PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY
DALAM PEMBELAJARAN IPA TERPADU UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS
DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMP
Sahri Ramdan NIM 1303345
Pembimbing : Dr. Ida Hamidah, M.Si.
Program Studi Pendidikan IPA Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perbedaan peningkatan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains antara siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran levels of inquiry dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional berbasis praktikum verifikasi pada pembelajaran IPA terpadu. Metode penelitian yang digunakan yaitu quasi experiment dengan matching only pretest-posttest design. Sampel dalam penelitian ini adalah dua kelas meliputi kelas eksperimen dan kelas kontrol di salah satu SMP Swasta berbasis pondok pesantren modern di Kabupaten Tangerang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes awal dan tes akhir untuk keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains terkait konsep pembiasan cahaya dan alat indera penglihatan, dan skala sikap untuk mengetahui respon siswa terhadap model pembelajaran levels of inquiry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa untuk kelas eksperimen adalah 0,52 (kategori sedang) dan 0,57 (kategori sedang). Adapun rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa untuk kelas kontrol adalah 0,26 (kategori rendah) dan 0,45 (kategori sedang). Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada keterampilan berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol (Sig. = 0,000, p < 0,05), demikian pula pada keterampilan proses sains siswa (Sig. = 0,019, p < 0,05). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa respon siswa terhadap model pembelajaran levels of inquiry pada umumnya positif.
IMPLEMENTATION LEVELS OF INQUIRY IN INTEGRATED SCIENCE LEARNING TO ENHANCE CRITICAL THINKING SKILLS AND SCIENCE PROCESS SKILLS
OF JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENTS
Sahri Ramdan NIM 1303345
Supervisor : Dr. Ida Hamidah, M.Si. Science Education Departement, Postgraduate
Indonesia University of Education
ABSTRACT
The purpose of this study was to find out the differences critical thinking skills and science process skills enhancement among students who use the levels of inquiry model and students who use conventional model with lab verification in integrated science learning. This study was quasi experiment with matching only pretest-posttest design. The study sample consisted of two classes include experimental class and control class in one of private junior high school with modern pesantren-based in Tangerang district. Data was collected by using pretest and posttest on critical thinking skills and science process skills about light refraction and senses of sight concept, and attitudes scale to determine the response of students about levels of inquiry model. The results showed that the average score of N-gain critical thinking skills and science process skills at experimental class were 0.52 (medium category) and 0.57 (medium category). The average score of N-gain critical thinking skills and science process skills at control class were 0.26 (low category) and 0.45 (medium category). Based on the result of data analysis, it was found that there were significant differences in students’ critical thinking skills between the experiment class and control class (Sig. = 0,000, p < 0,05), as well as the students’ science process skills (Sig. = 0,019, p < 0,05). The results showed that students’ response about the levels of inquiry model is generally positive.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian... 1
B. Rumusan Masalah Penelitian ... 5
C. Batasan Masalah Penelitian ... 5
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Manfaat Penelitian ... 6
F. Definisi Operasional ... 7
G. Struktur Organisasi Penulisan ... 8
BAB II LEVELS OF INQUIRY DALAM PEMBELAJARAN IPA TERPADU, KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS ... 9
A. Pembelajaran Inkuiri ... 9
B. Levels of Inquiry (LOI) ... 10
1. Tahapan-tahapan Pembelajaran LOI ... 12
2. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran LOI ... 16
C. Keterampilan Berpikir Kritis (KBK) ... 17
D. Keterampilan Proses Sains (KPS) ... 20
E. Uraian Materi Ajar ... 23
F. Model Keterpaduan IPA yang Dipakai: Nested ... 32
G. Kerangka Pemikiran ... 35
BAB III METODE PENELITIAN ... 49
A. Metode dan Desain Penelitian ... 49
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 50
C. Prosedur Penelitian ... 50
D. Teknik Pengumpulan Data ... 56
E. Teknik Analisis Instrumen Tes ... 57
F. Hasil Judgement dan Uji Coba Instrumen Tes KBK dan KPS ... 60
G. Teknik Analisis Data Hasil Penelitian ... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69
A. Keterampilan Berpikir Kritis (KBK) ... 69
1. Hasil Penelitian ... 69
2. Pembahasan ... 73
B. Keterampilan Proses Sains (KPS) ... 87
1. Hasil Penelitian ... 87
2. Pembahasan ... 91
C. Respon Siswa Terhadap Model Pembelajaran LOI ... 105
1. Hasil Penelitian ... 105
2. Pembahasan ... 106
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 109
A. Simpulan ... 109
B. Implikasi ... 109
C. Rekomendasi ... 110
DAFTAR PUSTAKA ... 112
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 117
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Selain kemampuan dasar seperti menulis, membaca, dan berhitung, siswa saat ini perlu dibekali dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Kemampuan tersebut terkait dengan berbagai permasalahan kehidupan yang muncul seperti globalisasi, perubahan kebutuhan industri dan dunia kerja, inovasi yang berkembang cepat, kecenderungan penggunaan teknologi, dan hal lainnya. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan bahwa
salah satu kemampuan yang perlu dibekali pada siswa di abad 21 yaitu keterampilan berpikir kritis (dikutip dari Sani, 2014, hlm. 8). Keterampilan berpikir kritis dianggap sebagai salah satu keterampilan esensial yang berpengaruh terhadap kesuksesan akademik dan profesional siswa di masa yang akan datang (Quitadamo dkk., 2008, hlm. 327). Berdasarkan penelitian dalam berbagai bidang seperti sosial-sains diketahui bahwa siswa yang lulus dari berbagai negara tidak mampu bersaing pada skala global karena tidak memiliki kemampuan berpikir kritis (Frijters dkk., 2008, hlm. 67).
2
keputusan yang bijaksana dalam kehidupannya sehari-hari (Liliasari, 2009, hlm. 1).
Kurikulum IPA juga menekankan pendekatan saintifik yang meliputi: mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan (Sani, 2014, hlm. 53). Dengan menggunakan pendekatan tersebut, diharapkan penyajian mata pelajaran IPA dapat melatihkan siswa mengenai metode ilmiah (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian kerja ilmiah (working
scientifically), nilai dan sikap ilmiah (scientific attitudes). Langkah-langkah
demikian diperlukan untuk memahami hakikat ilmu dalam IPA yang diperoleh oleh para ilmuwan sebelumnya yang terdiri dari berbagai konsep saling berkaitan, berkembang dari pengumpulan data hasil suatu observasi dan eksperimen (Carin & Sund, 1989, hlm. 4-5).
3 belum dibiasakan memecahkan permasalahan yang lebih kompleks dalam rangka menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki.
