• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI PADA SANTRI BARU PONDOK PESANTREN USWATUN HASANAH. SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi OLEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI PADA SANTRI BARU PONDOK PESANTREN USWATUN HASANAH. SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi OLEH"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH

IMAM MUSTAKIM 131301019

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)
(3)
(4)

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI PADA SANTRI BARU PONDOK PESANTREN USWATUN HASANAH

Imam Mustakim dan Ari Widiyanta

ABSTRAK

Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswa tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan istilah kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Suasana dan peraturan Pesantren yang jauh berbeda dengan lingkungan rumah para santri menuntut mereka untuk mampu menyesuaikan diri, terlebih lagi untuk para santri baru.

Penyesuaian diri adalah suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi kesesuaian antara perilaku dan lingkungannya.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan kemampuan penyesuaian diri pada Santri baru Pondok pesantren Uswatun hasanah. Subjek yang digunakan merupakan Para santri baru Pondok Pesantren Uswatun Hasanah tahun ajaran 2018/2019 yang berjumlah 150 orang.

Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan skala penyesuaian diri yang disusun berdasarkan karakteristik dan faktor penyesuaian diri (Schneiders, 1964).

Hasil analisa data menunjukkan bahwa kemampuan penyesuaian diri pada Santri Baru pondok pesantren Uswatun Hasanah berada pada kategori Tinggi, hal ini membuktikan bahwa lingkungan, budaya, pengalaman santri dan strategi guru dalam mendidik menjadi sangat penting bagi penyesuaian diri para santri baru.

Kata Kunci: Penyesuaian Diri, Santri, Pondok Pesantren.

(5)

Description Of Self Adjustment In Student Islamic Boarding school Uswatun Hasanah

Imam Mustakim And Ari Widiyanta

ABSTRACT

Islamic boarding schools are a traditional education that students live together and study under the guidance of a teacher better known as kiai and have a dormitory for students to stay. The atmosphere and regulations of the pesantren which are very different from the home environment of the santri require them to be able to adjust themselves, especially for the new santri. Self-adjustment is a dynamic process that aims to change the behavior of individuals in order to match the behavior and environment. This research is a quantitative descriptive study which aims to describe the ability of self-adjustment in new Santri Islamic Boarding School Uswatun Hasanah. The subjects used were the new santri of the Uswatun Hasanah Islamic Boarding School 2018/2019 which numbered 150 people. Data retrieval is done by spreading the self-adjustment scale which is arranged based on characteristics and self-adjustment factors (Schneiders, 1964). The results of data analysis showed that the self-adjustment ability of the Santri Baru Islamic boarding school in Uswatun Hasanah was in the High category, this proves that the environment, culture, experience of the santri and the teacher's strategy in educating were very important for the adjustment of the new santri.

Keywords: Islamic Boarding school , Self-adjustment, student

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa melimpahkan segala rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah ”Gambaran Penyesuaian Diri pada Santri Baru Pondok Pesantren Uswatun Hasannah.

Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Psikologi USU. Membutuhkan perjuangan dan pengorbanan untuk menyelesaikannya. Namun, Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa kehadiran orang-orang berpengaruh di sekeliling penulis yang telah mendukung dan membantu. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas cinta, dukungan dan kasih sayang dari keluarga Ayah dan Ibu. Terimakasih untuk selalu memberi ruang sehinga penulis dapat melakukan segala sesuatu dengan nyaman.

Terimakasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada:

1. Bapak Zulkarnain, Ph.D, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Kemudian Bapak Eka Danta Jaya Ginting, MA, Psikolog selaku Wakil Dekan 1, Bapak Ferry Novliadi, M.Si selaku Wakil Dekan 2, dan Ibu Rika Eliana, M.Psi, Psikolog selaku Wakil Dekan 3 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ari Widiyanta, M.si, Psi selaku dosen pembimbing skripsi. Sosok pengajar ideal yang selalu memahami peserta didiknya, seorang pengajar yang selalu tepat memposisikan dirinya di hadapan para mahasiswa.

Terima kasih untuk inspirasi dan ilmu yang telah Bapak berikan selama ini.

(7)

3. Bapak Ari Widiyanta, M.si, Psi, Ridhoi Meilona Purba, M.Si dan ibu Sri Supriyantini, M.Si, Psi yang telah menjadi dosen penguji untuk penelitian skripsi ini. Semoga ke depan, akan semakin baik dan sempurna.

4. Seluruh Staf Departemen Sosial yang telah memberikan saya kesempatan untuk menimba ilmu didalamnya.

5. Ibu Emmy Mariatin M.Psi, Psikolog ibu dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberi wejangan untuk selalu kuat dalam dunia perkuliahan ini dengan sebaik-baiknya.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU yang saya banggakan. Terimakasih untuk segala ilmu dan pengalaman yang telah dibagi. Mudah-mudahan ilmu ini dapat selalu diamalkan dan bermanfaat bagi orang banyak.

7. Bapak dan Ibu para pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang memudahkan saya dalam hal urusan administrasi.

8. Pondok Pesantren Uswatun Hasanah tempat peneliti menyebarkan skala serta subjek yang telah bersedia ikut terlibat di dalam penelitian ini.

9. Keluarga yang senantiasa menjadi motivasi bagi peneliti untuk tetap menjaga semangat sampai proposal ini selesai. Terimakasih kepada kedua Orangtua serta saudara yang selalu menjadi motivasi utama saya dalam mengerjakan proposal ini.

10. Teman-teman terdekat peneliti dan angkatan 2013 yang senantiasa memberikan semangat dan membantu peneliti menyusun skripsi.

(8)

11. PEMA Fakultas Psikologi periode 2016-2017. Terima kasih untuk kerjasama yang luar biasa, bangga bisa tumbuh bersama-sama dengan kalian.

12. Keluarga FORMASI Al-Qalb, terima kasih untuk pengalaman dan kebersamaannya, untuk perhatian dan kebaikannya.

13. Angkatan 2013 yang selalu menjadi kekuatan dan energi ketika berada di kampus. Terima kasih telah mengajarkan kesabaran, kepemimpinan, toleransi dan rendah hati selama proses kita bersama.

14. Segenap keluarga Fakultas Psikologi USU, terima kasih atas pengalaman positif yang diberikan selama ini. Semoga kehangatan di keluarga ini tetap terjaga meski generasi silih berganti.

Semoga segala kebaikan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun kesempurnaan skripsi ini.

Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait, pada dunia edukasi dan para pembaca pada umumnya.

