggarap lahan ora ng lain (pemilik tanah) melalui sistem sakap (bagi hasil) sehingga disebut petani penyakap, dapat juga melakukan penggarapan tanah ini dengan sistem sewa atau sistem gadai.

Setelah masuknya perusahaan industri di suatu desa, penguasaan lahan dapat terpecah menjadi dua bagian besar, yaitu sebagian dari total luas lahan sawah dikuasai oleh perusahaan industri dan digunakan untuk kegiatan di luar pertanian, sedangkan sisanya masih tetap dikuasai petani. Ini berarti bahwa total lahan sawah yang dikuasai petani dan digunakan untuk kegiatan pertanian menjadi lebih sempit. Kaitannya untuk penguasaan lahan, maka akan ada petani pemilik yang berubah statusnya menjadi petani tidak memiliki lahan (karena lahannya dijual) mungkin juga ada petani yang tadinya memiliki lahan yang luas menjadi sempit pemilikannya. Hal ini bisa dilihat dari hasil sensus pertanian tahun 1993 khusus pulau Jawa di mana lahan sawah yang berubah menjadi perumahan 28.603,50 ha, untuk industri 14.481,70 ha dan untuk perkantoran 3.178 hektar.

Menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan kepenggunaan lainnya. Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan.

(30)

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang (hanya mengejar pertumbuhan) menyebabkan beberapa sektor ekonomi terutama industri tumbuh dengan cepat namun disisi lain melumat sektor lain yakni pertanian. Pertumbuhan tersebut akan membutuhkan lahan yang lebih luas, apabila lahan pertanian letaknya berada dekat sumber pertumbuhan ekonomi seperti pinggiran perkotaan maka dengan pertumbuhan ekonomi tersebut akan menggeser penggunaan lahan pertanian kebentuk lain seperti perumahan, lokasi pa brik, jasa, perdagangan, perkotaan, jalan dan lain-lain. Hal ini juga dipengaruhi karena rente lahan persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari pada yang dihasilkan sektor pertanian, hal ini biasanya memicu spekulasi lahan dan munculnya percaloan, sehingga memicu pula peningkatan harga lahan secara cepat, yang pada gilirannya justru menjadi pemikat bagi pemilik lahan pertanian menjual dan melepas pemilikan lahannya untuk penggunaan non pertanian (Barlowe,1972 dan Anwar,1993).

Demikian juga menurut Crowel (1995) transfer lahan dari lahan pertanian ke lahan Industri atau lahan untuk peruntukan lainnya terjadi sebagai konsekwensi pertumbuhan penduduk kota secara alamiah maupun karena urbanisasi. Dari uraian-uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya kebutuhan lahan di luar sektor pertanian, menyebabkan terjadinya pergeseran lahan pertanian. Sebagai contoh adanya peningkatan penggunaan lahan perkotaan seperti pemukiman, jasa, perdagangan, perkantora, industri, prasarana jalan dan sebagainya, menyebabkan makin sempitnya areal pertanian di sekitar perkotaan. Apabila transformasi lahan pertanian terus berlanjut maka lahan pertanian makin sempit bahkan kemungkinan habis. Konversi lahan pertanian dekat pusat kota (pusat perekonomian) berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan konversi lahan yang lokasinya jauh dari pusat perekonomian, proses konversi lahan pertanian tidak berdasarkan asas keadilan maka

(31)

dampak negatif bagi petani (peasant) sebagai penggarap tanah hampir bisa dipastikan akan semakin mempersulit keberadaan petani.

Berbagai bentuk atau jenis penggunaan lahan yang tercermin dari pola tataguna lahan yang terjadi selama ini, merupakan hasil pilihan keputusan individual maupun kelompok atau oleh pihak organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi. Pada prakteknya sebenarnya pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam alokasi lahan, termasuk peranannya yang paling mendasar adalah harus mengakui dan melindugi hak-hak individual atas lahan yang dalam hal ini adalah petani. Kenyataannya terjadi proses akumulasi dan pemusatan pemilikan/penguasaan tanah di tangan segolongan orang yang jumlahnya terbatas, halmana jelas melanggar batas-batas maksimum yang dibenarkan oleh UUPA 1960.

