SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN UMBI
RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 TERHADAP KULTUR SEL HeLa
INTISARI
Menurut WHO, setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Mahalnya biaya dan tingginya efek negatif terapi kanker mendorong dikembangkannya penelitian senyawa alam yang berpotensi antikanker. Di Cina, rumput teki (Cyperus rotundus L.) telah digunakan secara empirik untuk penanganan penyakit kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Fraksi protein umbi rumput teki diendapkan dengan penambahan amonium sulfat dalam kuantitas yang berbeda-beda sehingga diperoleh fraksi protein dalam berbagai konsentrasi. Metode uji sitotoksisitas yang digunakan adalah metode MTT (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide), dengan sel HeLa dan sel Vero sebagai subjek uji dan fraksi protein umbi rumput teki sebagai objek uji. Data yang diperoleh berupa persen kematian sel dan harga LC50 dihitung dengan analisis statistik probit dan uji t.
Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa fraksi protein umbi rumput teki bersifat sitotoksik terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero. Harga LC50 yang diperoleh dari FP20, FP40, FP60, dan FP80 untuk sel HeLa adalah 565,39 µg/ml, 367,17 µg/ml, 386,19 µg/ml, dan 529,71 µg/ml ; sementara untuk sel Vero berturut-turut adalah 35,1 µg/ml, 27,4 µg/ml, 14,7 µg/ml, dan 16,4 µg/ml. Nilai LC50 yang lebih besar pada sel HeLa menunjukkan bahwa fraksi protein umbi rumput teki memiliki daya sitotoksik yang lebih kecil pada sel HeLa daripada sel Vero.
Kata Kunci: umbi rumput teki, fraksi protein, LC50,sitotoksisitas, sel HeLa, sel Vero
CYTOTOXICITY OF NUTGRASS TUBER (Cyperus rotundus L.) PROTEIN FRACTION PF20, PF40, PF60, dan PF80
AGAINST HeLa CELL CULTURE
ABSTRACT
According to WHO, the number of cancer patients worldwide is increasing up to 6.25 million people every year. The cost and highly negative effect enhance the research of traditional anticancer medicine. In China, nutgrass (Cyperus rotundus L) have been used in the treatment of cancer. This research was aimed to determine the cytotoxic activity of nutgrass tuber FP20, FP40, FP60, and FP80 againts HeLa and Vero cell culture.
This research is an experimental research with one way pattern complete random design. The nutgrass tuber protein fractions were precipitated by adding ammonium sulfate in various concentrations. The method of cytotoxicity test used in this research is MTT method (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide). HeLa was used as the subject and Vero cell was the control, while nutgrass tuber protein fractions were the objects. Datas collected were in the percentage of cell death. The LC50 value were calculated using probit analysis and analyzed using t-Test.
The result determined that the nutgrass tuber protein fraction had cytotoxic activityto HeLa and Vero cells. The LC50 values obtained from nutgrass tuber FP20, FP40, FP60, and FP80 for HeLa cell respectively are 565.39 µg/ml, 367.17 µg/ml, 386.19 µg/ml, and 529.71 µg/ml ; while for Vero cell respectively are 35.1 µg/ml, 27.4 µg/ml, 14.7 µg/ml, and 16.4 µg/ml. The LC50 values have smaller cytotoxic activity against HeLa cell than Vero cell.
Key words: nutgrass tuber, protein fraction, LC50, cytotoxic activity, HeLa cell culture, Vero cell culture
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN UMBI
RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 TERHADAP KULTUR SEL HeLa
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
A.Pradnya Ratih PM
NIM : 038114033
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN UMBI
RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 TERHADAP KULTUR SEL HeLa
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
A.Pradnya Ratih PM
NIM : 038114033
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
v
Keluarga besarku terutama simbah putri, serta Sahabat-sahabatku,
Yang selalu mendukungku untuk pergi kemana hati membawaku
“Terima kasih”
....Dan tentunya untuk diriku, cita-cita, idealisme, dan mimpi-mimpiku....
Ini adalah akhir satu babak, sekaligus awal babak baru
dari sebuah perjalanan kehidupan
PRAKATA
Puji syukur kepada Bapa di Surga, Yesus dan Bunda Maria atas segala kasih
dan terang sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan skripsi dengan
judul “Sitotoksisitas Fraksi Protein Umbi Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 Terhadap Kultur Sel HeLa”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada
Program Studi Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bimbingan,
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. A. Yuswanto S.U., Ph.D., Apt , selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan begitu banyak waktu, lengkap dengan kesediaannya
mendengarkan, kesabarannya membimbing dan nasehatnya yang selalu
menenangkan ; dari awal, selama perjalanan, hingga akhir dari perjuangan
penyusunan skripsi ini.
2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si , selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran, masukan dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
3. Drs. Mulyono, Apt. , selaku dosen penguji yang telah bersedia membagi
ilmu dan memberikan saran serta masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Rita Suhadi, M.Si, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
5. Mbak Istini, Pak Pandi, Mbak Heni dan segenap karyawan Laboratorium
Hayati UGM yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.
6. Papa-Mama-Ratna untuk segala doa, kasih sayang, semangat, dan
dukungan yang mendorongku untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Alfonsus Endra Miharja dengan segala caci maki dan kritikan pedas dalam
balutan cinta yang mengajariku untuk kritis, kuat dan tegar selama
penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
8. Segenap keluarga besar dengan segala bantuan dan dukungannya, baik doa,
ide, ruang, waktu maupun materi.
9. Team TEKI ; Soelistio Wati “SiHa” Widjaja, “Myeloma” Milana Fedelia,
dan Agnes “Raji” Rufina serta cie’ Linda yang menghadirkan ide, berproses
bersama dan mengobarkan semangat hingga selesainya skripsi ini.
10. Nella-Tina-Totok-Bambang-Bangun-Obe-Angger-Prita-Nanda-Thusty dan
semua teman-teman kelompok praktikum B angkatan 2003.
11. Semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan skripsi ini.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak
terlepas dari kekurangan dan keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
skripsi ini. Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya dan perkembangan ilmu pengetahuan kefarmasian pada
khususnya.
Penulis
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagai layaknya karya ilmiah.
Penulis
(A.Pradnya Ratih PM)
SITOTOKSISITAS FRAKSI PROTEIN UMBI
RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 TERHADAP KULTUR SEL HeLa
INTISARI
Menurut WHO, setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Mahalnya biaya dan tingginya efek negatif terapi kanker mendorong dikembangkannya penelitian senyawa alam yang berpotensi antikanker. Di Cina, rumput teki (Cyperus rotundus L.) telah digunakan secara empirik untuk penanganan penyakit kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Fraksi protein umbi rumput teki diendapkan dengan penambahan amonium sulfat dalam kuantitas yang berbeda-beda sehingga diperoleh fraksi protein dalam berbagai konsentrasi. Metode uji sitotoksisitas yang digunakan adalah metode MTT (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide), dengan sel HeLa dan sel Vero sebagai subjek uji dan fraksi protein umbi rumput teki sebagai objek uji. Data yang diperoleh berupa persen kematian sel dan harga LC50 dihitung dengan analisis statistik probit dan uji t.
Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa fraksi protein umbi rumput teki bersifat sitotoksik terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero. Harga LC50 yang diperoleh dari FP20, FP40, FP60, dan FP80 untuk sel HeLa adalah 565,39 µg/ml, 367,17 µg/ml, 386,19 µg/ml, dan 529,71 µg/ml ; sementara untuk sel Vero berturut-turut adalah 35,1 µg/ml, 27,4 µg/ml, 14,7 µg/ml, dan 16,4 µg/ml. Nilai LC50 yang lebih besar pada sel HeLa menunjukkan bahwa fraksi protein umbi rumput teki memiliki daya sitotoksik yang lebih kecil pada sel HeLa daripada sel Vero.
Kata Kunci: umbi rumput teki, fraksi protein, LC50,sitotoksisitas, sel HeLa, sel Vero
CYTOTOXICITY OF NUTGRASS TUBER (Cyperus rotundus L.) PROTEIN FRACTION PF20, PF40, PF60, dan PF80
AGAINST HeLa CELL CULTURE
ABSTRACT
According to WHO, the number of cancer patients worldwide is increasing up to 6.25 million people every year. The cost and highly negative effect enhance the research of traditional anticancer medicine. In China, nutgrass (Cyperus rotundus L) have been used in the treatment of cancer. This research was aimed to determine the cytotoxic activity of nutgrass tuber FP20, FP40, FP60, and FP80 againts HeLa and Vero cell culture.
This research is an experimental research with one way pattern complete random design. The nutgrass tuber protein fractions were precipitated by adding ammonium sulfate in various concentrations. The method of cytotoxicity test used in this research is MTT method (3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromide). HeLa was used as the subject and Vero cell was the control, while nutgrass tuber protein fractions were the objects. Datas collected were in the percentage of cell death. The LC50 value were calculated using probit analysis and analyzed using t-Test.
The result determined that the nutgrass tuber protein fraction had cytotoxic activityto HeLa and Vero cells. The LC50 values obtained from nutgrass tuber FP20, FP40, FP60, and FP80 for HeLa cell respectively are 565.39 µg/ml, 367.17 µg/ml, 386.19 µg/ml, and 529.71 µg/ml ; while for Vero cell respectively are 35.1 µg/ml, 27.4 µg/ml, 14.7 µg/ml, and 16.4 µg/ml. The LC50 values have smaller cytotoxic activity against HeLa cell than Vero cell.
Key words: nutgrass tuber, protein fraction, LC50, cytotoxic activity, HeLa cell culture, Vero cell culture
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... .. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI... ix
ABSTRACT... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
ARTI ISTILAH DAN SINGKATAN ASING... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
1. Rumusan masalah ... 3
2. Keaslian penelitian ... 3
3. Manfaat penelitian... 3
B. Tujuan Penelitian ... 4
1. Tujuan umum…… ... 4
2. Tujuan khusus………. 4
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 5
A. Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) ... 5
1. Keterangan botani ... 5
a. Sistematika tumbuhan... 5
b. Sinonim... 5
c. Nama daerah ... 5
2. Deskripsi tumbuhan ... 5
3. Habitat tumbuhan ... 6
4. Kandungan kimia ... 6
5. Khasiat dan penggunaan ... 7
6. Penelitian mengenai rumput teki... 7
B. Kanker ... 8
1. Tinjauan Umum ... 8
2. Karsinogenesis ... 9
3. Kanker Leher Rahim (Cervix)... 11
4. Senyawa Antikanker ... 12
C. Protein………. ... 12
D. Kultur Sel……… ... 14
1. Sel HeLa... 14
2. Sel Vero... 15
E. Uji Sitotoksisitas ... 15
F. Keterangan Empiris... 17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 18
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 18
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 18
1. Variabel ... 18
a. Variabel bebas ... 18
b. Variabel tergantung ... 18
c. Variabel pengacau terkendali ... 18
d. Variabel pengacau tak terkendali ... 19
2. Definisi operasional ... 19
C. Alat dan Bahan ... 19
1. Alat ... 19
2. Bahan ... 19
D. Tata Cara Penelitian ... 20
1. Determinasi tumbuhan ... 20
2. Pengumpulan umbi rumput teki ... 21
3. Sterilisasi alat dan bahan... 21
4. Preparasi fraksi protein dari umbi rumput teki ... 21
5. Pengukuran kadar protein dengan metode spektrofotometri UV 23
6. Preparasi sel HeLa... 23
7. Preparasi sel Vero ... 24
8. Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki... 25
E. Analisis Hasil... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
A. Determinasi Tumbuhan... 28
B. Pengumpulan Umbi Rumput Teki ... 28
C. Sterilisasi Alat dan Bahan Penelitian ... 28
D. Preparasi Sampel Fraksi Protein Umbi Rumput Teki ... 29
E. Pengukuran Kadar Protein dengan Metode Spektrofotometri UV ... 31
F. Uji Sitotoksisitas Fraksi Protein Umbi Rumput Teki ... 32
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 41
A. Kesimpulan ... 41
B. Saran... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
LAMPIRAN... 45
BIOGRAFI PENULIS ... 81
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Data persentase kematian sel HeLa setelah diinkubasi 24 jam
dengan 6 seri konsentrasi FP20, FP40, FP60, dan FP80
umbi rumput teki ... 34
Tabel II. Data persentase kematian sel Vero setelah diinkubasi 24 jam
dengan 6 seri konsentrasi FP20, FP40, FP60, dan FP80
umbi rumput teki ... 37
Tabel III. Harga LC50 hasil interpolasi analisis probit pada sel HeLa
dan sel Vero ... 39
Tabel IV. Data absorbansi fraksi protein dengan menggunakan metode
spektrofotometer UV dan rasio serapan pada panjang
gelombang 260 nm dan 280 nm ... 49
Tabel V. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP20
terhadap kultur sel HeLa ... 50
Tabel VI. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP40 terhadap kultur sel HeLa ... 50
Tabel VII. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP60 terhadap kultur sel HeLa ... 50
Tabel VIII. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP80
terhadap kultur sel HeLa ... 51
Tabel IX. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP20
terhadap kultur sel Vero ... 52
Tabel X. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP40 terhadap kultur sel Vero ... 52
Tabel XI. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP60 terhadap kultur sel Vero ... 52
Tabel XII. Hasil Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP80
terhadap kultur sel Vero ... 53
Tabel XIII. Nilai r (koefisien korelasi) pada level signifikansi
5% dan 1% ... 74
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur molekul dari MTT dan hasil reduksinya ... 16
Gambar 2. Grafik persentase kematian sel HeLa setelah diinkubasi 24 jam dengan 6 seri konsentrasi FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi rumput teki ... 35
Gambar 3. Foto sel HeLa hasil perlakuan dengan fraksi protein umbi rumput teki FP40dan FP80 pada kadar 4000 µg/ml ... 36
Gambar 4. Grafik persentase kematian sel Vero setelah diinkubasi 24 jam dengan 6 seri konsentrasi FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi rumput teki ... 37
Gambar 5. Foto sel Vero perlakuan dengan fraksi protein umbi rumput teki FP40 kadar 4000 µg/ml dan 1000 µg/ml ... 38
Gambar 6. Foto Bagian Tumbuhan Runput Teki (Cyperus rotundus L) .. 45
Gambar 7. Foto Umbi Rumput Teki ... 45
Gambar 8. Foto Tumbuhan Rumput Teki ... 46
Gambar 9. Foto Spektrofotometer UV CECIL Series 2 ... 47
Gambar 10. Foto ELISA reader SLT 340 ATC ... 47
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Foto-foto penelitian ... .. 45
Lampiran 2. Jumlah penambahan amonium sulfat untuk mendapatkan
FP20, FP40 , FP60 dan FP80 ... 48 Lampiran 3. Cara perhitungan kadar protein ... 49
Lampiran 4. Data absorbansi sel HeLa dan sel Vero hasil pembacaan
dengan ELISA reader pada 550nm ... 50 Lampiran 5. Hasil analisis probit fraksi protein umbi rumput teki
terhadap kultur sel HeLa dengan metode MTT ... 54
Lampiran 6. Hasil analisis probit fraksi protein umbi rumput teki
terhadap kultur sel Vero dengan metode MTT ... 64
Lampiran 7. Perhitungan nilai korelasi LC50 sel HeLa dan sel Vero pada
taraf kepercayaan 95% ... 74
Lampiran 8. Uji distribusi data sel HeLa dengan Kolmogorov-Smirnov... 76
Lampiran 9. Uji distribusi data sel Vero dengan Kolmogorov-Smirnov... 77
Lampiran 10. Hasil uji signifikansi LC50 antara sel HeLa dan sel Vero
dengan analisis statistik t-test independent sample ... 78
Lampiran 11. Surat Pengesahan Determinasi ... 80
ARTI SINGKATAN DAN ISTILAH ASING
FBS : Fetal Bovine Serum
FP20 (PF20) : Fraksi protein (protein fraction) umbi Cyperus rotundus L.
hasil pengendapan dengan amonium sulfat kadar 20% kadar
jenuh
FP40 (PF40) : Fraksi protein (protein fraction) umbi Cyperus rotundus L.
hasil pengendapan dengan amonium sulfat kadar 40% kadar
jenuh
FP60 (PF60) : Fraksi protein (protein fraction) umbi Cyperus rotundus L.
hasil pengendapan dengan amonium sulfat kadar 60% kadar
jenuh
FP80 (PF80) : Fraksi protein (protein fraction) umbi Cyperus rotundus L. hasil pengendapan dengan amonium sulfat kadar 80% kadar
jenuh
MTT : (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazoliumbromide)
reagen stopper : reagen yang terdiri dari larutan SDS 10% dalam HCl 0,01 N
SDS : Sodium Dodesil Sulfat
RPMI : Rosswell Park Memorial Institute
tissue culture flask : tempat untuk menumbuhkan sel, berbentuk botol dengan leher bengkok
96-well plate : sumuran mikro yang terdiri dari 96 lubang tempat menanam
sel pada uji sitotoksisitas
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kanker merupakan penyakit yang sudah sangat tidak asing bagi kita.
Perubahan gaya hidup mendorong semakin tingginya prevalensi penyakit kanker,
misalnya kebiasaan merokok, konsumsi minuman keras secara berlebihan, banyak
makan makanan berlemak, dan berganti-ganti pasangan seksual. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia, WHO, setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah
6,25 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat, bahkan diramalkan,
dalam 10 tahun mendatang 9 juta orang akan meninggal akibat kanker setiap
tahunnya (Anonim, 2006a). Hal ini dapat dimengerti jika kemudian kanker
dinyatakan menempati peringkat kedua di dunia sebagai penyebab kematian setelah
penyakit jantung.
Bagi kaum perempuan, jenis kanker yang paling ditakuti adalah kanker
serviks atau karsinoma serviks uterus atau kanker leher rahim. Di Indonesia, kanker
serviks merupakan jenis kanker terbanyak pada wanita, kemudian disusul kanker
payudara yang menempati urutan kedua (Dalimartha, 2004). Sebenarnya kanker ini
merupakan salah satu jenis kanker yang dapat dideteksi pada stadium dini yaitu
dengan Pap-smear (pemeriksaan contoh sel yang diambil dari lendir leher rahim). Namun sayangnya, sebagian besar penderitanya baru datang pada stadium lanjut.
Operasi, radioterapi, kemoterapi dan imunologi agen serta pengobatan
dengan hormon merupakan berbagai jenis terapi yang digunakan untuk menangani
pasien kanker. Sayangnya berbagai jenis terapi tersebut membutuhkan biaya yang
tidak sedikit serta memiliki resiko negatif yang tinggi. Karena itu, dewasa ini terapi
pilihan yang makin populer dikembangkan adalah fitoterapi atau terapi dengan
tumbuh-tumbuhan. Ini berarti, penting untuk dilakukannya penelitian mengenai
senyawa-senyawa alam yang mungkin berpotensi sebagai anti kanker, mengingat
Indonesia sangat kaya akan tanaman obat.
Secara tradisional rumput teki (Cyperus rotundus L.), khususnya umbinya,
telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai tumbuhan yang
berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit, diantaranya busung air, mencret,
pencernaan tidak baik, sakit perut, rematik, haid tidak teratur dan nyeri haid
(Soedibyo,1998). Walaupun di Indonesia belum ada penelitian mengenai rumput teki
sebagai anti kanker, namun pengobatan tradisional China telah menyebutkan
penggunaan rumput teki untuk menangani kanker (Hanks,2000).
Pada tanaman tingkat tinggi, senyawa aktif anti kanker tersebar luas dalam
berbagai golongan senyawa, salah satunya protein. Semua sistem kehidupan
mengandung sejumlah besar protein yang berbeda, salah satunya yaitu protein
beracun yang terdapat dalam tumbuhan. Daya racunnya disebabkan oleh antaraksi
dengan subunit ribosom 60s mamalia yang mengakibatkan terjadinya hidrolisis
beberapa ikatan glikosida-N yang kemudian menghambat sintesis protein (Robinson,
1991). Hal inilah yang menjadi dasar dipilihnya protein sebagai zat aktif anti kanker
dari rumput teki dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah informasi
bagi penelitian-penelitian selanjutnya mengenai efek sitotoksik umbi rumput teki.
Mengingat bahwa masalah mendasar dalam pengobatan kanker adalah bagaimana
menemukan obat, baik alami maupun sintesis, yang mampu membunuh sel kanker
secara efektif namun tidak toksik bagi sel normal, maka dalam penelitian ini, fraksi
protein umbi rumput teki diujikan pada sel kanker (HeLa cell line) dan juga pada sel
normal (Vero cell line). Harapannya, penelitian ini akan membawa gambaran baru
mengenai potensi umbi rumput teki untuk dikembangkan sebagai obat alternatif bagi
penyakit kanker.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
a. Apakah fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 memiliki
efek sitotoksik terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero?
b. Berapakah nilai LC50 fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60, dan
FP80 terhadap sel HeLa dan sel Vero?
c. Apakah efek sitotoksik fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 lebih besar terhadap sel HeLa daripada sel Vero?
2. Keaslian penelitian
Sejauh yang diketahui penulis, belum pernah dilakukan penelitian mengenai
sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 terhadap
kultur sel HeLa.
a. Manfaat teoritis. Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang efek
sitotoksik fraksi protein umbi rumput teki terhadap sel HeLa dan sel Vero yang akan
memperkaya dan menambah kemajuan ilmu pengetahuan terutama di bidang
farmasi.
b. Manfaat praktis. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan yang
mendukung penemuan obat alternatif bagi penyakit kanker.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum :
Untuk mengetahui apakah fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60,
dan FP80 memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai senyawa antikanker.
2. Tujuan khusus :
a. Untuk mengetahui apakah fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60,
dan FP80 memiliki efek sitotoksik terhadap kultur sel HeLa dan sel Vero. b. Untuk mengetahui berapa nilai LC50 fraksi protein umbi rumput teki FP20,
FP40, FP60, dan FP80 terhadap sel HeLa dan sel Vero.
c. Untuk mengetahui apakah efek sitotoksik fraksi protein umbi rumput teki
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) 1. Keterangan botani
a. Sistematika tumbuhan
Tumbuhan rumput teki termasuk dalam famili Cyperaceae, genus Cyperus,
dan spesies Cyperus rotundus L. (Anonim, 2000a).
b. Sinonim
C.odoratus Osbeek ; C.tenuiflorus Royle ; Heleocharis dulcis (Burm.f.) Trin. (Sudarsono, 1996).
c. Nama daerah
Jawa : Teki, tekan (Jawa), motta (Madura).
Sulawesi : Rukut teki wuta (Minahasa), Bulih manggasa buai (Buol), Nusatenggara : Kareha wai (Sumba).
Maluku : Rukut teki wuta (Alfuru) (Anonim, 1980).
2. Deskripsi tumbuhan
Terna, menahun, tinggi 10 cm sampai 80 cm. Batang tumpul segitiga, tajam.
Daun 4 sampai 10 helai berjejal pada pangkal batang dengan pelepah daun tertutup
tanah, helaian daun berbentuk garis, bagian atas berwarna hijau tua mengkilat,
panjang daun 10 cm sampai 60 cm, lebar daun 2 mm sampai 6 mm. Anak bulir
berkumpul menjadi bulir pendek dan tipis, keseluruhan terkumpul lagi menjadi
memanjang. Daun pembalut 3 sampai 4, tepi kasar tidak merata. Jari-jari payung 6
sampai 9, yang terpanjang 3 cm sampai 10 cm, yang terbesar bercabang sekali lagi,
pangkal tertutup oleh daun pelindung yang berbentuk tabung. Anak bulir terkumpul
lagi dalam bulir, duduk, berbentuk garis, sangat gepeng, berwarna coklat, panjang 1
cm sampai 3 cm, lebar kurang lebih 2 mm, bunga 10 sampai 40. Sekam dengan
punggung hijau dan sisi coklat, panjang lebih kurang 3 mm. Benang sari 3, kepala
sari berwarna kuning cerah, tangkai putik bercabang 3. Buah memanjang sampai
bulat telur sungsang, persegi tiga berwarna coklat, panjang lebih kurang 5 mm
(Anonim, 1980).
3. Habitat Tumbuhan
Rumput teki tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl.
Tumbuhan ini banyak tumbuh liar di Afrika Selatan, Korea, Cina, Jepang, Taiwan,
Malaysia, Indonesia dan kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Tumbuhan ini
umumnya tumbuh di lahan pertanian yang tidak terlalu kering (tanahnya tidak
berbencah-bencah), di ladang dan kebun (Sudarsono, 1996).
4. Kandungan kimia
Kandungan kimia rumput teki antara lain minyak atsiri (siperin, siperol,
siperon, pinen, dan seskuiterpen), alkaloid, glikosida, flavonoid, gula, zat pati dan
resin (Soedibyo,1998). Umbi dan rimpang teki mengandung
sugeonol, zinc (Duke, 2001). Kandungan lain berupa karbohidrat, seperti d-glukosa (41,7%), d-fruktosa (9,3%), dan gula tak mereduksi (4%) (Sudarsono, 1996).
5. Khasiat dan penggunaan
Pada umumnya bagian dari rumput teki yang digunakan sebagai bahan obat
adalah bagian umbi yang telah dibersihkan dari serabut yang melekat (Sudarsono,
1996). Kegunaan rumput teki antara lain sebagai obat kuat, obat sakit perut, obat
untuk memperlancar kencing, obat cacingan, obat peluruh serta pengatur haid,
sebagai air pencuci anti keringat, dalam bentuk air rebusan sebagai obat untuk
penyakit mulut (obat kumuran), obat sakit gigi (akar tongkat dimamah atau sebagai
bubuk), dan untuk obat borok. Di daerah Jawa, Akar Teki digunakan sebagai anti
kejang yang digunakan pada sakit mencret. (Anonim, 2000b).
