• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN

PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

(Studi Kasus Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal)

Oleh :

SISHARYANTO PUTRO WIBOWO A14070022

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

SUMMARY

SISHARYANTO PUTRO WIBOWO. The Relationship Between Inconsintence of land utilization and Land Degradation level. Under supervision of Asdar Iswati dan Dyah Retno Panuju.

The basic function of spatial planning is an instrument to direct and control land conversion. But in fact, we found lots of mismatching among actual used and plan. The deviation could be due to various environmental problems, for such as land degradation. Land degradation causes the emergence of unproductive areas. This study aims to (1) find out suitability of spatial utilization in Kecamatan Babakan Madang and Klapanunggal at year 2000 to 2010, (2) identify physical environment variables to characterize degradation level of land, (3) understand the relationship between spatial mismatch between plan and utilization and degradation level.

Several methods employed in this study included: (1) overlapping of spatial utilization map with spatial plan of year 2000-2010 to determine of spatial mismatch, (2) discriminant analysis to determine physical environmental variables characterizing degradation level of land, (3) overlapping spatial mismatch with level of land degradation to find out relationship between spatial mismatch with degradation level of land.

The spatial mismatch in Kecamatan Babakan Madang, ware 0.57% on protected forest areas, 27.41% on production forest areas, 100% on plantation areas, 24.33% on dryland farming areas, 23.38% on industrial areas. The mismatch in Kecamatan Klapanunggal, were 12.23% in production forest areas, 5.19% in wetland farming areas, 40.97% in dryland farming areas, 24.88% in industrial designation areas, and 3.64% in rural residential areas. Physical environmental variables characterized level of land degradation were erosion rate, surface rock, effective depth, and rock exposed. The spatial inconsistence were increasing level of degradation when production forest area were utilized as residential, up land, and C excavation areas. In addition, the inconsintence of utilization in other areas did not increase level of land degradation.

Keywords: irregularities, land utilization, level of land degradation, characterize variable.

(3)

RINGKASAN

SISHARYANTO PUTRO WIBOWO. Keterkaitan Antara Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Alokasi Ruang Dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan. Dibawah bimbingan Asdar Iswati dan Dyah Retno Panuju.

Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya berfungsi sebagai instrumen pemberi arahan dan pengendalian perubahan penggunaan lahan. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan penyimpangan rencana dengan keadaan sebenarnya di lapang. Penyimpangan yang terjadi menyebabkan timbulnya berbagai masalah lingkungan. Salah satu masalah lingkungan yang terjadi yaitu degradasi lahan. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal–

areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui kesesuaian alokasi dengan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 2000-2010, (2) Mengetahui variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan, (3) Mengetahui hubungan penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dengan perubahan tingkat kekritisan lahan.

Metode dalam penelitian ini meliputi: (1) Tumpang tindih peta penggunaan lahan dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2000-2010 untuk mengetahui penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang, (2) Analisis diskriminan untuk mengetahui variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan, (3) Tumpang tindih peta penyimpangan pemanfaatan ruang dengan lahan kritis untuk mengetahui keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan perubahan tingkat kekritisan lahan.

Penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang di Kecamatan Babakan Madang, 0.57% di kawasan hutan lindung, 27.41% di kawasan hutan produksi, 100% di kawasan perkebunan, 24.33% di kawasan pertanian lahan kering, 23.38%

di kawasan peruntukan industri. Penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang di Kecamatan Klapanunggal : 12.23% di kawasan hutan produksi, 5.19% di kawasan pertanian lahan basah, 40.97% di kawasan pertanian lahan kering, 24.88% di kawasan peruntukan industri, dan 3.64% di kawasan pemukiman perdesaan.

Variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan yaitu erosi, batuan permukaan, kedalaman efektif dan singkapan batuan. Penyimpangan pemanfaatan ruang yang meningkatkan kekritisan lahan yaitu penyimpangan pada kawasan hutan produksi menjadi pemukiman, tegalan, dan galian C. Sedangkan penyimpangan pemanfaatan ruang pada kawasan yang lain tidak meningkatkan kekritisan lahan.

Kata Kunci: Penyimpangan, Alokasi Ruang, Lahan Kritis, Variabel penciri.

(4)

KETERKAITAN ANTARA PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP ALOKASI RUANG DENGAN

PERUBAHAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN

(Studi Kasus Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal)

Oleh :

SISHARYANTO PUTRO WIBOWO A14070022

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keterkaitan Antara Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Alokasi Ruang Dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan (Studi Kasus Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal)

Nama Mahasiswa : Sisharyanto Putro Wibowo

NRP : A14070022

Departemen : Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Asdar Iswati, M.S Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si NIP.19600410 198503 2 001 NIP.19710412 199702 2 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc 19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus :

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Sisharyanto Putro Wibowo, dilahirkan di Pati, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 29 Desember 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Imam Siswanto dan Woro Haryantiningsih, S.E.

Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri Garung Lor 01 Kudus pada tahun 1995, kemudian pindah di SD Negeri Puri 03 Pati pada tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri 2 Pati dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Pati dan menyelesaikan pendidikanya pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)

Selama menjadi Mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai organisasi yakni anggota Bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) Bina Desa IPB tahun 2009-2010, anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Catur IPB, dan anggota Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP) pada tahun 2007-2012. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitian yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah IPB (HMIT). Dalam kegiatan akademik, penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan Pengembangan Wilayah tahun ajaran 2010/2011.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Keterkaitan Antara Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Alolasi Ruang Dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Kedua orang tua (ayah Imam Siswanto dan ibu Woro Haryantiningsih, S.E) kakak Martina Sistyaningrum, adik Sistyanto Putro Wicaksono, dan segenap keluarga besar yang telah memberikan motivasi dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi.

2. Dr. Ir. Asdar Iswati, M.S dan Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si selaku pembimbing I dan II atas segala bimbingan dan arahannya yang diberikan kepada penulis.

3. Segenap jajaran para Dosen dan Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan IPB terutama Mbak Dian dan Mbak Hesti.

4. Kepala Bappeda Kabupaten Bogor beserta staf yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

5. Teman-teman yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasinya kepada penulis : Nindi, Harisfan, Deny, Daniel, Ahyar, Rahmat, Dimas, Amin, Agoeng, Aci, Siti, Lili, Febri dan Citra.

