• Tidak ada hasil yang ditemukan

Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung ESTIMASI BESARAN EMISI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PERTAMBANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Puslitbang tekmira Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung ESTIMASI BESARAN EMISI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PERTAMBANGAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

Puslitbang tekMIRA

Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211

Telp : 022-6030483 Fax : 022-6003373

E-mail :Info@tekmira.esdm.go.id

LAPORAN FINAL

Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang

Dan Pengelolaan Sumberdaya

ESTIMASI BESARAN EMISI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN PERTAMBANGAN Inhouse Research

Oleh : M. Lutfi, Harry Tetra Antono, Nining Puspaningsih, Herni Khairunisah, Wahyu Agus Setiawan

PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA - tekMIRA 2014

(2)

i

KATA PENGANTAR

Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global sudah mulai terasa hal ini dipicu oleh kegiatan manusia terutama berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan. Dengan pertumbuhan energi yang cukup tinggi untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, sektor energi diperkirakan akan menjadi sumber emisi gas rumah kaca terbesar di tingkat nasional pada tahun 2030, apabila tidak ada aksi mitigasi (Bussines As Usual). Di sektor energi berkembang wacana yang dikenal dengan Inisiatif Energi Bersih, yang bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari penggunaan (pembakaran) energi fosil (reducing emission from fossil fuel burning – REFF-Burn).

Pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor energi salah satunya adalah kegiatan reklamasi lahan bekas tambang merupakan suatu upaya penting dalam mengurangi perubahan iklim. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisinya sebesar 26 % pada tahun 2020 dengan upaya-upaya unilateral dan sampai dengan 41 % dengan dukungan internasional. Sebagai tindak lanjut dari komitmen ini, Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres), yaitu Perpres no. 61 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (RAN-GRK)

Kegiatan yang telah dilakukan di berbagai negara untuk mengurangi dampak gas rumah kaca (GRK) salah satunya berupa reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang pada aktivitas penambangan. Beberapa metode utama yang biasa digunakan, yaitu memanfaatkan teknologi Inderaja dan SIG untuk kegiatan pemantauan dan pengawasan karena pada kegiatan ini mudah dilakukan dan hemat biaya.

Puslitbang tekMIRA sebagai instansi di bawah Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral ikut aktif memberikan masukan dalam kebijakan energi terutama peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Salah satunya adalah dengan memberikan informasi mengenai hasil litbang dari sisi lingkungan akibat adanya kegiatan aktivitas penambangan guna mendukung program aksi nasional mengenai perubahan iklim.

Bandung, Desember 2014

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara

Dede Ida Suhendra Ir, M.Sc NIP 19571226 198703 1 001.

(3)

ii ABSTRAK

Hutan merupakan penyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Vegetasi hutan menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Deforestasi dan degradasi hutan akibat proses pertambangan memberikan dampak yang sangat besar bagi perubahan iklim global, karena perubahan penggunaan lahan hutan mejadi bukan hutan menyebabkan vegetasi hutan yang menyerap emisi CO2

Kegiatan dilaksanakan di kawasan pertambangan batubara PT. Tanito Harum dan PT.

Insani Bara Perkasa. Tujuan dari pekerjaan adalah melakukan analisis perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013, menghitung besarnya perubahan simpanan karbon di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013, menghitung besarnya emisi (CO2e) di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013. Metoda yang dilakukan adalah analisis temathic change hasil klasifikasi digital penutupan lahan hutan dan bukan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013. Pendugaan biomasa dihitung menggunakan persamaan alometrik Biomasa = 160 + 2,52 HH - 1,25 HV , dimana HH dan HV adalah nilai backscatter polarisasi HH dan HV dari citra PALSAR tahun 2007 dan Biomasa

= 278,91x2 - 133,66x + 68,4 , dimana x adalah nilai NDVI citra Landsat 8 OLI tahun 2013.

di udara semakin berkurang. Deforestasi dan degradasi hutan di kawasan pertambangan umumnya terletak di daerah yang mempunyai asesibilitas yang sangat rendah, sehingga teknologi penginderaan jauh sangat diperlukan khususnya dalam melakukan pemantauan perubahan penggunaan lahan hutannya.

Hasil penelitian adalah perubahan penutupan lahan pada kurun waktu 6 tahun dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 di PT. Tanito Harum terjadi perubahan penggunaan lahan hutan, yaitu pada tutupan lahan hutan terjadi penurunan dari luas dari 811.3 ha pada tahun 2007 menjadi 754 ha pada tahun 2013. Sedangkan di PT. Insani Bara Perkasa perubahan tutupan lahan terjadi penurunan dari luas dari 27459 ha pada tahun 2007 menjadi 24301 ha pada tahun 2013. Sedangkan pada tutupan lahan bukan hutan terjadi peningkatan dari luas 1.218,9 ha pada tahun 2007 menjadi 4.329 ha pada tahun 2013.

Simpanan Karbon hutan di PT. Tanito Harum pada tahun 2007 sebesar 64.904 ton dan pada tahun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 60.321 ton atau mengalami penurunan 80 ton/ha . Sedangkan di PT. Insani Bara Perkasa Simpanan Karbon hutan pada tahun 2007 sebesar 2.201.019 ton dan pada tahun pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 1.944.056 ton atau mengalami penurunan 79.5 ton/ha. Hasil perhitungan emisi CO2e(Carbon Dioxide Equivalent) pada kurun waktu 6 tahun dari tahun 2007 sampai dengan th 2013 di PT. Tanito Harum sebesar 24.362,6 ton, atau 32,31 ton/ha. Sedangkan di PT. In sai Bara Perkasa menghasilkan emisi total sebesar 319.575 ton, emisi sekuestrasi sebesar - 3560 ton sehingga emisi yang menyebabkan gas rumah kaca sebesar 316.014 ton, atau 13,0 ton/ha.

(4)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………...………. i

SARI ………...……… ii

DAFTAR ISI ……..………...………. iii

DAFTAR TABEL ………...……….…. iv

DAFTAR GAMBAR ………...………. v

BAB I PENDAHULUAN ………...………….……… 1

1.1 Latar Belakang ………...………... 1

1.2 Ruang Lingkup Kegiatan ………...……….... 4

1.3 Tujuan ………...…... 4

1.4 Sasaran ……….…...………. 5

1.5 Lokasi Kegiatan …. ………...……….. 5

1.6 Penerima Manfaat ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA/KAJIAN TEORITIS ………...….. 7

2.1 Sumber Emisi ... 7

2.2 2.2.1 2.3 2.4 2.4.1 2.4.2 2.4.3 2.4.3.1 2.4.3.2 2.4.4 2.4.4.1 2.4.4.2 2.4.4.3 Penyerap Emisi . ... Biomassa Vegetasi ... Revegetasi pada Kawasan Hutan ... Pengindeaan Jauh ... Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh ... Pixel ... Karakteristik Citra Satelit ... Citra Sistem RADAR (Radio Detecting and Ranging) ... ALOS PALSAR (Advance Land Observing Satellite) ... Sistem Satelit ERTS (Earth Resources Technology Satellite) . Karakteristik Sistem ... Landsat 8 OLI ... Sensor Landsat ... 7 7 9 10 11 11 13 13 19 22 22 24 BAB III PROGRAM KEGIATAN ... 28

3.1 3.2 3.3

Persiapan ... Pengolahan dan Analisis Data ... Penyusunan Laporan ...

28 28 28 BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN ... 29

4.1 4.1.1 4.1.1.1 4.1.1.2 4.1.1.3 4.1.1.4

Metodologi ...

Tahap Penelitian ...

Pra-Pengolahan Citra ...

Klasifikasi Citra ...

Analisis Perubahan Penutupan Lahan ...