14 Mei 2019

Imam Mustakim

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Permasalahan ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Sitematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyesuaian diri ... 12

2.1.1. Defenisi penyesuaian diri ... 12

2.1.2. Aspek-aspek penyesuaian diri ... 15

2.1.3. Karakteristik penyesuaian diri... 17

2.1.4. Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri ... 18

2.1.5. Dampak kegagalan penyesuaian diri ... 20

(10)

2.2. Pengertian santri baru pondok pesantren ... 22

2.3. Penyesuaian diri santri baru di pondok pesantren ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Identifikasi Variabel... ... 29

3.2. Defenisi Operasionan. ... 29

3.3. Subjek Penelitian... ... 29

3.3.1. Populasi... ... 29

3.3.2. Sampel penelitian ... 30

3.3.3. Teknik sampling ... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.5. Uji coba alat ukur... ... 34

3.5.1. Validitas Alat Ukur ... 34

3.5.2. Reabilitas Alat Ukur ... 35

3.5.3. Uji Daya Diskriminasi Aitem... 35

3.6. Hasil uji coba alat ukur ... 36

3.7. Prosedur pelaksanaan penelitian ... 38

3.7.1. Persiapan penelitian ... 38

3.7.2. Uji coba alat ukur ... 39

3.7.3. Pelaksanaan penelitian ... 39

3.7.4. Pengolahan data penelitian ... 39

3.8. Metode Analisis Data ... 39

(11)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Subjek umum Penelitian ... 40

4.1.1. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia... 40

4.1.2. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 42

4.1.3. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Suku ... 42

4.2. Hasil Utama Penelitian ... 43

4.2.1. Gambaran Penyesuaian Diri Secara Umum ... 43

4.3. Hasil Tambahan ... 45

4.3.1. Gambaran Penyesuaian Diri Berdasarkan Kondisi fisik ... 45

4.3.2. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Suku dan Budaya ... 48

4.3.3. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Penilaian terhadap lingkungan Asrama ... 49

4.3.4. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Asal Daerah ... 49

4.3.5. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Penilaian terhadap Pengurus Pondok Pesantren ... 51

4.3.6. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Penilaian terhadap Guru ... 52

4.4. Pembahasan ... 52

(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpula ... 62

5.2. Saran ... 63

5.2.1. Saran Metodologis ... 63

5.2.2. Saran Praktis... 63

DAFTAR PUSTAKA ... ... 64

LAMPIRAN... ... 68

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue print Skala Penyesuaian Diri sebelum uji coba ... 31

Tabel 2. Kategorisasi Norma Nilai penyesuaian Diri ... 34

Tabel 3. Blue Print Skala Penyesuaian Diri setelah Uji Coba ... 36

Tabel 4. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia ... 41

Tabel 5. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 42

Tabel 6. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Suku ... 42

Tabel 7. Skor Empirik Dan Skor Teoritik Penyesuaian Diri ... 43

Tabel 8. Kategori Norma Nilai penyesuaian Diri ... 44

Tabel 9. Pengelompokkan Penyesuaian Diri Subjek ... 44

Tabel 10. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Kondisi Fisik... 45

Tabel 11. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Kondisi Fisik (Penyakit Berat) ... 46

Tabel 12. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Suku dan Budaya ... 48

Tabel 13. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasark Penilaian terhadap lingkungan Asrama... 49

Tabel 14. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarka Asal Daerah ... 50

Tabel 15. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Penilaian terhadap Pengurus Pondok Pesantren ... 51

Tabel 16. Gambaran Penyesuaian Diri Subjek Berdasarkan Penilaian terhadap Guru ... 52

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alat Ukur Penelitian TRYOUT ... 68

Lampiran 2. Hasil Pengolahan TRYOUT ... 79

Lampiran 3. Alat Ukur Penelitian ... 82

Lampiran 4. Data Penelitian dan Hasil Pengolahan Data ... 90

(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara individu dengan lingkungannya. Schneiders (1964). juga mendefinisikan penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu sebagai bentuk adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai suatu usaha penguasaan (mastery).

Hurlock (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2004, p. 93) menyataan bahwa penyesuaian diri adalah subjek yang mampu menyesuaikan diri kepada umum atau kelompoknya tersebut memperlihatkan sikap dan perilaku yang menyenangkan, berarti orang tersebut diterima oleh kelompok dan lingkungannya.

Gunarsa dan Gunarsa (2004) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan manusia, sehingga penyesuaian diri dalam hidup harus dilakukan supaya terjadi keseimbangan dan tidak ada tekanan yang dapat mengganggu dimensi kehidupan.

Menyesuaikan diri dalam menghadapi situasi baru bukan hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih jika situasi yang dihadapi sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya, salah satunya adalah melanjutkan pendidikan di sekolah dengan sistem pesantren.

(16)

Menurut penelitian Yuniar dkk (dalam Zakiyah, Hidayat dan Setiawan, 2010) sekolah-sekolah yang memadukan materi agama dan materi umum banyak diminati karena orang tua mempunyai persepsi bahwa lembaga yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki moralitas dan tingkat keimanan yang tinggi adalah pesantren. Oleh sebab itu masyarakat mempunyai ketertarikan menyekolahkan anaknya di pesantren yang memuat kurikulum agama dan umum secara seimbang.

Pesantren kini semakin menjamur di Indonesia. Sistem pendidikan yang ditekankan di pesantren adalah pelajaran agama Islam. Pondok Pesantren telah diatur dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan keagamaan pasal 30 ayat pertama yang menyatakan bahwa Pondok Pesantren merupakan salah satu bentuk dari pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai perundang undangan dan Ayat ketiga menyatakan bahwa Pondok Pesantren pada jalur formal, nonformal dan informal. Kepala Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama H. Abdul Jamil pada tahun 2015 (dalam Djibril, 2011) mengatakan, jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta yang tersebar di 25.000 pondok pesantren.

Pondok Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru, yang lebih dikenal dengan istilah kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Asrama ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para

(17)

santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut (Nicholis, 1997) Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, yang pada umumnya dengan cara “nonklasikal”, dimana seorang Kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan dan para santri tinggal didalam pesantren tersebut.

Pondok pesantren menawarkan kurikulum yang berbeda yaitu adannya kurikulum keagamaan yang lebih mendalam, salah satu ciri utama pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya adalah adanya pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai kurikulumnya. Kitab kuning dapat dikatakan menempati posisi yang istimewa dalam tubuh kurikulum di pesantren, karena keberadaannya menjadi unsur utama dalam diri pesantren, dan sekaligus sebagai ciri pembeda pesantren dari pendidikan Islam dan sekolah umum.

Beberapa pondok pesantren memadukan kurikulum pemerintah dengan kurikulum yang dibuat sendiri oleh pesantren, sehingga selain dibekali ilmu umum para santri juga dapat memperdalam ilmu agama. Para santri yang menimba ilmu di pondok pesantren diharapkan dapat menguasai ilmu pengetahuan juga memiliki iman dan taqwa yang sebagai bekal untuk hidup bermasyarakat. Santri hidup dalam suatu komunitas khas, dengan kyai, ustadz, santri dan pengurus pesantren, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasannya tersendiri, yang tidak jarang berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya (Bashori, 2003).

(18)

Pondok pesantren memiliki banyak peraturan seperti kemandirian dan saling berbaur sesama santri baru tentunnya dengan para pembimbing yang akan menuntun santri baru yang berada di pondok pesantren. Bagi santri baru adalah anggota santri tingkat awal dan baru memulai mengikuti kegiatan yang akan diadakan di pondok pesantren. Santri yang belajar di pondok pesantren pada dasarnya tidak hanya berasal dari daerah dimana pondok pesantren tersebut berdiri, tetapi juga berasal dari luar kota bahkan ada yang berasal dari luar propinsi. Setiap santri yang berasal dari berbagai wilayah yang berbeda tersebut secara otomatis akan menempati tempat tinggal baru di dalam pondok pesantren yang tentunya akan berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya serta bersama- sama dengan para santri lainnya yang berbeda latar belakang budaya dan tempat tinggal. Kegiatan-kegiatan di dalamnya pondok pesantren pun sangat berbeda dengan kegiatan para santri sebelum memasuki pondok pesantren pada umumnya (Wahid, 2001). Berdasarkan hasil wawancara personal dengan wakil sekolah menyatakan bahwa:

Peraturan yang harus ditaati oleh para santri terutama santri baru adalah tidak boleh terlalu jauh keluar dari lingkungan pondok karena pondok pesantren tidak memiliki pembatas dan, hidup mandiri, cuci pakaian, rajin beribadah, belajar dan tidak menggangu teman satu sama lain, saling berdiskusi.

(Komunikasi Personal Guru Wakil Sekolah, 1 Juli 2019) Santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan Ilmu Agama Islam di suatu tempat yang dinamakan pesantren.Pertama, santri berasal dari kata “santri” dari bahasa Sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, kata santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang mengikuti

(19)

seseorang kemanapun pergi atau menetap dengan tujuan dapat belajar darinya satu ilmu pengetahuan, (Megarani, 2010).

Sebagai santri baru yang tinggal di pondok pesantren Uswatun Hasanah tergolong remaja awal, rentang usia antara 12 tahun hingga 15 tahun. Menurut Monks (2002) bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak- kanak ke masa dewasa yang di tandai dengan perkembangan fisik, perkembangan seksual serta perkembangan sosial. Selanjutnya Monks (2002) memberikan batasan usia remaja adalah masa diantara 12-21 tahun. Dengan pembagian menjadi tiga masa, yaitu masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja tengah 15- 18 tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun. Kemudian Thornburg (1982) berpendapat bahwa masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP/SLTP), sedangkan masa remaja madya, individu sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA/SLTA).

Kemudian, mereka yang tergolong remaja akhir, umumnya telah memasuki dunia perguruan tinggi atau telah lulus SMA dan mungkin sudah bekerja.

Kehidupan santri baru di pondok pesantren Uswatun Hasanah, para santri baru akan dihadapkan pada tuntutan-tuntutan tugas akademis maupun non akademis yang telah ditetapkan oleh pesantren. Para santri harus mampu untuk menyelesaikan tiap tugas yang diberikan agar dapat menyelesaikan pendidikan di pesantren. Oleh sebab itu, dalam memasuki lingkungan yang baru para santri baru haruslah memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik.

Kemampuan penyesuaian diri dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya kemampuan dari dalam diri individu, melainkan faktor lain yang berasal dari luar

(20)

juga turut mempengaruhi tinggi rendahnya kemampuan penyesuaian diri para santri, seperti lingkungan fisik di pesantren serta pelayanan yang diberikan pegawai maupun guru di pesantren Uswatun Hasanah.

Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan di pesantren Uswatun Hasanah, secara umum fasilitas yang disediakan oleh pesantren cukup mendukung proses penyesuaian diri para santri baru karena memberikan kenyamanan bagi para penghuninya termasuk para santri baru, hal ini terkait dengan hasil wawancara berikut:

“kalo aku bang, enak aja rasanya. Disini soalnya tempat tidur kami sendiri- sendiri dan tergabung, lemari pakaian kami pun tergabung juga bg jadi satu. Jadi kayak aku yg agak lasak tidurmya jadi tidak mengganggu kawan- kawan kan. Barang-barang pribadi pun jadi tanggung jawab masing- masing kan., untungnya di pesantren ini enak bg. Antar sesama kawan kalo urusan tidur dan menjaga barang-barang bisa dibilang gadak masalah, kami percaya antar sesama kawan karena kita diajarkan harus saling percaya sesama teman bg”

(Komunikasi Personal Pada Santri Baru, 1 Juli 2019) Selain fasilitas pribadi seperti kamar tidur dan loker pribadi, pesantren Uswatun Hasanah juga menyediakan tempat khusus untuk orangtua santri menjenguk para santri yang berada di tengah pondok, seperti hasil wawancara berikut:

“kalo ketemu orangtua di tengah pondok la bang, karena luas jadinya bisa cerita-cerita sama orangtua, makan sama-sama, terus bersih juga kan tempatnya. Aku betul-betul manfaatkan la waktu kalo orangtua ku datang bang. Curhat juga aku soal tugas-tugasku disini, karena tempatnya masing- masing gitu jadi gak malu aku cerita sama keluargaku, kalo misalnya tempatnya bebas-bebas gtu kan kurang nyaman mau cerita sama org tua bg, untungnya disini gak kaya gtu, dan bisa juga orang tua kita saling mengenal bg”

(Komunikasi Personal Pada Santri Baru, 1 Juli 2019)

(21)

Pondok pesantren Uswatun Hasanah tidak hanya menyediakan fasilitas untuk kepentingan internal para santri, beberapa fasilitas juga sengaja di rancang agar para santri dapat berbaur langsung dengan masyarakat sekitar, seperti adanya mesjid yang bisa diakses secara umum, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara sebagai berikut:

“kami kan gaada pagarnya pesantrennya bg, Jadi masyarakat kalo mau sholat ke mesjid kami bisa juga langsung bang. Enaknya disini jadi terasa rame gitu kan bang. Bukan mukak kawan kawan awak aja yang kita liat.

Orang-orang dari luar itu pun kadang mau cerita-cerita sama kami kalo lagi waktu luang. Kadang terasa kayak bukan sekolah, kayak rumah sendiri aja rasanya”

(Komunikasi Personal Pada Santri Baru, 1 Juli 2019) Selain fasilitas-fasilitas fisik untuk mendukung kenyamanan proses belajar para santri, pesantren Uswatun Hasanah juga membuat beberapa kebijakan untuk meningkatkan minat belajar dan semangat belajar para santri, yaitu dengan adanya pendamping para santri yang merupakan senior mereka di asrama, seperti yang dinyatakan oleh salah satu pendamping santri baru sebagai berikut:

“tujuan saya disini sebagai pendamping bagi mereka santri baru biasa laa kak mereka kan kadang harus tinggal bertahun tahun apalagi baru pertama tama kan pasti tidak betah, tujuan saya adalah menemani mereka pada saat ada tugas, memberikan arahan agar mereka betah dan nyaman disini kak, kadang seleai isya kita kumpul untuk bersikusi tentang kehidupan, tentang sekolah, tentang keluarga supaya mereka saling mengenal teman teman nya kak”

(Komunikasi Personal Pada Pendamping Santri, 1 Juli 2019) Meskipun segala fasilitas dan aturan-aturan telah ditetapkan dengan baik oleh pihak pesantren Uswatun Hasanah, namun para santri tetap mengalami beberapa kendala yang berpengaruh terhadap performa akademis mereka selama berada di pesantren. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, peneliti menemukan

(22)

beberapa data yang menunjukkan bahwa tuntutan yang diterapkan di pesantren dapat dikatakan cukup berat untuk diikuti oleh beberapa santri, seperti yang dinyatakan oleh salah satu santri baru sebagai berikut:

“pelajarannya payah juga bang, banyak kali hapalan., Tapi dsini kita ada yang ngajarkan gitu bg kalo yang tugas berat gitu bg sama pendamping bg kita belajar sama sama, menghapal sama sama jadi lebih enak kalo menurut saya bg tidak merasa sendri kalo lagi sulit gitu bg ”

(Komunikasi Persinal Pada Santri Baru, 1 Juli 2019) Tentunnya dengan padatnya jadwal aktivitas santri baru dan bobot mata pelajaran yang cukup berat tidak menutup kemungkinan mengakibatkan adanya tekanan-tekanan pada diri para santri baru sehingga meningkatkan sensitivitas antara santri yang satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang sering kali memunculkan masalah di antara para santri, sehingga santri menjadi malas belajar dan enggan mengikuti aktivitas yang telah ditetapkan pihak pondok pesantren, sehingga santri sering mendapat teguran dari pengurus dan mendapat sanksi, sehingga santri gagal menimba ilmu. Kenyataan yang terjadi pada kehidupan di pondok pesantren Uswatun Hasanah santri tidak mengalami hambatan dalam penyesuaian diri walaupun ada kesulitan yang bagi mereka santri baru pada saat pertama mereka tinggal adannya ketakutan tidak bisa menghapal, mengerjakan tugas –tugas yang diberikan, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pondok dan sebagainya, hal ini dapat di lihat pada hasil wawancara dengan guru sebagai berikut:

Begitu juga dengan para santri yang ada di pondok pesantren uswatun hasannah banyak dari santri baru yang belum terbiasa dengan lingkungan, pelajaran, bahasa, suku yang berbeda oleh sebab itu pihak pesantren

(23)

mempekerjakan yang benar benar mempunyai prestasi dan telah selesai menuntuk ilmu di pondok pesantren tujuannya untuk membimbing santri baru agar lebih dekat seperti kakak dan adek, adapun yang dilakukan sebagai membimbing dan mendampingi para santri ketika merasa kesulitan dalam menyelesaikan kegiatan yang ada di pondok seperti mengajarkan bahasa arab dan diskusi di waktu luang dan membentuk kelompok dengan suku yang berbeda untuk lebih mengenal satu sama lain.

(Komunikasi Personal Pada Guru, 1 Juli 2019) Dalam penyesuaian diri tentunnya ada kesulitan yang mungkin dialami karena adanya faktor penyesuaian diri dalam pribadi individu Schneiders (1964).

Kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, keadaan psikologis, keadaan lingkungan merupakan faktor bagaimana santri dapat menyesuaian diri dalam lingkungan pesantren. Dalam lingkungan pondok pesantren Uswatun Hasanah pada santri baru dituntut untuk bisa berbaur dan menyatu dengan semua santri dan pengurus yang ada di pondok pesantren. Ketika para santri belum mampu dalam memahami dirinya sendiri maka ia mungkin akan sulit dalam menyesuiakan dirinya di lingkungan pondok, toleransi yang diberikan dalam lingkungan pondok pesantren yang sangatlah dibutuhkan bagi para santri baru. Selain itu individu atau santri baru tersebut harus bisa berperilaku dan bertindak secara objektif, dalam hal ini individu harus bisa memposisikan siapa dirinya dan bagaimana ia harus bertindak dan dapat membangun strategi penyesuaian diri yang baik sebagai upaya untuk beradaptasi terhadap lingkungan baru dan masalah tekanan dari lingkungan pondok pesantren Uswatun Hasanah. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik mengenai penelitian tentang Gambaran Penyesuaian Diri pada Santri Baru Pondok Pesantren Uswatun Hasanah.

(24)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana gambaran umum Penyesuaian Diri pada santri baru di Pondok Pesantren?

b. Bagaimana gambaran Penyesuaian Diri pada santri baru di Pondok Pesantren berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran umum dan faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Diri pada santri baru di Pondok Pesantren Uswatun Hasanah?

1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa tambahan informasi dan ilmu pengetahuan serta hasil penelitian khususnya di bidang psikologi sosial mengenai penyesuaian diri pada santri baru di Pondok Pesantren.

2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan maupun referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai penyesuaian diri.

b. Manfaat praktis

Dalam penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi psikolog sosial serta pihak pemerintah dan pihak sekolah yang terkait untuk memberikan

(25)

bimbingan mengenai penyesuaian diri yang baik agar senantiasa dapat memberikan dampak yang positif.

1.5. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian, yaitu teori penyesuaian diri, faktor-faktor penyesuaian diri, pengertian pondok pesantren, santri dan teori remaja.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, dan metode analisis data.