Pergeseran pemilikan/penguasaan tanah disertai akumulasi dan pemusatan kepemilikan tanah erat hubungannnya dengan gejala pemilikan/penguasaan tanah yang letaknya jauh di luar daerah di mana sipemilik/penguasa tanah yang bersangkutan bertempat tinggal. De ngan perkataan lain, gejala “absentee ownership ” yang meluas atau apa yang dikenal sebagai tanah “ Guntay “ suatu hal yang tidak dibenarkan oleh UUPA9. Pergeseran penguasaan tanah, akumulasi dan pemusatan milik akan kekuasaan tanah, serta meluasnya tanah guntay, dapat mempertajam pertentangan kepentingan antara pemilik/penguasa tanah dan penggarap tanah, khususnya jika pemilik tanah guntay lebih mementingkan kenaikan nilai harga tanah itu sendiri daripada penggarapannya.

Dalam rangka umum alokasi sumber-sumber daya produksi dalam proses pembangunan, maka harus diusahakan pemanfaatan tanah pertanian secara optimal. Pengertian optimal ini selanjutnya dilihat dalam rangka tujuan pembangunan yang

9 Tahun 1998,Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui kantor-kantor agraria setempat diseluruh Indonesia mengeluarkan izin

loka si atas tanah seluas 3,025 juta hektar, tetapi lahan yang dimanfaatkan hanya 481.558 ha atau hanya 16 % saja. Sedangkan sisanya ditelantarkan sebagai obyek spekulasi tanah.

(32)

mengandung tiga dimensi: peningkatan produksi, pembagian hasil produksi yag adil dan lebih merata dan kestabilan pemerintah. Hal ini sesuai dengan apa yang termaktup dalam piagam petani (The Peasants Charter, FAO, Rome 1981

’ Bahwa kemajuan nasional yang didasarkan atas pertumbuhan dengan pemerataan dan partisipasi, memerlukan suatu redistribusi kuasa-kuasa ekonomi dan politik, integrasi penuh dari pedesaan ke dalam usaha pembangunan kelompok-kelompok petani, koperasi, dan bentuk– bentuk lain dari organisasi petani dan buruh tani yang bersifat sukarela, otonom, dan demokratis’

Dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tentang batas-batas pemilikan. Batas minimum terpaksa tidak dapat dipatuhi oleh golongan petani kecil karena tekanan ekonomi dan sistem waris yang berlaku menurut adat dan agama. Batas maksimum dilanggar oleh pihak golongan atau kalangan yang bersaing mendapatkan tanah untuk kebutuhan (investasi atau spekulasi) Pihak peminta (pemilik modal) mempunyai kedudukan yang jauh lebih kuat dari pemilik/petani kecil yang sering terdesak oleh kebutuhan akan uang tunai. Gejala semacam ini menurut (Spitz,1979) mencerminkan bekerjanya sistem sosial ekonomi yang kurang menguntungkan bagi anggota termiskin masyarakat. Akumulasi dan pemusatan dan penguasaan tanah pada golongan ata u kalangan dengan jumlah terbatas kasus di Indonesia ada kaitannya dengan :

1. Fragmentasi tanah sebagai akibat sistem waris dan pemindahan hak walaupun sudah ada larangan penjualan tanah, hal mana menyebabkan pemecahan bidang tanah menjadi kurang darai 2 hektar.

(33)

2. Tanah garapan yang sangat sempit, tidak ekonomis lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemilik, kemudian dijual, dilain pihak keluarga pemilik berhadapan dengan kebutuhan uang tunai yang meningkat.

3. Administrasi pendaftaran tanah sering tidak mencerminkan kenyataan, karena banyak transaksi jual beli tanah tidak dilaporkan ataupun karena transaksi-transaksi dilakukan dengan cara pemberian surat kuasa mutlak kepada pihak pembeli.