Analsis Perhitungan Simpanan Biomassa Carbon ...

29 31 31 32 33 34

(5)

iv

4.1.1.5 Analisis Perhitungan Emisi CO2e ... 35

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN……... 36

5.1 5.1.1 Hasil Analisis Tutupan Lahan Hutan ... Perubahan Tutupan Lahan hutan di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa ... 36 36 5.2 Hasil Analisi Simpanan Biomassa dan Karbon ... 46

5.3 Perhitungan Emisi CO2 PT. Insani Bara Perkasa ... e di PT. Tanito Harum dan 48 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ..………...……. 52

6.1 Kesimpulan…..………...………….. 52

6.2 Saran………...………… 52

DAFTAR PUSTAKA……….………...……….. 54

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Penandaan Saluran Radar ... 15

Tabel 2.2 Karakteristik Citra ALOS ... 21

Tabel 2.3 Karakteristik PALSAR ... 22

Tabel 2.4

Karakteristik ETM+ Landsat ...

23

Tabel 2.5 Band-band Pada Landsat-TM dan Kegunaannya ... 24

Tabel 2.6 Karakteristik citra Landsat 8 dengan sensor Operational Land Imager (OLI

) ...

27

Tabel 5.1 Klasifikasi Tutupan Lahan Menggunakan Citra PALSAR Polarisasi HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 dan Citra Landsat 8 OLI Tahun 2013 di PT. Tanito Harum ... 36

Tabel 5.2 Klasifikasi Tutupan Lahan Menggunakan Citra PALSAR Polarisasi HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 dan Citra Landsat 8 OLI Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa ... 37

Tabel 5.3 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007 di PT. Tanito Harum ... 40

Tabel 5.4 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra tahun 2013 di PT. Tanito Harum ... 41

Tabel 5.5 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007 dan Tahun 2013 di PT. Tanito Harum ... 41

Tabel 5.6 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007 di PT. Insani Bara Perkasa ... 43

Tabel 5.7 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa ... 43 Tabel 5.8 Luas Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Tahun 2007

(6)

v dan Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa ... 45 Tabel 5.9 Persamaan Regresi Penduga Biomassa Terpilih untuk

Tahun 2007 dan 2013 ... 46 Tabel 5.10 Simpanan Biomassa dan Karbon Tahun 2007 dan

Tahun 2013 di PT. Tanito Harum ... 46 Tabel 5.11 Simpanan Biomassa dan Karbon Tahun 2007 dan

Tahun 2013 di PT. PT. Insani Bara Perkasa ... 48 Tabel 5.12 Hasil Perhitungan Emisi CO2e dari Tahun 2007 sampai

dengan Tahun 2013 di PT. Tanito Harum ... 49 Tabel 5.13 Hasil Perhitungan Emisi CO2e dari Tahun 2007 sampai

dengan Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa ... 49

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Lokasi Penelitian ... 5 Gambar 2.1

Gambar 2.2 Reflektansi Obyek pada Berbagai Panjang Gelombang ...

Citra Polarimetrik SAR ... 13 17 Gambar 2.3 Efek Geometri Sensor/medan pada Citra SLAR ... 18 Gambar 2.4 Bentuk Pantulan Radar dari Berbagai Macam

Permukaan Menurut Lillesand dan Kiefer (1990)

Baur (a); Sempurna (b); Sudut (c) ... 19 Gambar 2.5 Satelit ALOS PALSAR ... 20 Gambar 2.6 Citra Landsat 7 ETM + 15 m di London, England, 15 m

Data Courtesy USGS ... 26 Gambar 5.1 Peta Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra PALSAR Polarisasi

HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 di PT. Tanito Harum ... 39 Gambar 5.2 Peta Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI

Tahun 2013 di PT. Tanito Harum ... 40 Gambar 5.3

Peta Tutupan Lahan Hasil klasifikasi Citra PALSAR

Polarisasi HH, HV, dan HH/HV Tahun 2007 di

PT. Insani Bara Perkasa ...

42 Gambar 5.4 Peta Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi Citra Landsat 8 OLI

Tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa ... 44 Gambar 5.5 Peta Emisi CO2

2013 di PT. Tanito Harum ... e dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun

50 Gambar 5.6 Peta Emisi CO2

2013 di PT. Insani Bara Perrkasa ... e dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun

51

(7)

1 I. PENDAHULU AN

1.1. Latar Belakang

Hutan hujan tropis merupakan suatu ekosistem hutan yang sangat ideal dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi, mempunyai siklus hara yang tertutup, stratifikasi tajuk yang tinggi, dan selalu hijau sepanjang tahun. Selain itu, hutan ini juga mempunyai sifat self nutrient recovery, yaitu dua pertiga nutrisi yang ada pada tanaman dilepas ke tubuh tanaman itu lagi sebelum tanaman tersebut menggugurkan daunnya (Setiadi 2005). Karakteristik hutan seperti ini menyebabkan hutan hujan tropis mempunyai fungsi proteksi, konservasi, dan produksi.

Fungsi proteksi hutan yaitu melindungi sistem penyangga kehidupan seperti mengatur tata air, mengendalikan erosi, mencegah banjir, menjaga kesuburan tanah. Fungsi konservasi yaitu dapat mempertahankan keanekaragaman hayati, mempertahankan keseimbangan ekosistem tanah, air, dan vegetasi, serta menjaga keseimbangan iklim khususnya iklim mikro.

Disamping itu hutan mempunyai juga fungsi produksi karena hutan hujan tropis sangat kaya akan sumberdaya alam sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Setiadi 2005).

Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman (Kusmana et al.1992). Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO).

Pada tahun 2005 luas hutan alam tropis di dunia adalah 1.265.000.000 ha, dimana seluas 88.495.000 ha terdapat di Indonesia (World Resources Institute 1999). Kebutuhan hidup manusia

(8)

2 yang tinggi terhadap pemanfaatan hutan menyebabkan kerusakan hutan hujan tropis. Demikian pula halnya dengan deforestasi akibat proses pertambangan, pembalakan hutan, perkebunan dan lain-lain. Hutan Indonesia yang rusak (deforestasi) pada tahun 2000−2005 diperkirakan 1.447.800 ha per tahun (FAO 2005).

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan-bangunan dan aspal sebagai pengganti tanah atau rumput.

Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg/ha C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg/ha C per tahun. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon (Sedjo and Salomon, 1988).

Dampak deforestasi terhadap lingkungan akibat proses pertambangan sangat berbahaya, sehingga usaha reforestasi sampai terbentuknya hutan hujan tropis yang lestari sangat diperlukan. Reforestasi dilakukan dengan penanaman tanaman yang dapat bertahan pada degraded land, dapat memperbaiki kondisi lahan, dan mendorong pertumbuhan tanaman.

Pola penanganan yang diberikan pada proses reforestasi harus ditujukan pada terjadinya percepatan pemulihan hutan dengan mempercepat terjadinya proses suksesi untuk membentuk hutan hujan tropis yang lestari (Setiadi 2005).

Salah satu sektor yang menjadi sorotan penyebab timbulnya efek rumah kaca adalah sektor pertambangan dan energi. Padahal telah diketahui bahwa sektor ini merupakan salah sektor pembangunan yang sangat penting bagi Indonesia karena industri pertambangan

(9)

3 sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).

Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 1.139.495 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit. (Badan Pusat Statistik, 2010)

Bahan mineral dan batubara merupakan sumber daya alam potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber devisa untuk pembangunan nasional. Dalam kegiatan penambangan dilakukan dengan cara pembukaan hutan, pengupasan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu meningkatnya CO2 di atmosfir.Emisi CO2 adalah pemancaran atau pelepasan gas karbon dioksida (CO2) ke udara. Emisi CO2 tersebut menyebabkan kadar gas rumah kaca di atmosfer meningkat, sehingga terjadi peningkatan efek rumah kaca dan pemanasan global. CO2 tersebut menyerap sinar matahari (radiasi inframerah) yang dipantulkan oleh bumi sehingga suhu atmosfer menjadi naik. Hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut.