6. Keluarga besar Soilscaper 44 dan Keluarga besar IKMP Pati atas kebersamaannya selama ini.

7. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak serta dapat memajukan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan ... 4

2.2. Dampak Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ... 5

2.3. Lahan Kritis ... 6

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

3.2. Bahan dan Alat ... 11

3.3. Metode Penelitian ... 12

3.3.1. Identifikasi Kesesuaian Alokasi Ruang ... 13

3.3.2. Membuat Peta Kerja, untuk Mendapatkan Data Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan ... 14

3.3.3. Identifikasi Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan ... 16

3.3.4. Menguji Tingkat Ketepatan Klasifikasi DRLKT dengan kriteria modifikasi DRLKT dan Puslittanak ... 16

3.3.5. Analisis Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan ... 17

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak Geografis ... 19

4.2. Iklim ... 20

4.3. Tanah ... 20

4.4. Geologi dan Topografi ... 21

4.5. Sosial Ekonomi ... 21

(9)

4.6. Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010 ... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal ... 23

5.2. Penyimpangan Pemanfaatan Ruang ... 26

5.3. Variabel fisik lingkungan penciri tingkat kekritisan lahan ... 31

5.4. Ketepatan Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan DRLKT Menggunakan Kriteria Modifikasi ... 32

5.5. Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Perubahan Tingkat Kekritisan Lahan ... 37

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 42

6.2. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 46

(10)

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah

dan Agroklimat 1997 ... 8

2. Kriteria lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan ... 9

3. Selang tingkat kekritisan lahan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas ... 10

4. Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi ... 15

5. Cara Pengumpulan Data Fisik Lingkungan ... 15

6. Interpretasi nilai r ... 18

7. Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010 ... 22

8. Luas dan proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal ... 23

9. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Babakan Madang ... 27

10. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Klapanunggal ... 29

11. Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan ... 32

12. Matriks Klasifikasi Tingkat Kekritisan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. ... 33

13. Peluang Posterior Kelas Kekritisan Lahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Lahan. ... 34

14. Korelasi antara Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan ... 37

15. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang ... 38

16. Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat Kekritisan Lahan di Kecamatan Klapanunggal ... 39

17. Korelasi antara Variabel Fisik Lahan dengan Tingkat Kekritisan Lahan ... 40

(11)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Lokasi Penelitian ... 11

2. Diagram Alir Penelitian ... 12

3. Peta Administrasi Kecamatan Babakan Madang ... 19

4. Peta Administrasi Kecamatan Klapanunggal ... 20

5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang ... 24

6. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Klapanunggal ... 25

7. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Babakan Madang ... 26

8. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Babakan Madang 28

9. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Klapanunggal ... 29

10. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Klapanunggal ... 31

11. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Babakan Madang ... 35

12. Peta Ketepatan Klasifikasi Setiap Unit Pengamatan di Kecamatan Klapanunggal ... 36

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Foto Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat

Kekritisan Lahan di Kecamatan Babakan Madang ... 47 2. Foto Penyimpangan Pemanfaatan Alokasi Ruang dan Tingkat

Kekritisan Lahan di Kecamatan Klapanunggal ... 49 3. Matriks Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan Lahan ... 52 4. Luas dan Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Setiap

Desa di Kecamatan Babakan Madang ... 53 5. Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Setiap Desa di Kecamatan

Klapanunggal ... 54 6. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan

di Kawasan Hutan Lindung di Kecamatan Babakan Madang ... 55 7. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan

di Kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Babakan Madang ... 55 8. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan

di Kawasan Hutan Produksi di Kecamatan Klapanunggal ... 55 9. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan

di Kawasan Perkebunan di Kecamatan Babakan Madang ... 56 10. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan

di Kawasan Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Babakan

Madang ... 56 11. Data Pengamatan Karakteristik Lahan Penggunaan Lahan di Kawasan Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Klapanunggal ... 56 12. Data Karakteristik Fisik Lingkungan di Lokasi Penelitian ... 57

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan yang cukup pesat menyebabkan terjadinya perubahan pola penggunaan lahan. Kegiatan pembangunan disamping akan menghasilkan manfaat juga akan membawa dampak negatif, sehingga keduanya harus diperhitungkan secara seimbang. Dampak negatif harus dihilangkan atau ditekan sekecil mungkin.

Kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak terjadinya degradasi lahan antara lain: kegiatan deforestasi, industri, pertambangan, perumahan, dan kegiatan pertanian itu sendiri (Suntoro, 2006).

Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal–areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis.

Lahan kritis merupakan masalah nasional di Indonesia, berdasarkan data Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tahun 2000 terdapat 23.24 juta hektar lahan kritis di Indonesia (Dirjen RLPS, 2000), sedangkan pada tahun 2004 mencapai 96.3 juta hektar dimana 57% berada di kawasan hutan (Dirjen RLPS, 2004b). Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi hidro-orologis dan fungsi ekonomi. Dengan perkataan lain lahan kritis adalah lahan tidak produktif, yang kondisinya tidak memungkinkan untuk diusahakan sebagai lahan pertanian tanpa usaha-usaha rehabilitasi. Lahan kritis biasanya dicirikan oleh solum tanah yang dangkal, kemiringan lereng curam, tingkat erosi telah lanjut, kandungan bahan organik sangat rendah, serta banyaknya singkapan batuan di permukaan (Suwardjo et al., 1995).

Permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sedangkan lahan cenderung tetap dan merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat di perbaharui (non renewable). Sehingga dalam pemanfaatanya dirasakan perlu perencanaan penggunaan lahan dengan harapan dapat terwujudnya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang selektif, efektif dan efisien. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah.

(14)

Rencana Tata Ruang Wilayah pada dasarnya berfungsi sebagai instrumen pemberi arahan dan pengendalian perubahan penggunaan lahan. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan penyimpangan rencana dengan keadaan sebenarnya di lapang. Penyimpangan yang terjadi menyebabkan kesemrawutan ruang dan pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah–masalah lingkungan.

Apabila masalah-masalah lingkungan yang terjadi ini tidak dikendalikan dan ditindaklanjuti secara cepat dan terpadu dapat menyebabkan penurunan ketersediaan sumberdaya alam bahkan mengganggu keseimbangan lingkungan.

Di Kawasan Bopunjur yang merupakan hulu (up-stream) dari Kawasan Jabodetabek, berdasarkan hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2001 telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan dari yang seharusnya dimanfaatkan sebagai kawasan lindung, namun kenyataannya digunakan sebagai kawasan permukiman/perkotaan sebesar 79.5% dari arahan yang ditetapkan dalam Keppres No.114/1999.

Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan kawasan permukiman/perkotaan yang cukup pesat dengan luas mencapai 35.000 ha atau 29% dari total luasan Kawasan Bopunjur. Bentuk-bentuk penyimpangan lainnya diantaranya adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai untuk permukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai dan pemanfaatan ruang untuk permukiman dan industri pada wilayah retensi air, seperti rawa-rawa dan lahan basah (Dirjen Penataan Ruang, 2003).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam penelitian ini akan dikaji lebih mendalam mengenai hubungan tingkat kekritisan suatu lahan dengan ketidak sesuaian penggunaan lahan terhadap alokasi ruang dalam RTRW. Setelah mengetahui dampak dari tidak sesuainya penggunaan lahan tersebut terhadap kekritisan lahan, maka dalam pemanfaatan penggunaan lahan diharapkan akan dilaksanakan secara lebih bijaksana dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.

(15)

1.2. Tujuan

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kesesuaian alokasi dengan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal pada tahun 2000-2010.

2. Mengetahui variabel penciri fisik lingkungan tingkat kekritisan lahan.

3. Menguji tingkat ketepatan klasifikasi tingkat kekritisan lahan Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (DRLKT) menggunakan kriteria modifikasi.

4. Mengetahui hubungan penyimpangan pemanfaatan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penggunaan Lahan

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spirituil (Arsyad, 2000).

Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, semak, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).

Berikut ini merupakan penjelasan beberapa jenis penggunaan lahan berdasarkan pedoman survai yang digunakan oleh Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam Negeri (Sitorus 1989):

1). Hutan adalah areal yang ditumbuhi berbaga jenis pepohonan besar dan kecil dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum, dapat meliputi hutan heterogen yang merupakan hutan alam atau hutan homogen yang ditumbuhi pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja.

2). Perkebunan adalah areal yang ditanami jenis tanaman keras atau tanaman tahunan, baik untuk usaha perkebunan besar maupun perkebunan rakyat.

3). Kebun Campuran adalah areal yang ditanami berbagai macam tanaman, jenis tanaman keras, atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim yang tidak jelas jenis mana yang lebih dominan.

4). Tegalan adalah areal pertanian lahan kering, biasanya tanaman yang diusahakan adalah tanaman berumur pendek.

5). Sawah adalah areal pertanian lahan basah yang secara periodik atau terus- menerus ditanami padi.

(17)

6). Danau adalah areal penggenangan permanen yang dalam dan terjadi secara alami.

7). Rawa adalah areal dengan penggenangan permanen yang dangkal tetapi belum cukup dangkal untuk dapat ditumbuhi tumbuhan besar, sehingga pada umumnya ditumbuhi rerumputan rawa.

8). Perkampungan atau Pemukiman adalah bagian dari permukaan bumi yang dihuni oleh manusia, meliputi segala (sarana dan prasarana) yang menunjang kehidupan penduduk.

Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh kemampuan lahan dan lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan dipengaruhi oleh kelas kemampuan lahan yang dicirikan adanya perbedaan sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1995).

Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan akan menciptakan pemanfaatan ruang yang tepat guna dan berhasil guna sehingga penting dilakukan perhitungan terhadap faktor-faktor fisik tanah untuk mengetahui besarnya kemampuan dan kesesuaian lahan pada suatu kawasan.

Penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah ruang, kemampuan dan kesesuaian lahan menyebabkan dampak lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti terjadi erosi, menurunnya fungsi hidrologis hutan, terjadinya degradasi lahan dan meningkatnya lahan kritis serta kerusakan lingkungan (Desman, 2007).

2.2. Dampak Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Rencana tata ruang merupakan instrumen penting bagi pemerintah, sehingga penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan pengesahan oleh lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Rencana tata ruang secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara konsisten. Menurut Wiranto (2001), pelaksanaan pembangunan

(18)

harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, agar dapat dihindari masalah: (1) ketidakseimbangan laju pertumbuhan antar daerah; (2) ketidakefisienan pemanfaatan sumberdaya alam dan kemerosotan kualitas lingkungan hidup; (3) ketidaktertiban penggunaan tanah; (4) ketidakefisienan kegiatan ekonomi-sosial; dan (5) ketidakharmonisan interaksi sosial ekonomi antar pelaku dalam pemanfaatan ruang.

Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini di tunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasan-batasan yang berat demi lingkungan hidup (Sitorus, 2004).

Menurut Direktorat Jendral Penataan Ruang (2003), terdapat beberapa permasalahan penting yang diduga mempengaruhi terjadinya bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta di tahun 2002 dan 2003, yaitu:

berkurangnya fungsi kawasan-kawasan lindung di wilayah Bogor sebagai kawasan resapan air, dan berbagai penyimpangan antara rencana dan pemanfaatan ruang.

Kerusakan lahan merupakan beban berat yang harus ditanggung masyarakat terutama jika diperhitungkan akibat sampingan yang ditimbulkan, seperti kerusakan lingkungan, banjir pada saat musim hujan, pendangkalan irigasi dan saluran sungai serta kekurangan air pada saat musim kemarau. Hal ini menuntut perhatian karena memperbaiki lahan yang telah kritis agar dapat berfungsi dengan baik memerlukan waktu yang lama serta biaya yang mahal (Arsyad, 2000).

2.3. Lahan Kritis

Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya (Tim Balai Penelitian Tanah, 2004). Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya

(19)

adalah tutupan vegetasi, lereng, erosi, dan kedalaman solum tanah. Tutupan vegetasi, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Disamping itu kondisi tutupan vegetasi yang baik juga memberikan serasah yang cukup banyak, sehingga bisa mempertahankan kesuburan tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Hubungan antara lereng dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil lereng akan semakin besar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu aliran air di daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis juga semakin kecil (Darmawijaya, 1992).

Erosi di daerah hulu antara lain mengakibatkan menurunnya kualitas lahan pertanian, perkebunan, dan padang penggembalaan. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya produktivitas lahan-lahan tersebut yang berarti juga akan terjadi peningkatan biaya dibutuhkan untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah.

Ditinjau dari aspek kerusakan fisik, lahan kritis dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu: lahan potensial kritis, lahan semi/hampir kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis (Sitorus, 2004).

a) Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih/kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan.

Bila pengelolaannya tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan semi/hampir kritis atau lahan kritis.

b) Lahan semi/hampir kritis adalah lahan yang kurang/tidak produktif, dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi yang rendah.

(20)

c) Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali sehingga untuk dapat diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi.

d) Lahan sangat kritis adalah lahan-lahan yang sangat rusak sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk di rehabilitasi.

Di dalam Karmelia (2006) disebutkan bahwa Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1997 telah mengklasifikasikan lahan kritis menggunakan empat parameter lahan yaitu : (1) kondisi penutupan vegetasi, (2) tingkat torehan/kerapatan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman tanah.

Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis. Ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis tersebut disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1997

Parameter Potensial Kritis Semi Kritis Kritis Sangat Kritis Penutupan vegetasi > 75 % 50-75 % 25-50 % < 25 %

Tingkat torehan / kerapatan drainase

Agak tertoreh Cukup tertoreh

Cukup tertoreh Sangat tertoreh

Sangat tertoreh Sangat tertoreh

sekali

Sangat tertoreh

Penggunaan lahan

Hutan, kebun campuran,

belukar, perkebunan

Pertanian, lahan kering, semak belukar, alang-

alang

Pertanian, lahan kering, rumput

semak

Gundul, rumput

semak

Kedalam tanah Dalam (>100 cm)

Sedang (60-100 cm)

Dangkal (30-60 cm)

Sangat dangkal (< 30 cm ) Sumber : Karmelia (2006)

Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004, menggolongkan tingkat kekritisan lahan kedalam lima kelompok, yaitu : (1) Tidak kritis, (2) Potensial Kritis, (3) Agak Kritis, (4) Kritis, dan (5) Sangat Kritis. Kriteria pengelompokkan ini berdasarkan pada variabel:

(21)

kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan (manajemen) dan produktivitas lahan. Kriteria penetapan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Kriteria lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan

No Kriteria

(% bobot) Kelas Besaran/Diskripsi Skor Keterangan

1 Produktivitas (30)

1. Sangat Tinggi 2. Tinggi 3. Sedang 4. Rendah 5.Sangat Rendah

>80%

61 – 80 % 41 – 60 % 21 – 40 %

<20 %

5 4 3 2 1

Dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional 2 Lereng

(20)

1. Datar 2. Landai 3. Agak Curam 4. Curam 5. Sangat Curam

<8 % 8 – 15 % 16 – 25 % 26 – 40 %

>40 %

5 4 3 2 1 3 Erosi

(15)

1. Ringan

2. Sedang

3. Berat

Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m

Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m

Tanah dalam : 25 – 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : 25–50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m

Tanah dalam : > 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m

Tanah dangkal : 50 – 75 % lapisan tanah atas hilang

5

4

3

(22)

Tabel 2 (Lanjutan)

No Kriteria

(% bobot) Kelas Besaran/Diskripsi Skor Keterangan

3 Erosi (15)

4. Sangat Berat Tanah dalam : Semua lapisan tanah atas hilang, >25 % lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m

Tanah dangkal : >75 % lapisan tanah atas telah hilang, sebagian tanah lapisan bawah tererosi

2

4 Batu – batuan (5)

1. Sedikit

2. Sedang

3. Banyak

< 10 % permukaan lahan tertutup batuan

10 – 30 % permukaan lahan tertutup batuan

>30 % permukaan lahan tertutup batuan

5

3

1

5 Manajemen (30)

1. Baik

2. Sedang

3. Buruk

- Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk teknis

- Tidak lengkap atau tidak terpelihara

- Tidak ada

5

3

1

Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004

Tabel 3. Selang tingkat kekritisan lahan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas Tingkat Kekritisan Jumlah Nilai (bobot x skor)

Sangat Kritis 115 – 200

Kritis 201 – 275

Agak Kritis 276 – 350

Potensial Kritis 351 – 425

Tidak kritis 426 – 500

Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004

(23)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan data dilakukan di Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai Desember 2011.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

(1) Citra ALOS AVNIR 2009, peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000-2010 skala 1:100.000, peta lahan kritis tahun 2009 skala 1:100.000, peta administrasi skala 1:25.000, peta lereng skala 1:250.000, peta curah hujan skala 1:250.000, dan peta tanah tinjau skala 1:250.000, data Potensi Desa Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal.

(24)

Peralatan yang digunakan dalam penelitian,

(1) Untuk pengamatan karakteristik lahan kritis : Bor tanah, abney level, Global Position System (GPS), pisau, dan kamera digital.

(2) Untuk analisis statistik dan spasial: Seperangkat komputer yang di lengkapi software Arc View GIS 3.3, dan Statistica 8.0.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap kegiatan, (1) identifikasi kesesuaian alokasi ruang, (2) identifikasi variabel penciri tingkat kekritisan lahan, (3) menguji ketepatan klasifikasi DRLKT menggunakan kriteria modifikasi, dan (4) analisis keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

Tahap 1

Tahap 3

Tahap 4

Tahap 2

(25)

3.3.1. Identifikasi Kesesuaian Alokasi Ruang

Identifikasi kesesuaian alokasi ruang terhadap penggunaan lahan dilakukan klasifikasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR tahun 2009 untuk mendapatkan peta penggunaan lahan. Kemudian peta penggunaan lahan yang dihasilkan di overlay dengan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2000-2010, sehingga dihasilkan peta penyimpangan alokasi ruang dengan penggunaan lahan. Tahapan klasifikasi penggunaan lahan meliputi: (1) koreksi geometrik dan (2) interpretasi visual penggunaan lahan.

1) Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik merupakan koreksi posisi citra akibat kesalahan geometrik. Koreksi geometrik dilakukan pada citra dengan cara menentukan titik- titik ikat atau Ground Control Point (GCP) yang mudah ditentukan seperti percabangan sungai atau perpotongan jalan, yang dibuat merata pada seluruh citra.

Sistem koordinat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem koordinat bujur-lintang (Latitude-Longitude).

Akurasi koreksi geometrik di ukur dengan nilai RMS (Root Mean Square) error. Semakin kecil RMS error maka ketepatan titik GCP semakin tinggi.

Perhitungan RMS error menggunakan persamaan berikut (Jensen, 1996) :

x dan y = koordinat citra asli (input) X dan Y = koordinat citra keluaran (output)

2) Interpretasi Penggunaan Lahan

Interpretasi penggunaan lahan dilakukan secara visual dengan mengamati berbagai kenampakan obyek menggunakan warna asli (true color) dan dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi citra, yaitu rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Obyek–obyek yang diamati kemudian dikelaskan dalam salah satu penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, kebun

(26)

campuran, semak, rumput, pemukiman, jalan dan emplasmen, sawah, tegalan, badan air, galian c, dan industri.

Penarikan batas penggunaan atau penutupan lahan dilakukan secara langsung melalui digitasi layar (on-screen digitizing) yaitu melakukan digitasi pada monitor komputer secara langsung. Proses ini dilakukan dengan software Arcview 3.2 beserta ekstensi Arcview image Analysis 1.1.

3.3.2. Membuat Peta Kerja, untuk Mendapatkan Data Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan Peta kerja sebagai dasar pengumpulan data untuk mengetahui keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan dibuat dengan cara overlay antara peta penyimpangan alokasi ruang dengan peta lahan kritis.

Jumlah titik pengamatan 48 titik, terdiri dari 31 titik pengamatan pada kawasan yang satuan penggunaannya menyimpang di berbagai tingkat kekritisan lahan dan 17 titik pada kawasan yang penggunaannya tidak menyimpang sehingga dianggap sebagai kontrol. Pengamatan variabel lahan kritis dilakukan pada penggunaan lahan tegalan, sawah, hutan, dan kebun campuran. Sedangkan pada penggunaan lahan pemukiman, industri dan galian-C tidak memungkinkan pengamatan/pengukuran variabel lahan kritis, sehingga hanya mengambil foto.

Untuk mendapatkan variabel penciri tingkat kekritisan lahan, selain 48 titik pengamatan, juga diamati 30 titik pengamatan tambahan. Dengan bertambahnya 30 titik pengamatan tersebut diharapkan variabel penciri kelas kekritisan lahan hasil analisis statistik lebih mendekati kondisi di lapang. Tiga puluh titik pengamatan tersebut ditentukan berdasarkan jumlah tiap kategori kelas kekritisan lahan di dua kecamatan, masing – masing kelas kekritisan lahan diamati 3 titik pengamatan.

Variabel lahan kritis yang diamati : kedalaman efektif, lereng, batuan di permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi dan tutupan vegetasi. Variabel tersebut merupakan modifikasi dari kriteria lahan kritis DRLKT tahun 2004 dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak) tahun 1997. Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi tersaji pada Tabel 4. Cara pengumpulan data fisik lebih lengkap terdapat pada Tabel 5

(27)

Tabel 4. Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi

DRLKT Puslittanak Modifikasi

1) Produktivitas 2) Lereng 3) Erosi

4) Batu – batuan 5) Manajemen

1) Penutupan vegetasi 2) Tingkat torehan 3) Kerapatan drainase 4) Penggunaan lahan 5) Kedalaman efektif

1) Kedalaman efektif 2) Lereng

3) Batuan permukaan 4) Drainase

5) Singkapan batuan 6) Erosi

7) Tindakan konservasi 8) Tutupan vegetasi

Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004 dan Karmelia (2004)

Tabel 5. Cara Pengumpulan Data Fisik Lingkungan No Jenis

Variabel Cara Pengumpulan Keterangan/

Satuan

1 Kedalaman efektif tanah

Pengamatan di lapang menggunakan bor tanah. Pengeboran dilakukan sampai kedalaman maksimal 120 cm atau sampai kedalaman batuan atau padas.

cm 2 Lereng Diukur dengan abney Level di lapang % 3 Batuan

permukaan

Diamati dilapang berdasarkan persentase

batuan di permukaan tanah %

4 Drainase

Diamati di lapang berdasarkan tingkat drainase tanah :

a) Cepat : tanah bertekstur kasar (berpasir), air cepat meresap kedalam tanah, tidak ada karatan.

b) Baik : tekstur tanah diantara berpasir dan berliat, air mudah meresap kedalam tanah, dan tidak pernah jenuh air.

c) Lambat : tanah bertekstur halus (berliat) air lambat meresap kedalam tanah (tergenang air), terdapat karatan berwarna keabu-abuan.

1 = drainase cepat dan baik

0 = drainase lambat

5 Singkapan batuan

Diamati dilapang berdasarkan persentase

singkapan–singkapan batuan %

6 Erosi Diamati dilapang berdasarkan tererosi (erosi parit dan alur) atau tidak tererosi

1 = tererosi 0 = tidak

tererosi 7 Tindakan

Konservasi

Diamati berdasarkan ada atau tidak adanya bangunan konservasi di lapangan.

Bangunan konservasi yang diamati meliputi teras bangku dan guludan.

1 = tidak ada 0 = ada 8 Tutupan

vegetasi

Diamati dilapang berdasarkan persentase

tutupan vegetasi di atas permukaan tanah. %

(28)

3.3.3. Identifikasi Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan

Untuk mengidentifikasi variabel penciri tingkat kekritisan lahan, data kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi di analisis diskriminan. Dengan persamaan umum fungsi diskrminan (Johnson dan Wichern, 2002) :

Zjk = a + W1*X1k + W2X2k +...+ Wn*Xnk

Dimana :

Zjk = Nilai diskriminan Z dari fungsi diskriminan j untuk obyek k a = Intersep

Wi = Koefisien diskrimian untuk variabel independen ke-i Xik = Nilai variabel ke-i untuk obyek ke-k

Untuk menjamin tidak terjadinya redundansi (multikolinearitas) antar variabel digunakan metode analisis diskriminan bertatar. Dalam analisis diskriminan dengan prosedur bertatar (stepwise), model penciri ditetapkan tahap demi tahap. Dalam setiap tahap, variabel kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi dievaluasi, sehingga diperoleh variabel yang berkontribusi terbesar dalam membedakan tingkat kekritisan lahan.

3.3.4. Menguji Tingkat Ketepatan Klasifikasi DRLKT dengan Kriteria Modifikasi DRLKT dan Puslittanak.

Tingkat ketepatan klasifikasi DRLKT di uji dengan menggunakan variabel fisik lahan kritis hasil modifikasi dari kriteria lahan kritis DRLKT dan Puslittanak.

Variabel fisik lahan kritis tersebut meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi, yang kemudian di analisis diskriminan dimana keluarannya berupa matrik klasifikasi dan peluang prosterior.