2.5 Pola Adaptasi

Salah satu masalah sosial pedesaan yang sangat krusial adalah terbatasnya peluang kerja baru disatu pihak dan peningkatan angkatan kerja dipihak lain. Ketidak seimbangan yang sangat memprihatinkan ini antara lain merupakan dampak negatif dari intensifikasi bidang pertanian serta semakin, menipisnya lahan yang menjadi garapan mereka. Intensifikasi pertanian dipandang telah menurunkan daya serap sektor pertanian, mengubah pola -pola hubungan kerja dan memicu konsentrasi kepemilikan lahan pada segelintir golongan masyarakat.

Sementara itu pihak-pihak yang secara langsung merasakan dampak negatif ketimpangan penguasaan maupun kepemilikan agraria adalah rumahtangga petani berlahan sempit dan buruh tani. Untuk mensikapi tekanan sosial ekonomi dan kemiskinan yang dihadapinya, kelompok rumahtangga ini biasanya mengembangkan strategi adaptasi. Konsep strategi adaptasi dikemukakan oleh Kusnadi (1996) yang dapat diartikan sebagai sebuah pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi di mana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi

(34)

tekanan-tekanan sosial ekonomi. Dengan demikian mereka tetap dapat menjaga kelangsungan hidupnya.

Dalam konteks pola nafkah ganda, menurut Sayogjo (1978) strategi hidup rumahtangga berbeda antara lapisan bawah, lapisan tengah, dan lapisan atas. Bagi lapisan atas, pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi di mana surplus pertanian mampu membesarkan usaha luar pertaniannya, dan sebaliknya pada lapisan tengah pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan di mana sektor luar pertanian dipertimbangkan sebagai potensi untuk perkembangan ekonomi. Bagi lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi survival di mana sektor luar pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutupi kekurangan dari sektor pertanian. Rumahtangga berlahan sempit dan tak bertanah pada umumnya memperoleh upah yang rendah disektor luar luar pertanian, bahkan lebih rendah dibandingkan tingkat upah buruh tani disektor pertanian. Seiring dengan kemajuan pendidikan dan informasi tentang kehidupan kota menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berubahnya persepsi masyarakat pedesaan tentang pekerjaan yang dikehendakinya. Ada kecenderungan bahwa makin tinggi pendidikan makin besar keinginan penduduk untuk bekerja di luar desa. Ditambah pula oleh kecenderungan berkurangnya lahan pertanian, sehingga kesempatan untuk be rtani atau terlibat dalam kegiatan pertanian makin terbatas. Akhirnya penduduk desa mencari pekerjaan lain dan kalau mempunyai modal mereka berjualan atau berdagang, baik di desa maupun di luar desa. Hasil penelitian Jones melaporkan bahwa masyarakat pedesaan di pulau Jawa, berdagang sudah menjadi sumber tambahan pendapatan dan menjadi pekerjaan pokok bagi sebagian lainnya. Penelitian mobilitas tenaga kerja di wilayah pembangunan Sukabumi dan Banten menemukan data bahwa dalam jangka lima tahun (1974 -1979) jumlah pelaku mobilitas yang menjadi pedagang naik sampai 64 persen. Studi tentang

(35)

perubahan ekonomi pedesaan dan mobilitas tenaga kerja di Jawa Barat yang dilakukan Manning melaporkan bahwa mobilitas penduduk dari desa ke kota menyebabkan kenaikan proporsi pedagang antara 1976-1983 sampai dengan dua pertiga dari seluruh pekerjaan nonpertanian di kecamatan dan kabupaten. Penelitian lain yang dilakukan di pedesaan kabupaten Garut dan Majalengka memperoleh data yang memperlihatkan perubahan cukup dramatik penduduk yang bekerja disektor perdagangan meningkat dari sekitar 4 persen pada tahun 1979 menjadi lebih 24 persen pada 1989