Dari hasil wawancara dengan guru, hal yang menyebabkan kelemahan pembelajaran tersebut adalah pengalokasian waktu pembelajaran yang dirasakan kurang memadai sehingga menyulitkan guru dalam mengeksplorasi kemampuan siswa. Berdasarkan pendapat siswa yang diperoleh dari studi pendahuluan melalui angket diperoleh bahwa 72% menyatakan pembelajaran kurang bervariatif dan menarik. Meskipun sesekali ada kegiatan demonstrasi dan praktikum tetapi dilakukan secara singkat. 68,75% siswa menyatakan bahwa mereka belajar dengan cara menghafal materi pembelajaran, rumus dan soal-soal yang diberikan. Di samping itu dalam konteks pendidikan pesantren, siswa memiliki beban belajar yang cukup banyak. Setiap semester siswa dituntut menguasai sekitar 30 mata pelajaran dengan jumlah total 41 jam pelajaran setiap minggu, sehingga tak jarang membuat mereka merasa tertekan. Ketika tertekan secara psikologis, otak mengalami downshifting dan tidak dapat mengakses higher order thinking skill yang dimiliki secara maksimal (Salman, 2015). Keadaan tersebut rupanya mempengaruhi bagaimana cara berpikir siswa dalam mempelajari IPA yang masih mengutamakan kemampuan ingatan. Padahal, mengingat adalah salah satu dari keterampilan berpikir yang tergolong tingkat dasar (Edwards & Briers, 1998, hlm. 16).
4
umumnya KBK yang dimiliki siswa masih dalam kategori rendah (Ramdan, 2015, hlm. 1197).
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil observasi, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan secara esensi masih belum sejalan dengan pola-pola pembelajaran yang ditekankan kurikulum IPA. Beberapa hal yang belum terfasilitasi dalam proses pembelajaran tersebut yaitu belum memberikan kesempatan pada siswa untuk melatih dan mengembangkan beberapa keterampilan dalam KBK dan keterampilan proses sains (KPS). KPS sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki (Nworgu & Otum, 2013, hlm. 35). Pembelajaran yang diharapkan hendaknya memberikan pengalaman belajar pada siswa untuk dapat mengembangkan keterampilan yang dimiliki sekaligus memberikan penguatan pada materi yang dipelajari sehingga bertahan lama dalam memori siswa.
Sebagai upaya untuk dapat mengatasi kelemahan tersebut, guru perlu mengubah pembelajaran yang biasa dilakukan sehingga memungkinkan terjadinya proses pembelajaran aktif dan interaktif secara bertahap melalui inkuiri. Jenjang pendidikan SMP merupakan tahap akhir dalam wajib belajar 9 tahun, karena itu siswa perlu dibekali dengan science for all yang dibelajarkan secara inkuiri untuk mengembangkan KPS dan KBK siswa (Liliasari, 2009).
5 inquiry lessons, inquiry loboratory (inquiry labs), real world application, dan hypothetical inquiry (Wenning, 2005, hlm. 4-9).
Penerapan pembelajaran LOI diharapkan dapat memperbaiki pembelajaran yang biasa dilakukan di kelas dalam mengembangkan keterampilan siswa. Sangat disarankan bahwa penerapan langkah-langkah dalam pembelajaran inkuiri perlu dilakukan dengan mengikuti pola hierarki yang berkesinambungan antara langkah yang satu dengan yang lain. Kegiatan pembelajaran inkuiri yang mengikuti hierarki akan terlebih dahulu melatihkan keterampilan yang lebih sederhana sebelum melatihkan keterampilan yang lebih kompleks sehingga transmisi pengetahuan dalam kegiatan pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif. Kegagalan melaksanakan inkuiri dalam pembelajaran dapat menimbulkan kebingungan terhadap siswa (Wenning 2005, hlm. 3-4).
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penerapan model pembelajaran LOI pada pokok bahasan pembiasan cahaya dan indera penglihatan. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul “Penerapan Levels of Inquiry dalam Pembelajaran IPA Terpadu untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa
SMP”.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan pemaparan latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: “Bagaimanakah perbedaan peningkatan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa setelah penerapan pembelajaran levels of inquiry dibandingkan dengan pembelajaran konvensional?”. Rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbedaan peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa setelah mendapat pembelajaran levels of inquiry dibandingkan dengan pembelajaran konvensional?
6
3. Bagaimanakah respon siswa terhadap penerapan pembelajaran levels of inquiry?
C. Batasan Masalah Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka batasan masalah dalam penelitian ini diantaranya:
1. Keterampilan berpikir kritis yang diukur pada penelitian ini adalah keterampilan berpikir kritis menurut Ennis (1985), meliputi keterampilan pada sub-indikator: memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, membuat keputusan dan mempertimbangkan hasilnya, dan memutuskan suatu tindakan.
2. Keterampilan proses sains yang diukur pada penelitian ini adalah keterampilan proses sains yang diungkapkan oleh Rustaman (2005), meliputi keterampilan: mengklasifikasikan, memprediksi, menginterpretasi data, merencanakan percobaan, dan berkomunikasi.
3. Pembelajaran IPA terpadu yang digunakan adalah pembelajaran terpadu tipe nested pada konsep IPA SMP kelas VIII semester II mengenai materi
pembiasan cahaya dan alat indera penglihatan. Target utama keterpaduan nested adalah materi pelajaran yang dikaitkan dengan keterampilan berpikir,
keterampilan sosial, dan keterampilan mengorganisasi.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah, tujuan penelitian ini diantaranya:
1. Memperoleh gambaran tentang perbedaan peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa setelah mendapat pembelajaran levels of inquiry dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
7 3. Memperoleh gambaran respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran
levels of inquiry.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Dari segi teori, penelitian ini menjadi bukti empiris tentang penerapan pembelajaran berorientasi inkuiri pada pembelajaran IPA terpadu dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa.
2. Dari segi praktik, penelitian ini memberikan informasi mengenai penerapan levels of inquiry dalam pembelajaran IPA terpadu di kelas. Selain itu,
penelitian diharapkan memberikan alternatif yang dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan seperti guru dan para praktisi pendidikan dalam upaya mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa dalam pembelajaran IPA terpadu.
F. Definisi Operasional
Berdasarkan variabel-variabel penelitian yang digunakan, maka untuk mengoperasionalkan variabel-variabel penelitian digunakan definisi operasional sebagai berikut:
1. Levels of inquiry merupakan model pembelajaran inkuiri yang diterapkan secara berhierarki dan komprehensif untuk meningkatkan kemampuan intelektual siswa, serta mengembangkan kemampuan siswa melakukan penyelidikan ilmiah. Dalam penelitian ini, tahapan levels of inquiry yang digunakan yaitu discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, dan inquiry laboratory dengan alasan disesuaikan tingkat subjek penelitian yaitu siswa SMP. Adapun untuk melihat keterlaksanaan levels of inquiry digunakan lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran
levels of inquiry.
8
yang berpedoman pada pelaksanaan praktikum dari buku sumber atau petunjuk praktikum yang biasa digunakan siswa dalam belajar/melakukan penyelidikan. Tahapan pembelajarannya yaitu: guru mengajarkan konsep, guru memberikan tugas sebelum praktikum, guru menyiapkan lembar kegiatan siswa (LKS), siswa melakukan praktikum untuk membuktikan konsep yang telah diterimanya dalam proses pembelajaran, dan guru memberikan tugas setelah praktikum.
4. Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi hasil belajar yang didasarkan pada indikator aspek penalaran Robert H. Ennis (1985). Keterampilan berpikir kritis yang diteliti meliputi keterampilan pada sub-indikator memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, membuat keputusan dan mempertimbangkan hasilnya, dan memutuskan suatu tindakan. Sebagai upaya untuk melihat peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa digunakan tes keterampilan berpikir kritis (pretest dan posttest) berbentuk tes pilihan ganda beralasan dan hasilnya dihitung menggunakan gain yang dinormalisasi (Hake, 1999, hlm. 1).
3. Keterampilan proses sains merupakan keterampilan ilmiah yang melibatkan keterampilan kognitif atau intelektual, manual, dan sosial yang diperlukan untuk memperoleh dan mengembangkan fakta, konsep dan prinsip IPA (Rustaman, 2005). Keterampilan proses sains yang diteliti meliputi keterampilan mengkasifikasikan, memprediksi, menginterpretasi data, merencanakan percobaan, dan keterampilan berkomunikasi. Sebagai upaya untuk melihat peningkatan keterampilan proses sains siswa digunakan tes keterampilan proses sains (pretest dan posttest) berbentuk tes pilihan ganda dan hasilnya dihitung menggunakan gain yang dinormalisasi (Hake, 1999, hlm. 1).
G. Struktur Organisasi Penulisan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian
Dalam penelitian ini variabel yang dikontrol adalah pembelajaran yang diterapkan dengan menggunakan sampel yang memiliki karakteristik yang dianggap setara tanpa benar-benar mengontrol variabel-variabel lain yang mungkin memberikan dampak terhadap variabel terikatnya. Oleh karena itu, jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuasi (quasi eksperiment). Dalam penelitian ini dibutuhkan dua kelas dengan satu kelas difungsikan sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lainnya difungsikan sebagai kelas kontrol.
Adapun desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah the matching-only pretest-postest control group design (Fraenkel & Wallen, 2009, hlm. 271), seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.1. Peneliti menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol yang dianggap setara (match). Matching merupakan proses mengidentifikasi suatu ciri khusus personal atau
lebih yang memengaruhi hasil dan menempatkan individu yang memiliki ciri khusus tersebut secara setara ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Creswell, 2014, hlm. 586). Pemilihan dua kelas tersebut dilakukan atas pertimbangan guru IPA mengenai jumlah siswa, karakteristik, dan kemampuan individu yang dianggap setara.
Tabel 3.1 The Matching-Only Group Pretest-Postest Control Group Design
Kelas Pretest Treatment Postest
Eksperimen O X O
Kontrol O C O
Keterangan:
O = tes keterampilan berpikir kritis dan tes keterampilan proses sains X = model pembelajaran levels of inquiry
50
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan di salah satu SMP swasta di Kabupaten Tangerang. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di sekolah tersebut pada semester genap tahun ajaran 2014-2015. Dari seluruh populasi dipilih dua kelas sebagai sampel yang dilakukan secara purposive sampling yaitu satu kelas eksperimen dengan penerapan pembelajaran levels of inquiry (LOI) dan satu kelas kontrol dengan penerapan pembelajaran konvensional berbasis praktikum verifikasi.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang telah dilakukan meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data serta pelaporan hasil penelitian. Adapun penjelasan masing-masing tahapan adalah sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan penelitian adalah: a. Studi pendahuluan.
b. Studi kurikulum dan literatur, dilakukan untuk mengetahui tuntutan kurikulum dan untuk memperoleh landasan teoritis yang sesuai.
c. Menyusun instrumen penelitian yang terdiri dari RPP, skenario pembelajaran LOI dan pembelajaran konvensional berbasis praktikum verifikasi, LKS, tes KBK, tes KPS, dan skala sikap siswa.
d. Melakukan judgement instrumen penelitian e. Melakukan ujicoba dan perbaikan instrumen.
2. Tahap Pelaksanaan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan penelitian yaitu: a. Melakukan pretest pada siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol. b. Memberikan treatment, dengan menerapkan model pembelajaran LOI
dan model pembelajaran konvensional berbasis praktikum verifikasi. c. Melakukan observasi keterlaksanaan model pembelajaran
d. Melakukan posttest dan pengisian skala sikap.
51
Tabel 3.2 Pelaksanaan Penelitian
Kegiatan Hari / Tanggal Waktu
Kelas Eksperimen (Model Pembelajaran LOI di Kelas VIII-X)
Pretest Rabu, 8 April 2015 06.45 – 08.15 WIB
Perlakuan 1:
Pembiasan Cahaya Kamis, 9 April 2015 06.45 – 09.00 WIB Perlakuan 2:
Indera Penglihatan (Mata) Kamis, 16 April 06.45 – 09.00 WIB Perlakuan 3:
Cacat Mata Kamis, 30 April 06.45 – 09.00 WIB
Posttest Sabtu, 2 Mei 2015 06.45 – 08.15 WIB
Kelas Kontrol (Model Pembelajaran Konvensional di Kelas VIII-Y)
Pretest Rabu, 8 April 2015 08.45 – 10.15 WIB
Perlakuan 1:
Pembiasan Cahaya Sabtu, 11 April 2015 08.45 – 11.00 WIB Perlakuan 2:
Indera Penglihatan (Mata) Sabtu, 18 April 2015 08.45 – 11.00 WIB Perlakuan 3:
Cacat Mata Kamis, 30 April 2015 09.30 – 11.45 WIB
Posttest Sabtu, 2 Mei 2015 08.45 – 10.15 WIB
Sebagai upaya untuk melihat keterlaksanaan model pembelajaran LOI di kelas dilakukan pengamatan menggunakan lembar observasi aktivitas guru dan lembar observasi aktivitas siswa. Format lembar observasi aktivitas guru dan lembar observasi aktivitas siswa dikoordinasikan kepada observer yang mengikuti proses penelitian agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap format observasi tersebut. Lembar observasi yang diisi oleh observer menunjukkan sejauh mana keterlaksanaan dari penerapan model pembelajaran LOI sebanyak tiga pertemuan. Adapun hasil observasi keterlaksanaan model pembelajaran LOI dapat dilihat melalui tabel rekapitulasi persentase keterlaksanaan model pembelajaran oleh guru dan siswa yang ditunjukan pada lampiran 3.1.
52
metode praktikum verifikasi. Metode praktikum jenis ini dapat diidentifikasi dari panduan prosedur praktikum yang detail serta tujuan praktikum dalam lembar kegiatan siswa (LKS) untuk membuktikan informasi yang telah diberikan sebelumnya di kelas (Wenning, 2005, hlm. 7).
Salah satu kelemahan dari penerapan pembelajaran berbasis inkuiri yaitu memerlukan perubahan kebiasan cara belajar siswa yang biasanya hanya menerima informasi dari guru ke arah belajar mandiri dan berkelompok untuk mencari dan mengolah informasi secara mandiri (Amien, 1987, hlm. 133). Oleh karena itu siswa belum terbiasa ketika terjadi perubahan pembelajaran konvensional ke pembelajaran inkuiri. Pada pembelajaran LOI yaitu terjadi dari tahap interactive demonstration ke tahap inquiry lesson. Hal ini menuntut siswa untuk dapat menyesuaikan dengan
pembelajaran yang dilakukan.