(29)

3.3.5. Analisis Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan

Dalam menganalisis keeratan hubungan antara tingkat kekritisan lahan dengan penyimpangan penggunaan lahan dan variabel fisik lahan yang ada di wilayah penelitian, maka dilakukan analisis korelasi. Data yang digunakan meliputi luas masing – masing tingkat kekritisan lahan, luas penyimpangan alokasi ruang, serta data variabel fisik lahan kritis yang meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi. Analisis korelasi memanfaatkan persamaan berikut :

Dimana

=Koefisien Korelasi Pearson x1 = Luas dan tingkat kekritisan lahan

x2 = Luas penyimpangan penggunaan lahan dan nilai variabel fisik lahan

Dimana

rs = Koefisien korelasi rank spearman

tx = Banyaknya observasi sama pada variabel X untuk rank tertentu ty = Banyaknya observasi sama pada variabel Y untuk rank tertentu di = Perbedaan rank X dan rank Y pada observasi ke-i

i = Observasi ke-i, untuk i = 1, 2, …, n

(30)

Analisis korelasi dalam penelitian ini meliputi korelasi Person dan korelasi Rank Spearman. Dalam melihat hubungan tingkat kekritisan lahan dengan penyimpangan penggunaan lahan maka dilakukan korelasi Person karena data berskala interval atau rasio. Untuk melihat hubungan tingkat kekritisan dengan variabel fisik lahan yang meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, singkapan batuan, dan tutupan vegetasi menggunakan analisis korelasi Person karena data berskala interval atau rasio. Sedangkan untuk melihat hubungan tingkat kekritisan lahan dengan variabel fisik lahan yang meliputi drainase, erosi, dan tindakan konservasi menggunakan analisis korelasi Spearman karena data berskala ordinal. Interpretasi nilai r (koefisien korelasi) disajikan pada Tabel 6 (Usman dan Akbar, 2006)

Tabel 6. Interpretasi nilai r

Interval nilai (koefisien) Derajat hubungan 0

0.01 – 0.20 0.21 – 0.40 0.41 – 0.60 0.61 – 0.80 0.81 – 0.99

1

Tidak berkorelasi Sangat lemah

Lemah Sedang Kuat Sangat Kuat Berkorelasi sempurna

(31)

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak Geografis

Secara geografis Kecamatan Babakan Madang terletak antara 6o30’0”

sampai dengan 6o38’17” Lintang Selatan dan 106o50’22” sampai dengan 106o58’52” Bujur Timur, dengan luas wilayah ± 9.230 ha. Kecamatan Babakan Madang terdiri dari 9 desa, yaitu: Desa Cijayanti, Bojong Koneng, Karang Tengah, Sumur Batu, Babakan Madang, Citaringgul, Cipambuan, Kadumangu, dan Sentul (Gambar 3).

Gambar 3. Peta Administrasi Kecamatan Babakan Madang

Kecamatan Klapanunggal terletak antara 6o25’51” sampai dengan 6o32’8”

Lintang Selatan dan 106o53’30” sampai dengan 107o1’30” Bujur Timur, dengan luas wilayah ± 9.569 ha. Secara administratif Kecamatan Klapanunggal terdiri dari 9 desa, yaitu: Desa Leuwikaret, Lulut, Bantar Jati, Nambo, Kembang Kuning, Klapanunggal, Ligarmukti, Bojong, dan Cikahuripan (Gambar 4).

(32)

Gambar 4. Peta Administrasi Kecamatan Klapanunggal

4.2. Iklim

Kecamatan Babakan Madang rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3500- 4000 mm/tahun dengan luas 8114 ha atau 87.90%, terletak di tengah kecamatan.

Sisanya di bagian selatan curah hujan 4000-4500 mm/tahun (11.05%), dan di bagian Utara curah hujan 3000-3500 mm/tahun (1.05%) (BMG, 2007).

Kecamatan Klapanunggal rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3500-4000 mm/tahun sebesar 5747 ha atau 60.06% dari luas kecamatan. Sisanya bagian Utara mendapatkan curah hujan sebesar 3000-3500 mm/tahun (39.39%), dan bagian selatan 4000-4500 mm/tahun (0.55%) (BMG, 2007). Suhu dan kelembaban udara di lokasi penelitian di perkirakan sama dengan Kabupaten Bogor. Berdasarkan stasiun pengamatan di Darmaga, Kabupaten Bogor dari tahun 1975-2005, suhu udara berkisar rata-rata 200C sampai 300C dengan kelembaban udara 70% (http://iklim.bmg.go.id, 18 Juli 2012)

4.3. Tanah

Berdasarkan Peta Tanah skala 1:250.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) tahun 1966, sebagian besar jenis tanah yang di temukan di Kecamatan Babakan Madang

(33)

adalah tanah Latosol, dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (2006) termasuk order Inceptisol. Kompleks Latosol merah kekuningan, Latosol coklat, Podzolik sebesar 7799 ha atau 84.49% dari luas kecamatan. Sisanya Asosiasi Latosol merah, Latosol coklat kemerahan (1.31%) dan Latosol merah (14.20%).

Kecamatan Klapanunggal sebagian besar luasan wilayahnya memiliki jenis tanah Podzolik dan Latosol, dalam klasifikasi taksonomi tanah termasuk order Ultisol. Kompleks Podzolik merah kekuningan, Podzolik kuning dan Regosol sebesar 3217 ha atau 33.62% dari luas kecamatan, Podzolik merah 21.53%, dan Asosiasi Latosol merah, Latosol coklat kemerahan dan Laterit 20.61%. Sisanya Asosiasi Podzolik kuning dan Hidromorf kelabu (12.39%), Kompleks Latosol merah kekuningan, Latosol coklat, Podzolik (11.71%) dan Grumusol (0.13%).

4.4. Geologi dan Topografi

Berdasarkan peta geologi lembar Bogor skala 1:100.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1990 , formasi geologi di Kecamatan Babakan Madang di dominasi oleh Formasi Jatiluhur (Tmj), terdiri dari napal dan batulempung dengan sisipan batupasir gampingan. Selain itu terdapat cukup luas Formasi Volkanik G. Kencana (Qvk), terdiri dari breksi dengan bongkah andesit dan basalt. Topografi di berombak sampai berbukit, dengan kelas kemiringan lereng dominan (45.4%) curam (26-40%), dan 34.4%

sangat curam (>40%), sisanya 0.3% kelas kemiringan agak curam (16-25%) dan 19.0% datar (<8%).

Formasi geologi di Kecamatan Klapanunggal di dominasi oleh Formasi Klapanunggal (Tmk), terdiri dari batugamping koral, sisipan batugamping pasiran, napal, dan batupasir kuarsa glaukonitan. Topografi berombak sampai berbukit, dengan kelas kemiringan lereng dominan (72.4%) curam (26-40%) dan sisanya 26.6% datar (<8%).