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan analisa yang meliputi gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan, dan pembahasan hasil penelitian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang berhubungan dengan hasil penelitian.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENYESUAIAN DIRI

2.1.1. Pengertian Penyesuaian Diri

Semua makhluk hidup secara alami telah dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara beradaptasi dengan keadaan lingkungan alam untuk bertahan hidup, dalam istilah psikologi penyesuaian diri disebut juga dengan istilah adjustment. (Enung. 2006:194). Begitu banyak tokoh dunia yang menjelaskan tentang pengertian dari istilah penyesuaian diri (adjustment). Semua yang dijelaskan terkait definisi penyesuaian diri akan mempunyai inti arti tersebut.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa penyesuaian diri adalah bagaimana seorang individu mampu untuk menghadapi berbagai sesuatu yang timbul dari lingkungan.

Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara individu dengan lingkungannya. Schneiders (1964) juga mendefinisikan penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang yaitu sebagai bentuk adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai suatu usaha penguasaan (mastery).

(27)

Schneiders (1964), penyesuaian diri dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu :

1. Penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation)

Pada mulanya penyesuaian diri diartikan sama dengan adaptasi, namun dalam adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik, fisiologis, dan biologis.

2. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity)

Dengan memaknai penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, maka seorang individu mampu menghindari terhadap suatu tekanan dari penyimpangan perilaku baik secara moral, sosial maupun emosional.

3. Penyesuaian diri sebagai penguasaan (mastery)

Hal ini diartikan sebagai kemampuan individu untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan, dan frustasi tidak akan terjadi.

Hurlock (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2004, p. 93) penyesuaian diri adalah subjek yang mampu menyesuaikan diri kepada umum atau kelompoknya dan orang tersebut memperlihatkan sikap dan perilaku yang menyenangkan, berarti orang tersebut diterima oleh kelompok dan lingkungannya.Semua makhluk hidup secara alami telah dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara beradaptasi dengan keadaan lingkungan alam untuk bertahan hidup, dalam istilah psikologi penyesuaian diri disebut juga dengan istilah adjustment.(Enung.

2006:194)

(28)

Colhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2009) mengatakan penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang kontinu dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia individu itu sendiri. Suatu interaksi yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap menekankan sebuah hubungan yang harmonis dengan orang lain dan lingkungan yang ada di sekitarnya, serta mampu menghadapi situasi baru yang akan dihadapinya dengan menyelaraskan dirinya sesuai dengan norma dan aturan yang ada di lingkungan tersebut

Kemudian Ali dan Asrori (2011), menyatakan bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada. Individu yang mampu menangani masalah hidupnya dengan baik dan berhasil mempertemukan tuntutan- tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan dirinya, dikatakan memiliki penyesuaian diri yang baik. Sementara individu yang tidak mampu mempertemukan tuntutan-tuntutan dari lingkungan dengan tuntutan-tuntutan dalam dirinya dikatakan gagal dalam penyesuaian diri. Kegagalan individu dalam penyesuaian diri akan menimbulkan perasaan tidak tenang dan menimbulkan gangguan keseimbangan dalam dirinya. (Novikarisma. 2007:13)

Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku

(29)

individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya atas dasar pengertian tersebut dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya.

2.1.2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri

Schneiders (1964), mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik meliputi enam aspek sebagai berikut :

1. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality).

Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak. Individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi yang baik.

Emosinya akan tetap tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah yang dibebankan kepadanya dengan menggunakan emosi yang terkendali.

2. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological mechanism).

Kejujuran dan keterusterangan terhadap masalah atau konflik yang dihadapi individu akan terlihat sebagai reaksi yang normal daripada suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisme, proyeksi, atau kompensasi.

3. Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi (absence of the sense of personal frustration). Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau

(30)

bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustasi.

4. Kemampuan untuk belajar (ability to learn).

Mampu mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

5. Memanfaatkan pengalaman (utilization of past experience).

Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang normal. Dalam mengahadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

6. Sikap realistis dan objektif (realistic and objective attitudes).

Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap realitas yang dihadapinya. Individu mampu mengatasi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.

7. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self- direction).

Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya.

(31)

Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung kepada masalah dengan segala akibatnya.

2.1.3. Karakteristik Penyesuaian Diri

Seseorang dikatakan mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang positif menurut Schneiders (Novi. 2007: 15-16) kriteria individu dengan penyesuaian diri yang baik, yaitu sebagai berikut : pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya, objektivitas diri dan penerimaan diri, kontrol dan perkembangan diri, integrasi pribadi yang baik, adanya tujuan danarah yang jelas dari perbuatannya, adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang adekuat, mempunyai rasa humor, mempunyai rasa tanggung jawab, menunjukkan kematangan respon, adanya perkembangan kebisaaan yang baik, adanya adaptabilitas, bebas dari respon-respon yang simtomatis atau cacat, memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain, memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain, adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain, memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas.

Sedangkan penyesuaian diri yang tidak sehat (Enung. 2006:197) ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, mudah marah, menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan, sering merasa tertekan (stress atau depresi), bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda, ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum, mempunyai kebisaan berbohong, hiperaktif, bersikap memusuhi semua bentuk otoritas, senang mengkritik atau mencemooh orang lain, kurang memiliki rasa tanggung jawab, kurang memiliki kesadaran

(32)

untuk mentaati ajaran agama, bersifat pesimis dalam menghadapi kehidupan, kurang bergairah dalam menghadapi kehidupan.

2.1.4. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Dalam melakukan penyesuaian diri, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dalam kemampuan seorang individu dalam melakukan penyesuaian diri di kehidupannya. Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah:

A. Kondisi fisik

1. Hereditas dan Konstitusi fisik

Temperamen merupakan komponen utama karena temperamen itu muncul karakteristik yang paling dasar dari kepribadian, khususnya dalam memandang hubungan emosi dengan penyesuaian diri.

2. Sistem utama tubuh

Sistem syaraf, kelenjar dan otot termasuk ke dalam sistem utama tubuh yang memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri.

3. Kesehatan fisik

Penyesuaian diri individu akan lebih mudahdilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri.

(33)

B. Perkembangan dan kematangan

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan.Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.

C. Keadaan psikologis

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatar belakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.

D. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tenteram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota- anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal dilingkungan yang tidak tenteram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga.Sekolah

(34)

bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.Sekolah juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik (Schneiders, 1964).

E. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1964). Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri denganbaik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

2.1.5. Dampak Kegagalan Penyesuaian Diri

Kegagalan tidak pernah hilang dalam kehidupan, segala sesuatu yang sudah direncanakan secara baikdan tersusun bisa gagal kapan saja.Meskipun dengan usaha yang begitu kuat dan semaksimal mungkin pasti pernah terjadi sebuah kegagalan. Begitu dengan penyesuaian diri, individu pasti akan merasakan kegagalan dalam melakukan sebuah penyesuaian diri pada sebuah tempat baru yang dihadapinya. Dalam kegagalan penyesuaian diri, terdapat beberapa dampakyang dihasilkan dari kegagalan itu.Suryawan (2012) mengatakan dampak lain dari kegagalan penyesuaian diri yaitu gangguan mental organikdan gangguan

(35)

mental fungsional yang disebabkan salah belajar dan gagal mendapatkan pola yang memadai untuk menyesuaiakan diri dengan tekanan kehidupan lingkungan sekitar, yaitu:

1. Psikosis, dampakyang dihasilkan berupa gangguan afektif (depresi), schizophrenia, danparanoia (curiga).

2. Neurotic, dampak yang dihasilkan berupa kecemasan, disosiasi, reaksi konversi, phobia, dan obsesif kompulsif.

3. Gangguan kepribadian, Ahmadi dkk (2008) mengatakan terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan apabila seseorang tidak mampu atau gagal dalam melakukan penyesuaiandiri pada lingkungan sekitar, diantaranya sebagai berikut:

a. Kesulitan bergaul, hal ini membuat individu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain atau orang baru yang ada di lingkungan sekitar.

b. Minder, tidak adakeberanian dalam diri individu, takut salah jika berkomunikasi dengan orang lain yang ada di lingkungan sekitar.

c. Tertutup, ketika individu sudah menjadi minder, maka individu akan menutup dirinya dari lingkungan sekitar.

d. Dikucilkan, ketika individu sudah minder dan tertutup, maka tidak akan bergaul dengan orang yang ada di lingkungan sekitar. Sehingga masyarakat akan menganggap individu tersebut menyimpang dari yang seharusnya ada dalam masyarakat tersebut dimana individu itu tinggal sekarang.

(36)

2.2. Pengertian Santri Baru Pondok Pesantren

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Santri berarti: Orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yang saleh), orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lainnya.

Menurut C.C Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa India

“shastri” yang berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang buku-buku suci (kitab suci). Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil

“sattiri” yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum. Salah satu unsur suatu lembaga pendidikan adalah adanya murid yang belajar. Sebenarnya sebutan santri diberikan kepada murid yang belajar ilmu agama di pesantren, sebutan santri juga disematkan pada murid yang belajar di pondok pesantren. Santri yang belajar di pondok pesantren uswatun hasanah terdiri dari remaja dan mayoritas santri SMP dan SMA. Santri atau disebut remaja yang baru masuk pada pondok pesantren juga harus melaksanakan kewajiban peraturan. Santri baru yang berarti siswa yang berada di pondok pesantren yang berada pada tahap usia masa remaja.

Masa remaja adalah masa peralihan dimana terjadinya perubahan fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 2003). Perubahan fisik mencakup organ seksual yaitu alat-alat reproduksi sudah mencapai kematangan dan mulai berfungsi dengan baik sedangkan perubahan psikologis yang terjadi pada remaja meliputi intelektual, kehidupan emosi, dan kehidupan sosial (Sarwono, 2006). Hall (dalam Gunarsa, 1989) mengatakan bahwa masa

(37)

remaja merupakan masa mencari identitas diri, masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan atau biasa disebut dengan masa “strom dan stress”. Dengan demikian remaja mudah terkena pengaruh oleh lingkungannya. Erikson (dalam Gunarsa, 1989), menyatakan bahwa remaja merupakan masa pembentukan perasaan mengenai identitas. Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal orang lain, sebagai remaja tentunyan adannya berbagai tahap perkembangan remaja.

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (dalam Nasution, 2008) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

1. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini remaja masih merasa heran terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengambangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap ego dan menyebabkan ramaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

2. Remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena

(38)

masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, oprimis atau pesimis, dan sebagainya.

3. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian:

a. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

e. Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum.

Pondok pesantren adalah gabungan dari kata pondok dan pesantren.

Istilah pondok berasal dari bahasa Arab yaitu kata funduk yang berarti penginapan atau hotel. Akan tetapi di dalam pesantren Indonesia, lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak- petakkan dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri. Sedangkan istilah pesantren secara etimologis asalnya pe-santri-an yang berarti tempat santri. Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam (Nasir, 2005).

Qomar (2006) mendefinisikan pesantren sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama islam dan didukung asrama

(39)

sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Menurut Dhofier (1985), tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Dalam skala nasional belum ada penyeragaman tentang bentuk pesantren. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya, Qomar (2006).

2.3. Penyesuaian Diri Santri Baru Pondok Pesantren Uswatun Hasanah Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya, Penyesuaian diri dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal seperti genetis, biologis, psikologis dan sebagainya, maupun eksternal yaitu faktor dari luar yang mempengaruhi para santri menyesuaikan diri dari lingkungan merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam membentuk penyesuaian diri santri dengan lingkungan baru.

penyesuaian diri sendiri sebagai bentuk adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery). (Schneiders, 1964). Berhasil tidaknya penyesuaian diri sering disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor keadaan fisik, Perkembangan dan kematangan, keadaan psikologis, lingkungan dan keadaan religius dan budaya (Schneiders, 1964).

Kehidupan sebagai santri baru di pondok pesantren Uswatun Hasanah merupakan transisi antara bergantungnya individu dengan orangtua dan

(40)

kemandirian status serta identitas yang harus diraih, dilingkungan yang baru inilah khususnya dalam pondok pesantren tentunnya banyak perbedaan yang ditemui oleh para santri baru seperti teman baru, budaya, suku dan daerah dimana masing- masing masing santri tinggal, di dalam lingkungan pondok pesantren santri dituntut untuk mandiri, bertanggung jawab, dewasa, saling menolong sehingga dapat memiliki penyesuaian diri yang baik, berprestasi dan dapat menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik. Tapi terkadang tuntutan-tuntutan tersebut tidak dapat dijalankan dengan baik sehingga memunculkan suatu tekanan baik dampak positif dan negatif terhadap diri mereka sebagai santri baru di pondok pesantren Uswatun Hasanah.

Berdasarkan penelitian oleh (Yuniar, 2005) di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta. Bahwa setiap tahunnya 5-10% dari santri baru di PPMI Assalam Surakarta mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan- tindakan yang melanggar aturan pondok dan sebagainya. Dari hasil penelitian (Yuniar 2005) tersebut faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri santri antara lain: motif yang melandasi masuknya santri ke pesantren, persiapan, pengetahuan dan pengalaman, latar belakang budaya, pengaruh lingkungan.

Seseorang dikatakan mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang positif yaitu pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya, objektivitas diri dan penerimaan diri, kontrol dan perkembangan diri, integrasi pribadi yang baik, adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya, adanya perspektif,

(41)

skala nilai, filsafat hidup yang adekuat, mempunyai rasa humor, mempunyai rasa tanggung jawab, Schneiders (dalam Novi. 2007: 15-16). Sedangkan penyesuaian diri yang negatif atau tidak sehat ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, mudah marah, menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan, sering merasa tertekan (stress atau depresi), mempunyai kebisaan berbohong, hiperaktif, bersikap memusuhi semua bentuk otoritas, senang mengkritik atau mencemooh orang lain, kurang memiliki rasa tanggung jawab, bersifat pesimis dalam menghadapi kehidupan (Enung. 2006:197)

Santri yang juga bisa dikatakan murid dalam sebuah sekolah agama dengan status santri baru apalagi melaksanakan peraturan wajib yang harus dilaksanakan merupakan sesuatu yang perlu tekad besar dan persiapan diri yang baik agar bisa melakukan kewajiban dengan ikhlas, mampu menyesuaikan diri dengan baik dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilih dan dilakukan. Untuk mendapatkan penyesuaian diri yang baik tentunnya adannya dukungan dari orangtua dan pihak - pihak yang terkait dalam lingkungan pondok pesantren Uswatun Hasanah untuk membantu santri santri baru masuk kedalam lingkungan baru dan siap menyesuaikan diri dengan positif.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah salah satu komponen penting dalam penelitian yang berguna untuk membatasi penelitian dengan batasan-batasan yang sangat cermat untuk menjaga agar pengetahuan yang diperoleh dari penelitian dapat memiliki keilmiahan yang tinggi (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran penyesuaian diri pada santri baru di pondok pesantren Uswatun Hasanah.

Metode deskriptif merupakan metode yang memiliki tujuan untuk menyajikan fakta secara sistematik dan akurat sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan (Azwar, 2013). Pada penelitian ini, data yang dikumpulkan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan akurat gambaran penyesuaian diri pada santri baru di pondok pesantren tanpa bermaksud untuk mencari penjelasan, melakukan pengujian hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi.

Sekaran, (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif dilakukan untuk mengetahui karakteristik kelompok dalam situasi tertentu, berpikir sistematis tentang aspek-aspek dalam situasi tertentu, memberikan ide untuk penelitian lebih lanjut, dan untuk mengambil keputusan sederhana. Dengan kata lain, penelitian deskriptif menekankan pada penyajian data secara sistematis dan akurat sehingga dapat memberikan gambaran dengan jelas.

(43)

3.1. Identifikasi Variabel

Variabel adalah suatu atribut yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012).Menurut Azwar (2003) variabel adalah suatu konsep mengenai atribut atau sifat yang terdapat pada subjek penelitian yang dapat bervariasi secara kuantitatif dan kualitatif. Adapun variabel dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri.

3.2. Definisi Operasional

Penyesuaian diri adalah kemampuan santri untuk dapat beradaptasi sesuai kondisi lingkungan. Santri yang penyesuaian dirinya baik terlihat dari tidak adannya emosional yang berlebihan, bersikap realistik dan objektif, tidak adannya mekanisme psikologis, tidak ada frustasi pribadi, kemampuan untuk belajar, memanfaatkan pengalaman, pertimbangan rasional dan pengarahan diri sehingga dapat melakukan pertahanan diri secara positif. Namun santri dengan penyesuaian diri buruk memiliki sikap dan tingkah laku yang tidak terarah dan memiliki pertahanan diri yang negatif.

3.3. Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi dibatasi sebagai jumlah individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama (Hadi, 2000). Suatu populasi harus memiliki karakteristik bersama yang membedakannya

(44)

dengan populasi lain (Azwar, 2013). Karakteristik populasi dalam penelitian ini yaitu:

a. Anak sekolah sebagai santri baru di pondok pesantren Uswatun Hasannah b. dalam dan luar daerah

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012). Sampel merupakan bagian dari populasi yang dikenai penelitian. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah 150 pada santri baru pondok pesantren Uswatu Hasanah.

3.3.3. Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan teknik yang digunakan untuk mengambil sampel dengan menggunakan prosedur tertentu dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang dapat benar-benar mewakili populasi (Poerwati, 1994).

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

Pemilihan sekelompok didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Maka dengan kata lain, unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang diterapkan berdasarkan tujuan penelitian atau permasalahan penelitian. (Sugiyono, 2001).

(45)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan salah satu kegiatan dalam penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan fakta mengenai variabel yang diteliti.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala. Skala digunakan karena data yang ingin diperoleh atau variabel yang ingin diukur yaitu penyesuaian diri merupakan konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator yang akan diterjemahkan kedalam bentuk aitem-aitem pernyataan.

Skala penyesuaian diri terdiri dari butir-butir pernyataan yang disusun peneliti berdasarkan karakteristik penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) yaitu : tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality), tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological mechanism), tidak terdapat perasaan frustasi pribadi (absence of the sense of personal frustration), kemampuan untuk belajar (ability to learn), pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience), sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitudes) dan pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction) Schneiders (1964).

Tabel 1 . Blue print Skala Penyesuaian Diri (sebelum uji coba)

Dimensi Indikator F UF

Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan

1. tidak adannya emosi yang relatif berlebihan

2. adannya ketenangan emosi

1, 2 5, 6

3, 4 7,8

(46)

3. menghadapi masalah dengan cermat

9, 10 11, 12

Tidak terdapat mekanisme psikologis

1. Jujur dalam menghadapi masalah

13, 14 15, 16

Tidak terdapat perasaan frustasi pribadi

1. Mampu mengorganisir kemanpuan berfikir

2. Mampu memotivasi diri dalam menghadapi situasi.

17, 18

21, 22

19, 20

23, 24

Kemampuan untuk belajar

1. Menggunakan pengetahuan yang ada untuk mencari penyelesaian masalah 2. Mampu mengetahui faktor yang mendukung dan

menghambat kemampuan belajar

25, 26

29, 30

27, 28

31, 32

Pemanfaatan pengalaman

1. Mampu memanfaatkan pengalaman untuk mengatasi masalah yang di hadapi 2. Mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman yang diperoleh sebagai acuan dalam

33, 34

37, 38

35, 36

39, 40

(47)

menyesaikan masalah Sikap yang

realistis dan objektif

1. Orientasi individu terhadap kenyataan

2. Mampu menerima kenyataan yang di alami tanpa konflik yang berlebihan

41, 42

45, 46

43, 44

47, 48

Pertimbangan rasional dan pengarahan diri

1. Mampu berfikir rasional dalam menghadapi konflik 2. Mampu mengarahkan tingka laku yang sesuai.

49, 50

53, 54

51, 52

55, 56

Jumlah 56

Format skala akan menggunakan model skala Likert dimana nantinya akan ada sejumlah item-item yang akan diuraikan kedalam bentuk favorable (mendukung) dengan lima kategori jawaban yang terdiri dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Nilai dari setiap pilihan akan bergerak dari angka 1 sampai 5. Bobot penilaian untuk pernyataan adalah SS=5, S=4, N=3, TS=2, STS=1.

Pengklasifikasian tinggi atau rendahnya Penyesuaian diri pada santri Pondok Pesantren yaitu dengan mencari mean dan standard deviasi hipotetik.

Selanjutnya akan dibuat rentang sebanyak tiga klasifikasi, yaitu rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan rumus:

(48)

Tabel 2. Kategorisasi Norma Nilai Penyesuaian Diri

Rentang Nilai Kategori

X < (µ - 1,0ϭ) Rendah

(µ - 1,0ϭ) ≤ X ≤ (µ + 1,0ϭ) Sedang

X > (µ + 1,0ϭ) Tinggi

Keterangan: µ = Mean hipotetik skala Penyesuaian Diri ϭ = Standar deviasi

3.5. Uji Coba Alat Ukur 3.5.1. Validitas Alat Ukur

Validitas alat ukur adalah sejauh mana suatu skala dapat menghasilkan data yang akurat dan tepat sesuai dengan tujuan ukurya. Suatu alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila alat ukur tersebut menghasilkan data yang relevan dengan tujuan pengukuran (Azwar, 2012). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi merupakan suatu estimasi untuk melihat sejauh mana aitem-aitem skala mewakili aspek-aspek dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh mana aitem-aitem skala mencerminkan indikator keperilakuan yang hendak diukur (Azwar, 2012). Validitas isi diusahakan dengan pengujian aitem melalui professional judgement (Azwar, 2012). Professional judgement dilakukan dengan cara berkonsultasi dengan pihak lain (Dosen pembimbing) yang lebih mengerti tentang pembuatan alat ukur dan variabel yang akan diukur.

(49)

3.5.2. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil yang diperoleh dari suatu pengukuran dapat dipercaya. Azwar (2012) menyatakan bahwa reliabilitas dicapai apabila dalam beberapa pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok yang sama diperoleh hasil yang relatif sama. Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konsistensi internal (Cronbach’s Alpha Coeffecient) menggunakan SPSS 21.0 for Windows. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00.

Semakin mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya, koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2012).

3.5.3. Uji Daya Diskriminasi Aitem

Daya diskriminasi aitem merupakan sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur. Parameter daya diskriminasi aitem adalah koefisien korelasi aitem total, yaitu koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala total, yang menunjukkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala. Dengan demikian, pemilihan aitem didasarkan pada koefisien korelasi aitem total yang diperoleh (Azwar, 2012). Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem- total menggunakan batasan rix 0.30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi 0.30 dianggap memiliki daya diskriminasi yang memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix< 0.30 diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2012).

(50)

3.6. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Dalam melihat daya beda item, dilakukan analisa uji coba dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS version 21.0 for Windows, dengan batasan (koefisien rix) 0.30. (Azwar, 2012) berpendapat bahwa semua item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.30 memiliki daya pembedanya yang dianggap memuaskan. Setelah dilakukan uji coba, terdapat aitem-aitem yang memiliki koefisien korelasi diatas 0.30 dan ada beberapa aitem yang memiliki koefisien korelasi dibawah 0.30. Berikut gambaran analisa uji coba skala penyesuaian diri dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS version 21.0 for Windows :

Tabel 3. Blue Print Skala Penyesuaian Diri (Setelah uji coba)

Dimensi Indikator F UF

Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan

1. Tidak adannya emosi yang relatif berlebihan

2. Adannya ketenangan emosi

3. Menghadapi masalah dengan cermat

1, 2

5, 6

9, 10

3, 4

7,8

11, 12

Tidak terdapat

mekanisme psikologis

1. Jujur dalam menghadapi masalah

13, 14 15, 16

Tidak terdapat perasaan 1. Mampu mengorganisir 17, 18 19, 20

(51)

frustasi pribadi kemanpuan berfikir

2. Mampu memotivasi diri dalam menghadapi situasi.

21, 22 23, 24

Kemampuan untuk belajar

1. Menggunakan

pengetahuan yang ada untuk mencari penyelesaian masalah

2. Mampu mengetahui faktor yang mendukung dan

menghambat kemampuan belajar

25, 26

29, 30

27, 28

31, 32

Pemanfaatan pengalaman

1. Mampu memanfaatkan pengalaman untuk mengatasi masalah yang di hadapi 2. Mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman yang diperoleh sebagai acuan dalam menyesaikan masalah

33, 34

37, 38

35, 36

39, 40

Sikap yang realistis dan objektif

1. Orientasi individu terhadap kenyataan 2. Mampu menerima kenyataan yang di alami tanpa konflik yang berlebihan

41, 42

45, 46

43, 44

47, 48

Gambar

Tabel 1 . Blue print Skala Penyesuaian Diri (sebelum uji coba)
Tabel 2. Kategorisasi Norma Nilai Penyesuaian Diri
Tabel 3. Blue Print Skala Penyesuaian Diri (Setelah uji coba)
Tabel 4. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku santri di pesantren Ar-raudhatul hasanah yang sangat signifikan terjadinya penularan penyakit skabies adalah penularan melalui handuk karena sebanyak 58 (53,70%)

Hasil penelitian Yuniar dkk (2005) menunjukkan bahwa setiap tahunnya 5-10% dari santri baru di Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta mengalami

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dengan penyesuaian sosial pada santri remaja pondok pesantren.. Rancangan penelitian yang

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara penyesuaian diri dengan kemandirian santri pondok pesantren Al-Huda Wajak dengan nilai pearson correlation sebesar

Ucapan terima kasih juga kepada Staff , Santri dan Santriwati Pondok Pesantren Ar- Raudlatul Hasanah yang telah banyak memberikan bantuan serta pengalaman yang luar biasa,

Model Pendidikan di Pondok Pesantren Al-Hasanah Menurut kepala Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Al-Hasanah Kabupaten Bengkulu Tengah BapakDeri Fachri Hasymi mengatakan: “ Model yang

Adapun tradisi belajar bagi Siswa/santri pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Sabilul Hasanah, memilik kekhasan tersendiri, diantaranya adalah para siswa/santri yang “mukim” di

PENUTUP Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyesuaian diri memiliki peran sebagai mediator dari pengaruh religiositas terhadap kebahagiaan santri di pondok