Pada pertemuan pertama pembelajaran mengenai pembiasan cahaya beberapa siswa dalam kelompok mengalami kesulitan dalam setiap tahap LOI. Kesulitan siswa terutama dalam hal menuliskan jawaban di LKS dan sungkan memberikan pertanyaan atau sanggahan pada kelompok yang mengemukakan pendapat. Tahapan inquiry lesson kurang maksimal dilakukan karena beberapa siswa mengalami kesulitan dalam merencanakan penyelidikan secara mandiri melalui diskusi kelompok. Kesulitan siswa tersebut diduga karena biasanya siswa diberikan panduan prosedur praktikum yang detail serta tujuan praktikum dalam LKS. Namun, pada pembelajaran LOI siswa dituntut agar dapat merencanakan penyelidikan melalui diskusi kelompok. Agar dapat membantu siswa dalam merencanakan percobaan, guru membimbing setiap kelompok dengan memberikan pertanyaan arahan dan memperagakan bagaimana cara menggunakan alat praktikum (modelling). Tahap ini merupakan tahap terpenting karena tahapan inquiry lesson berguna untuk menjembatani celah pemisah (gap) antara tahapan interactive demonstration dengan laboratory experiences (Wenning, 2011,
hlm. 12)
53
yang diberikan oleh guru pada tahap interactive demostration. Selain itu, beberapa kelompok mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi variabel-variabel pada tahap inquiry lesson mengenai cara kerja bagian-bagian indera penglihatan (mata) sehingga pada pertemuan tersebut keterlaksanaan pembelajaran mengalami penurunan. Kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh siswa yaitu mengenai cara kerja lensa mata, cara kerja iris dan pupil dan cara kerja retina. Dari kegiatan tersebut diharapkan siswa dapat menemukan hubungan cara kerja organ-organ tersebut dalam proses penglihatan manusia. Variabel-variabel yang cukup banyak dalam kegiatan penyelidikan diduga menyebabkan sebagian siswa mengalami kebingungan dalam merencanakan penyelidikan sehingga tak jarang siswa mengalami kegagalan dalam kegiatan praktikum untuk mengamati cara kerja organ-organ tersebut.
Pada pertemuan ketiga, pembelajaran mengenai cacat mata dapat berlangsung lebih baik karena siswa sudah mulai terbiasa dengan pembelajaran LOI. Selain itu, fenomena cacat mata sangat dekat dengan kehidupan siswa sehari hari, misalnya penggunaan kacamata dan lensa kontak. Dalam tahap inquiry lesson, sebagian besar siswa dapat menentukan variabel-variabel penyelidikan dengan mudah. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan merencanakan dan melakukan percobaan dapat dilakukan dengan baik oleh siswa. Berkaitan dengan beberapa kendala yang dihadapi tersebut, maka pada pertemuan awal pembelajaran sebaiknya guru menjelaskan langkah-langkah kegiatan secara keseluruhan agar siswa mengetahui kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama pembelajaran. Selain itu, kemampuan guru dalam memberikan pertanyaan arahan selama pembelajaran memberikan pengaruh pada keterlibatan siswa saat pembelajaran terutama saat mengidentifikasi variabel-variabel dan merencanakan penyelidikan.
54
membuat guru mengalami kesulitan untuk memfasilitasi kegiatan belajar setiap siswa dalam kelompok. Hal ini berdampak pada aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.
Pada tahapan interactive demonstration tak jarang guru mengulangi kegiatan demonstrasi agar semua siswa dapat mengamati gejala/fenomena. Hal ini dikarenakan siswa yang duduk di belakang kelas mengalami kesulitan mengamati demonstrasi. Wenning (2005, hlm. 5) menekankan tahapan ini sebagai upaya untuk menggali konsep awal siswa, membuat prediksi, membandingkan hasil prediksi dengan hasil demonstrasi hingga siswa dapat membuat kesimpulan berdasarkan bukti yang ada. Selain itu, kegiatan inquiry lesson terutama dalam kegiatan mengidentifikasi variabel dan merencanakan
penyelidikan cukup menyita waktu. Siswa belum begitu memahami mengenai variabel penyelidikan dan tidak semua siswa terlibat dalam kegiatan diskusi dalam kelompok. Pada kegiatan penyelidikan dalam tahap inquiry labs, ada beberapa kelompok yang belum dapat menyelesaikan tugas untuk menganalisis hasil temuan mereka, baik berupa interpretasi tabel maupun analisis grafik. Dengan alokasi waktu yang terbatas menyebabkan tidak memungkinkan untuk semua kelompok dapat mempresentasikan hasil kegiatan kelompoknya di akhir pembelajaran.
Walaupun menemukan beberapa kendala dalam pelaksanaan pembelajaran, hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa tahapan model pembelajaran LOI secara keseluruhan sudah dapat terlaksana dengan baik oleh guru maupun siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil rekapitulasi persentase keterlaksanaan pembelajaran yang menunjukkan seluruh kegiatan terlaksana oleh guru dan sebagian besar terlaksana oleh siswa.
3. Tahap Pengolahan Data dan Pelaporan Hasil Penelitian
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu:
a. Mengolah dan mendeskripsikan data hasil observasi pelaksanaan pembelajaran.
55
Penyusunan instrumen: 1. Soal tes KBK 2. Soal tes KPS 3. Skala sikap
Studi Pendahuluan
Masalah
Penyusunan perangkat pembelajaran: 1. Rencana pelaksanaan pembelajaran LOI 2. Lembar kegiatan siswa (LKS)
Studi kurikulum IPA SMP dan literatur: model pembelajaran levels of inquiry (LOI), keterampilan berpikir kritis (KBK), dan keterampilan proses sains (KPS) siswa
Posttest
Kelas eksperimen:
Kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran LOI
Validasi, uji coba, revisi
Pretest
Kelas kontrol:
Kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran konvensional
Observasi Observasi dan
skala sikap
Pengolahan data
Analisis data
d. Melakukan analisis dan pembahasan berdasarkan data yang telah diolah. e. Memberikan kesimpulan hasil penelitian.
Adapun alur penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada gambar 3.1.
Tahap Persiapan
Tahap Pelaksanaan Penelitian
56
Gambar 3.1 Alur Penelitian
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang dilakukan untuk memperoleh data-data yang mendukung pencapaian tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang di gunakan adalah tes, observasi, dan skala sikap tanggapan siswa.
1. Tes
Tes adalah pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Dalam penelitian ini, instrumen tes yang digunakan ialah tes tertulis (paper and pencil test) berupa tes pilihan ganda beralasan untuk KBK dan pilihan ganda untuk KPS. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen penelitian adalah sebagai berikut: a. Membuat kisi-kisi soal berdasarkan kurikulum 2013 mata pelajaran IPA
terpadu SMP kelas VIII semester 2 dengan materi pokok pembiasan cahaya dan alat indera penglihatan.
b. Kisi-kisi instrumen yang telah dibuat kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
c. Setelah disetujui oleh dosen pembimbing, kisi-kisi instrumen yang telah disusun kemudian dipertimbangkan (judgement) kepada tiga orang ahli.
d. Melakukan uji coba instrumen.
e. Melakukan analisis butir soal untuk menentukan soal yang layak untuk dijadikan instrumen dalam penelitian. Adapun analisis instrumen yang dilakukan meliputi daya pembeda butir soal, tingkat kesukaran butir soal, dan reliabilitas perangkat tes.