Menurut hasil penelitian Dharmawan (2001) Ada beberapa strategi yang ditempuh petani untuk me njaga kelangsungan hidup rumah tangganya, yaitu ;

1. Mengolah lahan pertanian milik sendiri. 2. Mengolah lahan pertanian milik orang lain 3. Bekerja di luar sektor pertanian

4. Hasil pembayaran dan sumbangan

Biasanya petani melakukan kombinasi-kombinasi dari ke empat faktor di atas. Kombinasi untuk setiap strategi nafkah yang dipergunakan akan selalu berbeda untuk setiap lapisan rumahtangga petani, tergantung dari sumberdaya alam yang dipunyai. Sedangkan menurut hasil penelitian Igbal (2004), terdapat empat kategori pola nafkah ganda yang dilakukan rumahtangga petani, yaitu :

1. Suami-istri masing-masing bekerja disektor yang sama 2. Suami istri bekerja tetapi berlainan sektor

3. Salah satu anggota rumahtangga memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan. 4. Masing-masing anggota keluarga memiliki pekerjaan.

Bagi rumahtangga petani, kepemilikan lahan yang sempit mendorong mereka melakukan kerja disektor lain semisal bekerja disektor Informal di kota, dengan pertimbangan sektor informal yang ada di kota bisa dimasuki tanpa menuntut adanya

(36)

kualitas sumberdaya manusia yang tinggi seperti umumnya kondisi petani yang berpendidikan rendah. Dalam sektor informal, individu bebas berkreatifitas di luar sistem peraturan yang mengikat dan kepentingan pemerintah, yang berbeda de ngan kondisi kondisi yang terdapat dalam sektor formal.

Bentuk kegiatan yang dilakukan petani sebagaimana tercantum di atas merupakan bentuk difersifikasi kerja, di mana sektor pertanian tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan petani. Menurut Darmawan (2001) upaya diversifikasi kerja yang dilakukan petani adalah untuk :

1. Mempertahankan garis batas aman dengan mencukupi kebutuhan subsisten. 2. Meningkatkan status sosial ekonomi dan meningkatkan standar hidup petani.

2.6 Kerangka Pemikiran

Penguasaan dan kepemilikan lahan sangat erat dengan masalah kemakmuran dan kemiskinan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih menggantungkan hidupnya disektor pertanian. Semakin sempitnya lahan pertanian yang diusahakan petani (Peasant) sebagai akibat dari perta mbahan jumlah penduduk dan juga kebijakan penataan struktur agraria oleh pemerintah yang tidak adil.

Adapun pola penguasaan lahan yang ada sekarang ini dinilai cukup timpang di mana distribusi penguasaan lahan semakin mengalami polarisasi, pemilik modal mengusai lahan yang begitu luas di sisi lain petani miskin semakin miskin akibat terpisah dari sumberdaya ekonominya yakni lahan. Penguasaan, pemilikan dan penggunaan sebidang lahan menyangkut aspek sosial, ekonomi dan politik. Maka perubahan yang terjadi pada ketiga aspek tersebut akan menyebabkan perubahan pada pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan lahan. Perubahan itu terjadi disebabkan perubahan dari dalam masyarakat sendiri (faktor internal) dan dari luar masyarakat (eksternal). Faktor internal yakni adanya kecenderungan menjual tanah dari penduduk

(37)

setempat, sedangkan dari faktor eksternal yakni adanya intervensi modal kapital dari para pemilik modal baik swasta maupun pemerintah sendiri, sebagai wujud kebijakan pertanahan yang tidak populis.

Tanah yang dahulu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga telah beralih kepihak lain. Dengan tidak adanya sumberdaya tanah yang dimiliki, para petani tentu saja juga kehilangan mata pencaharian. Kalaupun masih berusaha disektor pertanian itupun hanya petani penggarap. Hal ini tentu saja berakibat pada perubahan status petani, petani yang dulunya mengusahakan tanah milik sendiri atau sebagai petani pemilik berubah menjadi petani yang menggarap tanah milik orang lain atau sebagai petani penggarap karena sudah tidak memiliki lahan pertanian lagi.

Penelitian ini mengkaji pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian yang fokus utamanya untuk menghasilkan pangan dan hortikultura (usahatani). Konversi lahan yang dimaksudkan adalah konversi lahan kering (tegalan) yang berupa perbukitan. Lahan yang semula dijadikan sebagai tambahan penghasilan dengan ditanami tanaman tahunan, setelah terjadi konversi lahan dialihfungsikan untuk pertambangan batu.

Masuknya perusahaan (PT) untuk menanamkan investasinya akan berpengaruh terhadap kondisi sosial maupun ekonomi masyarakat. Pembelian lahan-lahan oleh investor terhadap petani akan berdampak pada perubahan ekonomi masyarakat. Akses masyarakat terhadap lahan sema kin kecil sehingga masyarakat petani yang sebagian besar berpendidikan rendah melakukan berbagai strategi untuk tetap bertahan dari te kanan ekonomi yang dialaminya yakni pola nafkah ganda dan optimalisasi tenaga kerja keluarga.

Persoalan lain yang menjadi dampak dari adanya konversi lahan adalah proses konversi dan pengelolaan uang hasil konversi tidak selalu menguntungkan bagi petani,

(38)

yang pada akhirnya kepemilikan lahan beralih sedangkan uang hasil konversi tidak digunakan untuk alokasi yang produktif sehingga konversi lahan semakin menjadikan masyarakat petani kecil terpuruk dalam kemiskinan.

Faktor yang menyebabkan konversi lahan secara mikro dibagi menjadi dua, faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal meliputi pendidikan, pengalaman kerja, tingkat penghasilan dan juga ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal yakni masuknya perusahaan (PT), pengaruh dari tetangga dan juga calo serta pemerintahan desa sendiri.

Dampak yang ingin dilihat selanjutnya setelah konversi terjadi adalah bagaimana masyarakat yang menjual lahannya beradaptasi dengan kondisi tersebut. Bagaimana penggunaan uang hasil konversi apakah terjadi perbedaan alokasi dana (uang) hasil konversi antara petani lapisan atas, menengah dan bawah, dan apakah terjadi perubahan struktur rumahtangga dengan alokasi tenaga kerja. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat fungsi jaringan sosial rumahtangga petani yang diduga merupakan salah satu pola adaptasi untuk mengatasi kesulitan me menuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, akibat ketidak pastian penghasilan.

(39)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga petani.

Faktor yang mempengaruhi konversi

Faktor Intern. 1. Pendidikan 2. Pengalaman kerja 3. pendapatan

4. Ketergantungan pada tanah Faktor Ekstern. 1. Investor 2. Pemerintah Desa 3. Calo 4. Tetangga Konversi Lahan Adaptasi

Berkaiatan dengan Struktur alokasi tenaga kerja rumahtangga)

1. Pola nafkah ganda (memanfaatkan lahan tidur, usaha

lain)

(40)

2.7 Definisi Konseptual

a. Petani : Orang desa yang mengolah lahan dengan bantuan

tenaga kerja keluarga sendiri atau orang lain untuk menghasilkan bahan pangan bagi keperluan hidup sehari-hari

b. Komunitas : Suatu satuan sosial yang utuh yang terikat pada suatu tempat dengan ciri-ciri alamiah yang khas.

c. Strategi nafkah ganda : Kegiatan mengkombinasikan berbagai aktivitas yang dijalankan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup

d. Lahan/ Tanah pertanian : Lahan pertanian dalam penelitian ini semua lahan baik itu produktif maupun tidak yang dimiliki masyarakat desa.

e. Konversi lahan : Proses perubahan fungsi peruntukan lahan f. Konflik Agraria : Perbedaan kepentingan yang mengarah ke

pertentangan terhadap hak kepemilikan/akses terhadap sumberdaya agraria antara (masyarakat-pemerintah-swasta)

g. Struktur Agraria : Kepemilikan dan penguasaan lahan terkait

hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya

h. Rumahtangga : Sekelompok orang yang mendiami sebagian atau

seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama ser ta makan dari satu dapur, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan serta mengurus keperluannya sendiri.

i. Anggota Rumahtangga : Orang yang bertempat tinggal dalam satu rumahtangga baik yang ada pada waktu pencacahan maupun

(41)

sementara tidak ada atau sedang bepergian kurang lebih enam bulan.

j. Rumahtangga Pertanian : Rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggotanya melakukan kegiatan bertani/berkebun.

k. Sumber Penghasilan Utama : Sumber penghasilan terbesar sebagai sumber penghasilan utama rumahtangga.

l. Kepemilikan lahan : Menunjukkan kepada penguasaan formal.

m. Penguasaan : Menunjukkan pada penguasaan efektif. Contoh, jika

tanah disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara efektif dikuasainya.

n. Struktur Agraria : Sesuatu yang menunjukkan pada kegiatan

masyarakat di dalam kegiatan produksi pertanian (peternakan, perikanan dll), struktur penguasaan dan peruntukan lahan yang terkait juga dengan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya agraria.

2.8 Definisi Operas ional :

1.Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah atau sedang diikuti oleh responden. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu :

a. Rendah : responden tidak atau tamat SD b. Sedang : Responden tamat SLTP

(42)

2.Tingkat Pemilikan lahan : Jumlah lahan yang dimiliki oleh suatu rumahtangga dalam penelitian ini tingkat pemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu :

a. Rendah : Jika memiliki lahan > dari 0,25 Ha b. Sedang :jika memiliki lahan antara 0,25 – 0,5 Ha

c. Tinggi : jika responden memiliki lahan lebih dari 0,5 Ha

3.Tingkat pemilikan sarana poduksi pertanian adalah jumlah kepemilikan alat-alat yang terkait dengan proses bertani. Dalam penelitian ini tingkat pe milikan sarana produksi pertanian dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Rendah : Jika responden hanya memiliki alat pengolahan saja, atau hanya memiliki peralatan yang relatif tradisional

b.Tinggi : jika responden memiliki satu atau lebih sarana pendukung lanjutan produksi pertanian atau memiliki peralatan yang relatif modern. Misalnya, alat untuk menyiangi, alat memanen dan sebagainmya.

4. Tingkat kekayaan : adalah sumber daya yang dimiliki baik berupa uang atau barang yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sebulan. Dalam penelitian ini tingkat kekayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1. Kaya : Jika sumberdaya (diuangkan) yang dibelanjakan sebulan lebih dari Rp1.000.000,00

2. Sedang : Jika Pengeluran antara Rp432.000-Rp.1.000.000,00

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Pemilihan tempat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di mana lokasi tersebut adalah daerah pertambangan batu yang dikelola oleh perusahaan swasta. Lahan yang dijadikan pertambangan awalnya adalah lahan penduduk setempat yang dibeli dengan harga yang murah. Dengan pertimbangan di atas diharapkan dapat dilihat dampak konversi lahan bagi penduduk setempat, reaksi penduduk terhadap adanya perusahaan pertambangan dan sejauh mana penduduk melakukan penyesuaian (adaptasi) terhadap intervensi akumulasi modal dari perusahaan pertambangan. Adapun pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2005.

3.2 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel/responden dilakukan secara acak (random sampling) dari petani/masyarakat yang tanahnya dijual kepihak perusahaan. Kerangka sampel diperoleh dari kantor kelurahan desa Batujajar. Responden adalah masyarakat desa Batujajar yang menjual lahan, dipilih 20 kk dari 55 kk yang menjual lahan.