Di Cina telah disebutkan penggunaan rumput teki pada kanker cervix / leher
rahim (Anonim,1996). Begitu pula disebutkan bahwa tinctura Cyperus rotundus L.
dapat membantu dalam penanganan kanker cervix / leher rahim (Anonim,2006b).
6. Penelitian mengenai rumput teki
Beberapa penelian mengenai rumput teki antara lain : yang pertama adalah
efek anthelmintik dari umbi rumput teki (Rahayu, 1989) yang menunjukkan
kemungkinan adanya senyawa terpen, fenol, dan fenolat pada umbi rumput teki yang
berkhasiat anthelmintik ; kedua adalah isolasi dan identifikasi flavonoid dari umbi
rumput teki (Rahardjo, 1990), hasilnya ditemukan paling sedikit tiga senyawa
flavonoid golongan auron ; ketiga adalah identifikasi mikroskopis umbi rumput teki
umbi rumput teki memberikan daya antiinflamasi pada tikus ; keempat adalah khasiat
anti radang dari ekstrak etanol umbi rumput teki (Rahardja, 1994) , hasilnya umbi
rumput teki memberikan daya antiinflamasi secara per oral dan intraperitoneal, dan
terakhir adalah daya melarutkan minyak atsiri dan infus umbi rumput teki terhadap
batu ginjal kalsium secara in vitro (Suhartiningsih, 1996) yang hasilnya
menunjukkan kemampuan umbi rumput teki melarutkan batu ginjal tersebut.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
pada objek uji yang digunakan, yaitu umbi rumput teki. Sementara yang
membedakan adalah subjek uji yang digunakan, dimana pada penelitian ini
digunakan sel HeLa sebagai subjek uji.
B. Kanker
1. Tinjauan umum
Kanker, disebut juga neoplasma, merupakan nama umum untuk sekumpulan
penyakit yang perjalanannya bervariasi, dengan karakteristik pertumbuhan sel yang
tidak terkontrol, merusak jaringan setempat dan sekitar, serta bisa menyebar luas
(distant metastases) (DiPiro et al, 2002). Kanker dapat tumbuh di semua sel atau jaringan tubuh, seperti sel kulit, sel darah, sel otak, jaringan ikat, dan sebagainya
sehingga dikenal berbagai jenis kanker tergantung sel atau jaringan tempat dia
tumbuh (Dalimartha, 2004).
Dalam keadaan normal, terdapat kontrol yang seimbang antara kecepatan
pertumbuhan sel dengan pengendalian pertumbuhan sel. Kontrol keseimbangan
penyembuhan luka dan penggantian jaringan tubuh ; dimana selama proses ini
berlangsung, diferensiasi sel terjadi secara wajar dan proliferasi akan terhenti saat
tidak dibutuhkan lagi. Sementara pada sel kanker, proses keseimbangan ini
terganggu, proliferasi sel terjadi secara terus-menerus tanpa adanya diferensiasi sel
(Macdonald and Ford, 1997).
Istilah kanker sering dikacaukan dengan tumor padahal ada perbedaan yang
mendasar ; dimana kanker adalah neoplasma yang menyebar dan ganas sedangkan
tumor adalah neoplasma yang tidak menyebar dan tidak ganas (Wijoyo, 2000).
Tumor dapat dibedakan menjadi dua, yaitu benign (jinak) dan malignant (ganas). Benign tumor umumnya jarang mengancam kehidupan, tumbuh dalam “kapsul” yang membatasi ukurannya dan memelihara karakteristik sel asal dan biasanya
berdiferensiasi dengan baik. Malignant tumor bersifat merusak jaringan sekitar dan
menyebar ke area yang berbeda dalam tubuh untuk kemudian mengalami
pertumbuhan lebih lanjut atau metastasis (Macdonald and Ford, 1997).
2. Karsinogenesis
Mekanisme terjadinya kanker tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Kanker
atau neoplasma, diduga berkembang dari sel dimana mekanisme normal
pertumbuhan dan perkembangbiakannya diubah (DiPiro et all, 2002). Suatu sel normal berubah menjadi kanker karena adanya satu atau lebih mutasi pada DNA-nya
dengan hereditas bawaan/diwariskan. Perkembangan sel kanker merupakan sebuah
proses yang multi-kompleks, meliputi tidak hanya satu perubahan genetik, tetapi juga
tumor), yang kesemuanya meningkatkan kemungkinan terjadinya perubahan genetik
yang mengarah pada terjadinya kanker (Rang et al, 2003).
Menurut Rang dkk (2003), terdapat dua kategori perubahan genetik yang
mengarah pada terjadinya kanker :
a. Aktivasi dari proto-oncogenes menjadi oncogenes
Proto-oncogenes adalah gen yang secara normal mengatur pembelahan sel, apoptosis dan diferensiasi. Proto-oncogenes berubah menjadi oncogenes
ketika ada virus atau agen karsinogen.
b. Inaktivasi gen-gen penekan tumor (tumour suppressor genes)
Pada sel normal terdapat gen-gen yang memiliki kemampuan untuk
menekan pertumbuhan tumor yang kemudian dikenal dengan tumour suppressor
genes atau antioncogenes. Terdapat bukti bahwa mutasi dari gen ini ditemukan dalam berbagai jenis kanker yang berbeda. Hilangnya fungsi dari gen ini
merupakan titik kritis dalam karsinogenesis.
Fase pertama dari proses karsinogenesis adalah initiation (inisiasi), yaitu
kerusakan genetik sel normal akibat bahan-bahan karsinogenik. Jika tidak diperbaiki,
kerusakan genetik ini dapat menyebabkan mutasi seluler yang irreversibel. Selama
fase kedua, yang dikenal sebagai promotion (promosi), adanya karsinogen atau
faktor lain akan menyebabkan sel yang termutasi bertumbuh melebihi sel normal.
Hal mendasar yang membedakan initiation dan promotion adalah sifat promotion
yang reversibel, namun tetap memungkinkan sel termutasi menjadi bersifat kanker.
perubahan genetik yang selanjutnya akan meningkatkan proliferasi sel. Unsur kritis
dalam fase ini meliputi invasi tumor ke jaringan lokal dan perkembangan metastasis
(DiPiroet al, 2002).
3. Kanker leher rahim (Cervix)
Serviks atau leher rahim atau mulut rahim merupakan bagian ujung bawah
rahim yang menonjol ke liang sanggama (vagina). Kanker leher rahim berkembang
secara bertahap, tetapi progresif (Dalimartha, 2003). Tanda-tanda terserang kanker
leher rahim antara lain sering mengalami keputihan, vagina sering mengeluarkan
darah ketika sedang berhubungan intim, vagina berbau, kurang darah, berat badan
menurun, dan sulit buang air kecil dan besar (Kardinan, 2004). Bila kanker sudah
memasuki stadium invasif, keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan
dapat bercampur dengan darah ; timbul nyeri di tempat-tempat lain bila sudah terjadi
penyebaran (metastasis), dan pada stadium lanjut, badan menjadi kurus karena
kurang gizi, edema kaki, iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah
(rektum), terbentuk fistel vesikovaginal atau rektovaginal, dan gejala-gejala akibat
metastasis jauh (Dalimartha, 2004).
Penyebab pasti kanker serviks tidak diketahui. Infeksi human
papillomavirus (HPV) yang ditularkan dengan hubungan seksual dipandang sebagai faktor resiko utama kanker serviks (Anonim, 2006c). HPV merupakan suatu
kelompok sekitar 100 virus yang menyebabkan terjadinya benjolan di berbagai
tempat pada tubuh, termasuk serviks. Strain serviks HPV dibagi menjadi dua
kategori yaitu resiko tinggi dan resiko rendah berdasarkan pengaruhnya terhadap
benjolan genital tetapi termasuk kategori resiko rendah karena jarang berkembang ke
arah kanker. Sementara strain HPV lain, seperti HPV 16, 18, 33, 35, dan 45,
dikategorikan resiko tinggi karena menunjukkan adanya hubungan dengan
peningkatan resiko untuk kanker serviks dan kanker vaginal (Anonim, 2006c).
Wanita yang melakukan seks pada usia muda, pasangan berganti-ganti, dan perokok
memiliki resiko lebih besar terpapar HPV.
4. Senyawa Antikanker
Antikanker merupakan obat yang indeks terapinya sempit. Sebagian besar
dapat menimbulkan efek toksik yang berat, yang mungkin sampai menyebabkan
kematian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Antikanker diharapkan
memiliki toksisitas selektif, artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak
jaringan normal. Karena antikanker umumnya bekerja menekan proliferasi sel yang
sedang aktif, maka efek sampingnya terutama mengenai jaringan atau sel normal
dengan proliferasi tinggi, yaitu sumsum tulang, epitel germinativum, sistem
hemopoetik, folikel rambut dan jaringan limfosit. Terapi hanya dapat dikatakan
berhasil baik, bila dosis yang digunakan dapat mematikan sel tumor yang ganas dan
tidak terlalu mengganggu sel normal yang berproliferasi (Ganiswara,1995).
C. Protein
Protein merupakan suatu makromolekul yang terdiri dari asam-asam amino
yang tersusun dalam suatu rantai linear dan tergabung dalam ikatan peptida
(Anonim, 2006d). Protein dalam tumbuhan terbagi menjadi dua yaitu protein biji dan
antaranya mungkin berperan dalam melindungi tumbuhan dari serangan mikroba.
Protein beracun lain memberikan harapan sebagai antikanker dan penyakit lain yang
disebabkan oleh virus (Robinson, 1991).
Dalam tumbuhan, protein dapat dilarutkan dengan melumatkan jaringan
tumbuhan dengan larutan garam dan kemudian diendapkan dengan mengubah pH
ekstrak (Harborne, 1987). Pengendapan protein dengan fraksinasi dimaksudkan
untuk memperoleh protein murni dalam fraksi tertentu. Protein yang tidak diinginkan
dalam suatu larutan campuran protein dapat dihilangkan dengan metode salting out
jika kelarutan protein dalam berbagai konsentrasi larutan garam diketahui (Anonim,
2006d). Fraksinasi protein dengan jalan pengendapan dapat dilakukan dengan
menggunakan amonium sulfat dalam konsentrasi tertentu (Poedjiadi, 1994). Yang
pertama kali mengendap adalah globulin dan dapat dipisahkan dengan pemusingan
atau filtrasi, albumin akan mengendap bila larutan sudah jenuh dengan amonium
sulfat (Sadikit, 1993). Hasil pengendapan didialisis untuk menghilangkan amonium
sulfat yang digunakan untuk mengendapkan protein. Proses dialisis didasarkan pada
perbedaan konsentrasi antara dua permukaan membran dialisis. Kecepatan dari
dialisis dapat ditingkatkan dengan meningkatkan gradien konsentrasi dari larutan
internal dan eksternal. Molekul kecil, dalam hal ini adalah amonium sulfat, akan
keluar dari kantong dialisis dan protein yang mempunyai bobot molekul besar akan
tetap tertinggal di dalam kantong dialisis. Hal ini dapat terjadi karena membran
dialisis bersifat semipermeabel. Proses dialisis akan berhenti setelah tercapai keadaan
Amonium sulfat merupakan garam yang umum digunakan untuk tujuan
pengendapan protein karena sifatnya yang mudah larut dalam buffer dingin
(Anonim,2006e). Amonium sulfat banyak digunakan karena daya larutnya yang
tinggi, tidak toksik pada banyak enzim, murah, dan dapat menstabilkan protein, inert,
dan dapat mencegah aktivitas enzim proteolitik.
D. Kultur Sel
Kultur sel merupakan proses dimana sel, baik prokariotik maupun
eukariotik ditumbuhkan dalam suatu kondisi yang dikendalikan. Dalam prakteknya,
istilah kultur sel digunakan untuk menyebut hasil kultur sel yang diturunkan dari sel
eukariotik multiseluler, khususnya sel hewan (Anonim,2006f). Pemilihan sel dalam
suatu uji tergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Umumnya dipilih sel yang cepat
tumbuh dan mudah penanganannya.
1. Sel HeLa
HeLa cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cerviks) manusia yang merupakan sel epitel leher rahim yang telah diubah oleh human
papilloma virus 18 (HPV 18) sehingga berbeda dengan sel leher rahim normal. Sel ini diisolasi pada tahun 1951 dari seorang wanita penderita kanker leher rahim
bernama Henrietta Lacks, berusia 31 tahun berasal dari Baltimore, USA (Anonim,
2006g). HeLa cell line ini cukup aman dan umum digunakan untuk kepentingan kultur sel.
Medium RPMI 1640 yang digunakan untuk menumbuhkan sel HeLa
vitamin yang diperlukan untuk pertumbuhan sel. Medium ini ada yang dilengkapi
dengan glutamin maupun tidak, serta phenol red sebagai pH indikator. RPMI yang
mengandung glutamin biasanya hanya pada yang berbentuk serbuk karena bersifat
tidak stabil dalam cairan, tetapi diperlukan untuk pertumbuhan sel, sehingga sering
ditambahkan pada medium sesaat sebelum digunakan (Mahardika, 2004).
2. Sel Vero
Sel Vero ditemukan pertama pada tahun 1962 oleh Yasumura dan Kawakita
di Universitas Chiba di Chiba, Jepang. Sel Vero diambil dari ginjal kera dewasa
(jenis African Green Monkey) yang sehat. Selain sering digunakan dalam produksi vaksin, sel Vero juga sering digunakan untuk mendeteksi Verotoksin (Anonim,
2006h).
E. Uji Sitotoksisitas
Pengembangan obat baru untuk identifikasi agen kemoterapetik baru bagi
penyakit kanker meliputi evaluasi pra-klinik yang luas dengan melibatkan banyak
senyawa kimia untuk mendeteksi aktivitas anti-neoplastic (Freshney, 1986). Uji
sitotoksisitas merupakan perangkat yang cepat dan cost-effective untuk menguji
senyawa sebelum mengalami proses pengembangan yang mahal dan membantu
memilih kandidat senyawa yang optimal (Anonim,2006i).
Uji sitotoksisitas merupakan uji toksisitas secara in vitro pada suatu kultur
sel. Metode in vitro mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan metode in vivo,
yakni metode in vitro lebih ekonomis, lebih mudah dan ditinjau dari segi
vivo. Namun kerugian in vitro adalah kadang-kadang tidak memberikan efek senyawa uji yang sama dengan bila diberikan secara in vivo (Freshney, 1986).
Uji MTT pertama kali dideskripsikan oleh Mosmann pada 1983. Uji ini
didasarkan pada aktivitas enzim mitochondrial dehydrogenase dari sel hidup
(Anonim, 2006j). Pada uji MTT, garam tetrazolium
(3-(4,5-dimetil-tiazol-2-il)2,5-dipheniltetrazolium bromid) secara aktif diabsorbsi ke dalam sel hidup dan direduksi dalam mitokondrial membentuk suatu produk formazan berwarna ungu. Produk
tersebut terakumulasi di dalam sel karena tidak bisa keluar menembus membran sel
(Barille, 1997).
(Anonim, 2006k)
Gambar 1. Struktur molekul dari MTT dan hasil reduksinya
Uji MTT merupakan sistem uji kolorimetri yang mengukur reduksi
komponen tetrazolium (MTT) oleh mitokondria sel hidup menjadi produk formazon
yang tidak larut. Setelah inkubasi sel dengan reagen MTT kurang lebih 2 – 4 jam,
larutan detergen ditambahkan untuk melisiskan sel dan melarutkan kristal warna
yang terbentuk. Sampel kemudian dibaca menggunakan ELISA plate reader pada
panjang gelombang 570 nm. Jumlah warna yang dihasilkan sebanding dengan jumlah
sel yang hidup (Anonim, 2006j).
Menurut National Cancer Institute, senyawa baru yang akan dikembangkan
sebagai antikanker harus mempunyai nilai LC50 kurang dari 20 µg/ml (Suffness cit,
Candra, 2006).
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini bersifat trial dan error untuk mengetahui hubungan empiris
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian “Sitotoksisitas Fraksi Protein Umbi Rumput Teki (Cyperus
rotundus L.) FP20, FP40, FP60, dan FP80 Terhadap Sel HeLa” ini termasuk penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel
a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi fraksi protein
umbi rumput teki FP20, FP40, FP60 dan FP80 dengan seri kadar 125µg/ml ; 250µg/ml ;
500 µg/ml ; 1000 µg/ml ; 2000 µg/ml dan 4000 µg/ml.
b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah prosentase kematian sel
HeLa dan sel Vero.
c. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini yaitu :
1) Medium tumbuh sel dikendalikan dengan menggunakan medium RPMI 1640
yang mengandung FBS (Fetal Bovine Serum) 10% untuk sel HeLa dan medium
M199 untuk sel Vero.
2) Tempat tumbuh dan waktu pemanenan umbi rumput teki dikendalikan dengan
mengambil umbi pada tempat dan waktu yang sama.
3) pH serta suhu pembuatan dan penyimpanan fraksi protein, dikendalikan pada pH
7,2 dan suhu ± 4oC.
d. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini yaitu kematian sel
HeLa - sel Vero secara alami dan umur tumbuhan rumput teki.
2. Definisi operasional
a. Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur
sel HeLa dan sel Vero.
b. Fraksi protein (FP) / protein fraction (PF) adalah bagian dari tumbuhan
yang berisi protein yang didapat dengan cara menambahkan amonium
sulfat pada derajat kejenuhan tertentu.
c. LC50 adalah konsentrasi fraksi protein yang dibutuhkan untuk membunuh
sebanyak 50% populasi sel uji.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat-alat gelas,
stamper, mortir, timbangan analitik (AND ER-400 H), alumunium foil, magnetic
stirrer, tabung conical, autoklaf, tissue culture flask, swing rotor sentrifuge (PLC), inkubator (Nuaire), mikropipet, membran dialisis (Sigma), lemari pendingin, cell
counter (Nunc), 96-well plate (Nunc), spektrofotometer UV (Cecil CE-292), ELISA reader (SLT 340 ATC), laminar air flow (Nuaire), mikroskop (Olympus IMT-2), haemocytometer (Nebauer), kain monel, gloves, masker, autoklaf, dan freezer.
2. Bahan
a. Sampel umbi rumput teki yang diambil di daerah Sumberarum, Moyudan,
b. Kultur sel HeLa dan sel Vero yang diambil dari stok Laboratorium Hayati
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
c. Pereaksi-peraksi yang digunakan untuk preparasi fraksi protein umbi
rumput teki yaitu :
1) Larutan dapar natrium fosfat 5 mM pH 7,2 (Merck)
2) Larutan dapar natrium fosfat 5 mM pH 7,2 yang mengandung 0,14
M NaCl (Merck)
3) Amonium sulfat(Merck)
d. Pereaksi-pereaksi untuk uji sitotoksisitas
1) Medium pencuci: RPMI 1640 (Sigma), natrium bikarbonat, Hepes
2) Bahan untuk isolasi sel Vero: tripsin 0,25%
3) Medium penumbuh: RPMI 1640, FBS (Fetal Bovine Serum) 10%,
Penisilin-Streptomisin 1% (Gibco), dan Fungison 0,5% (Gibco).
4) Reagen Stopper : SDS (sodium dodeksil sulfat) dalam HCl 0,01 N (Merck)
5) MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide)
dalam media RPMI 1640 untuk sel HeLa dan media M199 untuk sel
Vero (Sigma)
D. Tata Cara Penelitian
1. Determinasi tumbuhan
Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian yaitu umbi rumput teki.
Fitokimia, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan telah
dipastikan pula kebenarannya menggunakan acuan baku Flora of Java (Backer dan
Backuizen van den Brink, 1968).
2. Pengumpulan umbi rumput teki
Umbi rumput teki untuk penelitian ini diambil dari Tepi Sungai Progo,
Moyudan, Sleman, Yogyakarta.
3. Sterilisasi alat dan bahan
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh organisme, maka alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini harus disterilkan terlebih dahulu. Alat-alat
tersebut dicuci bersih dengan sabun dan dikeringkan, setelah itu dibungkus dengan
alumunium foil dan disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C
(Anonim, 1995).
4. Preparasi fraksi protein dari umbi rumput teki
Bahan (umbi rumput teki) dikumpulkan segar, diseleksi kemudian dicuci
bersih dengan air mengalir. Umbi dipotong kecil-kecil, kemudian dimasukkan dalam
plastik dan disimpan dalam freezer selama dua malam. Umbi ditimbang sebanyak
400 g (gram) kemudian ditumbuk halus sambil ditambahkan sesedikit mungkin dapar
natrium fosfat 5 mM pH 7,2 yang mengandung 0,14 M NaCl pada suhu ±4ºC.
Kemudian diperas dengan kain monel, ditampung dalam tabung conical yang bersih
dan steril. Cairan yang diperoleh disentrifugasi dengan 2010 xG selama 20 menit.
Supernatan dikumpulkan dalam beaker glass 1000 ml dan diendapkan proteinnya
lagi 2010 xG selama 20 menit pada suhu ±4°C. Supernatan (1) ditampung dalam
beaker glass 1000 ml sedangkan pelet yang diperoleh dilarutkan dalam sesedikit
mungkin larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2 tanpa NaCl; kemudian didialisis
dengan tabung dialisis dalam larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2 selama
semalam. Hasil dialisis disentrifus 2010 xG selama 20 menit pada suhu 4°C. Pelet
kemudian dibuang dan supernatan merupakan fraksi protein umbi rumput teki FP20.
Supernatan (1) kemudian ditambah dengan 74,2 g amonium sulfat, stirrer
semalam. Kemudian disentrifus lagi 2010 xG selama 30 menit pada suhu ±4°C.
Supernatan (2) ditampung dan pelet yang diperoleh dilarutkan dalam sesedikit
mungkin larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2 ; kemudian didialisis selama
semalam. Hasil dialisis disentrifus 2010 xG selama 20 menit pada suhu ±4°C. Pelet
dibuang dan supernatan merupakan sampel fraksi protein umbi rumput teki FP40.
Supernatan (2) kemudian ditambah dengan 87,22 g amonium sulfat, stirrer
semalam. Kemudian disentrifus lagi 2010 xG selama 30 menit pada suhu ±4°C.
Supernatan (3) ditampung dan pelet yang diperoleh dilarutkan dalam sesedikit
mungkin larutan dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2 ; kemudian didialisis selama
semalam. Hasil dialisis disentrifus 2010 xG selama 20 menit pada suhu ±4°C. Pelet
dibuang dan supernatan merupakan sampel fraksi protein umbi rumput teki FP60.
Supernatan (3) kemudian ditambah dengan 98,8 g amonium sulfat, stirrer
semalam. Kemudian disentrifus lagi 2010 xG selama 30 menit pada suhu ±4°C.
Supernatan ditampung dan pelet yang diperoleh dilarutkan dalam sesedikit mungkin
Hasil dialisis disentrifus 2010 xG selama 20 menit pada suhu ±4°C. Pelet dibuang
dan supernatan merupakan sampel fraksi protein umbi rumput teki FP80.
5. Pengukuran kadar protein dengan matode spektrofotometri UV
Fraksi protein umbi rumput teki FP20, FP40, FP60, dan FP80 masing-masing
sebanyak 10µl dimasukkan ke dalam kuvet 1 ml lalu ditambah 990 µl larutan dapat
natrium fosfat 5mM. Ukur serapan (absorbansi) menggunakan spektrofotometer UV
pada panjang gelombang 280nm dan 260nm dengan blanko larutan dapar natrium
fosfat.
Data absorbansi tiap-tiap fraksi protein umbi rumput teki kemudian dihitung
dengan rumus berikut ini untuk mendapatkan kadar protein dalam mg/ml.
(Layne, 1957 cit Richterich & Colombo, 1981)
6. Preparasi sel HeLa
a. Propagasi sel HeLa. Sel diambil dari tangki nitrogen cair, kemudian
segera dicairkan dalam penangas air 37oC, kemudian ampul disemprotkan dengan
etanol 70%. Ampul dibuka dan sel HeLa dipindahkan dalam tabung conical steril
yang berisi medium RPMI 1640. Suspensi sel disentrifuse 2010 xG selama 5 menit,
supernatan dibuang, diganti dengan medium RPMI yang baru, kemudian
disuspensikan perlahan. Suspensi sel lalu disentrifuse 2010 xG kembali selama 5
menit kemudian dicuci ulang sekali lagi. Supernatan dibuang, pelet ditambahkan 1
ml medium penumbuh yang mengandung 10% FBS. Resuspensikan secara perlahan
diinkubasikan dalam inkubator dengan suhu 37oC dengan aliran 5% CO2. Setelah 24
jam, medium penumbuh diganti dan sel ditumbuhkan hingga konfluen dan
jumlahnya cukup untuk penelitian.
b. Panen sel HeLa. Setelah jumlah sel cukup, media diganti dengan RPMI
1640 baru sebanyak 5 ml kemudian sel dilepaskan dari dinding flask dengan cara
diresuspensikan menggunakan pipet Pasteur. Sel dipindahkan dalam tabung conical
steril dan ditambahkan medium RPMI sampai volume 10 ml dan disentrifuse 2010
xG selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet sel diresuspensikan perlahan
dengan 1 ml medium. Sel kemudian dihitung menggunakan haemocytometer.
Suspensi sel ditambah sejumlah medium sehingga memperoleh konsentrasi sel
sebesar 3x104/100 μl dan siap dipakai untuk penelitian.
7. Preparasi Sel Vero
a. Propagasi sel Vero. Sel diambil dari nitogen cair, segera dicairkan dalam
penangas air 37º C, kemudian ampul disemprot dengan etanol cair 70%. Ampul
dibuka dan sel dipindahkan ke dalam tabung steril yang berisi medium M199.
Suspensi sel disentrifuse 2010 xG selama 5 menit, supernatan dibuang, diganti M199
baru, disuspensikan pelan-pelan. Suspensi sel disentrifuse lagi 2010 xG selama 5
menit, cuci ulang, supernatan dibuang. Sel ditambah 1ml medium pertumbuhan yang
mengandung 10% PBS dan diresuspensikan sehingga homogen. Kemudian sel
ditumbuhkan dalam beberapa buah tabung biakan kecil, diinkubasikan dalam
inkubator aliran 5% CO2. Setelah 24 jam, medium diganti dan sel ditumbuhkan
b. Panen sel Vero. Setelah jumlah sel cukup siap panen, sel dicuci dengan
fBS satu kali sebanyak 3 ml. Kemudian diberi tripsin 0,25% sebanyak 1ml untuk
melepaskan sel-sel. Setelah itu dituang dalam conical steril yang sudah berisi M199
sebanyak 7 ml, bilas dengan 3ml FBS 10%. Hasil bilasan dituang ke conical yang
sama, sentrifuse 2010 xG selama 5 menit. Sel dicuci 1x lagi dengan menggunakan
medium yang sama untuk menghilangkan sisa tripsin. Pelet ditambah media kultur
sebanyak 1ml, dihitung jumlah selnya dengan menggunakan haemocytometer.
Suspensi sel ditambah medium sehingga memperoleh konsentrasi sel sebesar 3x104
sel/100µl dan siap digunakan.
8. Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki
a. Sel HeLa. Sebanyak 100 μl suspensi sel HeLa dengan kepadatan 3x104/100 μl dimasukkan dalam sumuran-sumuran 96-well plate yang telah berisi 100 μl fraksi protein umbi teki dengan kadar 200 µg/ml pada sumuran A1, B1 dan C1 pada kolom 1, kemudian pada sumuran A2, B2 dan C2 di kolom 2 ditambahkan 100
μl suspensi sel HeLa pada sumuran yang telah berisi 100 μl fraksi protein umbi rumput teki dengan kadar 100 µg/ml, demikian seterusnya hingga diperoleh seri
kadar yang terendah yang digunakan dalam penelitian. Kemudian diinkubasi
bersama fraksi protein satu seri kadar selama 24 jam. Replikasi pembacaan dilakukan
3 kali dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap 6 baris sumuran. Sebagai
kontrol, 100 µl suspensi sel ditambahkan ke dalam sumuran yang berisi medium
RPMI 1640 dan dapar natrium fosfat 5 mM pH 7,2 , sedangkan untuk faktor koreksi,
dapar natrium fosfat 5 mM pH 7,2. Selanjutnya 96-well plate diinkubasikan selama
24 jam pada suhu 37oC, dalam inkubator dengan aliran 5% CO2.
Pada akhir inkubasi, ke dalam masing-masing sumuran ditambahkan 10 μl MTT 2,5 μg/ml dalam media RPMI 1640, lalu diinkubasikan semalam pada suhu 37oC, dalam inkubator dengan aliran CO2 5%. Sel hidup akan bereaksi dengan MTT
dan membentuk warna ungu. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 μl reagen stopper pada setiap sumuran dan inkubasi semalam pada suhu kamar. Serapan setiap sumuran dibaca deangan ELISA reader pada panjang gelombang 550 nm. Besarnya
serapan berbanding lurus dengan jumlah sel yang hidup.
b. Sel Vero. Uji sitotoksisitas fraksi protein umbi rumput teki pada sel Vero
dilakukan dengan menggunakan langkah yang sama dengan uji sitotoksisitas pada sel
HeLa. Perbedaannya hanya terletak pada media yang digunakan, yakni menggunakan
M199 untuk sel Vero.
E. Analisis Hasil
Pada uji sitotoksisitas dengan menggunakan metode MTT ini, serapan
(absorbansi) terbaca menunjukkan jumlah sel yang hidup. Hasil akhir uji
sitotoksisitas yaitu persentase kematian sel yang dihitung menggunakan modifikasi
rumus Abbot, dengan persamaan berikut:
% Kematian sel = x 100% A
C) (B
Keterangan :
A = Rata-rata absorbansi kontrol B = Rata-rata absorbansi perlakuan
C = Rata-rata absorbansi perlakuan tanpa sel
(Meyer et al, 1982 ; cit Candra, 2006)
Perhitungan statistika dilakukan dengan menggunakan analisis probit untuk
mengetahui harga LC50, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
A. Determinasi Tumbuhan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi rumput teki
(Cyperus rotundus L.). Untuk mencegah terjadinya kesalahan dan menjamin bahwa
yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar-benar Cyperus rotundus L., maka
terlebih dahulu dilakukan determinasi menurut Backer dan Brink Jr (1968).
Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia, Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dari determinasi didapat kunci Cyperaceae
1b-2a-3b-4b-6b-7a-8a-11. Cyperus -1b-2b-15b-17b-19b-27b-37b-38b-39b-42b-43b-44a-45b-46a-Cyperus rotundus L. Hasil determinasi menyatakan bahwa tumbuhan
yang digunakan dalam penelitian adalah benar Cyperus rotundus L.
B. Pengumpulan Umbi Rumput Teki
Pada umumnya, rumput teki tumbuh mengumpul membentuk rumpun.
Umbi rumput teki yang merupakan bahan utama dalam penelitian ini diambil dari
daerah Sumberarum, Moyudan, Sleman (tepi Sungai Progo), Yogyakarta pada bulan
Juli 2006. Umbi yang telah dikumpulkan kemudian dibersihkan dari tanah, kerikil,
ataupun benda asing lain yang terbawa pada saat pengumpulan umbi rumput teki.
C. Sterilisasi Alat dan Bahan Penelitian
Sebelum memulai penelitian, terlebih dahulu dilakukan sterilisasi alat-alat
yang akan digunakan selama penelitian. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya
kontaminasi, baik dari mikroorganisme maupun senyawa-senyawa asing lain yang
dapat mempengaruhi hasil penelitian. Alat-alat tersebut dikumpulkan, dicuci bersih
dengan sabun, dikeringkan, dan dibungkus dengan alumunium foil kemudian
disterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoklaf selama 15 menit
pada suhu 1210C. Prinsip kerja autoklaf adalah menggunakan uap panas bertekanan
yang dapat menyebabkan koagulasi dan denaturasi protein pada bakteri.
D. Preparasi Sampel Fraksi Protein Umbi Rumput Teki
Senyawa uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah fraksi protein umbi
rumput teki. Umbi rumput teki segar yang telah dipanen dicuci bersih dengan air
mengalir untuk menghilangkan berbagai pengotor yang kemungkinan besar masih
menempel. Umbi rumput teki kemudian dipotong kecil-kecil dan disimpan dalam
freezer semalaman yang dimaksudkan untuk mempermudah penumbukan bahan. Sebanyak 400 g umbi rumput teki ditumbuk halus dalam mortir diatas wadah berisi
es dengan penambahan sesedikit mungkin larutan dapar natrium fosfat 5 mM yang
mengandung NaCl. Dapar ini berfungsi untuk mengekstraksi protein dari selnya dan
NaCl berfungsi untuk mempermudah proses ekstraksi dan melarutkan protein serta
membuatnya stabil dalam buffer pengekstrak. Semua proses dilakukan pada suhu
rendah (±4ºC) untuk mencegah denaturasi dan reaksi enzim proteolisis yang dapat
merusak protein umbi. Selanjutnya, bahan diperas menggunakan kain monel dan
cairan yang diperoleh disentrifugasi 2010 xG selama 20 menit. Dari proses
sentrifugasi diperoleh supernatan yang merupakan ekstrak gubal umbi rumput teki.
Protein dalam ekstrak gubal umbi rumput teki selanjutnya diendapkan
dilakukan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk dengan pengaduk (stirer)
magnetik untuk menghindari amonium sulfat terkonsentrasi pada satu tempat.
Sebanyak 74,6 g amonium sulfat ditambahkan untuk 700 ml ekstrak gubal umbi
rumput teki untuk mendapatkan FP20. Proses dilanjutkan dengan stirer semalaman
agar terjadi keseimbangan antara larutan dan agregat protein. Didapatkan 700 ml
supernatan yang kemudian ditambah 74,2 g amonium sulfat untuk mendapatkan FP40.
Dengan proses yang sama, didapat 720 ml supernatan yang kemudian ditambah
87,22 g amonium sulfat untuk mendapatkan FP60. Terakhir, FP80 didapat dengan
menambahkan 98,8 g amonium sulfat pada 760 ml supernatan. Semua proses
pengendapan bertingkat ini dilakukan pada suhu ±4ºC.
Protein dapat mengendap karena adanya garam konsentrasi tinggi yang
bersifat lebih mudah larut dibanding protein, pada lingkungan dimana protein berada.
Adanya amonium sulfat yang bersifat polar akan berinteraksi dengan bagian polar
dari protein dan menarik air yang terikat pada protein. Akibatnya, bagian non polar
dari protein akan bergabung membentuk agregat yang tidak larut dalam air sehingga
protein akan mengendap saat sentrifugasi. Mekanisme ini dikenal dengan nama
salting out.
Dalam setiap tingkat fraksi protein, endapan yang diperoleh dilarutkan
dengan sesedikit mungkin dapar natrium fosfat 5mM pH 7,2 tanpa NaCl kemudian
didialisis. Proses dialisis dilakukan dengan tujuan pemurnian protein untuk
menghilangkan amonium sulfat. Masing-masing fraksi protein dimasukkan pada
berlangsung secara difusi pasif. Karena adanya gradien kadar yang besar di dalam
dan di luar membran dialisis, maka amonium sulfat akan berpindah dari kadar
amonium sulfat yang tinggi di dalam membran dialisis ke kadar amonium sulfat yang
rendah di luar membran dialisis. Membran dialisis yang bersifat semi permeabel
dengan ukuran pori-pori 15.000-20.000 Dalton memungkinkan membran untuk
menahan molekul-molekul besar seperti protein tetapi melewatkan molekul-molekul
kecil seperti amonium sulfat. Dialisis dilakukan semalaman untuk memaksimalkan
proses dialisis agar didapat fraksi protein yang murni. Untuk menjaga gradien kadar
amonium sulfat di dalam dan di luar membran dialisis maka dilakukan penggantian
dapar pada waktu tertentu.
E. Pengukuran Kadar Protein Dengan Metode Spektrofotometri UV
Fraksi protein umbi rumput teki yang diperoleh selanjutnya diukur kadar
proteinnya menggunakan spektrofotometer UV karena protein memiliki residu asam
amino aromatik seperti tirosin, triptofan dan fenilalanin yang mengandung gugus
auksokrom dan kromofor sehingga mampu menyerap sinar UV. Pengukuran
dilakukan pada panjang gelombang 280 nm karena protein memiliki serapan
maksimal pada panjang gelombang tersebut. Selain itu, dilakukan pula pengukuran
pada panjang gelombang 260 nm sebagai faktor koreksi karena adanya asam nukleat
dan komponennya serta senyawa lain yang mengandung cincin purin dan pirimidin
yang mengganggu pembacaan dan memberikan serapan yang tidak tepat.
Senyawa-senyawa tersebut memberikan serapan yang kuat disekitar panjang gelombang 260
Data yang didapat berupa absorbansi fraksi protein umbi rumput teki.
Selanjutnya kadar protein dihitung dengan rumus perhitungan fraksi protein menurut
Layne (lampiran 3). Dari hasil perhitungan diperoleh kadar protein untuk FP20, FP40,
FP60, dan FP80 berturut-turut adalah 25,95 mg/ml; 13,62 mg/ml; 33,47 mg/ml; dan
40,41 mg/ml.
F. Uji Sitotoksisitas Fraksi Protein Umbi Rumput Teki
Dalam penelitian ini, uji sitotoksisitas dilakukan pada sel HeLa dan sel Vero
yang didapat dari Laboratorium Ilmu Hayati Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Uji sitotoksisitas pada sel HeLa dimaksudkan untuk mengetahui potensi ketoksikan
fraksi protein umbi rumput teki terhadap sel HeLa, sedangkan pada sel Vero lebih
dimaksudkan untuk memprediksi selektivitas ketoksikan fraksi protein umbi rumput
teki. Suatu senyawa dikatakan selektif sebagai antikanker apabila mampu
menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel normal.
Uji sitotoksisitas merupakan suatu uji kualitatif dan kuantitatif yang
didasarkan pada kematian sel. Uji kualitatif dilakukan dengan pengamatan morfologi
sel dibawah mikroskop yang meliputi perubahan bentuk dan kepadatan sel kanker
sebelum dan sesudah perlakuan dengan fraksi protein umbi rumput teki. Uji
kuantitatif dilakukan dengan mencari nilai LC50 yaitu kadar yang mampu mematikan
50% populasi sel uji. Analisis LC50 dilakukan dengan analisis probit yang merupakan
salah satu analisis regresi untuk mengetahui hubungan konsentrasi – respon (persen
kematian sel) agar didapat persamaan garis lurus sehingga dapat menentukan nilai
Uji sitotoksisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan metode MTT.
Metode ini dipilih karena cukup baik, mudah, cepat, akurat, tidak menggunakan
bahan radioaktif, dan sensitif karena mampu menghitung jumlah sel yang sedikit.
Pada sel hidup, garam tetrazolium MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl
tetrazolium bromide) secara aktif akan diabsorbsi ke dalam sel dan direduksi oleh enzim reduktase suksinat tetrazolium yang terdapat di dalam rantai respirasi
mitokondria sel membentuk suatu produk berwarna ungu dan tidak larut air yang
disebut kristal formazan (Barille, 1997). Reaksi yang terjadi kemudian dihentikan
dengan pemberian stop solution SDS 1% dalam HCl 0,01N yang juga berfungsi
untuk melarutkan garam formazan sehingga warna ungu yang terbentuk dapat dibaca
absorbansinya dengan ELISA reader. Intensitas warna akan berbanding lurus dengan
nilai absorbansi yang terbaca pada ELISA reader dan juga berbanding lurus dengan
jumlah sel yang hidup.
Uji sitotoksisitas dilakukan dengan menempatkan sel, baik sel HeLa
maupun sel Vero, masing-masing dalam sumuran microplate 96-well dengan
kepadatan 3x104 sel/100 µl media bersama suatu seri kadar fraksi protein umbi
rumput teki yang terdiri dari medium dan fraksi protein, yaitu 4000 µg/ml, 2000
µg/ml, 1000 µg/ml, 500 µg/ml, 250 µg/ml dan 125 µg/ml. Setelah penambahan MTT,
intensitas warna dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 550 nm.
Pengukuran absorbansi dilakukan terhadap kelompok perlakuan, kelompok
perlakuan tanpa sel dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan adalah sel HeLa
ataupun sel Vero dengan perlakuan fraksi protein umbi rumput teki. Kelompok
teki. Pengukuran absorbansi dari perlakuan tanpa sel dimaksudkan sebagai faktor
pengkoreksi absorbansi perlakuan.
Persentase kematian sel merupakan selisih jumlah sel kontrol dengan jumlah
sel perlakuan dibagi dengan jumlah sel kontrol dikalikan 100%. Dalam prakteknya,
untuk mendapatkan prosen kematian sel, data absorbansi yang didapat kemudian
diolah menggunakan rumus (lampiran 4) :
% Kematian sel = x 100% A
C) (B A− −
Dimana A adalah rata-rata absorbansi kontrol, B adalah rata-rata absorbansi
perlakuan, dan C adalah rata-rata absorbansi perlakuan tanpa sel.
Tabel I. Data persentase kematian sel HeLa setelah diinkubasi 24 jam dengan 6 seri konsentrasi FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi rumput teki
Rata-rata Persen Kematian Sel HeLa (%) Seri Kadar
Persen kematian sel HeLa pada tiap fraksi protein menunjukkan adanya
kecenderungan berbanding lurus dengan seri kadar masing-masing fraksi protein
umbi rumput teki, dimana semakin tinggi kadar fraksi protein umbi rumput teki
semakin besar pula persen kematian sel HeLa (Tabel I). Pada data persen kematian
penyimpangan dimana persen kematian diatas 100%. Hal ini diduga akibat nilai
serapan (absorbansi) yang rendah pada kelompok perlakuan atau nilai absorbansi
yang tinggi pada kelompok perlakuan tanpa sel sehingga saat diaplikasikan pada
perhitungan menggunakan rumus persen kematian sel menunjukkan hasil yang
negatif.. Tinggi atau rendahnya nilai absorbansi sendiri dipengaruhi oleh beberapa
hal, antara lain intensitas warna ungu yang terbentuk.
Grafik Kadar Protein Umbi Rumput Teki vs Persen Kematian Sel HeLa
0
125 250 500 1000 2000 4000
Kadar Protein Umbi Rumput Teki (μg/ml)
P
Gambar 2. Grafik persentase kematian sel HeLa setelah diinkubasi 24 jam dengan 6 seri konsentrasi FP20, FP40, FP60, dan FP80 umbi rumput teki
Sementara dalam perbandingan potensi ketoksikan, hasil uji sitotoksisitas
fraksi protein umbi rumput teki menunjukkan kecenderungan FP40 memberikan respon persen kematian sel HeLa paling tinggi dibandingkan tiga fraksi protein umbi
rumput teki yang lain (Gambar 2). Hal ini mungkin dikarenakan protein yang