4.5. Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk di Kecamatan Babakan Madang pada tahun 2009 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor sebanyak 90.838 jiwa,

(34)

dengan tingkat kepadatan penduduk 920 jiwa/ km2. Mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah petani, sedangkan sisanya bekerja di sektor industri, perdagangan, hotel, jasa, dan lain-lain (BPS, 2009). Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Desa Karang Tengah sebesar 14371 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Sentul sebesar 4035 jiwa/ km2.

Jumlah penduduk di Kecamatan Klapanunggal di tahun 2008 sebesar 79.662 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 812 jiwa/km2. Jumlah penduduk (13122 jiwa) dan tingkat kepadatan (2399 jiwa/ km2)terbesar terletak di Desa Kembang Kuning. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Klapanunggal adalah di sektor jasa, sedangkan sisanya bekerja di sektor industri, perdagangan, hotel, jasa, pertanian dan lain-lain (BPS, 2008).

4.6. Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010

Menurut Bappeda Kabupaten Bogor tahun 2000, berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000-2010 peruntukan ruang Kecamatan Babakan Madang dan Kecamatan Klapanunggal tersaji pada Tabel 7. Peruntukan ruang di Kecamatan Babakan Madang sebagian besar untuk kawasan pemukiman perkotaan dan di Kecamatan Klapanunggal sebagian besar untuk kawasan hutan produksi. Di Kecamatan Babakan Madang tidak terdapat peruntukan ruang kawasan pertambangan, dan kawasan pertanian lahan basar, sedangkan di Kecamatan Klapanunggal tidak terdapat kawasan perkebunan.

Tabel 7. Luas dan Proporsi Peruntukan Ruang Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2000-2010

No Jenis Pemanfaatan Ruang

Babakan Madang Klapanunggal Luas (ha) Proporsi

(%) Luas (ha) Proporsi (%) 1 Kawasan Hutan Produksi 1583.26 17.15 3756.80 39.25

2 Kawasan Lindung 1826.90 19.79 239.64 2.51

3 Kawasan Pariwisata 562.16 6.09 32.69 0.34

4 Kawasan Pengembangan Perkotaan 1466.94 15.89 3.79 0.039

5 Kawasan Perkebunan 5.85 0.06 - -

6 Kawasan Permukiman Perdesaan 182.31 1.97 1009.76 10.55 7 Kawasan Permukiman Perkotaan 2790.43 30.23 630.77 6.59 8 Kawasan Pertanian Lahan Kering 611.44 6.62 796.19 8.32 9 Kawasan Peruntukan Industri 180.08 1.95 1250.15 13.06

11 Kawasan Pertambangan - - 802.85 8.39

12 Kawasan Pertanian Lahan Basah - - 1017.63 10.63

Sumber : Peta RTRW Kabupaten Bogor 2000-2010

(35)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, jalan dan emplasmen, kebun campuran, pemukiman, rumput, sawah, dan tegalan. Kecamatan Klapanunggal memiliki 10 tipe penggunaan lahan, yaitu badan air, hutan, industri, kebun campuran, pemukiman, sawah, tegalan, galian C, lahan terbuka dan semak. Secara spasial sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang pada Gambar 5 dan Kecamatan Klapanunggal pada Gambar 6. Luas dan proporsinya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Luas dan proporsi penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

No Penggunaan Lahan

Luas (ha) Proporsi (%)

Babakan Madang

Klapanunggal Babakan Madang

Klapanunggal

1 Badan air 91.32 86.26 0.99 0.90

2 Hutan 3143.23 3141.57 34.05 32.83

3 Industri 76.18 379.12 0.83 3.96

4 Jalan dan Emplasmen 136.94 - 1.48 -

5 Kebun Campuran 681.61 1025.91 7.38 10.72

6 Pemukiman 1567.61 1259.19 16.98 13.16

7 Rumput 196.32 - 2.13 -

8 Sawah 459.05 1669.85 4.97 17.45

9 Tegalan 2877.79 257.98 31.18 2.70

10 Galian C - 547.74 - 5.72

11 Lahan Terbuka - 253.83 - 2.65

12 Semak - 947.99 - 9.91

Total 9230.05 9569.43 100.00 100.00

Sumber : Hasil Interpretasi Citra Alos Anvir 2009

Dari Tabel 8 diketahui bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang didominasi oleh hutan dan tegalan dengan proporsi masing-masing 34.05% dan 31.18% dari total luas Kecamatan Babakan Madang. Kecamatan Klapanunggal didominasi oleh hutan dan sawah, dengan proporsi masing-masing 32.83% dan 17.45% dari total luas Kecamatan Klapanungal. Tingginya penggunaan lahan hutan di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

(36)

dikarenakan terdapat peruntukan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang cukup luas, sehingga penggunaan lahan hutan di dalam kawasan tersebut tetap terjaga dari konversi ke penggunaan lain karena dilindungi oleh hukum, walaupun masih terdapat beberapa penyimpangan.

Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang

Penggunaan lahan di Kecamatan Babakan Madang lebih dominan tegalan dari pada padi sawah, hal tersebut di karenakan sedikitnya aliran sungai yang melintasi Kecamatan Babakan Madang, dimana air sungai merupakan salah satu sumber utama irigasi padi sawah. Sedangkan di Kecamatan Klapanunggal cukup banyak dialiri air sungai sehingga penggunaan lahan untuk padi sawah lebih dominan.

Penggunaan lahan pemukiman di Kecamatan Babakan Madang sebesar 1567.61 ha dan Klapanunggal 1259.19 ha. Luasnya peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan menyebabkan banyaknya pemukiman di kedua kecamatan tersebut. Total peruntukan kawasan pemukiman perkotaan, perkembangan perkotaan, dan pemukiman pedesaan di Kecamatan Babakan Madang sebesar 2972.74 ha atau

(37)

48.09%, dan di Kecamatan Klapanunggal 1644,32 ha atau 17.18% dimana masih cukup luas peruntukan kawasan pemukiman tersebut yang belum menjadi pemukiman.

Penggunaan lahan kebun campuran di Kecamatan Babakan Madang sebesar 681.61 ha dan Klapanunggal 1025.91 ha. Tingginya penggunaan lahan kebun campuran di karenakan tingginya penggunaan lahan pemukiman, sawah dan tegalan. Dimana kebun campuran cenderung berada di sekitar pemukiman, sawah, dan tegalan.

Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Babakan yaitu jalan dan emplasmen, dan rumput. Penggunaan lahan jalan dan emplasmen berupa jalan tol dan sirkuit sentul, rumput berupa lapangan golf. Penggunaan lahan yang khas di Kecamatan Klapanunggal yaitu Galian C berupa batuan kapur yang di tambang oleh PT Indocement Tunggal Perkasa Tbk, PT Holcim Indonesia Tbk, dan penduduk sekitar.

Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Klapanunggal

(38)

5.2. Penyimpangan Pemanfaatan Ruang

Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal berdasarkan matrik logik disajikan pada Lampiran 3.

Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 9. Dari Gambar 7 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa penyimpangan pemanfaatan ruang terjadi di kawasan budidaya dan lindung.

Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan budidaya terjadi di kawasan, perkebunan, hutan produksi, pertanian lahan kering, dan industri. Penyimpangan terbesar terjadi di kawasan perkebunan sebesar 100%, dimana 69.57% untuk tegalan dan 30.43% untuk kebun campuran. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan produksi terbesar untuk tegalan 21.51%. Penyimpangan di kedua kawasan tersebut sebagian besar terdapat di Desa Karang Tengah. Dimana 1927 dari 3381 rumah tangga berprofesi sebagai petani, dengan komoditas pertanian yang diusahakan adalah ubi kayu (BPS, 2009), sehingga tidak sedikit petani yang menggunakan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi untuk usaha taninya.

Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering terbesar untuk sawah 18.16%. Penyimpangan tersebut terjadi di sekitar daerah aliran sungai di Desa Karang Tengah, dimana lahan masih bisa ditanami padi sawah.

Gambar 7. Persentase Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Berbagai Jenis Peruntukan di Kecamatan Babakan Madang

100 2030 4050 6070 8090 100

Kawasan Hutan Lindung

Kawasan Hutan Produksi

Kawasan Perkebunan

Kawasan Pertanian Lahan Kering

Kawasan Peruntukan

Industri 0.57

27.41

100

24.33 23.38

% Penyimpangan

(39)

Tabel 9. Jenis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Babakan Madang No

RTRW Penyimpangan

Kawasan Luas

(ha)

Penggunaan Lahan

Luas

(ha) % Total (ha) 1 Kawasan Hutan Lindung 1826.91 Sawah 10.23 0.56

10.34 Tegalan 0.11 0.01

2 Kawasan Hutan Produksi 1583.27

Pemukiman 13.07 0.83

433.94 Sawah 80.33 5.07

Tegalan 340.54 21.51 3 Kawasan Perkebunan 5.85 Tegalan 4.07 69.57

5.85 Kebun Campuran 1.78 30.43

4 Kawasan Pertanian Lahan

Kering 611.45 Pemukiman 37.71 6.17

148.72 Sawah 111.01 18.16

5 Kawasan Peruntukan

Industri 180.08 Pemukiman 42.10 23.38 42.10

Total 639.17

Kawasan peruntukan industri menyimpang sebesar 23.38% dari alokasi RTRW dengan jenis penyimpangan menjadi pemukiman. Penyimpangan terjadi di Desa Sentul, dimana 1263 dari 2469 rumah tangga bekerja di sektor industri.

Adanya industri menarik para penduduk di luar desa tersebut untuk bekerja di sana. Sehingga menyebabkan tumbuhnya pemukiman–pemukiman baru sebagai tempat tinggal penduduk pendatang. Dimana pemukiman tersebut sebagian menyimpang dari peruntukan kawasaan industri.

Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan hutan lindung sebesar 0.57%, untuk sawah 0.56% dan tegalan 0.01%. Penyimpangan tersebut terdapat di Desa Karang Tengah dan Bojong Koneng, dimana 1927 dari 3381 rumah tangga di Desa Karang Tengah dan 1406 dari 2618 rumah tangga di Desa Bojong Koneng bekerja sebagai petani (BPS, 2009). Sehingga terdapat beberapa petani yang menggunakan kawasan hutan lindung untuk usaha taninya. Penyimpangan pemanfaatan ruang di setiap desa tersaji pada Lampiran 4. Peta penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Babakan Madang dapat dilihat pada Gambar 8.

(40)

Gambar 8. Peta Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kec. Babakan Madang

Penyimpangan pemanfaatan ruang di Kecamatan Klapanunggal hanya terjadi di kawasan budidaya yaitu pada kawasan pertanian lahan kering, industri, hutan produksi, pertanian lahan basah, dan pemukiman pedesaan. Jenis dan luas penyimpangan pemanfaatan ruang tersebut disajikan pada pada Tabel 10 dan Gambar 9. Dari Tabel 10 dan Gambar 9 terlihat bahwa penyimpangan terbesar terjadi di kawasan pertanian lahan kering. Penyimpangan pemanfaatan ruang di kawasan pertanian lahan kering digunakan untuk pemukiman 34.18%, selain itu industri 3.09% dan sawah 3.7%. Penyimpangan tersebut sebagian besar terletak di Desa Ligar Mukti. Tingginya penyimpangan kawasan pertanian lahan kering menjadi pemukiman di kawasan tersebut karena jauhnya jarak desa dari pusat kota. Listiawan (2010) mengungkapkan bahwa, jarak desa yang jauh dari pusat kota menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang yang terjadi.

Gambar

Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan  Agroklimat 1997
Tabel 2. Kriteria lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat  Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti proses pengadaan untuk Paket Pekerjaan Pekerjaan Konsultan

1.1 Konteks Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa

Jika PDN berdampak positif terhadap ROA, maka PDN meningkat akan terjadi peningkatan yang lebih besar dalam aktiva valas dibandingkan dengan pasiva valas,

November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi para penghayat agama leluhur atas pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Administrasi dan

Dalam masyarakat modern untuk kebutuhan hidupnya semakin tergantung pada layanan pihak lain (layanan profesional), seperti kebutuhan dasar pangan, sandang, papan,

Hal ini dapat dikatakan bahwa komposit serat alam kayu bangkirai dengan penambahan konsentrasi NaOH pada perlakuan alkali berpengaruh untuk meningkatkan sifat

(Abu Su’ud. Menurut sejarahnya, Agama Hindu mempunyai usia yang cukup tua dan panjang, dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh umat manusia. Agama Hindu pada

Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan