7 BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1. Pajak Secara Umum
2.1.1.1 Definisi Pajak
Ada beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak yang beberapa diantaranya akan penulis kutip sebagai berikut:
Menurut Rochmat Soemitro :
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan untuk pengeluaran umum.
Menurut Fieldman yang diterjemahkan oleh Waluyo, Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
Fungsi pajak menurut Mardiasmo (2009) ada dua yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
8 a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk
mengurangi konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
2.1.1.2. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut, seperti yang ada dalam buku Mardiasmo (2009):
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang- undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat Yudiris)
di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi
negara maupun warganya.
9 3. Tidak menggangu perekonomian (syarat Ekonomis)
pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat Finansiil)
sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpanjangannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Contoh:
• bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
• Tarif PPN yang beragam disederhakan hanya satu tarif, yaitu 10%.
• Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).
2.1.1.3 Pengelompokan Pajak
pengelompokan pajak menurut Waluyo terdiri dari pajak langsung dan pajak
tidak langsung.
10 Pajak langsung adalah pajak yang pembebananya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak tidak langsung adalah Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contoh: Pajak pertambahan nilai (PPN).
1. Menurut sifat
Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip:
a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan Wajib Pajak.
Contohnya: Pajak Penghasilan
b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan Wajib Pajak.
Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
2. Menurut pemungutnya dan pengelolaannya
a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contohnya: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan dan Bea Materai.
11 b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah terdiri atas:
• Pajak propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
• Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel, pajak restaurant, dan pajak hiburan.
Namun PBB akan menjadi Pajak Daerah sesuai UU Pajak dan Retribusi Daerah No 29 tahun 2009
2.1.1.4. Tata cara pemungutan pajak
Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2009) dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 stelsel:
a. Stelsel nyata (riil stelsel)
pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan
yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan
pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang
sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan
atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah
pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan
kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir
periode (setelah penghasilan riil diketahui)
12 b. Stelsel anggapan (fictive stelsel)
pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapay ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan, kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2. Asas- asas
Azas-azas pengenaan pajak adalah :
a. Azas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggak di
13 wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Azas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri
b. Azas sumber
negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak
c. Azas kebangsaan
pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara
3. sistem pemungutan pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
2) Wajib pajak bersifat pasif
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya suatu
ketetapan pajak oleh fiskus
14 b. Self assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri
2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, meyetor dan melapor sendiri pajak yang terutang
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi c. Witholding system
adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang
terutang ada pada pihak ketiga, selain fiskus dan wajib pajak.
15 2.1.1.5. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Menurut Mardiasmo (2009) ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak:
1. Ajaran formil
Utang pajak timbul dikarenakan keluarnya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system
2. Ajaran materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang.
Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusya utang pajak menurut Mardiasmo (2009) dapat disebabkan oleh:
1. Pembayaran 2. Kompensasi 3. Daluwarsa
4. Pembebasan dan penghapusan
2.1.1.6. Tarif Pajak
ada empat macam tarif pajak menurut Mardiasmo (2009):
1. Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang erhutang
proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak
16 2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapaun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terhutang tetap
3. Tarif progresif
Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar
4. Tarif degresif
Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar
2.1.1.7 Pajak Negara dan Pajak Daerah
Pajak di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok ditinjau dari lembaga pemungut pajak yaitu pajak Negara dan pajak Daerah.
Pajak daerah dibagi menjadi dua bagian menurut Mardiasmo (2009), yaitu:
a. Pajak Propinsi, terdiri dari:
i. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air
ii. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
iii. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah dan air permukaan
17 b. Pajak kabupaten/kota, terdiri dari:
i. Pajak hotel ii. Pajak restaurant iii. Pajak hiburan iv. Pajak reklame
v. Pajak penerangan jalan
vi. Pajak pengambilan bahan galian golongan C vii. Pajak parkir
viii. Pajak lain-lain
2.1.2 Pajak Bumi dan Bangunan 2.1.2.1 Sejarah PBB
PBB merupakan jenis pajak objektif yang berlaku sejak Januari
berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1994. Jenis pajak ini bukanlah tergolong jenis pajak baru karena pada
dasarnya terdapat jenis pajak yang memiliki kesesuaian dengan PBB yang
telah lama dikenal dan jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor
12 Tahun 1985. Secara umum latar belakang sejarah ke-PBB-an terbagi
menjadi tiga bagian yaitu sebelum penjajahan, masa penjajahan, dan masa
kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan, pajak atas tanah telah lama
dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di nusantara dengan
nama drwyahaji. Salah satu kerajaan besar di masa lalu, Mataram, dalam
sejarah disebutkan telah menerapkan tanah pertanian ssebagai objek pajak.
18
Saat itu pajaknya dipungut berdasarkan luas tanah. Selain di Jawa, di kerajaan
Aceh dikenal pula pungutan atas tanah ladang yang dikenal dengan istilah
wase tanah disamping pungutan-pungutan lainnya. Pada masa penjajahan,
dikenal adanya jenis pajak bumi yang disebut Land Rent. Jenis pajak ini
diperkenalkan oleh Sir Stanford Rafles, Seorang Gubernur Jenderal Inggris di
Indonesia pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816. Land Rent dikenakan
terhadap semua jenis tanah produktif dan wajib pajaknya adalah desa (kepada
desa), bukan perseorangan, karena kepada desa dianggap sebagai penyewa
yang harus membayar sewa tanah. Besarnya tarif Land Rent bervariasi antara
20% hingga 50% dari hasil produksi pertania tergantung pada jenis
produksinya. Pada masa penjajahan Belanda (1986) pemungutan Land Rent
tetap dipertahankan dengan mengganti namanya menjadi Landrente dan
besarnya tarif juga diubah menjadi 20% dari produksi pertanian. Selanjutnya
pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia (1942-1945), nama Land Rent
diubah menjadi Land Tax. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1945, nama Land Tax atau pajak tanah disebut Pajak Bumi. dan pada
tahun 1951 sampai dengan 1959 nama Jawatan Pendaftaran Tanah Milik
Indonesia (PTMI) yang mempunyai tugas mendaftar dan mengeluarkan surat
pendaftaran sementara bagi tanah-tanah milik terdaftar. Dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi,
terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat dipungut pajak yang dikenal
sebagai Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa itu
dipungut pula enam pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan
bangunan yang menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak
19 lainnya dan menyebabkan adanya beban pajak berganda bagi masyarakat.
Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983, antara lain dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, maka tujuh jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan disederhakan menjadi PBB.
Dalam halaman Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan bangunan, pertimbangan-pertimbangan Pemerintah dalam membentuk undang-undang pajak nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
a. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peran-serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya;
b. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak;
c. Bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem
20 perpajakan, sehingga dapat mewujudkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional;
d. Bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan pajak kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum;
e. Bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan
2.1.2.2 Definisi
Definisi bumi dan bangunan Menurut Siti Resmi yang adalah:
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa- rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan menurut Mardiasmo (2009) adalah:
1. Jalan lingkungan dalan satu kesatuan komplek bangunan 2. Jalan tol
3. Kolam renang
4. Pagar mewah
5. Tempat olahraga
21 6. Galangan kapal, dermaga
7. Taman mewah
8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak 9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat
Menurut Suharno, (2003) yang dimaksud Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagi hasil pajak.
Sedangkan pengertian PBB yang diambil dari www.pajak.go.id adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Dari pengertian tentang Pajak Bumi dan Bangunan diatas maka
penulis menyimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan
negara yang berasal dari rakyat atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan
atau bangunan yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah
masing-masing untuk meningkatkan pendapatan daerah tersebut.
22 2.1.2.3 NJOP
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menurut Mardiasmo (2009) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pengganti. Yang dimaksud dengan:
•
Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
•
Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;
•