Batubara selain menghasilkan pencemaran (CO2) yang paling tinggi, juga menghasilkan karbon dioksida terbanyak per satuan energi. Membakar 1 ton batu bara menghasilkan sekitar 2,5 ton karbon dioksida. Untuk mendapatkan jumlah energi yang sama, jumlah karbon dioksida yang dilepas oleh minyak akan mencapai 2 ton sedangkan dari gas bumi hanya 1,5 ton

Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia dengan areal hutan yang cukup luas, tetapi juga memiliki laju penurunan areal dan kualitas hutan yang relatif cepat.

Dengan kondisi seperti ini, Kalimantan telah menjadi pusat perhatian dalam diskusi yang menyangkut dinamika tutupan hutan beserta dampaknya terhadap cadangan dan penyerapan Emisi.

Inventarisasi tingkat emisi gas rumah kaca diperlukan untuk menginventarisasi tingkat emisi gas rumah kaca akibat kegiatan pertambangan batu bara untuk memperoleh data dan

(10)

4 informasi mengenai besarnya emisi dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink) termasuk simpanan karbon (carbon stock) di kawasan aktivitas pertambangan batubara.

Sampai saat ini data mengenai tingkat emisi gas rumah kaca di sektor pertambangan belum tersedia secara memadai untuk itu salah satu misi Puslitbang Tekmira mempunyai sasaran berupa penguasaan alih teknologi yang tentunya juga berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan sasaran itulah akan diupayakan suatu kegiatan untuk memanfaatan teknologi penginderaan jauh (inderaja) dalam Inventarisasi tingkat emisi gas rumah kaca di kawasan/wilayah yang ada aktifitas pertambangan yang hasilnya sebagai informasi awal sejauh mana kualitas lingkungan dapat terjaga dan m h terjadinya keadaan degradasi kemampuan lingkungan.

I.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup pada pekerjaan adalah :

• Analisis perubahan penutupan lahan hutan tambang batubara berdasarkan hasil pengolahan citra dengan menggunakan software ArGis d Carbon Dioxide Equivalent an Erdas

• Analisis besarnya emisi (CO2e = Carbon Dioxide Equivalent) didekati dari simpanan karbon (carbon stock).

• Pembahasan hasil analisis

I.3. Tujuan

Tujuan dari pekerjaan adalah:

• Melakukan analisis perubahan penutupan lahan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013

• Menghitung besarnya perubahan simpanan karbon di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013

(11)

5

• Menghitung besarnya emisi (CO2e) di kawasan pertambangan batubara dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013

1.4. Sasaran

Diperolehnya nilai estimasi besaran emisi dan besaran kebutuhan area vegetasi di kawasan pertambangan batubara

1.5. Lokasi Kegiatan

Lokasi penelitian adalah perusahaan (KK) tambang batubara di Kabupaten Kutai Kertanegara (PT. Tanito Harum) dan Samarinda (PT. Insani Bina Perkasa), Propinsi Kalimantan Timur (lihat Gambar1.1)

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian

(12)

6 1.6. Penerima Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari keberhasilan kegiatan penelitian ini adalah tersedianya informasi nilai estimasi besaran emisi, dan serapannya serta besaran kebutuhan area vegetasi di kawasan pertambangan batubara sebagai akibat adanya aktivitas kegiatan penambangan terbuka batubara. Kegiatan penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan Balitbang/tekMIRA, membantu pemerintah pusat (KESDM, Minerba), Pemda serta Industri Pertambangan dalam penyerapan karbon untuk menekan pemanasan global dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh.

(13)

7 II. TINJAUAN PUSTAKA/ KAJIAN TEORITIS

2.1. Sumber Emisi

Sumber emisi berdasarkan pedoman pelaksanaan rencana aksi penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dikelompokkan kedalam 4 sektor yaitu sektor energy, transportasi, limbah dan lahan. Sedangkan gas yang dapat menimbulkan emisi adalah CO2, SF6, CH4, N2O, HFCS, PFCs , dan emisi yang paling banyak ditimbulkan oleh kegiatan pada sektor lahan adalah CO2, CH4, dan N2O.

Karbon dioksida (CO2) adalah gas yang tidak berwarna dengan rumus kimia CO2 dimana molekulnya terdiri dari suatu atom karbon dan dua atom oksigen, yang merupakan bahan pembentuk udara paling banyak keempat (Septyawardani E. 2012). Penyusunan Model Penduga Sediaan Tegakan dan Biomassa Hutan Jati (Tectona grandis Linn. F) Menggunakan Citra Dijital Non-Metrik Resolusi Tinggi [skripsi]. IPB menyatakan bahwa karbon dioksida yang masuk ke atmosfir dapat berasal dari dua sumber yaitu pertama, sumber alami yang paling penting adalah proses pernapasan mahluk hidup, baik di darat maupun di lautan dan perubahan bahan organik. Dan yang kedua, sumber buatan adalah CO2 hasil pembakaran bahan bakar fosil, industry semen, pembakaran hutan dan perubahan tata guna lahan. Menurut DEFRA (2005).

2.2. Penyerap emisi

2.2.1. Biomassa Vegetasi

Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit) yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (bellow ground biomass). Komponen biomassa terbesar terdapat pada biomassa di atas permukaan tanah. Karena terdapat kesulitan pada pengumpulan data lapangan biomassa di bawah permukaan (Below-Ground Biomass, BGB), penelitian estimasi biomassa yang

(14)

8 telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan (Above-Ground Biomass, AGB) (Lu, 2006).

Biomassa di atas permukaan tanah terdiri atas semua biomassa hidup di atas permukaan tanah yang meliputi batang, tunggak, cabang, kulit, buah/biji, dan daun. Biomassa di bawah permukaan tanah terdiri atas semua akar pohon yang masih hidup kecuali serabut akar (diameter < 2mm) (Septyawardani 2012).

Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974 dalam Syarif 2011).

Sedangkan menurut Satoo dan Madgwick (1982) dalam Rochmawati (2010) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi biomassa dapat berupa suhu, curah hujan, umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan susunan tegakan, serta kualitas tempat tumbuh. Suhu tersebut berdampak pada proses biologi dalam pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktivitas dekomposisi (Murdiyarso et al. 1999).

Jumlah biomassa dalam hutan merupakan hasil perbedaan produksi melalui fotosintesis dan konsumsi tumbuhan melalui respirasi dan proses pemanenan. Biomassa merupakan ukuran penting untuk menilai perubahan struktur hutan. Perubahan dalam biomassa hutan bisa disebabkan oleh suksesi alami: kegiatan manusia seperti silvikultur, pemanenan, dan pendegradasian; serta dampak alami dari kebakaran dan perubahan iklim. Biomassa hutan juga relevan dengan isu perubahan iklim (Brown 1997).

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah bahan tersebut menjadi zat organik melalui proses fotosintesis. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu dan ciri masing-masing tumbuhan. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984). Semakin tua umur suatu tanaman maka akan semakin rendah kemampuan tanaman tersebut dalam menyerap karbon dioksida. Hal ini berarti suatu saat

(15)

9 kandungan suatu tanaman akan mencapai titik jenuh seiring dengan akhir daur (Siringoringo dan Ginting 1997; Langi 2007; Turana 2012).

2.3. Revegetasi pada Kawasan Pertambangan

Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman (Kusmana et al.1992). Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO).