3.3 Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan untuk menggali fakta dan informasi di lapangan pada penelitian ini adalah gabungan antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen utamanya sementara data kualitatif dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam yang dipandu oleh panduan waw ancara, maupun wawancara tidak terstruktur. Semua informasi yang diperoleh

(44)

didokumentasikan dalam bentuk catatan harian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk terbuka dan tertutup. Data dalam penelitian ini dibagi kedalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti, baik itu data dari kuesioner, wawancara, maupun hasil pengamatan. Sementara data sekunder meliputi data -data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber sekunder, seperti data monografi desa atau sumber pustaka lainnya. Adapun tingkat analisis penelitian ini adalah rumahtangga.

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei dan wawancara langsung kepada responden yang ditentukan, dengan mengunakan kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disediakan. Juga hasil pengamatan di lapangan dan wawancara langsung kepada informan kunci di desa, serta aparat desa.

Data sekunder diperoleh dari daftar isi potensi desa, serta sumber-sumber lain yang menunjang maksud tujuan penelitian. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan metode analisa tabel frekwensi dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden (metode kuantitatif) juga mendeskripsikan dan mengintrepretasikan fenomena hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan responden maupun informan kunci.

(45)

BAB IV

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Batujajar

Desa Batujajar, sebagai salah satu desa di Kecamatan Cigudeg, yang terletak antara jalan Bogor dan Jasinga, dengan ketinggian tempat antara 300-400 meter di atas permukaan air laut. Secara administrasi desa Batujajar merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, yang terletak di sebelah barat Gunung Salak. Desa Batujajar terdiri dari 11 dusun, dengan luas wilayah 820 ha, serta berbatasan dengan desa lain yang masih dalam satu kecamatan maupun kecamatan lain. Batas wilayah tersebut adalah dengan desa Rengasjajar di sebelah barat dan selatan, Tegallega di sebelah timur dan desa Dago kecamatan Parung Panjang di sebelah utara.

Ditinjau dari potensi sosial ekonomi desa Batujajar merupakan desa dengan penghasil hasil tambang terbesar kedua setelah Rengasjajar. Pusat pemerintahan desa Batujajar terletak kurang lebih 16 km sebelah barat ibukota kecamatan, dari ibukota Kabupaten Bogor terletak kurang lebih 60 km. Antara pusat pemerintahan desa dengan ibukota kecamatan dan ibu kota kabupaten maupun ibukota propinsi dihubungkan dengan jalan tanah dan aspal, sedangkan dengan desa lain dalam satu kecamatan dihubungkan dengan jalan tanah dan jalan aspal pula. Pada umumnya sebagian besar penduduk desa Batujajar adalah petani dan buruh.

Dengan penguasaan lahan yang rata-rata kurang dari 2.500 m2, menjadikan mereka petani subsisten. Hasil utama pertanian di desa Batujajar adalah padi. Adapun

(46)

komoditas lain seperti palawija, cabe da n tomat belum banyak dikembangkan karena keterbatasan serta penguasaan teknologi budidaya yang masih rendah.

4.1.1 Lingkungan Alam 1. Topografi

Wilayah desa Batujajar mempunyai ketinggian antara 300 - 400 meter di atas permukaan laut. Secara umum merupaka n daerah perbukitan dengan lembah-lembah datar untuk persawahan. Karena banyaknya perbukitan yang berisi batu gunung maka banyak daerah perbukitan Batujajar yang dialih fungsikan untuk pertambangan batu gunung. Ada sekitar tujuh perusahanaan yang sudah membeli tanah yang berupa bukit dari masyarakat, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta, yang kesemuanya mencapai 419,5 ha atau sekitar 51,15 persen dari keseluruhan luas Desa Batujajar (Lihat tabel 1).