2. Observasi
57
pembelajaran melalui aktivitas guru dan aktivitas siswa di kelas eksperimen. Observasi keterlaksanaan model pembelajaran bertujuan untuk melihat apakah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa melalui bimbingan guru dapat dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran yang sudah tersusun pada RPP atau tidak.
Format observasi ini dibuat dalam bentuk checklist sehingga dalam pengisiannya, observer memberikan tanda cheklist pada keterlaksanaan langkah pembelajaran berdasarkan langkah pembelajaran yang telah disusun. Format observasi ini juga disusun tanpa diujicobakan tetapi dikonsultasikan dengan pembimbing untuk kemudian dikoordinasikan kepada observer yang terlibat dalam penelitian agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap format observasi tersebut.
3. Skala Sikap
Skala sikap (attitude scale) merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Dari respon subjek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang (Azwar, 2013, hlm. 95). Pengumpulan data skala sikap dilakukan dalam bentuk pernyataan yang direspon oleh siswa dengan memilih empat pilihan yang bertingkat yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan skala posistif 1 sampai 4. Angket ini diisi dengan menggunakan tanda checklist terhadap kolom pilihan yang tersedia.
E. Teknik Analisis Instrumen Tes
Sebagai upaya untuk menghasilkan instrumen tes yang baik, maka dilakukan beberapa analisis meliputi analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kemudahan.
1. Analisis Validitas
58
2. Analisis Reliabilitas
Reliabilitas adalah kestabilan skor yang diperoleh orang yang sama ketika diuji ulang dengan tes yang sama pada situasi berbeda atau dari satu pengukuran ke pengukuran lain. Suatu instrumen dikatakan reliabel jika digunakan beberapa kali untuk objek yang sama, menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2004, hlm. 267).
Sebagai upaya untuk menguji reliabilitas instrumen dapat dilakukan metode belah dua (split-half method) dengan teknik pengujian single-test-single-trial method. Nilai reliabilitasnya dihitung menggunakan korelasi dua belahan untuk
diketahui reliabilitas separuh tes. Adapun rumus yang dapat digunakan untuk mencari nilai koefisien korelasi adalah dengan menggunakan rumus Spearman-Brown (Arikunto, 2013, hlm. 107) seperti disajikan pada persamaan 3.1.
1 12 2
111 1 2 2 2r r
1 r
……...……….. (3.1)
Keterangan :
r½½ = koefisien antara skor-skor setiap belahan tes
r11 = koefisien reliabilitas yang sudah disesuaikan
Selanjutnya, untuk mengetahui interpretasi reliabilitas, nilai koefisien korelasi yang telah diperoleh kemudian dikonsultasikan pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Interpretasi Koefisien Korelasi
Nilai Korelasi Interpretasi
0,80 < rxy < 1,00 Sangat tinggi 0,60 < rxy < 0,80 Tinggi 0,40 < rxy < 0,60 Cukup
0,20 < rxy < 0,40 Rendah 0,00 < rxy < 0,20 Sangat Rendah
(Arikunto, 2013, hlm. 89)
3. Analisis Tingkat Kesukaran Butir Soal
59
sukar, sehingga sebuah instrumen yang akan digunakan dalam penelitian perlu dianalisis terlebih dahulu tingkat kesukarannya.
Bilangan yang menunjukan mudah atau sukarnya suatu soal disebut indeks kesukaran dan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 3.2.
……….. (3.2)
Keterangan:
P = indeks kesukaran
B = banyaknya siswa yang menjawab soal dengan betul JS = jumlah seluruh siswa peserta tes
Selanjutnya, untuk mengetahui interpretasi tingkat kesukaran butir soal berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan 3.2, nilai indeks kesukaran yang telah diperoleh kemudian dikonsultasikan pada tabel 3.4.
Tabel 3.4 Interpretasi Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran Interpretasi
0,00 < P < 0,30 Soal sukar 0,31 < P < 0, 70 Soal sedang
0,71 < P < 1,00 Soal mudah
(Arikunto, 2013, hlm. 225)
4. Analisis Daya Pembeda Soal
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2013, hlm. 226). Suatu soal yang dapat dijawab dengan benar, baik oleh siswa yang berkemampuan tinggi maupun siswa yang berkemampuan rendah maka dapat dikatakan bahwa soal tersebut tidak baik karena tidak memiliki daya pembeda. Begitu pula jika semua siswa, baik yang berkemampuan tinggi maupun yang berkemampuan rendah tidak dapat menjawab soal dengan benar maka soal tersebut tidak baik juga karena tidak mempunyai daya pembeda.
Bilangan yang menunjukan daya pembeda soal disebut indeks daya pembeda, untuk menentukan indeks daya pembeda butir soal dapat digunakan persamaan 3.3.
A B
B B
DP
J J
60
Keterangan:
DP = indeks daya pembeda
BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar
JA = banyaknya peserta tes kelompok atas
JB = banyaknya peserta tes kelompok bawah
Selanjutnya, untuk mengetahui interpretasi daya pembeda butir soal berdasarkan perhitungan dengan menggunakan persamaan 3.3, nilai indeks daya pembeda yang telah diperoleh kemudian dikonsultasikan pada tabel 3.5.
Tabel 3.5 Interpretasi Daya Pembeda
Indeks Daya Pembeda Interpretasi
0,00 < DP < 0,20 Jelek 0,21 < DP < 0,40 Cukup
0,41 < DP < 0,70 Baik 0,71 < DP < 1,00 Baik Sekali
Negatif Tidak baik, harus dibuang
(Arikunto, 2013, hlm. 232)
F. Hasil Judgement dan Uji Coba Instrumen Tes KBK dan KPS
Dari hasil pertimbangan empat dosen ahli (judgment expert), diperoleh kesimpulan bahwa hampir seluruh butir soal KBK dan KPS yang di-judgment seluruhnya sudah memenuhi validitas isi dan validitas konstruk. Dari hasil tersebut maka instrumen tes dapat digunakan untuk keperluan penelitian tetapi ada beberapa hal terkait redaksi dan penyajian soal yang perlu diperbaiki. Sampel hasil validasi soal tes dapat dilihat pada Lampiran 5.6.
61
reliabilitas seperti yang dibahas sebelumnya.
Hasil analisis terhadap uji coba instrumen tes KBK yang telah dilakukan, dirangkum pada tabel 3.6.