Menurut Barrow (1991), pada kawasan pertambangan deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan mengakibatkan beberapa gangguan. Hutan primer yang hilang dapat menyebabkan perubahan pada iklim mikro. Hutan hujan tropis dapat menyimpan air hujan yang cukup besar sehingga dapat menjaga iklim di sekitarnya menjadi nyaman, mengurangi fluktuasi temperatur antara siang dan malam, menjaga kelembaban udara, dan mengurangi kecepatan angin. Hutan yang rusak juga dapat menyebabkan kehilangan spesies, dampak negatif terhadap hidrologi dan tanah, gangguan kesehatan, kehilangan hasil hutan, dampak negatif terhadap ekonomi, dan kehilangan estetika terhadap hutan. Deforestasi menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap emisi GRK khususnya penyerap gas CO2.

Peranan fungsi hutan yang sangat penting bagi penyerap CO2 sehingga pada degraded land di kawasan pertambangan harus dilakukan revegetasi untuk mempercepat mengembalikan fungsi hutan sebagai penyerap CO2. Revegetasi agar berhasil harus menguasai pengetahuan tentang ekologi hutan khususnya pengetahuan tentang suksesi hutan untuk memberikan pola penanganan dalam revegetasi hutan. Pengetahuan tentang tempat tumbuh spesies dan interaksi spesies satu dengan spesies yang lain juga penting, misalnya adanya spesies yang dapat menghambat atau spesies yang toleran untuk tumbuhnya spesies yang lain atau spesies-

(16)

10 spesies yang mempunyai sifat sebagai fasilitator bagi tumbuhnya spesies lain. Jenis pohon yang ditanam sebaiknya tidak monokultur tetapi jenis-jenis campuran dari spesies-spesies asli yang ada di hutan primer di sekitarnya (Setiadi 2005).

Salah satu bentuk usaha sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah dengan pemilihan terhadap jenis-jenis tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi dalam menyerap CO2. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam telah meneliti kemampuan penyerapan CO2 yang hasilnya berbeda-beda menurut lokasi, jenis pohon hutan dan umur tegakan (Departemen Kehutanan 2005).

Menurut Heriansyah dan Mindawati (2005) bahwa hutan dapat mencegah pemanasan global dengan menyerap CO2 dari atmosfir dan menyimpannya sebagai karbon dalam bentuk materi organik tanaman. Sifat dan kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan yaitu tanaman C-3, C-4 dan CAM (Lakitan 1993). Tanaman C-3 memfiksasi CO2 melalui daur Calvin, tanaman C-4 memfiksasi CO2 melalui daur C4 asam dikarboksilat, sedangkan tanaman CAM merupakan tanaman yang memfiksasi CO2 menjadi asam malat (Dahlan 2004). Tanaman C-4 umumnya memiliki laju fotosintesis tertinggi, tanaman CAM paling lambat laju fotosintesis, sedangkan C-3 berada di antara kedua ektrim tersebut (Lakitan 1993).

2.4. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh berasal dari kata remote sensing memiliki pengertian bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan teknologi untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan obyek yang dikajinya (Lillesand dan Kiefer, 1997). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk mengindera/ menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh; perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor) yang ditempatkan pada sebuah wahana (kendaraan).

(17)

11 2.4.1. Wahana dan Sensor Penginderaan Jauh

Wahana untuk menempatkan sensor satelit berkembang dengan sangat cepat terutama setelah teknologi satelit. Sebelum teknologi satelit ditemukan, wahana penginderaan jauh ditempatkan pada balon udara dan pesawat. Spesifikasi sensor ditempatkan pada satelit sangat tergantung dari misi satelit, yaitu untuk pemantauan sumberdaya alam (terrestrial), sumberdaya laut atau atmosfer. Sebuah sensor biasanya terdiri dari kumpulan sensor yang mempunyai kemampuan untuk menangkap rentang panjang gelombang yang berbeda-beda, dan biasanya disebut chanel/band. Satelit biasanya mempunyai satu band hingga ratusan band (Hyperspectral).

Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya. Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro.

Setiap material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda terhadap cahaya matahari sehingga material-material tersebut akan mempunyai resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang.

2.4.2. Piksel

Pixel adalah sebuah titik yang merupakan elemen palong kecil pada citra satelit. Angka numerik (1 byte) dari piksel disebut Digital Number (DN). Digital Number bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (greyscale), tergantung level energi yang terdeteksi. Piksel yang disusun dalam order yang benar akan membentuk sebuah citra.

Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh bisa dibedakan atas (Jaya, 2002):

Resolusi spasial

Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya, atau sesuatu yang ukurannya bisa ditentukan.

(18)

12 Kemampuan ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu obyek di bumi selain mendeteksi (detectable) keberadaannya.

Resolusi spektral

Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif terhadap sensor

Resolusi radiometrik

Merupakan ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu obyek oleh permukaan bumi.

Resolusi Temporal

Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama (revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari, SPOT 26 hari dan lain sebagainya.

Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk grayscale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk penginderaan jauh, skala yang dipakai adalah 256 shade grayscale, nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih.

Untuk citra muktispektral, masing-masing piksel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing piksel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitam putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites.

Citra, sebagai dataset, bisa dimanipulasi menggunakan algorithm/persamaan matematis.

Manipulasi bisa merupakan pengkoreksian error, pemetaan kembali data terhadap suatu referensi geografi tertentu, ataupun mengekstrak informasi yang tidak langsung terlihat dari data. Data dari dua citra atau lebih pada lokasi yang sama dikombinasikan secara matematis untuk membuat composite dari beberapa dataset. Produk data ini, disebut derived products, bisa dihasilkan dengan beberapa penghitungan matematis atas data numerik mentah (DN) (Puntodewo, dkk, 2003)

(19)

13 Gambar 2.1. Reflektansi obyek pada berbagai panjang gelombang

2.4.3. Karakteristik Citra Satelit

2.4.3. 1. Citra Sistem RADAR (Radio Detecting and Ranging)

Radar menurut Lillesand dan Kiefer (1990) merupakan suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)-nya. Prosesnya meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dan asal “gema” (echo) atau “pantulan” yang diterima dari objek dalam sistem medan pandang. Gelombang mikro dapat menembus atmosfer dalam segala keadaan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan. Tenaga gelombang mikro dapat melalui kabut tipis, hujan, salju, awan, asap dan lainnya. Menurut Barret dan Curtais (1982) dalam Ristiana (2011), sistem radar merupakan gelombang yang merambat dari sensor dan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi lalu kemudian direkam pantulannya.

Menurut JICA dan Fakultas Kehutanan IPB (2010), sebuah sistem radar mempunyai tiga fungsi sebagai berikut:

1. Sensor memancarkan gelombang microwave (radio) ke bidang permukaan tertentu,

2. Sensor tersebut menerima beberapa bagian dari energi yang dipancarkan balik (backscatter) oleh permukaan.

(20)

14 Sensor ini dapat menangkap kekuatan (detection, amplitude) dan perbedaan waktu (ranging, phase) dari pancar balik gelombang energi.

Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sistem sensor (aktif) pencitraan yang sering digunakan pada aplikasi-aplikasi remote sensing resolusi tinggi khususnya pada pembuatan model permukaan digital, mengenali unsur-unsur buatan manusia, alat bantu navigasi, penetrasi tanah dan daun, deteksi target bergerak, dan monitoring perubahan lingkungan. Sensor yang dapat dipasang pada platform satelit atau pesawat terbang, tembus awan atau tidak terpengaruh oleh lapisan atmosfer ini dapat merekam informasi objek pada segala cuaca, baik siang maupun malam hari (Prahasta 2009).

Terdapat tiga macam hamburan di atmosfer yaitu hamburan Rayleigh, hamburan Mie, dan hamburan non-selektif. Hamburan Rayleigh biasa terjadi apabila radiasi tenaga berinteraksi dengan molekul dan partikel kecil atmosfer lainnya yang garis tengahnya jauh lebih kecil daripada panjang gelombang radiasi yang berinteraksi. Langit berwarna “biru” merupakan salah satu perwujudan hamburan Rayleigh. Hamburan ini juga menyebabkan adanya “kabut tipis”

pada citra (Lillesand dan Kiefer 1990).

Jenis hamburan yang lain ialah hamburan Mie yang terjadi bila garis tengah partikel atmosfer sama dengan panjang gelombang tenaga yang diindera. Penyebab utama timbulnya hamburan Mie ialah uap air dan debu di atmosfer. Jenis hamburan ini cenderung mempengaruhi panjang gelombang yang lebih panjang bila dibandingkan dengan hamburan Rayleigh sehingga hamburan Mie cukup berarti pada saat cuaca agak gelap. Sedangkan hamburan non-selektif terjadi ketika garis tengah partikel (berkisar antara 5 hingga 10 µm) yang menyebabkan hamburan jauh lebih besar daripada panjang gelombang yang diindera. Sebagai akibatnya, hamburan ini “ tidak selektif” dalam hubungannya dengan panjang gelombang. Pada panjang gelombang tampak maka cahaya biru, hijau dan merah dihamburkan dengan jumlah yang sama dan menyebabkan kabut dan awan tampak putih (Lillesand dan Kiefer 1990).

Radar adalah citra-citra digital hasil rekaman sistem sensor pada domain-domain (band) spektrum gelombang elektromagnetik microwave. Pada umumnya citra-citra digital yang tergolong ke dalam kelompok ini memiliki resolusi spasial menengah hingga tinggi (Prahasta 2009). Resolusi spasial sistem radar ditentukan antara lain oleh ukuran antena. Untuk suatu

(21)

15 panjang gelombang tertentu maka semakin panjang antena, akan semakin baik resolusi spasialnya (Lillesand dan Kiefer 1990). Sedangkan menurut Prahasta (2009) resolusi spasial merujuk pada ukuran objek terkecil (yang terdapat di permukaan bumi) yang dapat dikenali (dibedakan). Sementara pada peta digital, resolusi ini dibatasi oleh ukuran piksel. Dengan demikian, ukuran objek terkecil (di permukaan bumi) yang dapat dibedakan tidak bisa berukuran lebih kecil dari ukuran pikselnya. Dalam kaitan ini, muncullah istilah resolusi tinggi dan resolusi rendah. Citra dengan resolusi tinggi ukuran pikselnya relatif kecil hingga dapat menggambarkan bagian permukaan bumi secara detail dan halus.

Microwave: domain panjang gelombang yang sering digunakan sebagai pendukung instrumen radar yang berkisar antara 1mm hingga 1m. Selain itu domain microwave ini dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa sub-domain: (1) P-band [30-100cm]; (2) L-band [15-30cm]; (3) S- band [7,5-15cm]; (4) C-band [3,8-7,5cm]; (5) X-band [2,4-3,8cm]; (6) Ku-band [1,7-2,4cm]; (7) K- band [1,1-1,7cm] dan (8) Ka-band [0,75-1,1cm] (Prahasta 2009).

Pada remote sensing tipe microwave, terdapat dua bagian: remote sensing microwave pasif dan remote sensing microwave aktif. Pada yang pertama (pasif), radiasi microwave yang dipancarkan objek akan dideteksi. Sementara pada yang kedua (aktif) yang dideteksi adalah koefisien back-scattering (Prahasta 2009).

Faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi signal dari suatu sistem radar ialah panjang gelombang dan polarisasi pulsa yang digunakan. Tabel 1 menunjukan saluran panjang gelombang yang lazim digunakan dalam transmisi pulsa. Kode huruf untuk berbagai saluran (K,X,L,dsb) digunakan dan menandakan berbagai saluran yang agak berbeda panjang gelombangnya. Saluran K dan X merupakan saluran yang paling umum digunakan dalam terapan sumberdaya bumi. Penandaan saluran RADAR disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penandaan saluran RADAR Kode saluran Panjang gelombang

(λ) (mm) Frekuensi (f) = 𝐂𝐂𝛌𝛌−𝟏𝟏 Megaherts (𝟏𝟏𝟏𝟏𝟔𝟔putaran - 𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝−𝟏𝟏)

Ka 7,5 - 11 40.000 – 26.500

K 11 – 16,7 26.500 – 18.000

K4 16,7 - 24 18.000 – 12.500

(22)

16

X 24 – 37.5 12.500 – 8.000

C 37.5 – 75 8.000 – 4.000

S 75 – 150 4.000 – 2.000

L 150 – 300 2.000 – 1.000

P 300 - 1000 1.000 – 300

Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990)

Sinyal radar dapat ditransmisikan dan/atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda, artinya sinyal dapat disaring sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dikirim V diterima V (VV). Pada beberapa kasus sinyal terpolarisasi silang atau HV, menghasilkan citra dengan kontras lebih kecil dan menunjukan pembedaan lebih sedikit diantara tipe vegetasi bila dibanding terhadap citra polarisasi searah (HH). Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV atau VH. Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990).

Citra polarisasi HH, HV dan VV ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Untuk mereduksi efek speckle yang ada pada masing-masing citra, sebelum diproses/ diklasifikasi lebih lanjut terlebih dahulu diaplikasikan filter yang telah umum dipakai pada citra SAR yaitu Lee filter.

(23)

17 Sifat khas medan yang mempengaruhi pantulan radar (yang paling utama) adalah ukuran geometris dan sifat khas elektrik objektif. Sifat khas geometris atau ukuran ialah suatu corak

“pandangan samping” di dalam mencitrakan berbagai relief medan. Hal ini timbul melalui variasi geometrik sensor medan relatif untuk berbagai orientasi medan, seperti dilukiskan di dalam Gambar 2. Variasi lokal lereng medan mengakibatkan sudut datang sinyal yang berbeda-beda.

Sebaliknya, variasi ini mengakibatkan hasil balik relatif tinggi bagi lereng yang menghadap sensor, dan hasil balik yang rendah atau tidak ada sama sekali bagi lereng yang membelakangi sensor. Kekuatan hasil balik lawan grafik waktu yang ditempatkan pada medan sehingga sinyal dapat dikorelasikan terhadap kenampakan yang menghasilkannya dapat dilihat pada Gambar 2.3.

HH image HV image

VV image

Gambar 2.2. Citra Polarimetrik SAR

(24)

18 Gambar 2.3. Efek geometri sensor/medan pada citra SLAR

Sumber: Lillesand dan Kiefer (1990)

Pada permukaan dengan kekasaran yang sama atau lebih besar dari panjang gelombang yang ditransmisikan, permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar semua tenaga datang ke semua arah (hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena) seperti yang digambarkan pada Gambar 3a. Pada umumnya semakin halus permukaan maka semakin jauh panjang gelombang untuk sensor menerima dan mengakibatkan sinyal balik menjadi rendah seperti tampak pada Gambar 3b (Lillesand dan Kiefer 1990). Pantulan sudut terjadi sebagai hasil dari bentuk sudut objek alami maupun objek buatan. Pantulan sudut menyebabkan pantulan gelombang kembali ke arah sensor yang menyebabkan rona sangat cerah. Hal ini terjadi pada objek yang bersudut siku-siku seperti gedung bertingkat dan lereng terjal dapat dilihat pada Gambar 2.3. (Daulay 2011).

(25)

19 Sifat khas elektrik merupakan kenampakan medan bekerja sangat erat dengan sifat khas geometri untuk menentukan intensitas hasil balik radar. Satu ukuran bagi sifat khas elektrik objek ialah tetapan dielektrik komplek. Parameter ini merupakan suatu indikasi bagi daya pangkul dan konduktifitas berbagai material (Lillesand dan Kiefer 1990).

2.4.3.2. ALOS PALSAR (Advance Land Observing Satellite)

ALOS adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 (the Japanese Earth Resource Satellite-1) dan ADEOS (the Advance Earth Observing Satellite) yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat (JAXA 2010).

ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote_sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dan Phased Array Type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR).

Gambar 2.4. Bentuk pantulan radar dari berbagai macam permukaan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) Baur (a); Sempurna (b); Sudut (c)

(26)

20 AVNIR dan PRISM merupakan sensor optik dan PALSAR merupakan sensor SAR (Riska 2011).

Bentuk dari instrumen PALSAR disajikan pada Gambar 2. 5.

Gambar 2.5. Satelit ALOS PALSAR (Jaxa 2010)

Melalui observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km.

ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Karakteristik citra ALOS dapat dilihat pada Tabel 2.2.

(27)

21 Tabel 2.2. Karakteristik citra ALOS

Karakteristik Keterangan Tanggal Peluncuran

Alat Peluncuran Tempat Peluncuran Berat satelit

Power

Waktu operasional

Orbit

Akurasi Ketinggian Akurasi Posisi

Kecepatan Perekaman Onboard Data Recorder

24 Januari 2006 Roket H-IIA

Pusat Ruang Angkasa Tanagashima 4000 Kg

7000 W

3 sampai 5 tahun

Sun-Synchronous Sub-Recurrent

Repeat Cycle: 46 days, Sub Cycle: 2 days

Tinggi Lintasan 691,65 Km diatas Equator Inclinasi 98,16 °

2,0 x 10−40 (dengan GCP) 1 m (off-line)

240Mbps (via Data Relay Technology Satellite) 120Mbps (Transmisi Langsung)

Solid-state data recorder (90 Gbytes) Sumber: Jaxa 2010

JICA dan Fakultas Kehutanan IPB (2010) menjelaskan bahwa dalam PALSAR resolusi tinggi dapat diperoleh dengan berbagai cara:

a. Resolusi ke arah range dapat ditingkatkan dengan sistem beam yang lebih lebar dan pengulangan waktu yang lebih pendek.

b. Resolusi ke arah azimuth dapat ditingkatkan dengan beam yang lebih sempit dan pengulangan waktu yang lebih panjang.

c. Resolusi sebesar 10 m ke arah range dan 6, ke arah azimuth dapat diperoleh dengan PALSAR.

d. Secara umum, target merupakan objek yang dihasilkan dari sejumlah scatter dan menyebabkan speckle.

(28)

22 e. Sinyal yang diterima merupakan jarak antara target dengan radar

Data PALSAR dapat digunakan untuk pembuatan DEM, Interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain. Karakteristik PALSAR dalam melakukan perekaman dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Karakteristik PALSAR

Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Experiment

Mode) Frekuensi

Lebar Kanal Polarisasi

Resolusi Spasial

Lebar cakupan Incidence Angle NE Sigma 0

Panjang Bit Ukuran

HH/VV/HH+HV atau VV+HV

10 m (2 look)/ 20 m (4 look)

70 km 8-60 derajat

<-23 dB (70 km) <-25 dB (60 km)

3 bit atau 5 bit

1.270 MHz (L-Band) 28/114 MHz HH atau VV

100m (multi look)

250-350 km 18-43 derajat

<-25 dB

5 bit

AZ:8.9m x EL: 2.9m

HH+HV+VH+VV

30 m

30 km 8-30 derajat

<-29 dB

3bit atau 5bit

Sumber: Jaxa 2010

2.4.4. Sistem Satelit ERTS (Earth Resources Technology Satellite)

2.4.4.1. Karakteristik Sistem

Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini

(29)

23 membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu Landsat 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah Landsat 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari Landsat 6 yang gagal mengorbit.

Landsat 5, diluncurkan pada 1 Maret 1984, sekarang ini masih beroperasi pada orbit polar, membawa sensor TM (Thematic Mapper), yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. Landsat 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang,1999 dalam Ratnasari, 2000). Kemampuan spektral dari Landsat-TM, ditunjukkkan pada Tabel 2.4.

Program Landsat merupakan tertua dalam program observasi bumi. Landsat dimulai tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor MSS multispektral. Setelah tahun 1982, Thematic Mapper TM ditempatkan pada sensor MSS. MSS dan TM merupakan whiskbroom scanners. Pada April 1999 Landsat-7 diluncurkan dengan membawa ETM+scanner. Landsat 7 saat ini masih berfungsi namun mengalami kerusakan (striping) semenjak Mei 2003 sehingga mengganggu dalam analisis citra.

Tabel 2.4. Karakteristik ETM+ Landsat

Sistem Landsat-7

Orbit 705 km, 98.2o, sun-synchonous, 10:00 AM

crossing, rotasi 16 hari (repeat xyccle)

Sensor ETM + (Enhanced Themathic Mapper)

Swath Width 185 km (FOW = 15o)

Off-track viewing Tidak tersedia

Revisit Time 16 hari

Band-band Spectral (µm) 0.45-0.52(1), 0.52-0.62 (2), 0.63-0.69 (3), 0.76-0.90 (4), 1.55-1.75 (5), 10.4-12.50 (6), 2.08-2.34 (7), 0.50-0.90 (PAN)

(30)

24 Ukuran Piksel Lapangan (Resolusi

spasial) 15 m (PAN), 30 m (band 1-5, 7), 60 m

band 6

Arsip data Eartthexpolrer.usgv.gov

2.4.4.2 Sensor Landsat

Sistem Landsat merupakan milik Amerika Serikat yang mempunyai tiga instrument pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (multispectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper). (Jaya, 2002)

• RBV

Merupakan instrumen semacam televisi yang mengambil citra ìsnapshotî dari permukaan bumi sepanjang track lapangan satelit pada setiap selang waktu tertentu.

• MSS

Merupakan suatu alat scanning mekanik yang merekam data dengan cara men-scanning permukaan bumi dalam jalur atau baris tertentu

• TM

Juga merupakan alat scanning mekanis yang mempunyai resolusi spectral, spatial dan radiometric.

Tabel 2.5. Band-band pada Landsat-TM dan kegunaannya (Lillesand dan Kiefer, 1997) Band Panjang Gelombang

(µm) Spektral Kegunaan

1 0.45 – 0.52 Biru Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tanah, pemetaan tumbuhan, kehutanan dan mengidentifikasi budidaya manusia

2 0.52 – 0.60 Hijau Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan budidaya manusia

3 0.63 – 0.69 Merah Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, dapat digunakan untuk membantuk dalam pemisahan spises tanaman serta bisa digunakan untuk pengamatan budidaya manusia

(31)

25

4 0.76 – 0.90 Infra merah

dekat Untuk membedakan jenis tumbuhan aktifitas dan kandungan biomass untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah

5 1.55 – 1.75 Infra merah

sedang Menunjukan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan

6 10.4 – 12.5 Infra merah

termal Untuk menganalisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas

7 2.08-2.35 Infra merah

sedang Berguna untuk pengenalan mineral dan jenis batuan, juga sensitif terhadap kelembaban tumbuhan

Terdapat banyak aplikasi dari data Landsat TM: pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan, pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan laut dan lain-lain. Untuk pemetaan penutupan dan penggunaan lahan data Landsat TM lebih dipilih daripada data SPOT multispektral karena terdapat band infra merah menengah. Landsat TM adalah satu-satunya satelit non meteorologi yang mempunyai band inframerah termal.

Data termal diperlukan untuk studi proses-proses energi pada permukaan bumi seperti variabilitas suhu tanaman dalam areal yang diirigasi. Seperti Tabel 2.4. menunjukkan aplikasi atau kegunaan utamaprinsip pada berbagai band Landsat TM.

(32)

26 Gambar 2.6. Citra Landsat 7 ETM+ 15 m di London, England, 15m Data

Courtesy USGS (infoterra-global.com, 2004)

2.4.4.3. Landsat 8 OLI

Sampai saat ini Landsat 7 masih berfungsi namun mengalami kerusakan (striping) semenjak Mei 2003 sehingga mengganggu dalam analisis citra. Pada tanggal 11 Februari 2013 diluncurkan satelit generasi terbaru dari program Landsat yaitu Landsat Data Continuity Mission (LDCM) atau dikenal dengan nama Landsat 8. Citra Landsat 8 merupakan satelit observasi bumi hasil kerjasama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan U.S Geographical Survey (USGS). Landsat 8 memiliki sensor Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan ketinggian terbang 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km yang didesain untuk dapat beroperasi selama 5 tahun. Citra satelit ini memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali. Landsat 8 memiliki 11 saluran (band) yang terdiri dari 9 band berada pada sensor OLI dan 2 band lainnya berada pada sensor TIRS (NASA 2011).

Landsat 8 adalah satelit yang dibangun oleh Orbital Sciences Corporation, yang menjabat sebagai kontraktor utama untuk misi instrumen pesawat ruang angkasa yang dibangun oleh Ball

(33)

27 Aerospace dan NASA Goddard Space Flight Center, dan peluncurannya dikontrak oleh United Launch Alliance. Sebenarnya landsat 8 lebih cocok disebut sebagai satelit dengan misi melanjutkan Landsat 7 daripada disebut sebagai satelit baru dengan spesifikasi yang baru (NASA 2011).

Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan, khususnya terkait spesifikasi-spesifikasi band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap.

Saluran 1 merupakan band baru yang terdapat pada satelit Landsat 8, yaitu coastal blue yang memiliki panjang gelombang 0.43 sampai dengan 0.45 µm yang berguna untuk mendeteksi wilayah peisisir. Band lainnya merupakan band yang sebelumnya terdapat pada satelit Landsat generasi sebelumnya. Pada saluran 2 dengan panjang gelombang 0.45 sampai dengan 0.51 µm menurut Lo (1995) dirancang untuk penetrasi tubuh air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai, selain itu berguna untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan konifer. Pada saluran 3 dengan panjang gelombang 0.53 sampai dengan 0.59 µm dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau bagi vegetasi. Pada saluran 4 dengan panjang gelombang 0.64 sampai dengan 0.67 µm berguna sebagai saluran absorpsi klorofil yang penting untuk deskriminasi vegetasi. Pada saluran 5 dengan panjang gelombang 0.85 sampai dengan 0.88 µm bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk dilineasi tubuh air. Pada saluran 6 dengan panjang gelombang 1.57 sampai dengan 1.65 µm menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tanah. Pada saluran 7 dengan panjang gelombang 2.11 sampai dengan 2.29 µm saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal. Pada saluran 9merupakan salah satu band terbaru dari Landsat 8 yaitu cirrus dengan panjang gelombang 1.36 sampai dengan 1.38 µm untuk mendeteksi awan halus. Karakteristik citra Landsat 8 dengan sensor Operational Land Imager (OLI) disajikan pada Tabel 2.6.

Band number

Tabel 2.6. Karakteristik citra Landsat 8 dengan sensor Operational Land Imager (OLI) Spectral range (µm) Sensor Resolusi (m)

1 0.43-0.45 (coastal blue) OLI 30

2 0.45-0.51 (blue) OLI 30

3 0.53-0.59 (green) OLI 30

(34)

28

4 0.64-0.67 (red) OLI 30

5 0.85-0.88 (NIR) OLI 30

6 1.57-1.65 (SWIR-1) OLI 30

7 2.11-2.19 (SWIR-2) OLI 30

9 1.36-1.38 (cirrus) OLI 30

Sumber: USGS (2013)

III. PROGRAM KEGIATAN

Kegiatan Estimasi Besaran Emisi CO2e akibat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pertambangan meliputi :

3.1. Persiapan

Persiapan pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi:

a. Kajian hasil kegiatan sebelumnya.

b. Persiapan teknis, meliputi :

 Studi literatur

 Pengumpulan data sekunder c. Persiapan administrasi

3.2. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi:

pengolahan Data Citra Digital, análisis Sistem Informasi Geografis (SIG) , dan statistik meliputi :

 Melaksanakan pra pengolahan citra

 Klasifikasi multi spektral citra

 Analisis perubahan tutupan lahan

 Analisis estimasi karbon hutan

 Analisis estimasi emisi CO2e

3.3. Penyusunan Laporan

Hasil penelitian yang diperoleh disusun dalam bentuk laporan penelitian.

(35)

29 IV. PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1. Metodologi

Kegiatan dilaksanakan di kawasan pertambangan batubara PT. Tanito Harum dan PT.

Insani Bara Perkasa. Alat yang digunakan yaitu satu unit komputer pribadi yang dilengkapi dengan software pengolahan citra dan GIS yaitu Erdas Imagine Ver 9.1, Arcview GIS Ver 3.2, Arc GIS 9.3 serta aplikasi perkantoran Microsoft Word dan Microsoft Excel 2007. Bahan yang digunakan yaitu citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 resolusi spasial 50 m dan citra Landsat 8 OLI kombinasi band 852 tahun 2013 resolusi spasial 30 m (Gambar 4.1 dan 4.2), peta areal kerja kegiatan pertambangan, dan peta Rupa Bumi Indonesia.

Citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007

Citra Landsat 8 OLI komposit band 852 tahun 2013

Gambar 4.1. Lokasi Penelitian di PT. Tanito Harum

(36)

30 Citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan

HH/HV tahun 2007

Citra Landsat 8 OLI komposit band 852 tahun 2013

Gambar 4.2. Lokasi Penelitian di PT. Insani Bara Perkasa

(37)

31 4.1.1. Tahapan Penelitian

Secara umum penelitian dilakukan dengan tahapan pra-pengolahan citra, interpretasi visual citra satelit, dan pengolahan citra digital. Selanjutnya analisis perubahan tutupan lahan hutan, anlisis perhitungan biomasa, carbon, dan analisis perhitungan emisi CO2e.

4.1.1.1. Pra-Pengolahan Citra

Pra-pengolahan citra adalah pemprosesan awal sebelum dilakukan pengolahan citra lebih lanjut. Pra-pengolahan citra ini terdiri dari beberapa langkah yaitu perubahan format, pemotongan citra, koreksi geometrik, dan perhitungan OIF (Optimum Index Factor).

1. Perubahan Format

Citra yang diperoleh memiliki format GeoTiff yang kemudian dilakukan perubahan format menjadi format .img dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1. Pada kegiatan ini resolusi citra Landsat 8 yang digunakan adalah resolusi spasial yang sama yaitu 30 m dan menggunakan band 852 th 2013, sedangkan citra PALSAR polarisasi HH,HV, dan HH/HV tahun 2007 resolusi spasial 50 m.

2. Pemotongan Citra (Cropping)

Pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk mendapatkan areal yang menjadi fokus kegiatan yaitu di kawasan pertambangan batubara PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa, Kalimantan Timur.

3. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik dilakukankarena terdapat kesalahan geometrik yang terjadi pada saat perekaman.Koreksi geometrik bertujuan untuk merektifikasi atau membenarkan koordinat citra agar sesuai dengan koordinat geografis. Sebagaimana diketahui, data mentah dari citra penginderaan jauh masih memiliki sejumlah kesalahan. Data hasil rekaman sensor pada satelit merupakan representasi dari bentuk permukaan bumi yang tidak beraturan. Meskipun kelihatannya merupakan daerah yang datar, tetapi area yang direkam mengandung kesalahan

(38)

32 (distorsi) yang diakibatkan pengaruh kelengkungan buni atau sensor itu sendiri (Jaya 2010).

Penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM). Pemilihan proyeksi ini disesuaikan dengan pembagian area pada sistem UTM. PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa, Kalimantan Timur terletak pada zona UTM 50 S, sedangkan datum yang digunakan adalah World . Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan peta administrasi provinsi Kalimantan Timur.

4.1.1.2. Klasifikasi Citra

Analisis ini merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau pengelompokkan suatu piksel citra dijital multi- spektral ke dalam beberapa kelas berdasarkankategori objek.

Klasifikasi citra secara dijital dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

a. Penentuan Area Contoh (Training Area)

Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh dilakukan berdasarkan interpretasi citra secara visual, Peta Rupa Bumi dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area).

Pengambilan informasi statistik (nilai DN) dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap kelas tutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra. Informasi statistik dari setiap kelas tutupan lahan ini digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi akurasi.

b. Analisis Separabilitas

Sebelum melakukan klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan dari area contoh yang telah dibuat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis separabilitas. Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang memberikan informasi mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas. Metode analisis separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Tranformasi Divergensi (TD). Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas. Nilai TD ini dapat diketahui dengan rumus:

(39)

33

 

 

 

 

− −

= 2000 1 exp 8

ij

ij

TD D

keterangan :

TDij = separabilitas antara kelas i dengan kelas j e = -2,718

Menurut Jaya (2002) kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergensi adalah sebagai berikut :

a. Tidak terpisah (unseparable) : ≤ 1.600 b. Keterpisahan buruk (poor) : 1.601 – 1.699 c. Sedang (fair) : 1.700 – 1.899 d. Keterpisahan baik (good) : 1.900 – 1.999 e. Terpisah sempurna (excellent) : 2.000

c. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)

Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra ini adalah metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood method).

4.1.1.3. Analisis perubahan Tutupan Lahan

Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra PALSAR polarisasi HH dan HV, tahun 2007 resolusi spasial 50 m dan nilai NDVI citra Landsat 8 OLI kombinasi band 852 tahun 2013 resolusi spasial 30 m , selanjutnya dilakukan analisis perubahan tutupan lahan hutan. Analisis perubahan tutupan lahan lahan dilakukan dengan cara dua citra yang telah diklasifikasi secara terpisah dan hasilnya ditumpang tindihkan (overlay) dan hasil perubahannya dilakukan dengan metoda thematic change.

(40)

34 4.1.1.4. Analisis Perhitungan simpanan biomasa dan Carbon

Estimasi nilai biomasa hutan dihitung berdasarkan nilai backscatter dari citra PALSAR polarisasi HH dan HV, tahun 2007 resolusi spasial 50 m dan nilai NDVI citra Landsat 8 OLI kombinasi band 852 tahun 2013 resolusi spasial 30 m. Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang akan digunakan merupakan persamaan biomassa yang didasarkan atas nilai backscatter dari citra PALSAR polarisasi HH danHV, Persamaan alometrik penduga biomassa yang digunakan adalah:

Biomasa = 160 + 2,52 HH - 1,25 HV

Keterangan:

HH dan HV adalah nilai backscatter polarisasi HH dan HV dari citra PALSAR tahun 2007

Biomasa = 278,91x2 - 133,66x + 68,4

Keterangan:

x adalah nilai NDVI citra Landsat 8 OLI tahun 2013.

Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit) yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa atau bahan oganik adalah produk fotosintesis. Dalam proses fotosintesis, butir-butir hijau daun berfungsi sebagai sel surya yang menyerap energi matahari guna mengkonversi karbon dioksia dengan air menjadi senyawa karbon, hidrogen dan oksigen (CHO). Umumnya Karbon menyusun 45-50%

bahan kering dari tanaman(biomasa) (Kusmana et al.1992). Sehingga nilai simpanan karbon dihitung menggunakan rumus:

C hutan = 0,5 x biomassa hutan (ton/ha)

(41)

35 4.1.1.5. Analisis Perhitungan Emisi CO2e

Hutan menyimpan biomasa vegetasi yang sangat tinggi, sehingga hutan mempunyai fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2). Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Estimasi nilai Karbon dioksida (CO2) didekati dari perbandingan berat molekul CO2

dan C sebesar nilai CO2 e = 44/12 x C atau CO2 e = 3,67 x C. Nilai CO2 hutan dihitung menggunakan rumus:

CO2 (ton/ha) = C hutan x 3.67

Nilai CO2 pohon ini akan digunakan sebagai nilai serapan CO2 oleh hutan (pohon)

(42)

36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Analisis Tutupan Lahan Hutan

5.1.1. Perubahan Tutupan Lahan hutan di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa Klasifikasi penutupan lahan hutan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 (Gambar 5.1 dan 5.2) di PT. Tanito Harum dan PT. Insani Bara Perkasa menghasilkan 3 kelas tutupan lahan yaitu hutan rapat, hutan, dan bukan hutan. Masing-masing tutupan lahan di citra dan kenampakan di lapangan disajikan pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2. Hasil klasifikasi tutupan lahan disajikan pada Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.4. Luas hasil klasifikasi tutupan lahan pada citra disajikan pada Tabel 5.3 dan Tabel 5.4.

Tabel 5.1 Klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 di PT. Tanito Harum

No Tipe Penutupan

Lahan Kenampakan di citra

Kenampakan di lapangan PALSAR polarisasi HH, HV,

dan HH/HV

Landsat 8 OLI

1 Bukan hutan

2 Hutan

(43)

37 Dalam analisis tutupan lahan di PT. Tanito Harum digunakan kombinasi komposit yang digunakan untuk anaisis tutupan lahan dengan menggunakan citra PALSAR adalah HH-HV-HH pada kanal Red, Green, dan Blue. Sementara untuk citra Landsat 8 OLI, kombinasi komposit yang digunakan adalah 6-5-4 pada kanal Red, Green, dan Blue.

Tabel 5.2 Klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV tahun 2007 dan citra Landsat 8 OLI tahun 2013 di PT. Insani Bara Perkasa

No Tipe Penutupan

Lahan

Kenampakan di citra

Kenampakan di lapangan

PALSAR polarisasi HH, HV, dan HH/HV

Landsat 8 OLI

1 Bukan hutan

2 Hutan

3 Hutan rapat

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh dosis iradiasi tehadap tegangan putus arah potong sejajar dan tegak lurus setelah penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Pada

Dengan keadaan jalan yang sekarang juga sangat sulit untuk masyarakat Pinogu dalam mendistribusikan hasil-hasil pertanian mereka keluar dari Kecamatan Pinogu tersebut

Pada tahap pertama yang dilakukan, yaitu sortasi basah dengan cara simplisia harus dipisahkan dari kotoran-kotoran seperti rumput, tanah, krikil, bagian herba

'uci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan

Perubahan dan satu fungsi dan/ atau klasifikasi ke fungsi dan/atau klasifikasi yang lain akan menyebabkan perubahan persyaratan yang harus dipenuhi, karena sebagai contoh

JICT patut diduga dipersiapkan untuk mendukung tercapainya perpanjangan perjanjian kerjasama dengan mitra lama (pihak HPH) yang dilakukan dengan cara-cara

Pada tahap ini akan dilakukan uji coba untuk meningkatkan nilai akurasi dari estimasi usaha dan biaya proyek perangkat lunak menggunakan metode Bee Colony Optimization yang