Tabel 1. Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan Pertambangan di Desa Batujajar No Nama Perusahaan Luas Lahan

(ha)

Status Tambang Lokasi

1 PT.Manik Jaya 2 42 Aktif Dukuh Wakaf

2 PT.Indocement 31,5 Non aktif Tipar/Bolangh

3 PT.Batutama 82 Non aktif Wakaf

4 PT.Silkar 10 Non aktif Wakaf

5 PT.SumoBotang 9 Non Aktif Curug

6 PT.Antasari Raya 98 Non Aktif Pasir Kalong

7 Perkebunan 147 Aktif Wakaf

Jumlah 419,5

2. Temperatur udara

Data mengenai temperatur di wilayah desa Batujajar tidak dapat diperoleh, namun demikian temperatur dapat diketahui dengan cara perhitungan matematika. Sandy (1987:8) menjelaskan bahwa suhu rata-rata tahunan di permukaan daratan pada ketinggian 0 meter di atas permukaan air laut adalah 26 C°. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap kenaikan 100 meter di atas permukaan air laut terjadi penurunan suhu yaitu sebesar 0,6 C°. Wilayah desa Batujajar terletak pada ketinggian 300 meter sampai

(47)

400 meter di atas permukaan air laut. Dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Dames, maka dapat diperhitungkan bahwa secara keseluruhan wilayah desa Batujajar mempunyai temperataur antara 23,6 C° – 24,2 C°.

Menurut Yoshida (1983) bahwa pertumbuhan padi secara optimum memerlukan suhu antara 20 sampai 35 C°. Dengan mendasarkan pada persyaratan tersebut, maka desa Batujajar dapat dikatakan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi secara optimum.

3. Tanah

Tanah merupakan akumulasi tubuh alam yang bebas, menduduki sebagian permukaan bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawidjaja,1970: 9).

Jenis tanah yang terdapat di desa Batujajar termasuk jenis tanah latosol, merupakan tanah yang faktor pembentuknya terdiri dari bahan induk berupa abu volkanik, tanah liat, dengan topografi berbukit-bukit, dan landai. Dengan jenis tanah semacam itu, tanah di Batujajar sebenarnya sangat cocok untuk lahan pertanian padi sawah dan tanaman budidaya seperti sawit, durian dan kelapa.

4. Tata Air

Air pengairan merupakan kebutuhan pokok bagi pertumbuhan tanaman khususnya dibidang usaha tani. Wilayah desa Batujajar dilalui beberapa anak sungai serta beberapa mata air, dengan kondisi demikian maka desa Batujajar dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian, perikanan darat maupun perkebunan. Kedalaman air di desa Batujajar berkisar antara 4 sampai 6 meter.

Lahan pertanian di desa Batujajar sebagian besar memakai irigasi teknis, irigasi sederhana dan juga mengandalkan air hujan. Lahan sawah bisa ditanami padi dua kali

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran  Konversi Lahan  dan Pengaruhnya Terhadap Pola  Nafkah Rumahtangga petani
Tabel 1. Penguasaan  Lahan  Oleh Perusahaan Pertambangan di Desa Batujajar  No  Nama Perusahaan  Luas Lahan
Tabel 2.  Perkembangan Produktivitas Lahan di Desa Batujajar Perhektar  Tahun
Tabel 3. Bentuk Penggunaan  Lahan di Desa Batujajar Tahun 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Landak tentang Penetapan Standar Pelayanan Perizinan

Hasil uji aktivitas xilanase (Gambar 3) menunjukkan bahwa isolat ESW-D4 mempunyai nilai aktivitas xilanase tertinggi (2.66 U/ml) pada media jerami padi dengan

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan informasi yang berguna tentang peranan kegiatan Morning Spiritual Gathering (MSG) dalam mengembangkan karakter disiplin

Meskipun anak dari narapidana bukanlah terpidana yang menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, harus dan wajib untuk mendapatkan dan dipenuhi haknya oleh pihak

Aktivitas O, S, E, A, dan N persiswa berturut-turut adalah aktivitas mengamati persiswa cenderung meningkat, aktivitas menanya persiswa mengalami penurunan,

Gambar 3: a) Schooling ikan pelagis kecil di perairan Selat Bangka pada musim timur. Stasiun 4-9 sounding akustik pada siang hari. Stasiun 1-3 dan 10-12 sounding akustik pada

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bentuk identitas pascakolonial dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Bentuk identitas