Tabel 3.6 Hasil Uji Coba Instrumen Tes KBK
No. Soal
Daya Pembeda Tingkat
Kesukaran Validitas Keputusan
62
Hasil perhitungan tingkat kesukaran tes, daya pembeda, dan reliabilitas serta hasil interpretasi untuk instrumen tes KBK dapat dilihat pada tabel 3.6. Hasil perhitungan menunjukan bahwa tingkat kesukaran dari 22 soal yang diujicobakan dengan kategori mudah sebesar 13,64% atau sebanyak 3 butir soal, kategori sedang sebesar 54,54% atau sebanyak 12 butir soal, dan kategori sukar sebesar 31,82% atau sebanyak 7 butir soal. Daya pembeda dari 22 soal yang diujicobakan dengan kategori tidak baik sebesar 9,09 % atau sebanyak 2 butir soal, jelek sebesar 9,09% atau sebanyak 2 butir soal, kategori cukup sebesar 59,09% atau sebanyak 13 butir soal, dan kategori baik sebesar 22,73% atau sebanyak 5 butir soal.
Setelah menganalisis hasil uji coba soal tersebut maka soal yang digunakan peneliti berjumlah 15 butir soal dari 22 butir soal yang dibuat, dengan tidak menggunakan butir soal dengan kategori jelek. Selain itu dari tabel tersebut diperoleh informasi bahwa reliabititas tes dinyatakan reliabel dengan kriteria tinggi yaitu 0,68. Berikut komposisi soal yang digunakan sebagai instrumen tes penelitian mengenai KBK.
Tabel 3.7 Komposisi Instrumen Tes KBK
No. Indikator
Memberikan alasan 11, 12 dan 13 dilakukan, dirangkum pada tabel 3.8.
63
No. Soal
Daya Pembeda Tingkat
Kesukaran Validitas Keputusan
DP Kriteria P Kriteria r11 Kriteria
64
perhitungan menunjukan bahwa tingkat kesukaran dari 24 soal yang diujicobakan dengan kategori mudah sebesar 16,67% atau sebanyak 4 butir soal, kategori sedang sebesar 58,33% atau sebanyak 14 butir soal, dan kategori sukar sebesar 25,00% atau sebanyak 6 butir soal. Daya pembeda dari 24 soal yang diujicobakan dengan kategori tidak baik sebesar 8,33 % atau sebanyak 2 butir soal, jelek sebesar 8,33% atau sebanyak 2 butir soal, kategori cukup sebesar 45,83% atau sebanyak 11 butir soal, kategori baik sebesar 29,17% atau sebanyak 7 butir soal, dan kategori baik sekali sebesar 8,33% atau sebanyak 2 butir soal.
Setelah menganalisis hasil uji coba soal tersebut maka soal yang digunakan peneliti berjumlah 13 butir soal dari 24 butir soal yang dibuat, dengan mempertimbangkan sebaran soal yaitu jumlah soal tiap aspek dan tingkat kesukaran soal serta tidak menggunakan butir soal dengan kategori jelek. Selain itu dari tabel tersebut diperoleh informasi bahwa reliabititas tes dinyatakan reliabel dengan kriteria tinggi yaitu 0,77. Berikut komposisi soal yang digunakan sebagai instrumen tes penelitian mengenai KPS.
Tabel 3.9 Komposisi Instrumen Tes KPS
No. Aspek KPS Nomor Butir Soal
1 Mengklasifikasikan 2, 3 dan 5
2 Memprediksi 8 dan 9
3 Menafsirkan data 10, 13 dan 14
4 Merencanakan percobaan 17 dan 19
5 Berkomunikasi 20, 21 dan 24
G. Teknik Analisis Data Hasil Penelitian
Terdapat 3 jenis data yang diperoleh pada penelitian ini yaitu : daftar ceklist keterlaksanaan model pembelajaran, skor hasil tes KBK, dan skor hasil tes KPS. Adapun teknik analisis dari masing-masing data yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Teknik Analisis Keterlaksanaan Model Pembelajaran
65
………....……… (3.4)
Keterangan:
KP (%) = persentase keterlaksanaan pembelajaran J = jumlah aktivitas pembelajaran yang terlaksana JP = jumlah seluruh aktivitas pembelajaran
Selanjutnya, untuk mengetahui interpretasi dari hasil perhitungan keterlaksanaan pembelajaran tersebut, skor yang telah diperoleh (dalam bentuk %), kemudian dikonsultasikan pada tabel 3.10 (Riduwan, 2012).
Tabel 3.10 Kriteria Keterlaksanaan Pembelajaran
Interval Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran (KP)
Kriteria
KP = 0% Tak satu kegiatan pun terlaksana 0% < KP < 25% Sebagian kecil kegiatan terlaksana 25% < KP < 50% Hampir setengah kegiatan terlaksana
KP = 50% Setengah kegiatan terlaksana 50% < KP < 75% Sebagian besar kegiatan terlaksana 75% < KP <100% Hampir seluruh aktivitas terlaksana
KP = 100% Seluruh kegiatan terlaksana
(dikutip dari Muslim, 2014, hlm. 97)
2. Teknik Analisis Data Hasil Tes KBK dan Hasil Tes KPS
Setelah seluruh instrumen (instrumen tes KBK dan instrumen tes KPS) yang telah diketahui validitas dan reliabilitasnya diujikan pada siswa melalui pretest dan posttest, maka akan diperoleh data skor siswa dari masing-masing tes tersebut. Pada tes KBK, jawaban benar pada pilihan ganda diberi nilai 1 dan jawaban salah atau tidak dijawab diberi nilai 0, sedangkan untuk jawaban alasan diberi nilai dengan rentang 0 sampai 3 (diadaptasi dari Stiggins, 1994, hlm. 153), sehingga rentang skor untuk satu soal tes KBK yaitu 0 sampai 4. Adapun pada tes KPS, jawaban benar pada pilihan ganda diberi nilai 1 dan jawaban salah atau tidak dijawab diberi nilai 0, sehingga rentang skor untuk satu soal tes KPS yaitu 0 sampai 1. Pemberian skor total dihitung dengan persamaan:
S
R66
S = skor yang diperoleh siswa R = jawaban siswa yang benar
Sebagai upaya untuk mengetahui peningkatan KBK dan KPS siswa, dilakukan perhitungan gain yang dinormalisasi (N-gain, dengan simbol <g>) menggunakan persamaan sebagai berikut:
f i
i
%<S % S
<g>
100 % S
... (3.6)
Keterangan :
<g> = gain yang dinormalisasi
<Si> = skor rata-rata tes awal (pretest)
<Sf> = skor rata-rata tes akhir (posttest)
Selanjutnya, untuk mengetahui kriteria peningkatan dari hasil perhitungan N-gain tersebut, maka skor yang telah diperoleh kemudian dikonsultasikan pada
tabel 3.11.
Tabel 3.11 Kriteria Skor Rata-rata Gain yang Dinormalisasi
Nilai <g> Kriteria
<g> > 0,7 Tinggi
0,3 < <g> < 0,7 Sedang <g> < 0,3 Rendah
(Hake, 1999, hlm. 1)
3. Pengujian Hipotesis
Untuk melakukan uji hipotesis penelitian yang diajukan, dilakukan uji perbedaan rata-rata N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengujian akan dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS 22. Adapun taraf signifikansi yang digunakan pada penelitian ini adalah α = 0,05.
a. Uji Normalitas Data N-gain
Uji Normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran distribusi data yang diperoleh. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
67
H0 = data berdistribusi normal
H1 = data tidak berdistribusi normal
Apabila nilai sig. > α maka H0 diterima. Dengan kata lain bahwa data tersebut
berdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas Varians Data N-gain
Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah data-data nilai yang didapat dari kedua kelompok ini memiliki kesamaan varians atau tidak. Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Levene (Test of Homogeneity of Variances) dengan taraf signifikansi (α = 0,05). Adapun pengujian yang diajukan sebagai berikut:
Apabila nilai dari sig. > α maka H0 diterima. Dengan kata lain, varians untuk
kedua data tersebut adalah homogen. c. Uji Hipotesis
Uji hipotesis tersebut dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1) Uji statistik parametrik
Uji statistik parametrik digunakan jika data memenuhi asumsi statistik, yaitu data berdistribusi normal (Furqon, 2011, hlm. 235). Sebagai upaya untuk menguji hipotesis pada data statistik parametrik tersebut dapat digunakan uji-t (t-test). Pengambilan keputusannya yaitu apabila nilai sig. < α, dengan α = 0,05 maka H0 ditolak atau H1 diterima.
2) Uji statistik non-parametrik
68
hlm. 409). Pengambilan keputusannya yaitu apabila nilai sig. < α, dengan α = 0,05 maka H0 ditolak atau H1 diterima.
Alur pengolahan data untuk membuktikan hipotesis secara umum ditunjukan oleh gambar 3.2.
Gambar 3.2 Alur Pengujian Hipotesis
4. Analisis Hasil Pengisian Skala Sikap
Respon siswa mengenai model pembelajaran levels of inquiry dibuat dalam skala sikap. Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan empat pilihan jawaban, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skala sikap siswa pada tiap butir pernyataan, dihitung, ditabulasi kemudian dibuat persentase. Adapun untuk menghitung persentase respon siswa tersebut menggunakan persamaan berikut:
... (3.7) Keterangan :
R (%) = persentase tanggapan responden
P = jumlah responden yang memilih butir pernyataan yang tersedia F = jumlah seluruh responden
Dalam menginterpretasi hasil perhitungan berdasarkan persamaan 3.7 digunakan interpretasi pada tabel 3.12 (Riduwan, 2012).
Tabel 3.12 Kriteria Tanggapan Responden Data
Uji Mann-Whitney U
Berdistribusi tidak normal
Uji t
Kesimpulan Uji Normalitas
Uji Homogentitas varians
Berdistribusi normal
Homogen
Uji t’
Tidak homogen
P
R (%) = ×100%
69
Interval Persentase (R) Kriteria
R = 0% Tak seorang pun
0% < R < 25% Sebagian kecil 25% < R < 50% Hampir setengah
R = 50% Setengahnya
50% < R < 75% Sebagian besar 75% < R <100% Hampir seluruhnya
R = 100% Seluruhnya
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang penerapan levels of inquiry dalam pembelajaran IPA terpadu untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains siswa SMP, diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Keterampilan berpikir kritis siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran levels of inquiry mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional.
2. Keterampilan proses sains siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran levels of inquiry mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran konvensional.
3. Siswa memberikan respon positif terhadap model pembelajaran levels of inquiry pada konsep pembiasan cahaya dan alat indera penglihatan setelah
memperoleh pembelajaran.
B.Implikasi
Temuan-temuan dari hasil penelitian ini memberikan beberapa implikasi sebagai berikut:
1. Levels of inquiry dapat menjadi alternatif kegiatan pembelajaran berorientasi inkuri yang selama ini dilakukan tanpa mempertimbangkan kemampuan siswa dalam berinkuri. Levels of inquiry akan melatihkan siswa berinkuiri secara bertahap melalui kegiatan discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson dan inquiry labs.
110
C.Rekomendasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka peneliti menyampaikan rekomendasi dan saran sebagai berikut:
1. Penggunaan levels of inquiry terbukti mampu meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk penelitian lanjutan apakah levels of inquiry dapat digunakan untuk melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi yang lain.
2. Pembelajaran yang akan diterapkan dalam penelitian sebaiknya disimulasikan atau diujicobakan terlebih dahulu. Uji coba dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi ketidakterlaksanaan langkah pembelajaran akibat terbatasnya waktu. Melalui ujicoba, akan dapat diketahui alokasi waktu yang diperlukan dalam setiap tahap pembelajaran serta kelemahan-kelemahan yang terdapat pada skenario yang telah disusun. Dengan demikian dapat dilakukan upaya perbaikan terlebih dahulu sebelum diterapkan pada penelitian sebenarnya.
3. Sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran pada setiap pertemuan, hendaknya guru tidak hanya berfokus pada keterlaksanaan tahapan pembelajaran. Namun, guru juga berupaya untuk mengaktifkan siswa dalam setiap pembelajaran. Selain evaluasi keterlaksanaan, di akhir pertemuan sebaiknya dilakukan pula evaluasi mengenai aktifitas dan dinamika siswa selama pembelajaran berlangsung.
4. Pada penelitian berikutnya, model levels of inquiry lebih ditekankan pada kegiatan siswa dalam memprediksi, mengidentifikasi variabel dan menganalisis grafik. Berdasarkan hasil temuan penelitian, beberapa hal yang menjadi kelemahan siswa dalam melakukan kegiatan inquiry labs dan dapat menghambat jalannya proses pembelajaran diantaranya
adalah masih lemahnya keterampilan siswa dalam melakukan ketiga kegiatan tersebut.
111
6. Hendaknya guru dapat meningkatkan kemampuan dasar dalam mengajar untuk keberhasilan pembelajaran inkuri, antara lain: kemampuan prosedural berkaitan dengan penggunaan alat-alat praktikum, kemampuan menampilkan demonstrasi, dan menyampaikan pertanyaan arahan. Selain itu untuk keberhasilan pengembangan KBK, guru perlu memahami berpikir kritis dan dapat menerapkannya dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, M., (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching
and Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.
New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Arikunto, S. (2013). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi 2). Jakarta: Bumi Aksara.
Azwar, S. (2013). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya (Edisi 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Basaga, H., Geban, O. & Tekkaya, C. (1994). The Effect of the Inquiry Teaching Methode on Biochemistry and Science Process Skill Achievements. Biochemical Education. 22 (1), hlm. 29 – 32.
Cameron, J. R., Skofronick, J. G., & Grant, M. (2006). Fisika Tubuh Manusia (Edisi 2) Diterjemahkan oleh Lamyarni I Sardy. Jakarta: Sagung Seto.
Campbell, N.A., dkk. (2010). Biologi Jilid 3 (Edisi 8). Jakarta: Penerbit Erlangga Cimer A., Melih T., & Mehmet K. (2013). Critical Thinking Level of Biology
Classroom Survey: Ctlobics. The Online Journal of New Horizons in Education, 3 (1), hlm. 15 – 24.
Carin, A. & Sund, R. B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Sixth Edition. Columbus: Merrill Publishing Company.
Creswell, J. (2014). Riset Pendidikan: Perencanaan, Pelaksanaa, dan Evaluasi Riset Kualitatif dan Kuantitatif (Edisi 5). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Coladarci, T. dkk. (2011). Fundamentals of Statistical Reasoning in Education. USA: John Willey & Sons, Inc.
Costa, A. L. (1988). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. USA: Association for Supervision and Curriculum Development
Dahar, R. W. (1996). Teori-Teori belajar. Jakarta : Penerbit Erlangga.
113
Edwards, M. C., & Briers, G. E. (1998). Higher-Order Thinking Versus Lower-Order Thinkining Skills: Does School-Day Scheduling Pattern Influence Achievement At Different Levels of Learning?. [Online]. Tersedia di: http://pubs.aged.tamu.edu/jsaer/pdf/Vol50/50-00-015.pdf. Diakses 11 April 2015.
Fogarty. (1991). How to Integrate the Curricula. Illinois: IRI/Skylight Publishing Inc.
Fraenkel, & Wallen. (2009) How to Design and Evaluate Research in Education (seventh edition). New York: McGraw-Hill Higher Education.
Frijters, S., Geert ten D., & Gert, R. (2008). Effect of Dialogic Learning on Value-Loaded Critical Thinking. Elsevier Learning and Instruction. 61, hlm. 66 – 82, DOI: 10.1016.
Furqon. (2011). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta Gabel, D.L, Rubba, P.A. & Franz, J.R. (1977). The Effect of Early Teaching and
Training Experience on Physics Achievement, Attitude Toward Science and Science Teaching, and Process Skill Proficiency. Science Education. 61, hlm. 503 – 511.
Hake, R. (1999). Analyzing Change/Gain Score. Indiana : Indiana University. Hewitt P. G., dkk. (2007). Conceptual Integrated Science. San Fransisco: Pearson
Education, Addison-Wesley
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21: Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia
Joyce, B. & Weil, M. (2009). Model of Teaching: Model-Model Pengajaran. Diterjemahkan oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kemendikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia : Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Kemendikbud.
Lilisasari. (2009). Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Sains Kimia Menuju
Profesionalitas Guru. [Online]. Tersedia di:
http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN_IPA/1949092719 78032-LILIASARI/BERPIKIR_KRITIS_Dlm_Pembel_09.pdf. Diakses 11 Januari 2015.
114
(Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Muslim. (2014). Pengembangan Program Perkuliahan Fisika Sekolah Berorientasi Kemampuan Berargumentasi Calon Guru Fisika. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Mutia, S. P. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Praktikum Terhadap Keterampilan Proses Sains, Sikap Ilmiah dan Penguasaan Konsep Sistem Regulasi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Novia. (2015). Pengembangan Penalaran Ilmiah pada Pembelajaran IPA Terpadu dengan Menggunakan Model Levels of Inquiry. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 4 (1), hlm. 19 – 25.
Nworgu, L.N. & Otum, V.V. (2013). Effect of Guided with Analogy Instructional Strategy on Student Acquisition of Science Process Skills. Journal of Made%29. pdf. Diakses 23 Februari 2015.
Padri, I. M. (2007). Alat-alat Optik [Online]. Tersedia di: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/195107261 978032-FRANSISCA_SUDARGO/7._Model_Buku_IPA_SMP_%28 Revisi-2007%29/02._Kelas_VIII/Bab._20-VIII_Alat-alat_Optik_%28 Made%29.pdf. Diakses 23 Februari 2015.
Quitadamo, I. J., dkk. (2008). Community-based Inquiry Improves Critical Thinking in General Education Biology. Science Education. 7, hlm. 327 – 337.
Ramdan, S. (2015). Eksplorasi Keunggulan dan Kelemahan Metode Praktikum Berbasis Verifikasi pada Pembelajaran IPA Serta Implikasinya pada Keterampilan Berpikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMP. Prosiding pada Seminar Nasional IPA VI, Diselenggarakan oleh Jurusan IPA Terpadu FMIPA Universitas Negeri Semarang, hlm. 1191 – 1201. Rezba, R. J., Sprague C., & Fiel, R. L. (2002). Learning and Assesing Science
Process Skills (Fourth Edition). Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company.
Riyadi, S. dkk. (2010). Buku Kerja IPA-Fisika SMP (Hasil MGMP Kabupaten Blitar). Blitar: Tidak diterbitkan.
115
Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis pada Materi Suhu dan Kalor Siswa Kelas X SMA. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Rustaman, N. (2004). Asesmen Pendidikan IPA [Online]. Tersedia di: http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN_IPA/1950123119 79032-NURYANI_RUSTAMAN/Asesmen_pendidikan_IPA.pdf. Diakses 12 Mei 2015.
Rustaman, N. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Salman. M. (2015). Seni dan Sains. Disajikan pada Simposium Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains V. 8 Juni 2015. Institut Teknologi Bandung
Sani, R. A. (2014). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.
Stiggins, R. J. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: Macmillan College Publishing Company.
Sudargo, F. (2007). Sistem Syaraf dan Indera pada Manusia [Online]. Tersedia di:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/195107261 978032-FRANSISCA_SUDARGO/7._Model_Buku_IPA_SMP_%28 Revisi-2007%29/03._Kelas_IX/Bab._3-IX_Sistem_Syaraf_dan_Indra_ Manusia_%28Sisca%29.pdf. Diakses 23 Februari 2015
Sugiyono. (2004). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sund, R. B. & Trowbridge, L. W. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Columbus: Charles E. Merill Publishing Company
Trianto. (2014). Model Pembelajaran Terpadu. Bandung: Bumi Aksara.
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Tawil M., & Liliasari. (2013). Berpikir Kompleks dan Implementasinya dalam Pembelajaran IPA. Makassar: Badan Penerbit UNM.
116
Trefil J. & Hazen, R. M. (2010). Science: an Integrated Approach (Sixth Edition). USA: John Willey & Sons, Inc.
Universitas Pendidikan Indonesia. (2014). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI Tahun 2014. Bandung: UPI.
Wartini. (2014). Penerapan Pembelajaran Berbasis Praktikum Melalui Inkuiri Terbimbing dan Verifikasi pada Konsep Fotosintesis Terhadap Penguasaan Konsep dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMP. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Wenning, C. J. (2005). Levels of Inquiry: Hierarchies of Pedagogical Practices and Inquiry Processes. Journal of Physics Teacher Education Online, 2 (3), hlm. 3 – 11.
Wenning, C. J. (2006). A Framework for Teaching the Nature of Science. Journal of Physics Teacher Education Online, 3 (3), hlm. 3 – 10.
Wenning, C. J. (2010). Levels of Inquiry: Using Inquiry Spectrum Learning Sequences to Teach Science. Journal of Physics Teacher Education Online, 5 (4), hlm. 11 – 20.
Wenning, C. J . (2011). The Levels of Inquiry Model of Science Teaching. Journal of Physics Teacher Education Online, 6 (2), hlm. 9 – 16.
White, T. K., dkk. (2011). The Use of Interupted Case Studies to Enhance Critical Thinking Skills in Biology. Journal of Microbiology and Biology Education, 10, hlm. 25 – 31.
Winataputra, U. S. (1993). Strategi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Depdikbud. Zubaidah, S. dkk. (2014). Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTs. Semester 2. Jakarta: